You are on page 1of 4

Salah satu sebab utama perusakan hutan hujan adalah penebangan hutan.

Banyak tipe
kayu yang digunakan untuk perabotan, lantai, dan konstruksi diambil dari hutan tropis di
Afrika, Asia, dan Amerika Selatan. Dengan membeli produk kayu tertentu, orang-orang
di daerah seperti Amerika Serikat secara langsung membantu perusakan hutan hujan.

Walau penebangan hutan dapat dilakukan dalam aturan tertentu yang mengurangi
kerusakan lingkungan, kebanyakan penebangan hutan di hutan hujan sangat merusak.
Pohon-pohon besar ditebangi dan diseret sepanjang hutan, sementara jalan akses
yang terbuka membuat para petani miskin mengubah hutan menjadi lahan pertanian. Di
Afrika para pekerja penebang hutan menggantungkan diri pada hewan-hewan sekitar
untuk mendapatkan protein. Mereka memburu hewan-hewan liar seperti gorila, kijang,
dan simpanse untuk dimakan.

Penelitian telah menemukan bahwa jumlah spesies yang ditemukan di hutan hujan
yang telah ditebang jauh lebih rendah dibandingkan dengan jumlah yang ditemukan di
hutan hujan utama yang belum tersentuh. Banyak hewan di hutan hujan tidak dapat
bertahan hidup dengan berubahnya lingkungan sekitar.

Penduduk lokal biasanya bergantung pada penebangan hutan di hutan hujan untuk
kayu bakar dan bahan bangunan. Pada masa lalu, praktek-praktek semacam itu
biasanya tidak terlalu merusak ekosistem. Bagaimanapun, saat ini wilayah dengan
populasi manusia yang besar, curamnya peningkatan jumlah orang yang menebangi
pohon di suatu wilayah hutan hujan bisa jadi sangat merusak. Sebagai contoh,
beberapa wilayah di hutan-hutan di sekitar kamp-kamp pengungsian di Afrika Tengah
(Rwanda dan Congo) benar-benar telah kehilangan seluruh pohonnya.

Setiap tahun, ribuan mil hutan hujan dihilangkan untuk kegunaan pertanian. Dua
kelompok yang bertanggung jawab dalam mengubah hutan hujan menjadi tanah
pertanian adalah petani miskin dan perusahaan besar.

Para petani miskin di banyak bagian dunia bergantung pada pembersihan hutan untuk
menghidupi keluarganya. Tanpa akses ke tanah pertanian yang lebih baik, mereka
menggunakan cara tebang-dan-bakar untuk membersihkan bidang-bidang tanah di
hutan untuk periode waktu yang pendek. Biasanya mereka bercocoktanam di bidang
tanah tadi untuk beberapa tahun hingga tanah kehabisan nutrisi dan mereka harus
berpindah ke suatu bidang tanah baru di dalam hutan.

Perusahaan-perusahaan pertanian saat ini membersihkan lebih banyak hutan hujan


dibandingkan sebelum-sebelumnya, terutama di Amazon dimana banyak bidang tanah
di hutan yang diubah menjadi lahan kedelai. Beberapa ahli percaya bahwa pada suatu
saat Amerika Selatan akan mempunyai wilayah pertanian yang luasnya dapat
menyaingi yang ada di Amerika bagian tengah barat. Banyak dari tanah pertanian ini
akan harus mengorbankan hutan hujan Amazon.

Membersihkan hutan untuk menggembalakan hewan ternak adalah penyebab utama


hilangnya hutan di Amazon, dan Brazil saat ini memproduksi daging sapi lebih banyak
dari sebelumnya. Selain beternak untuk makan, banyak pemilik tanah menggunakan
hewan ternak mereka untuk meluaskan tanah mereka. Hanya dengan menaruh hewan
ternak mereka di suatu wilayah di hutan, para pemilik tanah bisa mendapatkan hak
kepemilikan bagi tanah tersebut.

Konstruksi jalan maupun jalan raya di hutan hujan membuka banyak wilayah untuk
pengembangan. Di Brazil, jalan raya Trans-Amazonian menghasilkan perusakan hutan
di banyak wilayah oleh para koloni miskin, penebang hutan, dan spekulan tanah. Di
Afrika, jalan-jalan penebang hutan memberikan akses bagi para pemburu gelap yang
memburu hewan-hewan langka sebagai makanan mereka atau dijual dagingnya pada
penduduk kota.

Kemiskinan mempunyai peran besar dalam penebangan hutan. Hutan hujan dunia
ditemukan di wilayah-wilayah termiskin di muka bumi. Orang-orang yang tinggal di dan
di sekitar hutan hujan bergantung pada ekosistem ini untuk kehidupan mereka. Mereka
mengumpulkan buah-buahan dan kayu, memburu hewan liar agar dapat makan daging,
dan dibayar oleh perusahaan-perusahaan yang memeras sumber alam dari hutan.

Kebanyakan orang miskin di sana tidak memiliki pilihan yang di daerah-daerah Barat
dapat diambil begitu saja. Mereka hampir selalu tidak punya pilihan untuk melanjutkan
kuliah atau menjadi dokter, pekerja pabrik, atau sekretaris. Mereka harus hidup dari
lingkungan sekitar mereka dan menggunakan sumber alam apapun yang dapat mereka
temukan untuk hidup. Kemiskinan mereka merugikan seluruh dunia melalui
berkurangnya hutan hujan tropis dan kehidupan liarnya. Tanpa menyediakan bantuan
untuk orang-orang ini, hutan hujan tak akan bisa diselamatkan.

Kayu yang diambil dari Borneo antara tahun 1985 dan 2000 lebih banyak dari Afrika
dan Amazon digabungkan - Lisa Curran

Pernyataan di atas adalah bukti tingkat penebangan hutan di Borneo selama sekitar 20
tahun. Pulau ini telah mengalami penebangan hutan paling intensif yang pernah di catat
di hutan tropis dengan penebangan yang kadang melampaui 240 meter kubik per
hektar (rata-rata di Amazon 23 meter kubik per hektar). Intensitas dari penebangan ini
pada akhirnya merusak industri itu sendiri: pasar kayu jatuh, baik di Malaysia dan
Indonesia, dalam 15 tahun terakhir ini. Walau begitu, tetap hutan adalah hal penting di
pulau tersebut saat ini, terutama di Kalimantan dan Sarawak dimana sebagian besar
penduduknya masih bekerja untuk perusahaan penebangan, menghasilkan ratusan juta
USD untuk ekonomi lokal. Berikut adalah keterangan singkat mengenai penebangan
hutan di Borneo. Untuk informasi lebih lanjut, saya sarankan untuk mencari referensi
dari bagian bawah halaman ini

Sejarah Penebangan hutan awalnya dimulai di Borneo Malaysia, lalu Kalimantan


Indonesia. Kedua negara melihat kesempatan yang mirip dan meningkatkan putaran
dengan adanya subsidi dari pemerintah di jalanan dan fasilitas pengolahan dan
pinjaman ringan. Penebangan liar sangat tersebar luas di kedua negara.

Pada awal 1990an, paling tidak sepertiga dari eksportir dari Malaysia adalah ilegal,
termasuk 40 persen kayunya dikirim ke Jepang. Penebangan liar masih menjadi
masalah di Malaysia, walau tak sebanyak di Indonesia. Kebanyakan dari keterlibatan
Malaysia dalam perdagangan ilegal kayu saat ini adalah melalui penyelundupan dan
perdagangan gelap di negara lain, terutama Indonesia. Perusahaan-perusahaan
Malaysia ini terlibat dalam pemanenan ilegal di Kalimantan -- kayu kadang kala juga
diselundupkan melewati batas negara dan kemudian dikapalkan dengan membawa
nama "Malaysian" wood.

Penebangan ilegal adalah masalah yang lebih besar di Indonesia, dimana diperkirakan
70-75 persen dari kayu dipanen secara ilegal, merugikan pemerintah hingga ratusan
juta atau bahkan miliar di pajak pemasukan yang hilang. Kalimantan Selatan
diperkirakan akan kehilangan pendapatan sebesar 100 juta per tahun dalam bentuk
penghasilan karena lebih dari separuh dari produksi kayu dilakukan secara ilegal.

Menurut WWF, penebangan kayu ilegal di Indonesia dimotori oleh beberapa faktor:
Kapasitas perusahaan pemotongan kayu di Indonesia dan Malaysia yang berlebihan.
Keduanya memiliki fasilitas untuk mengolah kayu dalam jumlah besar walau produksi
kayu sendiri telah menurun sejak masa-masa tenang di tahun 1990an. WWF
melaporkan bahwa kedua negara tersebut memiliki kemampuan untuk mengolah 58,2
juta meter kubik kayu setiap tahunnya, sedangkan produksi hutan secara legal hanya
mampu mensuplai sekitar 25,4 juta meter kubik. Sisa kapasitasnya digunakan oleh
kayu yang ditebang secara ilegal.
Kurangnya kepedulian lokal mengenai penebangan liar. WWF mencatat bahwa
kebanyakan orang di Borneo tidak begitu khawatir dengan penebangan liar. Bahkan,
kelangkaan pekerjaan berarti bahwa rata-rata orang akan senang bekerja di sektor
kehutanan, tak peduli dijalankan secara legal ataupun tidak.

Korupsi dan kepentingan politis lokal.Penebangan, legal maupun ilegal, menciptakan


pekerjaan dan menstimulasi kegiatan perekonomian lokal untuk jangka pendek,
sesuatu yang hampir tak akan ditolak oleh politikus manapun. Lebih jauh, petugas yang
ulet bisa menikmati kehidupan berkecukupan dengan memenuhi kantong mereka
dengan keuntungan dari kayu-kayu ilegal. Budaya korupsi ini ditanamkan sejak masa
pemerintahan Suharto dan masih mengakar hingga saat ini.

Ekonomi. CIFOR (2004) menyebutkan bahwa kayu legal membutuhkan biaya 85 USD
per meter kubik untuk mengirimkannya ke perusahaan pemotongan kayu oleh
perusahaan besar, sedangkan biaya yang dikeluarkan oleh kayu ilegal hanyalah 32
USD. Untuk pemegang ijin skala kecil, biayanya adalah 46 USD dan 5 USD, berturut-
turut. Sangat lebih murah untuk menggunakan kayu ilegal. Seperti yang disebutkan
oleh WWF, "Keuntungan finansial yang didapat dari penebangan ilegal lebih banyak
dibandingkan dari penebangan legal."

Atas alasan-alasan inilah, usaha untuk menghilangkan penebangan ilegal melalui


larangan ekspor dan aturan lain belum bisa dikatakan berhasil. Di tahun 2006, Amerika
Serikat menawari Indonesia 1 juta USD untuk menghapuskan penebangan gelap,
sesuatu yang sedikit melihat bahwa keempat pemerintah Propinsi Kalimantan secara
kolektif merugi lebih dari 1 juta USD dari pendapatan pajak per hari akibat penebangan
ilegal.

You might also like