You are on page 1of 3

*

Manusia dan Kemanusiaan

David Setiadi

Manusia memiliki kedudukan yang berbeda dengan mahluk lain ciptaan Tuhan.
Manusia memiliki potensi yang tertuang dalam berbagai kompenen seperti fisik, otak, roh
atau materi, jiwa, dan makna. Beberapa potensi tersebut yang dapat membedakan manusia
dengan mahluk Tuhan lainnya. Selain itu, manusia ada sebagai utusan (baca: khalifah) Tuhan
untuk memimpin dunia, di samping statusnya sebagai hamba dihadapan Tuhan. Oleh karena
itu, manusia kemudian patut menempatkan dirinya dalam ketiga aspek hubungan yang
berkaitan dengan hubungan antara dirinya dengan sang khaliq, hubungan dengan sesama
manusia, dan terakhir hubungan dengan alam sebagai sebuah harmonisasi.

Dengan berbagai potensi yang dimilikinya, manusia dalam kapasitasnya sebagai


pemimpin dapat menjalankan tugasnya tersebut. Selain jiwa dan hati, manusia juga dibekali
dengan seperangkat kecenderungan (ghorizah) yang menyerupai garis-garis halus yang saling
berhadap-hadapan, setiap kecenderungan yang saling berhadapan tersebut pada suatu saat
akan saling berlawan. Semua kecenderungan tersebut yang saling berpasangan ini,
memegang peran penting dalam hal pembentukan eksistensi manusia. Berbicara mengenai
eksistensi, tentunya akan selalu memperbincangkan tentang ADA dan BERADA (Mengada).
Eksistensi manusia ditentukan oleh manusia lainnya, dengan kata lain manusia sebagai
individu tidak dapat menemukan ada (-nya) dengan sendirinya, melainkan melalui interaksi
dengan manusia lainnya.

Dengan demikian, manusia dalam proses eksistensinya memiliki dua kecenderungan;


kecenderungan individualistik (Fardiyyah), dan kecenderungan sosialistik (Jamaiyyah).
Kedua kecenderungan tersebut ada dalam kaitannya dengan hakikat manusia sebagai
individu, dan manusia sebagai mahluk sosial. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat
Al hujaraat ayat 13;

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
*
Bahan ajar Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar, Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI)
Ayat di atas diperjelas oleh hadist Rasulullah Saw;

“Orang mukmin adalah cermin bagi saudaranya, dan orang mukmin itu saudara orang
mukmin lainnya, ia harus memelihara apa yang dimilkinya dan mengawasi dari
belakangnya.”

Kedua nash tersebut semakin memperjelas kedudukan manusia (baca: mukmin) dan
sebagai landasan bagi manusia untuk saling berinteraksi, saling mengenal satu sama lainnya.
Potensi yang ada dalam diri manusia baru dapat terasah/terlihat ketika antara manusia dengan
manusia lainnya saling berinteraksi. Dalam proses sosialisasi (bermasyarakat) tersebut dapat
terlihat kedua kecenderungan yang dimiliki manusia saling bersinggungan, dan semua hal
tersebut ada pada tataran aksiologi. Karena pada dasarnya dalam sebuah proses interaksi
tersebut terjadi pergulatan nilai/penilaian antar manusia. Penilaian dalam sebuah interaksi
tersebut meliputi penilaian yang berkaitan dengan; cara akal (persepsi), karakter, kepribadian,
cara menilai (salah/benar), dan hal lain dalam sebuah proses eksistensi. Seperti telah
dijelaskan di atas, bahwa dalam sebuah proses interaksi tersebut manusia dapat menilai kadar
individualistiknya dengan disandingkan dengan kepentingan sosialistiknya. Pergulatan
tentang nilai tersebut berujung kepada tahapan selanjutnya dalam fase ontologis. Dengan
berinteraksi manusia kemudian menentukan eksistensi, dirinya ada berterima dalam sebuah
pengakuan dari manusia lainnya.

Setiap kecenderungan yang dimiliki manusia pada suatu saat pasti akan mengalami
benturan. Di satu sisi manusia membutuhkan kesendirian sebagai haknya sebagai individu,
namun di sisi lain manusia perlu berinteraksi dengan manusia lainnya untuk sesuatu yang
sifatnya pragmatis. Manusia akan selalu berinteraksi sesuai dengan kebutuhannya. Manusia
membutuhkan pengakuan, hal tersebut berkaitan dengan pembentukan sebuah identitas.
Identitas, menurut Chris Barker, adalah sesuatu yang tidak memiliki esensi pada dirinya
sendiri. Identitas tidak memiliki muatan-muatan yang bersifat universal. Identitas adalah
“discursive constructions, the product of discourses or regulated ways of speaking about the
world”. Identitas adalah sesuatu yang diproduksi dalam diskursus, dan diskursus itu sendiri
dibentuk oleh sejumlah peraturan dan konvensi-konvensi yang membentuknya, dan menurut
Foucault, diskursus adalah apa yang mendefinisikan serta menciptakan obyek-obyek
pengetahuan. Identitas adalah sesuatu yang bersifat buatan, ia adalah sesuatu yang dibentuk
oleh representasi, bukan sesuatu yang dibentuk secara alami. Faktor utama pembentuk
identitas adalah bahasa. Menurut Lacan, manusia adalah “subjek dari proses struktural
bahasa” karena “di dalam dan melalui bahasalah manusia menjadi subjek…”

Oleh sebab subyek dan subyektifitas hanya ada dan dibentuk oleh bahasa, maka
identitas, yang berfondasi pada subyektifitas, tidak pernah berdiri sendiri. Ia tergantung dan
terbentuk oleh faktor-faktor eksternal, seperti misalnya bahasa sebagai tatanan simbolik
eksternal di mana manusia masuk ke dalamnya untuk menemukan subyektifitasnya dan
menjadi anggota masyarakat. Identitas adalah murni produk dari konstruksi sosial. Ada tiga
hal yang berkaitan dengan identitas, yaitu “sameness and difference”, “the personal and the
social”, dan “forms of representations”. Identitas selayaknya tidak dipahami sebagai sesuatu
yang bersifat tetap dan tidak berubah, namun sebagai “an emotionally charged description of
ourselves”. Karena identitas bersifat emosional, ia tidak pernah tetap. Ia bersifat relasional,
yakni tergantung dengan siapa individu menjalin relasi pada konteks tertentu, dan sementara
(contingent) karena dalam konteks yang berbeda identitas bisa berubah. Konteks-konteks
sosial dan budaya inilah yang menentukan identitas. Dalam pembentukan identitas tersebut,
ada dua proses yang terjadi, yaitu penolakan (exclusion) dan penerimaan (inclusion) karena
membentuk identitas berarti menolak hal-hal yang bertentangan dan merangkul hal-hal yang
sesuai dengan identitas tersebut. Identitas juga tidak pernah netral; di dalamnya selalu
terdapat nilai-nilai yang saling berbenturan. Di dalam identitas terjadi jurang atau gap, yaitu
antara representasi dan kenyataan.

Akhirnya manusia akan selalu bertanya; Siapakah kita? Untuk apa kita ADA di dunia
ini? Dengan demikian, mengatakan siapakah kita berarti memasuki ranah konflik, karena
siapakah kita berhubungan dengan penegasan akan kepercayaan, kebutuhan, dan hasrat yang
berbeda-beda. Dengan demikian, siapa kita secara individu maupun sebagai kelompok lebih
ditentukan oleh faktor eksternal, karena representasi dibentuk oleh proses budaya serta sistem
simbolik sedemikian rupa sehingga identitas kita terbentuk dan posisi kita sebagai subyek
menjadi jelas.
Referensi:
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Muhammad Nuh, Sayyid. 1993. Membentuk Kepribadian Muslim: Keseimbangan
Fardiyyah-Jamaiyyah dalam manhaj Islam. Jakarta: Wacana Lazuardi.
Storey, John. 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop: Pengantar Komprehensif Teori
dan Metode. Yogyakarta: Jalasutra

You might also like