Professional Documents
Culture Documents
1)
Kelahiran organisasi Boedhi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 sesungguhnya amat
tidak patut dan tidak pantas diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, karena
organisasi ini mendukung penjajahan Belanda, sama sekali tidak pernah mencita-
citakan Indonesia merdeka, a-nasionalis, anti agama, dan bahkan sejumlah tokohnya
merupakan anggota Freemasonry Belanda (Vritmejselareen).
Anehnya, hal ini sama sekali tidak dikritisi oleh tokoh-tokoh Islam kita. Bahkan secara
menyedihkan ada sejumlah tokoh Islam dan para Ustadz selebritis yang ikut-ikutan
merayakan peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei di berbagai event. Mereka ini
sebenarnya telah melakukan sesuatu tanpa memahami esensi di balik hal yang
dilakukannya. Rasulullah SAW telah mewajibkan umatnya untuk bersikap: “Ilmu qabla
amal” (Ilmu sebelum mengamalkan), yang berarti umat Islam wajib mengetahui
duduk-perkara sesuatu hal secara benar sebelum mengerjakannya.
Bahkan Sayyid Quthb di dalam karyanya “Tafsir Baru Atas Realitas” (1996) menyatakan
orang-orang yang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan yang cukup adalah sama
dengan orang-orang jahiliyah, walau orang itu mungkin seorang ustadz bahkan
profesor. Jangan sampai kita “Fa Innahu Minhum” (kita menjadi golongan mereka)
terhadap kejahiliyahan.
Agar kita tidak terperosok berkali-kali ke dalam lubang yang sama, sesuatu yang
bahkan tidak pernah dilakukan seekor keledai sekali pun, ada baiknya kita memahami
siapa sebenarnya Boedhi Oetomo itu.
Akhir Februari 2003, sebuah amplop besar pagi-pagi telah tergeletak di atas meja
kerja penulis. Pengirimnya KH. Firdaus AN, mantan Ketua Majelis Syuro Syarikat Islam
kelahiran Maninjau tahun 1924. Di dalam amplop coklat itu, tersembul sebuah buku
berjudul “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo: Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa”
karya si pengirim. Di halaman pertama, KH. Firdaus AN menulis: “Hadiah kenang-
kenangan untuk Ananda Rizki Ridyasmara dari Penulis, Semoga Bermanfaat!” Di bawah
tanda tangan beliau tercantum tanggal 20. 2. 2003.
“BO tidak memiliki andil sedikit pun untuk perjuangan kemerdekan, karena mereka
para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang
dilakukan tuannya atas Indonesia. Dan BO tidak pula turut serta mengantarkan bangsa
ini ke pintu gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935. BO adalah
organisasi sempit, lokal dan etnis, di mana hanya orang Jawa dan Madura elit yang
boleh menjadi anggotanya. Orang Betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya, ” tegas
KH. Firdaus AN.
BO didirikan di Jakarta tanggal 20 Mei 1908 atas prakarsa para mahasiswa kedokteran
STOVIA, Soetomo dan kawan-kawan. Perkumpulan ini dipimpin oleh para ambtenaar,
yakni para pegawai negeri yang setia terhadap pemerintah kolonial Belanda. BO
pertama kali diketuai oleh Raden T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar kepercayaan
Belanda, yang memimpin hingga tahun 1911. Kemudian dia diganti oleh Pangeran Aryo
Notodirodjo dari Keraton Paku Alam Yogyakarta yang digaji oleh Belanda dan sangat
setia dan patuh pada induk semangnya.
Noto Soeroto, salah seorang tokoh BO, di dalam satu pidatonya tentang Gedachten van
Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereniging berkata: “Agama Islam merupakan
batu karang yang sangat berbahaya... Sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar
perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan. ”
Sebuah artikel di “Suara Umum”, sebuah media massa milik BO di bawah asuhan Dr.
Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah “Al-Lisan”
terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”,
“Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (M. S) Al-Lisan nomor
24, 1938.
Karena sifatnya yang tunduk pada pemerintahan kolonial Belanda, maka tidak ada satu
pun anggota BO yang ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda. Arah perjuangan BO
yang sama sekali tidak berasas kebangsaan, melainkan chauvinisme sempit sebatas
memperjuangkan Jawa dan Madura saja telah mengecewakan dua tokoh besar BO
sendiri, yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, sehingga keduanya hengkang
dari BO.
Bukan itu saja, di belakang BO pun terdapat fakta yang mencengangkan. Ketua
pertama BO yakni Raden Adipati Tirtokusumo, Bupati Karanganyar, ternyata adalah
seorang anggota Freemasonry. Dia aktif di Loge Mataram sejak tahun 1895.
Dalam tulisan bagian pertama, telah dipaparkan betapa organisasi Boedhi Oetomo (BO)
sama sekali tidak pantas dijadikan tonggak kebangkitan nasional. Karena BO tidak
pernah membahas kebangsaan dan nasionalisme, mendukung penjajahan Belanda atas
Indonesia, anti agama, dan bahkan sejumlah tokohnya ternyata anggota Freemasonry.
Ini semua mengecewakan dua pendiri BO sendiri yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto
Mangunkusumo, sehingga keduanya akhirnya hengkang dari BO.
Berbeda dengan BO yang hanya memperjuangkan nasib orang Jawa dan Madura—juga
hanya menerima keanggotaan orang Jawa dan Madura, sehingga para pengurusnya pun
hanya terdiri dari orang-orang Jawa dan Madura—sifat SI lebih nasionalis. Keanggotaan
SI terbuka bagi semua rakyat Indonesia yang mayoritas Islam. Sebab itu, susunan para
pengurusnya pun terdiri dari berbagai macam suku seperti: Haji Samanhudi dan HOS.
Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari
Sumatera Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku.
Tujuan:
- SI bertujuan Islam Raya dan Indonesia Raya,
- BO bertujuan menggalang kerjasama guna memajukan Jawa-Madura (Anggaran Dasar
BO Pasal 2).
Sifat:
- SI bersifat nasional untuk seluruh bangsa Indonesia,
- BO besifat kesukuan yang sempit, terbatas hanya Jawa-Madura,
Bahasa:
- SI berbahasa Indonesia, anggaran dasarnya ditulis dalam bahasa Indonesia,
- BO berbahasa Belanda, anggaran dasarnya ditulis dalam bahasa Belanda
Perjuangan Kemerdekaan:
- SI memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mengantar bangsa ini melewati pintu
gerbang kemerdekaan,
- BO tidak pernah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan telah membubarkan
diri tahun 1935, sebab itu tidak mengantarkan bangsa ini melewati pintu gerbang
kemerdekaan,
Korban Perjuangan:
- Anggota SI berdesak-desakan masuk penjara, ditembak mati oleh Belanda, dan
banyak anggotanya yang dibuang ke Digul, Irian Barat,
- Anggota BO tidak ada satu pun yang masuk penjara, apalagi ditembak dan dibuang ke
Digul,
Kerakyatan:
- SI bersifat kerakyatan dan kebangsaan,
- BO bersifat feodal dan keningratan,
Melawan Arus:
- SI berjuang melawan arus penjajahan,
- BO menurutkan kemauan arus penjajahan,
Kelahiran:
- SI (SDI) lahir 3 tahun sebelum BO yakni 16 Oktober 1905,
- BO baru lahir pada 20 Mei 1908,
Seharusnya 16 Oktober
Hari Kebangkitan Nasional yang sejak tahun 1948 kadung diperingati setiap tanggal 20
Mei sepanjang tahun, seharusnya dihapus dan digantikan dengan tanggal 16 Oktober,
hari berdirinya Syarikat Islam. Hari Kebangkitan Nasional Indonesia seharusnya
diperingati tiap tanggal 16 Oktober, bukan 20 Mei. Tidak ada alasan apa pun yang
masuk akal dan logis untuk menolak hal ini.
Jika kesalahan tersebut masih saja dilakukan, bahkan dilestarikan, maka saya khawatir
bahwa jangan-jangan kesalahan tersebut disengaja. Saya juga khawatir, jangan-jangan
kesengajaan tersebut dilakukan oleh para pejabat bangsa ini yang sesungguhnya anti
Islam dan a-historis.
Jika keledai saja tidak terperosok ke lubang yang sama hingga dua kali, maka sebagai
bangsa yang besar, bangsa Indonesia seharusnya mulai hari ini juga menghapus tanggal
20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, dan melingkari besar-besar tanggal 16
Oktober dengan spidol merah dengan catatan “Hari Kebangkitan Nasional”.
(Tamat/Rizki Ridyasmara)