You are on page 1of 25

LAPORAN KASUS

PERIAPENDIKULER INFILTRAT (PAI)

Nama : Nasrullah
NIM : H1A 004039

KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/ SMF BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB
2009

1
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. “S”
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 60 tahun
Alamat : Babakan Timur Cakra
Pekerjaan :-
MRS : 01 April 2009/ 23.00 WITA
Tgl pemeriksaan : 02 April 2009/ 07.30 WITA

II. Anamnesa
Keluhan utama : Nyeri perut kanan bawah.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluh nyeri pada perut kanan bawah sejak 4 hari yang lalu. Nyeri
awalnya dirasakan di daerah ulu hati, lama kelamaan rasa nyeri dirasakan makin
tajam dan menjalar sampai ke perut kanan bawah. Nyeri dirasakan terus menerus
dan nyeri terasa hebat sehingga menyebabkan pasien tidak bisa beraktivitas dan
sulit untuk tidur. Nyeri bertambah hebat apabila pasien berjalan, BAB serta
duduk. Keluhan ini disertai mual, muntah (1x) dan nafsu makan menurun.
Benjolan pada perut kanan bawah disadari pasien sejak 2 hari yang lalu. Riwayat
panas badan (+), naik turun. BAB (-) sejak 2 hari yang lalu. BAK lancar. BAB/
BAK terasa sakit/ panas.
Riwayat penyakit dahulu :
Pasien mengatakan pernah mengalami keluhan yang sama pada tanggal 9
Maret 2009. Riwayat alergi terhadap obat maupun makanan tidak ada.
Riwayat penyakit keluarga :
Tidak ada keluarga yang menderita hal serupa.
Riwayat pengobatan sebelumnya :
Pasien mengaku selama sakit pernah berobat ke Puskesmas dan diberi obat
minum serta disarankan untuk banyak minum air putih dan sejak 1 minggu yang
lalu melakukan kontrol ke dokter praktek swasta dan disarankan untuk kontrol
lagi ke RSU Prov. NTB.

2
III. Pemeriksaan Fisik
Status generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : E4V5M6
A. Tanda vital :
 Tekanan darah: 130/70 mmHg
 Nadi : 84x/ menit
 Respirasi : 18x/ menit
 Suhu aksila : 36,9 0C

B. Pemeriksan Fisik Umum :


a. Kepala-leher :
Kepala : bentuk simetris, deformitas (-).
Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-
Leher : Pembesaran KGB (-), massa (-).

b. Thorax-Cardiovascular :
Inspeksi : Bentuk dada simetris, retraksi (-), sela iga dalam batas normal.
Palpasi : gerakan dinding dada simetris, iktus kodis (+)
Perkusi : paru : sonor ; jantung : pekak.
Auskultasi : Cor : S1S2 regular, tunggal, murmur (-).
Pulmo : suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-.

c. Abdomen-Pelvic-Inguinal :
Inspeksi : Distensi (+), Daram Contour (-), darm steifung (-), tampak
peninggian pada kuadran kanan bawah, hiperemi (-), jejas (-)
Auskultasi : BU (+) N.
Palpasi : defans muskular (+), Rovsing sign (+), Blumberg sign (+),
Nyeri tekan titik Mc Burney (+), nyeri lepas (+), Teraba
massa pada kuadran kanan bawah uk. 5x3 cm, konsistensi
padat, permukaan rata dan tidak berbenjol-benjol, hepar dan
lien tidak teraba, ginjal tidak teraba.

3
Perkusi : Timpani pada semua kuadran kecuali pada lokasi massa
(redup).
Pelvic : Tampak normal, tidak ada benjolan, tidak teraba massa, nyeri
tekan suprapubik (-).
Inguinal : tidak tampak kelainan pada sisi kanan dan kiri, tidak ada
benjolan, tidak teraba massa, pembesaran KGB (-), nyeri
tekan (-).

d. Uro-genital :
 Penis : kulit dalam batas normal, OUE (+) pada glans penis.
 Scrotum : kulit dalam batas normal, testis (+) konsistensi kenyal.
 Hematuria (-).

e. Anal-perianal :
RT : tonus spincter ani adekuat, mukosa rectum licin, massa (-), nyeri (+),
pembesaran prostat (-), pemukaan rata, simetris, sulcus teraba, bagian atas
teraba. Sarung tangan: feses (+), lendir (-), darah (-)..
f. Ekstremitas atas-axilla :
Deformitas -/-, edema -/-, akral hangat, pembesaran KGB (-).
g. Ekstremitas bawah :
Deformitas -/-, edema -/-, akral hangat.

C. Pemeriksan Fisik lokal (Status lokalis) :


Abdomen
Inspeksi : Distensi (+), Daram Contour (-), darm steifung (-), tampak
peninggian pada kuadran kanan bawah, hiperemi (-), jejas (-)
Auskultasi : BU (+) N.
Palpasi : defans muskular (+), Rovsing sign (+), Blumberg sign (+), Nyeri
tekan titik Mc Burney (+), nyeri lepas (+), Teraba massa pada
kuadran kanan bawah uk. 5x3 cm, konsistensi padat, permukaan
rata dan tidak berbenjol-benjol, hepar dan lien tidak teraba, ginjal
tidak teraba.

4
Perkusi : Nyeri ketok (+) pada kuadran kanan bawah, timpani pada semua
kuadran kecuali pada lokasi massa (redup).
Pemeriksaan Khusus
Rovsing sign (+), Blumberg sign (+), Psoas sign (-), Obturator sign (+), Tenhorn
Sign (-)

IV. Resume
a. Anamnesa
Pasien laki-laki umur 60 tahun datang dengan keluhan nyeri pada perut kanan
bawah sejak 4 hari yang lalu. Nyeri awalnya dirasakan di daerah ulu hati, lama
kelamaan rasa nyeri dirasakan makin tajam dan menjalar sampai ke perut
kanan bawah. Nyeri dirasakan terus menerus dan nyeri terasa hebat sehingga
menyebabkan pasien tidak bisa beraktivitas dan sulit untuk tidur. Nyeri
bertambah hebat apabila pasien berjalan, BAB serta duduk. Keluhan ini
disertai mual, muntah (1x) dan nafsu makan menurun. Benjolan pada perut
kanan bawah disadari pasien sejak 2 hari yang lalu. Riwayat panas badan (+),
naik turun. BAB (-) sejak 2 hari yang lalu. BAK lancar. BAB/ BAK terasa
sakit/ panas. Pasien pernah mengalami keluhan yang sama pada tanggal 9
Maret 2009. Riwayat pengobatan (+) namun tidak menunjukkan perbaikan.
b. Pemeriksaan fisik
Abdomen
Inspeksi : Distensi (+), Daram Contour (-), darm steifung (-), tampak
peninggian pada kuadran kanan bawah, hiperemi (-), jejas (-)
Auskultasi : BU (+) N.
Palpasi : defans muskular (+), Rovsing sign (+), Blumberg sign (+), Nyeri
tekan titik Mc Burney (+), nyeri lepas (+), Teraba massa pada kuadran kanan
bawah uk. 5x3 cm, konsistensi padat, permukaan rata dan tidak berbenjol-benjol,
hepar dan lien tidak teraba, ginjal tidak teraba.
Perkusi : Timpani pada semua kuadran kecuali pada lokasi massa (redup).
Pemeriksaan Khusus
Rovsing sign (+), Blumberg sign (+), Obturator sign (+)

V. Diagnosis
Periapendikular infiltrat (PAI)
5
VI. Diagnosis Banding
- Tumor sekum
- Tumor ileum
- Appendisitis akut

VII. Usulan Pemeriksaaan untuk


- Diagnosis : USG abdomen.
- Rencana terapi : DL, UL, BT, CT, GDS

VIII. Rencana Tindakan


- Antibiotik
- Analgetik
- Apendektomi

IX. Prognosis
Baik.

6
DISKUSI KASUS

Periapendikular infiltrat (PAI) adalah proses radang apendiks yang penyebarannya


dapat dibatasi oleh omentum dan usus-usus dan peritoneum disekitarnya sehingga
membentuk massa (appendiceal mass). Umumnya massa apendiks terbentuk pada hari
ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum. Massa apendiks
lebih sering dijumpai pada pasien berumur lima tahun atau lebih karena daya tahan
tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum telah cukup panjang dan tebal untuk
membungkus proses radang.
Periapendikular infiltrat (PAI) merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini
merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup
apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular.
Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika
tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang
untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding
apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena
telah ada gangguan pembuluh darah.
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya
tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale dan
juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses
peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan
timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup kuat
menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu pendeita harus
benar-benar istirahat (bedrest).

Diagnosis klinis
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik masih merupakan dasar diagnosis  apendisitis
dan komplikasinya. Penegakkan diagnosis terutama didasarkan pada riwayat penyakit
dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan tambahan hanya  dikerjakan bila ada keragu-raguan
atau untuk menyingkirkan diagnosis. Kesalahan diagnosis lebih sering terjadi pada
perempuan dibanding laki-laki, perempuan dua kali lebih banyak mempunyai apendiks
normal daripada laki-laki dalam kasus apendektomi, Hal-hal penting yang dapat

7
membantu penegakkan diagnosis apendisitis akut adalah bahwa apendisitis biasanya
mempunyai perjalanan akut atau cepat. Dalam beberapa jam sudah timbul gejala atau
bahkan memburuk oleh karena nyeri, penderita biasanya cenderung mempertahankan
posisi untuk tidak bergerak. Penderita tampak apatis dan menahan nyeri. Oleh karena
nyeri yang sangat, penderita segera dibawa ke rumah sakit. 

Gejala Klinis
Periapendikular infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang kemudian
disertai adanya massa periapendikular. Gejala klasik apendisitis akut biasanya bermula
dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah
dan anoreksia. Dalam 2-12 jam nyeri beralih kekuadran kanan, yang akan menetap dan
diperberat bila berjalan atau batuk. Nyeri menetap dan terus menerus, tapi tidak begitu
berat dan diikuti dengan kejang ringan didaerah epigastrium, kadang diikuti pula
dengan muntah, kemudian beberapa saat nyeri pindah ke abdomen kanan bawah. Nyeri
menjadi terlokalisir, yang menyebabkan ketidakenakan waktu bergerak, jalan atau
batuk. Penderita kadang juga mengalami konstipasi. Sebaliknya karena ada gangguan
fungsi usus bisa mengakibatkan diare, dan hal ini sering dikacaukan dengan
gastroenteritis acute. Penderita appendicitis acute biasanya ditemukan ditemukan
terbaring di tempat tidur serta memberkan penampilan kesakitan. Mudah tidaknya
gerakan penderita untuk menelentangkan diri merupakan tanda ada atau tidaknya
rangsang peritoneum ( somatic pain).
Pemeriksaan pada abdomen kanan bawah, menghasilkan nyeri terutama bila penderita
disuruh batuk.. Pada palpasi dengan satu jari di regio kanan bawah ini, akan teraba
defans musculer ringan . Tujuan palpasi adalah untuk menentukan apakah penderita
sudah mengalami iritasi peritoneum atau belum. Pada pemeriksaan auskultasi,
peristaltik usus masih dalam batas normal, atau kadang sedikit menurun. Suhu tubuh
sedikit naik, kira-kira 7,8 der.C, pada kasus appendix yang belum mengalami
komplikasi. Nyeri di epigastrium kadang merupakan awal dari appendicitis yang
letaknya retrocaecal/ retroileal Untuk appendix yang terletak retrocaecal tersebut,
kadang lokasi nyeri sulit ditentukan bahkan tak ada nyeri di abdomen kanan bawah.
Karena letak appendix yang dekat dengan uretra pada lokasi retrocaecal ini, sehingga
menyebabkan frekuensi urinasi bertambah dan bahkan hematuria. Sedang pada
appendix yang letaknya pelvical, kadang menimbulkan gejala seperti gastroenteritis
akut.
8
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif ditandai dengan:
1. keadaan umum pasien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi;
2. pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas terdapat
tanda-tanda peritonitis;
3. laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat
pergeseran ke kiri.
Massa apendiks dengan proses radang yang telah mereda dengan ditandai dengan
1. keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak tinggi
lagi;
2. pemeriksaan lokal abdomen tenang, tidak terdapat tanda-tanda peritonitis dan hanya
teraba massa dengan batas jelas dengan nyeri tekan ringan
3. laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.

Untuk appendisitis akut yang telah mengalami komplikasi, misal perforasi, peritonitis
dan infiltrat atau abses, gejala klinisnya seperti dibawah ini (Ellis, 1989).
1. Perforasi :
Terjadi pada 20% penderita terutama usia lanjut. Rasa nyeri bertambah dasyat dan
mulai dirasa menyebar, demam tinggi (rata-rata 38,3 der. C). Jumlah lekosit yang
meninggi merupakan tanda khas kemungkinan sudah terjadi perforasi.
 
2.  Peritonitis :
Peritonitis lokal merupakan akibat dari mikroperforasi dari appendicitis yang telah
mengalami gangrene. Sedangkan peritonitis umum adalah merupakan tindak lanjut
daripada peritonitis lokal tersebut. Bertambahnya rasa nyeri, defans musculer yang
meluas, distensi abdomen, bahkan ileus paralitik, merupakan gejala-gejala peritonitis
umum. Bila demam makin tinggi dan timbul gejala-gejala sepsis, menunjukkan
peritonitis yang makin berat.
 
3.  Abses / infiltrat :
Merupakan akibat lain dari perforasi. Teraba masa lunak di abdomen kanan bawah.
Seperti tersebut diatas karena perforasi terjadilah “walling off” (pembentukan
dinding) oleh omentum atau viscera lainnya, sehingga terabalah massa (infiltrat) di
regio abdomen kanan bawah tersebut. Masa mula-mula bisa berupa plegmon,
kemudian berkembang menjadi rongga yang berisi pus. Dengan USG bisa dideteksi
9
adanya bentukan abses ini. Untuk massa atau infiltrat ini, beberapa ahli
menganjurkan antibiotika dulu, setelah 6 minggu kemudian dilakukan
appendektomi. Hal ini untuk menghindari penyebaran infeksi.

Anamnesis  
·    Nyeri / Sakit perut
Ini terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi, dan terjadi pada
seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut ( tidak
pin-point). Mula-mula daerah epigastrium kemudian menjalar ke Mc Burney. Apa
bila telah terjadi inflamasi ( > 6 jam ) penderita dapat menunjukkan letak nyeri,
karena bersifat somatik. 
Gejala utama apendisitis akut adalah nyeri abdomen. Setiap pasien dengan
gejala nyeri abdomen yang belum pernah mengalami apendektomi seharusnya
dicurigai menderita apendisitis. Pasien dapat menerangkan dengan jelas
permulaan gejala nyeri abdomen dan dapat menerangkan lokasi yang tepat. Pasien
dapat menunjuk dengan satu jari tempat permulaan nyeri, dimana saja yang
pernah nyeri dan sekarang dimana yang nyeri
Setelah itu dilanjutkan dengan anamnesis terpimpin seperti misalnya:
a.        Bagaimana hebatnya nyeri ?
b.        Apakah nyerinya sampai menyebabkan pasien tidak dapat beraktivitas?
c.       Apakah pasien dapat tidur seperti biasa semalam ?
d.        Apakah pagi ini makannya baik dan cukup seperti biasa ?
               
Beberapa pasien dapat menentukan dengan tepat waktu mulainya nyeri yang
dihubungkan dengan peristiwa tertentu, umpamanya nyeri sesudah makan malam,
sesudah berolah raga atau sesudah bangun tidur. Pasien dapat menunjukkan dan
menceritakan perjalanan rasa nyeri, kadang-kadang perlu juga bantuan informasi
dari orang lain.
Perasaan nyeri pada apendisitis biasanya datang secara perlahan dan makin
lama makin hebat. Nyeri abdomen yang ditimbulkan oleh  karena adanya
kontraksi apendiks, distensi dari lumen apendiks ataupun karena tarikan dinding
apendiks yang mengalami peradangan Pada mulanya terjadi nyeri visceral, yaitu
nyeri yang sifatnya hilang timbul seperti kolik yang dirasakan di daerah umbilikus
dengan sifat nyeri ringan sampai berat. Hal tersebut timbul oleh karena apendiks
10
dan usus halus mempunyai persarafan yang sama, maka nyeri visceral itu akan
dirasakan mula-mula di daerah epigastrium dan periumbilikal Secara klasik, nyeri
di daerah epigastrium akan terjadi beberapa jam (4-6 jam) seterusnya akan
menetap di kuadran kanan bawah dan pada keadaan tersebut sudah terjadi nyeri
somatik yang berarti sudah terjadi rangsangan pada peritoneum parietale dengan
sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir serta nyeri akan lebih hebat bila batuk
ataupun berjalan kaki.

·    Muntah (rangsangan viseral)  akibat aktivasi n.vagus


Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya,
merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Keadaan
anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita apendisitis akut, bila hal ini
tidak ada maka diagnosis  apendisitis akut perlu dipertanyakan.  Hampir 75%
penderita disertai dengan vomitus, namun jarang berlanjut menjadi berat dan
kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua kali. Gejala disuria juga timbul apabila
peradangan apendiks dekat dengan vesika urinaria
 
·    Obstipasi  karena penderita takut mengejan
Penderita apendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa
nyeri dan beberapa penderita mengalami diare, hal tersebut timbul biasanya pada
letak apendiks pelvikal yang merangsang daerah rektum
 
·   Panas (infeksi akut)  à bila timbul komplikasi
Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,50  -
38,50C tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.
 
Variasi lokasi anatomi apendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik yang
beragam. Sebagai contoh apendiks yang panjang dengan ujung yang mengalami
inflamasi di kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri di daerah tersebut,
apendiks retrosekal akan menyebabkan nyeri flank atau punggung, apendiks
pelvikal akan menyebabkan nyeri pada supra pubik dan apendiks retroileal bisa
menyebabkan nyeri testikuler, mungkin karena iritasi pada arteri spermatika dan
ureter 

11
 Pada pasien ini didapatkan adanya keluhan nyeri pada perut kanan bawah
sejak 4 hari yang lalu. Nyeri yang awalnya dirasakan di daerah ulu hati menjalar
sampai ke perut kanan bawah. Nyeri dirasakan terus menerus dan nyeri terasa
hebat sehingga menyebabkan pasien tidak bisa beraktivitas dan sulit untuk tidur.
Nyeri bertambah hebat apabila pasien berjalan, BAB serta duduk. Pasien juga
mengalami mual, muntah (sebanyak 1 kali) dan nafsu makan menurun. Pada
pasien terdapat benjolan pada perut kanan bawah yang dirasakan pasien sejak 2
hari yang lalu. Riwayat panas badan (+), naik turun. Pasien juga pernah
mengalami hal serupa sejak 1 bulan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa
kemungkinan besar pasien telah mengalami periapendikular infiltrat (PAI) yang
merupakan komplikasi atau kelanjutan dari apendisitis. Dimana trias dari PAI
adalah terdapat riwayat apendisitis sebelumnya, kejadianya berlangsung lebih dari
72 jam dan adanya massa pada perut kanan bawah.

Pemeriksaan Fisik 
Kesalahan membuat diagnosis dapat terjadi kalau apendiks terletak pada tempat
yang bukan tempat biasanya yaitu kuadran kanan bawah.
1. Inspeksi
Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit,
kembung (+) bila terjadi perforasi, penonjolan perut kanan bawah terlihat pada
appendikuler abses.
 
2. Palpasi
Pada pemeriksaan abdomen pada anak dengan permukaan tangan yang
mempunyai suhu yang sama dengan suhu abdomen anak. Biasanya cukup
dipanaskan dengan menggosok-gosok tangan dengan pakaian penderita. Tangan
yang dingin akan merangsang otot dinding abdomen untuk berkontraksi sehingga
sulit menilai keadaan intraperitoneal. Terkadang kita perlu melakukan palpasi
dengan tangan anak itu sendiri untuk mendapatkan otot abdomen yang tidak tegang.
Abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi dinding abdomen
dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh
dari lokasi  nyeri. Umpamanya mulai dari kiri atas, kemudian secara perlahan-lahan
mendekati daerah kuadran kanan bawah. Palpasi dengan permukaan dalam (volar)
dari ujung-ujung jari tangan, dengan tekanan yang ringan dapat ditentukan adanya
12
nyeri tekan, ketegangan otot atau adanya tumor yang superfisial. Waktu melakukan
palpasi pada abdomen anak, diusahakan mengalihkan perhatiannya dengan boneka
atau usaha yang lain, sambil memperhatikan ekspresi wajahnya. Hindari gerakan
yang cepat dan kasar karena hal ini akan menakuti anak dan membuat pemeriksaan
nyeri tekan tidak mungkin dilakukan
 
Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah :
·    Nyeri tekan (+) Mc.Burney
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc
Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis
 
·     Nyeri lepas (+)   rangsangan peritoneum
Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang hebat (dapat
dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat tekanan secara
tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan
dan dalam di titik Mc Burney.
 
·     Defans muskular (+)  rangsangan m.Rektus abdominis
Defans muskular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.
 
·   Rovsing sign (+)
Penekanan perut sebelah kiri à nyeri sebelah kanan, karena tekanan
merangsang peristaltik dan udara usus , sehingga menggerakan peritoneum
sekitar appendik yang meradang (somatik pain)
Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah, apabila kita
melakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan
oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi
yang berlawanan
 
·    Psoas sign (+)
Pada appendik letak retrocaecal, karena merangsang peritoneum
Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh
peradangan yang terjadi pada apendiks
13
Ada 2 cara memeriksa :
1. Aktif  :   Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien
memfleksikan articulatio coxae kanan  nyeri perut kanan bawah.  
2.  Pasif   :   Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan 
    Pemeriksa  nyeri perut kanan bawah
 
·  Obturator Sign (+)
Dengan gerakan fleksi dan endorotasi articulatio coxae pada posisi
telentang  nyeri (+)
Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut
difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar secara pasif, hal
tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah
hipogastrium
 
Pada pasien ini didapatkan nyeri tekan (+), nyeri lepas tekan (+), Rovsing
sign (+), Blumberg sign (+), psoas sign (-), obturator sign (+)

3. Perkusi   Pada pasien didapatkan nyeri ketok (+) pada daerah perut kanan
bawah, dan suara redup pada daerah yang terdapat massa.

4. Auskultasi
Peristaltik normal, peristaltik(-) pada illeus paralitik karena peritonitis
generalisata akibat appendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu
dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis
maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus. Pada pasien didapatkan bisng
ususnya (+) dan normal.
 
Rectal Toucher / Colok dubur   biasanya didapatkan nyeri tekan pada jam 9-12.
Rectal Toucher juga digunakan untuk mengetahui adanya tumor atau massa di rectum
serta menilai adanya pembesaran prostat pada laki-laki yang berumur diatas 50 tahun.
Pada pasien ini didapatkan nyeri pada pukul 10-2 dan tidakditemukan pembesaran
prostat. Pada sarung tangan tidak didapatkan adanya darah ataupun lendir.

Tanda Peritonitis umum (perforasi) :


14
1.        Nyeri seluruh abdomen
2.        Pekak hati hilang
3.        Bising usus hilang
 
Apendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering terjadi dengan gejala-
gejala sebagai berikut:
a.    Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam
b.   Demam tinggi lebih dari 38,50C
c.   Lekositosis (AL lebih dari 14.000)
d.  Dehidrasi dan asidosis
e.   Distensi
f.   Menghilangnya bising usus
g.   Nyeri tekan kuadran kanan bawah
h.   Rebound tenderness sign
i.     Rovsing sign
j.    Nyeri tekan seluruh lapangan abdominal
               
Insidensi perforasi apendiks pada anak di bawah umur 6 tahun lebih dari 50%, ini
berhubungan dengan dinding apendiks yang lebih tipis dan omentum mayus yang
berkembang belum sempurna dibanding anak yang lebih besar
Dalam penelitiannya Schwartz (1999) melaporkan bahwa anak di bawah umur 8
tahun mempunyai angka perforasi dua kali lebih besar daripada anak yang lebih
besar. Sedang menurut Way (2003) insidensi perforasi apendiks  pada anak di bawah
umur 10 tahun sebesar 50%. Perforasi apendiks paling sering terjadi di distal
obstruksi lumen apendiks sepanjang tepi antimesenterium (Kozar dan Roslyn, 1999).
Pada 2-6% penderita dengan apendisitis menunjukkan adanya massa di kuadran
kanan bawah pada pemeriksaan fisik. Hal ini menunjukkan adanya inflamasi abses
yang terfiksasi dan berbatasan dengan apendiks  yang mengalami inflamasi (Lally,
2001).
 
Pemeriksaan penunjang
1.     Laboratorium 
Pemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian penting untuk menilai
awal keluhan nyeri kuadran kanan bawah dalam menegakkan diagnosis apendisitis
15
akut. Pada pasien dengan apendisitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai leukosit
dan neutrofil akan meningkat, walaupun hal ini bukan hasil yang karakteristik.
Penyakit infeksi pada pelvis terutama pada wanita akan memberikan gambaran
laborotorium yang terkadang sulit dibedakan dengan apendisitis akut  Pemeriksaan
laboratorium merupakan alat bantu diagnosis. Pada dasarnya inflamasi  merupakan
reaksi lokal dari jaringan hidup terhadap suatu jejas. Reaksi tersebut meliputi reaksi
vaskuler, neurologik, humoral dan seluler. Fungsi inflamasi di sini adalah
memobilisasi semua bentuk pertahanan tubuh dan membawa mereka pada tempat
yang terkena jejas dengan cara:
1.  mempersiapkan berbagai bentuk fagosit (lekosit polimorfonuklear, makrofag) 
pada tempat tersebut.
2.  pembentukan berbagai macam antibodi pada daerah inflamasi.
3.  menetralisir dan mencairkan iritan.
4.  membatasi perluasan inflamasi dengan pembentukan fibrin dan terbentuknya 
dinding jaringan granulasi.
Pada pasien dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik
apendisitis akut, akan ditemukan pada pemeriksaan darah adanya lekositosis 11.000-
14.000/mm3, dengan pemeriksaan hitung jenis menunjukkan pergeseran kekiri
hampir 75%. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah
terjadi perforasi dan peritonitis (Raffensperger, 1990). Menurut Ein (2000) pada
penderita apendisitis akut ditemukan jumlah lekosit antara 12.000-20.000/mm3 dan
bila terjadi perforasi atau peritonitis jumlah lekosit antara 20.000-30.000/mm 3.
Sedang Doraiswamy (1979), mengemukakan bahwa komnbinasi antara kenaikan
angka lekosit dan granulosit adalah yang dipakai untuk pedoman menentukan
diagnosa appendicitis acut
Tes laboratorium untuk appendicitis bersifat kurang spesifik., sehingga
hasilnya juga kurang dapat dipakai sebagai konfirmasi penegakkkan diagnosa.
Jumlah lekosit untuk appendisitis akut adalah >10.000/mmk dengan pergeseran
kekiri pada hemogramnya (>70% netrofil). Sehingga gambaran lekositosis dengan
peningkatan granulosit dipakai sebagai pedoman untuk appendicitis akut.
Kontroversinya adalah beberapa penderita dengan appendicitis acut, memiliki jumlah
lekosit dan granulosit tetap normal.
Marker inflamasi lain yang dapat digunakan dalam diagnosis apendisitis akut
adalah C-rective protein (CRP). Petanda respon inflamasi akut (acute phase
16
response) dengan menggunakan CPR telah secara luas digunakan di negara maju.
Nilai senstifitas dan spesifisits CRP cukup tinggi, yaitu 80 - 90% dan lebih dari 90%.
Pemeriksaan CRP mudah untuk setiap Rumah Sakit didaerah, tidak memerlukan
waktu yang lama (5 -10 menit), dan murah
Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan menyingkirkan
kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen. Urinalisa sangat penting pada
anak dengan keluhan nyeri abdomen untuk menentukan atau menyingkirkan
kemungkinan infeksi saluran kencing. Apendiks yang mengalami inflamasi akut dan
menempel pada ureter atau vesika urinaria, pada pemeriksaan urinalisis ditemukan
jumlah sel lekosit 10-15 sel/lapangan pandang (Raffensperger, 1990; Cloud, 1993).

2.  Foto Polos abdomen


Pada apendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak
membantu. Mungkin terlihat adanya fekalit pada abdomen sebelah kanan bawah
yang sesuai dengan lokasi apendiks, gambaran ini ditemukan pada 20% kasus
(Cloud, 1993).
Kalau peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada bagian
kanan bawah akan kolaps. Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini akan tampak
pada daerah kanan bawah abdomen kosong dari udara. Gambaran udara seakan-akan
terdorong ke pihak lain. Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan
menyebabkan kontraksi otot sehingga timbul skoliosis ke kanan. Gambaran ini
tampak pada penderita apendisitis akut (Mantu, 1994).  Bila sudah terjadi perforasi,
maka pada foto abdomen tegak akan tampak udara bebas di bawah diafragma.
Kadang-kadang udara begitu sedikit sehingga perlu foto khusus untuk melihatnya.
 
Kalau sudah terjadi peritonitis yang biasanya disertai dengan kantong-kantong
pus, maka akan tampak udara yang tersebar tidak merata dan usus-usus yang
sebagian distensi dan mungkin tampak cairan bebas, gambaran lemak
preperitoneal menghilang, pengkaburan psoas shadow. Walaupun terjadi ileus
paralitik tetapi mungkin terlihat pada beberapa tempat adanya permukaan cairan
udara (air-fluid level) yang menunjukkan adanya obstruksi (Raffensperger, 1990;
Mantu, 1994). Foto x-ray abdomen dapat mendeteksi adanya fecalith (kotoran yang
mengeras dan terkalsifikasi, berukuran sebesar kacang polong yang menyumbat
pembukaan appendik) yang dapat menyebabkan appendisitis. Ini biasanya terjadi
17
pada anak-anak. Foto polos abdomen supine pada abses appendik kadang-kadang
memberi pola bercak udara dan air fluid level pada posisi berdiri/LLD ( decubitus ),
kalsifikasi bercak rim-like( melingkar ) sekitar perifer mukokel yang asalnya dari
appendik.  Pada appendisitis akut, kuadran kanan bawah perlu diperiksa untuk
mencari appendikolit : kalsifikasi bulat lonjong, sering berlapis.
 
Pemeriksaan radiologi dengan kontras barium enema hanya digunakan pada
kasus-kasus menahun. Pemeriksaan radiologi dengan barium enema dapat
menentukan penyakit lain yang menyertai apendisitis
Barium enema adalah suatu pemeriksaan x-ray dimana barium cair dimasukkan
ke kolon dari anus untuk memenuhi kolon. Tes ini dapat seketika menggambarkan
keadaan kolon di sekitar appendik dimana peradangan yang terjadi juga didapatkan
pada kolon. Impresi ireguler pada basis sekum karena edema (infiltrasi sehubungan
dengan gagalnya barium memasuki appendik (20% tak terisi) Terisinya sebagian
dengan distorsi bentuk kalibernya tanda appendisitis akut,terutama bila ada impresi
sekum. Sebaliknya lumen appendik yang paten menyingkirkan diagnosa appendisitis
akut. Bila barium mengisi ujung appendik yang bundar dan ada kompresi dari luar
yang besar dibasis sekum yang berhubungan dengan tak terisinya appendik tanda
abses appendik  Barium enema juga dapat menyingkirkan masalah-masalah intestinal
lainnya yang menyerupai appendiks, misalnya penyakit Chron’s, inverted appendicel
stump, intususepsi, neoplasma benigna/maligna.
 
2.    Ultrasonografi
Ultrasonografi  telah banyak digunakan untuk diagnosis apendisitis akut
maupun apendisitis dengan abses. Untuk dapat mendiagnosis apendisitis akut
diperlukan keahlian, ketelitian, dan sedikit penekanan transduser pada abdomen.
Apendiks yang normal jarang tampak dengan pemeriksaan ini. Apendiks yang
meradang tampak sebagai lumen tubuler, diameter lebih dari 6 mm, tidak ada
peristaltik pada penampakan longitudinal, dan gambaran target pada penampakan
transversal (Gustavo GR, 1995) Keadaan awal apendisitis akut ditandai dengan
perbedaan densitas pada lapisan apendiks, lumen yang utuh, dan diameter 9 – 11
mm. Keadaan apendiks supurasi atau gangrene ditandai dengan distensi lumen oleh
cairan, penebalan dinding apendiks dengan atau tanpa apendikolit. Keadaan apendiks

18
perforasi ditandai dengan tebal dinding apendiks yang asimetris, cairan bebas
intraperitonial, dan abses tunggal atau multipel (Gustavo GR, 1995).
 
Akurasi ultrasonografi sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan kemampuan
pemeriksa. Pada beberapa penelitian, akurasi antara 90 – 94%, dengan nilai
sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85 dan 92% (Erik K, 2003). Pemeriksaan dengan
Ultrasonografi (USG) pada apendisitis akut, ditemukan adanya fekalit, udara
intralumen, diameter apendiks lebih dari 6 mm, penebalan dinding apendiks lebih
dari 2 mm dan pengumpulan cairan perisekal. Apabila apendiks mengalami ruptur
atau perforasi maka akan sulit untuk dinilai, hanya apabila cukup udara maka abses
apendiks dapat diidentifikasi.
Ultrasound adalah suatu prosedur yang tidak menyakitkan yang menggunakan
gelombang suara untuk mengidentifikasi organ-organ dalam tubuh. Ultrasound dapat
mengidentifikasi appendik yang membesar atau abses. Walaupun begitu, appendik
hanya dapat dilihat pada 50% pasien selama terjadinya appendisitis. Oleh karena itu,
dengan tidak terlihatnya apendiks selama ultrasound tidak menyingkirkan adanya
appendisitis. Ultrasound juga berguna pada wanita sebab dapat menyingkirkan
adanya kondisi yang melibatkan organ ovarium, tuba falopi dan uterus yang
gejalanya menyerupai appendisitis. Hasil usg dapat dikatagorikan menjadi normal,
non spesifik, kemungkinan penyakit kelainan lain, atau  kemungkinan appendik.
Hasil usg yang tidak spesifik meliputi adanya dilatasi usus, udara bebas, atau ileus.
Hasil usg dikatakan kemungkinan appaendik jika ada pernyataan curiga atau jika
ditemukan dilatasi appendik di daerah fossa iliaka kanan, atau dimana usg di
konfermasikan dengan gejala klinik dimana kecurigaan appendisitis.
 
 3.   Computed Tomography Scanning (CT-Scan)
Pada keadaan normal apendiks, jarang tervisualisasi dengan pemeriksaan
skening ini. Gambaran penebalan diding apendiks dengan jaringan lunak sekitar yang
melekat, mendukung keadaan apendiks yang meradang. CT-Scan mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90 – 100% dan 96 – 97%, serta akurasi
94 – 100%. CT-Scan sangat baik untuk mendeteksi apendiks dengan abses atau
flegmon

Perbandingan pemeriksaan penunjanng apendisitis akut:

19
Ultrasonografi CT-Scan
Sensitivitas 85% 90 - 100%
Spesifisitas 92% 95  -  97%
Akurasi 90 - 94% 94 - 100%
Keuntungan Aman Lebih akurat
relatif tidak mahal Mengidentifikasi abses
  dan flegmon lebih baik
Dapat mendignosis kelainan Mengidentifikasi
lain pada wanita apendiks normal lebih
  baik
  Baik untuk anak-anak  
Kerugian Tergantung operator Mahal
  Sulit secara tehnik Radiasi ion
  Nyeri Kontras
  Sulit di RS daerah Sulit di RS daerah
 
Pada pasien yang tidak hamil, CT-scan pada daerah appendik sangat berguna
untuk mendiagnosis appendisitis dan abses periappendikular sekaligus
menyingkirkan adanya penyakit lain dalam rongga perut dan pelvis yang menyerupai
appendisitis.
4.   Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard) untuk
diagnosis apendisitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai gambaran
histopatologi apendisitis akut. Perbedaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa
belum adanya kriteria gambaran histopatologi apendisitis akut secara universal dan
tidak ada gambaran histopatologi apendisitis akut pada orang yang tidak dilakukan
opersi Riber et al, pernah meneliti variasi diagnosis histopatologi apendisitis akut.
Hasilnya adlah perlu adanya komunikasi antara ahli patologi dan antara ahli patologi
dengan ahli bedahnya.

 Difinisi histopatologi apendisitis akut:


Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di
1 lapisan epitel.
2 Abses pada kripte dengan sel granulosit dilapisan epitel.
3 Sel granulosit dalam lumen apendiks dengan infiltrasi ke dalam

20
lapisan epitel.
Sel granulosit diatas lapisan serosa apendiks dengan abses
4 apendikuler, 
  dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukusa.
Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses
5 mukosa dan
keterlibatan lapisan mukosa, bukan apendisitis akut tetapi
  periapendisitis.
 
Reaksi fase akut (Acute phase reaction)
Reaksi fase akut adalah pertahanan pertama tubuh dalam melawan proses
inflamasi (innate immune), yang berfungsi tanpa melalui sistem spesifik dan memori
(adaptive immune). Inflamasi adalah respon terhadap kerusakan jaringan oleh
stimulus yang dapat berupa trauma mekanik, nekrosis jaringan, dan infeksi. Tujuan
proses inflamasi adalah untuk melawan agen pengrusak, awal proses perbaikan, dan
mengembalikan fungsi jaringan yang rusak. Proses inflamasi dapat berlangsung akut
dan kronik. Inflamasi akut dapat disebabkan oleh agen mikroba (virus, bakteri,
jamur, dan parasit), trauma, nekrosis jaringan oleh kanker, arthritis rematiod, luka
bakar, dan toksin yang disebabkan oleh obat atau radiasi.
 Keadaan inflamasi merangsang tubuh untuk mengeluakan sitokin dan hormon
yang berfungsi dalam regulasi haematopoesis, sintesis protein, dan metabolisme.
Sistem immun dibagi menjadi dua, immun bawaan (innate immune) dan immune
didapat (adaptive immune)  Immun bawaan terdiri dari sel fagosit, sistem
komplemen, dan fase akut protein, bekerja tanpa melalui proses spesifik dan memori.
Ketika sel fagosit teraktivasi, maka ia akan memacu sintesis sitokin. Sitokin tidak
hanya berfungsi dalam regulasi sistem immun bawaan, tetapi juga sistem immun
yang didapat.

Ada 4 komponen yang menyertai proses inflamasi akut, yaitu:


1.    Dilatasi vaskuler (permaebilitas vaskuler meningkat)
Dilatasi vaskuler (permaebilitas membaran meningkat) adalah relaksasi muskulus
vaskuler yang menyebabkan jaringan hiperemis. Proses transudasi yang terjadi
melalui membran sel, diikuti lepasnya sel PMN (polimorfonuklear) ke jaringan.

21
Jika fibrinogen terekstravasasi kedalam jaringan juga, maka terjadilah mekanisme
pembekuaan .
2.    Emigrasi neutrofi
 Emigrasi neutrofil dimulai dengan menempelnya sel ini pada permukaaan endotel.
Sel PMN tampak dominan menempel pada permukaan endotel. Emigrasi sel
neutrofil pada area inflamasi disebabkan adanya faktor kemotatik. Keterlibatan
proses immun-kompleks dalam proses awal inflamasi, menyebabkan faktor
kemotaktik  mengaktivasi komplemen C5a. Komplemen C5a ini kemudiaan
menyebabkan sel PMN tertarik ke area inflamasi. Produk bakteri juga bersifat
kemotaktik terhadap sel PMN. Intensitas dan durasi emigrasi sel PMN biasanya
dalam 24-48 jam, tergantung faktor kemotaktik pada area inflamasi
3.     Emigrasi sel mononuclea
Proses ini dimulai 4 jam setelah adanya stimulasi dan mencapai puncaknya 16-24
jam. Pada keadaan awal respon seluler, sel mononuklear akan tampak dalam jumlah
sedikit bersama sel polimorfonuklear. Keluarnya sel mononuclear ini distimulasi
oleh proses fagositosis debris, produk fagositosis neutrofil, dan sitokin . Proses
terakhir inflamasi adalah proliferasi seluler
4.    Proliferasi seluler.
Proses ini diawali dengan proliferasi fibroblas yang dimulai dalam 18 jam dan
mencapai puncaknya 48 sampai 72 jam. Fibroblas mengeluarkan acidic
mukopolysaccharides yang menetralisis afek beberapa mediator kimiawi. Pada
akhir proses ini diharapkan kembalinya fungsi area yang terkena inflamasi, namun
dalam beberapa keadaan, proses ini berakhir dengan terbentuknya abses dan
granuloma
 
 
     
Diagnosis Banding
Pada keadaan tertentu beberapa penyakit dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding, diantaranya adalah berasal dari saluran pencernaan seperti gastroenteritis,
ileitis terminale, tifoid, divertikulitis meckel tanpa perdarahan, intususepsi dan
konstipasi. Gangguan alat kelamin perempuan termasuk diantaranya infeksi rongga
panggul, torsio kista ovarium, adneksitis dan salpingitis. Gangguan saluran kencing

22
seperti infeksi saluran kencing, batu ureter kanan. Penyakit lain seperti pneumonia,
demam dengue dan campak
1. Kelainan Gastrointestinal
·  Cholecystitis akut
·  Divertikulum Mackell (merupakan suatu penonjolan keluar kantong kecil pada
usus halus yang biasanya berlokasi di kuadran kanan bawah dekat dengan
appendik. Divertikulum dapat mengalami inflamasi dan bahkan perforasi
( robek atau ruptur). Jika terjadi inflamasi atau perforasi, harus ditangani
dengan pembedahan).
·  Enteritis regional
·  Pankreatitis
·  Tumor ileum dan atau sekum

2. Kelainan Urologi
·      Batu ureter
·      Cystitis
 
Penatalaksanaan
a. Appendiktomi
1. Cito  akut, abses & perforasi
2. Elektif  kronik
 
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi
dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan apendektomi
sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.
Insidensi apendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada
apendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah.
 
b. Konservatif kemudian operasi elektif (Infiltrat)
1. Bed rest total posisi Fowler (anti Trandelenburg)
2. Diet rendah serat
3. Antibiotika spektrum luas
4. Metronidazol

23
5. Monitor :  Infiltrat, tanda-tanda peritonitis (perforasi), suhu tiap 6 jam, LED,
 bila baik  mobilisasi  pulang
 
Penderita anak perlu cairan intravena untuk  mengoreksi dehidrasi ringan. Pipa
nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung dan untuk mengurangi bahaya
muntah pada waktu induksi anestesi. Pada apendisitis akut dengan komplikasi berupa
peritonitis karena perforasi menuntut tindakan yang lebih intensif, karena biasanya
keadaan anak sudah sakit berat. Timbul dehidrasi yang terjadi karena muntah,
sekuestrasi cairan dalam rongga abdomen dan febris. Anak memerlukan perawatan
intensif sekurang-kurangnya 4-6 jam sebelum dilakukan pembedahan. Pipa nasogastrik
dipasang untuk mengosongkan lambung agar mengurangi distensi abdomen dan
mencegah muntah. Kalau anak dalam keadaan syok hipovolemik maka diberikan cairan
ringer laktat 20 ml/kgBB dalam larutan glukosa 5% secara intravena, kemudian diikuti
dengan pemberian plasma atau darah sesuai indikasi. Setelah pemberian cairan
intravena sebaiknya dievaluasi kembali kebutuhan dan kekurangan cairan. Sebelum
pembedahan, anak harus memiliki urin output sebanyak 1 ml/kgBB/jam. Untuk
menurunkan demam diberikan acetaminophen suppositoria (60mg/tahun umur). Jika
suhu di atas 380C pada saat masuk rumah sakit, kompres alkohol dan sedasi
diindikasikan untuk mengontrol demam.
Antibiotika sebelum pembedahan diberikan pada semua anak dengan apendisitis,
antibiotika profilaksis mengurangi insidensi komplikasi infeksi apendisitis. Pemberian
antibiotika dihentikan setelah 24 jam selesai pembedahan. Antibiotika berspektrum luas
diberikan secepatnya sebelum ada biakan kuman. Pemberian antibiotika untuk infeksi
anaerob sangat berguna untuk kasus-kasus perforasi apendisitis . Antibiotika diberikan
selama 5 hari setelah pembedahan atau melihat kondisi klinis penderita. Kombinasi
antibiotika yang efektif melawan bakteri aerob dan anaerob spektrum luas diberikan
sebelum dan sesudah pembedahan. Kombinasi ampisilin (100mg/kg), gentamisin
(7,5mg/kg) dan klindamisin (40mg/kg) dalam dosis terbagi selama 24 jam cukup efektif
untuk mengontrol sepsis dan menghilangkan komplikasi apendisitis perforasi. 
Metronidasol aktif terhadap bakteri gram negatif dan didistribusikan dengan baik ke
cairan tubuh dan jaringan. Obat ini lebih murah dan dapat dijadikan pengganti
klindamisin
 

24
Pembedahannya adalah dengan apendektomi, yang dapat dicapai melalui insisi Mc
Burney (Raffensperger, 1990; Cloud, 1993). Tindakan pembedahan pada kasus
apendisitis akut dengan penyulit peritonitis berupa apendektomi yang dicapai melalui
laparotomi (Raffensperger,1990; Mantu, 1994; Ein, 2000).
 

25

You might also like