You are on page 1of 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang
dicirikan oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang bersifat
spontan (unprovoked) dan berkala.Bangkitan dapat diartikan sebagai
modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari
sekolompok besar sel-sel otak, bersifat singkron dan berirama. Bangkitnya
epilepsi terjadi apabila proses eksitasi didalam otak lebih dominan dari pada
proses inhibisi.
Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran
konsentrasi ion ekstraselular, voltage-gated ion-channel opening, dan
menguatkan sinkroni neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan
perambatan aktivitas bangkitan epileptik.Aktivitas neuron diatur oleh
konsentrasi ion didalam ruang ekstraselular dan intraselular, dan oleh gerakan
keluar masuk ion-ion menerobos membran neuron.
Setiap orang punya resiko satu di dalam 50 untuk mendapat
epilepsi.Pengguna narkotik dan peminum alkohol punya resiko lebih
tinggi.Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua
bahkan bayi yang baru lahir. Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi
dibandingkan pada wanita, yaitu 1-3% penduduk akan menderita epilepsi
seumur hidup.Menurut World Health Organization (WHO) sekira 50 juta
penduduk di seluruh dunia mengidap epilepsi (2004 Epilepsy.com).
B. Identifikasi Masalah
Dalam makalah ini penulis akan membahas masalah Epilepsi. Dimana
penyakit ini banyak diderita oleh anak-anak.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk memberikan sumber ilmu pengetahuan bagi pembaca dan
masyarakat umum lainnya.
2. Tujuan Khusus

1
Untuk mengetahui konsep dasar penyakit epilepsi , serta asuhan
keperawatan dari epilepsi itu sendiri.
A. Metode Penelitian
Dalam pembuatan makalah ini penulis melakukan beberapa studi
literatur dan selain itu dengan melakukan searching di internet.
B. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari empat BAB. BAB I, BAB II, BAB III, dan BAB IV.
Dimana BAB I merupakan PENDAHULUAN yang meliputi latar belakang,
identifikasi masalah, tujuan baik umum maupun khusus, metode penelitian
dan sistematika penulisan.
Kemudian BAB II merupakan TINJAUAN TEORI yang dimulai dari
Anatomi Fisiologi, Definisi, Epidemiologi, Etiologi, Patofisiologi,
Klasifikasi, Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Diagnostik, Pencegahan,
Pengobatan, Penatalaksanaan, Status Epileptikus, Penatalaksanaan Gawat
Darurat, dan Prognosis.
Berikutnya adalah BAB III yang merupakan Asuhan Keperawatan Pada Anak
dengan Gangguan Neurologi dan Sensori “Epilepsi”.
Dan yang terakhir adalah BAB IV yaitu PENUTUP yang berisi Kesimpulan
dan Saran.

BAB II
TINJAUAN TEORI

2
A. Anatomi dan Fisiologi
1. Otak
Otak terdapat di dalam rongga tengkorak. Pada perkembangan
awal, otak dibagi menjadi tiga bagian, yaitu otak depan, otak tengah dan
otak belakang. Otak depan merupakan bagian terbesar dan disebut
serebrum, yang dibagi dalam dua hemisfer, yaitu hemisfer kiri dan
hemisfer kanan, oleh fisura longitudinal. Lapisan luar serebrum disebut
korteks serebri dan tersusun atas badan abu-abu (badan sel) yang
berlipat-lipat yang disebut giri, yang dipisahkan oleh fisura yang disebut
sulci. Otakk tengah terletak di antara otak depan dan otak belakang.
Panjangnya kira-kira 2 cm dan terdiri atas dua buah pita seperti tangkai
dari bahan putih, yang disebut pedunkulus serebeli, yang membawa
impuls melewati dan berasal dari otak dan medula spinalis dan empat
tonjolan kecil, yang disebut badan kuadrigeminal, yang berperan dalam
refleks penglihatan dan pendengaran. Badan pineal terletak di antara dua
badan kuadrigeminal bagian atas. Otak belakang terdiri atas tiga bagian :
a. Pons, terletak diantara otak tengah bagian atas dan medula oblongata
bagian bawah. Pons mengandung serabut saraf yang membawa
impuls ke atas dan ke bawah dan beberapa serabut yang menyatu
dengan serebelum.
b. Medula oblongata, terletak antara pons dibagian atas dan medula
spinalis bagian bawah. Struktur ini berisi pusat jantung dan
pernapasan dan juga diketahui sebagai pusat vital yang mengontrol
jantung dan pernapasan.
c. Serebelum, terletak di bagian bawah lobus oksipital serebrum.
Serebrum dihubungkan dengan otak tengah, pons, dan medula
oblongata oleh tiga serabut pita, yang disebut pedunkulus serebeli
inferior medial dan superior. Serebelum bertanggung jawab terhadap
koordinasi aktivitas otot, kontrol tonus otot, dan upaya
mempertahankan postur tubuh. Secara terus menerus, serebelum
menerima impuls sensori tentang derajat keregangan otot, posisi

3
sendi, daninformasi dari korteks serebri. Serebelum mengirim
informasi ke thalamus dan korteks serebri. Otak tengah, pons dan
medula memiliki beberapa fungsi yang sama dan secara keseluruhan
sering disubut sebagai batang otak. Area ini juga mengandung
nukleus yang berasal dari saraf kranial.
1. Medula Spinalis
Medula spinalis berlanjut dengan medula oblongata diatas otak
dan merrupakan sistem saraf pusat dibawah otak. Struktur ini berawal
pada foramen magnum dan berakhir pada lumbal pertama tulang
belakang, dengan panjang sekitar 45cm. Pada ujung bagian bawah, ia
berangsur angsur menghilang kedalam suatu bentuk kerucut, yang
dinamakan konus medularis dari ujung, tempat filum terminal turun ke
kogsigis yang dikelilingi oleh akar saraf, disebut kauda aquina. Medula
spinalis memiliki saraf-sarf yang berpasangan. Ketabalannya bervariasi,
membengkak pada daerah serviks dan lumbal, dimana kauda
memprsarafi daerah tungkai. Medula spinalis bercalah padaa bagian
depan dan belakang dan hampir secara utuh terbagi dalam dua sisi seperti
serebrum.
Medula spinalis terdiri dari masa abu-abu dibagian tengah. Masa
putih mengandung serabut yang terletak hanya diantara medula dan otak,
tetapi tidak dijaringan tubuh. Medula spinalis mengandung serabut
sensorik dan motorik.
Serabut motorik : berjalan kebawah dan pusat motorik serebelum dan
cerebelum ke sel-sel motorik.
Serabut sensorik : berjalan keatas dari sel-sel sensorik ke pussat sensorik
di otak.
Massa abu-abu, pada irisan melintang, memiliki pola seperti huruf
H, dengan dua tonjolan kedepan pada setiap sisi, yang disebut krnu
posterior. Saraf kranial merupakan 12 saraf yang muncul pada inti
dibatang otak. Beberapa bersifat motorik, beberapa bersifat sensorik, dan
beberapa bersifat keduanya.

4
Saraf spinalis ada 31 pasang saraf yang muncul di medula
spinalis. Tiap saraf memiliki komponen motorik dan sensorik masing-
masing dibagian anterior dan posterior medula, dan dua serabut saraf
tersebut berjalan bersama-sama meninggalkan meduula. Siatem saraf
otonom, mengendalikan organ-organ internal, bekerja dibawah
kesadaran, tetapi dipengaruhi oleh emosi. Sarf kranial, saraf spinalis, dan
sistem saraf otonom yang disebutkan tadi membentuk siatem saraf
perifer.
2. Meninges
Meninges ialah membran protektif yang melapisi sistem saraf
pusat. Ada tiga lapisan meninges, yaitu :
a. Lapisan luar, yang disebut durameter, merupakan membran fibrosa
kuat yang mempunyai dua lapisan, yaitu bagian luar yang melapisi
permukaan dalam tengkorak dan membentuk periosteum. Pada
foramen magnum, lapisan ini berlanjut sebagai periosteum pas
permukaan luar tengkorak. Lapisan dalam dura menonjol kedalam di
titik-titik tertentu untuk membentuk suatu lapisan ganda yang
memisahkan bagian-bagian otak dan membantu mempertahankan
bagian-bagian tersebut ditempat.
b. Lapisan tengah, Araknoid-mater adalah membran halus langsung
dibawah dura dan masuk diantara bagian-bagian otak.
c. Lapisan dalam, Piameter adalh membran vaskular dan berhubunagn
dangan permukaan luar otak dan medula spinalis
A. Definisi

Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang


berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat
reversibel (Tarwoto, 2007)

Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-


gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang
disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat
reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000)

5
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi
dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas
muatan listrik neron-neron otak secara berlebihan dengan berbagai
manifestasi klinik dan laboratorik (anonim, 2008)

B. Epidemiologi
Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia
berjumlah 50 juta orang, 37 juta orang diantaranya adalah epilepsi primer,
dan 80% tinggal di negara berkembang. Laporan WHO (2001)
memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi aktif
diantara 1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000
penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di
negara-negara berkembang.
Hasil penelitian Shackleton dkk (1999) menunjukkan bahwa angka
insidensi kematian di kalangan penyandang epilepsi adalah 6,8 per 1000
orang. Sementara hasil penelitian Silanpaa dkk (1998) adalah sebesar 6,23 per
1000 penyandang.
C. Etiologi
Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :

a. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti


ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin,
mengalami infeksi, minum alcohol, atau mengalami cidera.

b. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang
mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.

c. Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak

d. Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama


pada anak-anak.

e. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak

f. Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak

g. Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (fku), sclerosis tuberose dan


neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.

6
h. Kecendrungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan
karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal
diturunkan pada anak

1. Epilepsi Primer (Idiopatik)

Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak


ditemukan kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan
atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area
jaringan otak yang abnormal.Penyebab pada kejang epilepsi sebagian
besar belum diketahui (Idiopatik). Sering terjadi pada:

a. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum


b. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
c. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
d. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,
hiponatremia)
e. Tumor Otak
f. Kelainan pembuluh darah(Tarwoto, 2007)

1. Epilepsi Sekunder (Simtomatik)

Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan


pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawa sejak
lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada
waktu lahir atau pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk
cedera selama atau sebelum kelahiran), gangguan metabolisme dan
nutrisi (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin
B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia,
gangguan sirkulasi, dan neoplasma.

B. Patofisiologi
1. Patofisiologi
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan
dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat
suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada

7
lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan
korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan
lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.

Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan


beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :

a. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami


pengaktifan.
b. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan
muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan
menurun secara berlebihan.
c. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan
asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
d. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa
atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron
sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan
keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera
setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan
energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik
secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat
meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat,
demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di
cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat
mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang.

Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi.


Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat
neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara
konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan

8
asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat
peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus
tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.

1. Pathway

Tidak seimbang ion

kejang
Tidak seimbang asam basa atau
elektrolit

Neurotransmiter hipopolarisasi

Asetilkolin Depolarisasi

A. Klasifikasi
1. Sawan Parsial adalah sawan – sawan yang berada dalam satu daerah
cerebral cortex. Ada tipe-tipe umum pada sawan parsial:

a. Sawan parsial sederhana


Anak dalam keadaan bangun dan terjaga. Gejala bervariasi
tergantung pada bagian apa dari otak yang terlibat. Gejala tersebut
termasuk gerakan menyentak pada salah satu bagian tubuh.Gejala
emosional seperti ketakutan yang tidak jelas, muak atau mencium
bau yang tidak ada.
b. Sawan parsial kompleks
Dalam tipe ini anak kehilangan kesadaran akan sekeliling dan tidak
responsif ataupun hanya setengah responsif. Ada pandangan kosong,
gerakan mengunyah, menelan berkali-kali, atau aktifitas tidak
beraturan lainnya. Mengikuti sawan anak tidak mengingat akan apa
yang telah terjadi. Anak menjadi bingung atau mengucapkan kata-

9
katanya secara ragu-ragu, berkeliling, mengmbil pakaiannya atau
mengulangi kata-kata atau frase yang tidak tepat.Gejala ini mirip
dengan sawan absence, tetapi diikuti dengan aktifitas yang tidak
beraturan.
1. Sawan Umum melibatkan kedua hemisfer otak yang menyebabkan kedua
sisi tubuh bereaksi, terjadi kekakuan intens pada seluruh tubuh (tonik)
yang diikuti dengan kejang yang bergantian dengan relaksasi dan
kontraksi otot (Klonik), disertai dengan penurunan kesadaran. Sawan
umum terdiri dari :
a. Sawan lena
b. Sawan tonik-klonik
c. Sawan tonik
d. Sawan klonik
e. Sawan mioklonik
f. Sawan atonik
g. Sawan tak tergolongkan

B. Manifestasi Klinis
1. Sawan Parsial (lokal, fokal)
a. Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran tetap
normal, dengan gejala motorik:
– Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian
tubuh saja
– Fokal motorik menjalar : sawan dimulai dari satu bagian tubuh
dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi
Jackson.
– Versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
– Postural : sawan disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam
sikap tertentu

10
– Disertai gangguan fonasi : sawan disertai arus bicara yang
terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; sawan disertai
halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera dan
bangkitan yang disertai vertigo.
– Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-
tusuk jarum.
– Visual : terlihat cahaya
– Auditoris : terdengar sesuatu
– Olfaktoris : terhidu sesuatu
– Gustatoris : terkecap sesuatu
– Disertai vertigo
Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi
epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).
Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
– Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku
kata, kata atau bagian kalimat.
– Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti
sudah mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya.
Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu,
merasa seperti melihatnya lagi.
– Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
– Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
– Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil
atau lebih besar.
– Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara,
musik, melihat suatu fenomena tertentu, dll.
a. Sawan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran)
Serangan parsial kompleks diikuti gangguan kesadaran : kesadaran
mula-mula baik kemudian baru menurun.

– Dengan gejala parsial sederhana A1-A4 : gejala-gejala seperti


pada golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.

11
– Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang
timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah,
menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan,
menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara
tak menentu, dll.
– Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran
menurun sejak permulaan kesadaran.
– Hanya dengan penurunan kesadaran
– Dengan automatisme:
1. Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum
(tonik-klonik, tonik, klonik)
2. Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi
bangkitan umum.
3. Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi
bangkitan umum.
4. Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial
kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum.
1. Sawan Umum (Konvulsif atau NonKonvulsif)
a. Sawan lena (absence)
Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka
tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada
reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini berlangsung selama ¼ –
½ menit dan biasanya dijumpai pada anak.

– Hanya penurunan kesadaran


– Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan,
biasanya dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau
otot-otot lainnya bilateral.
– Dengan komponen atonik. Pada sawan ini dijumpai otot-otot
leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga
tampak mengulai.
– Dengan komponen klonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot
ekstremitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala,

12
badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul
atau mengedang.
– Dengan automatisme
– Dengan komponen autonom.
– Lena tak khas (atipical absence)
Dapat disertai:

– Gangguan tonus yang lebih jelas.


– Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
a. Sawan Mioklonik
Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat
kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau
berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.

b. Sawan Klonik
Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam,
lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai
terutama sekali pada anak.

c. Sawan Tonik

Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi
kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan
ekstensi tungkai. Sawan ini juga terjadi pada anak.

d. Sawan Tonik-Klonik

Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal
dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu
tanda-tanda yang mendahului suatu sawan. Pasien mendadak jatuh
pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung
kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh.

13
Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi
dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang
meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas.
Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah
kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun
dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar
dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.

e. Sawan atonik

Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas


sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun
sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai pada anak.

f. Sawan Tak Tergolongkan

Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan


bola mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang,
menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti sederhana.

A. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pungsi Lumbar
Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan
yang ada di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan
meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang demam pertama
pada bayi.

a. Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)


b. Mengalami complex partial seizure
c. Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam
48 jam sebelumnya)
d. Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)

14
e. Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk
hingga sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah normal.
f. Kejang pertama setelah usia 3 tahun
Pada anak dengan usia >18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika
tampak tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang
menimbulkan kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan
kejang demam yang telah menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala
meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi
lumbar sangat dianjurkan untuk dilakukan.
1. EEG (electroencephalogram)
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti
ketidaknormalan gelombang.Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk
dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya
defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan
bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya
atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa
demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran
gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut
tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau
risiko epilepsi.

2. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit,
kalsium, fosfor, magnesium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada
kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk
mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.

3. Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain
adalah CT-scan dan MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada
kejang demam yang baru terjadi untuk pertama kalinya.

15
a. CT Scan, untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal,
serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral
b. Magnetik resonance imaging (MRI)
c. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol
darah.
4. Pemeriksaan fisik
Inspeksi : membran mukosa, konjungtiva, ekimosis, epitaksis,
perdarahan pada gusi, purpura, memar, pembengkakan.
Palpasi : pembesaran hepar dan limpha, nyeri tekan pada
abdomen.
Perkusi : perkusi pada bagian thorak dan abdomen.
Auskultasi : bunyi jantung, suara napas, bising usus.

5. Pemeriksaan psikologis dan psikiatris


Tidak jarang anak yang menderita epilepsi mempunyai tingkat
kecerdasan yang rendah (retardasi mental), gangguan tingkah laku
(bihaviour disorders), gangguan emosi, hiperaktif.Hal ini harus mendapat
perhatian yang wajar, agar anak dapat berkembang secara optimal sesuai
dengan kemampuannya. Hubungan antara penderita dengan orang tuanya
juga perlu mendapat perhatian, yaitu apakah tyerdapat proteksi
berlebihan, rejeksi atau overanxiety. Bila perlu dapat diminta bantuan
dari psikolog atau psikiater.
A. Pencegahan

Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus


ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi.Resiko epilepsi muncul pada bayi
dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi yang digunakan sepanjang
kehamilan.Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat
dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan
pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga
mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang
mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar

16
melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di
identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera
akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama
kehamilan dan persalinan.

Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada


usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan
obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup
merupakan bagian dari rencana pencegahan ini. Hal yang tak boleh dilakukan
selama anak mendapat serangan :

1. Meletakkan benda di mulutnya. Jika anak mungkin menggigit lidahnya


selama serangan mendadak, menyisipkan benda di mulutnya
kemungkinan tak banyak membantu. Anda malah mungkin tergigit, atau
parahnya, tangan Anda malah mematahkan gigi si anak.
2. Mencoba membaringkan anak. Orang, bahkan anak-anak, secara ajaib
memiliki kekuatan otot yang luar biasa selama mendapat serangan
mendadak. Mencoba membaringkan si anak ke lantai bukan hal mudah
dan tidak baik juga.
3. Berupaya menyadarkan si anak dengan bantuan pernapasan mulut ke
mulut selama dia mendapat serangan mendadak, kecuali serangan itu
berakhir. Jika serangan berakhir, segera berikan alat bantu pernapasan
dari mulut ke mulut jika si anak tak bernapas.
A. Pengobatan
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita
akan diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan
jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan
menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta
beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi,
mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.

Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama


pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan

17
selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari
5th.Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan
pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek
sama sekali.

Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap


kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan
penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental.Keterbelakangan
mental di kemudian hari.Kondisi yang menyedihkan ini bisa berlangsung
seumur hidupnya.

B. Penatalaksanaan
1. Pembedahan
Untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses, kista atau adanya anomali
vaskuler
2. Farmakoterapi
Anti konvulsion untuk mengontrol kejang.
Jenis obat yang sering digunakan :
Dosis
Obat Bentuk Kejang
mg/kgbb/hari
1 Fenobarbital Semua bentuk kejang 3-8
2 Dilatin (difenilhidantoin) Semua bentuk kejang kecuali 5-10
bangkitan petit mal, mioklonik
atau akinetik.
3 Mysoline (primidon) Semua bentuk kejang kecuali petit 12-25
mal
4 Zarotin (etosuksinit) Petit mal 20-60
5 Diazepam Semua bentuk kejang 0,2-0,5
6 Diamox (asetasolamid) Semua bentuk kejang 10-90
7 Prednison Spasme infantil 2-3
8 Dexametasone Spasme infantil 0,2-0,3
9 Adrenokortikotropin Spasme infantil 2-4

a. Phenobarbital (luminal).
Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah.

18
b. Primidone (mysolin)
Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan
phenyletylmalonamid.

c. Difenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin).


Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak dipakai ialah
DPH.Berhasiat terhadap epilepsi grand mal, fokal dan lobus
temporalis. Tak berhasiat terhadap petit mal. Efek samping yang
dijumpai ialah nistagmus,ataxia, hiperlasi gingiva dan gangguan
darah.

d. Carbamazine (tegretol).

Mempunyai khasiat psikotropik yangmungkin disebabkan


pengontrolan bangkitan epilepsi itusendiri atau mungkin juga
carbamazine memang mempunyaiefek psikotropik. Sifat ini
menguntungkan penderita epilepsi lobus temporalis yang sering
disertai gangguan tingkahlaku. Efek samping yang mungkin terlihat
ialah nistagmus, vertigo, disartri, ataxia, depresi sumsum tulang dan
gangguan fungsi hati.

e. Diazepam.
Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung (status
konvulsi.). Pemberian i.m. hasilnya kurang memuaskan karena
penyerapannya lambat. Sebaiknya diberikan i.v. atau intra rektal.

f. Nitrazepam (Inogadon).
Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan mioklonus.

g. Ethosuximide (zarontine).
Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit mal

h. Na-valproat (dopakene)

19
Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai. Obat ini dapat
meninggikan kadar GABA di dalam otak. Efek samping mual,
muntah, anorexia

i. Acetazolamide (diamox).
Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan
epilepsi. Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH
otak menurun, influks Na berkurang akibatnya membran sel dalam
keadaan hiperpolarisasi.

j. ACTH
Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme
infantil.

A. Status Epileptikus

Adalah serangan kejang kontinu dan berlangsung lebih dari 30 menit


atau serangkaian serangan epilepsi yang menyebabkan anak yang tidak sadar
kembali. Terapi awal diarahkan untuk menunjang dan mempertahankan
fungsi-fungsi vital, meliputi mempertahankan fungsi-fungsi vital, meliputi
mempertahankan jalan napas yang adekuat, pemberian oksigen, dan terapi
hidrasi, serta dilanjutkan dengan pemberian diazepam (Valium) atau
fenobarbitol per IV. Diazepam per rektum merupakan preparat yang
sederhana, efektif, dan aman, untuk penatalaksanaan epilepsi sebelum masuk
rumah sakit. Lorazepam (Ativan) dapat menggantikan diazepam IV sebagai
obat pilihan. Preparat ini memiliki masa kerja yang lebih panjang dan lebih
sedikit menyebabkan gawat napas pada anak-anak di atas usia 2 tahun.
Merupakan keadaan kedaruratan medis yang memerlukan intervensi segera
untuk mencegah cedera permanen pada otak, gagal napas, dan kematian.

B. Penatalaksanaan gawat darurat


Selama kejang/waktu episode kejang :
1. Lakukan pendekatan dengan tenang
2. Jika anak berada dalam posisi berdiri atau duduk, baringkan anak

20
3. Letakkan bantal atau lipatan selimut di bawah kepala anak. Jika tidak
tersedia kepala anak bisa disangga oleh kedua tangannya sendiri.
4. Jangan :

a. Menahan gerakan anak atau menggunakan paksaan


b. Memasukkan apapun ke dalam mulut anak
c. Memberikan makanan atau minuman
1. Longgarkan pakaian yang ketat
2. Lepaskan kacamata
3. Singkirkan benda-benda keras atau berbahaya
4. Biarkan serangan kejang berakhir tanpa gangguan
5. Jika anak muntah miringkan tubuh anak sebagai satu kesatuan ke salah
satu sisi

Setelah kejang :

1. Hitung lamanya periode postiktal (pasca kejang)


2. Periksa pernapasan anak. Periksa posisi kepala dan lidah.
3. Reposisikan jika kepala anak hiperekstensi. Jika anak tidak bernapas,
lakukan pernapasan buatan dan hubungi pelayanan medis darurat.
4. Periksa sekitar mulut anak untuk menemukan gejala luka bakar/kimia
atau kecurigaan zat yang mengindikasikan keracunan
5. Pertahankan posisi tubuh anak berbaring miring
6. Tetap dampingi anak sampai pulih sepenuhnya
7. Jangan memberi makanan atau minuman sampai anak benar-benar sadar
dan refleks menelan pulih
8. Hubungi pelayanan kedaruratan medis jika diperlukan
9. Kaji faktor-faktor pemicu awitan kejang (kolaborasi)
A. Prognosis

Perjalanan dan prognosis penyakit untuk anak-anak yang mengalami


kejang bergantung pada etiologi, tipe kejang, usia pada awitan, dan riwayat
keluarga serta riwayat penyakit. Pasien epilepsi yang berobat teratur,
sepertiga akan bebas serangan 2 tahun, dan bila lebih dari 5 tahun sesudah

21
serangan terakhir, obat dihentikan, pasien tidak mengalami sawan lagi,
dikatakan telah mengalami remisi. Diperkirakan 30% pasien tidak akan
mengalami remisi. Meskipun minum obat dengan teratur.Sesudah remisi,
kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering didapat pada sawan
tonik klonik dan sawan parsial kompleks. Demikian pula usia muda lebih
mudah relaps sesudah remisi.

Faktor resiko yang berhubungan dengan kekambuhan epilepsi antara


lain usia 16 tahun atau lebih, minum lebih dari satu macam obat antiepilepsi,
mengalami kejang setelah pengobatan dimulai, memiliki riwayat kejang
tonik-klonik generalisata primer atau sekunder atau hasil EEG menunjukkan
kejang mioklonik dan memiliki EEG yang abnormal. Resiko kekambuhan
kejang menurun bila terjadi pemanjangan periode tanpa kejang.

Prognosis setelah dilakukan terapi status epileptikus lebih baik


daripada dilaporkan sebelumnya.Mayoritas anak kemungkinan tidak
mengalami gangguan intelektual.Kemungkinan besar anak yang menderita
gangguan kognitif atau meninggal dunia sudah memiliki riwayat
keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan, abnormalitas neurologik,
atau menderita penyakit serius yang berulang.

22
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN EPILEPSI PADA ANAK

A. Pengkajian
1. Identitas
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal
pengkajian dan diagnosa medis.

2. Riwayat penyakit sekarang

Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat dan hebatnya
keluhan, mulai timbul.

3. Riwayat penyakit dahulu


Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan
keadaan penyakit sekarang perlu ditanyakan.

4. Riwayat kehamilan dan kelahiran.


Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal.
Dalam riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah
diderita oleh ibu. Riwayat natal perlu diketahui apakah bayi lahir dalam
usia kehamilan aterm atau tidak karena mempengaruhi sistem kekebalan
terhadap penyakit pada anak. Trauma persalinan juga mempengaruhi
timbulnya penyakit contohnya aspirasi ketuban untuk anak. Riwayat post
natal diperlukan untuk mengetahui keadaan anak setelah

5. Riwayat penyakit keluarga


Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya dengan
penyakit yang dideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan keluarga

23
perlu diketahui, apakah ada yang menderita gangguan hematologi,
adanya faktor hereditas misalnya kembar monozigot.

Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam
mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya.

1. Selama serangan :
a. Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.
b. Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
c. Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
d. Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang
klonik, kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.
e. Apakah pasien menggigit lidah.
f. Apakah mulut berbuih.
g. Apakah ada inkontinen urin.
h. Apakah bibir atau muka berubah warna.
i. Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.
j. Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah
pada satu sisi atau keduanya.
1. Sesudah serangan
a. Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit,
gangguan bicara
b. Apakah ada perubahan dalam gerakan.
c. Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi
sebelum, selama dan sesudah serangan.
d. Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau
frekuensi denyut jantung.
e. Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.
1. Riwayat sebelum serangan
a. Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi.
b. Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung
berdebar.

24
c. Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik,
olfaktorik maupun visual.
1. Riwayat Penyakit
a. Sejak kapan serangan terjadi.
b. Pada usia berapa serangan pertama.
c. Frekuensi serangan.
d. Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam,
kurang tidur, keadaan emosional.
e. Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang
disertai dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang.
f. Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak
g. Apakah makan obat-obat tertentu
h. Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga

Pemeriksaan fisik
1. Aktivitas / istirahat
Gejala : Keletihan, kelemahan umum. Keterbatasan dalam aktivitas /
bekerja yang ditimbulkan oleh diri sendiri / orang terdekat .
Tanda : Perubahan tonus / kekuatan otot. Gerakan involunter / kontraksi
otot ataupun sekelompok otot.
2. Sirkulasi
Gejala : Iktal : Hypertensi, peningkatan nadi, sianosis.
Postiktal : Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan
pernafasan.
3. Integritas ego
Gejala : Stressor eksternal / internal yang berhubungan dengan keadaan
dan / atau penanganan. Peka rangsang; perasaan tidak ada harapan / tidak
berdaya. Perubahan dalam berhubungan.
Tanda : Pelebaran rentang respons emosional.
4. Eliminasi
Gejala : Inkontinensia episodik.
Tanda : Iktal : peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter.

25
Postiktal : otot relaksasi yang mengakibatkan inkontinensia (baik urine /
fekal).
5. Makanan / cairan
Gejala : Sensitivitas terhadap makanan, mual / muntah yang berhubungan
dengan aktivitas kejang.
Tanda : Kerusakan jaringan lunak / gigi (cedera selama kejang).
Hyperplasia gingival (efek samping pemakaian Dilantin jangka panjang).
6. Neurosensori
Gejala : Riwayat sakit kepala, aktivitas kejang berulang, pingsan, pusing.
Riwayat trauma kepala, anoksia dan infeksi serebral. Adanya aura
(rangsangan visual, auditorius, area halusinogenik).
Postiktal : kelemahan, nyeri otot, area parestese / paralisis.
Tanda : Karakteristik kejang : kejang umum, kejang parsial (kompleks),
kejang parsial (sederhana).
7. Nyeri / kenyamanan
Gejala : Sakit kepala, nyeri otot / punggung pada periode postiktal. Nyeri
abnormal paroksismal selama fase iktal.
Tanda : Sikap / tingkah laku yang berhati-hati. Perubahan tonus otot.
Tingkah laku gelisah / distraksi.
8. Pernafasan
Gejala : Fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun / cepat;
peningkatan sekresi mukus.
Fase postiktal : apnea.
9. Keamanan
Gejala : Riwayat terjatuh / trauma, fraktur, adanya alergi.
Tanda : Trauma pada jaringan lunak / ekimosis. Penurunan kekuatan /
tonus otot secara menyeluruh.
10. Interaksi sosial
Gejala : Masalah dalam hubungan interpersonal dalam keluarga atau
lingkungan sosialnya. Pembatasan / penghindaran terhadap kontak sosial.

11. Penyuluhan / pembelajaran

26
Gejala : Adanya riwayat epilepsi pada keluarga. Penggunaan /
ketergantungan obat (termasuk alkohol)
B. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan:


klien secara non verbal, menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit
yang dialami, menangis, wajah meringis.
2. Risiko tinggi terhadap trauma / penghentian pernafasan berhubungan
dengan perubahan kesadaran; kelemahan; kehilangan koordinasi otot
besar atau kecil.
3. Risiko tinggi terhadap bersihan jalan nafas / pola nafas tidak efektif
berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler; obstruksi trakeobronkial.
4. Gangguan harga diri / identitas diri berhubungan dengan persepsi tidak
terkontrol, stigma berkenaan dengan kondisi ditandai dengan takut
penolakan, perubahan persepsi tentang diri, kurang mengikuti / tidak
berpartisipasi pada terapi.
5. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan (kebutuhan belajar),
mengenai kondisi dan aturan pengobatan berhubungan dengan kurang
pemajanan, salah interpretasi informasi, kurang mengingat, ditandai
dengan : kurang mengikuti aturan obat, pertanyaan, kurang kontrol
aktivitas kejang.
6. Risiko gangguan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan
kerusakan sel otak dan aktivitas kejang sekunder terhadap epilepsi.

C. Intervensi

1. Dx 1 : nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai


dengan: klien secara non verbal, menunjukkan gambar yang mewakili
rasa sakit yang dialami, menangis, wajah meringis.
Intervensi:
a. Kaji PQRST dengan menggunakan media gambar
Rasional: pengkajian yang benar akan membantu dalam menentukan
tindakan keperawatan selanjutnya

27
b. Berikan posisi yang nyaman sesuai kebutuhan
Rasional: posisi yang nyaman dapat memberikan relaksasai otot
c. Berikan lingkungan yang nyaman bagi klien
Rasional: rangsang yang berlebihan dari lingkungan dapat
memperberat rasa nyeri.
d. Libatkan keluarga untuk mendampingi klien
Rasional: kehadiran keluarga dapat memberikan efek psikologis
anak untuk mengurangi nyeri
e. Kolaborasi untuk pemberian obat analgesik
Rasional: obat analgesik dapat meminimalkan rasa nyeri.
1. Dx 2 : risiko tinggi terhadap trauma / penghentian pernafasan
berhubungan dengan perubahan kesadaran, kelemahan kehilangan
koordinasi otot besar atau kecil.
Intervensi :
a. Gali bersama-sama klien berbagai stimulasi yang dapat menjadi
pencetus kejang.
Rasional : alkohol, berbagai obat dan stimulasi lain (seperti kurang
tidur, lampu yang terlalu terang, menonton televisi terlalu lama)
dapat meningkatkan aktivitas otak, yang selanjutnya meningkatkan
resiko terjadinya kejang.
b. Pertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur yang
terpasang dengan posisi tempat tidur rendah.
Rasional : mengurangi trauma saat kejang (sering / umum) terjadi
selama pasien berada di tempat tidur.
c. Tinggallah bersama pasien dalam waktu beberapa lama selama /
setelah kejang.
Rasional : meningkatkan keamanan pasien.
d. Catat tipe dari aktivitas kejang (seperti lokasi / lamanya aktivitas
motorik, hilang kesadaran, inkontinensia, dan lain-lain) dan berapa
kali terjadi (frekuensi / kekambuhannya).
Rasional : membantu untuk melokalisasi daerah otak yang terkena.

28
1. Dx 3 : risiko tinggi terhadap bersihan jalan nafas / pola nafas tidak efektif
berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler; obstruksi trakeobronkial.
Intervensi :
a. Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut dari benda / zat tertentu /
gigi palsu atau alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk
menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai
gejala awal.
Rasional : menurunkan resiko aspirasi atau masuknya sesuatu benda
asing ke faring.
b. Letakkan pasien dalam posisi miring, permukaan datar, miringkan
kepala selama serangan kejang.
Rasional : meningkatkan aliran (drainase) sekret, mencegah lidah
jatuh dan menyumbat jalan nafas.
c. Tanggalkan pakaian pada daerah leher / dada dan abdomen.
Rasional : untuk memfasilitasi usaha bernafas / ekspansi dada.
d. Masukkan spatel lidah / jalan nafas buatan atau gulungan benda
lunak sesuai dengan indikasi.
Rasional : jika memasukkannya di awal untuk membuka rahang, alat
ini untuk mencegah tergigitnya lidah dan memfasilitasi saat
melakukan penghisapan lendir atau memberi sokongan terhadap
pernafasan jika diperlukan.
e. Lakukan penghisapan sesuai indikasi.
Rasional : menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia.
f. Kolaborasi dalam pemberian tambahan oksigen.
Rasional : dapat menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat dari
sirkulasi yang menurun atau oksigen sekunder terhadap spasme
vaskuler selama serangan kejang.
1. Dx 4 : gangguan harga diri / identitas diri berhubungan dengan persepsi
tidak terkontrol, stigma berkenaan dengan kondisi ditandai dengan takut
penolakan, perubahan persepsi tentang diri, kurang mengikuti / tidak
berpartisipasi pada terapi.
Intervensi :

29
a. Diskusikan perasaan pasien mengenai diagnostik, persepsi diri
terhadap penanganan yang dilakukannya. Anjurkan untuk
mengungkapkan perasaannya.
Rasional : reaksi yang ada bervariasi diantara individu dan
pengetahuan / pengalaman awal dengan keadaan penyakitnya akan
mempengaruhi penerimaan terhadap aturan pengobatan.
b. Identifikasi / antisipasi kemungkinan reaksi orang pada keadaan
penyakitnya.
Rasional : memberikan kesempatan untuk berespons pada proses
pemecahan masalah dan memberikan tindakan kontrol terhadap
situasi yang dihadapi.
c. Gali bersama pasien mengenai keberhasilan yang telah diperoleh
atau yang akan dicapai selanjutnya dan kekuatan yang dimilikinya.
Rasional : memfokuskan pada asfek positif dapat membantu untuk
menghilangkan perasaan dari kegagalan atau kesadaran terhadap diri
sendiri dan membentuk pasien mulai menerima penanganan terhadap
penyakitnya.
d. Diskusikan rujukan kepada psikoterapi dengan pasien atau orang
terdekat.
Rasional : kejang mempunyai pengaruh yang besar pada harga diri
seseorang dan pasien / orang terdekat dapat merasa berdosa atas
keterbatasan penerimaaan terhadap dirinya dan stigma masyarakat.
Konseling dapat membantu mengatasi perasaan terhadap kesadaran
diri sendiri.
1. Dx 5 : cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan (kebutuhan
belajar), mengenai kondisi dan aturan pengobatan berhubungan dengan
kurang pemajanan, salah interpretasi informasi, kurang menginat,
ditandai dengan : kurang mengikuti aturan obat, pertanyaan, kurang
kontrol aktivitas kejang.
Intervensi :

30
a. Jelaskan kembali mengenai patofisiologi / prognosis penyakit dan
perlunya pengobatan / penanganan dalam jangka waktu yang lama
sesuai prosedur.
Rasional : memberikan kesempatan untuk mengklarifikasi kesalahan
persepsi dan keadaan penyakit yang ada sebagai sesuatu yang dapat
ditangani dalam cara hidup yang normal.
b. Tinjau kembali obat-obat yang didapat, penting sekali memakan obat
sesuai petunjuk, dan tidak menghentikan pengobatan tanpa
pengawasan dokter. Termasuk petunjuk untuk pengurangan dosis.
Rasional : tidak adanya pemahaman terhadap obat-obatan yang
didapat merupakan penyebab dari kejang yang terus menerus tanpa
henti.
c. Anjurkan pasien untuk memakai gelang / semacam petunjuk yang
memberitahukan bahwa anda adalah penderita epilepsi.
Rasional : mempercepat penanganan dan menentukan diagnosa
dalam keadaan darurat.
d. Diskusikan manfaat dari kesehatan umum yang baik, seperti diet
yang adekuat, istirahat yang cukup, latihan yang cukup dan hindari
bahaya alkohol, kafein dan obat yang dapat menstimulasi kejang.
Rasional : aktivitas yang sedang dan teratur dapat membantu
menurunkan / mengendalikan faktor-faktor predisposisi yang
meningkatkan perasaan sehat dan kemampuan koping yang baik dan
juga meningkatkan harga diri.
1. Dx 6 : risiko gangguan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan
dengan kerusakan sel otak dan aktivitas kejang sekunder terhadap
epilepsi.

Intervensi:
a. Ajarkan orang tua tentang tugas perkembangan yang sesuai dengan
kelompok usia.
Rasional : memberikan gambaran tentang pola perkembangan anak
sesuai dengan perkembangan di kelompok usianya.

31
b. Observasi dan berikan kesempatan pada anak untuk memenuhi tugas
perkembangan sesuai dengan usia.
Rasional : mengetahui sejauh mana perkembangan anak yang dapat
dicapai dan membandingkan dengan pola perkembangan sesuai
kelompok usia perkembangan.
D. Evaluasi

1. Klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili penurunan


rasa nyeri yang dialami, klien tidak menangis lagi dan wajah klien
tampak ceria.
2. RR dalam batas normal sesuai umur. Nadi dalam batas normal sesuai
umur
3. Persepsi mulai terkontrol dan pasien dapat mengikuti / berpartisipasi
pada terapi
4. Mengikuti aturan pengobatan dan bisa mengontrol aktivitas kejang. Serta
menunjukkan wajah yang tidak tegang.
5. Pertumbuhan dan perkembangan tidak terganggu

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Epilepsi adalah suatu kondisi sistem saraf pusat dengan ciri adanya
serangan kambuhan (sawan) yang secara temporer berakibat pada kesadaran,
gerakan dan sensasi seseorang. Penyebab penyakit ini pada sebagian besar

32
kasus tidak diketahui. Namun, ada beberapa faktor atau kondisi tertentu yang
dapat dihubungkan dengan epilepsi antara lain: infeksi atau sakit yang
diderita ibu yang berakibat pada perkembangan janin selama kehamilan, luka
selama proses kelahiran, tumor otak, luka pada otak, toksin (racun)
lingkungan seperti serbuk timah, infeksi seperti meningitis (radang pada
selaput otak) atau encephalitis (radang otak), perkembangan otak yang tidak
normal, sejumlah kondisi genetik, gangguan metabolisme yang menyebabkan
adanya ketidakseimbangan pada unsur-unsur dalam darah atau
ketidaknormalan irama jantung. Epilepsi secara genetis biasanya bukan
merupakan penyakit turunan, meskipun kerentanan akan serangan penyakit
ini terdapat dalam keluarga dan sawan bisa terjadi sebagai ciri dari sejumlah
kondisi turunan.
B. Saran
Seorang perawat harus mengetahui konsep dasar penyakit dari epilepsi
dan mampu meningkatkan pelayanan kesehatan terutama pada penyakit
epilepsi. Selain itu perawat juga harus mampu berkolaborasi dengan tenaga
kesehatan lainnya maupun keluarga pasien agar memudahkan proses
perawatan dan mempercepat proses penyembuhan.

33

You might also like