You are on page 1of 2

MANAJEMEN DAGING KURBAN

Oleh: H. Supardi

Idul Adha baru saja kita lewati. Para jamaah Haji sudah selesai menjalankan
syariah ke Hajiannya dan beberapa kloter sudah bersiap-siap untuk
berangkat pulang ke Indonesia (tanah air). Kita semua insya Allah menunggu
dan ikut merasakan kebahagiaan atas sukses para jamaah mendapat
kelulusan sebagai Haji dan sekaligus mengiringi dan menyampaikan doa
semoga sampai ditanah air dan kampung halaman tercipta dan menjadi Haji
dan Hajjah yang magbrur dan magbrurah. Amin.
Sebagai catatan penting pasca Masa Hari Raya Idul Adha bagi saya
adalah tentang manajemen daging kurban. Kita semua bisa melihat,
mendengar dan merasakan bagaimana pelaksanaan penyembelihan dan
pembagian (baca:distribusi) daging kurban. Manajemen daging kurban dari
tahun ke tahun dilihat tidak semakin baik, akan tetapi semakin tidak teratur,
semrawut, menimbulkan korban karena saling desakan, tubrukan dan
menggunakan kekuatan fisik untuk mendapatkan “jatah” daging kurban.
Apa yang salah?
Secara kuantitatif jumlah hewan kurban dari tahun ke tahun juga
sangat meningkat. Sebagai contoh di Dusun saya yang kecil, empat tahun
yang lalu hanya bisa mengumpulkan 10 kambing untuk kurban, tiga tahun
yang lalu menjadi satu sapi dan 2 kambing, dua tahun yang lalu satu sapi
dan 12 kambing kurban. Alhamdullillah tahun ini bisa mengumpulkan dua
sapi dan 7 kambing. Ini menunjukkan perkembangan jumlah yang signifikan
dan tanpa membandingkan dengan keadaan perekonomian yang
berkembang 4 tahun terakhir. Secara agregat dipastikan secara daerah,
wilayah dan nasional juga ada perkembangan jumlah hewan kurban yang
signifikan.
Dari berbagai pengalaman, rasanya manajemen distribusi daging
kurban dari tahun ke tahun juga selalu diberbaiki dan ditingkatkan. Lalu
pertanyaannya, kenapa distribusi daging kurban semakin terlihat tidak
teratur, berebutan, berdesakan dan yang jelas yang kuat tidak melindungi
yang lemah, justru terlihat yang kuat kepengin menyingkirkan yang lemah.
Sistem kartu telah diberlakukan, namun banyak masyarakat yang tidak
memiliki kartupun juga datang dan ingin mendapatkan pembagian “jatah”
daging kurban.
Terdapat beberapa hal yang harus mendapat kajian bagi kita semua.
(1) Secara kehidupan moralitas kita, semua paham kita diajarkan untuk
bersabar, kita diajarkan untuk menerima yang menjadi hak kita, kita
dipahamkan agar mendahulukan yang lemah dan sekaligus yang kuat
melindungi yang lemah, dan sebagainya dan sebagainya. Ajaran baik ini
rasanya sudah banyak ditinggalkan masyarakat kita. Mereka yang ikut antri
adalah yang membawa kartu dan tidak membawa kartu, mereka yang
datang ke tempat pembagian daging yang terbuka adalah baik yang belum
mendapat daging dari manapun, tetapi juga datang bagi mereka yang sudah
mendapatkan daging kurban dari tempat lainnya. Sudah begitu
emosionalkah masyarakat kita, sudah begitu serakahkah umat kita. Hal
inilah yang barang kali yang menimbulkan pembagian yang tidak teratur,
saling berdesakan, saling adu kekuatan sehingga timbulah berbagai kurban
manusia (terinjak, terjepit dan sebagainya).
(2) Bisa jadi jumlah masyarakat dan umat yang miskin semakin besar
dan menganga. Pertambahan jumlah hewan kurban tidak bisa menutup
pertambahan jumlah masyarakat yang miskin. Bila ini terjadipun rasanya
tidak perlu saling berebutan dan berdesakan sampai gmenimbulkan korban
manusia. Rasanya semua warga sudah mendapat “jatah” pembagian daging
kurban di lingkungannya masih-masing dengan jumlah yang memadai. (3)
Pembagian secara masal rasanya selalu menimbulkan masalah tersendiri.
Pengendaliannya menjadi lebih sulit. Diatur secara antrian tidak memiliki
sarana dan prasarana yang memadai. Menggunakan pagar manusia
termasuk menggunakan jasa satpol maupun kepolisian pun, kurang mampu
membendung lajunya masyarakat yang ingin berebut duluan. Fenomena ini
menjadi menyulitkan manajemen distribusi daging secara langsung dan
terbuka.
Dari berbagai masalah tersebut rasanya setiap panitia selalu
melakukan evaluasi atas manajemen distribusi daging kurban untuk setahun
yang akan datang. Apa perlu kita hidari pembagian daging kurban secara
massal. Kita serahkan dan bagikan kepada satuan-satuan yang lebih kecil
yaitu melalui takmir-takmir masjid di kampung, dusun, RT/RW, desa dan
sebagainya. Data di RT/RW maupun di takmir masjid dipastikan dapat
mendukung warga atau umat yang berhak mendapatkan “jatah” daging
kurban.
Sementara itu bagi warga masyarakat yang tidak memiliki satuan
tempat kerja (gelandangan, penghuni daerah bantaran kali dan sebagainya)
panitia bisa juga mengkaji untuk mengajak relawan dalam melaksanakan
distribusi daging kurban. Mereka dilakukan pencacatan atau pencacahan
oleh relawan beberapa waktu sebelum Hari Qurban. Bila perlu diberi
pemberitahuan agar pada hari “H” distribusi daging kurban agar berada
ditempatnya masing-masing.
DIpastikan kita semua bermimpi dan berharap di tahun-tahun yang
akan datang tidak kita temui lagi distribusi daging kurban di masa Idul Adha
dalam kesemrawutan dan berebutan yang terlihat tidak manusiawi lagi.
Semoga.

Penulis adalah
Dosen dan Direktur PusBEK Fak. Ekonomi UII

You might also like