You are on page 1of 8

Artikel:

Ikut Bimbingan Belajar, Perlu Tidak?


Judul: Ikut Bimbingan Belajar, Perlu Tidak?
Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum bagian PENDIDIKAN /
EDUCATION.
Nama & E-mail (Penulis): Arief Achmad
Saya Guru di Bandung
Topik: Bimbingan Belajar
Tanggal: 25-10-2007
Ikut Bimbingan Belajar, Perlu Tidak?

Oleh: ARIEF ACHMAD*)

KETIKA hasil ulangan harian dilaporkan kepada orang tua siswa dalam bentuk laporan
tengah semester, maka terdapat beragam hasil dengan bermacam reaksi. Ada yang
cukup puas karena menggambarkan pencapaian belajar siswa selama ini sehingga nilai
mata pelajaran (MP)nya tuntas (¡Ý KKM, sama dengan/lebih dari nilai Kriteria Ketuntasan
Minimal). Ada yang tidak puas karena nilainya di bawah KKM. Ada pula yang tidak puas,
meskipun nilainya tuntas tetapi tidak sesuai dengan target pribadinya, yang menghendaki
nilai MP tertentu lebih besar dari KKM.

Orang tua dan siswa dari dua kelompok terakhir ini tentu saja akan berusaha habis-
habisan supaya keinginannya tercapai, yaitu nilai MP mencapai ketuntasan atau sesuai
dengan target pribadinya. Upaya instant yang dapat ditempuh untuk mendongkrak
prestasi belajar siswa adalah dengan mencari pelajaran tambahan di sekolah, memanggil
guru privat ke rumah, atau ikut bimbingan belajar (bimbel). Ketiganya membawa
konsekuensi logis secara ekonomis, yakni memerlukan dana-biaya.

Sebagai pilihan populer para siswa, bimbel umumnya dijadikan tempat untuk menggenjot
nilai hasil belajar di sekolah, selain untuk mempersiapkan diri ke perguruan tinggi. Sah-
sah saja kalau siswa dan orang tuanya berpersepsi seperti itu.

Adanya prestise, tuntutan, dan kegalauan orang tua agar anaknya memeroleh hasil
belajar yang tinggi ini memang menjadi lahan yang subur bagi bisnis pendidikan yang
berkibar sebagai ¡°bimbel¡±. Akan tetapi, apakah bimbel ini benar-benar membimbing
anak untuk dapat belajar dengan baik melalui usahanya sendiri dan sesuai dengan
hakikat belajar? Hakikat belajar ialah suatu proses psikis yang berlangsung dalam
interaksi aktif subjek dengan lingkungannya dan yang menghasilkan perubahan-
perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai-sikap, yang bersikap
konstan atau menetap.

Sebagaimana kita ketahui, di bimbel, anak dijejali dan didrill dengan soal-soal. Hakikat
belajar dibelokkan menjadi kemampuan menjawab soal. Nilai tambah bimbel tinimbang
sekolah adalah ketersediannya memberikan rumus-rumus praktis pelajaran. Bahkan
tidak tertutup kemungkinan adanya ¡°oknum¡± bimbel yang berkolusi dengan aparat
pendidikan untuk mendapatkan bocoran soal dan kunci jawaban ulangan umum hingga
ujian nasional (UN) kepada para siswanya agar memeroleh nilai tinggi di sekolahnya atau
lulus UN. Anehnya, bimbel yang model begini siswanya melimpah ruah.

Fenomena di atas telah mendestruksi nilai-nilai eduatif dan moral anak, serta
menumbuhkembangkan mental menerabas, mau gampangnya saja. Nilai kejujuran
tercabik-cabik. Terjadilah superioritas semu. Bila anak dikondisikan terus-menerus
seperti itu, pada gilirannya akan menimbulkan reduksi moral yang permanen. Orang tua
dan masyarakatlah kelak yang akan menanggung dampaknya.

Pada hakikatnya, jika seorang siswa belajar dengan sungguh-sungguh di sekolah serta
diteruskan dengan tekun, teratur, dan tertib di rumahnya niscaya akan meraih hasil
belajar yang baik pula. Namun, anak yang terobsesi oleh tuntutan orang tua, terpengaruh
teman-temannya, dan terpincut promosi pengusaha bimbel ini sebenarnya adalah anak
yang mempunyai kemampuan dan kekurangan sekaligus.

Kemampuannya adalah anak sanggup menjaga prestise orang tua, bergaul dengan
sesamanya (=jadi anak gaul), dan mampu membayar ratusan ribu bahkan jutaan rupiah
biaya bimbel. Kekurangannya adalah cuma satu, kurang pede (percaya diri).
Kekurangpercayaan pada kemampuannya sendiri, pada proses belajarnya sendiri, pada
kegiatan pendidikan di sekolahnya sendiri inilah yang menyuburkan ladang bisnis bimbel
di kota-kota besar.

Jadi, ikut bimbel itu perlu atau tidak?

Bagi siswa yang sulit belajar mandiri, kurang dapat mengikuti pelajaran dari guru di
sekolah atau kondisi lingkungan rumahnya tidak kondusif untuk belajar dan (yang
terpenting!) orang tuanya memiliki cukup dana-biaya, maka ikut bimbel sangat
direkomendasikan di sini. Tetapi dengan catatan, siswa tetap pro-aktif selama ikut
bimbel, jangan pasif, cuma menjadi penonton para pengajar bimbel (tentor) yang sibuk
mengotak-atik jurus/rumus singkat pemecahan soal. Siswa, selain rajin mencatat
penjelasan para tentor dan menyimak buku-buku panduannya, juga harus aktif bertanya
baik selama proses belajar berlangsung maupun di luar waktu itu, jika sekiranya ada
materi soal yang tidak dimengertinya. Jangan menyia-nyiakan ratusan ribu hingga
jutaaan rupiah uang orang tua kalau hanya untuk berbengong ria atau ngerumpi sesama
siswa di bimbel!

*) Penulis, Guru SMAN 21 Bandung, Ketua AGP-PGRI Jawa Barat.


Saya Arief Achmad setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di
Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya
sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

CATATAN:
Artikel-artikel yang muncul di sini akan tetap di
pertanggungjawabkan oleh penulis-penulis artikel
masing-masing dan belum tentu mencerminkan sikap,
pendapat atau kepercayaan Pendidikan Network.

Artikel:
BEDA GURU SEKOLAH NEGERI,
SEKOLAH SWASTA,
DAN BIMBINGAN BELAJAR
Judul: BEDA GURU SEKOLAH NEGERI , SEKOLAH SWASTA, DAN BIMBINGAN
BELAJAR
Bahan ini cocok untuk Sekolah Menengah.
Nama & E-mail (Penulis): MUCHTARIDI, MSi, Apt
Saya Dosen di Jurusan Farmasi FMIPA UNPAD
Topik: Kualitas Guru
Tanggal: 17 Desember 2004
Guru merupakan ujung tombak keberhasilan suatu sistem pendidikan. Bagaimanapun
sistem pendidikannya, jika guru kurang siap melaksanakannya tetap saja hasilnya sama
"jelek". Sistem KBK yang diterapkan saat ini, sebetulnya sudah diterapkan di sekolah
swasta yang ekonomi siswanya menengah ke atas. KBK suskses di sekolah swasta
karena mereka berani memberikan kesejahteraan guru yang lebih baik dan fasilitas yang
lengkap dibandingkan sekolah negeri, setidaknya ini juga disampaikan oleh Pak Said,
bahwa sebetulnya yang sangat mempengaruhi kualitas guru adalah kondisi sosial guru.
Renungkanlah kalimat yang diucapkan salah seorang guru besar Universiti Kebangsaan
Malaysia saat melawat ke Jakarta "Di Indonesia sebetulnya gurunya pintar-pintar jika
dibandingkan dengan Malaysia, lalu kenapa pendidikan disana lebih maju pesat, karena
kami saat mengajar dalam benak kami tidak punya pikiran aduh gimana besok, sehingga
kami benar-benar bekerja keras untuk pendidikan", kira-kira itulah sari kalimat yang
disampaikan nya. Jadi, jika kita simak maksud kalimat saat mengajar dalam benak kami
tidak punya pikiran "aduh gimana besok", saya yakin maksudnya bahwa agar guru
mengajar dengan optinal di kelas, sebaiknya guru diberikan kenyamanan dalam hal
kondisi sosialnya.

Di sekolah swasta yang bonafit, guru benar-benar dikontrol kualitasnya dengan berbagai
program yang diadakan yayasan demi menjaga kualitas sekolah tersebut dan
kepercayaan dari orang tua murid, sehingga hasilnya pun sangat memuaskan. Bukti
sederhana bagaimana hasil didikan sekolah-sekolah swasta adalah prestasi siswa
mereka di Olimpiade Sains tingkat Nasional dan Internasional. Misalnya, SMA Xaverius
Palembang, SMA IPEKA Medan, dan SMA Aloysius Bandung, SMA BPK Penabur.

Guru di PNS (sekolah Negeri), sudah terlanjur terjebak oleh kalimat pahlawan tanpa
pamrih, sehingga akibatnya posisi guru di masyarakat, bahkan di kalangan pejabat
terasa terpinggirkan dan tersisihkan. Pemalsuan ijazah oleh caleg merupakan salah satu
indikasi bahwa posisi guru diremehkan. Saat guru berpikir bahwa yang dilakukannya
adalah hanya semata-mata ibadah, lalu godaan pun datang seperti siswa
melecehkannya karena merasa "saya punya uang lebih", atau orang tua yang punya
jabatan 'wah", seenaknya memaki guru oleh karena anaknya didisiplinkan, atau orang
tua ingin anaknya punya rangking, sehingga mengembel-embel hadiah yang
menjanjikan". Godaan itu, menjadi hal yang wajar dalam wajah pendidikan Indonesia,
yang akhirnya menyeret keterpurukan bagsa ini. Bagi guru yang berkualitas, godaan
tersebut seharusnya bisa ditolak, tapi malah ada juga guru yang marah ke siswa karena
siswa tidak memberi hadiah saat kenaikan kelas.

Mungkin Pa Said lupa, mengapa banyak guru kurang optimal mengajar di kelas?.
Cobalah simak bagaimana sekeksi guru PNS. Mengandalkan Akta IV yang dipunyai
calon, calon guru hanya diuji tes tertulis, kemudian wawancara. Lalu apakan diuji cara
mengajar atau meyampaikan materi pelajaran?. Ini juga salah satu kelemahan sistem
seleksi guru kita di Indonesia (PNS), yang membuat guru mengajar kurang optimal, kita
terlalu percaya bahwa yang punya Akta IV bisa mengajar, saya yakin tidak semua?. Kita
patut puji Diknas Sukabumi, karena sistem seleksi guru di Sukabumi telah menerapkan
hal tersebut. Dan ini pula, yang mengakibatkan kualitas guru di bimbel dengan guru
sekolah timpang dalam hal menyampaikan materi.

Lalu bagaimana kualitas guru di sekolah dan di bimbel? Tulisan Sanita (HU PR Selasa,
04/05/04) yang berjudul "Bisakah sistem bimbel diterapkan di sekolah" merupakan ide
yang cemerlang, tapi tidak semua betul. Beberapa hal yang mebedakan kuaitas guru di
bimbel lebih baik dalam hal menyampaikan materi adalah sebagai berikut.

1. Seleksi guru. Di bimbel, sudah tentu syaratnya harus lulusan PTN, karena dia harus
jadi panutan bagaimana siswa menembus PTN, tapi guru PNS tentu tidak hanya lulusan
PTN. Selain harus lulus ujian tertulis, calon guru bimbel pun harus menyampaikan cara
mengajar yang baik, setelah lulus 2 hal tersebut, biasanya guru diuji coba selama satu
bulan, kemudian dinilai oleh siswa melalui angket tertulis, laliu dipertimbangkan untuk
mengajar tetap di bimbel tersebut atau tidak sama sekali.

2. Pembinaan guru. Minimalnya setahun sekali, guru-guru bimbel diberikan penyegaran


oleh pengajar senior setempat (tentu kualitas keilmuan dan mengajarnya sangat baik).
Hal ini dilakukan di Bimbel, tapi guru-guru sekolah melalui Diknas mendapatkan
penyeegaran tidak sesering itu.

3. Kesejahteraan guru. Tanyakanlah pada guru-guru yang sudah mengajar di bimbel 5


tahun ke atas. Saya yakin gajinya di atas 2 juta sebulan (meskipun tidak semua),
bagaimana di sekolah?. Tetapi, meskipun gaji guru di sekolah tidak lebih sampai 2 juta,
guru sekolah punya jaminan kesehatan, tunjangan pensiun, tunjangan dapur, tetapi
umumnya di bimbel tidak ada.

4. Fasilitas. Siapa yang tidak senang belajar dengan suasana nyaman, dengan AC,
absensi dengan komputer, atau bahkan belajar dengan multimedia, tulisan pengajarnya
bagus dan warna-warni (dengan spidol).

5. Guru entertainer. Hal ini yang sulit dimiliki guru, rasa tertekan oleh kondisi social
membuat guru sekolah hampir praktis tidak punya rasa entertainer, misal humor, hiburan.
Tapi tidak sedikit guru yang memiliki hal itu disekolah. Alasan saya saat SMA menyukai
fisika atau kumia, karena guru fisikanya selalu bernyanyi saat siswa menulis, atau guru
kimia selalu humor di tengahsiswa serius. Di bimbel sikap entertainer sudah menajdi
tuntukan jika tidak ingin kalah bersaing. Keramahan juga merupakan sikap entertainer
guru, sehingga guru bimbel selalu bersedia ditanya masalah pelajaran kapanpun.

6. Evaluasi belajar yang rapih. Sistem evaluasi dengan dengan komputerisasi, sehingga
siswa dapat dievaluasi kelemahannya di materi atau pelajaran apa, umumnya dilakukan
di bimbel.

Namun, tidak semua sistem di bimbel lebih bagus, bahkan banyak hal sistem disekolah
lebih bagus. Sistem bimbel pun sulit diterapkan di pelosok, apalagi jika anggaranya
terbatas. Keunggulan sekolah dibandingkan bimbel dapat dilihat dari beberapa berikut ini:

1. Di bimbel yang diajarkan hampir bersifat praktis, rata-rata bukanlah konsep dasar,
bahkan adakalanya guru bimbel mengajarkan cara cepat yang tidak logis atau tidak
dterangkan rumus cepat itu dari mnana. Di sekolah, sudah pasti yang diajarkan konsep
dasar (keilmuan dasar), karena hal itu tuntutan kurikulum dari DIKNAS. Sehingga beban
guru sekolah sebetulnya lebih berat. Tapi tidak sedikit guru bimbel yang mengajarkan
konsep dasar. Guru sekolah, yang juga mengajar di bimbel, biasanya sering
mengkombinasikan hal ini, konsep dasar diajarkan dan carac cepat pun diberikan. Guru
ini biasanya menajdi favorit di sekolah

2. Di sekolah punya guru BP, tempat siswa curhat. Sayang, hal ini belum dioptimalkan
oleh siswa. Namun saat ini, ada juga bimbel yang mengadakan konsultasi mental dalam
mengahadapi ujian, sampai mendatangkan pakar otak kanan agar lebih menarik siswa,
meskipun bayarannya lebih mahal.

3. Wibawa guru di sekolah sebetulnya lebih besar, siswa lebih segan pada guru sekolah.
Tapi bandingkan di Bimbel, tidak sedikit siswa yang seenaknya melecehkan guru,
terutama siswa kelas 2, tapi itupun tergantung pendekatan gurunya.

Era globalisasi di Indonesia sudah mulai, jadi Guru berkualitas pun sudah merupakan
tuntutan dalam pendidikan nasional. Lalu seperti apa guru berkualitas itu? Tentu yang
mengajarnya dimengerti siswa, wawasan keilmuannya baik, suri tauladan bagi
pendidikan moral siswanya, dan punya keinginan untuk meng-up grade dirinya, dan
totalitas bagi pendidikan. Jika melihat dari permasalah-permasalan yang ada, tentu
meningkatkan kulitas guru di sekolah bukan hal yang mudah, tetapi saya punya
beberapa pemikiran untuk hal tersebut.

1. Kesejahteraan guru sudah menjadi hal yang wajib untuk diperhatikan, agar posisi
tawar guru lebih besar dalam tatanan republik ini. Artinya, jika suatu waktu ekonomi
Indonesia membaik, wajar jika guru ditingkatkan kesejahteraanya. Di Negara-negara
yang pendidikan maju seperti Jepang, Malaysia atau Singapura gaji guru lebih utama di
bandingkan pegawai lain.

2. Dalam penyeleksian Guru hendaknya selalu diuji bagaimana guru menyampaikan


materi pelajaran ke siswa, jika memang kurang baik mengajarnya, meskipun tes tertulis
lulus lebih baik digagalkan. Atau, jika seleksi dosen ada tes psikotes, mengapa pada
seleksi guru tidak dilakukan.

3. Sertifikasi guru dan pembinaan guru perlu dilakukan secara rutin, terutama bagi
pengajar baru atau pengajar lama yang memang banyak dikeluhkan oleh siswa kurang
baik mengajarnya. Pemerintah dalam hal ini Depdiknas harus tegar, jika guru tersebut
tidak bisa mengajar, lebih baik dipindahkan di bagian lain. Jadi, Depdikas sebaiknya
memiliki seksi yang memonitoring kualitas guru.

4. Fasilitas sangat mendukung keberhasilan sistem pendidikan. Jika Pemerintah serius


terhadap pendidikan, maka fasilitas harus diperbaiki. Untuk halk ini, Pemerintah harus
menganggarkan lebih banyak dalam APBN Pendidikan, karena masih banyak sekolah
yang tidak layak pakai.

5. Reformasi 3 hal di atas, tentu memerlukan anggaran dana, oleh karena itu Pemerintah
bersama legislatif harus berjuang keras agar APBN pendidikan ditingkatkan di atas 20 %.

Pengalaman saya menangani siswa SMA selama 10 tahun, bagaimanapun jenis


kepandaian siswa, jika pendekatan dari gurunya benar, kemungkinan keberhasilan siswa
sangat besar. Siswa SD, SMP, dan SMA sangat sekali tergantung pada guru. Jika
gurunya menyenagkan, maka siswa itu akan sukan pada pelajaran yang gurunya
menyenagkan. Faktor ini merupakan salah satu yang memepengaruhi siswa dalam
memilih jurusan di Perguruan Tinggi (PT). Hingga saat ini, saya sangat suka kimia,
sehingga saya dipercayakan menjadi dosen yang memegang kimi jurusan saya, hal ini
dikarenakan guru-guru kimia saya saat kelas 1 hingga kelas 3 SMA menyenangkan, dan
lulusan SMA saya umumnya memilih jurusan yang banyak kimianya di PT. Saya yakin
kecendurungan ini juga terjadi di sekolah lain, namun berbeda dengan di PT, idealisme
mahasiswa lebih menentukan apa yang harus dia pilih. Mengingat hal di atas, maka Guru
merupakan ujung tanduk di sekolah, jika gurunya berkualitas maka siswanya pun
senang, tidak gentar hadapi UAN, bahkan SPMB sekalipun.
selain dosen, Penulis adalah Staf LITBANG GANESHA OPERATION
Saya MUCHTARIDI, MSi, Apt setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan
digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil
karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

CATATAN:
Artikel-artikel yang muncul di sini akan tetap di
pertanggungjawabkan oleh penulis-penulis artikel
masing-masing dan belum tentu mencerminkan sikap,
pendapat atau kepercayaan Pendidikan Network.
Bimbel atau Enggak, Tetap Siap Hadapi Ujian

MENJELANG ujian nasional (UN), sejumlah Belia yang duduk di tingkat akhir sekolah menengah pertama dan
sekolah menengah atas disibukkan dengan berbagai persiapan. Ada yang belajar mati-matian, dari pulang sekolah
sampai menjelang waktu tidur, ada pula yang memborong sejumlah buku berisi kumpulan soal-soal. Enggak sedikit
pula yang rela mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk mengikuti bimbingan belajar.
Wah wah, padahal waktu belajar di sekolah juga enggak sedikit ya? "Saya memang kepengen dapet nilai bagus pas
ujian nanti. Pengen masuk sekolah favorit soalnya. Target saya, kepengen masuk SMAN 20 Bandung," kata Yusuf,
Belia yang bersekolah di SMPN 4 Bandung. Untuk bisa mencapai targetnya, Yusuf ini memilih enggak mengikuti
bimbingan belajar seperti yang dilakukan teman-temannya. "Wah, kalau ikutan bimbel, biayanya dobel. Saya
enggak kepengen nyusahin orang tua. Paling ngakalinnya dengan minjem buku soal-soal dari temen saya yang
ikutan bimbel. Saya cukup ikutan pemantapan di sekolah aja," ujarnya pada belia.
Dengan ikutan bimbel, Belia memang jadi bisa mendapatkan waktu plus guru ekstra untuk membantu memecahkan
soal-soal yang rumit. Akan tetapi, biaya untuk ikutan bimbel, enggak sedikit. Dari brosur yang belia dapatkan dari
beberapa bimbel yang ada di Bandung, jumlah rupiah yang harus dikeluarkan oleh calon peserta bisa mencapai
angka dua juta rupiah, untuk biaya satu semester mengikuti bimbel sampai ujian nasional. Angka itu hanya untuk
kelas reguler, yang jumlah siswa per kelasnya rata-rata 30 orang. Biaya itu bertambah dua kali lipat jika calon
peserta bimbel memilih kelas dengan jumlah siswa lebih sedikit.
Well, biaya tersebut ternyata bisa diakali dengan beberapa cara. Kalau Yusuf memilih untuk tidak ikutan bimbel dan
hanya meminjam buku kumpulan soal milik temannya yang ikutan bimbel, Deni, cowok kelas XII IPA 3 SMA BPI
1 dengan tegas memilih tidak ikutan bimbel. "Pengalaman saya ikutan bimbel waktu SMP enggak memuaskan.
Pelajaran yang diberikan di tempat bimbel sama aja dengan yang diberikan di sekolah. Udah gitu, biayanya mahal
pula. Jadi, saya lebih memilih ikutan pemantapan di sekolah," ucapnya mantap.
Apa yang dibilang Deni, didukung oleh pernyataan dari Pak Budi Utomo, Kepala SMA BPI 1. "Kami memiliki
beberapa cara untuk membantu siswa mempersiapkan diri menghadapi ujian nasional. Salah satunya adalah kami
menambah jam belajar untuk pemantapan. Jam belajar pemantapan ini langsung dimasukkan ke jadwal belajar,
dengan maksud untuk meminimalisasi ketidakhadiran siswa," ucap beliau. Agar lebih sinergis, pihak sekolah pun
melibatkan orang tua juga untuk bersama-sama mendukung program belajar anak-anaknya. "Berkat donasi dari
beberapa orang tua dan sponsor, kami juga akan memulai program bimbingan belajar khusus untuk anak kelas XII,
dengan mendatangkan guru-guru dari beberapa bimbel favorit. Tentunya dengan biaya yang terjangkau, jauh dari
biaya bimbel sesungguhnya," lanjut Pak Budi.
Metode yang diajarkan dalam bimbel, memang sedikit berbeda dengan apa yang diajarkan guru-guru di sekolah.
Salah satu yang paling menonjol adalah shortcut atau cara cepat dalam mengerjakan soal yang enggak diajarkan di
sekolah. Tapi kalau menurut Pak Bob Foster dari Ganesha Operation, bukan hanya shortcut yang jadi daya tarik
bimbel. "Orang akan mau belajar jika kondisi psikologisnya mendukung. Salah satu kelebihan bimbel adalah
kedekatan pengajar dengan para siswanya. Kemudian, bimbel lebih fokus dalam mengajarkan sesuatu kepada murid-
muridnya. Contohnya gini, saat akan menghadapi ujian nasional, kami para pengajarnya fokus melatih mereka untuk
mengerjakan soal-soal yang telah kami prediksi akan muncul di UN. Prediksi ini sesuai dengan data statistik yang
kami punya. Dengan adanya prediksi soal-soal ini, mereka pasti akan lebih siap dalam menghadapi ujian," ujar
beliau menerangkan panjang lebar.
Berdasarkan pengalaman dari tahun ke tahun, tipe soal yang bakal keluar dalan ujian nasional enggak jauh berbeda
dengan tipe soal yang telah keluar tahun-tahun sebelumnya. Pak Budi Utomo pun mengutarakan kepada belia, kalau
pihak dari Diknas pun telah mengeluarkan kisi-kisi ujian yang bisa dimanfaatkan untuk membantu para siswa
berlatih dalam menghadapi ujian nasional. "Para guru di sekolah telah melakukan bedah standar kompetensi
kelulusan dengan cara membuat prediksi soal-soal esensial. Dari satu indikator, para guru bisa membuat 35 buah
soal."
Latihan soal juga menjadi salah satu cara yang banyak dipakai oleh temen-temen yang akan menghadapi ujian
nasional. Winda misalnya, cewek kelas XII IPA 4 SMA BPI 1 ini bilang kalau dia sering banget berlatih
mengerjakan soal-soal bareng temen-temennya. "Saya sering belajar kelompok sama temen-temen di tempat bimbel.
Kadang kalau sedang asyik mengerjakan soal-soal, bisa sampai pagi," katanya sambil senyum. Whew, serius nih,
ngerjain soal sampai pagi? "Iya, gimana lagi? Soalnya emang udah deket waktu ujian, mau enggak mau belajarnya
ditambah," kata Winda.
Setuju dengan apa yang dibilang Winda. Ada sesuatu yang harus dikorbankan jika kita menginginkan yagn terbaik.
Bimbel mungkin bisa jadi salah satu solusi untuk mendapatkan hasil terbaik. Akan tetapi, bukan berarti enggak
ikutan bimbel, kamu enggak bisa mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan kamu. "Untuk menghadapi ujian,
belajar itu seharusnya sudah seperti makan. Tiga kali sehari. Mungkin yang pertama bisa dilakukan di sekolah, yang
kedua dan ketiga dilakukan di rumah. Untuk itulah, peran orang tua juga sangat penting," tutur Pak Budi.
Lingkungan yang kondusif punya peran yang penting juga lho, untuk membantu Belia lebih rajin belajar. Kalau
menurut Pak Deni Juhansyah, staf pengajar GO, lingkungan yang memiliki tingkat persaingan tinggi, malah bisa
memacu siswa untuk belajar lebih serius. "Menurut pengalaman, ada siswa yang kemauan belajarnya meningkat
karena melihat teman-temannya yang nilainya bagus. Jadi, kalau tingkat persaingan tinggi, jangan dilihat sebagai hal
yang negatif. Kalau di tempat bimbel, para siswa bisa melihat peta persaingan dengan mereka yang berasal dari
sekolah yang berbeda," ujarnya.
Ugh, begitu banyak cara yang bisa kamu lakukan demi mencapai target untuk lulus ujian dan masuk ke sekolah atau
perguruan tinggi favorit. Jika kondisi keuangan memungkinkan Belia untuk ikutan bimbel, tentu enggak ada
masalah. Tapi kalau enggak memungkinkan untuk ikutan bimbel, enggak usah berkecil hati karena pengalaman dari
beberapa teman yang belia paparkan di atas mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan untuk lebih serius lagi
belajar. Ikutan bimbel atau enggak, itu semua bergantung pada niat kamu. Mumpung masih ada waktu, yuk
persiapkan diri kamu dari sekarang untuk menghadapi ujian! ***
tisha_belia@yahoo.com
Penulis:

Back

Tingginya Minat Siswa Ikut Bimbel


Oleh Dra. YATI ROHAYATI
"Males belajar ah, kalo sekarang mah….mendingan nanti aja pas bimbel, biar dapet rumus-rumus cepet! Jadi
ngerjain soalnya lebih gampang!"
("PR" Belia, 20/1/2009).
kalimat di atas dikatakan siswa, sebagai salah satu alasan untuk mengikuti bimbingan belajar (bimbel). Kalau kita
kaji, betapa memesonanya lembaga bimbel di mata para siswa, sehingga dijadikan alternatif penawar ketidakpuasan
dari apa yang didapat di sekolah.
Bagi siswa-siswi yang orang tuanya memiliki keuangan memadai, mengikuti bimbel bukanlah masalah. Bahkan,
dengan target masuk sekolah favorit orang tua mau merogoh saku lebih dalam, memilih lembaga bimbel yang
menawarkan pelayanan prima.
Sepertinya keberadaan bimbel dijadikan solusi oleh sebagian orang tua, untuk memfasilitasi putra-putrinya meraih
nilai ujian nasional (UN) yang tinggi, sehingga dapat membidik sekolah-sekolah yang ketat persaingannya.
Berkompetisi meraih sekolah favorit, lazim diikuti siswa-siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.
Sementara kecenderungan siswa sekolah menengah atas mengikuti bimbel, lebih terfokus untuk menyiasati masuk
perguruan tinggi negeri dengan jurusan/program studi, yang memiliki peluang kerja lebih menjanjikan.
Lain keadaannya bagi siswa yang keuangan keluarganya terbatas atau lokasi tempat tinggalnya tidak
menguntungkan, mereka harus puas dengan apa yang didapatkan di sekolah saja.
Kita maklumi penyelenggaraan bimbel memiliki beberapa perbedaan dengan lembaga sekolah, di antaranya dari
segi perekrutan guru. Guru di sekolah, khususnya pegawai negeri sipil diangkat berdasarkan kompetensi kualifikasi
akademik yang dihasilkan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), dengan prosedur seleksi yang
dibuat Diknas. Sedangkan guru bimbel lebih terbuka, tidak selalu dari LPTK, bisa dari berbagai latar belakang
disiplin ilmu dengan mengutamakan kualitas kepiawaian dalam teknik, metoda, dan penguasaan, serta penyampaian
materi yang disenangi dan dipahami siswa.
Sistem belajar di sekolah berpedoman pada kurikulum yang berlaku, (baca: KTSP). Standar kompetensi dan
kompetensi dasar, dijadikan acuan dalam setiap pembelajaran. Sedangkan di bimbel siswa dilatih bagaimana cara
menjawab soal dengan cepat. Hal ini, berdampak pula pada perbedaan sistem evaluasinya. Di sekolah, evaluasi
bersifat menyeluruh yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, sedangkan di bimbel mengutamakan
aspek kognitif saja.
Umumnya, sarana prasarana dan fasilitas yang ada di sekolah tidak senyaman di tempat bimbel, apalagi dengan
jumlah siswa per kelas yang seimbang, di bimbel memungkinkan siswa lebih kondusif untuk belajar. Menyikapi
fenomena maraknya siswa mengikuti bimbel, menuntut guru dan sekolah lebih peka terhadap kebutuhan para siswa.
Sedikitnya kehadiran guru di kelas, selalu dinantikan dan keberadaannya senantiasa dirindukan oleh siswa. Jangan
sampai keberhasilan siswa menembus sekolah atau perguruan tinggi favorit, dirasakan siswa dan orang tua semata-
mata karena yang bersangkutan mengikuti bimbel. Tampaknya diperlukan suatu modifikasi, inovasi, dan kreativitas
guru dalam melaksanakan rutinitas tugas kesehariannya di sekolah.
Akan lebih baik jika siswa yang tidak sempat mengikuti bimbel, mendapat perhatian dan bimbingan khusus agar
mereka memiliki kepercayaan diri dan bisa berprestasi secara mandiri. ***
Penulis, guru Bimbingan dan Konseling di SMA Negeri 24 Bandung.
Penulis:

You might also like