You are on page 1of 40

TEATER

TEATER TRADISIONAL
TRADISIONAL
I. Perkembangan Teater di Indonesia

Teater yang berkembang dikalangan rakyat


disebut teater tradisional, sebagai lawan dari
teater modern dan kontemporer. Teater
tradisional tanpa naskah (bersifat improvisasi).
Sifatnya supel, artinya dipentaskan
disembarang tampat. Jenis ini masih hidup dan
berkembang didearah – daerah di seluruh
Indonesia . Yang disebut teater tradisional itu,
oleh Kasim Ahmad diklasifikasikan menjadi 3
macam yaitu sebagai berikut
1.Teater Rakyat
Sifat teater rakyat seperti halnya teater tradisional, yaitu improvisasi
sederhana, spontan dan menyatu dengan kehidupan rakyat. Contoh –
contoh teater rakyat adalah sebagai berikut.
Makyong dan Mendu di daerah Riau dan Kalimantan Barat.
Mak Yong adalah seni teater tradisional masyarakat Melayu yang sampai
sekarang masih digemari dan sering dipertunjukkan sebagai dramatari
dalam forum internasional. Di zaman dulu, pertunjukan mak yong diadakan
orang desa di pematang sawah selesai panen padi.
Dramatari mak yong dipertunjukkan di negara bagian Terengganu, Pattani,
Kelantan, dan Kedah. Selain itu, mak yong juga dipentaskan di
Kepulauan Riau Indonesia. Di kepulauan Riau, mak yong dibawakan
penari yang memakai topeng, berbeda dengan di Malaysia yang tanpa
topeng
Pertunjukan mak yong dibawakan kelompok penari dan pemusik
profesional yang menggabungkan berbagai unsur upacara keagamaan,
sandiwara, tari, musik dengan vokal atau instrumental, dan naskah yang
sederhana. Tokoh utama pria dan wanita keduanya dibawakan oleh penari
wanita. Tokoh-tokoh lain yang muncul dalam cerita misalnya pelawak,
dewa, jin, pegawai istana, dan binatang. Pertunjukan mak yong diiringi alat
musik seperti rebab, gendang, dan tetawak.
Sejarah Mak Yong
Istana kerajaan menjadi pelindung seni tari mak yong sejak paruh kedua abad ke-19
sampai tahun 1930-an. Jika raja mendengar ada penari yang pandai apalagi cantik
sedang bermain di kampung-kampung, raja langsung memerintahkan penari tersebut
untuk menari di dalam lingkungan istana. Penari yang menari di istana akan ditanggung
semua akomodasi serta kebutuhan hidup, dan bahkan menerima pinjaman tanah sawah
milik raja untuk dikerjakan.

Kemunduran ekonomi kesultanan akibat kedatangan penjajah Inggris di Kelantan


menyebabkan pihak kesultanan tidak bisa lagi menjadi pelindung kelompok pertunjukan
mak yong. Akibatnya di awal abad ke-20, tari mak yong mulai berkembang bebas di
desa-desa. Pertunjukan Mak yong tanpa patron pihak kerajaan menyebabkan mutu
pertunjukan semakin merosot, terutama setelah terjadi bencana banjir besar di Kelantan
yang terkenal sebagai Banjir Merah tahun 1926 hingga tahun 1950-an. Selain itu, nilai
estetika tradisional mak yong mulai luntur akibat komersialiasi pertunjukan. Lama
pertunjukan juga diperpendek dari pukul 8:30 malam hingga pukul 11:00 malam.

Selesai pertunjukan mak yong langsung diteruskan acara joget bersama. Penonton
naik ke atas panggung untuk menari bersama penari mak yong. Alat musik untuk
mak yong juga diganti dengan biola dan akordion untuk memainkan lagu untuk
berjoget.
LENONG
LENONG

Lenong adalah teater tradisional Betawi.


Kesenian tradisional ini diiringi musik gambang kromong
dengan alat-alat musik seperti gambang, kromong, gong,
kendang, kempor, suling, dan kecrekan, serta alat musik
unsur Tionghoa seperti tehyan, kongahyang, dan sukong.
Lakon atau skenario lenong umumnya mengandung pesan
moral, yaitu menolong yang lemah, membenci kerakusan dan
perbuatan tercela. Bahasa yang digunakan dalam lenong
adalah bahasa Melayu
Sejarah Lenong
Lenong berkembang sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20.
Kesenian teatrikal tersebut mungkin merupakan adaptasi oleh
masyarakat Betawi atas kesenian serupa seperti "komedi bangsawan"
dan "teater stambul" yang sudah ada saat itu. Selain itu, Firman
Muntaco, seniman Betawi, menyebutkan bahwa lenong berkembang
dari proses teaterisasi musik gambang kromong dan sebagai tontonan
sudah dikenal sejak tahun 1920-an.
Lakon-lakon lenong berkembang dari lawakan-lawakan tanpa plot cerita
yang dirangkai-rangkai hingga menjadi pertunjukan semalam suntuk
dengan lakon panjang dan utuh.
Pada mulanya kesenian ini dipertunjukkan dengan mengamen dari
kampung ke kampung. Pertunjukan diadakan di udara terbuka tanpa
panggung. Ketika pertunjukan berlangsung, salah seorang aktor atau
aktris mengitari penonton sambil meminta sumbangan secara sukarela.
Selanjutnya, lenong mulai dipertunjukkan atas permintaan pelanggan
dalam acara-acara di panggung hajatan seperti resepsi pernikahan.
Baru di awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan
panggung
Jenis Lenong
Terdapat dua jenis lenong yaitu lenong denes dan lenong preman. Dalam lenong
denes (dari kata denes dalam dialek Betawi yang berarti "dinas" atau "resmi"), aktor
dan aktrisnya umumnya mengenakan busana formal dan kisahnya ber-seting
kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, sedangkan dalam lenong preman
busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan umumnya berkisah
tentang kehidupan sehari-hari. Selain itu, kedua jenis lenong ini juga dibedakan dari
bahasa yang digunakan; lenong denes umumnya menggunakan bahasa yang halus
(bahasa Melayu tinggi), sedangkan lenong preman menggunakan bahasa
percakapan sehari-hari. Kisah yang dilakonkan dalam lenong preman misalnya
adalah kisah rakyat yang ditindas oleh tuan tanah dengan pemungutan pajak dan
munculnya tokoh pendekar taat beribadah yang membela rakyat dan melawan si
tuan tanah jahat. Sementara itu, contoh kisah lenong denes adalah kisah-kisah
1001 malam .
Pada perkembangannya, lenong preman lebih populer dan berkembang
dibandingkan lenong denes.
2.Teater
2.Teater Klasik
Klasik

Sifat teater ini sudah mapan, artinya segala sesuatunya sudah teratur,
dengan cerita, pelaku yang terlatih, gedung pertunjukan yang
memandai dan tidak lagi menyatu dengan kehidupan rakyat
(penontonnya). Lahirnya jenis teater ini dari pusat kerjaan. Sifat
feodalistik tampak dalam jenis teater ini. Contoh – contohnya: Wayang
Kulit, Wayang Orang, dan Wayang Golek. Ceritanya statis, tetapi
memilki daya tarik berkat kreativitas dalang atau pelaku teater
tersebut dalam menghidupakan lakon.
3.Teater
Teater Transisi
transisi merupakan teater yang bersumber dari
teater tradisional, tetapi gaya penajiannya sudah
dipengaruhi oleh teater Barat. Jenis teater seperti
Komidi Stambul, Sandiwara Dardanela, Sandiwara
Srimulat, dan sebagainya merupakan contoh teater
transisi. Dalam Srimulat sebagai contoh, pola ceritanya
sama dengan Ludruk atau Ketoprak, tetapi jenis
ceritanya diambil dari dunia modern. Musik, dekor, dan
property lain menggunakan teknik Barat.
II.ABDUL MULUK
Grup teater ini merupakan awal grup teater yang
meninggalakan ciri – cirri tradisional, misalnya
sebagai berikut.

1. Tidak lagi bersifat improvisasi, tetapi naskah sudah


mulai membagi peran.
2. Tidak lagi mengandalkan segi tari dan lagu.
3. Struktur lakonnya tidak lagi statis, tetapi disesuaikan
dengan perkembangan lakon atau cerita sastra.
III. Komedi Stambul.
Lahir pada tahun 1891 dan didirikan oleh
August Mahieu. Menampilkan lagu-lagu
Melayu, maka komedi stambul disebut pula
opera Melayu. Cerita yang ditunjukan sudah
merupakan cerita yang bervariasi, seperti: “
1001 Malam”, “ Nyai Dasima”, “Oey Tam Bah
Sia”, “ Si Conat”, “Halmet”, “Saudager
Venesia”, “Penganten Di Sorga”, “De Roos
Van Serang”, “Annie Van Mendut”, “Lily van
Cikampek”, dan sebagainya.
IV. Dardanella.
Didirikan oleh Willy Klimanoff yang kemudian mengganti
namanya dengan A. Piedro. Tanggal 21 juni 1926
didirikan The Malay Opera Dardanella. Dalam teater ini,
tidak lagi ada nyanyian. Lakon – lakon diambil dari
Indische Roman. Pemain yang masih dikenal hingga kini,
misalnya: Tan Ceng Bok, Devi Ja, Fifi Young, Pak
Kuncung, dan sebagainya
V.MAYA
V.MAYA

Timbulnya teater Maya dipengaruhi oleh saudagar-saudagar Cina


yang gemar akan teater. Maya dipimpin oleh Usmar Ismail.
Bersama itu, muncul pula Cahaya Timur yang dipimpin Anjar
Asmara. Berkat pengaruh pendidikan barat, banyak karya asli
yang dihasilkan. Maya banyak mementaskan karya-karya
pengarang Indonesia . Hal ini juga berkat kemajuan dokumentasi
Pusat Kebudayaan Jepang di Indonesia saat itu (Keimin Bunka
Sidosho). Di samping hal tersebut, tampaknya peran sutradara
sudah sangat penting. Naskah – naskah mengambil dari bumi
Indonesia , meskipun masih meneladan pentas dunia Barat.
VI. Cine Drama Institut
Lahir di Yogya tahun 1948 dan merupakan embrio
bagi ASDRAFI (Akademi Seni Drama dan Film)
dengan pusatnya di Yogyakarta . Banyak tokoh
Yogyakarta yang mengembangkan teater seperti
Kirdjomuljo, Rendra, Soebagio Sastrowardojo, Dokter
Hoejoeng, Harymawan, Sri Moertono, dan
sebagainya. Pantas dicatat pula, bahwa di Bogor juga
bangkit kegiatan teater sekitar tahun 1950-an
dengan teaternya bernama Teater Bogor. Di Surabaya
juga muncul binatang Surabaya Film Co, sedangkan
di Jakarta muncul Akademi Teater Nasional Indonesia
(1955) yang seperti halnya ASDRAFI banyak
melahirkan tokoh-tokoh teater masa kini. Kemudian
muncul pula studi Grup Drama Yogya Pimpinan
Rendra, Federasi Teater Kota Bogor pimpinan Taufiq
Ismail, Himpunan Seniman Budayawan Islam
pimpinan Junan Helmy Nasution dan Taeter Muslim di
Yogya Dipimpin oleh Muhamad Diponogoro.
VII. Zaman Kemajuan Dunia
Teater
Sejak tahun 1968, yaitu Rendra pulang dari Amerika dan mendirikan
Bengkel Teater di Yogya, maka mulailah zaman kemajuan dunia
teater. Berdirinya Taman Ismail Marzuki sebagai ajang kreativitas
para seniman (termasuk juga dramawan), kiranya menambah
kemajuan dunia teater. Jika Yogya adalah tempat penggembelang
para calon dramawan, maka Jakarta adalah tempat di mana mereka
berlaga. Tidak bisa dipungkiri, dalam hal demikian, peranan Taman
Ismail Marzuki tidak sedikit. Banyak dramawan diwisuda melalui
pementasan rutin disana.
Teater
Teater Kontemporer
Kontemporer
Sudah lama dunia ini dibedakan dengan Barat dan Timur. Masa lalu masa
depan. Sudah lama nilai-nilai dipatok dalam dua gawang. Buruk dan baik.
Hitam dan putih. Sudah lama arah disederhanakan menjadi kanan dan kiri.
Depan dan belakang. Atas dan bawah.
Sudah lama wanita dikategorikan dengan jegeg dan bocok. Dan pada
gilirannya juga sudah lama seni dikampling menjadi dua pulau. Tradisional dan
modern. Pertunjukan tradisional dan pertunjukan kontemporer.
Menyederhanakan persoalan, biasanya selalu dirasionalisasi dengan alasan-
alasan keren yang filosofis atau pun politis. Yaitu: menotok inti persoalannya,
sehingga terjadi hantaman yang telak, mendalam dan tuntas menjawab
seluruh persoalan.
Karenanya, pertunjukan kontemporer, bukan hanya tontonan
yang diciptakan dan dilaksanakan oleh manusia masa kini,
tetapi harus tidak boleh kurang dari pertunjukan yang
mencerminkan cita-rasa pembebasan.
Wujudnya bisa pertunjukan eksperimental, yang merupakan
usaha untuk pencarian-pencarian idiom dan bahasa pengucapan
yang baru/segar. Dapat berwujud pertunjukan konvensional,
yang memanfaatkan semua konvensi pertunjukan yang sudah
diterima oleh masyarakat, namun memberikan nuansa yang
baru atau lain/lebih segar dari sebelumnya.
Hampir semua penghuni seni tontonan tradisional Bali adalah seni
kontemporer. Karena bukan saja dulu ketika ia diciptakan untuk
pertama kalinya, ia merupakan ucapan keberadaan orang Bali, tapi
sampai sekarang, ia tetap kukuh menjadi pengucapan diri orang Bali
kini. Hujan parawisata, telah menolong seni pertunjukan Bali itu,
tetap hidup menggebu-gebu.
Sementara kesinambungan seni pertunjukan itu dengan hal-hal yang
bersifat sakral, sebagaimana yang ditulis oleh Doktor I Made
Madem dalam buku “Kaje dan Kelod”, telah membuat hampir semua
jenis pertunjukan itu tak pernah menjadi jerangkong tok. Tapi
berdegup hidup. Berdarah, berdaging dan bernyawa.
Semua seni tontonan itu menjadi aktual, relevan dan mewakili
zaman. Dia senantiasa bergerak sesuai dengan desa-kala-patra,
sejalan dengan manusia-manusia Bali yang sedang ada.
Kabuki
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklo Gedung teater
Kabuki-za di Tokyo pedia bebas
Lukisan gedung pertunjukan kabuki di
zaman Edo.
Etimologi
Etimologi
Banyak pendapat mengenai asal kata dari Kabuki ini, salah
satunya adalah kabusu yang ditulis dengan karakter kanji 歌舞
dengan ditambahkan akhiran す sehingga menjadi kata kerja 歌
舞す yang berarti bernyanyi dan menari .
Selanjutnya disempurnakan menjadi, kabuki (歌舞伎) yang
ditulis dengan tiga karakter kanji, yaitu uta 歌 ( うた ) (lagu),
mai 舞 ( まい ) (tarian), dan ki 伎 ( き ) (tehnik).
Kabuki ( 歌舞伎 ?) adalah seni
teater tradisional khas Jepang. Aktor
kabuki terkenal dengan kostum
mewah dan tata rias wajah yang
mencolok.
Kementerian Pendidikan Jepang
menetapkan kabuki sebagai
warisan agung budaya nonbendawi.
UNESCO juga telah menetapkan
kabuki sebagai
Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan
.
Sejarah
Sejarah

Perintis kabuki, Izumo no Okuni sedang berpakaian laki-laki


Sejarah kabuki dimulai tahun 1603 dengan pertunjukan dramatari
yang dibawakan wanita bernama Okuni di kuil Kitano Temmangu,
Kyoto. Kemungkinan besar Okuni adalah seorang miko asal kuil
Izumo Taisha, tapi mungkin juga seorang kawaramono (sebutan
menghina buat orang kasta rendah yang tinggal di tepi sungai).
Identitas Okuni yang benar tidak dapat diketahui secara pasti. Tari
yang dibawakan Okuni diiringi dengan lagu yang sedang populer.
Okuni juga berpakaian mencolok seperti laki-laki dan bertingkah
laku tidak wajar seperti orang aneh ("kabukimono"), sehingga lahir
suatu bentuk kesenian garda depan (avant garde). Panggung yang
dipakai waktu itu adalah panggung Noh. Hanamichi (honhanamichi
yang ada di sisi kiri penonton dan karihanamichi yang ada di sisi
kanan penonton) di gedung teater Kabuki-za kemungkinan
merupakan perkembangan dari Hashigakari (jalan keluar-masuk
aktor Noh yang ada di panggung sisi kiri penonton).
Kesenian garda depan yang dibawakan Okuni mendadak sangat
populer, sehingga bermunculan banyak sekali kelompok pertunjukan
kabuki imitasi. Pertunjukan kabuki yang digelar sekelompok
wanita penghibur disebut Onna-kabuki (kabuki wanita), sedangkan
kabuki yang dibawakan remaja laki-laki disebut Wakashu-kabuki
(kabuki remaja laki-laki). Keshogunan Tokugawa menilai pertunjukan
kabuki yang dilakukan kelompok wanita penghibur sudah melanggar
batas moral, sehingga di tahun 1629 kabuki wanita penghibur
dilarang dipentaskan. Pertunjukan kabuki laki-laki daun muda juga
dilarang pada tahun 1652 karena merupakan bentuk pelacuran
terselubung. Pertunjukan Yarō kabuki ( 野郎歌舞伎 kabuki pria?)
yang dibawakan seluruhnya oleh pria dewasa diciptakan sebagai
reaksi atas dilarangnya Onna-kabuki dan Wakashu-kabuki. Aktor
kabuki yang seluruhnya terdiri dari pria dewasa yang juga
memainkan peran sebagai wanita melahirkan "konsep baru" dalam
dunia estetika. Kesenian Yarō kabuki terus berkembang di zaman
Edo dan berlanjut hingga sekarang.
Unsur teatrikal Kabuki-kyōgen

Lukisan aktor kabuki di abad ke-18


Secara garis besar ada 2 jenis pertunjukan Kabuki-kyogen dari semua
karya yang dihasilkan di zaman Edo dan sekarang masih dipentaskan.
Kelompok pertama Kabuki-kyogen disebut Maruhon mono yang
mengadaptasi sebagian besar cerita dari cerita Ningyo Jōruri (Bunraku).
Kelompok kedua disebut Kabuki kreasi baru. Kabuki Maruhon mono juga
dikenal sebagai Gidayu-kyōgen, tapi Gidayu-kyōgen tidak selalu sama
dengan Maruhon mono. Pada Gidayu-kyōgen, aktor kabuki membawakan
dialog sementara dari atas mawaributai (panggung yang bisa berputar, dari
arah penonton terletak di sisi kanan panggung) penyanyi yang disebut
Tayu bernyanyi sambil diiringi pemain shamisen yang memainkan musik
Gidayu-bushi. Pada Ningyo Jōruri yang semua penjelasan cerita dan
dialog dinyanyikan oleh Tayu. Pada kabuki kreasi baru, musik pengiring
dimainkan dari Geza (tempat atau ruang untuk pemusik yang dari arah
penonton terletak di sisi kiri panggung).
Cerita kabuki yang berasal dari didramatisasi kisah sejarah disebut Jidaimono.
Cerita kabuki dengan kisah berlatar belakang kehidupan masyarakat disebut
Sewamono. Selain itu, penulis cerita kabuki juga senang menggunakan istilah
sekai (dunia) sebagai kerangka dasar cerita, misalnya karya kabuki berjudul
Taiheiki no sekai ( 太平記の世界 Dunia Taiheiki?), Heike monogatari no sekai
( 平家物語の世界 Dunia Kisah klan Heike?), Sogamono no sekai ( 曾我物の世
界 Dunia Sogamono?), atau Sumidagawamono no sekai ( 隅田川物の世界
Dunia Sumidagawamono?). Penonton biasanya sudah tahu jalan cerita dan
akrab dengan tokoh-tokoh yang tampil dalam cerita. Penonton hanya ingin
menikmati jalan cerita seperti yang dikisahkan penulis cerita kabuki.
Musik kabuki

Musik pengiring kabuki dibagi berdasarkan arah


sumber suara. Musik yang dimainkan di sisi
kanan panggung dari arah penonton disebut
Gidayūbushi. Takemoto (Chobo) adalah
sebutan untuk Gidayūbushi khusus untuk
kabuki. Selain itu, musik yang dimainkan di sisi
kiri panggung dari arah penonton disebut
Geza ongaku, sedangkan musik yang
dimainkan di atas panggung disebut Debayashi.
Judul

Judul
Judul pertunjukan
pertunjukan kabuki
kabuki disebut
disebut Gedai
Gedai (( 外題
外題 ??)) yang
yang kemungkinan
kemungkinan
besar
besar berasal
berasal dari
dari kata
kata Geidai 芸題 nama
Geidai (( 芸題 nama pertunjukan
pertunjukan??).). Judul
Judul
pertunjukan
pertunjukan (gedai)
(gedai) biasanya
biasanya ditulis
ditulis dalam
dalam aksara
aksara kanji
kanji berjumlah
berjumlah
ganjil,
ganjil, misalnya
misalnya pertunjukan berjudul Musume
pertunjukan berjudul Musume dōjōji
dōjōji (( 娘道成寺
娘道成寺 ??)) (4 (4
aksara
aksara kanji)
kanji) harus
harus ditambah dengan Kyōkanoko
ditambah dengan Kyōkanoko (( 京鹿子
京鹿子 ??)) (3 (3 aksara
aksara
kanji)
kanji) menjadi 京鹿子娘道成寺 (Kyōkanoko
menjadi 京鹿子娘道成寺 (Kyōkanoko musume
musume dōjōji
dōjōji ??),), supaya
supaya
bisa
bisa menjadi
menjadi judul
judul yang
yang terdiri
terdiri dari
dari 77 aksara
aksara kanji.
kanji. Selain
Selain judul
judul
pertunjukan
pertunjukan yang
yang resmi,
resmi, pertunjukan
pertunjukan kabuki
kabuki sering
sering memiliki
memiliki judul
judul alias
alias
dan
dan keduanya
keduanya dianggap
dianggap sebagai
sebagai judul
judul yang
yang resmi.
resmi. Pertunjukan
Pertunjukan berjudul
berjudul
resmi
resmi Miyakodori
Miyakodori nagare
nagare no no siranami
siranami (( 都鳥廓白波
都鳥廓白波 ??)) dikenal
dikenal dengan
dengan
judul
judul lain
lain Shinobu
Shinobu no no Sōda
Sōda (( 忍ぶの惣太
忍ぶの惣太 ??).). Pertunjukan
Pertunjukan berjudul
berjudul
Hachiman
Hachiman matsuri
matsuri yomiya
yomiya no no nigiwai
nigiwai (( 八幡 祭小望月賑 ??)) juga
八幡 祭小望月賑 juga dikenal
dikenal
sebagai
sebagai Chijimiya
Chijimiya Shinsuke
Shinsuke (( 縮屋新助
縮屋新助 ??).). Judul
Judul pertunjukan
pertunjukan yang yang harus
harus
ditulis
ditulis dalam
dalam aksara
aksara kanji
kanji
berjumlah
berjumlah ganjil
ganjil menyebabkan
menyebabkan judul judul sering
sering ditulis
ditulis dengan
dengan cara
cara
penulisan
penulisan ateji
ateji,, akibatnya
akibatnya orang
orang sering
sering mendapat
mendapat kesulitan
kesulitan membaca
membaca
judul
judul pertunjukan
pertunjukan kabuki.
kabuki.
Teater
Teater Modern
Modern
Pada suatu ketika kelas borjuasi tidak lagi ingin menonton lakon raja-raja,
bangsawan-bangsawan; mereka ingin melihat diri mereka sendiri. Maka tidak
sia-sia, George Lillo (1731) menulis lakon tentang magang, pelacur, dan saudaga
dalam karyanya Saudagar London. Jelas dalam lakon ini tokoh-tokoh kerajaan
tidak hadir seperti yang terjadi dalam teater Elizabethan, yang hanya
menampilkan wajah kerajaan.
Kebangkitan kelas borjuasi merupakan salah satu sebab munculnya realisme.
Realisme bangkit seiring dengan tumbuh dan berkembang kelas, burjuis di
Eropa. Realisme dianggap tonggak kebangkitan teater modern seiring dengan
bangkitnya Renaesan, dunia perdaganganpun di Eropa mulai maju. Perlahan-
lahan pengaruh dan kekuasan berpindah dari golongan aristokrat pemilik tanah
dan pedagang.
Pandangan Brecht pada fenomena sosial tidak bisa dipisah-
kan dari sikap ideologinya sebagai penganut Marxisme. Brecht
adalah seorang pengecam kapitalisme. Seperti telah
dipaparkan di atas, realisme konvensional di antaranya
tumbuh dan berkembang berkat pertumbuhan dan
perkembangan masyarakat burjuasi. Sementara Brecht
sebagai seorang Marxis beranggapan bahwa kelas pekerja
membutuhkan gaya teater yang lain, yaitu yang
menyampaikan pesan-pesan yang politis.
Sejarah Teater Indonesia
Teater selalu penuh dengan makna. Dalam pandangan New
Hisotricism, makna dalam dunia teater tidak pernah terlepas dari
ideologi, demikian pula dengan dunia teater Indonesia. Sejak
awal,dunia teater Indonesia sudah dibebani dengan ideologi baik yang
pransparan mau pun yang samar-samar. Dari jaman pra-kemerdekaan
hingga tahun 1950an, ketika Indonesia baru saja merdeka selama lima
tahun, ideologi politik nampak jelas mengemuka. Sesudah masa itu,
ideologi lain mengemuka, meski pun sebagian hanya sebagai latar
belakang. Para insan teater nampaknya banyak terperangkap dalam
ideologi-ideologi ini, sehingga mereka lupa membangun dunia teater
sebagai dunia mereka sendiri, tempat mereka berkreasi baik secara
artistik mau pun profesional.
Sejarah secara tradisional dianggap sebagai cerita/catatan yang obyektif
mengenai masa lalu. Akan tetapi, kita mulai menyadari bahwa sejarah tidak
lepas dari bias-bias. kesadaran seperti itu ditangkap dalam New Historicism,
sebuah teori sejarah dengan pandangan kultural. New Historicism
menganggap bahwa sejarah itu subyektif, dan sejarah adalah interpretasi masa
lalu, bukan masa lalu itu sendiri (lihat Basuki:2003). Karena sejarah itu
subyektif, maka sejarah tidak pernah lepas dari bias-bias pemikiran dan nilai-
nilai. Demikian pula, sejarah teater tidak akan pernah lepas dari bias-bias
pemikiran dan nilai-nilai, karena setiap drama atau pertunjukan teater selalu
mengandung seperangkat nilai-nilai, baik yang ditentang atau dikuatkan (lihat
Mason dlm. Basuki, 2003). Seperangkat pemikiran dan nilai-nilai itu, dalam
bahasa Gramscian, disebut ideologi. Ideologi bisa nyata dalam sebuah
kekuatan politik, bisa juga hanya sekedar nilai-nilai dalam masyarakat atau
bahkan sekelompok orang. Ia bisa ‘dipeluk’ secara sadar, tetapi sering lebih
dengan tanpa sadar, yang menurut Althusser terjadi dengan proses
“interpelasi.”
Melayu dan Teater Modern
Melayu
di
Kata atau Riau
nama Melayu telah dikenal dalam rentang waktu yang cukup lama. Kata
atau nama Melayu telah disebut-sebut pada tahun 664/45 Masehi, dan muncul
pertama kali dalam catatan (buku tamu) kerajaan China.
Melayu diartikan sebagai satu suku yang berasal dari Indalus (Sumatra) dan
Seberang Sumatra (Malaka). Di Indalus atau Andalas terdapat kerajaan yang
berhadapan dengan Pulau Bangka, di sana ada Sungai Tatang dan Gunung
Mahameru serta sungai yang bernama ‘Melayu’. Rajanya bernama Demang Lebar
Daun. Kata ‘melayu’ masih ditemui pada bahasa-bahasa di sekitar Palembang dan
juga di Pulau Jawa; yang dihubungkan dengan kata ‘melaju’, atau
‘deras’,’kencang’. Kemudian ‘melayu’ dapat diartikan sungai deras aliran airnya;
bisa juga ditafsirkan orang atau penduduknya pedagang yang gesit, dinamis.
Melayu dapat pula berarti dagang; yang berarti orang asing.
Melayu juga diidentikan dengan Agama Islam. Yang disebut ‘orang melayu’ adalah
orang yang memeluk agama Islam, berbahasa Melayu dan beradat istiadat
Melayu; tidak ada orang Melayu yang tidak beragam Islam.
Seni di Riau
Khususnya di Riau yang kemudian merupakan salah satu
wilayah temadun dari Budaya Melayu, bermukim bermacam-
macam suku bangsa seperti Suku Melayu yang dianggap
sebagai suku asli dan dominan, suku pendatang dari seluruh
Indonesia dan suku-suku terasing. Di samping itu juga
menetap di daerah ini bangsa pedagang dari luar negeri,
yakni Cina. India, Arab dan Bangsa lainnya. Keragaman
atmosfir kesukuan di Riau ini mengindikasikan terjadinya
akulturasi budaya. Kebudayaan Melayu yang pada awalnya
mendominasi berbaur dengan budaya bawaan lainnya yang
ada di Riau.
Keidentikan Budaya Melayu adalah peleburan budaya dan nilai
norma Agama Islam. Agama Islam telah pula menjadi ciri
lahirnya beragam bentuk kreatifitas seni sebagai bagian dari
wujud Kebudayaan Melayu.
Penulis menyadari bahwa kegelisahannya dalam makalah ini
akan memberikan suatu dampak pada ketidaksetujuan dan
pernyataan sikap oleh berbagai pihak pembaca. Perlu
diadakannya alternatif diskusi yang berkelanjutan atas
makalah ini agar tercipta suatu makalah yang sempurna dan
bisa menjadi bentukan dari sebuah loncatan untuk proses
pengidentifikasian sosiologis Melayu dan seni teater modernd
di Riau.
DAFTAR PUSTAKA
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=e
http://translate.googleusercontent.com/translate_c?hl=
http://galileotheater.blogspot.com/2010/02/sejarah-te
http://teaterapakah.blogspot.com/2009/02/para-peleta

You might also like