You are on page 1of 4

Laporan Praktikum Hari/Tgl : Kamis/10 September 2009

Toksikologi Veteriner Waktu : 10.00 – 13.00 WIB

ABSORPSI

Disusun oleh :

Rachmat Ayu Dewi H B04062153


Corry Marchelinda B04062542
Ardhinta Irawan B04062641
Bakhtiar Hidayat H B04062864
Ken Tami Palupi B04062909
Rahmawati Dwi P B04062992
Mayang Sani B04063317

BAGIAN FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI


DEPARTEMEN ANATOMI FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009

PENDAHULUAN
Sifat dan efek zat kimia terhadap organism, tergantung pada dosis yang
diberikan, derajat absorbsi, distribusi, pengikatan dan ekskresi. Jalur utama absorbsi
toksikan dapat terjadi lewat kulit, saluran cerna, paru – paru. Namun ada juga jalur
khusus seperti injeksi intraperitonial, intramuscular, dan subcutan. Absorbsi toksikan
melalui saluran cerna dapat terjadi di seluruh saluran dan biasanya masuk bersama
makanan dan minuman. Namun secara umum, mulut dan rectum tidak begitu penting
untuk absorbsi zat kimia tersebut.
Lambung merupakan tempat penyerapan yang penting, terutama untuk asam
lemah yang berada dalam bentuk non ion yang larut lipid dan mudah berdifusi.
Sebaliknya basa lemah akan mengion dalam getah lambung yang bersifat asam karena
sifatnya yang tidak mudah diserap. Perbedaan hal absorbsi juga dipengaruhi oleh
adanya plasma yang beredar. Asam lemah dalam bentuk ion terlarut dalam plasma dan
dapat ditransport, namun basa lemah dalam bentuk ion akan berdifusi kembali ke dalam
lambung.
Usus juga merupakan tempat absorbsi yang ada dalam saluran cerna.
Didalamnya terdapat system transport carier untuk absorbs zat makanan dan unsur
lainnya. Asam lemah akan tetap berada dalam bentuk ion karena tidak mudah diserap
oleh usus, namun akan mengion setelah sampai dalam darah sehingga tidak mudah
berdifusi kembali. Basa lemah akan berada dalam bentuk non ion yang mudah diserap.
Ada beberapa toksikan yang dapat di absorbs oleh usus melalui transport aktif dan
pinositosis.

HASIL PENGAMATAN
kelompok konsentrasi konsentrasi Jumlah obat yang terabsorbsi ( t0- t1 x 100%)
obat awal obat akhir(t1) t1
(t0)
I 40 5 87,5%
III 25 5 80%
V 30 25 16,67%
VII 30 10 33,3%
Total 217,47%
Rata-rata 54,36%

Tabel 1.1 Percobaan absorbsi obat asam salisilat dalam HCL pada lambung tikus.

kelompok konsentrasi konsentrasi Jumlah obat yang terabsorbsi ( t0- t1 x 100%)


obat awal obat t1
(t0) akhir(t1)
II 30 5 83%
IV 40 5 87,5%
VI 15 5 66,67%
VIII 10 5 50%
Total 287,17%
Rata-rata 71,79%
Tabel 1.2 Percobaan absorbsi obat asam salisilat dalam NaHCO 3 pada lambung tikus.

PEMBAHASAN
Asam asetil salisilat (aspirin) yang dimasukkan ke dalam lambung tikus (dalam
suasana asam) akan diabsorbsi lebih baik. Hasil percobaan menunjukkan, konsentrasi
awal asam asetil salisilat yang diabsorbsi oleh lambung adalah sebesar 70 %. Setelah
ditunggu selama satu jam, konsentrasi asam asetil salisilat yang diperoleh dari lambung
tikus adalah tinggal 5 %. Hal ini menunjukkan bahwa dari keseluruhan asam asetil
salisilat yang dimasukkan ke dalam lambung tikus, 95% telah diabsorbsi oleh lambung.
Berdasarkan literatur, obat atau senyawa kimia yang bersifat asam akan berdisosiasi
dalam suasana basa menjadi bentuk ion dan anion dan sebaliknya, pH pelarut akan
menentukan kecepatan dan banyaknya obat yang diabsorbsi. Dalam percobaan kali ini,
asam asetil salisilat dimasukkan dalam suasana asam.
Asam asetil salisilat diabsorbsi dengan mekanisme difusi pasif dalam bentuk
molekul tak terionkan melewati membran gastrointestinal dan dipengaruhi oleh pH
larutan. Jika pH meningkat, asam asetil salisilat lebih banyak terionisasikan dan
kecepatan absorbsi cenderung turun. Karena pH larutan rendah, maka pada pemberian
oral asam asetil salisilat dengan cepat diabsorbsi di lambung. Meskipun demikian,
absorbsi di usus halus lebih besar daripada di lambung. Berdasarkan hasil percobaan,
persentase obat (asam asetil salisilat) yang diabsorbsi oleh lambung adalah 83 %. Nilai
ini cukup besar yang artinya efektifitas absorbsi dalam lambung kurang baik. Rentangan
nilai yang optimum adalah 60-70 %.
Asam salisilat dapat ditemukan pada banyak tanaman dalam bentuk metal
salisilat dan dapat disintesa dari fenol. Asam salisilat memiliki sifat-sifat: berasa manis,
membentuk kristal berwarna putih, sedikit larut dalam air, meleleh pada 158,5°C –
161°C. Asam salisilat biasanya digunakan untuk memproduksi ester dan garam yang
cukup penting.
Untuk mengetahui kemurnian asam salisilat, dapat dilakukan uji dengan
menggunakan besi(III) klorida (FeCl3). Besi(III) klorida bereaksi dengan gugus fenol
membentuk kompleks ungu. Asam salisilat akan berubah menjadi ungu jika FeCl 3
ditambahkan, karena asam salisilat mempunyai gugus fenol. Pengujian konsentrasi awal
(Ct0) dengan konsentrasi akhir (Ct1) menunjukkan derajat kepekatan warna yang
menurun ketika dibandingkan dengan standar. Hal ini berarti konsentrasi awal lebih
tinggi dari konsentrasi akhir yang mengindikasikan pula akan adanya mekanisme
absorbsi.
Asam salisilat cepat diabsorbsi dari lambung dan usus halus bagian atas, serta
kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam. Suasana asam di dalam
lambung menyebabkan sebagian besar dari salisilat terdapat dalam bentuk non ionisasi,
sehingga memudahkan absorpsi. Hal ini sesuai dengan data hasil percobaan yaitu
senyawa asam salisilat yang dilarutkan dalam HCl 0,1 N menunjukkan hasil rata-rata
persen absorbsi yang lebih tinggi dari senyawa asam salisilat yang dilarutkan dalam
suasana basa. Hasil itu menunjukkan bahwa pelarut terbaik untuk asam salisilat agar
mudah diabsorbsi adalah dengan pelarut yang bersifat asam. Namun, bila salisilat dalam
konsentrasi tinggi memasuki sel mukosa, maka obat tersebut dapat merusak barier
mukosa. Jika pH lambung ditingkatkan oleh buffer yang cocok sampai pH 3,5 atau lebih,
maka iritasi terhadap lambung berkurang.

Berdasarkan hasil percobaan, laju rata – rata absorpsi asam salisilat dalam
NaHCO3 sebesar 54,36%. Hal ini disebabkan oleh sifat dari asam salisilat adalah asam,
sehingga bila diberikan zat kimia yang bersifat basa maka proses penyatuan larutan yang
terjadi membutuhkan waktu lebih lama. Selain itu larutan tersebut tidak mudah larut
lemak sehingga lebih susah di absorpsi. Konsentrasi obat pada waktu awal rata – rata
adalah 31,25% namun setelah satu jam nilai rataan konsentrasi obatnya menjadi 13,725.
Hal itu karena pengaruuh pH tinggi sehingga transportasi aktif cenderung lebih susah
mengalami absorpsi. Hal tersebut dapat bertolak belakang bila larutan pada pH pelarut
yang berlainan sehingga akan mudah berdisosiasi.

KESIMPULAN

Rata-rata asam salisilat dalam HCl yang diabsorpsi oleh lambung tikus yaitu
sebanyak 71,79%. Asam salisilat yang berada dalam NaHCO3 diabsorpsi oleh labung tikus
sebanyak 54,36%. Asam asetil salisilat akan diabsorbsi dengan baik di dalam lambung
yang disertai dengan pH larutan yang rendah.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Asam Salisilat. http://www.wikipedia/asamsalisilat.htm. [13 September


2009].
Scott, T. S. 1962. Carcinogenic and Chronic Toxic Hazards of Aromatic Amine.
Amsterdam: Elsevier.
Syarif A, et al. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru.

You might also like