You are on page 1of 12

FILSAFAT KOSMOSENTRIS,

TEOSENTRIS, LOGOSENTRIS

Paper Halaqoh
Disajikan pada tanggal 4 Juni 2010

Oleh
Haris Pradipta Putra
Mahasiswa Semester VI
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik
Universitas Negeri Malang dan
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum “Sunan Giri” Malang

HALAQOH ILMIAH

LEMBAGA TINGGI PESANTREN LUHUR MALANG


JUNI 2010
BAB I
PENDAHULUAN

Filsafat memiliki sejarah dan sejarah itu berisi pendapat pemikir-pemikir


besar. Dari kumpulan-kumpulan yang ada tercatat filsafat-filsafat besar dari India,
China dan Barat. Dan dalam tradisi Barat ada 3 zaman filsafat yang mengalami
masa keemasan. Sewaktu zaman Yunani, dimana pemikiran-pemikiran lebih
berdasarkan kosmosentris, diikuti filsafat abad pertengahan yang bersifat
teosentris, dan kini dizaman modern dan kontemporer, perumusan pemikiran-
pemikiran lebih bersifat anthropocentris. Yang berarti bahwa pemikiran lebih
difokuskan pada manusia, bukan pada alam semesta atau Tuhan seperti pada
zaman-zaman sebelumnya. Filsafat pada zaman modern ini lebih mengarah ke
filsafat Barat yang bersifat logosentris, yang mana mereka lebih menggunakan
logika dalam berfilsafat.

1
BAB II
PEMBAHASAN

Dalam pembahasan ini diterangkan mengenai pengertian filsafat


kosmosentris, teosentris dan logo sentris serta perihal yang menyangkut
ketiganya.

2.1 FILSAFAT KOSMOSENTRIS


Kosmologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan sejarah alam semesta
berskala besar. Secara khusus, ilmu ini berhubungan dengan asal mula dan evolusi
dari suatu subjek. Kosmologi dipelajari dalam astronomi, filosofi, dan agama.
Kosmologi berasal dari kata Yunani “kosmos” dan “logos”. Sedangkan
kosmosentris berarti bersifat kosmologi. “Kosmos” berarti susunan, atau
ketersusunan yang baik. Lawannya ialah “khaos”, yang berarti “kacau balau”.1
Sedangkan “logos” juga berarti “keteraturan”, sekalipun dalam “kosmologi” lebih
tepat diartikan sebagai “azas-azas rasional”.
Dalam sejarah filsafat Barat, tercatat Phytagoras (580 – 500 SM) merupakan
orang yang pertama kali memakai istilah “kosmos” sebagai terminologi filsafat.
Bahkan dalam tradisi Aristotelian, penyelidikan tentang keteraturan alam disebut
sebagai “fisika” (bukan dalam pengertian modern), dan filsafat Skolastik memakai
nama “filsafat alami” (philosophia naturalis) untuk menyebut hal yang sama.2
Istilah “kosmologi” (cosmology) dipakai pertama kali oleh Christian von Wolff
dalam bukunya “Discursus Praeliminaris de Philosophia in Genere” tahun 1728,
dengan menempatkannya dalam skema pengetahuan filsafat sebagai cabang dari
“metafisika” dan dibedakan dengan cabang-cabang metafisika yang lain seperti
“ontologi”, “teologi metafisik”, maupun “psikologi metafisik”.3
Dengan demikian, sejak “klasifikasi Christian”, “kosmologi” dimengerti
sebagai sebuah cabang filsafat yang membicarakan asal mula dan susunan alam
semesta; dan dibedakan dengan “ontologi” atau “metafisika umum” yang

1
Bakker, A.. 1995. Kosmologi Dan Ekologi, Filsafat Tentang Kosmos Sebagai Rumah tangga
Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. h. 39
2
Bakker, A.. Ibid. h. 40
3
Edward, Paul. ed. 1976. The Encyclopedia of Philosophy. New York: The Macmillan Co. and
Free Press. h. 237

2
merupakan suatu telaah tentang watak-watak umum dari realitas natural dan
supernatural; juga dibedakan dengan “filsafat alam” (The philosophy of nature)
yang menyelidiki hukum-hukum dasar, proses dan klasifikasi objek-objek dalam
alam.4 Namun demikian, walau secara definitif “kosmologi” dibedakan dengan
“ontologi” maupun “filsafat alam”, pemilahan yang tegas dalam analisis
konseptual antara ketiga bidang tersebut merupakan suatu usaha yang sulit
dikerjakan, mengingat objek material dan objek formal yang hampir sama.
Topik utama kosmologi filsafat menurut Hegel adalah tentang “kontingensi”
(kemestian yang merujuk pada “hukum”), “kepastian”, “keabadian”, batas-batas
dan hukum formal dunia, kebebasan manusia, dan asal mula kejahatan. Namun
rata-rata filsuf hanya mempersoalkan hakikat dan hubungan antara ruang dan
waktu, dan persoalan tentang hakikat kebebasan dan asal mula kejahatan sebagai
materi telaah di luar bidang kosmologi.5 Secara umum bangunan pemikiran
kosmologi filsafat berpijak pada prinsip-prinsip ilmu ataupun dalil-dalil metafisis,
sehingga pada satu sisi berkaitan dengan fakta-fakta empiris, pada sisi lain
berhubungan dengan kebenaran metafisis tertentu. Dengan demikian dari pijakan
ini mudah dilihat bahwa kosmologi filsafat memiliki nilai bila dia mampu
memberi kerangka pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa alami/kodrati, batas-
batas dan “hukum” ruang-waktu “dunia”, dan bagaimana “keterbatasan
manusiawi” tersebut mampu “diatasi”.
Secara historis perkembangan kosmologi filsafat (barat) dimulai dari filsuf-
filsuf alam pra-Sokratik, yang kemudian persoalan-persoalannya oleh Plato dalam
“Timaeus” dan oleh Aristoteles dalam “Physics” disistematisir dan diperluas.
Secara umum kosmologi filsafati di Yunani, dengan berbagai varian pemikiran,
sepakat bahwa ruang jagad raya ini terbatas dan di bawah pengaruh hukum-
hukum yang tidak dapat dirubah, yang memiliki ketentuan dan irama tertentu.
Perkembangan berikut, pada Abad Tengah, mulai diperkenalkan konsep-konsep
“penciptaan” dan “kiamat”, “keajaiban” dan “pemeliharaan” oleh Tuhan dalam
kosmologi. Seirama dengan perkembangan ilmu empiris, kosmologi filsafat jaman
modern sebagaimana dikemukakan oleh Descartes, Leibniz, maupun Newton
mengalihkan kecenderungan yang muncul pada Abad tengah kepada corak
4
Runnes, D.D.. 1975. Dictionary of Philosophy. New Jersey: Littlefield, Adam & Co. h. 68-69
5
Runnes, D.D.. Ibid . h. 69

3
pemikiran yang lebih dekat dengan pemikiran Yunani. Bahkan sejak Immanuel
Kant, telaah kosmologi filsafati selalu dalam kaitan dengan isue-isue metafisika.
Varian lain yang berkembang dan perlu disebut adalah kosmologi modern yang
lebih “positif” sebagaimana dikemukakan oleh Pierce, yang menyatakan bahwa
pokok soal yang harus dijawab oleh kosmologi adalah tiga hal, yakni, prinsip-
prinsip tentang perubahan, hukum, dan kontingensi kosmis.6 Varian
“pengimbang” yang lain untuk pemikiran kontemporer adalah Whitehead, dengan
“mengembalikan” kosmologi pada lingkup “hukum kodrat” yang lebih luas terkait
dengan kebudayaan dan ilmu.7
Secara sistematis, kosmologi filsafat dibedakan dalam empat kelompok
varian besar dengan dasar pengelompokan: (1) Berpijak dari keyakinan ontis
bahwa hakikat dunia itu “jamak” ataukah “tunggal” (monisme, pluralisme); (2)
Kedudukan manusia dalam kosmis (subjektivistis, objektivistis); (3) Esensi dan
substansi manusia dengan esensi dan substansi dunia yang lain (penonjolan
“perbedaan” antara esensi dan substansi manusia dengan esensi dan substansi
dunia yang lain pada: Husserl, Scheler, Hartman, dan Heidegger; pengutamaan
pada “kesamaan” antara esensi dan substansi “pengkosmos-pengkosmos” pada:
panpsikisme dan Whitehead); Dan (4) pendekatan sintesis (Bergson, Theilard de
Chardin, dan kosmologi Pancasila).8
Klasifikasi yang dilakukan Bakker yang masih searah dengan kecenderungan
kosmologi post-Kantian, yakni mengaitkan telaah kosmologi dengan
“metafisika”, membawa kajian kosmologi pada pendekatan integratif dengan
bidang-bidang pokok filsafat yang lain, baik itu metafisika, epistemologi,
aksiologi, maupun filsafat manusia. Terdapat dua konsekuensi yang meski
diterima, bila pendekatan demikian yang dianut, yakni, pertama, kajian kosmologi
filsafati menjadi kajian yang “arbriter”, dalam arti varian-varian pandangan
metafisis dan pendekatan (orientasi epistemologis) meski dipertimbangkan dalam
suatu telaah yang “komprehensif” dan “dialogis”, karena tanpa titik awal yang
demikian yang terjadi adalah “penghakiman” atas suatu metafisika/ epistemologi
oleh metafisika/epistemologi lain. Sebuah dimensi “meta-metodologi-filsafat”

6
Runnes, D.D.. Op Cit. h. 69
7
Whitehead. 1976. The Adventure of Ideas. New York: Mentor Book. h. 143
8
Bakker, A.. Op Cit. h. 42-52

4
yang kurang disadari dalam telaah-telaah filsafat. Kedua, jangkar kajian pada
“faktisitas-kedirian” dari “aku” (subjek eksistensial) sebagaimana mencul dalam
pendekatan antropologi metafisis, membuka peluang untuk mengkaji kosmologi
filsafat tidak hanya pada tingkat “tradisi besar para filsuf” namun juga berangkat
dari “tradisi kecil” manusia “yang bukan filsuf” dengan kerangka pendekatan
“sosio-empiris”. Dengan pendekatan “sosiologi (pengetahuan) filsafat”, secara
empiris bisa dilacak “jangkar-jangkar sosial” dari sesuatu yang sudah dianggap
sebagai “suatu pandangan dunia” dari masyarakat tertentu, baik itu berkaitan
dengan “pandangan dunia secara holistik”, maupun aspek-aspek pemahaman
tertentu dari “pandangan dunia” masyarakat tersebut. Dari “pandangan dunia”
tersebut dapat dijabarkan pemahaman manusia tentang dunianya, yakni aspek
kosmologi tentang waktu, terutama berkaitan dengan “keyakinan” (antropologis)
orang tentang adanya pengaruh waktu (watak tahun, bulan, hari, dan jam)
terhadap manusia.
Secara sistematis, perspektif-perspektif kosmologi metafisis tentang
“waktu”, sebagaimana banyaknya varian pendekatan dalam kosmologi, secara
garis besar dapat dipilah dalam empat kelompok, yakni: (1) Subjektivisme yang
menyatakan bahwa waktu merupakan sesuatu yang tidak nyata, hanya bersifat
subjektif-individual. Pemikiran yang demikian dianut oleh Parmenides, Zeno,
Budhisme, Advaita Vedanta, Descartes, Leibniz, Locke, Hume, Berkeley, Fichte,
Scheling, Hegel, Kant, Morris Schlick, Reichenbach, dan Carnap; (2) Realisme
Ekstrem yang menyatakan bahwa waktu merupakan realitas absolut yang
universal, tidak mempunyai kesatuan yang intrinksik dan hanya menunjukkan
urutan-urutan murni. Kosmologi yang demikian dapat ditemukan pada kosmologi
Indonesia/Jawa, Jaina, Nyanya, Vaiseshika, Gassendi, Newton, Clarke,
Whitehead, dan Alexander; (3) Realisme lunak, yang menyatakan bahwa waktu
merupakan aspek perubahan yang nyata, sekalipun dihasilkan oleh subjek yang
berabstraksi. Corak kosmologi yang demikian nampak pada pemikiran
Aristoteles, Agustinus, Thomas Aquinas, Einstein, dan kosmologi Pancasila; Dan
(4) Subjektivisme lunak yang menerima waktu sebagai suatu yang heterogen
sebagaimana dikemukakan oleh Bergson, atau sebagai dimensi historis dari

5
pribadi, sebagaimana diyakini oleh eksistensialisme. 9 Dari “peta kosmologi” di
atas, terlihat bahwa tradisi kosmologi timur paling dominan diwarnai oleh
subjektivisme dan realisme ekstrem. Dari berbagai varian yang ada itu pula,
kiranya dengan mudah dapat dilihat “konsekuensi-konsekuensi logis” dari suatu
varian pemikiran kosmosentris terhadap pandangan manusia tentang aspek-aspek
lain dari kehidupannya.

2.2 FILSAFAT TEOSENTRIS


Filsafat teosentris adalah sebuah pemikiran dimana semua proses dalam
kehidupan di muka bumi ini akan kembali kepada Tuhan. Pada filsafat abad
pertengahan, pemikiran-pemikiran selalu berdasarkan peraturan agama, kitab suci,
dan tradisi agama, segala sesuatu yang bertentangan dianggap salah. Manusia
sebagai viator mundi (khalifah yang berziarah didunia ini), sedangkan zaman kini
lebih ke faber mundi (manusia yang menciptakan dunianya).
Pemikir yang terkenal menggunakan filsafat teosentris adalah al-Ghazali
dengan filsafat pendidikannya, yang didalamnya memuat asas teologis, dimana
konsep antroposentris merupakan bagian esensial dari konsep teosentris.
Kattsoff pada bukunya Elements of Phylosophy membuktikan adanya Tuhan
dengan mengibaratkan ketika seseorang terdampar sendirian di sebuah pulau dan
tiba-tiba dia menemukan suatu alat mekanis yang tersusun menjadi suatu sistem
rumit yang tersusun tertib. Maka orang tersebut akan berfikir bahwa adanya alat
mekanis yang rumit tersebut menunjukkan adanya pencipta alat tersebut dan
tujuan dibuatnya alat tersebut. Demikian halnya dengan alam semesta yang luar
biasa rumit namun tersusun dengan baik dan tertib, begitu juga dengan sistem
tubuh manusia. Susunan yang tertib tersebut pasti mengandung arti adanya suatu
tujuan, karena “tujuan” berarti “tujuan yang ingin dicapai oleh seseorang/sesuatu
penciptanya”. Kemudian dari pembuktian tersebut muncul pertanyaan “Mengapa
saya ada (di sini?)”, yang maksudnya adalah mereka tidak akan ditakdirkan lahir
kecuali apabila adanya mereka mempunyai suatu tujuan.10

9
Bakker, A.. Op Cit. h. 111-116
10
Kattsoff, Louis O.. 1996. Elements of Philosophy, alih bahasa oleh Soejono Soemargono.
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. h. 457

6
William E. Hocking memiliki pemikiran dalam filsafat teosentris mengenai
Tuhan sebagai sumber segala pengetahuan. Hocking menyatakan bahwa setiap
orang pasti akan menghadapi orang lain (masyarakat), obyek-obyek kejasmanian
yang diketahui oleh indera (alam), dan obyek-obyek kejiwaan yang merupakan
diri (diri). Dan ketika seseorang meneliti ketiganya dengan sebuah metode,
akhirnya akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa ada sesuatu Yang Lain
sebagai kenyataan yang di dalamnya dan melaluinya kita memperoleh
pengetahuan tersebut.
Selain itu Hocking juga memiliki sebuah pemikiran bahwa Tuhan merupakan
suatu kenyataan pendahuluan yang harus ada. Inti dari pemikiran ini terletak pada
watak alam yang mengharuskan adanya Sang Pencipta. Dengan demikian maka
Tuhan merupakan suatu premisme harus ada bagi adanya dunia dan bukan hanya
hipotesa belaka.

2.3 FILSAFAT LOGOSENTRIS


Disadari atau tidak disadari, cara berpikir manusia modern, tak lepas juga
dari pengaruh perkembangan pemikiran dalam filsafat. Meski bisa jadi seseorang
tak pernah belajar filsafat langsung, namun bukan berarti cara berpikir yang
berasal dari perkembanganfilsafat tak bisa mempengaruhi kita. Lebih jauh lagi,
dalam ilmu pengetahuanpun bisa dikatakan sebagian besar perkembangan pernik-
pernik ilmu di dalamnya begitu dipengaruhi perkembangan filsafat, yang dalam
hal ini lebih mengarah pada Filsafat Barat, ketimbang Filsafat Islam atau Filsafat
Timur. Filsafat Barat ini pada umumnya merupakan sebuah pemikiran yang
hampir selalu berpola logosentris. Di sinilah kelak muncul apa itu yang disebut
logika, dengan berbagai derivasinya.
Logosentris secara sederhana bisa dikatakan sebagai cara berpikir yang
berpusat pada logos. Secara umum, dalam terjemahan-terjemahan (yang menurut
saya juga sedikit misleading), logos kerap diterjemahkan sebagai “ilmu”. Jadi
kalau ada kata “psikologi”, maka orang-orang psikologi barangkali akrab dengan
terjemahan “Psike” plus “logos” yang diparalelkan dengan “Jiwa” plus “ilmu”,
sehingga terjemahan Psikologi adalah “Ilmu Jiwa”. Tak jauh beda dalam
terjemahan Alkitab bahasa Indonesia, logos diterjemahkan sebagai “Firman”,

7
sehingga kalimat dalam Yohanes 1:1 yang berbunyi: “en arche en ho logos”
diterjemahkan sebagai “Pada awalnya adalah Firman”.
Logos sejatinya bukan secara mudah bisa diterjemahkan baik sebagai “ilmu”
maupun “firman”. Apa yang kurang-lebih tepat untuk menerjemakan logos adalah
“kata-kata yang menjadi pengetahuan”, atau dengan kata lain perkataan atau kata
sebagai manifestasi dari pikiran manusia. Dengan demikian terdapatlah suatu
suatu jalinan yang kuat antara pikiran dan kata yang dimanifestasikan dalam
bahasa.11 Logos dalam filsafat Barat lebih sering dipahami sebagai absolusitas
yang berada di ujung sebuah alur linier. Ada banyak logos dalam filsafat: iman,
rasio, monad, atom dan lain sebagainya.
Istilah logika pertama kali digunaka pada Cicero (abad 1 SM) dalam arti seni
berdebat. Alexander Aphrodisias (± abad 3 M) adalah filusuf pertama yang
menggunakan kata logika dalam arti ilmu yang menyelidiki tingkat kelurusan
pikiran manusia. Pada dasarnya logika menjadi asas penentu pemikiran yang
lurus, tepat dan sehat. Dengan menerapkan hukum-hukum pemikiran yang lurus,
tepat dan sehat kita dimasukkan ke dalam lapangan logika, sebagai suatu
kecakapan. Hal ini menyatakan bahwa logika bukanlah teori belaka, logikan juga
merupakan suatu ketrampilan untuk menerapkan hukum-hukum pemikiran dalam
praktek. Inilah sebabnya mengapa logika disebut filsafat yang praktis.
Popkin dan Stroll menguraikan lebih dahulu perbedaan antara Etika,
Metafisika lalu Logika sebagai bagian dari filsafat. Bila seseorang memikirkan
persoalan tingkah laku, maka ia akan masuk filsafat dalam bidang etika; bila yang
menjadi perhatian baginya adalah alam semesta, maka ia masuk filsafat dalam
metafisika. Tetapi bila ia memperhatikan tentang cara berfikir itu sendiri, maka
yang dimasukinya adalah dunia filsafat dalam bidang logika (Filsafat Logo
sentris).
Sebagai salah satu cabang filsafat, maka logika dapat dibagi menjadi:
1) Logika dalam arti sempit dapat disama artikan dengan logika deduktif atau
logika formal. Logika deduktif adalah logika yang mempelajari asas-asas
penalaran yang bersifat deduktif, yaitu penalaran yang menurunkan suatu
kesimpulan sebagai kemestian dari pangkal pikirannya. Logika formal

11
Sudarsono. 2001. Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta. h. 162

8
mempelajarai asas-asas, aturan-aturan atau hukum-hukum yang harus ditaati,
agar dapat berpikir dengan benar sehingga dapat memperoleh kebenaran.
2) Logika dalam arti luas mencakup perbincangan yang sistematis mengenai
pencapaian kesimpulan-kesimpulan dari pelbagai bukti dan tentang bagaimana
sistem-sistem penjelasan disusun dalam ilmu alam, termasuk penjelasan logika
di dalamnya.
3) Logika induktif adalah logika yang mempelajari asas-asas penalaran yang
benar yang berawal dari hal yang khusus sampai pada kesimpulan yang bersifat
umum, yang bersifat boleh jadi atau kemungkinan.
4) Logika material mempelajari langsung pekerjaan akal (sumber-sumber dan
asalnya pengetahuan), serta menguji hasil-hasil logika formal dan mengujinya.
5) Logika murni merupakan pengetahuan mengenai asas-asas dan aturan-aturan
logika yang berlaku umum pada semua segi.
6) Logika terapan adalah pengetahuan logika yang diterapkan dalam setiap
cabang ilmu, bidang-bidang filsafat, dan juga dalam pembicaraan yang
mempergunakan bahasa sehari-hari.
7) Logika filsafat adalah suatu ragam atau bagian logika yang berkaitan dengan
pembahasan-pembahasan dalam bidang filsafat.
8) Logika matematik merupakan suatu bentuk logika yang mengkaji penalaran
yang benar dengan menggunakan metode-metode matematik.

Di samping pembagian tersebut, Alex Lanur Ofm berpendapat bahwa logika


dapat dibedakan atas dua macam, namun keduanya tidak dapat dipisahkan satu
sama lain. Kedua logika tersebut adalah:
1) Logika kodratiah adalah pengaruh dari dalam diri manusia yang timbul secara
spontan yang cenderung subyektif. Logika kodratiah seringkali menyesatkan
akal budi yang dapat bekerja secara obyektif.
2) Logika ilmiah adalah logika yang membantu logika kodratiah dengan
memperhalus, mempertajam pikiran serta akal budi.

9
BAB III
PENUTUP

Dari uraian pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa filsafat


kosmosentris adalah filsafat mengenai segala sesuatu disekitar kita atau alam
semesta yang dapat dicerap secara inderawi. Dan filsafat teosentris adalah filsafat
yang memiliki pemikiran bahwa segala sesuatu jika diteliti akan kembali kepada
Tuhan. Sedangkan filsafat logosentris adalah filsafat yang sering digunakan pada
filsafat Barat yang mana pemikirannya menggunakan logika.

10
DAFTAR RUJUKAN

Bakker, A.. 1995. Kosmologi Dan Ekologi, Filsafat Tentang Kosmos Sebagai
Rumah tangga Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Edward, Paul. ed. 1976. The Encyclopedia of Philosophy. New York: The
Macmillan Co. and Free Press.
Hocking, W.E.. 1921. The Meaning of God in Human Experience. New York:
Yale University Press.
Kattsoff, Louis O.. 1996. Elements of Philosophy, alih bahasa oleh Soejono
Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Runnes, D.D.. 1975. Dictionary of Philosophy. New Jersey: Littlefield, Adam &
Co.
Sudarsono. 2001. Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Whitehead. 1976. The Adventure of Ideas. New York: Mentor Book.

11

You might also like