Professional Documents
Culture Documents
TEATER TRADISIONAL
TRADISIONAL
I. Perkembangan Teater di Indonesia
Selesai pertunjukan mak yong langsung diteruskan acara joget bersama. Penonton
naik ke atas panggung untuk menari bersama penari mak yong. Alat musik untuk
mak yong juga diganti dengan biola dan akordion untuk memainkan lagu untuk
berjoget.
LENONG
LENONG
Sifat teater ini sudah mapan, artinya segala sesuatunya sudah teratur,
dengan cerita, pelaku yang terlatih, gedung pertunjukan yang
memandai dan tidak lagi menyatu dengan kehidupan rakyat
(penontonnya). Lahirnya jenis teater ini dari pusat kerjaan. Sifat
feodalistik tampak dalam jenis teater ini. Contoh – contohnya: Wayang
Kulit, Wayang Orang, dan Wayang Golek. Ceritanya statis, tetapi
memilki daya tarik berkat kreativitas dalang atau pelaku teater
tersebut dalam menghidupakan lakon.
3.Teater
Teater Transisi
transisi merupakan teater yang bersumber dari
teater tradisional, tetapi gaya penajiannya sudah
dipengaruhi oleh teater Barat. Jenis teater seperti
Komidi Stambul, Sandiwara Dardanela, Sandiwara
Srimulat, dan sebagainya merupakan contoh teater
transisi. Dalam Srimulat sebagai contoh, pola ceritanya
sama dengan Ludruk atau Ketoprak, tetapi jenis
ceritanya diambil dari dunia modern. Musik, dekor, dan
property lain menggunakan teknik Barat.
II.ABDUL MULUK
Grup teater ini merupakan awal grup teater yang
meninggalakan ciri – cirri tradisional, misalnya
sebagai berikut.
Judul
Judul pertunjukan
pertunjukan kabuki
kabuki disebut
disebut Gedai
Gedai (( 外題
外題 ??)) yang
yang kemungkinan
kemungkinan
besar
besar berasal
berasal dari
dari kata
kata Geidai 芸題 nama
Geidai (( 芸題 nama pertunjukan
pertunjukan??).). Judul
Judul
pertunjukan
pertunjukan (gedai)
(gedai) biasanya
biasanya ditulis
ditulis dalam
dalam aksara
aksara kanji
kanji berjumlah
berjumlah
ganjil,
ganjil, misalnya
misalnya pertunjukan berjudul Musume
pertunjukan berjudul Musume dōjōji
dōjōji (( 娘道成寺
娘道成寺 ??)) (4 (4
aksara
aksara kanji)
kanji) harus
harus ditambah dengan Kyōkanoko
ditambah dengan Kyōkanoko (( 京鹿子
京鹿子 ??)) (3 (3 aksara
aksara
kanji)
kanji) menjadi 京鹿子娘道成寺 (Kyōkanoko
menjadi 京鹿子娘道成寺 (Kyōkanoko musume
musume dōjōji
dōjōji ??),), supaya
supaya
bisa
bisa menjadi
menjadi judul
judul yang
yang terdiri
terdiri dari
dari 77 aksara
aksara kanji.
kanji. Selain
Selain judul
judul
pertunjukan
pertunjukan yang
yang resmi,
resmi, pertunjukan
pertunjukan kabuki
kabuki sering
sering memiliki
memiliki judul
judul alias
alias
dan
dan keduanya
keduanya dianggap
dianggap sebagai
sebagai judul
judul yang
yang resmi.
resmi. Pertunjukan
Pertunjukan berjudul
berjudul
resmi
resmi Miyakodori
Miyakodori nagare
nagare no no siranami
siranami (( 都鳥廓白波
都鳥廓白波 ??)) dikenal
dikenal dengan
dengan
judul
judul lain
lain Shinobu
Shinobu no no Sōda
Sōda (( 忍ぶの惣太
忍ぶの惣太 ??).). Pertunjukan
Pertunjukan berjudul
berjudul
Hachiman
Hachiman matsuri
matsuri yomiya
yomiya no no nigiwai
nigiwai (( 八幡 祭小望月賑 ??)) juga
八幡 祭小望月賑 juga dikenal
dikenal
sebagai
sebagai Chijimiya
Chijimiya Shinsuke
Shinsuke (( 縮屋新助
縮屋新助 ??).). Judul
Judul pertunjukan
pertunjukan yang yang harus
harus
ditulis
ditulis dalam
dalam aksara
aksara kanji
kanji
berjumlah
berjumlah ganjil
ganjil menyebabkan
menyebabkan judul judul sering
sering ditulis
ditulis dengan
dengan cara
cara
penulisan
penulisan ateji
ateji,, akibatnya
akibatnya orang
orang sering
sering mendapat
mendapat kesulitan
kesulitan membaca
membaca
judul
judul pertunjukan
pertunjukan kabuki.
kabuki.
Teater
Teater Modern
Modern
Pada suatu ketika kelas borjuasi tidak lagi ingin menonton lakon raja-raja,
bangsawan-bangsawan; mereka ingin melihat diri mereka sendiri. Maka tidak
sia-sia, George Lillo (1731) menulis lakon tentang magang, pelacur, dan saudaga
dalam karyanya Saudagar London. Jelas dalam lakon ini tokoh-tokoh kerajaan
tidak hadir seperti yang terjadi dalam teater Elizabethan, yang hanya
menampilkan wajah kerajaan.
Kebangkitan kelas borjuasi merupakan salah satu sebab munculnya realisme.
Realisme bangkit seiring dengan tumbuh dan berkembang kelas, burjuis di
Eropa. Realisme dianggap tonggak kebangkitan teater modern seiring dengan
bangkitnya Renaesan, dunia perdaganganpun di Eropa mulai maju. Perlahan-
lahan pengaruh dan kekuasan berpindah dari golongan aristokrat pemilik tanah
dan pedagang.
Pandangan Brecht pada fenomena sosial tidak bisa dipisah-
kan dari sikap ideologinya sebagai penganut Marxisme. Brecht
adalah seorang pengecam kapitalisme. Seperti telah
dipaparkan di atas, realisme konvensional di antaranya
tumbuh dan berkembang berkat pertumbuhan dan
perkembangan masyarakat burjuasi. Sementara Brecht
sebagai seorang Marxis beranggapan bahwa kelas pekerja
membutuhkan gaya teater yang lain, yaitu yang
menyampaikan pesan-pesan yang politis.
Sejarah Teater Indonesia
Teater selalu penuh dengan makna. Dalam pandangan New
Hisotricism, makna dalam dunia teater tidak pernah terlepas dari
ideologi, demikian pula dengan dunia teater Indonesia. Sejak
awal,dunia teater Indonesia sudah dibebani dengan ideologi baik yang
pransparan mau pun yang samar-samar. Dari jaman pra-kemerdekaan
hingga tahun 1950an, ketika Indonesia baru saja merdeka selama lima
tahun, ideologi politik nampak jelas mengemuka. Sesudah masa itu,
ideologi lain mengemuka, meski pun sebagian hanya sebagai latar
belakang. Para insan teater nampaknya banyak terperangkap dalam
ideologi-ideologi ini, sehingga mereka lupa membangun dunia teater
sebagai dunia mereka sendiri, tempat mereka berkreasi baik secara
artistik mau pun profesional.
Sejarah secara tradisional dianggap sebagai cerita/catatan yang obyektif
mengenai masa lalu. Akan tetapi, kita mulai menyadari bahwa sejarah tidak
lepas dari bias-bias. kesadaran seperti itu ditangkap dalam New Historicism,
sebuah teori sejarah dengan pandangan kultural. New Historicism
menganggap bahwa sejarah itu subyektif, dan sejarah adalah interpretasi masa
lalu, bukan masa lalu itu sendiri (lihat Basuki:2003). Karena sejarah itu
subyektif, maka sejarah tidak pernah lepas dari bias-bias pemikiran dan nilai-
nilai. Demikian pula, sejarah teater tidak akan pernah lepas dari bias-bias
pemikiran dan nilai-nilai, karena setiap drama atau pertunjukan teater selalu
mengandung seperangkat nilai-nilai, baik yang ditentang atau dikuatkan (lihat
Mason dlm. Basuki, 2003). Seperangkat pemikiran dan nilai-nilai itu, dalam
bahasa Gramscian, disebut ideologi. Ideologi bisa nyata dalam sebuah
kekuatan politik, bisa juga hanya sekedar nilai-nilai dalam masyarakat atau
bahkan sekelompok orang. Ia bisa ‘dipeluk’ secara sadar, tetapi sering lebih
dengan tanpa sadar, yang menurut Althusser terjadi dengan proses
“interpelasi.”
Melayu dan Teater Modern
Melayu
di
Kata atau Riau
nama Melayu telah dikenal dalam rentang waktu yang cukup lama. Kata
atau nama Melayu telah disebut-sebut pada tahun 664/45 Masehi, dan muncul
pertama kali dalam catatan (buku tamu) kerajaan China.
Melayu diartikan sebagai satu suku yang berasal dari Indalus (Sumatra) dan
Seberang Sumatra (Malaka). Di Indalus atau Andalas terdapat kerajaan yang
berhadapan dengan Pulau Bangka, di sana ada Sungai Tatang dan Gunung
Mahameru serta sungai yang bernama ‘Melayu’. Rajanya bernama Demang Lebar
Daun. Kata ‘melayu’ masih ditemui pada bahasa-bahasa di sekitar Palembang dan
juga di Pulau Jawa; yang dihubungkan dengan kata ‘melaju’, atau
‘deras’,’kencang’. Kemudian ‘melayu’ dapat diartikan sungai deras aliran airnya;
bisa juga ditafsirkan orang atau penduduknya pedagang yang gesit, dinamis.
Melayu dapat pula berarti dagang; yang berarti orang asing.
Melayu juga diidentikan dengan Agama Islam. Yang disebut ‘orang melayu’ adalah
orang yang memeluk agama Islam, berbahasa Melayu dan beradat istiadat
Melayu; tidak ada orang Melayu yang tidak beragam Islam.
Seni di Riau
Khususnya di Riau yang kemudian merupakan salah satu
wilayah temadun dari Budaya Melayu, bermukim bermacam-
macam suku bangsa seperti Suku Melayu yang dianggap
sebagai suku asli dan dominan, suku pendatang dari seluruh
Indonesia dan suku-suku terasing. Di samping itu juga
menetap di daerah ini bangsa pedagang dari luar negeri,
yakni Cina. India, Arab dan Bangsa lainnya. Keragaman
atmosfir kesukuan di Riau ini mengindikasikan terjadinya
akulturasi budaya. Kebudayaan Melayu yang pada awalnya
mendominasi berbaur dengan budaya bawaan lainnya yang
ada di Riau.
Keidentikan Budaya Melayu adalah peleburan budaya dan nilai
norma Agama Islam. Agama Islam telah pula menjadi ciri
lahirnya beragam bentuk kreatifitas seni sebagai bagian dari
wujud Kebudayaan Melayu.
Penulis menyadari bahwa kegelisahannya dalam makalah ini
akan memberikan suatu dampak pada ketidaksetujuan dan
pernyataan sikap oleh berbagai pihak pembaca. Perlu
diadakannya alternatif diskusi yang berkelanjutan atas
makalah ini agar tercipta suatu makalah yang sempurna dan
bisa menjadi bentukan dari sebuah loncatan untuk proses
pengidentifikasian sosiologis Melayu dan seni teater modernd
di Riau.
DAFTAR PUSTAKA
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=e
http://translate.googleusercontent.com/translate_c?hl=
http://galileotheater.blogspot.com/2010/02/sejarah-te
http://teaterapakah.blogspot.com/2009/02/para-peleta