You are on page 1of 5

MINORITAS SUNDA DI LINGKUNGAN MAYORITAS JAWA

Oleh Luthfi Fazar Ridho


D2C008043

Suku Sunda dikenal sebagai salah satu suku terbesar di Indonesia. Suku
Sunda atau masyarakat Sunda merupakan mayoritas penduduk Jawa Barat.
Dalam catatan sejarah, pada tahun 1851 suku Sunda sudah merupakan
penduduk terbesar di Jawa Barat yang berjumlah 786.000 jiwa. Data terbaru
pada tahun 2008, suku Sunda diperkirakan berjumlah lebih kurang 34 juta jiwa.
Karakteristik urang Sunda adalah sifatnya yang yang cenderung enggan
untuk merantau jauh dari tanah kelahirannya , apakah itu relevan dengan
kondisi sekarang yang mobilitas masyarakatnya cukup tinggi, rasanya bisa kita
lihat dari sisi yang saya perhatikan di beberapa tempat di pelosok Nusantara
yang mempunyai beberapa kasus. Keinginan untuk merantau secara sukarela ke
luar Jawa Barat adalah diajak oleh temannya atau saudaranya yang telah
berhasil (Merantau temporer), kasus serupa terjadi pada Arus Balik yang terjadi
setiap seminggu Setelah Idul Fitri. Yang lainnya adalah keinginannya untuk
belajar di tempat yang lain. Daerah yang biasanya dituju oleh perantau Sunda
adalah Jawa tengah, Jawa Timur, dan Jogjakarta.
Bagaimana Perilaku minoritas Sunda di lingkungan mayoritas Jawa?
Apakah mereka diakui? Bagaimana reaksi dari kelompok-kelompok sosial itu
jika mereka berinteraksi? Menurut Paul Horton Dan Chester Hunt, kelompok
etnik adalah kelompok yang diakui oleh masyarakat dan oleh kelompok etnik
itu sendiri sebagai suatu kelompok yang tersendiri. Terkadang suatu kelompok
etnis dikatakan sebagai minoritas jika di dalam lingkungan sosial tersebut
jumlah atau pengaruh mereka sedikit atau kecil. Sebaliknya, sekumpulan etnis
ini dapat dikategorikan sebagai kelompok mayoritas manakala kemampuan
mereka untuk mempengaruhi anggota-anggota lainnya dalam lingkungan sosial
besar dan jumlah meraka relatif banyak.

1
Eksistensi yang beresiko
Kelompok etnis berkomunikasi, dan berinteraksi agar mereka eksis.
Bila kelompok sosial tidak berusaha untuk mengeksiskan diri, maka
keberadaan meraka dianggap tidak ada sama sekali. Kaitannya dengan kaum
minoritas Sunda di lingkungan mayoritas Jawa, bahwa kaum minoritas ingin
diakui di kalangan mayoritas dengan cara berkomunikasi, dan berinteraksi
dengan kaum mayoritas. Namun ada kalanya keberadaan mereka membuat
mayoritas merasa risih, dan jengah sehingga adanya sentimen negatif terhadap
kelompok mayoritas. Itu wajar saja. Sikap entosentrisme yang melekat erat
pada diri masing-masing kelompok akan selalu menghadirkan penilaian
stereotip (prasangka) yang menganggap kelompok mereka lebih baik daripada
kelompok yang lainnya. Efek buruknya, dari penilaian stereotip itu, efeknya
akan memburuk menjadi sikap membedakan terhadap kelompok lain.
Membedakan dalam arti yang sempit. Yaitu sikap yang mendiskriminasi untuk
mempertahankan nilai-nilai esensi dari kelompok tersebut. Baik dari kelompok
mayoritas, ataupun minoritas. Bahkan, ketika prasangka dan diskriminasi tidak
membuat suatu kelompok puas akan perlakuannya pada kelompok lain, mereka
melakukan segregasi, yaitu pemisahan wilayah untuk mengamankan daerah
meraka. Perlakuan itu dimaksudkan agar wilayah meraka seril dari anggota-
anggota kelompok yang mereka anggap buruk. Dalam beberapa kasus, malah
terjadi lebih parah, yaitu pengusiran kelompok yang dianggap mengganggu
oleh kelompok penguasa. Dan bentuk diskriminasi yang terparah pernah
dilakukan oleh Adolf Hittler, yaitu dengan melakukan pemusnahan massal atau
yang terkenal dengan istilah Holocaust. Kaitannya dengan minoritas Sunda
dalam Lingkungan mayoritas Jawa adalah bahwa perlakuan diskriminatif yang
dilakukan kelompok mayoritas mengancam eksistensi minoritas. Cara
minoritas untuk tetap eksis dan situasi diskriminatif adalah dengan cara
melakukan pemisahan diri (withdrawal) dari lingkungan yang kurang kondusif
untuk melakukan interaksi antar kelompok yang notabene bisa menimbulkan

2
masalah baru. Selai itu juga minoritas bisa melakukan integrasi, namun dengan
berbagai syarat dan ketentuan.

Integerasi yang saling memahami


Sanghiyang Siksakandang Karesian merupakan naskah yang ditulis
Oleh Prabu Jayapakuan, berisi informasi tentang khazanah budaya Sunda pada
masa itu. Suhamir, arsitek dan peneliti sejarah Sunda kuna yang wafat di
Bandung pada 1966, menamakan naskah itu sebagai "ensiklopedi kebudayaan
Sunda". Di dalamnya disebutkan 55 nama tempat beserta bahasanya yang
diketahui dan dikuasai oleh *Jurubasa Darmamurcaya *(penerjemah).
Naskah Sanghiyang Siksakandang Karesian mengungkapkan informasi
bahwa orang Sunda suka merantau ke luar tanah airnya, bukan hanya di
wilayah nusantara, melainkan juga sampai ke negeri Cina. Mereka biasa
merantau dalam waktu yang cukup lama sehingga dapat menguasai bahasa dan
kebudayaan bangsa yang didatanginya. Gambaran tersebut tercermin dalam
penuturan berikut,

*"Ini ma upama jalma tandang ka Cina, heubeul mangkuk di Cina,


nyaho di karma Cina, di tingkah Cina, di polah Cina, di karampesan
Cina; katemu na carek tilu: kanista, madya, utama."* (Ini
mengumpamakan seseorang merantau ke Cina, lama tinggal di Cina,
paham perilaku orang Cina, tingkah Cina, ulah Cina, keberesan Cina,
dapat memahami bahasa ketiga golongannya, yang rendah, yang
menengah, yang tinggi).

Urang Sunda, salah satu karakteristiknya yang terkenal adalah lembut,


tidak ngotot dan tidak keras. Karena karakternya yang lembut banyak orang
berasumsi bahwa orang sunda kurang fight, kurang berambisi dalam
menggapai jabatan. Mereka mempunyai sifat ‘mengalah’ daripada harus
bersaing dalam memperebutkan suatu jabatan. Tidak heran kalau dalam sejarah
Indonesia, kurang sekali tokoh-tokoh Sunda yang menjadi pemimpin di tingkat
Nasional dibandingkan dengan Orang Jawa.

3
Contohnya, tidak ada satupun presiden Indonesia yang berasal dari suku
Sunda, bahkan dari sembilan orang wakil presiden yang pernah menjabat sejak
zaman Presiden pertama Soekarno sampai sekarang Presiden Yudhoyono,
hanya seorang yang berasal dari suku Sunda yaitu Umar Wirahadikusuma yang
pernah menjabat sebagai wakil presiden di zaman Presiden Soeharto.
Dari karakternya yang suka mengalah, terkadang malah terjadi integrasi
karenanya. Karena mereka sadar, pergolakan yang terjadi diantara kelompok
meyotritas dan minoritas hanya akan menjadi penghalang bagi mereka untuk
mengembangkan diri di tanah perantauan bagi perantau dan di tanah kelahiran
bagi pribumi.
Keberadaan kelompok etnis Sunda di lingkungan Etnis Jawa
menyebabkan pembauran budaya dimana dua kelompok meleburkan
kebudayaan mereka, sehingga melahirkan suatu kebudayaan yang baru. Itulah
yang dinamakan Asimilasi. Dalam proses ini biasanya terjadi pertukaran unsur-
unsur budaya, namun pada umumnya hal semacam itu hanya terjadi apabila
jika suatu kelompok menyerap kebudayaan lainnya. Dalam studi kasus,
fenomena yang paling sering ditemukan adalah proses amalgamasi, yaitu
proses pembauran biologis dua kelompok manusia yang masing-masing
memiliki ciri-ciri fisik yang berbeda sehingga keduanya menjadi satu rumpun.
Secara langsung ataupun tidak langsung, ada kecocokan antara budaya Jawa
dan Sunda sehingga banyak terjadi amalgamasi diantara mereka.
Kelompok Minoritas Sunda dalam lingkungan mayoritas Jawa menjadi
fenomena yang tepat untuk dipelajari. Karena didalamnya terdapat banyak
pelajaran yang bisa diambil. Dari sisi sosiologi, terjadi pergolakan fenomena
sosial, seperti, disintegrasi dan integrasi. Itulah Indonesia, seperti dikutip orasi
kebudayaan di universitas Diponegoro tanggal 30 Oktober 2008. “Indonesia is
Culturaldiversity. And we live harmony in diversity.”
***

4
Daftar rujukan:
Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt, Sociology (London: McGraw-Hill, 1964).
Thio, Alex, Sociology: An Introduction (New York: Harper & Row Publishers,
1989).
Mulyana, Dedi, Komunikasi, Suatu Pengantar. (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2007).

internet
http://prasetijo.wordpress.com/
http://cianjurnews.com/portal
http://dz1792.multiply.com/
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0805/04/0801.htm

You might also like