You are on page 1of 6

Keadilan dan Kejujuran Dari Hati Akan Menjawab Permasalahan Pendidikan

Papua
Seandainya "mental dan moral" para birokrat yang ada di Papua mulai dari Gubernur dan DPRP
Papua sebagai pengambil kebijakan sampai pelaksana teknis seperti Kepala Sekolah untuk
lingkungan sekolah "baik/jujur/adil " maka ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan terutama
dalam meningkatkan mutu pendidikan di papua yang nantinya akan lahir SDM Papua yang
handal.

Ada lima faktor yang perlu menjadi perhatikan dan dilaksanakan dengan dukungan data yang
akurat,perencanaan yang baik,pelaksanaan tanpa famrih serta evaluasi dan monitoring yang baik
yaitu :

Pertama siswa "siswa sebelum masuk TK/SD (0-4 Tahun)"

artinya anak selama masih berada dilingkungan keluarga sangat dibutuhkan pengasuhan terutama
gizi (tidak terlepas dari ekonomi) dan simulasi pendidikan sesuai tahapan perkembangan anak
atau pendidikan anak usia dini (PAUD). Ini dapat dilakukan dengan membentuk kelompok-
kelompok bermain,taman Penitian Anak dan PAUD sejenisnya seperti Pos yandu,sekolah
minggu,dan lain-lain. Bisa juga melalui sosialisasi tentang PAUD kepada para orang tua
sehingga sejak anak itu masih berada di lingkungan keluarga anak tersebut sudah bisa mendapat
pendidikan PAUD oleh orang tua. Karena anak usia 0-4 tahun ini adalah masa emas bagi anak
dalam membentuk kecerdasan dan karakter anak. Bahkan menurut penelitian Neurologi anak
usia 0-6 tahun separuh kecerdasan anak 80% akan terbentuk pada usia dini.

Kedua adalah Guru/Tenaga Pendidik dan Kependidikan Formal dan Nonformal.

Masalah guru sangat pital dalam dunia pendidikan.Andai sebuah sekolah memiliki fasilitas
sekolah ,lab biologi,komputer,bahasa inggris,kimia, perpustakaan, gedung sekolah mewah, guru
lengkap dengan kualifikasi pendidikan Sarjana (S1) Pendidikan misalnya tetapi kompetensi
masih di bawah standar apa mutu pendidikan akan terjamin?Apalagi guru dengan kualifikasi
sarjana (S1) bukan pendidikan (sosial) yang justru belakangan ini mendominasi semua satuan
pendidikan mulai dari TK s.d SMU yang ada di Papua. Apalagi guru yang di angkat PNS dengan
ijasah palsu pada hal SMP saja belum lulus, ini perlu diperhatikan dan mau kemana pendidikan
kita di Papua ini. Hal-hal seperti ini perlu menjadi perhatian serius oleh Pemerintah Daerah dan
perlu ada terobosan baru untuk mengatasi masalah guru baik kompetensi dan kesejahteraannya.

Ketiga adalah Fasilitas sekolah.

Fasilitas juga perlu. Tapi fasilitas apa dulu?


Gedung sekolah, buku pelajaran sesuai kurikulum, alat-alat pembelajaran seperti papan
tulis,kapur tulis, kursi dan meja belajar harus jelas dulu. Untuk konteks papua yang perlu
diperhatikan adalah kompetensi guru, jika guru itu profesional dan memiliki kompetensi
misalnya profesional dalam bidang biologi, di papua tidak susah untuk bahan bahan yang
langsung digunakan praktek di alam tidak perlu teori-teori di kelas yang mewah, atau
matematikan/fisika semua bahan pembelajaran ada dan tersedia di alam papua,sekarang
pertanyaannya apa guru bisa memanfaatkan itu dalam proses belajar mengajar dengan anak-anak
papua atau tidak?

Ke empat Kurikulum

Menurutku kurikulum tidak ada masalah , jika guru sudah profesional dan memiliki kompetensi
sesuai bidang studinya. Setiap hari terjadi pergantian kurikulumpun tidak jadi masalah. Guru
akan mampu untuk menyesuaikan dengan pergantian kurikulum dalam mengimplementasikan
dalam proses belajar mengajar di sekolah.

Ke lima lingkungan.

Partisipasi masyarakat juga sangat menentukan dalam memajukan pendidikan di Papua. Perlu
ada sosialisasi kepada masyarakat betapa pentingnya dukungan masyarakat dalam peningkatan
dan memajukan mutu pendidikan di Papua. (Yanus)
06:50 Posted in Pendidikan Papua | Permalink | Comments (0) | Email this | Tags: Seputar
Masalah dan Solusi Pendidikan di TanaH Papua
11/07/2007
Nilai Pedagogis Paulo Freire dan Masa Depan Pendidikan Papua
Sabtu, 04-08-2007 15:25:34 oleh: Yermias Ignatius Degei
Kanal: Opini

Pendidikan di tanah Papua nampaknya sudah tidak berhasil ditinjau dari aspek pedagogis.
Terutama ketika terjadi peralihan kekuasaan tanah Papua dari tangan Belanda ke Indonesia.
Dunia pendidikan Papua kering dari aspek pedagogis, dan sekolah nampak lebih mekanis
sehingga seorang anak sekolah cenderung kerdil karena tidak memunyai dunianya sendiri.
Untuk itu, diperlukan adanya satu upaya baru dalam menjalankan proses pembelajaran. Baru,
dalam pengertian berbeda dari yang selama ini melembaga dalam dunia pendidikan di tanah
Papua. Salah satu metode pendidikan yang dinilai tepat dijalankan di situasi daerah seperti Papua
adalah konsep pendidikan Paulo Freire yang dikenal dengan pendidikan proses pembebasan.

Paulo Freire?
Paulo Freire (lihat profil di arsip artikel http://pendidikanpapua.blogspot.com/) menemukan
jawaban dari sebuah pikiran kreatif dan hati nurani yang peka atas kesengsaraan dan penderitaan
luar biasa di sekitarnya. Kondisi ketertindasan di daerahnya cukup menggambarkan pola
keumuman praktek pendidikan di dunia ketiga. Daerah yang tertindas dari segala sisi itulah
tumbuh kebudayaan bisu. Paulo Freire mengungkapkan bahwa proses pendidikan -dalam hal ini
hubungan guru-murid- di semua tingkatan identik dengan watak bercerita. Murid lebih
menyerupai bejana-bejana yang akan dituangkan air (ilmu) semau gurunya. Karenanya,
pendidikan seperti ini menjadi sebuah kegiatan menabung. Murid sebagai "celengan" dan guru
sebagai "penabung".
Secara lebih spesifik, Freire menguraikan beberapa ciri dari pendidikan yang disebutnya model
pendidikan "gaya bank" tersebut adalah: "Guru mengajar, murid diajar", "Guru mengetahui
segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa", "Guru berpikir, murid dipikirkan", "Guru bercerita,
murid mendengarkan", "Guru menentukan peraturan, murid diatur", "Guru memilih dan
memaksakan pilihannya, murid menyetujui", "Guru berbuat, murid membayangkan dirinya
berbuat melalui perbuatan gurunya", "Guru memilih bahan dan ini pelajaran, murid (tanpa
diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu", " Guru mencampuradukan
kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi
kebebasan murid", "Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka"
Sebagai jawaban atas pendidikan gaya bank tersebut, Freire menawarkan bahwa sesungguhnya
pendidikan semestinya dilakukan secara dialogis. Proses dialogis ini merupakan satu metode
yang masuk dalam agenda besar pendidikan Paulo Freire yang disebutnya sebagai proses
penyadaran (pendidikan pembebasan).
Pendidikan Papua Sungguh Anti Realitas
Pendidikan Papua tidaklah berangkat dari satu realitas masyarakat. Memang jauh dari realitas.
Rakyat Papua ada di kampung-kampung dan bekerja di kebun. Tetapi, kenyataan tersebut tidak
dipahami dengan baik di setiap jenjang pendidikan di Papua. Apakah dalam proses pembelajaran
maupun dalam kegiatan riset. Sehingga yang hasil dari proses pendidikan adalah konsep. Hasil
belajar diterapkan langsung untuk keberlangsungan hidup. Padahal pendidikan hakikatnya adalah
untuk hidup.
Contoh kasus pendidikan anti realitas dalam pembelajaran di Papua. Anak -anak SD di Papua
harus belajar tentang Kereta, Becak, Siti, Budi, dan lain-lain (pembelajaran Jawa sentries) yang
tidak ada di sekitarnya. Siswa yang baru berkembang itu tidak melihat langsung di sekitarnya
tentang apa yang dia belajar itu. Semuanya adalah barang-barang yang berada di luar realitas
kehidupan.
Nah...dalam konteks ini, sebagai anak yang baru berkembang, secara psikologis dia selalu berada
dalam situasi stres. Kita tidak dapat melihat. Mengapa? Karena apa yang dia belajar adalah
sesuatu yang abstrak (tidak dapat lihat di sekitarnya). Teman mainnya, tidak ada yang namanya
Siti dan Budi. Yang ada adalah nama-nama seperti Kris, Natalis dan lain-lain. Apalagi nama-
nama benda, gunung dan nama-nama kota adalah sungguh jauh dari kehidupannya. Cara berpikir
anak umur SD adalah mekanis, bukan analitis. Jadi, ini adalah kasus pendidikan yang anti
realitas dan terkesan politis.
Contoh lainnya dapat kita cermati dalam pendidikan agama di persekolahan. Pendidikan agama
diajarkan secara antirealitas. Padahal pluralitas kehidupan beragama kita merupakan realitas
yang tidak perlu dipungkiri lagi. Pendidikan agama masih diajarkan sebagai bagian dari usaha
seseorang untuk memonopoli Tuhan dan kebenaran, dan dengan sendirinya menghakimi orang
lain yang berbeda agama dengannya. Akibatnya, realitas kehidupan beragama kita kurang
berfungsi sebagai pengikat persaudaraan dan membantu menumbuhkan kearifan dan sikap
rendah hati untuk saling menghormati dan saling memahami perbedaan yang ada. Pada akhirnya,
pluralitas kehidupan beragama lebih cenderung menjadi penyebab konflik yang tak habis-
habisnya.

Tanah Papua yang katanya kaya raya itu, relitas ekonomi rakyat masih berada dalam kategori
miskin dan terbelakang. Realitas ini tidak pernah dijadikan bahan pijakan untuk menentukan
pmbangunan pendidikan di tanah Papua. Sekolah di Papua lebih mirip sebagai industri kapitalis
daripada sebagai pengemban misi sosial kemanusiaan dalam mencerdaskan kehidupan rakyat.
Sementara untuk sekolah tinggi di Papua lebih mirip toko kelontong. Perguruan Tinggi yang
bermunculan di Papua kini berkeping-keping dengan membuka sekaligus menawarkan aneka
program studi jangka pendek dan program ekstensi. Tujuannya jelas, penjualan kelontong itu
lebih berorientasi profit (mengejar keuntungan materi) ketimbang pengembangan ilmu untuk
kehidupan rakyat yang lebih baik.

Fungsi sekolah masa lalu yang mengemban misi agung sebagai pencerdas kehidupan bangsa,
kini tak ubahnya lahan bisnis untuk memperoleh keuntungan. Otonomi Khusus yang berjalan
selama enam tahun di Papua ternyata gagal membangun pendidikan untuk kehidupan rakyat
Papua.
Hanya kelompok elit sosial-lah yang yang mendapatkan pendidikan cukup baik. Anak-anak dari
keluarga miskin tidak bisa sekolah sekalipun tingkat SMA. Padahal uang Otonomi Khusus
berkelimpahan di Papua. Katanya. Kaum miskin menjadi kaum marjinal secara terus-menerus.
Merekalah yang disebut Paulo Freire sebagai "korban penindasan".
Proses penindasan yang sudah mewabah dalam berbagai bidang kehidupan semakin mendapat
legitimasi lewat sistem dan metode pendidikan yang paternalistik, murid sebagai obyek
pendidikan, instruksional dan anti dialog. Dengan demikian, pendidikan pada kenyataannya tidak
lain daripada proses pembenaran dari praktek-praktek yang melembaga. Secara ekstrim Freire
menyebutkan bahwa sekolah tidak lebih dari penjinakan. Digiring ke arah ketaatan bisu, dipaksa
diam dan keharusannya memahami realitas diri dan dunianya sebagai kaum yang tertindas. Bagi
kelompok elit sosial, kesadaran golongan tertindas membahayakan keseimbangan struktur
masyarakat hierarkis piramidal.

Pendidikan Papua Harus Dialogis dan Hadap Masalah


Penerapan metode pendidikan konvensional, anti dialog, proses penjinakan, pewarisan
pengetahuan, dan tidak bersumber pada satu realitas masyarakat, maka orang Papua harus
merefleksikannya. Ini agenda mendesak di era Otonomi Khusus. Pendidikan Papua harus
berangkat dari proses dialogis antar sesama subyek pendidikan. Dialog yang lahir sebagai buah
dari pemikiran kritis sebagai refleksi atas realitas. Hanya dialoglah yang menuntut pemikiran
kritis dan melahirkan komunikasi.
Tanpa komunikasi tidak akan mungkin ada pendidikan sejati. Sebagai respon atas praktek
pendidikan anti realitas, Freire mengharuskan bahwa pendidikan harus diarahkan pada proses
hadap masalah. Titik tolak penyusunan program pendidikan atau politik harus beranjak dari
kekinian, eksistensial, dan kongkrit yang mencerminkan aspirasi-aspirasi rakyat. Program
tersebut diharapkan akan merangsang kesadaran rakyat dalam menghadapi tema-tema realitas
kehidupan. Hal ini sejalan dengan tujuan pembebasan dari pendidikan dialogis. Pendidikan yang
membebaskan, menurut Freire, agar manusia merasa sebagai tuan bagi pemikirannya sendiri.
Jadi, pendidikan yang harus dibangun di Papua saat ini adalah dialog dan hadap masalah.
Sehingga, dalam konteks Papua, rakyat Papua menjadi tuan di atas tanahnya sendiri.

Masa Depan Pendidikan Papua


Pendidikan untuk masa depan Papua haruslah dibebaskan dari suasana bisnis, agen perpanjangan
kapitalisme gaya baru: kapitalisme pendidikan, dan tentu saja politisasi. Budaya pura-pura harus
kita hilangkan. Sudah realitasnya seperti itu, pendidikan yang dibangun jauh dari realitas yang
sudah dia lihat. Jangan pura-pura tidak tahu dan tidak melihat. Kurikulum pendidikan di Papua
harus berangkat dari realitas rakyat Papua saat ini, penataan kembali pendidikan agama,
penanaman demokrasi dan menumbuhkan pemikiran kritis. Karena tujuan pendidikan juga bukan
hanya kognitif semata, maka tinjauan apektif dan psikomotorik harus pula dijadikan bahan acuan
dalam menjalankan proses pendidikan. Pendidikan harus berangkat dan memupuk keterampilan
sosial dan keterampilan hidup.

Masa depan rakyat dan tanah Papua tergantung dari sekarang. Otonomi Khusus telah berjalan
enam tahun, tetapi belum menampakkan wajah perubahan pendidikan di tanah Papua. Tahun
depan (2008) Otonomi Khusus akan berumur tujuh tahun. Tahun berikutnya lagi akan berumur
delapan tahun dan seterusnya sampai masa 25 tahun Otonomi Khusus itu akan habis, lalu apa?
Jadi, kewenangan pembangunan pendidikan di tanah Papua yang atur melalui Undang-Undang
Otonomi Khusus itu benar-benar harus digunakan untuk membangun rakyat Papua di atas tanah
mereka.
Orang-orang yang akan duduk di Dewan Pendidikan Papua yang telah dibentuk itu, kiranya
menjadi dewan yang benar-benar berpikiran kreatif, berhati nurani yang peka atas kesengsaraan
dan penderitaan luar biasa di sekitarnya. Harapannya adalah pendidikan yang dibangun di tanah
Papua benar-benar dialogal dan hadap masalah-masalah, sehingga rakyat menyadari dirinya,
sesamanya, lingkungannya, dan masa depannya. Ini bukan zamannya lagi, rakyat Papua tidak
menyadari dirinya, sesamanya, lingkungannya, masa depannya. Karena memang bukan kodrat
menjadi budak di atas tanah yang menghasilkan susu dan madu. Ini menyedihkan.***
08:30 Posted in Pendidikan Papua | Permalink | Comments (0) | Email this
11/03/2007
'UNICEF Menganjurkan Pemberian ASI Setengah Jam Setelah Melahirkan'
Kamis, April 05, 2007

Badan dunia bidang anak-anak, UNICEF, menganjurkan kaum ibu di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) agar memberikan Air Susu Ibu (ASI) kepada bayinya berselang setengah jam
setelah melahirkan.

"Susu pertama yang keluar dari ibu itu kaya akan zat gizi dan memiliki zat anti bodi yang dapat
melindungi bayi dari serangan penyakit," kata Kepala Unicef Aceh-Nias, Edouard Beigbeder,
pada kegiatan pekan ASI sedunia 2006 di Puskesmas Ulee Kareng, Kota Banda Aceh, Kamis.

Ia menyatakan, bayi dapat diberi makanan tambahan setelah enam bulan kemudian, namun tidak
boleh lupa bahwa pemberian ASI itu tetap dilanjutkan sampai anak berusia dua tahun.

Kampanye satu bulan meningkatkan kesehatan dan gizi anak pekan ASI sedunia 2006 itu juga
dirangkaikan dengan peringatan satu tahun penandatanganan nota kesepakatan damai (MoU)
antara Pemerintah RI-GAM di Helsinki, 15 Agustus 2005.

Dalam kampanye pekan ASI sedunia yang melibatkan Dinas Kesehatan Provinsi NAD
bekerjasama dengan UNICEF, juga digelar kegiatan bakti sosial berupa khitanan massal di
seluruh kabupaten/kota di provinsi NAD.

Direncanakan, sebanyak 2.100 anak dari keluarga kurang mampu (termasuk anak yatim) akan
dikhitan. Khitanan massal sudah berlangsung sejak 7 hingga 15 Agustus 2006.

Selain itu, sebanyak 550 ribu anak di Aceh akan mendapatkan kapsul vitamin A dan 420 ribu
anak (24 - 59 bulan) diberi tablet anti cacing, albendozal.

Sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional, CARE menyebutkan setidaknya 40


persen anak balita di Aceh menderita penyakit cacing.

Sementara, Kepala Dinas Kesehatan provinsi NAD, T Anjar Asmara, menyatakan, di daerahnya
terdapat enam kasus Xeropthalmia, yakni di kecamatan Kota Fajar, Kabupaten Aceh Selatan.
Ia menyebutkan, kurangnya `intake` gizi, tidak diberikannya vitamin A, adanya penyakit infeksi
serta kondisi sosial ekonomi masyarakat yang masih rendah merupakan faktor penyebab yang
berkaitan satu dengan lainnya.

Oleh karena itu, katanya, pemberian kapsul vitamin A dapat meningkatkan daya tahan tubuh
anak dan mencegah kebutaan.

Penelitian kesehatan dan gizi yang dilaksanakan pada bulan Agustus - September 2005 yang lalu,
memperlihatkan bahwa 8,9 persen anak-anak balita di NAD mengalami gizi buruk (malnutrisi).

"Mari kita galakkan pemberian ASI sesegera mungkin untuk bayi dan jangan ditunda sampai
berhari-hari kemudian," kata Anjar Asmara.

Kampanye pekan ASI 2006 bertema `Pengawasan Kode International, 25 tahun mendukung
ASI`, itu diharapkan menyemangati pembuat keputusan di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota,
dalam membuat kebijakan yang mendukung ASI serta melakukan pengawasan terhadap promosi
susu formula.

Secara nasional, diketahui bahwa hanya 40 persen ibu memberi ASI kepada bayi mereka,
sementara menurut penelitian Kesehatan Indonesia tahun 2002 disebutkan bahwa balita
Indonesia hanya diberi ASI selama kurang dari dua bulan. antara/pur

Sumber: http://www.republika.co.id/

You might also like