You are on page 1of 32

I.

Akuntabilitas Dalam Pelayanan Publik

Sejak awal 1990-an, Good Governance telah menjadi kredo baru dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Kendati demikian, masih terdapat beberapa perbedaan
penekanan, walaupun terdapat persamaan fokus dan ide utamanya. UNDP, misalnya,
memberikan penekanan khusus pada pembangunan manusia yang berkelanjutan, pengentasan
kemiskinan, dan transformasi administrasi publik (UN Report, 1998). Sementara itu, Bank
Dunia lebih memberikan perhatian pada pendayagunaan sumber daya sosial dan ekonomi bagi
pembangunan. Sedangkan Organisation for Economic Cooperation dan Development
(OECD) menekankan pada penghargaan hak-hak asasi manusia, demokrasi dan legitimasi
pemerintah.

Secara konseptual, Good Governance oleh UNDP dipahami sebagai implementasi


otoritas politik, ekonomi, dan administratif dalam proses manajemen berbagai urusan publik
pada berbagai level dalam suatu negara. Merujuk pada konsepsi tersebut, Good Governance
memiliki beberapa atribut kunci seperti efektif, partisipatif, transparan, akuntabel, produktif,
dan sejajar serta mampu mempromosikan penegakan hukum. Di atas semua itu, atribut utama
Good Governance adalah bagaimana penggunaan kekuasaan dan otoritas dalam penyelesaian
berbagai persoalan publik. Dalam konteks itu, mekanisme kontrol (check and balance) perlu
ditegakkan sehingga tidak ada satu komponen pun yang memegang kekuasaan absolut. Salah
satu mekanisme yang digunakan adalah dengan menegakkan akuntabilitas sistem, struktur,
organisasi dan staf atas apa yang menjadi tanggung jawab, fungsi, tugasnya yang antara lain
terlihat dari perilaku atau budaya kerjanya.

Di kebanyakan negara berkembang, perhatian utama terhadap Good Governance


dalam kaitan dengan penggunaan otoritas dan manajemen sektor publik, adalah pervasifnya
korupsi yang cenderung menjadi karakter tipikal yang melekat. Bahkan di beberapa negara
terbukti bahwa budaya korupsi telah begitu melekat di dalam birokrasi pemerintah yang justru
ditandai oleh kelangkaan sumber daya. Dalam konteks itu, absennya akuntabilitas sangat
menonjol dan menjadi satu karakter dominan budaya administrasi selama periode tertentu.
Tiga Dimensi Akuntabilitas

Akuntabilitas Politik, biasanya dihubungkan dengan proses dan mandat pemilu, yaitu
mandat yang diberikan masyarakat kepada para politisi yang menduduki posisi legislatif dan
eksekutif dalam suatu pemerintahan. Masa jabatan kedua kekuasaan tersebut bersifat temporer
karena mandat pemilut sangat tergantung pada hasil pemilu yang dilakukan pada interval
waktu tertentu. Untuk negara-negara di mana mandat pemilu mendapat legitimasi penuh
(pemilu bersifat bebas dan hasilnya diterima oleh semua pihak), masyarakat menggunakan
hak suaranya untuk mempertahankan para politisi yang mampu menunjukkan kinerja yang
baik serta menjatuhkan pemerintahan yang berunjuk prestasi buruk. Mandat elektoral yang
kuat memberikan legitimasi kepada pemerintah dan membantu menjamin kredibilitasnya, di
samping stabilitas dan prediktibilitas kebijakan yang diformulasikannya.

Akuntabilitas Finansial, fokus utamanya adalah pelaporan yang akurat dan tepat waktu
tentang penggunaan dana publik, yang biasanya dilakukan melalui laporan yang telah diaudit
secara profesional. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa dana publik telah
digunakan untuk tujuan-tujuan yang telah ditetapkan secara efisien dan efektif. Masalah
pokoknya adalah ketepatan waktu dalam menyiapkan laporan, proses audit, serta kualitas
audit. Perhatian khusus diberikan pada kinerja dan nilai uang serta penegakan sanksi untuk
mengantisipasi dan mengatasi penyalahgunaan, mismanajemen, atau korupsi. Jika terdapat
bantuan finansial eksternal, misalnya dari pinjaman lembaga keuangan multilateral atau
melalui bantuan pembangunan oleh lembaga donor, maka standar akuntansi dan audit dari
berbagai lembaga yang berwenang harus diperhatikan. Hal inilah yang kiranya dapat
menjelaskan besarnya perhatian pada standar akuntansi dan audit internasional dalam
menegakkan akuntabilitas finansial. Hasil dari akuntabilitas finansial yang baik akan
digunakan untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan mobilisasi dan alokasi sumber
daya serta mengevaluasi tingkat efisiensi penggunan dana. Hasil tersebut juga dapat
digunakan oleh masyarakat umum dan stakeholders (seperti donor) untuk menilai kinerja
pemerintah berdasarkan sasaran tertentu yang telah disepakati sebelumnya.

Akuntabilitas administratif, merujuk pada kewajiban untuk menjalankan tugas yang


telah diberikan dan diterima dalam kerangka kerja otoritas dan sumber daya yang tersedia.
Dalam konsepsi yang demikian, akuntabilitas administratif umumnya berkaitan dengan
pelayan publik, khususnya para direktur, kepala departemen, dinas, atau instansi, serta para
manajer perusahaan milik negara. Mereka adalah pejabat publik yang tidak dipilih melalui
pemilu tetapi ditunjuk berdasarkan kompetensi teknis. Kepada mereka dipercayakan sejumlah
sumber daya yang diharapkan dapat digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa tertentu.

Secara umum, spektrum yang begitu luas telah menyebabkan digunakannya konsep
akuntabilitas secara fleksibel. Yang paling mudah adalah mengidentikkan akuntabilitas
pelayan publik dengan bentuk pertanggung jawaban mereka kepada atasannya, baik secara
politik maupun administratif.

Di tempat lain, Polidano (1998) menawarkan kategorisasi baru yang disebutnya


sebagai akuntabilitas langsung dan akuntabilitas tidak langsung. Akuntabilitas tidak langsung
merujuk pada pertanggung jawaban kepada pihak eksternal seperti masyarakat, konsumen,
atau kelompok klien tertentu, sedangkan akuntabilitas langsung berkaitan dengan pertanggung
jawaban vertikal melalui rantai komando tertentu.

Polidano lebih lanjut mengidentifikasi 3 elemen utama akuntabilitas, yaitu:

 Adanya kekuasaan untuk mendapatkan persetujuan awal sebelum sebuah keputusan


dibuat. Hal ini berkaitan dengan otoritas untuk mengatur perilaku para birokrat dengan
menundukkan mereka di bawah persyaratan prosedural tertentu serta mengharuskan
adanya otorisasi sebelum langkah tertentu diambil. Tipikal akuntabilitas seperti ini
secara tradisional dihubungkan dengan badan/lembaga pemerintah pusat (walaupun
setiap departemen/lembaga dapat saja menyusun aturan atau standarnya masing-
masing).

 Akuntabilitas peran, yang merujuk pada kemampuan seorang pejabat untuk


menjalankan peran kuncinya, yaitu berbagai tugas yang harus dijalankan sebagai
kewajiban utama. Ini merupakan tipe akuntabilitas yang langsung berkaitan dengan
hasil sebagaimana diperjuangkan paradigma manajemen publik baru (new public
management). Hal ini mungkin saja tergantung pada target kinerja formal yang
berkaitan dengan gerakan manajemen publik baru.

 Peninjauan ulang secara retrospektif yang mengacu pada analisis operasi suatu
departemen setelah berlangsungnya suatu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga
eksternal seperti kantor audit, komite parlemen, ombudsmen, atau lembaga peradilan.
Bisa juga termasuk badan-badan di luar negara seperti media massa dan kelompok
penekan. Aspek subyektivitas dan ketidakterprediksikan dalam proses peninjauan
ulang itu seringkali bervariasi, tergantung pada kondisi dan aktor yang
menjalankannya.

Beberapa Metode Untuk Menegakkkan Akuntabilitas

Kontrol Legislatif: Di banyak negara, legislatif melakukan pengawasan terhadap


jalannya pemerintahan melalui diskusi dan sejumlah komisi di dalamnya. Jika komisi-komisi
legislatif dapat berfungsi secara efektif, maka mereka dapat meningkatkan kualitas pembuatan
keputusan (meningkatkan responsivitasnya terhadap kebutuhan dan tuntutan masyarakat),
mengawasi penyalahgunaan kekuasaan pemerintah melalui investigasi, dan menegakkan
kinerja.

Akuntabilitas Legal: Ini merupakan karakter dominan dari suatu negara hukum.
Pemerintah dituntut untuk menghormati aturan hukum, yang didasarkan pada badan peradilan
yang independen. Aturan hukum yang dibuat berdasarkan landasan ini biasanya memiliki
sistem peradilan, dan semua pejabat publik dapat dituntut pertanggung jawabannya di depan
pengadilan atas semua tindakannya. Peran lembaga peradilan dalam menegakkan
akuntabilitas berbeda secara signifikan antara negara, antara negara yang memiliki sistem
peradilan administratif khusus seperti perancis, hingga negara yang yang memiliki tatanan
hukum di mana semua persoalan hukum diselesaikan oleh badan peradilan yang sama,
termasuk yang berkaitan dengan pernyataan tidak puas masyarakat terhadap pejabat publik.
Dua faktor utama yang menyebabkan efektivitas akuntabilitas legal adalah kualitas institusi
hukum dan tingkat akses masyarakat atas lembaga peradilan, khususnya yang berhubungan
dengan biaya pengaduan. Institusi hukum yang lemah dan biaya yang mahal (tanpa suatu
sistem pelayanan hukum yang gratis) akan menghambat efektivitas akuntabilitas legal.

Ombudsman: Dewan ombudsmen, baik yang dibentuk di dalam suatu konstitusi


maupun legislasi, berfungsi sebagai pembela hak-hak masyarakat. Ombudsmen
mengakomodasi keluhan masyarakat, melakukan investigasi, dan menyusun rekomendasi
tentang bagaimana keluhan tersebut diatasi tanpa membebani masyarakat. Sejak
diperkenalkan pertama kali di Swedia pada abad 19, Ombudsmen telah menyebar ke berbagai
negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Secara umum, masyarakat dapat
mengajukan keluhannya secara langsung kepada lembaga ini, baik melalui surat maupun
telepon. Di beberapa negara, misalnya Inggris, Ombudsmen dilihat sebagai perluasan kontrol
parlemen terhadap eksekutif dan keluhan masyarakat disalurkan melalui anggota parlemen.
Pada hampir semua kasus, Ombudsmen melakukan tugas investigatifnya tanpa memungut
biaya dari masyarakat.

Desentralisasi dan Partisipasi: Akuntabilitas dalam pelayanan publik juga dapat


ditegakkan melalui struktur pemerintah yang terdesentralisasi dan partisipasi. Terdapat
beberapa situasi khusus di mana berbagai tugas pemerintah didelegasikan ke tingkat lokal
yang dijalankan oleh para birokrat lokal yang bertanggung jawab langsung kepada masyarakat
lokal. Legitimasi elektoral juga menjadi faktor penting seperti dalam kasus pemerintah pusat.
Tetapi cakupan akuntabilitas di dalam sebuah sistem yang terdesentralisasi lebih merupakan
fungsi otonomi di tingkat lokal. Itupun sangat bervariasi secara signifikan sesuai derajat
otonomi yang diperoleh, dari otonomi yang sangat luas seperti di AS hingga otonomi terbatas
yang umum dijumpai di negara-negara berkembang. Ketergantungan yang tinggi terhadap
NGOs dan berbagai organisasi dan koperasi berbasis masyarakat dalam penyediaan pelayanan
publik menjadi salah satu perkembangan yang menjanjikan bagi terwujudnya manajemen
publik yang terdesentralisasi dan bertanggung jawab.

Kontrol Administratif Internal: Pejabat publik yang diangkat sering memainkan


peran dominan dalam menjalankan tugas pemerintahan karena relatif permanennya masa
jabatan serta keterampilan teknis. Biasanya, kepala-kepala unit pemerintahan setingkat
menteri diharapkan dapat mempertahankan kontrol hirarkis terhadap para pejabatnya dengan
dukungan aturan dan regulasi administratif dan finansial dan sistem inspeksi. Untuk negara-
negara dengan struktur administratif yang lemah, terutama di negara-negara berkembang dan
beberapa negara komunis, metode kontrol tersebut memiliki dampak yang terbatas. Masalah
ini disebabkan karena hubungan yang kurang jelas antara kepemimpinan politik yang bersifat
temporer dan pejabat publik yang diangkat secara permanen. Jika mereka melakukan
persekongkolan, akuntabilitas tidak bisa diwujudkan (hal ini juga terjadi sejak lama di negara-
negara maju) dan jika mereka terlibat dalam konflik, maka yang menjadi korban adalah
kepentingan publik.

Media massa dan Opini Publik: Hampir di semua konteks, efektivitas berbagai
metode dalam menegakkan akuntabilitas sebagaimana diuraikan di atas sangat tergantung
tingkat dukungan media massa serta opini publik. Tantangannya, misalnya, adalah bagaimana
dan sejauhmana masyarakat mampu mendayagunakan media massa untuk memberitakan
penyalahgunaan kekuasaan dan menghukum para pelakunya. Terdapat 3 faktor yang
menentukan dampak aktual dari media massa dan opini publik. Pertama, kebebasan
berekspresi dan berserikat harus diterima dan dihormati. Di banyak negara, kebebasan
tersebut dilindungi dalam konstitusi. Derajat penerimaan dan rasa hormat umumnya dapat
diukur dari peran media massa (termasuk perhatian terhadap pola kepemilikan) dan
pentingnya peran kelompok kepentingan, asosiasi dagang, organisasi wanita, lembaga
konsumen, koperasi, dan asosiasi profesional. Kedua, pelaksanaan berbagai tugas pemerintah
harus transparan. Kuncinya adalah adanya akses masyarakat terhadap informasi. Hal ini harus
dijamin melalui konstitusi (misalnya, UU Kebebasan Informasi) dengan hanya
mempertimbangkan pertimbangan keamanan nasional (dalam pengertian sempit) dan privasi
setiap individu. Informasi yang dihasilkan pemerintah yang seharusnya dapat diakses secara
luas antara lain meliputi anggaran, akuntansi publik, dan laporan audit. Tanpa akses terhadap
beragai informasi tersebut, masyarakat tidak akan sepenuhnya menyadari apa yang dilakukan
dan tidak dilakukan pemerintah dan efektivitas media massa akan sedikit dibatasi. Ketiga,
adanya pendidikan sipil yang diberikan kepada warga negara, pemahaman mereka akan hak
dan kewajibannya, di samping kesiapan untuk menjalankannya.

II. Konsep tentang Akuntabilitas dan Implementasinya di Indonesia

Konsep tentang Akuntabilitas

Akuntabilitas secara harfiah dalam bahasa inggris biasa disebut dengan accoutability yang
diartikan sebagai “yang dapat dipertanggungjawabkan”. Atau dalam kata sifat disebut sebagai
accountable. Lalu apa bedanya dengan responsibility yang juga diartikan sebagai “tanggung
jawab”. Pengertian accountability dan responsibility seringkali diartikan sama. Padahal
maknanya jelas sangat berbeda. Beberapa ahli menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan
birokrasi, responsibility merupakan otoritas yang diberikan atasan untuk melaksanakan suatu
kebijakan. Sedangkan accountability merupakan kewajiban untuk menjelaskan bagaimana
realisasi otoritas yang diperolehnya tersebut.

Berkaitan dengan istilah akuntabilitas, Sirajudin H Saleh dan Aslam Iqbal berpendapat bahwa
akuntabilitas merupakan sisi-sisi sikap dan watak kehidupan manusia yang meliputi
akuntabilitas internal dan eksternal seseorang. Dari sisi internal seseorang akuntabilitas
merupakan pertanggungjawaban orang tersebut kepada Tuhan-nya. Sedangkan akuntabilitas
eksternal seseorang adalah akuntabilitas orang tersebut kepada lingkungannya baik
lingkungan formal (atasan-bawahan) maupun lingkungan masyarakat.

Deklarasi Tokyo mengenai petunjuk akuntabilitas publik menetapkan pengertian akuntabilitas


yakni kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk
mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat
menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawaban fiskal, manajerial, dan program.
Ini berarti bahwa akuntabilitas berkaitan dengan pelaksanaan evaluasi (penilaian) mengenai
standard pelaksanaan kegiatan, apakah standar yang dibuat sudah tepat dengan situasi dan
kondisi yang dihadapi, dan apabila dirasa sudah tepat, manajemen memiliki tanggung jawab
untuk mengimlementasikan standard-standard tersebut.

Akuntabilitas juga merupakan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam pencapaian
hasil pada pelayanan publik. Dalam hubungan ini, diperlukan evaluasi kinerja yang dilakukan
untuk mengetahui sejauh mana pencapaian hasil serta cara-cara yang digunakan untuk
mencapai semua itu. Pengendalian (control) sebagai bagian penting dalam manajemen yang
baik adalah hal yang saling menunjang dengan akuntabilitas. Dengan kata lain pengendalian
tidak dapat berjalan efisien dan efektif bila tidak ditunjang dengan mekanisme akuntabilitas
yang baik demikian juga sebaliknya.

Media akuntabilitas yang memadai dapat berbentuk laporan yang dapat mengekspresikan
pencapaian tujuan melalui pengelolaan sumber daya suatu organisasi, karena pencapaian
tujuan merupakan salah satu ukuran kinerja individu maupun unit organisasi. Tujuan tersebut
dapat dilihat dalam rencana stratejik organisasi, rencana kinerja, dan program kerja tahunan,
dengan tetap berpegangan pada Rencana Jangka Panjang dan Menengah (RJPM) dan Rencana
Kerja Pemerintah (RKP). Media akuntabilitas lain yang cukup efektif dapat berupa laporan
tahunan tentang pencapaian tugas pokok dan fungsi dan target-target serta aspek
penunjangnya seperti aspek keuangan, aspek sarana dan prasarana, aspek sumber daya
manusia dan lain-lain.

Impelementasi Akuntabilitas di Indonesia

Konsep akuntabilitas di Indonesia memang bukan merupakan hal yang baru. Hampir seluruh
instansi dan lembaga-lembaga pemerintah menekankan konsep akuntabilitas ini khususnya
dalam menjalankan fungsi administratif kepemerintahan. Fenomena ini merupakan imbas dari
tuntutan masyarakat yang mulai digemborkan kembali pada awal era reformasi di tahun 1998.
Tuntutan masyarakat ini muncul karena pada masa orde baru konsep akuntabilitas tidak
mampu diterapkan secara konsisten di setiap lini kepemerintahan yang pada akhirnya menjadi
salah satu penyebab lemahnya birokrasi dan menjadi pemicu munculnya berbagai
penyimpangan-penyimpangan dalam pengelolaan keuangan dan administrasi negara di
Indonesia.
Era reformasi telah memberi harapan baru dalam implementasi akuntabilitas di Indonesia.
Apalagi kondisi tersebut didukung oleh banyaknya tuntutan negara-negara pemberi donor dan
hibah yang menekan pemerintah Indonesia untuk membenahi sistem birokrasi agar
terwujudnya good governance.

UNDP menegaskan bahwa prinsip-prinsip good governance antara lain terdiri dari partisipasi,
ketaatan hukum, transparansi, responsif, berorientasi kesepakatan, kesetaraan, efektif dan
efisien, akuntabilitas dan visi stratejik. Tergambarkan jelas bahwa akuntabilitas merupakan
salah satu aspek penting dalam good governance.

Beberapa negara maju di Eropa seperti jerman dan Inggris telah menerapkan konsep
akuntabilitas hampir di setiap aspek kepemerintahan sejak tahun 1970-an. Inggris di era John
Major dan Toni Blair memasyarakatkan akuntabilitas dengan menyusun Output and
Performance Analysis (OPA Guidance) atau pedoman tresuri kepada departemen/badan di
lingkungan kepemerintahan dan Guidence on Annual Report yang berisikan petunjuk dalam
menyusun laporan tahunan suatu badan kepada menteri, parlemen, dan masyarakat umum.
Disamping itu pemerintah Inggris menetapkan gagasan tentang Public Services for The
Future: Modernisation, Reform, Accountability yang intinya adalah setiap keputusan
hendaknya jangan hanya berorientasi pada berapa banyak pengeluaran dan atau penyerapan
dana untuk tiap area, tetapi juga mengenai peningkatan jasa yang diberikan dan perbaikan-
perbaikan.

Berbeda dengan Inggris, Jerman sebagai negara yang berbentuk federasi, menetapkan bahwa
keterlibatan pusat (central involvement) dalam kegiatan setiap menteri dibatasi pada masalah
kepegawaian, teknologi informasi dan hal-hal keuangan. Dari pola pemerintahan ini, maka
pemerintah sesuai dengan tingkatannya secara formal mempunyai akuntabilitas (public
accountability) kepada parlemen di tiap tingkatan pemerintahan (federal, negara bagian, dan
lokal). Demikian pula dengan menikmati tingkat independen operasional yang tinggi, maka
seorang menteri dapat secara leluasa melakukan kegiatannya, dan dengan demikian konsep
dan prinsip akuntabilitas dapat dilakukan secara komprehensif .

Di Indonesia, sosialisasi konsep akuntabilitas dalam bentuk Akuntabilitas Kinerja Instansi


Pemerintah (AKIP) telah dilakukan kepada 41 Departemen/LPND. Di tingkat unit kerja
Eselon I, dilakukan berdasarkan permintaan dari pihak unit kerja yang bersangkutan, oleh
karenannya capaian dan cakupannya masih tergolong rendah.

Dengan komitmen tiga pihak yakni Lembaga Administrasi Negara (LAN), Sekretariat
Negara, dan BPKP, maka pemerintah mulai memperlihatkan perhatiannya pada implementasi
akuntabilitas ini. Hal ini terlihat jelas dengan diterbitkannya Inpres No. 7 tahun 1999 tentang
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Inpres ini menginstruksikan setiap akhir tahun
seluruh instansi pemerintah (dari eselon II ke atas) wajib menerbitkan Laporan Akuntabilitas
Kinerja (LAK). Dengan LAK seluruh instansi pemerintah dapat menyampaikan
pertanggungjawabannya dalam bentuk yang kongkrit ke arah pencapaian visi dan misi
organisasi.

Perkembangan penyelenggaraan negara di Indonesia memperlihatkan upaya sungguh-sungguh


untuk menghasilkan suatu pemerintahan yang berorientasi pada pemenuhan amanah dari
seluruh masyarakat. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas KKN menguraikan mengenai azas akuntabilitas dalam
penyelenggaraan negara dan pengelolaan pemerintahan. Hal ini mengisyaratkan bahwa untuk
mewujudkan suatu pemerintahan yang responsif, bebas KKN serta berkinerja, kondisi
akuntabilitas merupakan sufficient condition atau kondisi yang harus ada .

Wujud lain dari implementasi akuntabilitas di Indonesia adalah dengan lahirnya Undang-
undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara khususnya di pasal 14 ayat (2)
yang menyatakan bahwa instansi pemerintah diwajibkan menyusun rencana kerja dan
anggaran yang didasarkan pada prestasi kerja yang akan di capainya. Dengan demikian
terdapat hubungan yang erat antara anggaran pemerintah (APBN dan APBD) dengan kinerja
yang akan dicapainya berdasarkan perencanaan stratejik tersebut.

Namun demikian, impelementasi konsep akuntabilitas di Indonesia bukan tanpa hambatan.


Beberapa hambatan yang menjadi kendala dalam penerapan konsep akuntabilitas di Indonesia
antara lain adalah; rendahnya standar kesejahteraan pegawai sehingga memicu pegawai untuk
melakukan penyimpangan guna mencukupi kebutuhannya dengan melanggar azas
akuntabilitas, faktor budaya seperti kebiasaan mendahulukan kepentingan keluarga dan
kerabat dibanding pelayanan kepada masyarakat, dan lemahnya sistem hukum yang
mengakibatkan kurangnya dukungan terhadap faktor punishment jika sewaktu-waktu terjadi
penyimpangan khususnya di bidang keuangan dan administrasi.

Semua hambatan tersebut pada dasarnya akan dapat terpecahkan jika pemerintah dan seluruh
komponennya memiliki pemahaman yang sama akan pentingnya implementasi akuntabilitas
disamping faktor moral hazard individu pelaksana untuk menjalankan kepemerintahan secara
amanah.

Kesimpulan
Kesimpulan dalam penulisan ini adalah;

a. Akuntabilitas dapat diartikan sebagai kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau


penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang
bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut
pertanggungjawabannya. Akuntabilitas terkait erat dengan instrumen untuk kegiatan kontrol
terutama dalam hal pencapaian hasil pada pelayanan publik dan menyampaikannya secara
transparan kepada masyarakat.

b. Implementasi akuntabilitas di Indonesia pada prinsipnya telah dilaksanakan secara bertahap


dalam lingkungan pemerintahan. Dukungan peraturan-peraturan yang berhubungan langsung
dengan keharusan pernerapan akuntabilitas di setiap instansi pemerintah menunjukan
keseriusan pemerintah dalam upaya melakukan reofrmasi birokrasi. Namun demikian, masih
terdapat beberapa hambatan dalam implementasi akuntabilitas seperti; masih rendahnya
kesejahteraan pegawai, faktor budaya, dan lemahnya penerapan hukum di Indonesia.

III. AKUNTABILITAS PUBLIK

Kerangka untuk analisis dan penilaian pengaturan akuntabilitas dalam domain publik

1
Konsep akuntabilitas publik 1
Accountability is one of those golden concepts that no one can be against. Akuntabilitas
adalah salah satu konsep emas yang tak seorang pun yang akan melawan. It is increasingly
used in political discourse and policy documents because it conveys an image of transparency
and trustworthiness. Hal ini semakin digunakan dalam wacana politik dan kebijakan dokumen
karena ia menyampaikan suatu citra transparansi dan kepercayaan. However, its evocative
powers make it also a very elusive concept because it can mean many different things to
different people, as anyone studying accountability will soon discover. Namun, kekuatan
menggugah yang membuatnya juga merupakan konsep yang sangat sulit dipahami karena
dapat berarti banyak hal yang berbeda bagi orang yang berbeda, seperti orang belajar akan
segera menemukan akuntabilitas. This paper nevertheless tries to develop an analytical
framework for the empirical study of accountability arrangements in the public domain.
Makalah ini tetap mencoba untuk mengembangkan kerangka analisis untuk studi empiris dari
pengaturan akuntabilitas dalam domain publik. It starts from a narrow, relational definition of
accountability and distinguishes a number of indicators that can be used to identify and
classify accountability arrangements. Dimulai dari definisi relasional akuntabilitas dan
membedakan nomor, sempit indikator yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan
mengklasifikasikan pengaturan akuntabilitas. Furthermore, it develops three perspectives to
assess and evaluate accountability arrangements in the public domain. Selain itu,
mengembangkan tiga perspektif untuk menilai dan mengevaluasi pengaturan akuntabilitas
dalam domain publik.

1. From accounting to accountability Dari akuntansi untuk akuntabilitas

The word 'accountability' is Anglo-Norman, not Anglo-Saxon, in origin. Kata 'akuntabilitas'


adalah Anglo-Norman, tidak Anglo-Saxon, berasal. Historically and semantically, it is closely
related to accounting, in its literal sense of bookkeeping. According to Dubnick (2002: 7-9),
the roots of the contemporary concept can be traced to the reign of William I, in the decades
after the 1066 Norman conquest of England. Secara historis dan semantis, karena terkait
dengan akuntansi, dalam arti harfiah pembukuan. Menurut Dubnick (2002: 7-9), akar konsep
kontemporer dapat dilacak dengan pemerintahan William I, pada dekade setelah 1066
Penaklukan Inggris oleh Normandia. In 1085 William required all the property holders in his
realm to render a count of what they possessed. These possessions were assessed and listed by
royal agents in the so-called Domesday Books. Pada 1085 William diperlukan semua
pemegang properti di wilayah kekuasaannya untuk membuat hitungan dan apa yang mereka
miliki. Harta ini dinilai terdaftar oleh agen kerajaan di disebut Domesday Buku-begitu. This
census was not held for taxation purposes alone; it also served as a means to establish the
foundations of royal governance. The Domesday Books listed what was in the king's realm;
moreover, the landowners were all required to swear oaths of fealty to the crown. By the early
twelfth century, this had evolved into a highly centralized administrative kingship that was
ruled through centralized auditing and semi-annual account-giving. sensus ini tidak diadakan
untuk keperluan perpajakan saja, tetapi juga berfungsi sebagai sarana untuk membangun
dasar-dasar pemerintahan kerajaan. Buku Domesday tercantum apa yang ada dalam raja
kerajaan, lebih dari itu, pemilik tanah semua yang diperlukan untuk bersumpah sumpah
kesetiaan untuk mahkota ,. Dengan kedua belas awal abad ini telah berevolusi menjadi sangat
terpusat administrasi kerajaan yang diperintah melalui audit yang terpusat dan semi-tahunan
account-memberi.

In the centuries since the reign of William I of England, accountability has slowly wrestled
free from its etymological bondage with accounting. In contemporary political discourse,
'accountability' and 'accountable' no longer convey a stuffy image of bookkeeping and
financial administration, but they hold strong promises of fair and equitable governance. Pada
abad sejak pemerintahan William I dari Inggris, akuntabilitas telah perlahan bergulat bebas
dari perbudakan etimologis dengan akuntansi. Dalam wacana politik kontemporer,
'akuntabilitas' dan 'bertanggung jawab' tidak lagi menyampaikan gambar pengap pembukuan
dan administrasi keuangan, tapi mereka terus janji-janji yang kuat dan adil pemerintahan adil.
Moreover, the accounting relationship has almost completely reversed. Selain itu, hubungan
akuntansi telah hampir sepenuhnya terbalik. 'Accountability' does not refer to sovereigns
holding their subjects to account, but to the reverse, it is the authorities themselves who are
being held accountable by their citizens. 'Akuntabilitas' tidak merujuk kepada penguasa
memegang mata pelajaran mereka ke account, tetapi sebaliknya, ia adalah penguasa sendiri
yang dimintai pertanggungjawaban oleh warga negara mereka.

Since the late twentieth century, the Anglo-Saxon world in particular has witnessed a
transformation of the traditional bookkeeping function in public administration into a much
broader form of public accountability (Harlow 2002: 19). Sejak akhir abad dua puluh, di
dunia Anglo-Saxon khususnya telah menyaksikan transformasi dari fungsi pembukuan
tradisional dalam administrasi publik menjadi lebih luas banyak bentuk akuntabilitas publik
(Harlow 2002: 19). This broad shift from financial accounting to public accountability ran
parallel to the introduction of New Public Management by the Thatcher-government in the
United Kingdom and to the Reinventing Government reforms initiated by the Clinton-Gore
administration in the United States. Perubahan luas dari akuntansi keuangan untuk
akuntabilitas publik sejajar dengan pengenalan Manajemen Publik Baru oleh pemerintah-
Thatcher di Britania Raya dan Pemerintah reformasi Reinventing diprakarsai oleh
pemerintahan Clinton-Gore di Amerika Serikat. Both reforms introduced a range of private
sector management styles and instruments into the public sector (Pollitt & Bouckaert 2005),
including contract management both within and outside the public sector, the use of
performance indicators and benchmarks to evaluate and compare the effectiveness and
efficiency of public agencies, to name but a few. Kedua reformasi memperkenalkan berbagai
gaya manajemen sektor swasta dan instrumen ke dalam sektor publik (Pollitt & Bouckaert
2005), termasuk manajemen kontrak baik di dalam maupun di luar sektor publik, penggunaan
indikator kinerja dan tolok ukur untuk mengevaluasi dan membandingkan efektivitas dan
efisiensi lembaga publik, untuk menyebutkan beberapa. Most of these instruments require
extensive auditing to be effective. Sebagian besar membutuhkan audit ekstensif instrumen
efektif.

This shift from financial accounting to performance auditing and public accountability can
also be observed on the European continent, although the speed and scope differs. Pergeseran
dari akuntansi keuangan dengan audit kinerja dan akuntabilitas publik juga dapat diamati di
benua Eropa, walaupun kecepatan dan ruang lingkup berbeda. Countries with a strong
tradition of administrative law and a strong Rechtsstaat , such as France, Germany and Italy,
have, on average, been less vigorous in adopting these more managerially oriented styles of
governance. Negara-negara dengan tradisi yang kuat hukum administrasi dan Rechtsstaat
kuat, seperti Perancis, Jerman dan Italia, memiliki, rata-rata, kurang kuat dalam mengadopsi
gaya manajerial ini lebih berorientasi pemerintahan. Countries like the Netherlands, Sweden,
and Finland are intermediate cases (Pollitt et al. 1999: 197; Pollitt & Bouckaert 2005: 98-99).
Negara-negara seperti Belanda, Swedia, dan Finlandia adalah kasus antara (Pollitt dkk;. 1999:
197 Pollitt & Bouckaert 2005: 98-99).

The emancipation of 'accountability' from its bookkeeping origins is therefore originally an


Anglo-American phenomenon – if only because other languages, such as French, Portuguese,
Spanish, German, Dutch, or Japanese, have no exact equivalent and do not (yet) distinguish
semantically between 'responsibility' and 'accountability' (Mulgan 2000; Harlow 2002:14-15;
Dubnick 2002). 2 Emansipasi 'akuntabilitas' dari asal pembukuannya Oleh karena itu awalnya
merupakan fenomena Anglo-Amerika - jika hanya karena bahasa lain, seperti Perancis,
Portugis, Spanyol, Jerman, Belanda, atau Jepang, tidak memiliki kesamaan yang pasti dan
tidak (belum) semantik membedakan antara 'tanggung jawab' dan 'akuntabilitas' (Mulgan
2000; Harlow 2002:14-15; Dubnick 2002). 2

1.2 Accountability as an icon 1,2 Akuntabilitas sebagai sebuah ikon

In the NPM ideology, public accountability is both an instrument and a goal. Dalam ideologi
NPM, akuntabilitas publik baik alat dan tujuan. What started as an instrument to enhance the
effectiveness and efficiency of public governance, has gradually become a goal in itself. Apa
yang dimulai sebagai alat untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemerintahan umum,
sedikit demi sedikit menjadi tujuan dalam dirinya sendiri. Nowadays, accountability has
become a Good Thing, of which it seems we cannot have enough (Pollit 2003: 89). Saat ini,
akuntabilitas telah menjadi Good Thing, yang sepertinya kita tidak dapat memiliki cukup
(Pollit 2003: 89). As a concept, however, 'accountability' is rather elusive. Sebagai sebuah
konsep, tetapi, 'akuntabilitas' agak sulit dipahami. It has become a hurrah-word, like 'learning',
'responsibility', or 'solidarity', to which no one can object. It is one of those evocative political
words that can be used to patch up a rambling argument, to evoke an image of
trustworthiness, fidelity, and justice, or to hold critics at bay. Hal ini telah menjadi hore-kata,
seperti 'belajar', 'tanggung jawab', atau 'solidaritas', yang tak seorang pun dapat menolak. Ini
adalah salah satu kata-kata politik menggugah yang dapat digunakan untuk menambal
argumen yang bertele-tele, untuk membangkitkan gambar dari kepercayaan, kesetiaan, dan
keadilan, atau untuk terus kritik di teluk.

Melvin Dubnick (2002: 2-3) gives a fine example of the evocative use of the concept. Melvin
Dubnick (2002: 2-3) memberikan contoh yang baik dari penggunaan konsep menggugah. He
has made a scan of the legislation that has been proposed to the US Congress. Dia telah
melakukan scan undang-undang yang telah diajukan ke Kongres AS. The word
'accountability' occurs in the title of between 50 and 70 proposed bills in each two-year term.
Kata 'akuntabilitas' terjadi dalam judul antara 50 dan 70 tagihan yang diusulkan dalam setiap
jangka dua tahun. The focus of these 'accountability bills' is extremely broad and ranged in
2001-2002 from the Accountability for Accountants Act, the Accountability for Presidential
Gifts Act, and the Arafat Accountability Act, to the Polluter Accountability Act, the Syria
Accountability Act, and the United Nations Voting Accountability Act. Fokus akuntabilitas
tagihan 'ini' adalah sangat luas dan berkisar pada tahun 2001-2002 dari Akuntabilitas untuk
Akuntan Act, Akuntabilitas Hadiah untuk Presiden Undang-Undang, dan Undang-Undang
Akuntabilitas Arafat, ke Pencemar Akuntabilitas Act, Undang-Undang Akuntabilitas Suriah,
dan UU PBB Voting Akuntabilitas. The use of the term 'accountability' is usually limited to
the title of these acts. Penggunaan istilah 'akuntabilitas' biasanya terbatas pada judul dari aksi-
aksi. In most bills, the term is rarely mentioned again, let alone defined. Pada sebagian besar
tagihan, istilah ini jarang disebutkan lagi, apalagi didefinisikan. It is merely used as an
ideograph, as a rhetorical tool to convey an image of good governance and to rally supporters
(McGee 1980). Hal ini hanya digunakan sebagai sebuah tulisan gambar, sebagai alat retorika
untuk menyampaikan suatu citra pemerintahan yang baik dan untuk menggalang pendukung
(McGee 1980). Dubnick calls this the iconical role of the word 'accountability'. Dubnick
panggilan ini iconical peran kata 'akuntabilitas'. Accountability has become an icon for good
governance both in the public and in the private sector. Akuntabilitas telah menjadi ikon bagi
tata pemerintahan yang baik baik di masyarakat dan di sektor swasta.

For anyone reflecting on public accountability, it is impossible to disregard these strong


evocative overtones. Bagi siapa pun merefleksikan akuntabilitas publik, adalah mustahil
untuk mengabaikan nada ini menggugah kuat. As an icon, the concept has become less useful
for analytical purposes, and today resembles a garbage can filled with good intentions, loosely
defined concepts, and vague images of good governance. Sebagai ikon, konsep ini menjadi
kurang bermanfaat untuk tujuan analitis, dan hari ini menyerupai sampah dapat diisi dengan
niat baik, longgar didefinisikan konsep, dan gambar samar dari tata pemerintahan yang baik.
Nevertheless, we should heed the summons from Dubnick (2002) to save the concept from its
advocates and friends, as he so succinctly put it. Namun demikian, kita harus memperhatikan
panggilan dari Dubnick (2002) untuk menyimpan konsep dari advokat dan teman-teman,
karena dia begitu ringkas meletakkannya.

My general aim in this paper is to make the concept more amenable to empirical analysis.
Tujuan umum saya dalam makalah ini adalah untuk membuat konsep lebih menerima analisis
empiris. For example, it has been argued that the European Union suffers from serious
accountability deficits (Harlow 2002, Fisher 2004, Van Gerven 2005: 63-13). Sebagai contoh,
telah berpendapat bahwa Uni Eropa mengalami defisit yang serius akuntabilitas (Harlow
2002, Fisher 2004, Van Gerven 2005: 63-13). But how can we establish the existence of
accountability deficits? Tapi bagaimana kita menetapkan adanya defisit akuntabilitas? This
paper tries to provide some analytical building blocks for addressing these types of value
laden questions. Tulisan ini mencoba untuk memberikan beberapa blok bangunan analitis
untuk mengatasi jenis pertanyaan sarat nilai. In order to get a grip on these sort of questions, it
is important to distinguish between analytical and evaluative issues. Dalam rangka untuk
mendapatkan pegangan pada pertanyaan semacam ini, penting untuk membedakan antara isu-
isu analitis dan evaluatif.

First, the aim of this paper is to develop a parsimonious analytical framework that can help to
establish more systematically whether organisations or officials, exercising public authority,
are subject to public accountability at all. Pertama, tujuan dari makalah ini adalah untuk
mengembangkan kerangka analisis kikir yang dapat membantu untuk membangun lebih
sistematis apakah organisasi atau pejabat, menjalankan otoritas publik, tunduk pada
akuntabilitas publik sama sekali. This is basically a mapping exercise – for example: what are
the accountabilities, formal and informal, of a particular European agency? Ini pada dasarnya
adalah latihan pemetaan - sebagai contoh: apakah akuntabilitas, formal dan informal, dari
agen Eropa tertentu? For this purpose we need to establish when a certain practice or
arrangement qualifies as a form of accountability. Untuk tujuan ini kita perlu membangun
apabila ada praktek tertentu atau pengaturan memenuhi syarat sebagai bentuk akuntabilitas. In
order to give more colour to our map, we also want to be able to distinguish several, mutually
exclusive, types of accountability. Dalam rangka memberikan lebih banyak warna peta, kami
juga ingin bisa membedakan beberapa, saling eksklusif, jenis akuntabilitas.

Secondly, and separately, this paper aims to develop an evaluative framework that can be
used to assess these accountability maps more systematically. For this purpose we need
perspectives that can help us to evaluate these arrangements: are the arrangements to hold the
agency accountable adequate or not, sufficient or insufficient, effective or ineffective? Kedua,
dan secara terpisah, makalah ini bertujuan untuk mengembangkan kerangka kerja evaluatif
yang dapat digunakan untuk menilai akuntabilitas peta ini lebih sistematis. Untuk tujuan ini
kita perlu perspektif yang dapat membantu kita untuk mengevaluasi pengaturan: adalah
pengaturan untuk menahan badan tersebut cukup bertanggung jawab atau tidak, cukup atau
tidak cukup, efektif atau tidak efektif?
I will start with the analytical issues: which states of affaires qualify as 'accountability'? Saya
akan mulai dengan isu-isu analitis: yang menyatakan dari affaires memenuhi syarat
'akuntabilitas sebagai'?

3. Broad and narrow accountability Luas dan sempit akuntabilitas

In contemporary political and scholarly discourse 'accountability' often serves as an


conceptual umbrella that covers various other distinct concepts. It is used as a synonym for
many loosely defined political desiderata, such as transparency, equity, democracy,
efficiency, responsiveness, responsibility, and integrity (Mulgan 2000b: 555; Behn 2001: 3-6;
Dubnick 2002). Dalam wacana politik dan ilmiah kontemporer 'akuntabilitas' sering berfungsi
sebagai payung konseptual yang mencakup berbagai lainnya berbeda konsep. Hal ini
digunakan sebagai sinonim bagi banyak longgar didefinisikan desiderata politik, seperti
transparansi, keadilan, demokrasi, efisiensi, responsif, tanggung jawab, dan integritas
(Mulgan 2000b: 555; Behn 2001: 3-6; Dubnick 2002). The term 'has come to stand as a
general term for any mechanism that makes powerful institutions responsive to their particular
publics' (Mulgan 2003: 8). Istilah 'telah datang untuk berdiri sebagai istilah umum untuk
setiap mekanisme yang membuat lembaga-lembaga kuat responsif terhadap publik tertentu
mereka' (Mulgan 2003: 8).

Particularly in American scholarly and political discourse 'accountability' often is used


interchangeably with 'good governance' or virtuous behaviour, as was already illustrated by
the usage in the American bills. Terutama dalam wacana ilmiah dan politik Amerika
'akuntabilitas' sering digunakan bergantian dengan 'tata pemerintahan yang baik' atau perilaku
yang baik, seperti yang sudah diilustrasikan oleh tagihan penggunaan di Amerika.
Accountability in this broad sense is a no-opposite concept, a concept 'without specified
termination of boundaries' (Sartori 1970: 1042). Akuntabilitas dalam arti luas adalah
sebaliknya-tidak ada konsep, konsep 'tanpa terminasi tertentu batas-batas' (Sartori 1970:
1042). For O'Connell (2005:86), for example, accountability is present when public services
have a high quality, at a low cost and are performed in a courteous manner. Untuk O'Connell
(2005:86), misalnya, akuntabilitas hadir ketika pelayanan publik memiliki kualitas tinggi,
dengan biaya rendah dan dilakukan dengan cara yang sopan. Considine, an Australian scholar,
squares accountability with responsiveness, but in the very broad sense of 'the appropriate
exercise of a navigational competence: that is, the proper use of authority to range freely,
across a multirelationship terrain in search of the most advantageous path to success'
(Considine 2002: 22). Considine, seorang sarjana Australia, kotak akuntabilitas dengan
responsif, tetapi dalam pengertian yang luas dari 'latihan yang tepat atas suatu kompetensi
navigasi: yaitu, penggunaan otoritas yang tepat untuk jangkauan bebas, di sebuah daerah
multirelationship untuk mencari jalan yang paling menguntungkan kesuksesan '(Considine
2002: 22). Koppell (2005) distinguishes no less than five different dimensions of
accountability – transparency, liability, controllability, responsibility, responsiveness – that
are each ideographs and umbrella concepts themselves. Koppell (2005) membedakan tidak
kurang dari lima dimensi yang berbeda akuntabilitas - transparansi, tanggung jawab,
controllability, tanggung jawab, tanggap - yang masing-masing ideograf dan konsep payung
sendiri. Such very broad conceptualisations of the concept make it impossible to establish
empirically whether an organisation is accountable, because each of the various elements
needs extensive operationalisation itself and because the various elements cannot be measured
along the same scale. conceptualisations sangat luas seperti konsep tidak memungkinkan
untuk membangun secara empiris apakah organisasi bertanggung jawab, karena masing-
masing dari berbagai elemen kebutuhan operasionalisasi yang luas itu sendiri dan karena
berbagai elemen tidak dapat diukur sepanjang skala yang sama. Some dimensions, such as
transparency, are instrumental for accountability, but not constitutive of accountability,
others, such as responsiveness, are more evaluative instead of analytical dimensions.
Beberapa dimensi, seperti transparansi, akuntabilitas yang instrumental, tapi tidak konstitutif
akuntabilitas, orang lain, seperti respon, lebih evaluatif bukan dimensi analitis.

Accountability in this very broad sense is basically an evaluative, not an analytical concept.
Akuntabilitas dalam arti luas sangat pada dasarnya merupakan suatu evaluatif, bukan konsep
analitis. It is used to positively qualify a state of affaires or the performance of an actor. Hal
ini digunakan untuk positif memenuhi syarat keadaan affaires atau kinerja aktor. It comes
close to 'responsiveness' and 'a sense of responsibility', a willingness to act in a transparent,
fair, and equitable way. Datang dekat dengan 'respon' dan 'rasa tanggung jawab', kesediaan
untuk bertindak dengan, adil, dan adil secara transparan. Elsewhere (Bovens 1998), I have
called this active responsibility, or responsibility-as-virtue, because it is about the standards
for proactive responsible behaviour of actors. Di tempat lain (Bovens 1998), saya sebut ini
tanggung jawab aktif, atau tanggung jawab-sebagai-kebajikan, karena ini adalah tentang
standar untuk perilaku bertanggung jawab proaktif pelaku. Accountability in this broad sense
is an essentially contested concept (Gallie 1962: 121), because there is no general consensus
about the standards for accountable behaviour, and they differ from role to role, time to time,
3
place to place, and from speaker to speaker. Akuntabilitas dalam arti luas adalah konsep
diperebutkan dasarnya (Callie 1962: 121), karena tidak ada konsensus umum tentang standar
untuk perilaku bertanggung jawab, dan peran mereka berbeda dari peran, waktu ke waktu,
tempat ke tempat, dan dari pembicara kepada pembicara. 3

In this paper, I will not define the concept in such a broad, evaluative sense, but in a much
more narrow, sociological sense. Dalam tulisan ini, aku tidak akan mendefinisikan konsep
sedemikian, evaluatif arti luas, tetapi dalam sempit, sosiologis lebih banyak akal.
'Accountability' is not just another political catchword; it also refers to concrete practices of
account giving. 'Akuntabilitas' tidak sekadar slogan politik, tetapi juga mengacu pada praktek-
praktek konkret account memberi. I will stay close to its etymological and historical roots and
define it as a specific social relation - following, among others, Day & Klein (1987:5),
Romzek & Dubnick (1998:6), Lerner & Tetlock (1999:255), McCandless (2001:22), Scott
(2000: 40), Pollit (2003:89), and Mulgan (2003: 7-14). Saya akan menginap dekat dengan
etimologis dan akar sejarah dan mendefinisikan sebagai suatu hubungan sosial yang spesifik -
berikut, antara lain, Hari & Klein (1987:5), Romzek & Dubnick (1998:6), Lerner & Tetlock
(1999:255) , McCandless (2001:22), Scott (2000: 40), Pollit (2003:89), dan Mulgan (2003: 7-
14).

The most concise description of accountability would be: 'the obligation to explain and justify
conduct'. The deskripsi singkat sebagian besar akan akuntabilitas: 'kewajiban untuk
menjelaskan dan membenarkan perilaku'. This implies a relationship between an actor, the
accountor, and a forum, the account-holder, or accountee (Pollitt 2003: 89). Ini berarti
hubungan antara aktor, accountor, dan sebuah forum, account-pemegang, atau accountee
(Pollitt 2003: 89). Explanations and justifications are not made in a void, but vis-à-vis a
significant other. Penjelasan dan pembenaran tidak dibuat dalam ruang hampa, tapi vis-à-vis a
lainnya yang signifikan. This usually involves not just the provision of information about
performance, but also the possibility of debate, of questions by the forum and answers by the
actor, and eventually of judgment of the actor by the forum. Hal ini biasanya melibatkan tidak
hanya penyediaan informasi tentang kinerja, tetapi juga kemungkinan perdebatan, pertanyaan
oleh forum dan jawaban oleh aktor, dan akhirnya dari penilaian dari aktor dengan forum.
Judgment also implies the imposition of formal or informal sanctions on the actor in case of
malperformance or, for that matter, of rewards in case of adequate performance. Penghakiman
juga menyiratkan pengenaan sanksi formal maupun informal pada aktor dalam kasus
malperformance atau, dalam hal ini, penghargaan dalam hal kinerja yang memadai. This is
what I would call narrow accountability . 4 Elsewhere, I have called this passive responsibility
(Bovens, 1998: 26), or responsibility-as-accountability, because actors are held to account by
a forum, ex post facto, for their conduct. Ini adalah apa yang saya sebut akuntabilitas sempit
4,
tempat lain. saya sebut ini tanggung jawab pasif (Bovens, 1998: 26), atau tanggung jawab-
sebagai-akuntabilitas, karena aktor dimintai pertanggung oleh forum, ex post facto, karena
mereka melakukan .

1.4 Accountability as a social relation 1,4 Akuntabilitas sebagai hubungan sosial

Accountability in the narrow sense, as used in this paper, refers to a specific set of social
relations that can be studied empirically. Akuntabilitas dalam arti sempit, seperti yang
digunakan dalam makalah ini, merujuk ke set tertentu hubungan sosial yang dapat dipelajari
secara empiris. This raises taxonomical issues: when does a social relation qualify as a case of
'accountability'? Accountability will here be defined as a relationship between an actor and a
forum, in which the actor has an obligation to explain and to justify his or her conduct, the
forum can pose questions and pass judgment, and the actor can be sanctioned . Hal ini
menimbulkan masalah taksonomi: ketika hubungan sosial tidak memenuhi syarat sebagai
kasus 'akuntabilitas'? Akuntabilitas di sini akan didefinisikan sebagai hubungan antara
seorang aktor dan forum, di mana aktor memiliki kewajiban untuk menjelaskan dan untuk
membenarkan atau dia melakukan nya , forum tersebut dapat mengajukan pertanyaan dan
memberikan penilaian, dan aktor dapat sanksi.

This relatively simple definition contains a number of elements that need further explanation.
Definisi ini relatif sederhana berisi sejumlah elemen yang perlu penjelasan lebih lanjut. The
actor can be either an individual, in our case an official or civil servant, or an organisation.
aktor dapat berupa individu, dalam kasus kami seorang pejabat atau pegawai negeri, atau
sebuah organisasi. With public accountability, the actor will often be a public institution or a
government agency. Dengan akuntabilitas publik, aktor sering akan menjadi lembaga publik
atau lembaga pemerintah. The significant other, the accountability forum , can be a specific
person, such as a superior, a minister, or a journalist, or it can be an agency, such as
parliament, a court, or the audit office, but it can also be a more virtual entity, such as, in the
case of public accountability, the general public. Yang lain yang signifikan, forum
akuntabilitas, dapat menjadi orang tertentu, seperti atasan, seorang menteri, atau jurnalis, atau
bisa menjadi agen, seperti parlemen, pengadilan, atau kantor audit, tetapi juga dapat entitas
virtual lebih, seperti, dalam hal akuntabilitas publik, masyarakat umum.

The relationship between the forum and the actor often will have the nature of a principal-
agent relation - the forum being the principal, eg parliament, who has delegated authority to a
minister, the agent, who is held to account himself regularly about his performance in office.
This is particular the case with political forms of accountability (Strom 2000; 2003).
Hubungan antara forum dan aktor sering akan memiliki sifat dari hubungan-agen utama -
forum menjadi kepala sekolah, misalnya parlemen, yang telah mendelegasikan kewenangan
untuk seorang menteri, agen, yang diadakan untuk account sendiri secara teratur tentang
performa nya di kantor. Hal ini khususnya kasus dengan bentuk-bentuk politik dari
akuntabilitas (Strom 2000; 2003). However, as we will see, in many accountability relations,
the forums are not principals of the actors, for example courts in case of legal accountability
or professional associations in case of professional accountability. Namun, seperti yang akan
kita lihat, dalam hubungan akuntabilitas banyak, forum tidak pelaku pelaku, untuk pengadilan
misalnya dalam hal akuntabilitas hukum atau asosiasi profesional dalam kasus akuntabilitas
profesional.

The obligation that lies upon the actor can be formal or informal. Kewajiban yang terletak
pada aktor dapat formal atau informal. Public officials often will be under a formal obligation
to render account on a regular basis to specific forums, such as supervisory agencies, courts,
or auditors. Pejabat publik akan sering berada di bawah kewajiban formal untuk membuat
account secara berkala ke forum tertentu, seperti badan pengawas, pengadilan, atau auditor. In
the wake of administrative deviance, policy failures, or disasters, public officials can be
forced to appear in administrative or penal courts or to testify before parliamentary
committees. A tragic example of the latter is the arms experts David Kelly, of the British
Ministry of Defence, who was forced to testify before two parliamentary committees in the
summer of 2003 about his press contacts regarding the Cabinet's claim that the regime of
Saddam Hussein in Iraq could launch weapons of mass destruction – and who subsequently
committed suicide. Dalam bangun dari penyimpangan administrasi, kegagalan kebijakan, atau
bencana para pejabat publik dapat dipaksa untuk muncul di pengadilan pidana atau
administratif atau untuk memberikan kesaksian di depan komite parlemen. Sebuah contoh
tragis yang kedua adalah pakar senjata David Kelly, Menteri Inggris Pertahanan, yang dipaksa
untuk bersaksi di hadapan dua komite parlemen pada musim panas tahun 2003 tentang kontak
pers tentang Kabinet klaim bahwa rezim Saddam Hussein di Irak bisa meluncurkan senjata
pemusnah massal - dan yang kemudian bunuh diri. But the obligation can also be informal, as
in the case of press conferences and informal briefings, or even self imposed, as in the case of
voluntary audits. Tapi kewajiban juga dapat informal, seperti dalam kasus konferensi pers dan
briefing informal, atau bahkan diri yang dipaksakan, seperti dalam kasus audit sukarela.

The relationship between the actor and the forum, the actual account giving, usually consists
of at least three elements or stages. Hubungan antara aktor dan forum, account aktual
memberi, biasanya terdiri dari setidaknya tiga unsur atau tahapan. First of all, it is crucial that
the actor is obliged to inform the forum about his conduct , by providing various sorts of data
about the performance of tasks, about outcomes, or about procedures. Pertama-tama, adalah
penting bahwa aktor wajib menginformasikan forum tentang perilakunya, dengan
menyediakan berbagai macam data tentang kinerja tugas, tentang hasil, atau tentang prosedur.
Often, particularly in the case of failures or incidents, this also involves the provision of
explanations and justifications. Sering kali, terutama dalam hal kegagalan atau insiden, ini
juga melibatkan pemberian penjelasan dan pembenaran. Account giving is more than mere
propaganda, or the provision of information or instructions to the general public. Account
memberi adalah lebih dari sekedar propaganda, atau penyediaan informasi atau instruksi
kepada masyarakat umum. The conduct that is to be explained and justified can vary
enormously, from budgetary scrutiny in case of financial accountability, to administrative
fairness in case of legal accountability, or even sexual propriety when it comes to the political
accountability of Anglo-American public officials. Perilaku yang akan dijelaskan dan
dibenarkan dapat bervariasi, dari pengamatan anggaran dalam hal akuntabilitas keuangan,
untuk administrasi keadilan dalam hal pertanggungjawaban hukum, atau bahkan seksual
kesopanan ketika datang ke Amerika akuntabilitas politik pejabat publik-Anglo.

Secondly, there needs to be a possibility for the forum to interrogate the actor and to question
the adequacy of the information or the legitimacy of the conduct. Kedua, harus ada
kemungkinan untuk forum untuk menginterogasi aktor dan untuk mempertanyakan
kecukupan informasi atau melakukan legitimasi. Hence, the close semantic connection
between 'accountability' and 'answerability'. Oleh karena itu, koneksi semantik yang erat
antara 'akuntabilitas' dan 'answerability'.

Thirdly, the forum may pass judgement on the conduct of the actor. Ketiga, forum dapat
memberikan penilaian pada pelaksanaan aktor. It may approve of an annual account,
denounce a policy, or publicly condemn the behaviour of an official or an agency. Hal itu
dapat menyetujui account tahunan, mencela kebijakan, atau publik mengutuk perilaku seorang
pejabat atau agen. In passing a negative judgement, the forum frequently imposes sanctions of
some kind on the actor. Dalam melewati penilaian negatif, forum sering memberlakukan
sanksi dari beberapa bentuk pada aktor. It has been a point of discussion in the literature
whether the possibility of sanctions is a constitutive element of accountability (Mulgan 2003:
9-11). Ini telah menjadi titik pembahasan dalam literatur apakah kemungkinan sanksi adalah
elemen konstitutif akuntabilitas (Mulgan 2003: 9-11). Some would argue that a judgment by
the forum, or even only the stages of reporting, justifying and debating, would be enough to
qualify a relation as an accountability relation. Beberapa berpendapat bahwa penilaian oleh
forum, atau bahkan hanya tahap pelaporan, membenarkan dan berdebat, akan cukup untuk
memenuhi syarat sebagai relasi hubungan akuntabilitas. I concur with Mulgan (2003: 9) and
Strom (2003: 62) that the possibility of sanctions of some kind is a constitutive element of
narrow accountability and that it should be included in the definition. Saya setuju dengan
Mulgan (2003: 9) dan Strom (2003: 62) bahwa kemungkinan sanksi dari beberapa jenis
merupakan unsur konstitutif akuntabilitas sempit dan yang harus dimasukkan dalam definisi.
The possibility of sanctions makes the difference between non-committal provision of
information and being held to account. Kemungkinan sanksi membuat perbedaan antara non-
berkomitmen penyediaan informasi dan ditahan ke account.

These sanctions can be highly formalized, such as fines, disciplinary measures, civil remedies
or even penal sanctions, but they can also be based on unwritten rules, as in the case of the
political accountability of a minister to parliament, where the sanction can comprise calling
for the minister's resignation. Sanksi-sanksi ini dapat sangat diformalkan, seperti denda,
tindakan disiplin, obat sipil atau bahkan sanksi pidana, tetapi mereka juga dapat didasarkan
pada aturan-aturan tidak tertulis, seperti dalam kasus akuntabilitas politik menteri ke
parlemen, di mana sanksi dapat terdiri dari menteri itu meminta pengunduran dirinya. Often
the punishment will only be implicit or informal, such as the very fact of having to render
account in front of television-cameras, or, as was the case with David Kelly, the total
disintegration of public image and career as a result of the negative publicity generated by the
process (March & Olsen 1995: 167). Sering hukuman hanya akan implisit atau informal,
seperti kenyataan karena harus membuat akun di depan kamera televisi, atau, seperti yang
terjadi dengan David Kelly, disintegrasi total citra publik dan karier sebagai hasil dari
publisitas negatif yang dihasilkan oleh proses (Maret & Olsen 1995: 167). The sanctions can
also consist in the use of veto powers by the forum. Sanksi juga dapat terdiri dalam
penggunaan kekuatan veto oleh forum. It can block or amend decisions made by the actor
(Strom 2003: 62). Hal ini dapat memblokir atau mengubah keputusan yang dibuat oleh pelaku
(Strom 2003: 62).

It is not necessarily the forum itself which can or will impose remedies or sanctions. Hal ini
belum tentu forum itu sendiri yang dapat atau akan menerapkan solusi atau sanksi. Academic
visitation committees at colleges and universities, that exercise heavy scrutiny in national
research exercises, are very real accountability forums for academic researchers. komite
kunjungan Akademik di perguruan tinggi dan universitas, bahwa latihan pengawasan berat
dalam latihan penelitian nasional, adalah akuntabilitas forum yang sangat nyata bagi para
peneliti akademik. They pass judgement on the basis of self-study reports and visits to
institutions, but cannot always impose sanctions in the case of default. Mereka menghakimi
berdasarkan studi-laporan diri dan kunjungan ke lembaga-lembaga, tetapi tidak bisa selalu
menjatuhkan sanksi dalam kasus default. This is left to research directors, deans and
chancellors. Ini diserahkan kepada direksi penelitian, dekan dan rektor. The same holds for
the investigations of ombudsmen and of many chambers of audit. Hal yang sama berlaku
untuk investigasi dari ombudsman dan banyak ruang audit. They can scrutinize agencies,
expose waste or mismanagement and suggest improvements, but they cannot enforce them.
Mereka dapat memeriksa badan, paparan limbah atau kesalahan manajemen dan saran
perbaikan, tetapi mereka tidak bisa menerapkannya. That is left to parliament which has the
power to put pressure on the minister, who in turn can put pressure on the heads of the
agencies involved. Itulah kiri ke parlemen yang memiliki kekuasaan untuk menekan menteri,
yang pada gilirannya dapat memberikan tekanan pada kepala instansi yang terlibat.

Box 1: Accountability as a social relation Kotak 1: Akuntabilitas sebagai hubungan sosial


A relationship qualifies as a case of accountability when: Suatu hubungan memenuhi syarat
sebagai pertanggungjawaban kasus bila:

1. There is a relationship between an actor and a forum Ada hubungan antara aktor dan
forum
2. in which the actor is obliged di mana aktor wajib
3. to explain and justify untuk menjelaskan dan membenarkan
4. his conduct, nya melakukan,
5. the forum can pose questions, forum tersebut dapat mengajukan pertanyaan,
6. pass judgement, memberikan penilaian,
7. and the actor can be sanctioned. dan aktor dapat sanksi.

5. What is 'public' about public accountability? Apakah 'masyarakat' tentang


akuntabilitas publik?

A great many social relationships carry an element of accountability within. Sebuah banyak
hubungan sosial yang besar membawa unsur akuntabilitas dalam. However, this paper solely
concerns public accountability. Namun, makalah ini hanya menyangkut akuntabilitas publik.
'Public' relates in this respect to a number of different aspects. 'Publik' terkait dalam hal ini
sejumlah aspek yang berbeda. In the first place, used in this context, 'public' should be
understood to mean 'openness'. Account is not rendered discretely, behind closed doors, but is
in principle open to the general public. Di tempat pertama, digunakan dalam konteks ini,
'publik' harus dipahami sebagai 'keterbukaan'. Account tidak diberikan discretely, di balik
pintu tertutup, namun pada prinsipnya terbuka untuk masyarakat umum. The information
provided about the actor's conduct is widely accessible, hearings and debates are open to the
public and the forum broadcasts its judgement to the general public. Informasi yang diberikan
tentang aktor melakukan secara luas dapat diakses, dengar pendapat dan perdebatan yang
terbuka untuk umum dan siaran forum penghakiman kepada masyarakat umum.

In the second place, 'public' refers to the object of the account to be rendered. Di tempat
kedua, 'publik' mengacu pada objek dari account yang akan diberikan. Public accountability
mainly regards matters in the public domain, such as the spending of public funds, the
exercise of public authorities, or the conduct of public institutions. akuntabilitas publik
menganggap hal terutama dalam domain publik, seperti pengeluaran dana publik, pelaksanaan
otoritas publik, atau perilaku lembaga-lembaga publik. It is not necessarily limited to public
organisations, but can extend to private bodies that exercise public privileges or receive public
funding (Scott 2000: 41). This also impacts on the accounting perspective. Hal ini tidak harus
terbatas pada organisasi publik, tetapi dapat memperpanjang kepada badan-badan swasta yang
melaksanakan hak publik atau menerima dana umum (Scott 2000: 41) perspektif. Ini juga
berdampak pada akuntansi. Public accountability implies the rendering of account for matters
of public interest, ie an accounting that is performed with a view to the judgement to be
passed by the citizens. akuntabilitas publik menyiratkan rendering account untuk urusan
kepentingan publik, yaitu akuntansi yang dilakukan dengan tujuan untuk penilaian yang akan
disahkan oleh warga. In general, one could say that public accountability is accountability in
and about the public domain. Secara umum, dapat dikatakan bahwa akuntabilitas publik
adalah akuntabilitas dan soal domain publik.

1.6 What isn't accountability 1,6 Apa yang tidak akuntabilitas

Box 1 identifies seven constitutive elements of what I have called narrow accountability. To
qualify a social relation as a practice of public accountability for the purpose of this paper,
there should be an actor who provides information about his conduct to some forum; there
should also be explanation and justification of conduct – and not propaganda, or the provision
of information or instructions to the general public. Kotak 1 mengidentifikasi tujuh elemen
konstitutif dari apa yang saya sebut akuntabilitas sempit. Untuk memenuhi syarat hubungan
sosial sebagai praktek akuntabilitas publik untuk tujuan tulisan ini, harus ada aktor yang
menyediakan informasi tentang perilaku ke beberapa forum, ada juga harus menjadi
penjelasan dan justifikasi perilaku - dan bukan propaganda, atau penyediaan informasi atau
instruksi kepada masyarakat umum. The explanation should be directed at a specific forum -
and not be given at  random. The actor must feel obliged to come forward – instead of being
at liberty to provide any account whatsoever. Penjelasan diarahkan pada sebuah forum
tertentu - dan tidak diberikan secara acak - The. aktor harus merasa berkewajiban untuk maju
bukannya bebas untuk memberikan rekening apapun. There must be a possibility for debate
and judgment by the forum, and an optional imposition of (informal) sanctions – and not a
monologue without engagement. Pasti ada kemungkinan untuk debat dan penilaian oleh
forum, dan pemaksaan opsional (informal) sanksi - dan bukan monolog tanpa keterlibatan.
Finally, to qualify as public accountability, there should be public accessibility of the account
giving – and not purely internal, discrete informing. Akhirnya, untuk memenuhi syarat
sebagai akuntabilitas publik, harus ada aksesibilitas publik terhadap account memberi - dan
tidak murni internal, menginformasikan diskrit.

On this basis, an initial, rough selection can be made among the various administrative
phenomena presenting themselves as forms of public accountability. For example, by no
means are all of the innovations introduced under the guise of NPM able to be regarded as
forms of accountability. Atas dasar ini, sebuah awal, seleksi kasar dapat dibuat di antara
berbagai fenomena administrasi menampilkan diri mereka sebagai bentuk akuntabilitas
publik. Sebagai contoh, tidak berarti semua dari inovasi diperkenalkan dengan dalih NPM
dapat dianggap sebagai bentuk akuntabilitas . Drafting citizen charters and protocols or
implementing quality control systems and benchmarks do not constitute a form of
accountability in themselves, as a relationship with a forum is lacking. Penyusunan piagam
warga dan protokol atau menerapkan sistem pengawasan mutu dan benchmark tidak
merupakan suatu bentuk akuntabilitas dalam diri mereka, sebagai suatu hubungan dengan
forum kurang. Benchmarks and satisfaction surveys offer organisations the opportunity to
gather information about their own conduct, but in most cases there is no formal or informal
obligation to account for the results, let alone a possibility for debate and judgement by
specific forums who can scrutinizes the organisation. At most these surveys can be used as
inputs for external forums, such as parliament, supervisory boards, or the media, who then can
hold public organisations to account. Tingkatan yang dicapai dan survei kepuasan organisasi
menawarkan kesempatan untuk mengumpulkan informasi tentang perilaku mereka sendiri,
tetapi dalam banyak kasus tidak ada kewajiban formal atau informal untuk menjelaskan hasil,
apalagi kemungkinan untuk debat dan penilaian oleh forum tertentu yang dapat menyelidiki
organisasi. Pada sebagian besar survei ini dapat digunakan sebagai masukan untuk forum
eksternal, seperti parlemen, dewan pengawasan, atau media, yang kemudian dapat memegang
organisasi publik ke account. Focus groups and citizen panels, such as the People's Panel that
was set up by the Blair government in the UK, may be considered to represent a forum, yet
when solely used to test or evaluate products and services the organisation will rarely feel
obliged to offer them any explanation or justification about its conduct, not to mention the
fact that focus groups and panels have no authority to scrutinize the organisation. Kelompok
fokus dan panel warga, seperti Rakyat Panel yang dibentuk oleh pemerintah Blair di Inggris,
dapat dianggap mewakili forum, namun ketika hanya digunakan untuk menguji atau
mengevaluasi produk dan jasa organisasi jarang akan merasa berkewajiban untuk
menawarkan mereka penjelasan atau pembenaran tentang perilaku, belum lagi fakta bahwa
fokus kelompok dan panel tidak punya kewenangan untuk mengkritisi organisasi. The Charter
Mark assessments in Britain, in which public organisations volunteer for an extensive
assessment of the quality of their public service delivery by independent Charter Mark
Assessment Bodies, would probably come closest to (horizontal) accountability (Bellamy &
Taylor 1995; Duggett 1998). Piagam Mark penilaian di Britania, di mana publik organisasi
relawan untuk penilaian yang luas terhadap kualitas pelayanan publik mereka oleh
independen Piagam Mark Penilaian Badan, mungkin akan datang yang paling dekat dengan
(horizontal) akuntabilitas (Bellamy & Taylor 1995; Duggett 1998).

Transparency, which is often used as a synonym for accountability, is not enough to constitute
accountability as defined here. Transparansi, yang sering digunakan sebagai sinonim untuk
akuntabilitas, tidak cukup untuk merupakan pertanggungjawaban sebagaimana didefinisikan
di sini. Organisational transparency and freedom of information will often be very important
prerequisites for accountability, because they may provide forums with the necessary
information. Organisasi transparansi dan kebebasan informasi akan sering prasyarat sangat
penting bagi akuntabilitas, karena mereka dapat menyediakan forum dengan informasi yang
diperlukan. However, transparency as such is not enough to qualify as a genuine form of
accountability (Fisher 2004: 504), because it only sees to the element of publicness in public
accountability, to the disclosure of information, the accessibility of the debates to the general
public or the disclosure of the judgment. Namun, transparansi sebagai tersebut tidak cukup
untuk memenuhi syarat sebagai bentuk asli dari akuntabilitas (Fisher 2004: 504), karena ia
hanya melihat ke unsur publicness dalam akuntabilitas publik, untuk pengungkapan
informasi, aksesibilitas dari perdebatan untuk umum publik atau pengungkapan penghakiman.
Therefore, public reporting, another offspring of the NPM reforms, does not in itself qualify
as public accountability. Agencies make their annual reports, their assessment, and their
benchmarks publicly available or they publish separate annual reports directed at a general
audience (Algemene Rekenkamer 2004). Oleh karena itu, pelaporan publik, keturunan lain
reformasi NPM, tidak dengan sendirinya memenuhi syarat sebagai laporan akuntabilitas
publik. Agencies tahunan mereka membuat, penilaian mereka, dan benchmark mereka
tersedia untuk umum atau mereka menerbitkan laporan tahunan terpisah ditujukan untuk
khalayak umum (Algemene Rekenkamer 2004 ). But a public debate about the reported
information will arise only if caught by the watchful eye of a journalist, an interest group or a
lonely Internet activist, who in turn may stimulate a forum, such as a parliamentary standing
committee, to hold the agency to account (Schillemans & Bovens 2004: 28). Tapi debat
publik tentang informasi yang dilaporkan akan muncul hanya jika tertangkap oleh mata
pengawasan seorang jurnalis, kelompok kepentingan atau seorang aktivis Internet kesepian,
yang pada gilirannya dapat merangsang sebuah forum, seperti komite parlemen, untuk
menahan badan untuk account (Schillemans & Bovens 2004: 28).

Accountability should also be distinguished from responsiveness and participation (Mulgan


2003:21). Pertanggungjawaban juga harus dibedakan dari respon dan partisipasi (Mulgan
2003:21). The European commission, in its White Paper on European Governance and some
of the documents following it, sometimes tends to blur accountability with issues of
representative deliberation (Harlow 2002: 185). Komisi Eropa, melalui White Paper on
Governance Eropa dan beberapa dokumen berikut ini, kadang-kadang cenderung untuk
mengaburkan isu akuntabilitas dengan musyawarah perwakilan (Harlow 2002: 185). It calls
for more openness and a better involvement and more participation of a broad range of
stakeholders in the EU policy process (European Commission 2003: 35-38) in order to
enhance the EU's accountability. Ini panggilan untuk keterbukaan dan keterlibatan yang lebih
baik dan partisipasi yang lebih dari berbagai stakeholder dalam proses kebijakan Uni Eropa
(Komisi Eropa 2003: 35-38) dalam rangka meningkatkan akuntabilitas Uni Eropa. However,
accountability as defined here, is in nature retrospective. Namun, akuntabilitas sebagaimana
didefinisikan di sini, adalah di retrospektif alam. Actors are to account to a forum after the
fact. Aktor yang bertanggung jawab kepada forum setelah fakta. Responsiveness to the needs
and preferences of a broad range of stakeholders and new forms of consultation and
participation may be very important to enhance the political legitimacy of the EU, but they do
not constitute accountability. Tanggap terhadap kebutuhan dan preferensi dari berbagai
stakeholder dan bentuk-bentuk baru dari konsultasi dan partisipasi mungkin sangat penting
untuk meningkatkan legitimasi politik dari Uni Eropa, tetapi mereka tidak merupakan
akuntabilitas. They provide proactive inputs into the policy process and should be classified
and studied separately for what they are: forms of consultation and participation. They lack
the element of justification, judgment, and sanctions. Mereka memberikan masukan proaktif
dalam proses kebijakan dan harus diklasifikasi dan dipelajari secara terpisah untuk apa yang
mereka adalah: bentuk dan partisipasi konsultasi. Mereka kekurangan unsur pembenaran,
penilaian, dan sanksi.
The line between retrospective accounting and proactive policymaking can be thin in practice.
Garis antara akuntansi retrospektif dan proaktif kebijakan dapat menjadi kurus dalam praktek.
It is perfectly sensible to hold actors accountable for their participation in decision making
procedures: members of parliament may scrutinize ministers for their role in European
councils; lobby- and interest groups may have to account to their members or constituencies
for their stand in deliberative processes. Sangat masuk akal untuk terus aktor bertanggung
jawab atas partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan prosedur: anggota parlemen
dapat memeriksa menteri untuk peran mereka dalam dewan Eropa; lobi-dan kepentingan
kelompok mungkin harus account kepada anggota atau konstituen mereka untuk berdiri
mereka dalam proses musyawarah. Moreover, accountability is not only about control, it is
also about prevention. Selain itu, akuntabilitas tidak hanya tentang kontrol, juga tentang
pencegahan. Norms are (re)produced, internalised, and, where necessary, adjusted through
accountability. The minister who is held to account by parliament for his conduct in the
European Council, may feel obliged to adjust his policy, or parliament can decide to amend
his mandate, if his conduct was judged to be inadequate. Thus, ex post facto accountability
can be an important input for ex ante policymaking. Norma adalah (kembali) diproduksi,
diinternalisasi, dan, jika perlu, disesuaikan melalui akuntabilitas. Menteri yang dimintai
pertanggung oleh parlemen untuk melakukan di Dewan Eropa, merasa wajib untuk
menyesuaikan kebijakannya, atau parlemen dapat memutuskan untuk mengubah nya mandat,
jika perilakunya dinilai tidak memadai. Dengan demikian, ex post facto akuntabilitas dapat
menjadi masukan penting bagi pembuatan kebijakan ex ante.

Similarly, there is a fine line between accountability and controllability. Demikian pula, ada
garis tipis antara akuntabilitas dan controllability. Some would equate accountability with
controllability. Beberapa orang akan menyamakan akuntabilitas controllability. Lupia
(2003:35), for example, adopts a control definition of accountability: 'An agent is accountable
to a principal if the principal can exercise control over the agent'. Lupia (2003:35), misalnya,
mengadopsi definisi pengendalian akuntabilitas: 'agen An bertanggung jawab kepada kepala
sekolah jika kepala sekolah bisa melakukan pengendalian terhadap agen'. Accountability
mechanisms are indeed important ways of controlling the conduct of public organisations.
Mekanisme Akuntabilitas memang cara penting untuk mengontrol perilaku organisasi publik.
However, 'control', used in the Anglo-Saxon sense 5 , is broader than accountability and can
include both ex ante and ex post mechanisms of directing behaviour (Scott 2000: 39). Namun,
5,
'kontrol', yang digunakan dalam pengertian Anglo-Saxon lebih luas daripada akuntabilitas
dan dapat mencakup mekanisme ex ante dan ex post mengarahkan perilaku (Scott 2000: 39).
Control means 'having power over' and it can involve very proactive means of directing
conduct, for example through straight orders, directives, financial incentives or laws and
regulations. Kontrol berarti "memiliki kekuatan atas 'dan dapat melibatkan proaktif berarti
sangat mengarahkan perilaku, misalnya melalui perintah langsung, arahan, insentif keuangan
atau hukum dan peraturan. But these hierarchical, financial or legal mechanisms are not
mechanisms of accountability per se, because they do not in themselves operate through
procedures in which actors are to explain and justify their conduct to forums (Mulgan 2003:
19). Tapi hierarkis, keuangan atau hukum mekanisme ini tidak mekanisme akuntabilitas per
se, karena mereka tidak dalam diri mereka beroperasi melalui prosedur di mana pelaku adalah
untuk menjelaskan dan membenarkan perilaku mereka ke forum (Mulgan 2003: 19).

1.7  Relationships, arrangements and regimes 1,7 Hubungan, pengaturan dan rezim

Accountability is a relationship between an actor and a forum. Akuntabilitas adalah hubungan


antara aktor dan forum. This can be an occasional, contingent and informal relationship, for
example between a politician and an inquisitive host in a talk show on television. Ini bisa
menjadi kontingen, dan hubungan informal sesekali, misalnya antara seorang politikus dan
ingin tahu host dalam sebuah talk show di televisi. In the case of public accountability these
relations often have been institutionalised. They have been laid down in rules; standing
practices and fixed routines may be in place, or the accountability process may be laid down
in fixed forms, values, and instruments. Dalam hal ini hubungan akuntabilitas publik sering
telah dilembagakan;. Mereka telah ditetapkan dalam peraturan berdiri praktik dan rutinitas
mungkin tetap di tempat, atau proses akuntabilitas dapat ditetapkan dalam bentuk tetap, nilai,
dan instrumen. I call an accountability relationship that has taken on an institutional character
an accountability arrangement . An occasional, self-instituted evaluation of an independent
agency does not constitute an accountability arrangement; a recurring, protocolled national
academic research exercise certainly does. Aku sebut hubungan akuntabilitas yang telah
mengambil karakter kelembagaan pengaturan akuntabilitas tidak. Sebuah sesekali,
melembagakan diri evaluasi independen lembaga bukan merupakan tanggung jawab
pengaturan; protocolled berulang nasional penelitian akademis, latihan jelas.

An accountability regime is a coherent complex of arrangements and relationships. Sebuah


rezim akuntabilitas adalah kompleks koheren pengaturan dan hubungan. An example of this is
the political accountability of the members of Cabinet in a parliamentary democracy. Contoh
dari ini adalah akuntabilitas politik anggota Kabinet dalam demokrasi parlementer. This
parliamentary accountability comprises a system of interconnected, standardized forms of
accountability, including obligations to inform, interpellations, parliamentary debates and
inquiries, that in the Netherlands have been laid down in the Constitution, the Parliamentary
Inquiry Act, the rules of procedure for the Houses and in unwritten constitutional rules.
Akuntabilitas parlemen ini terdiri dari sistem saling berhubungan, bentuk standar
akuntabilitas, termasuk kewajiban untuk menginformasikan, interpellations, debat parlemen
dan pertanyaan, bahwa di Belanda telah diletakkan dalam Konstitusi, Parlemen Inquiry UU,
aturan prosedur untuk Rumah dan dalam aturan konstitusional tidak tertulis.

Accountability maps will often consist of various layers. peta Akuntabilitas sering akan terdiri
dari berbagai lapisan. Public institutions, such as the European Commission for example, may
be subjected to various accountability regimes, such as a political regime to the European
Parliament and the Council, a legal accountability regime to the European Court, and an
administrative regime, comprising of accountabilities to OLAF, the European Ombudsman
and the European Court of Auditors. lembaga-lembaga umum, seperti Komisi Eropa
misalnya, dapat dikenakan berbagai rezim akuntabilitas, seperti rezim politik kepada
Parlemen Eropa dan Dewan, sebuah rezim pertanggungjawaban hukum ke Pengadilan Eropa,
dan rezim administrasi, yang terdiri dari akuntabilitas untuk Olaf, Ombudsman Eropa dan
Pengadilan Eropa Auditor. Each of these regimes may, in turn, consist of various formal
arrangements and informal practices and relations. Masing-masing rezim mungkin, pada
gilirannya, terdiri dari berbagai pengaturan formal dan praktek informal dan hubungan.

2 Types of accountability 2 Jenis-jenis akuntabilitas

Public accountability comes in many guises. akuntabilitas publik datang dalam banyak
samaran. Public institutions are frequently required to account for their conduct to various
forums in a variety of ways. lembaga publik sering diperlukan untuk memperhitungkan
mereka untuk melakukan berbagai forum dalam berbagai cara.

You might also like