You are on page 1of 33

SYEKH SITI JENAR

Syekh Siti Jenar (829-923 H/1348-1439 C/1426-1517 M) :

Memiliki banyak nama : San Ali (nama kecil pemberian orangtua angkatnya, bukan Hasan Ali Anshar seperti

banyak ditulis orang); Syekh ‘Abdul Jalil (nama yg diperoleh di Malaka, setelah menjadi ulama penyebar Islam di

sana); Syekh Jabaranta (nama yg dikenal di Palembang, Sumatera dan daratan Malaka); Prabu Satmata (Gusti yg

nampak oleh mata; nama yg muncul dari keadaan kasyf atau mabuk spiritual; juga nama yg diperkenalkan

kepada murid dan pengikutnya); Syekh Lemah Abang atau Lemah Bang (gelar yg diberikan masyarakat Lemah

Abang, suatu komunitas dan kampung model yg dipelopori Syekh Siti Jenar; melawan hegemoni kerajaan. Wajar

jika orang Cirebon tidak mengenal nama Syekh Siti Jenar, sebab di Cirebon nama yg populer adalah Syekh

Lemah Abang); Syekh Siti Jenar (nama filosofis yg mengambarkan ajarannya tentang sangkan-paran, bahwa

manusia secara biologis hanya diciptakan dari sekedar tanah merah dan selebihnya adalah roh Allah; juga nama

yg dilekatkan oleh Sunan Bonang ketika memperkenalkannya kepada Dewan Wali, pada kehadirannya di Jawa

Tengah/Demak; juga nama Babad Cirebon); Syekh Nurjati atau Pangran Panjunan atau Sunan Sasmita (nama

dalam Babad Cirebon, S.Z. Hadisutjipto); Syekh Siti Bang, serta Syekh Siti Brit; Syekh Siti Luhung (nama-nama yg

diberikan masyarakat Jawa Tengahan); Sunan Kajenar (dalam sastra Islam-Jawa versi Surakarta baru, era R.Ng.

Ranggawarsita [1802-1873]); Syekh Wali Lanang Sejati; Syekh Jati Mulya; dan Syekh Sunyata Jatimurti Susuhunan

ing Lemah Abang.

Siti Jenar lebih menunjukkan sebagai simbolisme ajaran utama Syekh Siti Jenar yakni ilmu kasampurnan, ilmu

sangkan-paran ing dumadi, asal muasal kejadian manusia, secara biologis diciptakan dari tanah merah saja yg

berfungsi sebagai wadah (tempat) persemayaman roh selama di dunia ini. Sehingga jasad manusia tidak kekal

akan membusuk kembali ketanah. Selebihnya adalah roh Allah, yg setelah kemusnaan raganya akan menyatu

kembali dengan keabadian. Ia di sebut manungsa sebagai bentuk “manunggaling rasa” (menyatu rasa ke dalam
Tuhan).

Dan karena surga serta neraka itu adalah untuk derajad fisik maka keberadaan surga dan neraka adalah di dunia

ini, sesuai pernyataan populer bahwa dunia adalah penjara bagi orang mukmin. Menurut Syekh Siti Jenar, dunia

adalah neraka bagi orang yg menyatu-padu dgn Tuhan. Setelah meninggal ia terbebas dari belenggu wadag-nya

dan bebas bersatu dgn Tuhan. Di dunia manunggalnya hamba dgn Tuhan sering terhalang oleh badan biologis yg

disertai nafsu-nafsunya. Itulah inti makna nama Syekh Siti Jenar.

Asal Usul Syekh Siti Jenar

Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M (Serat She Siti Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka

Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Keradjan Tjirebon), Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972; P.S.

Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Bhatara, Jakarta, 1972; H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate,

Bandung, 1976; Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Siti Jenar dan Sang Pembaharu,

LkiS, yogyakarta, 2003-2004; Sartono Kartodirjo dkk, [i]Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1976;

Babad Banten; Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis, ‘s-Gravenhage, M.Nijhoff,

1941; raffles, Th.S., The History of Java, 2 vol, 1817), dilingkungan Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban

larang waktu itu, yg sekarang lebih dikenal sebagai Astana japura, sebelah tenggara Cirebon. Suatu lingkungan

yg multi-etnis, multi-bahasa dan sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai suku.

Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur. Kekurangjelasan asal-usul ini juga sama dgn kegelapan

tahun kehidupan Syekh Siti Jenar sebagai manusia sejarah.

Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yg dilakukan oleh penguasa muslim pada abad ke-16

hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa perlu untuk “mengubur” segala yg berbau Syekh Siti Jenar akibat

popularitasnya di masyarakat yg mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yg diakui Kerajaan Islam waktu

itu. Hal ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.

Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos

yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon,

griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing,

itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah

Abang]…..
Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia walau berasal dari kalangan bangsawan setelah

kembali ke Jawa menempuh hidup sebagai petani, yg saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh struktur

budaya Jawa, disamping sebagai wali penyebar Islam di Tanah Jawa.

Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan kemudian dikenal sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah putra

seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh

‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh

‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di Ahmadabad,

India, yg berasal dari Handramaut. Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut.

Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga utama keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa

al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi, yg semua keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan

agama Islam. Syekh ‘Abdul Malik adalah penyebar agama Islam yg bersama keluarganya pindah dari Tarim ke

India. Jika diurut keatas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib,

menantu Rasulullah. Dari silsilah yg ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yg menjadi mursyid

thariqah Syathariyah di Gujarat yg sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah

Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di

sana.

Adapun Syekh Maulana ‘sa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh

Maulana ‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti

Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yg kemudian menetap di Cirebon karena

ancaman politik di Kesultanan Malaka yg sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa

transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber Malaka dan

Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dgn sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.

Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar

masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh

memperkuat penyebaran Islam yg sudah beberapa lama tersiar di seantero bumi Caruban, besama-sama dgn

ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun

awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat.

Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau
Pangeran Walangsungsang yg sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi.

Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi keturunan Arab, namun sejak kecil

lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yg saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai

basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu.

Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri Amparan Jatinya yg diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka,

Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat,

serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dgn sepenuh hati,

disertai dgn pendidikan otodidak bidang spiritual.

Padepokan Giri Amparan Jati

Setelah diasuh oleh Ki Danusela samapai usia 5 tahun, pada sekitar tahun 1431 M, Syekh Siti Jenar kecil (San Ali)

diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi, pengasuh Pedepokan Giri Amparan Jati, agar dididik agama Islam yg

berpusat di Cirebon oleh Kerajaan Sunda di sebut sebagai musu(h) alit [musuh halus] .

Di Padepokan Giri Amparan Jati ini, San Ali menyelesaikan berbagai pelajaran keagamaan, terutama nahwu,

sharaf, balaghah, ilmu tafsir, musthalah hadist, ushul fiqih dan manthiq. Ia menjadi santri generasi kedua.

Sedang yg akan menjadi santri generasi ketiga adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Syarif

Hidayatullah baru datang ke Cirebon, bersamaan dgn pulangnya Syekh Siti Jenar dari perantauannya di Timur

Tengah sekitar tahun 1463, dalam status sebagai siswa Padepokan Giri Amparan Jati, dgn usia sekitar 17-an

tahun.

Pada tahun 1446 M, setelah 15 tahun penuh menimba ilmu di Padepokan Amparan Jati, ia bertekad untuk keluar

pondok dan mulai berniat untuk mendalami kerohanian (sufi). Sebagai titik pijaknya, ia bertekad untuk mencari

“sangkan-paran” dirinya.

Tujuan pertmanya adalah Pajajaran yg dipenuhi oleh para pertapa dan ahli hikmah Hindu-Budha. Di Pajajaran,

Syekh Siti Jenar mempelajari kitab Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya Majapahit. Inti dari kitab Catur

Viphala ini mencakup empat pokok laku utama.

Pertama, nihsprha, adalah suatu keadaan di mana tidak adal lagi sesuatu yg ingin dicapai manusia. Kedua,
nirhana, yaitu seseorang tidak lagi merasakan memiliki badan dan karenanya tidak ada lagi tujuan. Ketiga,

niskala adalah proses rohani tinggi, “bersatu” dan melebur (fana’) dgn Dia Yang Hampa, Dia Yang Tak

Terbayangkan, Tak Terpikirkan, Tak Terbandingkan. Sehingga dalam kondisi (hal) ini, “aku” menyatu dgn “Aku”.

Dan keempat, sebagai kesudahan dari niskala adalah nirasraya, suatu keadaan jiwa yg meninggalkan niskala dan

melebur ke Parama-Laukika (fana’ fi al-fana’), yakni dimensi tertinggi yg bebas dari segala bentuk keadaan, tak

mempunyai ciri-ciri dan mengatasi “Aku”.

Dari Pajajaran San Ali melanjutkan pengembaraannya menuju Palembang, menemui Aria Damar, seorang

adipati, sekaligus pengamal sufi-kebatinan, santri Maulana Ibrahim Samarkandi. Pada masa tuanya, Aria Damar

bermukim di tepi sungai Ogan, Kampung Pedamaran.

Diperkirakan Syekh Siti Jenar berguru kepada Aria Damar antara tahun 1448-1450 M. bersama Aria Abdillah ini,

San Ali mempelajari pengetahuan tentang hakikat ketunggalan alam semesta yg dijabarkan dari konsep “nurun

‘ala nur” (cahaya Maha Cahaya), atau yg kemudian dikenal sebagai kosmologi emanasi.

Dari Palembang, San Ali melanjutkan perjalanan ke Malaka dan banyak bergaul dgn para bangsawan suku Tamil

maupun Malayu. Dari hubungan baiknya itu, membawa San Ali untuk memasuki dunia bisnis dgn menjadi

saudagar emas dan barang kelontong. Pergaulan di dunia bisnis tsb dimanfaatkan oleh San Ali untuk

mempelajari berbagai karakter nafsu manusia, sekaligus untuk menguji laku zuhudnya ditengah gelimang harta.

Selain menjadi saudagar, Syekh Siti jenar juga menyiarkan agama Islam yg oleh masyarakat setempat diberi

gelar Syekh jabaranta. Di Malaka ini pula, ia bertemu dgn Datuk Musa, putra Syekh Datuk Ahmad. Dari uwaknya

ini, Syekh Datuk Ahmad, San Ali dianugerahi nama keluarga dan nama ke-ulama-an Syekh Datuk ‘Abdul Jalil.

Dari perenungannya mengenai dunia nafsu manusia, hal ini membawa Syekh Siti Jenar menuai keberhasilan

menaklukkan tujuh hijab, yg menjadi penghalang utama pendakian rohani seorang salik (pencari kebenaran).

Tujuh hijab itu adalah lembah kasal (kemalasan naluri dan rohani manusia); jurang futur (nafsu menelan

makhluk/orang lain); gurun malal (sikap mudah berputus asa dalam menempuh jalan rohani); gurun riya’

(bangga rohani); rimba sum’ah (pamer rohani); samudera ‘ujub (kesombongan intelektual dan kesombongan

ragawi); dan benteng hajbun (penghalang akal dan nurani).

Pencerahan Rohani di Baghdad

Setelah mengetahui bahwa dirinya merupakan salah satu dari keluarga besar ahlul bait (keturunan Rasulullah),
Syekh Siti Jenar semakin memiliki keinginan kuat segera pergi ke Timur Tengah terutama pusat kota suci

Makkah.

Dalam perjalanan ini, dari pembicaraan mengenai hakikat sufi bersama ulama Malaka asal Baghdad Ahmad al-

Mubasyarah al-Tawalud di sepanjang perjalanan. Syekh Siti Jenar mampu menyimpan satu perbendaharaan

baru, bagi perjalanan rohaninya yaitu “ke-Esaan af’al Allah”, yakni kesadaran bahwa setiap gerak dan segala

peristiwa yg tergelar di alam semesta ini, baik yg terlihat maupun yg tidak terlihat pada hakikatnya adalah af’al

Allah. Ini menambah semangatnya untuk mengetahui dan merasakan langsung bagaimana af’al Allah itu optimal

bekerja dalam dirinya.

Inilah pangkal pandangan yg dikemudian hari memunculkan tuduhan dari Dewan Wali, bahwa Syekh Siti Jenar

menganut paham Jabariyah. Padahal bukan itu pemahaman yg dialami dan dirasakan Syekh Siti Jenar. Bukan

pada dimensi perbuatan alam atau manusianya sebagai tolak titik pandang akan tetapi justru perbuatan Allah

melalui iradah dan quradah-NYA yg bekerja melalui diri manusia, sebagai khalifah-NYA di alam lahir. Ia juga

sampai pada suatu kesadaran bahwa semua yg nampak ada dan memiliki nama, pada hakikatnya hanya memiliki

satu sumber nama, yakni Dia Yang Wujud dari segala yg maujud.

Sesampainya di Baghdad, ia menumpang di rumah keluarga besar Ahmad al-Tawalud. Disinilah cakrawala

pengetahuan sufinya diasah tajam. Sebab di keluarga al-Tawalud tersedia banyak kitab-kitab ma’rifat dari para

sufi kenamaan. Semua kitab itu adalah peninggalan kakek al-Tawalud, Syekh ‘Abdul Mubdi’ al-Baghdadi. Di Irak

ini pula, Syekh Siti Jenar bersentuhan dgn paham Syi’ah Ja’fariyyah, yg di kenal sebagai madzhab ahl al-bayt.

Syekh Siti Jenar membaca dan mempelajari dgn Baik tradisi sufi dari al-Thawasinnya al-Hallaj (858-922), al-

Bushtamii (w.874), Kitab al-Shidq-nya al-Kharaj (w.899), Kitab al-Ta’aruf al-Kalabadzi (w.995), Risalah-nya al-

Qusyairi (w.1074), futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam-nya Ibnu ‘Arabi (1165-1240), Ihya’ Ulum al-Din dan

kitab-kitab tasawuf al-Ghazali (w.1111), dan al-Jili (w.1428). secara kebetulan periode al-jili meninggal, Syekh

Siti Jenar sudah berusia dua tahun. Sehingga saat itu pemikiran-permikiran al-Jili, merupakan hal yg masih

sangat baru bagi komunitas Islam Indonesia.

Dan sebenarnya Syekh Siti Jenar-lah yg pertama kali mengusung gagasan al-Hallaj dan terutama al-Jili ke Jawa.

Sementara itu para wali anggota Dewan Wali menyebarluaskan ajaran Islam syar’i madzhabi yg ketat. Sebagian

memang mengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati, yg kebanyakkan beralur pada paham Imam Ghazali.

Sayangnya, Syekh Siti Jenar tidak banyak menuliskan ajaran-ajarannya karena kesibukannya menyebarkan
gagasan melalui lisan ke berbagai pelosok Tanah Jawa. Dalam catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3 kitab karya

Syekh Siti Jenar; Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal Mubarak. Masyarakat yg dibangunnya nanti

dikenal sebagai komunitas Lemah Abang.

Dari sekian banyak kitab sufi yg dibaca dan dipahaminya, yg paling berkesan pada Syekh Siti Jenar adalah kitab

Haqiqat al-Haqa’iq, al-Manazil al-Alahiyah dan al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhiri wa al-Awamil (Manusia

Sempurna dalam Pengetahuan tenatang sesuatu yg pertama dan terakhir). Ketiga kitab tersebut, semuanya

adalah puncak dari ulama sufi Syekh ‘Abdul Karim al-Jili.

Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak sekembalinya ke Jawa menyebarkan ajaran dan

pandangan mengenai ilmu sangkan-paran sebagai titik pangkal paham kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor,

jumbuh dan manunggal dalam teologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh paham-paham puncak mistik al-

Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena proses pencarian spiritualnya yg memiliki ujung pemahaman yg mirip dgn

secara praktis/’amali-al-Hallaj; dan secara filosofis mirip dgn al-Jili dan Ibnu ‘Arabi.

Syekh Siti Jenar menilai bahwa ungkapan-ungkapan yg digunakan al-Jili sangat sederhana, lugas, gampang

dipahami namun tetap mendalam. Yg terpenting, memiliki banyak kemiripan dgn pengalaman rohani yg sudah

dilewatkannya, serta yg akan ditempuhnya. Pada akhirnya nanti, sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruh ketiga

kitab itu akan nampak nyata, dalam berbagai ungkapan mistik, ajaran serta khotbah-khotbahnya, yg banyak

memunculkan guncangan-guncangan keagamaan dan politik di Jawa.

Syekh Siti Jenar banyak meluangkan waktu mengikuti dan mendengarkan konser-konser musik sufi yg digelar

diberbagai sama’ khana. Sama’ khana adalah rumah-rumah tempat para sufi mendengarkan musik spiritual dan

membiarkan dirinya hanyut dalam ekstase (wajd). Sama’ khana mulai bertumbuhan di Baghdad sejak abad ke-9

(Schimmel; 1986, hlm. 185). Pada masa itu grup musik sufi yg terkenal adalah al-Qawwal dgn penyanyi sufinya

‘Abdul Warid al-Wajd.

Berbagai pengalaman spiritual dilaluinya di Baghdad sampai pada tingkatan fawa’id (memancarnya potensi

pemahaman roh karena hijab yg menyelubunginya telah tersingkap. Dgn ini seseorang akan menjadi berbeda dgn

umumnya manusia); dan lawami’ (mengejawantahnya cahaya rohani akibat tersingkapnya fawa’id), tajaliyat

melalui Roh al-haqq dan zawaid (terlimpahnya cahaya Ilahi ke dalam kalbu yg membuat seluruh rohaninya

tercerahkan). Ia mengalami berbagai kasyf dan berbagai penyingkapan hijab dari nafsu-nafsunya. Disinilah Syekh

Siti Jenar mendapatkan kenyataan memadukan pengalaman sufi dari kitab-kitab al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi dan al-
Jili.

Bahkan setiap kali ia melantunkan dzikir dikedalaman lubuk hatinya dgn sendirinya ia merasakan denting dzikir

dan menangkap suara dzikir yg berbunyi aneh, Subhani, alhamdu li, la ilaha illa ana wa ana al-akbar, fa’budni

(mahasuci aku, segala puji untukku, tiada tuhan selain aku, maha besar aku, sembahlah aku). Walaupun

telinganya mendengarkan orang di sekitarnya membaca dzikir Subhana Allah, al-hamduli Allahi, la ilaha illa

Allah, Allahu Akbar, fa’buduhu, namun suara yg di dengar lubuk hatinya adalah dzikir nafsi, sebagai cerminan

hasil man ‘arafa bafsahu faqad ‘arafa Rabbahu tersebut. Sampai di sini, Syekh Siti Jenar semakin memahami

makna hadist Rasulullah “al-Insan sirri wa ana sirruhu” (Manusia adalah Rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya).

Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti Jenar sama dgn ajaran sufi ‘Abdul Qadir al-Jilani (w.1165), Ibnu ‘Arabi

(560/1165-638-1240), Ma’ruf al-Karkhi, dan al-Jili. Hanya saja ketiga tokoh tsb mengalami nasib yg baik dalam

artian, ajarannya tidak dipolitisasi, sehingga dalam kehidupannya di dunia tidak pernah mengalami intimidasi

dan kekerasan sebagai korban politik dan menemui akhir hayat secara biasa.

Ingsun, Allah dan Kemanunggalan (Syekh Siti Jenar)

SATU

“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah

Allah, kang murba amisesa.”

Pernyataan Syekh Siti Jenar diatas secara garis besarnya adalah: “Pernyataan roh yg bertemu-hadapan dgn

Allah, yg menyembah Allah, yg disembah Allah, yg meliputi segala sesuatu.”

Ini adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yg maksudnya adalah sukma (roh di kedalaman

jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal itu diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia

tersedia cermin yg disebut mir’ah al-haya’ (cermin yg memalukan). Bagi orang yg sudah bisa mengendalikan

hawa nafsunya serta mencapai fana’ cermin tersebut akan muncul, yg menampakkan kediriannya dengan segala

perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka maka tirai-tirai Rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian

dirinya beradu-adu (adhep idhep), “aku ini kau, tapi kau aku”.

Maka jadilah dia yg menyembah sekaligus yg disembah, sehingga dirinya sebagai kawula-Gusti memiliki

wewenang murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-
Gusti.

DUA

“Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yg

jika sudah diminta oleh yg empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancur lebur bersifat najis. Oleh

karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan

dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila,

sedih, bingung, lupa tidur dan seringkali tidak jujur. Akal itu pula yg siang malam mengajak dengki, bahkan

merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk

akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian

jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.”

Menurut Syekh Siti Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal tidak dapat dijadikan pegangan dan

pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya yg bisa dijadikan gondhelan dan

gandhulan hanyalah Zat Wajibul Maulanan, Zat Yang Maha Melindungi. Pancaindera adalah pintu nafsu dan akal

adalah pintu bagi ego. Semuanya harus ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib memimpin.

Karena hanya Dialah yg menunjukkan semua budi baik. Jadi pancaindera harus dibimbing oleh budi dan budi

dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi. Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak terikat dalam

jeratan dan jebakan nama tertentu. Sebab nama bukanlah hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang Widi, Hyang

Manon, Sang Wajibul Maulana dan sebagainya. Semua itu produk akal, sehingga nama tidak perlu disembah.

Jebakan nama dalam syari’at justru malah merendahkan nama-NYA.

TIGA

“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sunsum, bisa rusak dan bagaimana cara

Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan

Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para

Wali dapat membawa Pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan tidak akan

membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan batu, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yg

artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.”

Dari pernyataan itu nampak Syekh Siti Jenar memandang alam makrokosmos sama dengan mikrokosmos

(manusia). Kedua hal tersebut merupakan barang baru ciptaan Tuhan yg sama-sama akan mengalami kerusakan
atau tidak kekal.

Pada sisi lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tsb mempunyai muatan makna pernyataan sufistik, “Barangsiapa

mengenal dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh Siti Jenar manusia yg utuh dalam jiwa

raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk penyanda alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam

semesta menjadi tanggungjawab manusia.

Maka mikrokosmos manusia, tidak lain adalah Blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.

Baginya Manusia terdiri dari jiwa dan raga yg intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan (Sang Pribadi).

Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yg dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging,

otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yg suatu saat setelah

manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah. Sedangkan

rohnya yg menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.

EMPAT

“Segala sesuatu yg terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah. Berbagai hal yg

dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yg

mengatakan bahwa yg baik dari Allah dan yg buruk dari selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam

dan dari luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situ lah terjadi perpaduan dua kemampuan

kodrati yg dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-NYA, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku

dalil “Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (Qs.Ash-Shaffat:96)”, yg maknanya Allah yg menciptakan engkau

dan segala apa yg engkau perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yg terlahir dari itu disebut

al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yg terlempar dari tangan saya itu adalah berdasarkan

kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil “Wa ma ramaita idz ramaita walakinna Allaha rama

(Qs.Al-Anfal:17)”, maksudnya bukanlah engkau yg melempar, melainkan Allah jua yg melempar ketika engkau

melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah

sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-‘adzimi. Rosulullah bersabda “La

tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi”, yg maksudnya tidak akan bergerak satu dzarah pun melainkan atas

idzin Allah.”

Eksistensi manusia yg manunggal ini akan nampak lebih jelas peranannya, dimana manusia tidak lain adalah ke-

Esa-an dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af’al, sebab af’al digerakkan oleh dzat. Sehingga af’al

yg menyatu menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat, kemana af’al itu dipancarkan.


LIMA

“Di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yg cepat juga akan menjadi busuk dan bercampur tanah. Ketahuilah

juga apa yg dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan dgn seorang manusia biasa seperti yg lain-lain. Kawula dan

Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya

untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, Gusti

dan kawula lenyap, yg tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam ADA sendiri. Bila kau belum

menyadari kebenaran kata-kataku maka dgn tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa

kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yg menimbulkan

hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu hanya impian yg sama sekali

tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yg terikat padanya. Saya tidak

merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yg kuusahakan, ialah kembali kepada

kehidupan.”

Syekh Siti Jenar menyatakan dgn tegas bahwa dirinya sebagai Tuhan, ia memiliki hidup dan Ada dalam dirinya

sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia. Sehingga didapatkan konsistensi antara keyakinan hati,

pengalaman keagamaan, dan sikap perilaku dzahirnya. Juga ditekankan satu hal yg selalu tampil dalam setiap

ajaran Syekh Siti Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia selama masih berada di dunia ini sebetulnya mati, baru

sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami kehidupan sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika

manusia dilahirkan. Badan hanya sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan

Zoetmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur, dimana roh suci terjerat badan wadag yg dipenuhi oleh berbagai

goda-nikmat yg menguburkan kebenaran sejati dan berusaha menguburkan kesadaran Ingsun Sejati.

Semoga yg ini bermanfaat dalam kepasrahan yg tidak bisa dipikir dgn Akal tapi dengan Hati yang sulit

mengungkapkan rasa Cinta itu secara Tulus….

Walaupun rasa Cinta itu sulit diungkapkan dgn bahasa kita yg sangat terbatas ini…..amin….amin.

Surga dan Neraka Syekh Siti Jenar

“anal jannatu wa nara katannalr al anna”, sering digunakan oleh Syekh Siti Jenar dalam menjelaskan hakikat

surga dan neraka. Penulisan yg benar nampaknya adalah “inna al-janatu wa al-naru qath’un ‘an al-ana”

(Sesungguhnya keberadaan surga dan neraka itu telah nyata adanya sejak sekarang atau di dunia ini).
Sesungguhnya, menurut ajaran Islam pun, surga dan neraka itu tidaklah kekal. Yang menganggap kekal surga dan

neraka itu adalah kalangan awam. Sesungguhnya mereka berdua wajib rusak dan binasa. Bagi Syekh Siti Jenar,

surga atau neraka bukanlah tempat tertentu untuk memberikan pembalasan baik dan buruknya manusia. Surga

neraka adalah perasaan roh di dunia, sebagai akibat dari keadaan dirinya yg belum dapat menyatu-tunggal dgn

Allah. Sebab bagi manusia yg sudah memiliki ilmu kasampurnan, jelas bahwa ketika mengalami kematian dan

melalui pintunya, ia kembali kepada Hidup Yang Agung, hidup yang tan kena kinaya ngapa (hidup sempurna

abadi sebagai Sang Hidup). Yaitu sebagai puncak cita-cita dan tujuan manusia. Jadi, karena surga dan neraka itu

ternyata juga makhluk, maka surga dan neraka tidaklah kekal, dan juga bukanlah tempat kembalinya manusia

yang sesungguhnya. Sebab tidak mungkin makhluk akan kembali kepada makhluk, kecuali karena keadaan yang

belum sempurna hidupnya. Oleh al-Qur’an sudah ditegaskan bahwa tempat kembalinya manusia hanya Allah,

yang tidak lain adalah proses kemanunggalan ……ilaihi raji’un, ilaihi al-mashir………

Puasa dan Haji Syekh Siti Jenar

“Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke

Makah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama

manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu

sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar.”

“Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja,

bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini idak masuk akal! Di dunia ini semua

manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu

dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.”

Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali adalah “omong kosong belaka”, atau “wes

palson kabeh”(sudah tidak ada yang asli). Tentu istilah ini sangat amat berbeda dengan anggapan orang selama

ini, yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar menolak syari’at Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syari’at

tersebut. Syekh Siti Jenar menggunakan istilah “iku wes palson kabeh”, yg artinya “itu sudah dipalsukan atau

dibuat palsu semua.” Tentu ini berbeda pengertiannya dengan kata “iku palsu kabeh” atau “itu palsu semua.”

Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa syari’at Islam pada masa Walisanga telah

mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam pengertian syari’at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas

belaka. Sehingga manfaat melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan

yang muncul dari aplikasi formal syariat tsb.


Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun berupa penyaksian atau

kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah

telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya merupakan

keburukan di bumi.

Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi, justru syariat hanya

menjadi alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini juga). Yang mengajarkan syari’at juga tidak lagi

memahami makna dan manfaat syari’at itu, dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi syari’at yg

hidup dan berdaya guna. Sehingga syari’at menjadi hampa makna dan menambah gersangnya kehidupan rohani

manusia.

Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan tujuannya itu. Shalat haruslah

merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi

kehidupannya. Orang yg melakukan profesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah

melaksanakan shalat sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu berupaya

mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya.

Makna Ihsan

“Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad

lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat

dan setia, teguh dalam pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui

ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan menggangap dirinya bersifat

Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad yg kudus.”

“Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula memiliki dua puluh sifat,

kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha mulia, maha indah, maha

sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada

nampak. Ia sangat sakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka”.

Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar, bahwa sifatullah merupakan

sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu hadistnya (Sahih Bukhari, I;6), beribadah
karena Allah dgn kondisi si ‘Abid dalam keadaan menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si Ma’bud.

Hanya sikap inilah yg akan mampu membentuk kepribadian yg kokoh-kuat, istiqamah, sabar dan tidak mudah

menyerah dalam menyerukan kebenaran.

Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani, bukan selain-NYA.

Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas pernyataan Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan

sifatu-Muhammad menjadi sifat pribadi.

Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan ajarannya dan

memaklumkan pengalamannya dalam “menyaksikan langsung” ada-NYA Allah. “Persaksian langsung” itulah

terjadi dalam proses manunggal.

“Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti

penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja,

halus, lurus terus-menerus, menggambarkan kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat

dahulu yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.”

Ihsan berasal dari kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta cermin seluruh eksistensi

manusia di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap dan menentang ketundukan membabi-buta kepada

makhluk. Ukuran ketundukan hati adalah Allah atau Sang Pribadi. Oelh karena itu, sesama manusia dan makhluk

saling memiliki kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan kebebasan serta kemerdekaan itu sifatnya pasti membawa

kepada kemajuan dan peradaban manusia, serta tatanan masyarakat yg baik, sebab diletakkan atas landasan Ke-

Ilahian manusia. Penjajahan atas eksistensi manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan manusia

akan Hyang Widhi…Allah (seperti Rosul sering sekali mengatakan bahwa “Sesungguhnya mereka tidak

mengerti”).

Karena buta terhadap Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah, maka manusia sering membabi-buta

merampas kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat ditentang oleh Syekh Siti Jenar. Termasuk upaya

sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan Sultannya, bagi Syekh Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi

akibat tergerusnya ke-Ilahian ke dalam kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan

mengatasnamakan demi penegakan syari’at Islam.

Pribadi adalah pancara roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanya terwujud dengan proses

wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan substansi tauhid. Maka manusia merupakan wujud
dari sifat dan dzat Hyang Widi itu sendiri. Dengan manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan

keselamatan yg nyata bukan keselamatan dan ketentraman atau kesejahteraan yg dibuat oleh rekayasa manusia,

berdasarkan ukurannya sendiri. Namun keselamatan itu adalah efek bagi terejawantah-NYA Allah melalui

kehadiran manusia. Sehingga proses terjadinya keselamatan dan kesejahteraan manusia berlangsung secara

natural (sunnatullah), bukan karena hasil sublimasi manusia, baik melalui kebijakan ekonomi, politik, rekayasa

sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini terjadi. Maka dapat diketahui bahwa teologi Manuggaling

Kawula Gusti adalah teologi bumi yg lahir dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia

mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan serta perbudakan

kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan, memperebutkan

sesama manusia tidak akan terjadi. Dan tentu saja pertentangan antar manusia sebagai akibat perbedaan paham

keagamaan, perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi.

Tafsir Kisah Musa dan Khidir (Syekh Siti Jenar)

“Sesungguhnya, Khidir AS bukanlah sosok lain yg terpisah sama sekali dari keberadaan manusia rohani. Apa yg

disaksikan sebagai tanah menjorok dgn lautan di sebelah kanan dan kiri itu bukanlah suatu tempat yg berada di

luar diri manusia. Tanah itulah yg disebut perbatasan (barzakh). Dua lautan itu adalah Lautan Makna (bahr al-

ma’na), perlambang alam tidak kasatmata (‘alam al-ghaib) dan lautan Jisim (bahr al-ajsam), perlambang alam

kasatmata (‘alam asy-syahadat).”

“Sedangkan kawanan udang adalah perlambang para pencari Kebenaran yg sudah berenang di perbatasan alam

kasatmata san alam tidak kasatmata. Kawanan udang perlambang para penempuh jalan rohani (salik) yg benar-

benar bertujuan mencari Kebenaran. Sementara itu, kawanan udang yg berenang di lautan sebelah kiri, di

antara batu-batu, merupakan perlambang para salik yg penuh diliputi hasrat-hasrat dan pamrih-pamrih

duniawi.”

“Sesungguhnya, peristiwa yg dialami Nabi Musa AS dgn Khidir AS, sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an Al-

Karim, bukanlah hanya peristiwa sejarah seorang manusia bertemu manusia lain. Ia adalah peristiwa perjalanan

rohani yg berlangsung di dalam diri Nabi Musa AS sendiri. Sebagaimana yg telah saya jelaskan, yg disebut dua

lautan di dalam Al-Qur’an tidak lain dan tidak bukan adalah Lautan Makna (bahr al-ma’na) dan Lautan Jisim

(bahr al-ajsam). Kedua lautan itu dipisahkan oleh wilayah perbatasan atau sekat (barzakh).”

“Ikan dan lautan dalam kisah Qur’ani itu merupakan perlambang dunia kasatmata (‘alam asy-syahadat) yg
berbeda dengan wilayah perbatasan yg berdampingan dgn dunia gaib (‘alam al-ghaib). Maksudnya, jika saat itu

Nabi Musa AS melihat ikan dan kehidupan yg melingkupi ikan tersebut dari tempatnya berdiri, yaitu di wilayah

perbatasan antara dua lautan, maka Nabi Musa AS akan melihat sang ikan berenang di dalalm alamnya, yaiu

lautan. Jika saat itu Nabi Musa AS mencermati maka ia akan dapat menyaksikan bahwa sang ikan yg berenang

itu dapat melihat segala sesuatu di dalam lautan, kecuali air (dilambangkan manusia juga sama). Maknanya,

sang ikan hidup di dalam air dan sekaligus di dalam tubuh ikan ada air, tetapi ia tidak bisa melihat iar dan tidak

sadar jika dirinya hidup di dalam air. Itulah sebabnya, ikan tidak dapat hidup tanpa air yg meliputi bagian luar

dan bagian dalam tubuhnya. Di mana pun ikan berada, ia akan selalu diliputi air yg tak bisa dilihatnya.”

“Sementara itu, seandainya sang ikan di dalam lautan melihat Nabi Musa AS dari tempat hidupnya di dalam air

lautan maka sang ikan akan berkata bahwa Musa AS di dalam dunia-yang diliputi udara kosong-dapat

menyaksikan segala sesuatu, kecuali udara kosong yg meliputinya itu. Maknanya, Nabi Musa AS hidup di dalam

liputan udara kosong yg ada di luar maupun di dalam tubuhnya, tetapi ia tidak bisa melihat udara kosong dan

tidak sadar jika dirinya hidup di dalam udara kosong. Itu sebabnya, Nabi Musa AS tidak dapat hidup tanpa udara

kosong yg meliputi bagian luar dan dalam tubuhnya. Di mana pun Nabi Musa AS berada, ia akan selalu diliputi

udara kosong yg tidak bisa dilihatnya.”

“Sesungguhnya, pemuda (al-fata) yg mendampingi Nabi Musa AS dan membawakan bekal makanan adalah

perlambang dari terbukanya pintu alam tidak kasatmata. Sesungguhnya, dibalik keberadaan pemuda (al-fata) itu

tersembunyi hakikat sang Pembuka (al-Fattah). Sebab, hijab gaib yg menyelubungi manusia dari Kebenaran

sejati tidak akan bisa dibuka tanpa kehendak Dia, sang Pembuka (al-Fattah). Itu sebabnya, saat Nabi Musa AS

bertemu dgn Khidir AS, pemuda (al-fata) itu disebut-sebut lagi karena ia sejatinya merupakan perlambang

keterbukaan hijab ghaib.”

“Adapun bekal makanan yg berupa ikan adalah perlambang pahala perbuatan baik (al-‘amal ash-shalih) yg hanya

berguna untuk bekal menuju ke Taman Surgawi (al-jannah). Namun, bagi pencari Kebenaran sejati, pahala

perbuatan baik itu justru mempertebal gumpalan kabut penutup hati (ghain). Itu sebabnya, sang pemuda

mengaku dibuat lupa oleh setan hingga ikan bekalnya masuk ke dalam lautan.”

“Andaikata saat itu Nabi Musa AS memerintahkan si pemuda untuk mencari bekal yg lain, apalagi sampai

memburu bekal ikan yg telah masuk ke dalam laut, niscaya Nabi Musa AS dan si pemuda tentu akan masuk ke

Lautan Jisim (bahr al-ajsam) kembali. Dan, jika itu terjadi maka setan berhasil memperdaya Nabi Musa AS.”
“Ternyata, Nabi Musa AS tidak peduli dgn bekal itu. Ia justru menyatakan bahwa tempat di mana ikan itu

melompat ke lautan adalah tempat yg dicarinya sehingga tersingkaplah gumpalan kabut ghain dari kesadaran

Nabi Musa AS. Saat itulah purnama rohani zawa’id berkilau dan Nabi Musa AS dapat melihat Khidir AS, hamba yg

dilimpahi rahmat dan kasih sayang (rahmah al-khashshah) yg memancar dari citra ar-Rahman dan ar-Rahim dan

Ilmu Ilahi (ilm ladunni) yg memancar dari Sang Pengetahuan (al-Alim).”

“Anugerah Ilahi dilimpahkan kepada Khidir AS karena dia merupakan hamba-NYA yg telah mereguk Air

Kehidupan (ma’ al-hayat) yg memancar dari Sang Hidup (al-Hayy). Itu sebabnya, barang siapa di antara manusia

yg berhasil bertemu Khidir AS di tengah wilayah perbatasan antara dua lautan, sesungguhnya manusia itu telah

menyaksikan pengejawantahan Sang Hidup (al-Hayy), Sang Penyayang (ar-Rahim). Dan, sesungguhnya Khidir AS

itu tidak lain dan idak bukan adalah ar-roh al-idhafi, cahaya hijau terang yg tersembunyi di dalam diri manusia,

“Sang Penuntun” anak keturunan Adam AS ke jalan Kebenaran Sejati. Dialah penuntun dan penunjuk (mursyid)

sejati ke jalan Kebenaran (al-Haqq). Dia sang mursyid adalah pengejawantahan yang Maha Menunjuki (as –

Rasyid).”

“Demikianlah, saat sang salik melihat Khidir AS sesungguhnya ia telah menyaksikan ar-roh al-idhafi, mursyid

sejati di dalam diri manusia sendiri. Saat ia menyaksikan kawanan udang di lautan sebelah kanan, sesungguhnya

ia telah menyaksikan Lautan Makna (bahr-al-ma’na) yg merupakan hamparan permukaan Lautan Wujud (bahr al-

wujud). Namun, jika terputus penglihatan batiin (bashirab) itu pada titik ini, berarti perjalanan menusia itu

menuju ke Kebenaran Sejati masih akan berlanjut.”

Sesungguhnya, perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati penuh diliputi tanda kebesaran Ilahi yg hanya bisa

diungkapkan dalam bahasa perlambang. Sesungguhnya, masing-masing menusia akan mengalami pengalaman

rohani yg berbeda sesuai pemahamannya dalam menangkap kebenaran demi kebenaran. Yang jelas, pengalaman

yg akan manusia alami tidak selalu mirip dgn pengalaman yg dialami Nabi Musa AS.”

“Setelah berada di wilayah perbatasan, Khidir AS dan Nabi Musa AS digambarkan melanjutkan perjalanan

memasuki Lautan Makna, yaitu alam tidak kasatmata. Mereka kemudian digambarkan menumpang perahu.

Sesungguhnya, perahu yg mereka gunakan untuk menyeberang itu adalah perlambang dari wahana (syari’ah) yg

lazimnya digunakan oleh kalangan awam untuk mencari ikan, yakni perlambang perbuatan baik (al ‘amal ash-

shalih). Padahal, perjalanan mengarungi Lautan Makna menuju Kebenaran Sejati adalah perjalanan yg sangat

pribadi menuju Lautan Wujud. Itulah sebabnya, perahu (syari’ah) itu harus dilubangi agar air dari Lautan Makna

masuk ke dalam perahu dan penumpang perahu mengenal hakikat air yg mengalir dari lubang tersebut.”
“Setelah penumpang perahu mengenal air yg mengalir dari lubang maka ia akan menjadi sadar bahwa lewat

lubang itulah sesungguhnya ia akan bisa masuk ke dalam Lautan Makna yg merupakan permukaan Lautan Wujud.

Andaikata perahu itu tidak dilubangi, dan kemudian perahu diteruskan berlayar, maka perahu itu tentu akan

dirampas oleh Sang Maha Raja (malik al-Mulki) sehingga penumpangnya akan menjadi tawanan. Jika sudah

demikian, maka untuk selamanya sang penumpang perahu tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju Dia, Yang

Maha Ada (al-Wujud), yg bersemayam di segenap penjuru hamparan Lautan Wujud. Penumpang perahu itu

mengalami nasib seperti penumpang perahu yg lain, yakni akan dijadikan hamba sahaya oleh Sang Maha Raja.

Bahkan, jika Sang Maha Raja menyukai hamba sahaya-NYA itu maka ia akan diangkat sebagai penghuni Taman

(jannah) indah yg merupakan pengejawantahan Yang Maha Indah (al Jamal).”

“Adapun Atas Pernyataan kenapa wahana (syariah) harus dilubangi dan tidak lagi digunakan dalam perjalanan

menembus alam ghaib manuju Dia? Dapat dijelaskan sebagai berikut.”

“Sebab, wahana adalah kendaraan bagi manusia yg hidup di alam kasatmata untuk pedoman menuju ke Taman

Surgawi. Sedangkan alam tidak kasatmata adalah alam yg tidak jelas batas-batasnya. Alam yg tidak bisa dinalar

karena segala kekuatan akal manusia mengikat itu tidak bisa berijtihad untuk menetapkan hukum yg berlaku di

alam gaib. Itu sebabnya, Khidir AS melarang Nabi Musa AS bertanya sesuatu dgn akalnya dalam perjalanan

tersebut. Dan, apa yg disaksikan Nabi Musa AS terdapat perbuatan yg dilakukan Khidir AS benar-benar

bertentangan dgn hukum suci (syari’at) dan akal sehat yg berlaku di dunia, yakni melubangi perahu tanpa

alasan, membunuh seorang anak kecil tak bersalah dan menegakkan tembok runtuh tanpa upah.”

“Namun jika wahana (syari’ah) tidak lagi bisa dijadikan petunjuk, sebenarnya pedomannya tetaplah sama, yaitu

Kitabullah dan Sunnah Rasul. Tetapi pemahamannya bukan dgn akal (‘aql) melainkan dgn dzauq, yaitu cita rasa

rohani. Inilah yg disebut cara (thariqah). Di sini, sang salik selain harus berjuang keras juga harus pasrah kepada

kehendak-NYA. Sebab, telah termaktub dalam dalil araftu rabbi bi rabbi bahwa kita hanya mengenal Dia dgn

Dia. Maksudnya jika Tuhan tidak berkehendak kita mengenal-NYA maka kita pun tidak akan bisa mengenal-NYA.

Dan, kita mengenal-NYA pun maka hanya melalui Dia (walaupun kita tidak mau tetapi semua telah kehendak-

NYA). Itu sebabnya, di alam tidak kasatmata yg tidak jelas batas dan tanda-tandanya itu kita tidak dapat

berbuat sesuatu kecuali pasrah seutuhnya dan mengharap limpahan rahmat dan hidayah-NYA.”

“Tentang makna di balik kisah Khidir AS membunuh seorang anak (ghulam) dapat saya jelaskan sebagai berikut.”
“Anak adalah perlambang keakuan kerdil yg kekanak-kanakan. Kedewasaan rohani seorang yg teguh imannya

bisa runtuh akibat terseret cinta kepada keakuan kerdil yg kekanak-kanakan tersebut. Itu sebabnya, keakuan

kerdil y kekanak-kanakan itu harus dibunuh agar kedewasaan rohani tidak terganggu.”

“Sesungguhnya, di dalam perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati selalu terjadi keadaan di mana keakuan

kerdil yg kekank-kanakan (ghulam) dari salik cenderung mengikari kehambaan dirinya terhadap Cahaya Yang

Terpuji (Nur Muhammad) sebagai akibat ia belum fana ke dalam Sang Rasul (fana fi rasul). Ghulam cenderung

durhaka dan ingkar terhadap kehambaan kepada Sang Rasul. Jika keakuan yg kerdil dan kekanak-kanakan itu

dibunuh maka akan lahir ghulam yg lebih baik dan lebih diberbakti yg melihat dengan mata batin bahwa dia

sesungguhnya adalah “hamba” dari Sang Rasul, pengejawantahan Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad).”

“Sesungguhnya, keakuan kerdil yg kekanak-kanakan adalah perlambang dari keberadaan nafsu manusia yg

cenderung durhaka dan ingkar terhadap Sumbernya. Sedangkan ghulam yg baik dan berbakti merupakan

perlambang dari keberadaan roh manusia yg cenderung setia dan berbakti kepada Sumbernya. Dan

sesungguhnya, perbuatan Khidir AS itu adalah perlambang yg sama saat Nabi Ibrahim AS akan menyembelih Nabi

Ismail AS ‘Pembuhunan’ itu adalah perlambang puncak dari keimanan mereka yg beriman (mu’min).”

“Adapun dinding yg ditinggikan Khidir AS adalah perlambang Sekat Tertinggi (al barzakh al ‘a’la) yg disebut juga

dgn Hijab Yang Maha Pemurah (hajib ar-Rahman). Dinding itu adalah pengejawantahan Yang Maha Luhur (al-

Jalil). Lantaran itu, dinding tersebut dinamakan Dinding al-Jalal (al jidar al-Jalal), yg dibawahnya tersimpan

Khazanah Perbendaharaan (Tahta al-Kanz) yg ingin diketahui.”

“Sedangkan dua anak yatim (ghulamaini yatimaini) pewaris dinding itu adalah perlambang jati diri Nabi Musa AS,

yg keberadaannya terbentuk atas jasad ragwi (al-basyar) dan rohani (roh). Kegandaan jati diri manusia itu baru

tersingkap jika seseorang sudah berada dalam keadaan tidak memiliki apa-apa (muflis), terkucil sendiri (mufrad)

dan telah berada di dalam waktu tak berwaktu (ibn al-waqt). Dua anak yatim itu adalah perlambang gambaran

Nabi Musa AS dan bayangannya di depan Cermin Memalukan (al-mir’ah al-haya’I).”

“Adapun gambaran tentang ‘ayah yg salih’ dari kedua anak yatim, yakni ayah yg mewariskan Khazanah

Perbendaharaan , adalah perlambang diri dari Abu halih, Sang Pembuka Hikmah (al-hikmah al-futuhiyyah), yakni

pengejawantahan Sang Pembuka. Dengan demikian apa yg telah dialami Nabi Musa AS dalam perjalanan bersama

Khidir AS (QS. Al-Kahfi : 60-82) menurut penafsiran adalah perjalanan rohani Nabi Musa AS ke dalam dirinya

sendiri yg penuh dgn perlambang (isyarat).”


“Memang Nabi Musa AS lahir hanya satu. Namun, keberadaan jati dirinya sesungguhnya adalah dua, yaitu

pertama keberadaan sebagai al-basyar ‘anak’ Adam AS yg berasal dari anasir tanah yg tercipta; dan

keberadaannya sebagai roh ‘anak’ Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad) yg berasal dari tiupan (nafakhtu)

Cahaya di Atas Cahaya (Nurun ‘ala Nurin). Maksudnya, sebagai al-basyar, keberadaan jasad ragawi nabi Musa AS

berasal dari Yang Mencipta (al-Kha-liq).”

“Sehingga tidak akan pernah terjadi perseteruan dalam memperebutkan Khazanah Perbendaharaan warisan

ayahnya yg shalih. Sebab, saat keduanya berdiri berhadap-hadapan di depan Dinding al-jalal (al-jidar al-Jalal)

dan mendapati dinding itu runtuh maka saat itu yg ada hanya satu anak yatim. Maksudnya, saat itu keberadaan

al-basyar ‘anak’ Adam AS akan terserap ke dalam roh ‘anak’ Nur Muhammad. Saat itulah sang anak sadar bahwa

ia sejatinya berasal dari Cahaya di Atas cahaya (Nurun ‘ala Nurin) yg merupakan pancaran dari Khazanah

Perbendaharaan. Sesungguhnya, hal semacam itu tidak bisa diuraikan dgn kaidah-kaidah nalar manusia karena

akan membawa kesesatan. Jadi, harus dijalani dan dialami sendiri sebagai sebuah pengalaman pribadi.”

Ajaran dan Pemikiran :

001. …. tidak usah kebanyakan teori semu, karena sesungguhnya ingsun (saya) inilah Allah. Nyata ingsun yang

sejati, bergelar Prabu Satmata, yang tidak ada lain kesejatiannya yang disebut sebangsa Allah.

002. Jika ada seseorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain Allah SWT, maka ia akan kecewa

karena ia tidak akan memperoleh apa yang ia inginkan.

003. Allah itu adalah keadaanku, lalu mengapa kawan-kawanku sama memakai penghalang? Dan sesungguhnya

aku ini adalah haq Allah pun tiada wujud dua; saya sekarang adalah Allah, nanti Allah, dzahir bathin tetap Allah,

kenapa kawan-kawan masih memakai pelindung?.

004. Sebenarnya keberadaan dzat yang nyata itu hanya berada pada mantapnya tekad kita, tandanya tidak ada

apa-apa, tetapi harus menjadi segala niat kita yang sungguh-sungguh.

005. Tidak usah banyak bertingkah, saya ini adalah Tuhan. Ya, betul betul saya ini adalah Tuhan yang

sebenarnya, bergelar Prabu Satmata, ketahuilah bahwa tidak ada tuhan yang lain selain saya.

006. Saya ini mengajarkan ilmu untuk betul-betul dapat merasakan adanya kemanunggalan. Sedangkan bangkai

itu selamanya tidak ada. Adapun yang dibicarakan sekarang adalah ilmu yang sejati yang dapat membuka tabir

kehidupan. Dan lagi semuanya sama. Tidak ada tanda secara samar-samar, bahwa benar-benar tidak ada

perbedaan yang bagaimanapun, saya akan tetap mempertahankan tegaknya ilmu tersebut.
007. Bahwa sesungguhnya, lafadz Allah yaitu kesaksian akan Allah, yang tanpa rupa dan tiada tampak akan

membingungkan orang, karena diragukan kebenarannya. Dia tidak mengetahui akan diri pribadinya yang sejati,

sehingga ia menjadi bingung. Sesungguhnya nama Allah itu untuk menyebut wakil-Nya, diucapkan untuk

menyatakan yang dipuja dan menyatakan suatu janji. Nama itu ditumbuhkan menjadi kalimat yang diucapkan

Muhammad Rasulullah.

008. ….. padahal sifat kafir berwatak jisim, yang akan membusuk, hancur lebur bercampur tanah. Lain jika kita

sejiwa dengan Dzat Yang Maha Luhur. Ia gagah berani, Maha Sakti dalam syarak, menjelajahi alam semesta. Dia

itu pangeran saya, yang mengusai dan memerintah saya, yang bersifat wahdaniyah, artinya menyatukan diri

denga ciptaan-Nya. Ia dapat abadi mengembara melebihi peluru atau anak sumpit, bukan budi bukan nyawa,

bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan pula kehendak tanpa tujuan. Dia itu yang bersatu padu dengan

wujud saya. Tiada susah payah, kodrat dan kehendak-Nya, tiada kenal rintangan, sehingga pikiran keras dari

keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga saya kearif-bijaksanaan saya menjumpai ia sudah

ada di sana.

009. Syehk Lemah Bang namaku, Rasulullah ya aku sendiri, Muhammad ya aku sendiri,Asma Allah itu

sesungguhya dirilu, ya akulah yang menjadi Allah ta’ala.

010. Jika Anda menanyakan di mana rumah Tuhan, maka jawabnya tidaklah sukar. Allah berada pada Dzat yang

tempatnya tidak jauh, yaitu berada dalam tubuh manusia. Tapi hanya orang yang terpilih saja yang bisa

melihatnya, yaitu orang-orang suni.

011. Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejahteraan kehidupan, engkau sejatinya Allah, ya

ingsun sejatinya Allah; yakni wujud yang berbentuk itu sejati itu sejatinya Allah, sir (rahasia) itu Rasulullah,

lisan (pengucap) itu Allah, jasad Allah badan putih tanpa darah, sir Allah, rasa Allah, rahasia rasa kesejatian

Allah, ya ingsun (aku) ini sejatinya Allah.

012. Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup itupun ditetapkan oleh diri sendiri,

tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka dukapun

musnah karena tidak diinginkan oleh hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan itu berdiri sendiri.

013. Dzat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang menuju ke semua kebaikan. Citra manusia

hanya ada dalam keinginan yang tunggal. Satu keinginan saja belum tentu dapat dilaksanankan dengan tepat,

apalagi dua. Nah cobala untuk memisahkan Dzat wajibul maulana dengan budi, agar supaya manusia dapat

menerima keinginan yang lain.

014. Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini adalah baka bersifat abadi, tanpa antara tiada erat

dengan sakit apapun rasa tidak enak, ia berada baik disana, maupun di sini, bukan ini bukan itu. Oleh tingkah

yang banyak dilakukan dan yang tidak wajar, menuruti raga, adalah sesuatu yang baru.

015. Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia. Di manakah adanya Hyang Sukma, kecuali
hanya diri pribadi. Kelilingilah cakrawala dunia, membubunglah ke langit yang tinggi, selamilah dalam bumi

sampai lapisan ke tujuh, tiada ditemukan wujud yang mulia.

016. Kemana saja sunyi senyap adanya; ke Utara, Selatan, Barat, Timur dang Tengah, yang ada di sana hanya

adanya di sini. Yang ada di sini bukan wujud saya. Yang ada dalam diriku adalah hampa dan sunyi. Isi dalam

daging tubuh adalah isi perut yang kotor. Maka bukan jantung bukan otak yang pisah dari tubuh, laju peasat

bagaikan anak panah lepas dari busur, menjelajah Mekkah dan Madinah.

017. Saya ini bukan budi, bukan angan-angan hati, bukan pikiran yang sadar, bukan niat, buka udara, bukan

angin, bukan panas, dan bukan kekosongan atau kehapaan. Wujud saya ini jasad, yang akhirnya menjadi

jenazah, busuk bercampur tanah dan debu. Napas saya mengelilingi dunia, tanah, api, air, dan udara kembali ke

tempat asalnya, sebab semuanya barang baru bukan asli.

018. Maka saya ini Dzat sejiwa yang menyatu, menyukma dalam Hyang Widi. Pangeran saya bersifat Jalil dan

Jamal, artinya Maha Mulia dan Maha Idah. Ia tidak mau sholat atas kehendak sendiri, tidak pula mau

memerintah untuk shalat kepada siapapun. Adapun shalat itu budi yang menyuruh, budi yang laknat dan

mencelakakan, tidak dapat dipercaya dan dituruti, karena perintahnya berubah-ubah. Perkataannya tidak dapat

dipegang, tidak jujur, jika dituruti tidak jadi dan selalu mengajak mencuri.

019. Syukur kalau saya sampai tiba di dalam kehidupan yang sejati. Dalam alam kematian ini saya kaya akan

dosa. Siang malam saya berdekatan dengan api neraka. Sakit dan sehat saya temukan di dunia ini. Lain halnya

apabila saya sudah lepas dari alam kematian. Saya akan hidup sempurna, langgeng tiada ini dan itu.

020. Menduakan kerja bukan watak saya. Siapa yang mau mati dalam alam kematian orang kaya akan dosa. Balik

jika saya hidup yang tak kekak ajal, akan langeng hidup saya, tida perlu ini dan itu. Akan tetapi saya disuruh

untuk memilih hidup ayau mati saya tidak sudi. Sekalipun saya hidup, biar saya sendiri yang menetukan.

021. …….Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati. Kenikmatan ini dijumpai dalam mati, mati yang

sempurna teramat indah, manusia sejati adalah yang sudah meraih ilmu. Tiada dia mati, hidup selamanya,

menyebutnya mati berarti syirik, lantaran tak tersentuh lahat, hanya beralih tempatlah dia memboyong

kratonnya.

022. Aku angkat saksi dihadapan Dzat-KU sendiri, susungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku. Dan Aku angkat

saksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-KU, susungguhny yang disebut Allah adalah ingsun (aku) diri sendiri.

Rasul itu rasul-KU, Muhammad itu cahaya-KU, aku Dzat yang hidup yang tak kena mati, Akulah Dzat yang kekal

yang tidak pernah berubah dalam segala keadaan. Akulah Dzat yang bijaksana tidak ada yang samar sesuatupun,

Akulah Dzat Yang Maha Menguasai, Yang Kuasa dan Yang Bijaksana, tidak kekurangan dalam pegertian,

sempurna terang benderang, tidak terasa apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, hanyalah aku yang meliputi sekalian

alam dengan kodrat-KU.

023. Janganlah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah keberadaan Allah. Disebut Imannya
Iman.

024. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah tempat manunggalnya Allah. Disebut

Imannya Tauhid.

025. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah sifatnya Allah. Disebut Imannya

Syahadat.

026. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah kewaspadaan Allah. Disebut Imannya

Ma’rifat.

027. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah menghadap Allah. Disebut Imannya

Shalat.

028. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah kehidupannya Allah. Disebut Imannya

Kehidupan.

029. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah kepunyaan dan keagungan Allah.

Disebut Imannya Takbir.

030. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, sebab engkau adalah pertemuan Allah. Disebut Imannya

Saderah.

031. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah kesucian Allah. Disebut Imannya

Kematian.

032. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, sebab engkau adalah wadahnya Allah. Disebut Imannya Junud.

033. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah bertambahnya nikmat dan anugrah

Allah. Disebut Imannya Jinabat.

034. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah asma Nama Allah. Disebut Imannya

Wudlu.

035. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah ucapan Allah. Disebut Imannya Kalam.

036. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah juru bicara Allah. Disebut Imannya Akal.

037. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah wujud Allah, yaitu tempat

berkumpulnya seluruh jagad makrokosmos, dunia akhirat, surga neraka,arsy kursi, loh kalam, bumi langit,

manusia, jin, iblis laknat, malaikat, nabi, wali, orang mukmin, nyawa semua, itu berkumpul di pucuknya

jantung, yang disebut alam khayal (ala al-khayal). Disebut Imannya Nur Cahaya.

038. Yang disebut kodrat itu yang berkuasa, tiada yang mirip atau yang menyamai. Kekuasannya tanpa piranti,

keadaan wujudnya tidak ada baik luar maupun dalam merupakan kesatuan, yang beraneka ragam.

039. Iradat artinya kehendak yang tiada membicarakan, ilmu untuk mengetahui keadaan, yang lepas jah dari

panca indra bagaikan anak gumpitan lepas tertiup.

040. Inilah maksudnya syahadat: Asyhadu berarti jatuhnya rasa, Ilaha berarti kesetian rasa, Ilallah berarti
bertemunya rasa, Muhammad berartihasil karya yang maujud dan Pangeran berarti kesejatian hidup.

041. Mengertilah bahwa sesungguhnya inisyahadat sakarat, jika tidak tahu maka sakaratnya masih mendapatkan

halangan, hidupnya dan matinya hanya sperti hewan.

042. Syahadat allah, allah badan lebur menjadi nyawa, nyawa lebur menjadi cahaya, cahaya lebur menjadi roh,

roh lebur menjadi rasa, rasa lebur sirna kembali kepada yang sejati, tinggalah hanya Allah semata yang abadi

dan terkematian. (Terjemahan dalam Bahasa Indonesia).

043. Syahadat Ananing Ingsun, Asyhadu keberadaan-KU, La Ilaha bentuk wajahku, Ilallah Tuhanku, sesungguhnya

tidak ada Tuhan selain Aku, yaitu badan dan nyawa seluruhnya. (Terjemahan dalam Bahasa Indonesia).

044. Syahadat Panetep Panatagana yaitu, yang menjdai bertempatnya Allah, menghadap kepada Allah,

bayanganku adalah roh Muhammad, yaitu sejatinya manusia, yaitu wujudnya yang sempurna. (Terjemahan

dalam Bahasa Indonesia).

045. Kenikmatan mati tak dapat dihitung ….tersasar, tersesat, lagi terjerumus, menjadikan kecemasan,

menyusahkan dalam patihnya, justru bagi ilmu orang remeh…..

046. Segala sesuatu yang wujud, yang tersebar di dunia ini, bertentangan denga sifat seluruh yang diciptakan,

sebab isi bumi itu angkasa yang hampa.

047. Shalat limakali sehari adalah pujian dan dzikir yang merupakan kebijaksanaan dalam hati menurut

kehendak pribadi. Benar atau salah pribadi sendiri yang akan menerima, dengan segala keberanian yang dimiliki.

048. Pada permulaan saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi saya melepaskan hati,

menaruh hati kepada seseorang, kadang-kadang menginginkan keduniaan yang banyak, lain dengan Dzat Maha

yang bersama diriku, Nah, saya inilah Yang Maha Suci, Dzat Maulana yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan

tidak dapat dibayangkan.

049. Syahadat, shalat, dan puasa itu adalah amalan yang tidak diinginkan, oleh karena itu tidak perlu dilakukan.

Adapun zakat dan naik haji ke Makkah, keduanya adalah omong kosong. Itu semua adalah palsu dan penipuan

terhadap sesama manusia. Menurut para auliya’ bila manuasia melakukannya maka dia akan dapat pahala itu

adalah omong kosong, dan keduanya adalah orang yang tidak tahu.

050. Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di masjid mengenakan jubah, pahalanya besok

saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala, berbelang. Sesungguhnya hal itu tidak masuk akal. Di dunia ini

semua manusia adalah sama. Mereaka semua mengalami suka duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada

bedanya satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal, saja, yaitu Gusti

Dzat Maulana.

051. ….Gusti Dzat Maulana. Dialah yang luhur dan sangat sakti, yang berkuasa Maha Besar, lagi pula memiliki

dua puluh sifat, kuasa atas segala kehendak-Nya. Dialah Maha Kuasa pangkal mula segala ilmu, Maha Mulia,

Maha Indah, Maha Sempurna, Maha Kuasa, Rupa warna-nya tanpa cacat, seperti hamba-Nya. Di dalam raga
manusia ia tiada tanpak. Ia sangat sakti menguasai segala yang terjadi, dan menjelajahi seluruh alam semesta,

Ngindraloka.

052. Hyang Widi, wjud yang tak tampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud,

sperti penampakan raga yang tiada tanpak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau

teja, halus, lurus terus menerus, menggambarkan kenyataan tiada dusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat

dahulu yang meniadakan permulaan, karena asal diri pribadi.

053. Mergertilah bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jika tidak tahu maka sekaratnya masih mendapatkan

halangan, hidupnya dan matinya hanya seperti hewan.

054. Syekh Siti Jenar mengetahui benar di mana kemusnahan anta ya mulya, yaitu Dzat yang melanggengkan

budi, berdasarkan dalil ramaitu, ialah dalil yang dapat memusnahkan beraneka ragam selubung, yaitu dapat

lepas bagaikan anak panah, tiada dapat diketahui di mana busurnya. Syari’at, tarekat, hakekat, dan ma’rifat

musnah tiada terpikirkan. Maka sampailah Syekh Siti Jenar di istana sifat yang sejati.

055. Kematian ada dalam hidup, hidup ada dalam mati. Kematian adalah hidup selamanya yang tidak mati,

kembali ke tujuan dan hidup langgeng selamanya, dalam hidup ini adalah ada surga dan neraka yang tidak dapat

ditolak oleh manusia. Jika manusia masuk surga berarti ia senang, bila manusia bingung, kalut, risih, muak, dan

menderita berarti ia masuk neraka. Maka kenikmatan mati tak dapat dihitung.

056. Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan panca indera. Panca indera ini merupakan barang pinjaman,

yang jika sudah diminta oleh yang mempunyai, akan menjadi tanah dan membusuk, hancur lebur bersifat najis.

Oleh karena itu panca indera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-

angan dan kesadaran, berasal dari panca indera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat

menjadi gila, sedih, bingung, lupa, tidur dan sering kali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak

kita berbuat dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki juga akan menimbulkan kejahatan,

kesombongan yang pada akhirnya membawa manusia ke dalam kenistaan dan menodai citranya. Kalau sudah

sampai sedemikian parahnya manusia biasanya baru menyesali perbuatannya.

057. Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, dan sumsum busa rusak dan bagaimana

cara Anda memperbaikinya. Biarpun bersembahyang seribu kali setiap barinya akhirnya mati juga. Meskipun

badan Anda, Anda tutupi akhirnya kena debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, apakah

para wali dapat membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini adalah baru. Tuhan tidak

akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat dunia ini dua kali dan juga tidak akan

membuat tatanan baru.

058. Segala sesuatu yang terjadi di alam ini pada hakikatnya adalah perbuatan Allah. Berbagai hal yang dinilai

baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi sangat salah besar bila ada yang menganggap

bahwa yang baik itu dari Allah dan yang buruk adalah dari selain Allah. Oleh karena itu Af’al allah harus
dipahami dari dalam dan dari luar diri manusia. Misalnya saat manusia menggoreskan pensil, di situlah terjadi

perpaduan dua kemampuan kodrati yang dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-Nya, yaitu kemampuan gerak

pensil. Tanah yang terlempar dari tangan seseorang itu adalah berdasar kemampuan kodrati gerak tangan

seseorang, ”maksudnya bukanlah engkau yang melempar, melainkan allah yang melempar ketika engkau

melempar.

059. Di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yang cepat juga akan menjadi rusak dan bercampur tanah.

Ketahuilah juga bahwa apa yang dinamakan kawulo-gusti tidak berkaitan dengan seorang manusia biasa seperti

yang lain-lain. Kawulo dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku

dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-gusti itu belaku, yakni selama saya mati. Nanti kalau saya

sudah hidup lagi, gusti dan kawulo lenyap, yang tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam

Anda sendiri. Bial kamu belum menyadari kata-kataku, maka dengan tepat dapat dikatakan bahwa kamu masih

terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hihuran macam warna. Lebih banyak lagi hal-

hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat panca indera. Itu hanya

impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orng yang

terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian, satu-satunya yang ku

usahakan ualah kembali kepada kehidupan.

060. Bukan kehendak, angan-angan, bukan ingatan, pikir atau niat, hawa nafsupun bukan, bukan juga

kekosongan atau kehampaan, penampilanku bagai mayat baru, andai menjadi gusti jasadku dapat busuk

bercampur debu, napsu terhembus ke segala penjuru dunia, tanah, api, air kembali sebagai asalnya, yaitu

kembali menjadi baru.

061. Bumi, langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia. Manusialah yang memberi nama. Buktinya

sebelum saya lahir tidak ada.

062. Sesungguhnya pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara ajaran Islam dengan Syiwa Budha. Hanya nama,

bahasa, serta tatanan yang berbeda. Misalnya dalam Syiwa Budha dikenal Yang Maha Baik dan Pangkal

Keselamatan, sementara dalam Islam kita mengenal Allah al Jamal dan as Salam. Jika Syiwa dkenal sebagai

pangkal penciptaan yang dikenal dengan Brahmana maka dalam Islam kita mengenal al Khaliq. Syiwa sebagai

penguasa makhluk disebut Prajapati, maka dalam Islam kita mengenal al Maliku al Mulki. Jika Syiwa Maha

Pemurah dan Pengasih disebut Sankara, maka dalam Islam kita mengena ar-Rahman dan ar-Rahim.

063. Kehilangan adalah kepedihan. Berbahagialah engkau, wahai musafir papa, yang tidak memiliki apa-apa

maka tidak akan pernah kehilangan apa-apa.

064. Jika engkau kagum kepada seseorang yang engkau anggap Wali Allah, jangan engkau terpancang pada

kekaguman akan sosok dan perilaku yang diperbuatnya. Sebab saat seseorang berada pada tahap kewalian, maka

keberadaab dirinya sebagi manusia telah lenyap, tenggelam ke dalam al Waly.


065. Kewalian bersifat terus menerus, hanya saja saat tenggelam dalam al Waly. Berlangsungnya Cuma

beberapa saat. Dan saat tenggelam ke dalam al Waly itulah sang wali benar-benar menjadi pengejawantahan al

Waly. Lanaran itu sang wali memiliki kekeramatan yang tidak bisa diukur dengan akal pikiran manusia, dimana

karamah itu sediri pada hakekatnya pengejawantahan al Waly. Dan lantaran itu pila yang dinamakan karamah

adalah sesuatu diluar kehendak sang wali pribadi. Semua itu semata-mata kehendak-Nya mutlak.

066. Kekasih Allah itu ibarat cahaya. Jika ia berada di kejahuan, kelihatan sekali terangnya. Namun jika cahaya

itu didekatkan ke mata, mata kita akan silau dan tidak bisa melihatnya dengan jelas. Semakin dekat cahaya itu

kemata maka kita akan semakin buta tidak bisa melihatnya.

067. Engkau bisa melihat cahaya kewalian pada diri seseorang yang jauh darimu. Nemun engkau tidak bisa

melihat cahaya kewalian yang memancar dari diri orang-orang yang terdekat denganmu.

068. Saya hanya akan memberi sebuah petunjuk yang bisa digunakan untuk meniti jembatam (shiratal

mustaqim) ajaib ke arahnya. Saya katakan ajaib karena jembatan itu bisa menjauhkan sekaligus mendekatkan

jarak mereka yang meniti dengan tujuan yang hendak dicapai.

069. Bagi kalangan awan, istighfar lazimnya dipahami ebagai upaya memohon ampun kepada Allah sehingga

mereka memperoleh pengampunan. Tetapi bagi para salik, istighfar adalah upaya pembebasan dari belenggu

kekakuan kepada Allah sehingga memperoleh ampun yang menyingkap tabir ghaib yang menyelubungi manusia.

Sesungguhnya di dalam asma al Ghaffar terangkum makna Maha Pengampun dan juga Maha menutupi, Maha

Menyembunyikan dan Maha Menyelubungi.

070. Semua itu terika itu benar, hanya nama dan caranya saja yang berbeda. Justru ”cara” itu menjadi salah

dan sesat ketika sang salik melihat menilai terlalu tinggi ”cara” yang diikutinya sehinga menafikan ”cara” yang

lain.

071. Semua rintangan manusia itu berjumlah tujuh, karena kita adalah makhluk yang hidup di atas permukaan

bumi. Allah membentangkan tujuh lapis langit yang kokoh di atas kita, sebagaimana bumipun berlapis tujuh,

dan samuderapun berlapis tujuh. Bahkan neraka berlapis tujuh. Tidakkah anda ketahui bahwa suragapun

berjumlah tujuh. Tidakkah Anda ketahui bahwa dalam beribadaaah kepada Allah manusia diberi piranti tujuh

ayat yang diulang-ulang dari Al-Quran untuk menghubungkang dengan-Nya? Tidakkah Anda sadari bahwa saat

Anda sujud anggota badan Anda yang menjadi tumpuan?

072. Di dunia manusia mati. Siang malam manusia berpikir dalam alam kematian, mengharap-harap akan

permulaan hidupnya. Hal ini mengherankan sekali. Tetapi sesungguhnya manusia di dunia ini dalam alam

kematian, sebab di dunia ini banyak neraka yang dialami. Kesengsaraan, panas, dingin, kebingungan,

kekacauan, dan kehidupan manusia dalam alam yang nyata.

073. Dalam alam ini manusia hidup mulia, mandiri diri pribadi, tiada diperlukan lantaran ayah dan ibu. Ia

beberbuat menurut keingginan sendiri tiada berasal dari angin, air tanah, api, dan semua yang serba jasad. Ia
tidak menginginkan atau mengaharap-harapkan kerusakan apapun. Maka apa yang disebut Allah ialah barang

baru, direka-reka menurut pikiran dan perbuatan.

074. Orang-orang muda dan bodoh banyak yang diikat oleh budi, cipta iblis laknat, kafir, syetan, dan angan-

angan yang muluk-muluk, yang menuntun mereka ke yang bukan-bukan. Orang jatuh ke dalam neraka dunia

karena ditarik oleh panca indera, menuruti nafsu catur warna : hitam, merah, kuning, serta putih, dalam jumlah

yang besar sekali, yang masuk ke dalam jiwa raganya.

075. Saya merindukan hidup saya dulu, tatkala saya masih suci tiada terbayangkang, tiada kenal arah, tiada

kenal tempat, tiada tahu hitam, merah, putih, hijau, biru dan kuning. Kapankah saya kembali ke kehidupan saya

yang dulu? Kelahiranku di dunia alam kematian itu demikian susah payahnya karena saya memiliki hati sebagai

orang yang mengandung sifat baru.

076. Kelahiranku di dunia kematian itu demikian susah payahnya karena saya memiliki hati sebagai orang yang

mengandung sifat baru.

077. Keinginan baru, kodrat, irodat, samak, basar dan ngaliman )’aliman). Betul-betul terasa amat berat di alam

kematian ini. Panca pranawa kudus, yaitu lima penerangan suci, semua sifat saya, baik yang dalam maupun yang

luar, tidak ada yang saya semuanya iti berwujud najis, kotor dan akan menjadi racun. Beraneka ragam terdapat

tersebut dalam alam kematian ini. Di dunia kematian, manusia terikat oleh panca indera, menggunakan

keinginan hidup, yang dua puluh sifatnya, sehingga saya hampir tergila-gila dalam dan kematian ini.

078. Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan panca indera. Panca indera ini merupakan barang pinjaman,

yang jika sudah diminta oleh yang mempunyai, akan menjadi tanah dan membusuk, hancur lebur bersifat najis,

oleh karena itu panca indera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-

angan dan kesadaran, berasal dari panca indera, tidak dapat dipakai sebagai pandangan hidup. Akal dapat

menjadi gila, sedih, bingung, lupa, tidur dan sering kali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak

kita berbuat dengki, bahkan merusak kebahagian orang lain. Dengki juga akan menimbulkal kejahatan,

kesombongan yang pada akhirnya membawa manusia ke dalam kenistaan dan menodai citranya. Kalau sudah

samapai sedemikian parahnya manuasia biasanya baru menyesali perbuatannya.

079. Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, sungsum, bisa merusak dan bagaimana cara

anda memperbaikinya. Biarpun bersembahyang seribu kali tiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan

anda, anda tutupi akhirnya kena debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, apakah para wali

dapat membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini adalah baru. Tuhan tidak akan

membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan baru.

080. mayat-mayat berkeliaran kemana-mana, ke Utara dan ke Timur, mencari makan dan sandang yang bagus

dan permata serta perhiasan yang berkilauan, tanpa mengetahui bahwa mereka adalah mayat-mayat belaka.

Yang naik kereta, dokar atau bendi itu juga mayat, meskipun seringkali ia berwatak keji terhadap sesamanya.
081. Orang yang dihadapi oleh hamba sahayanya, duduk di kursi, kaya raya, mempunyai tanah dan rumah yang

mewah, mereka sangat senang dan bangga. Apakah ia tidak tahu, bahwa semua benda yang terdapat di dunia

akan musnah menjadi tanah. Meskipun demikia ia bersifat sombong lagi congkak. Oh, berbelas kasihan saya

kepadanya. Ia tidak tahu akan sifat-sifat dan citra dirinya sebagai mayat. Ia merasa dirinya yang paling cukup

pandai.

082. Di alam kematian ada surga dan neraka, dijumpai untung serta sial. Keadaan di dunia seperti ini menurut

Syekh Siti Jenar, sesuai dengan dalil Samarakandi ”al mayit pikruhi fayajitu kabilahu” artinya Sesungguhnya

orang yang mati, menemukan jiwa raga dan memperoleh pahala surga serta neraka.

083. ”Keadaan itulah yang dialami manusia sekarang” demikian pendapat Syekh Siti Jenar, yang pada akhirnya

Siti Jenar siang malam berusaha untuk mensucikan budi serta menguasai ilmu luhur dengan kemuliaan jiwa.

084. Di alam kematian terdapat surga dan neraka, yakni bertemu dengan kebahagian dan kecelakaan, dipenuhi

oleh hamparan keduniawian. Ini cocok dengan dalil Samarakandi analmayit pikutri, wayajidu katibahu.

Sesungguhnya orang mati itu akan mendapatkan raga bangkainya, terkena pahala surga serta neraka.

085. Surga neraka tidaklah kekal dan dapat lebur, ataupun letaknya hanya dalam rasa hati masing-masing

pribadi, senang puas itulah surga, adapun neraka ialah jengkel, kecewa dalam hati. Bahwa surga neraka

terdapat dia akhirat. Itulah hal yang semata khayal tidak termakan akal.

086. Sesungguhnya, meurut ajaran Islam pun, surga dan neraka itu tidak kekal. Yang menganggap kekal surga

neraka itu adalah kalangan awam. Sesungguhnya mereka berdua wajib rusak dan binasa. Hanya Allah Dzat yang

wajib abadi, kekal, langgeng, dan azali.

087. Sesungguhnya, tempat kebahagian dan kemulian yang disebut swarga oleh orang-orang Hindu-Budha, di

dalam Islam disebut dengan nama Jannah (taman), yang bermakna tempat sangat menyenangkan yang di

dalamnya hanya terdapat kebahagian dan kegembiraan. Hampir mirip dengan swarga yang dikenal di dalam

Syiwa-Budha, di dalam Islam dikenal ada tujuh surga besar yang disebut ’alailliyyin,al-Firdaus, al-Adn, an-Na’im,

al-Khuld, al-Mawa, dan Darussalam. Di surga-surga itulah amalan orang-orang yang baik ditempatkan sesuai amal

ibadahnya selam hidup di dunia.

088. Sementara itu, tidak berbeda dengan ajaran Syiwa-Budha yang meyakini adanya Alam Bawah, yaitu neraka

yang bertingkat-tingkat dan jumlahnya sebanyak jenis siksaan, Islam pun mengajarkan demikian. Jika dalam

ajaran Syiwa-Budha dikenal ada tujuh neraka besar yaitu, Sutala, Wtala, Talata, Mahatala, Satala, Atala, dan

Patala. Maka dalam Islam juga dikenal tingkatan neraka yaitu, Jahannam, Huthama, Hawiyah, Saqar, Jahim, dal

Wail.

089. Sebetulnya yang disebut awal dan akhir itu berda dalam cipta kita pribadi, seumpama jasad di dalam

kehidupan ini sebelum dilengkapi dengan perabot lengkap, seperti umur 60 tahun, disitu masih disebut sebagai

awal, maka disebut masyriq (timur) yang maknanya mengangkat atau awal penetapan manusia, serta genapnya
hidup.

090. Yang saya sebut Maghrib (Barat) itu penghabisan, maksudnya saat penghabisan mendekati akhir, maksudnya

setelah melali segala hidup di dunia. Maka, sejatinya awal itu memulai, akhir mengakhiri. Jika memang bukan

adanya zaman alam dunia atau zaman akhirat, itu semua masih dalam keadaan hidup semua.

091. Untuk keadaan kematian saya sebut akhirat, hanyalah bentuk dari bergantinya keadaan saja. Adapun

sesungguhnya mati itu juga kiamat. Kiamat itu perkumpulan, mati itu roh, jadi semua roh itu kalau sudah

menjadi satu hanya tinggal kesempurnaannya saja.

092. Moksanya roh saya sebut mati, karena dari roh itu terwujud keberadaan Dzat semua, letaknya

kesempurnaan roh itu adalah musnahnya Dzat. Akan tetapi bagi penerapan ma’rifat hanya yang waspada dan

tepat yang bisa menerapkan aturannya. Disamping semua itu, sesungguhnya semuanya juga hanya akan kembali

kepada asalnya masing-masing.

093. Ketahuilah, bahwa surga dan neraka itu dua wujud, terjadinya dari keadaan, wujud makhluk itu dari

kejadian. Surga dan neraka sekarang sudah tampak, terbentuk oleh kejadian yang nyata.

094. Saya berikan kiasan sebagai tanda bukti adanya surga, sekarang ini sama sekali berdasarkan wujud dan

kejadian di dunia. Surga yang luhur itu terletak dalam perasaan hati yang senang. Tidak kurang orang duduk

dalam kereta yang bagus merasa sedih bahkan menangis tersedu-sedu, sedang seorang pedagang keliling

berjalan kaki sambil memikul barang dangangannya menyanyi sepanjang jalan. Ia menyanyikan berbagai macam

lagu dengan suara yang terdengar mengalun merdu, sekalipun ia memikul, menggendong, menjinjing atau

menyunggi barang dagangannya pergi ke Semarang. Ia itu menemukan surganya, karena merasa senang dan

bahagia. Ia tidur di rumah penginapan umum, berbantal kayu sebagai kalang kepala, dikerumuni serangga

penghisap darah, tetapi ia dapat tidur nyenyak.

095. Orang disurga segala macam barang serba ada, kalau ingin bepergian serba enak, karena kereta bendi

tersedia untuk mondar-mandir kemana saja. Tetapi apabila nerakanya datang, menangislah ia bersama istri atau

suaminya dan anak-anaknya.

096. Manusia yang sejati itu ialah yang mempunyai hak dan kekuasaan Tuhan yang Maha Kuasa, serta mandiri

diri pribadi. Sebagai hamba ia menjadi sukma, sedang Hyang Sukma menjadi nyawa. Hilangnya nyawa bersatu

padu dengan hampa dan kehampaan ini meliputi alam semesta.

097. Adanya Allah karena dzikir, sebab dengan berdzikir orang menjadi tidak tahu akan adanya Dzat dan sifat-

sifatnya. Nama untuk menyebut Hyang Manon, yaitu Yang Maha Tahu, menyatukan diri hingga lenyap dan terasa

dalam pribadi. Ya dia ya saya. Maka dalam hati timbul gagagasan, bahwa ia yang berdzikir menjadi Dzat yang

mulia. Dalam alam kelanggengan yang masih di dunia ini, dimanapun sama saja, hanya manusia yang ada. Allah

yang dirasakan adanya waktu orang berdzikir, tidak ada, jadi gagasan yang palsu, sebab pada hakikatnya adanya

Allah yang demikian itu hanya karena nama saja.


098. Manusia yang melebihi sesamanya, memiliki dua puluh sifat, sehingga dalam hal ini antara agama Hindu-

Budha Jawa dan Islam sudah campur. Di samping itu roh dan nama sudah bersatu. Jadi tiada kesukaran lagi

mengerti akan hal ini dan semua sangat mudah dipahami.

099. Manusia hidup dalam alam dunia ini hanya mengadapai dua masalah yang saling berpasangan, yaitu baik

buruk berpasangan dengan kamu, hidup berjodoh dengan mati, Tuhan berhadapan dengan hambanya.

100. Orang hidup tiada mersakan ajal, orang berbuat baik tiada merasakan berbuat buruk dan jiwa luhur tiada

bertempat tinggal. Demikianlah pengetahuan yang bijaksana, yang meliputi cakrawala kehidupan, yang tiada

berusaha mencari kemuliaan kematian, hidup terserah kehendak masing-masing.

101. Keadaan hidup itu berupa bumi, angkasa, samudra dan gunung seisinya, semua yang tumbuh di dunia,

udara dan angin yang tersebar di mana-mana, matahari dan bulan menyusup di langit dan keberadaan manusia

sebagai yang terutama.

102. Allah bukan johor manik, yaitu ratna mutu manikam, bukan jenazah dan rahasia yang gaib. Syahadat itu

kepalsuan.

103. akhirat di dunia ini tempatnya. Hidup dan matipun hanya didunia ini.

104. Bayi itu berasal dari desakan. Setelah menjadi tua menuruti kawan. Karena terbiasa waktu kanak-kanak

berkumpul dengan anak, setelah tua berkumpul dengan orang tua. Berbincang-bincanglah mereka tentang nama

sunyi hampa, saling bohong membohongi, meskipun sifat-sifat dan wujud mereka tidak diketahui.

105. Takdir itu tiada kenal mundur, sebab semuanya itu ada dalam kekuasaan Yang Murba Wasesa yang

menguasai segala kejadian.

106. Orang mati tidak akan merasakan sakit, yang merasakan sakit itu hidup yang masih mandiri dalam raga.

Apabila jiwa saya telah melakukan tugasnya, maka dia akan kembali ke alam aning anung, alam yang tentram

bahagia, aman damai dan abadi. Oleh karena itu saya tidak takut akan bahaya apapun.

107. Menurut pendapat saya. Yang disebut ilmu itu ialah segala sesuatu yang tidak kelihatan oleh mata.

108. Mana ada Hyang Maha Suci? Baik di dunia maupun di akhirat sunyi. Yang ada saya pribadi. Sesungguhnya

besok saya hidup seorang diri tanpa kawan yang menemani. Disitulah Dzatullah mesra bersatu menjadi saya.

109. Karena saya di dunia ini mati, luar dlam saya sekarang ini, yang di dalam hidupku besok, yang di luar

kematianku sekarang.

110. Orang yang ingin pulang ke alam kehidupan tidak sukar, lebih-lebih bagi murid Siti Jenar, sebab ia sudah

paham dengan mengusai sebelumnya. Di sini dia tahu rasanya di sana, di sana dia tahu rasanya di sini.

111. Tiada bimbang akan manunggalnya sukma, sukma dalam kehingan, tersimpan dati sanubari, terbukalah

tirai, tak lain antara sadar dan tidur, ibarat kaluar dari mimpi, menyusupi rasa jati.

112. Manusia tidak boleh memiliki daya atau keinginan yang buruk dan jelek.

113. Manusia tidak boleh berbohong.


114. Manusia tidak boleh mengeluarkan suara yang jorok, buruk, saru, tidak enak didengar, dan menyakiti orang

lain.

115. Manusia tidak boleh memakan daging (hewan darat, udara ataupun air).

116. Manusia tidak boleh memakan nasi kecuali yang terbuat dari bahan jagung.

117. Manusia tidak boleh mengkhianati terhadap sesama manusia.

118. manusia tidak boleh meminum air yang tidak mengalir.

119. Manusia tidak boleh membuat dengki dan iri hari.

120. Manusia tidak boleh membuat fitnah.

121. Manusia tidak boleh membunuh seluruh isi jagad.

122. manusia tidak boleh memakan ikan atau daging dari hewan yang rusuh, tidak patut, tidak bersisik, atau

tidak berbulu.

123. Bila jiwa badan lenyap, orang menemukan kehidupan dalam sukma yang sungguh nyata dan tanpa

bandingan. Ia dapat diumpamakan dengan isinya buah kamumu. Pramana menampilkannya manunggal dengan

asalnya dan dilahirkan olehnya.

124. tetapi yang kau lihat, yang nampaknya sebagai sebuah boneka penuh mutiara bercahaya indah, yang

memancarkan sinar-sinar bernyala-nyala, itu dinamakan pramana. Pramana itu kehidupan badan. Ia manunggal

dengan badan, tetapi tidak ambail bagian dalam suka dan dukanya. Ia berada di dalam badan.

125. Tanpa turut tidur dan makan tanpa menderita kesakitan atau kelaparan. Bila ia terpisah dari badan, maka

badan ikut tertinggal tanpa daya, lemah. Pramana itulah yang mampu mengemban rasa, karena ia dihidupi oleh

sukma. Kepadanya diberi anugrah mengemban kehidupan yang dipandang sebagai rahasia rasa nya Dzat.

126. Penggosokan terjadi karena digerakkan oleh agin. Dari kayu yang menjadi panas muncullah asap, kemudian

api. Api maupun asap keluar dari kayu. Perhatikanlah saat permulaan segala sesuatu, segala yang dapat diraba

dengan panca indera, keluar dari yang tidak kelihatan tersembunya…..

127. Ada orang yang menyepi dipantai. Mereka melakukan konsentrasi di tepi laut. Buka dua hal yang mereka

pikirkan. Hanya Pencipta semesta alam yang menjdai pusat perhatiannya. Karena kecewa belum dapat

berjumpa dengan-Nya, maka mereka lupa makan dan tidur.

128. Badan jasmani disebut cermin lahir, karena merupakan cermin jauh dari apa yang dicari dalam

mencerminkan wajah dia yan ber-paes. Cermin batin jauh lebih dekat.

129. Siang malam terus menerus mereka lakukan shalat. Dengan tiada hentinya terdengarlah pujian dan dzikir

mereka. Dan kadang mereka mencari tempat lain dan melakukan konsentrasi di kesunyian hutan. Luar biasalah

usaha mereka, hanya Penciptalahyang menjadi pusat pandangannya.

130. Badan cacat kita cela, keutamaan kerendahan hati kita puji, tetapi keadaan kita ialah digerakkan dan

didorong olek sukma. Tetapi sukma tidak tampak, yang nampak hanya adan.
131. Cermin batin itu bukanlah cermin yang dipakai orang-orang biasa. Cermin ini sangat istemewa, karena

mendekati kenyataan. Bila kau mengetahui badan yang sejati itulah yang dinamakan kematian terpilih.

132. Bila engkau melihat badanmu, Aku turut dilihat … Bila kau tidak memandang dirimu begitu, kau sungguh

tersesat.

133. Sukma tidak jauh dari pribadi. Ia tinggal di tempat itu jua. Ia jauh kalau dipandang jauh, tetapi dekat

kalau dianggap dekat. Ia tidak kelihatan, karean antara Dia dan manusia terdapat kekuadaan-Nya yang meresapi

segala-galanya.

134. Hyang Sukma Purba menyembunyikan Diri terhadap peglihatan, sehingga ia lenyap sama sekali dan tak

dapat dilihat. Kontemplasi terhadap Dia yang benar lenyap dan berhenti. Jalan untuk menemukan-Nya dilacak

kembali dari puncak gunung.

135. Tetapi Hyang Sukma sendiri tidak dapat dilihat. Cepat orang turun dari gunung dan dengan seksama orang

melihat ke kiri ke kanan. Namun Dia tidak ditemukan, hati orang itu berlalu penuh duka cita dan kerinduan.

136. Hendaklah waspada terhadap penghayatan roroning atunggil agar tiada ragu terhadap bersatunya sukma,

pengahayatan ini terbuka di dalam penyepian, tersimpan di dalam kalbu. Adapun proses terungkapnya tabir

penutup alam gaib, laksana terlintasnya dlam kantuk bagi orang yang sedang mengantuk. Penghayatan gaib itu

datang laksana lintasan mimpi. Sesungguhnya orang yang telah menghayati semacam itu berarti telah menerima

anugrah Tuhan. Kembali ke alam sunyi. Tiada menghiraukan kesenangan duniawi. Yang Maha Kuasa telah

mencakup pada dirinya. Dia telah kembali ke asal mulanya…..

137. Mati raga orang-orang ulama yang mengundurkan diri di dalam kesunyian hutan ialah hanya memperhatikan

yang satu itu tanpa membiarkan pandangan mereka menyinpang. Mereka tidak menghiraukan kesukaran tempat

tinggal mereka hanya Dialah yang melindungi badan hidup mereka yang diperlihatkan. Tak ada sesuatu yang lain

yang mereka pandang, hanya Sang Penciptalah yang mereka perhatikan.

138. Yang menciptakan mengemudi dunia adalah tanpa rupa atau suara. Kalbu manusia yang dipandang sebagai

wisma-Nya. Carilah Dia dengan sungguh-sungguh, jangan sampai pandanganmu terbelah menjadi dua.

Peliharalah baik-baik iman kepercayaanmu dan tolaklah hawa nafsumu.

139. Bila kau masih menyembah dan memuji Tuhan dengan cara biasa, kau baru memiliki pengetahuan yang

kurang sempurna. Jangan terseyum seolah-olah kau sudah mengerti, bila kau belum mengetahui ilmu sejati. Itu

semua hanya berupa tutur kata. Adapun kebenaran sejati ialah meninggalkan sembah dan pujian yang

diungkapkan dengan kata-kata.

140. Sembah dan puji sempurna ialah tidak memandang lagi adanya Tuhan, serta mengenai adanya sendiri tidak

lagi dipandang. Papan tulis dan tulisan sudah lebur, kualitas tak ada lagi. Adamu tak dapat diubah. Lalu apa

yang masih mau dipandang. Tiadak ada lagi sesuatu. Maklumilah.

You might also like