You are on page 1of 3

Pemerintah sebagai Sumber Konflik

Judul Konflik di Kawasan Pertambangan Timah Bangka Belitung:


Persoalan dan Alternatif Solusi.
Penulis Iskandar Zulkarnaen, dkk.
Penerbit Jakarta, LIPI Press, 2005
Halaman 193+ix halaman

Taufik Rahman
Aktivis Lingkar Studi CSR
www.csrindonesia.com

Kendati tidak termasuk kategori pustaka yang baru, buku ini masih menyimpan informasi penting dan
menarik. Buku ini diangkat dari seri penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang otonomi
daerah, konflik, dan daya saing. Sebelumnya LIPI juga menerbitkan laporan penelitian serupa dengan
mengambil objek konflik di wilayah tambang emas (2003) dan batu bara (2004). Sebagaimana rangkaian
penelitian sebelumnya, buku ini menempatkan tiga subjek utama sebagai pemangku kepentingan dari berbagai
peristiwa konflik di wilayah pertambangan, yakni pemerintah, perusahaan, dan masyarakat.

Seperti tampak pada judulnya, buku ini mengambil fokus pada pemetaan dan alternatif pemecahan konflik di
area pertambangan timah di Provinsi Bangka Belitung (Babel). Isu ini sempat kembali naik ke permukaan di
pertengahan tahun 2007. Seperti terdokumentasi dalam pemberitaan media, konflik di area pertambangan
timah Bebel ini tidak hanya melibatkan perusahaan—dalam hal ini PT Koba Tin dan PT Timah Tbk.—namun
juga pemerintah (pusat dan daerah).

Tarik-menarik dan konflik kepentingan di antara tiga pemangku kepentingan itu utama (perusahaan,
pemerintah pusat dan daerah, dan masyarakat penambang “tradisional” dan non-penambang) atas akses dan
pengelolaan sumberdaya alam berupa tambang timah di Babel tampaknya masih akan terus berlangsung.
Secara historis, konflik di Babel atas tambang timah memiliki akar yang sangat panjang. Isu yang menjadi
sumber konflik pun sangat kompleks. Ia melibatkan konflik dengan nuansa kepentingan ekonomi, lingkungan,
dan politik sekaligus.

Secara politis, konflik atas penguasaan tambang timah di Babel sudah berlangsung sejak abad ke 18, yakni sejak
zaman Kerajaan Sriwijaya. Ketika itu konflik melibatkan VOC (Belanda) dan kolonial Inggris. Tampaknya,
buku ini menggunakan lacakan akar historis sebagai perspektif pemetaan konflik yang bernuansa politis. Dan
secara umum, buku ini berkecenderungan untuk mengambil kesimpulan bahwa soal dinamika pasang-surut
persaingan yang memperebutkan monopoli hak politik atas tambang timah sebagai akar pokok permasalahan
konflik timah di Babel hingga kini.

Perseteruan memperebutkan hak eksploitasi lahan dan penguasaan dagang timah antara Belanda dan Inggris
juga melahirkan aktor lain, yakni para penyelundup. Demikian pula dengan kehadiran para penambang ”liar”
dari berbagai daerah yang datang ke Babel, khususnya para penambang asal Malaysia dan Thailand yang
majoritas beretnis Cina. Melihat perseteruan yang semakin hari menajam dan mengarah pada ”perang timah”,
pemerintah kolonial Belanda pada 1819 mengeluarkan Tin Reglement (TI) yang berisi bahwa 1) Penambangan
Timah di Bangka langsung di bawah kekuasaan Residen; 2) Timah adalah monopoli penuh pemerintah
Belanda; 3) Tambang timah partikelir dilarang sama sekali.
Kehadiran para penambang ”liar” baik dari luar Babel maupun dari Babel sendiri, banyak menimbulkan
benturan sosial dan persaingan bisnis tidak sehat. Hasilnya konflik dengan penyebab pokok persaingan
monopoli, perdagangan, penyelundupan, dan rusaknya hutan terus-menerus berlangsung hingga kini. Setahap
demi setahap area hutan dan pertanian lada semakin berkurang. Bahkan menurut catatan Biro Pusat Statitik
Provinsi Babel, proporsi ekspor lada terus saja menurun, dari 34,11% pada tahun 2003 menjadi 7,30% pada
2004.

Atas semakin rusaknya kondisi lingkungan Babel, Pemerintah Pusat tampak “menutup mata”. Hadirnya SK
Memperindag No. 146 tahun 1999, di mana kata “timah” dihilangkan dari daftar barang ekspor yang diawasi
dan tidak muncul dalam daftar barang ekspor yang diatur oleh Pemerintah, ditafsirkan sebagai hilangnya
monopoli Pemerintah Pusat. Para pelaku TI dan Penambang Tanpa Izin (PETI) jelas mendapat tempat dan
peluang. Mereka bukan saja melakukan penambangan di berbagai kawasan secara sembarangan dan jelas
merusak tata lingkungan, namun juga memaksa meraksak masuk ke area konsesi tambang PT Timah dan PT
Koba Tin.

Kondisinya semakin parah setelah Babel pada tahun 2001 resmi menjadi provinsi ke-31 wilayah RI. Pemekaran
wilayah yang dilandasi oleh kebijakan otonomi daerah ini, menjadikan wilayah Babel sebagai provinsi dan
kabupaten-kabupaten baru lebih memfokuskan diri pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Disebutkan dengan tegas oleh buku ini, majoritas TI dan PETI mendapatkan izin dan perlindungan dari
pemerintah daerah, baik berupa penerbitan izin resmi dari Bupati maupun sebagai kelompok yang bekerja di
bawah perlindungan dan kepentingan bisnis para pejabat pemerintah daerah—termasuk sejumlah anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Mereka bukan saja melakukan penambangan, namun juga aktif
dalam jaringan penyelundupan.

Dalam kondisi seperti ini, pendekatan keamanan yang biasa dilakukan oleh perusahaan. Hanya saja, setiap
konflik laten seperti umumnya terjadi di wilayah tambang, pendekatan keamanan sering kali tidak
menyelesaikan masalah. Ia justru menjadi masalah baru. Bagaimana pun bentrokan antara masyarakat dan
perusahaan terjadi karena alasan hajat hidup. Masyarakat Babel sendiri merasa tidak alternatif lain kecuali
menambang untuk melangsungkan kehidupan setelah lahan pertanian lada terus diserobot penambang liar.
Bahkan buku ini juga menyatakan bahwa persepsi masyarakat atas program CD perusahaan, bukan sebagai
bantuan perusahaan sebagaimana umumnya dipahami, namun sebagai sebuah pemberian kesempatan untuk
melakukan penambangan di area konsesi perusahaan dengan bantuan peralatan dan bantuan lainnya dari
perusahaan.

Melihat kondisi seperti ini, PT Timah sendiri pada akhirnya membuat solusi alternatif dengan memprakarsai
didirikannya Asosiasi Tambang Rakyat (ASTIRA), di mana para pelaku TI diizinkan melakukan penambangan
di areal konsesinya dengan binaan dan pengawasan dari perusahaan asal hasil tambang dijual kepada mereka.
Langkah senada juga dilakukan oleh PT Koba Tin. Namun ketika harga pasir timah yang ditawarkan di pasar
jauh lebih tinggi dari yang ditawarkan perusahaan, para pelaku TI pun menjualnya sendiri ke pasar
internasional—tentunya dengan bantuan “oknum” aparat Pemda.

Dengan praktik bisnis tambang timah seperti itu, buku ini berkesimpulan bahwa tarik-menarik kepentingan
ekonomi, perubahan peruntukan lahan, degradasi lingkungan, dan program pengembangan masyarakat (CD)
perusahaan, menjadi akar utama konflik di kawasan tambang timah Babel. Ini semua dijelaskan relatif detail
dan bahkan sampai pada pelacakan akar historis konflik tambang timah sejak abad ke-18. Namun sayang pada
bagian alternatif pemecahan masalah, uraiannya cenderung terlalu singkat dan makro dengan mengedepankan
rekomendasi political will dari Pemerintah (pusat dan daerah) dan perusahaan. Bahkan tidak ditemukan solusi
alternatif yang memadai untuk soal degradasai lingkungan, pengembalian tata guna lahan, dan upaya
mengembalikan “kejayaan” ekspor lada Babel untuk menyeimbangkan ketergantungan masyarakat dari pilihan
melakukan TI.

Catatan penting lainnya adalah, kendati di bagian konflik antarmasyarakat ditemukan fakta ada unsur dinamika
konflik etnis (Cina dan Melayu), namun buku ini tidak begitu dalam memerhatikan hal ini. Demikian pula
pergesekan konflik bernuansa “nasionalisme” antara Indonesia dengan Malaysia. Pembahasan mengenai
masalah ini tampaknya akan menjadi suatu isu penting dalam perkembangan konflik ke depan di tanah Babel.
Hal ini penting diperhatikan, mengingat kinerja PT Timah Tbk., sebagai perusahaan nasional terus-menerus
menunjukkan penurunan. Tidak tertutup kemungkinan penguasaan tambang timah pada akhirnya akan
berpindah tangan kepada PT Koba Tin, sebuah perusahaan multinasional asal Australia yang sejak April 2002,
75% sahamnnya dikuasai oleh Malaysia Smelting Corporation Berrhard (MSC). Secara historis, operasi PT
Koba sendiri yang hadir sejak tahun 1974 tampak berhubungan dengan konflik terbuka yang sering
berlangsung hingga kini antara penambang Indonesia dengan penambang asal Malaysia dan Thailand yang
majoritas beretnis Cina.

Kalau buku ini dibandingkan dengan yang sejenis, yaitu karya Erwiza Erman yang berjudul ”Membaranya
Batubara: Konflik Kelas dan Etnik Ombilin-Sawahlunto-Sumatera Barat (1892-1996)”, yang juga terbit dalam
tahun yang sama, tampaknya orang akan berkesimpulan bahwa kajian sejarahnya tidaklah semendalam buku
Erman. Namun, buku ini memanglah bukan buku sejarah. Ia menggunakan sejarah sebagai salah satu
penjelas akar konflik. Bagaimanapun, penjelasan mengenai konflik memang berhutang banyak pada
metodologi sejarah, walaupun pemecahan masalah yang ada mungkin tidak bisa dilakukan dengan sekadar
menengok masa lalu. Karya Erman tidak berpretensi memberi rekomendasi atas penyelesaian konflik,
sehingga wajar kalau pembacanya tak berkeberatan dengan sejarah ”saja”. Karya Zulkarnaen, dkk
mencantumkan rekomendasi, namun masih tampak setengah hati.

Mungkin memang terlalu berat untuk memberikan rekomendasi pemecahan masalah, manakala sumber
masalahnya adalah sang penguasa sendiri. Dari sudut pandang CSR, pada titik di mana pemerintah adalah
sumber masalah, perusahaan seharusnya melakukan politik yang positif. Mereka harus berperan serta
mengubah kebijakan dan praktik pengelolaan sumberdaya alam. Tetapi, tentu saja, hanya perusahaan yang
berwawasan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance) saja yang bisa melakukannya. Pertanyaannya: apakah perusahaan-perusahaan eksploitasi timah yang
beroperasi di Babel sudah berwawasan seperti itu.

You might also like