Professional Documents
Culture Documents
Bakat dan kecerdasan yang memungkinkan kita bekerja adalah anugerah. Dengan bekerja, setiap tanggal muda
kita menerima gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan bekerja kita punya banyak teman dan
kenalan, punya kesempatan untuk menambah ilmu dan wawasan, dan masih banyak lagi. Semua itu anugerah
yang patut disyukuri. Sungguh kelewatan jika kita merespons semua nikmat itu dengan bekerja ogah-ogahan.
Secara alami, aktualisasi diri itu bagian dari kebutuhan psikososial manusia. Dengan bekerja, misalnya,
seseorang bisa berjabat tangan dengan rasa pede ketika berjumpa koleganya. “Perkenalkan, nama saya Miftah,
dari Bank Kemilau.” Keren ‘kan?
Seorang pemahat tiang menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mengukir sebuah puncak tiang yang tinggi.
Saking tingginya, ukiran itu tak dapat dilihat langsung oleh orang yang berdiri di samping tiang. Orang-orang
pun bertanya, buat apa bersusah payah membuat ukiran indah di tempat yang tak terlihat? Ia menjawab,
“Manusia memang tak bisa menikmatmnya. Tapi Tuhan bisa melihatnya.” Motivasi kerjanya telah berubah
menjadi motivasi transendental.
“Antusiasmelah yang membuat saya mampu bekerja berbulan-bulan di laboratorium yang sepi,” katanya. Jadi,
sekali lagi, semua kerja adalah seni. Bahkan ilmuwan seserius Einstein pun menyebut rumus-rumus fisika yang
njelimet itu dengan kata sifat beautiful.
Jansen mengambil contoh etos kerja Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan Indonesia kawakan ini tetap bekerja
(menulis), meskipun ia dikucilkan di Pulau Buru yang serba terbatas. Baginya, menulis merupakan sebuah
kehormatan. Hasilnya, kita sudah mafhum. Semua novelnya menjadi karya sastra kelas dunia.
Pada pertengahan abad ke-20 di Prancis, hidup seorang lelaki tua sebatang kara karena ditinggal mati oleh istri
dan anaknya. Bagi kebanyakan orang, kehidupan seperti yang ia alami mungkin hanya berarti menunggu
kematian. Namun bagi dia, tidak. Ia pergi ke lembah Cavennen, sebuah daerah yang sepi. Sambil
menggembalakan domba, ia memunguti biji oak, lalu menanamnya di sepanjang lembah itu. Tak ada yang
membayarnya. Tak ada yang memujinya. Ketika meninggal dalam usia 89 tahun, ia telah meninggalkan sebuah
warisan luar biasa, hutan sepanjang 11 km! Sungai-sungai mengalir lagi. Tanah yang semula tandus menjadi
subur. Semua itu dinikmati oleh orang yang sama sekali tidak ia kenal.
Di Indonesia semangat kerja serupa bisa kita jumpai pada Mak Eroh yang membelah bukit untuk mengalirkan
air ke sawah-sawah di desanya di Tasikmalaya, Jawa Barat. Juga pada diri almarhum Munir, aktivis Kontras
yang giat membela kepentingan orang-orang yang teraniaya.
“Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan dilengkapi keinginan untuk berbuat baik,” kata Jansen.
Dalam bukunya Ethos21, ia menyebut dengan istilah rahmatan lii alamin (rahmat bagi sesama).
“Asalkan pekerjaan yang halal,” katanya. “Umumnya, orang bekerja itu ‘kan hanya untuk nyari gaji. Padahal
pekerjaan itu punya banyak sisi,” katanya.
Kerja bukan hanya untuk mencari makan, tetapi juga mencari makna. Rata-rata kita menghabiskan waktu 30 -
40 tahun untuk bekerja. Setelah itu pensiun, lalu manula, dan pulang ke haribaan Tuhan. “Manusia itu makhluk
pencari makna. Kita harus berpikir, untuk apa menghabiskan waktu 40 tahun bekerja. Itu ‘kan waktu yang
sangat lama,”
Salah satu faktor yang menyebabkan krisis multidimensi Indonesia sejak tahun 1997 adalah
merajalelanya etos kerja yang buruk. Jansen mengambil contoh di tiga bidang saja. Pertama di
bidang ekonomi, masyarakat lebih mengutamakan ekonomi rente daripada ekonomi riil, sebuah
cerminan etos kerja yang ingin cepat kaya tanpa kerja keras.
Kedua, di bidang birokrasi, untuk bisa duduk di jabatan tertentu harus menyogok, yang mencerminkan
etos yang mengutamakan jabatan demi uang dan kekuasaan daripada prestasi dan pelayanan publik.
Ketiga, di bidang pendidikan, ijazah bisa dibeli asal ada uang, merupakan cerminan etos buruk yang
menginginkan gelar tanpa kompetensi.
Sebagai perbandingan, Jansen lantas mengutip etos Jepang dan Jerman. Jepang terkenal dengan etos
Samurai, (1) bersikap benar dan bertanggungjawab, (2) berani dan ksatria, (3) murah hati dan
mencintai, (4) bersikap santun dan hormat, (5) bersikap tulus dan sungguh-sungguh, (6) menjaga
martabat dan kehormatan, dan (7) mengabdi pada bangsa.
Sedangkan Jerman dikenal memiliki etos (1) bertindak rasional, (2) berdisiplin tinggi, (3) bekerja keras,
(4) berorientasi sukses material, (5) tidak mengumbar kesenangan, (6) hemat dan bersahaja, serta (7)
menabung dan berinvestasi.
Bagaimana dengan Indonesia? Mengutip Mochtar Lubis dalam bukunya Manusia Indonesia [1977],
‘etos kerja’ orang Indonesia adalah (1) Munafik atau hipokrit. Suka berpura-pura, lain di mulut lain di
hati; (2) Enggan bertanggung jawab. Suka mencari kambing hitam; (3) Berjiwa feodal. Gemar upacara,
suka dihormati daripada menghormati dan lebih mementingkan status daripada prestasi; (4) Percaya
takhyul. Gemar hal keramat, mistis dan gaib; (5) Berwatak lemah. Kurang kuat mempertahankan
keyakinan, plinplan, dan gampang terintimidasi. Dari kesemuanya, hanya ada satu yang positif, yaitu
(6) Artistik; dekat dengan alam.
Pandangan Mochtar Lubis ini kemudian dipertanyakan kembali oleh Jansen. Benarkah Indonesia
memiliki etos seperti itu? Namun Jansen mengakui bahwa etos orang Indonesia di atas memang sulit
dipungkiri, tampaknya merupakan sebuah kenyataan yang pahit.
Dan karena hal tersebut bangsa Indonesia kini sudah menjadi bangsa paria di dalam pergaulan
internasional. Utang semakin banyak, korupsi marajalela dan tidak mampu menangani bencana dalam
negeri. Contohnya saat bencana di Aceh dan Nias, menjadi cermin yang nyata betapa miskin dan tidak
berdayanya bangsa ini. Mengurus rakyat hampir tidak mampu tetapi KKN jalan terus.
Melihat kenyataan ini, sebagai anak bangsa apakah akan berdiam diri saja? Tentu saja tidak. Sebagai
bentuk kepeduliaan itulah Jansen bersama rekan-rekannya di IDM mengkampanyekan etos kemana-
mana.
Jansen berkeyakinan bahwa dari 220 juta rakyat Indonesia, tidak semua memiliki etos yang buruk.
Misalkan ada pendapat yang mengatakan bahwa DPR sebenarnya tidak peduli pada rakyat karena
mereka masih sempat-sempatnya memikirkan kenaikan gaji sementara mereka (pura-pura) menentang
kenaikan harga BBM. Tetapi tentu, tidak semua dari 550 anggota tersebut yang berperilaku seperti itu.
Di Senayan pasti masih ada yang mempunyai hati nurani, benar-benar memikirkan kepentingan rakyat,
dan bersedia berkorban.
Atas keyakinan seperti itulah Jansen terus berusaha memperkuat etos sebisa mungkin dan dengan
demikian turut memberi andil dalam mengubah etos bangsa ini. Dan Jansen tentu tidak sendirian.
Masih banyak yang peduli. Ia mengambil contoh, sebuah bank nasional saat ini sedang mencoba
merumuskan etos mereka yaitu (1) berorientasi kepada nasabah, (2) menjunjung integritas, (3)
berdisiplin, (4) kerjasama, (5) saling percaya dan saling menghormati, (6) pemberdayaan SDM, (7)
keseimbangan, (8) kepemimpinan, dan (9) kepedulian pada lingkungan. Itulah etos yang hendak
ditegakkan dan diharapkan bisa mengubah mereka menjadi lebih baik.
Dengan adanya komitmen yang dimulai dengan merumuskan etos seperti itu, setidaknya menunjukkan
adanya tekad memperbaiki diri untuk menjadi lebih baik. Jadi, ibaratnya, dari sekian banyak pulau di
Indonesia yang sudah kumuh, masih terdapat pulau-pulau yang bersih.
Indonesia dikarunia sumber daya alam yang melimpah ruah dan jumlah penduduk yang besar. Bagi
Jansen, itu menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya adalah sebuah negara yang kaya, bangsa yang
besar. Dan itu merupakan modal untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan sejahtera.
Kenyataannya rakyat miskin bertambah banyak, pengangguran semakin meningkat, dan banyak anak
yang tidak mempunyai kesempatan untuk bersekolah.
Mengapa semua itu bisa terjadi? ”Sekali lagi, hal ini disebabkan oleh etos bangsa Indonesia masih jauh
dari yang diharapkan. Etos kerja sangat penting untuk memperkuat bangsa dari sudut kerja, karena
semua bidang kehidupan seperti bisnis, politik, sosial, dan sebagainya sebenarnya bergulat pada sebuah
dunia yang disebut kerja. Ada pekerja politik, pekerja bisnis, pekerja sosial, pekerja birokrasi, yang
semuanya menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk pekerja. Lewat bekerja, kita membangun
organisasi dan bangsa kita,” katanya penuh semangat.
Jansen pun mengungkapkan harapannya akan bangsa ini. “Republik ini harusnya adalah republik
dermawan. Jadi bila ada bencana di negara-negara lain, Indonesia bisa mengirim kapal, helikopter,
dokter, tentara, dan sebagainya.“ Mengambil lagi contoh bencana di Aceh dan Nias, dengan jelas
memberikan gambaran ciri khas bangsa yang sudah maju dan tinggi peradabannya. Mereka adalah
bangsa yang dermawan, cepat dalam mengirim bantuan.
Rendahnya etos Indonesia menurut Jansen juga diperparah dengan negatifnya keteladanan yang
ditunjukkan oleh para pemimpin. Mereka merupakan model bagi masyarakat yang bukan hanya
memiliki kekuasaan formal, namun juga kekuasaan nonformal yang justru sering disalahgunakan.
Misalkan seorang pemimpin melakukan korupsi, dan karena mempunyai kuasa untuk menutupi
perbuatannya, hasil korupsi itu dibagi-bagikan ke bawahannya. Awalnya mungkin ada beberapa orang
yang menolak untuk ikut ambil bagian. Tetapi karena adanya tekanan, dikucilkan, dikatakan sok suci,
tidak setia kawan, dan sebagainya, mau tidak mau ia pun terpaksa ikut ambil bagian, dan lama
kelamaan ia malah ketagihan dan mengganggapnya sebagai hal yang normal.
Interaksi sosial di antara elit dengan level di bawahnya, pemimpin dengan rakyat, membuat situasi
menjadi terkondisi demikian. Oleh karena itu yang dibutuhkan adalah dengan menunjukkan sikap dan
perilaku yang positif. Misalkan ada kecelakaan kereta api, seorang dirjen harus bisa menunjukkan
tanggungjawabnya dengan menyatakan mundur dari jabatannya. Dengan melakukannya, akan timbul
sikap respek dan hormat dari masyarakat, dan ini akan menjadi pembelajaran yang berharga.
Melihat kenyataan etos di Indonesia yang buruk, Jansen menawarkan solusi. Bagi ia, jawaban atas
keberhasilan sebuah bangsa atau organisasi terletak pada etos kerja (culture) mereka. Dalam buku
berjudul Culture Matters, Huntington menulis prakata yang mengatakan tiga puluh tahun yang lalu,
Ghana dan Korea Selatan memiliki kesamaan dalam banyak hal seperti indikator ekonomi dan
sebagainya.
Namun, sekarang Korea Selatan sudah menjadi negara yang sangat maju sedangkan Ghana nyaris tidak
mengalami perubahan alias berjalan di tempat. Kenapa hal itu bisa terjadi? Semua analisis akhirnya
sampai pada satu kesimpulan, akar penyebabnya adalah culture (budaya).
Culture dalam bahasa Jansen adalah etos. Etos mencakup sikap terhadap waktu, kerja, dan masa depan
yang kemudian membentuk sehimpunan perilaku khas individu atau organisasi. Pada tingkat
internasional sudah dibuktikan bahwa maju tidaknya peradaban sebuah bangsa ditentukan oleh etosnya.
Perusahaan-perusahaan kelas dunia seperti Matshushita dari Jepang, Kodak dari Amerika, juga berhasil
karena mempunyai etos kerja yang unggul.
Begitu pula dengan tokoh-tokoh yang terkenal dari berbagai latar belakang seperti Nelson Mandela,
Mahatma Gandi, dan sebagainya. Mereka semua muncul sebagai tokoh dunia karena etos - cita-cita,
nilai, prinsip, pilihan, standar perilaku – yang mereka miliki berbeda dari manusia kebanyakan.
Bercermin pada pengalaman di ataslah yang menjadi motivator dan menggerakkan Jansen untuk
membuat Ethos
ETOS KERJA
Etos sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti adat dan kebiasaan. Menurut Jansen Sinamo, maka
etos merupakan kunci dan fondasi keberhasilan suatu masyarakat atau bangsa diterima secara aklamasi.
Selain itu, etos merupakan syarat utama bagi semua upaya peningkatan kualitas tenaga kerja atau SDM,
baik pada level individual, organisasional, maupun sosial. Selain itu, metode pembangunan integritas
bangsa harus dilakukan secara fokus dan serius, membawa misi perbaikan dalam proses
berkesinambungan, serta keterlibatan total dari seluruh elemen masyarakat Indonesia.