You are on page 1of 3

Analisis Kritis Terhadap Konsep Pendidikan Al Jarnuzi

Oleh : Indhra Musthofa Mahasiswa UIN Maliki Malang Semester IV


Maret 2010

Pada tanggal 17 Maret 2010, saya sedang kuliah teori belajar dan pembelajaran, yang pada waktu
itu adalah membahas tentang teori belajar menurut tokoh Islam “Al Jarnuzi” beliau adalah pengarang
kitab ta’lim muta’alim, pada saat diskusi ternyata banyak teman-temand yang merespon tentang kitab
ta’lim muta’alim itu sendiri, yang kalau boleh saya simpulkan pokok permasalahannya mengarah pada
satu pertanyaan, yakni terkait relevansi kitab ta’lim muta’alim terhadap zaman sekarang. Dan poin
pembahasannya adalah sebagai berikut :

1) Pengertian Ilmu dan Keutamaannya


2) Niat di kala belajar
3) Memilih ilmu, guru dan teman serta ketahanan dalam belajar
4) Menghormati ilmu dan ulama
5) Ketekunan, kontiunitas dan cita-cita luhur
6) Permulaan dan intensitas belajar serta tata tertibnya
7) Tawakal kepada Allah
8) Masa belajar
9) Kasih sayang dan memberi nasehat
10) Mengambil pelajaran
11) Wara (menjaga diri dari yang haram dan syubhat) pada masa belajar
12) Penyebab hafal dan lupa, dan
13) Masalah rezeki dan umur.

Dari ke 13 poin diatas setidaknya saya hanya menangkap sedikit, yakni yang ditanyakan teman-
teman adalah terkait relevansi rasa hormat terhadap guru, apakah itu relevan kalau diterapkan pada masa
sekarang karena di kitab itu termaktub bahwa ketika murid tidak hormat pada guru, maka ia tidak akan
pernah mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Dalam kitab ta’lim muta’alim itu disebutkan bahwa harus
ada ta’dzim murid terhadap guru yang termasuk point ke empat dari pembahasan diatas, artinya bila ini
diterapkan pada konteks saat ini, berarti harus ada pembatas antara murid dan guru karena ta’dzim itu
berupa akhlaq yang mana tidak diperbolehkan seorang murid melakukan hal-hal yang tidak disukai oleh
gurunya tersebut, dan dalam kitab ini pula terdapat pernyataan bahwa seorang murid tidak akan
memperoleh ilmu yang bermanfaat kecuali ia bertindak hormat terhadap gurunya. Menurut pengamatan
saya, terkait hormat terhadap guru pada saat ini kitab ini masih relevan, akan tetapi mengingat seiring
berkembangnya budaya yang bercampur pada budaya barat, maka makna menghormati itu berubah yang
dulunya klasik menjadi modern, yang dulunya ketika siswa bertemu guru itu tunduk, andap ashor, dan
ketika dalam pembelajaran siswa hanya menerima pelajaran tanpa bertanya kecuali ditawarkan
pertanyaan yang kesemua itu berubah menjadi ketika siswa bertemu guru itu salang menyapa, kemudian
dihampiri dan terjadilah percakapan antara guru dan murid layaknya teman dekat dan dalam pembelajaran
siswapun bertanya ketika tidak mengerti tanpa ada penawaran dari guru. Hal itu semua menurut konteks
pemahaman saya masih dalam batas menghormati. Jadi tergantung kita memaknai konteks memaknai
pada masa sekarang
Poin kedua adalah terkait pembagian ilmu dan hukum mempelajarinya yang ditulis oleh al jarnuzi
dalam kitab tersebut. Dalam kitabnya ini, Zarnuji membagi ilmu pengetahuan kepada empat kategori.
Pertama, ilmu fardhu `ain, yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim secara individual. Adapun
kewajiban menuntut ilmu yang pertama kali harus dilaksanakan adalah mempelajari ilmu tauhid, yaitu
ilmu yang menerangkan keesaan Allah beserta sifat-sifat-Nya. Baru kemudian mempelajari ilmu-ilmu
lainnya, seperti fiqih, shalat, zakat, haji dan lain sebagainya yang kesemuannya berkaitan dengan tatacara
beribadah kepada Allah. Kedua, ilmu fardhu kifayah, ilmu yang kebutuhannya hanya dalam saatsaat
tertentu saja seperti ilmu shalat jenazah. Dengan demikian, seandainya ada sebagian penduduk kampung
telah melaksanakan fardhu kifayah tersebut, maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya. Tetapi,
bilamana seluruh penduduk kampung tersebut tidak melaksanakannya, maka seluruh penduduk kampung
itu menanggung dosa. Dengan kata lain, ilmu fardhu kifayah adalah ilmu di mana setiap umat Islam
sebagai suatu komunitas diharuskan menguasainya, seperti ilmu pengobatan, ilmu astronomi, dan lain
sebagainya. Ketiga, ilmu haram, yaitu ilmu yang haram untuk dipelajari seperti ilmu nujum (ilmu
perbintangan yang biasanya digunakan untuk meramal). Sebab, hal itu sesungguhnya tiada bermamfaat
dan justru membawa marabahaya, karena lari dari kenyataan takdir Allah tidak akan mungkin terjadi.
Keempat, lmu jawaz, yaitu ilmu yang hukum mempelajarinya boleh karena bermamfaat bagi manusia.
Misalnya ilmu kedokteran, yang dengan mempelajarinya akan diketahui sebab dari segala sebab (sumber
penyakit). Hal ini diperbolehkan karena Rasullah Saw. juga memperbolehkan. (lebih jelas lihat di
http://fajar-cerah.blogspot.com/)
Adalah sesuatu yang berlebihan bila kita mengikuti anjuran Syeikh Zarnuji untuk hanya
mempelajari ilmu yang ditinggalkan oleh Nabi Saw, para sahabat, tabiin, serta tabi' tabi’in dengan
menafikan cabang-cabang ilmu keagamaan yang datang setelahnya, seakan kita tidak mengakui adanya
proses sayrurah (Perputaran) alam yang telah menjadi sunnatullah dimana jika kita tidak ikut berjalan
maka kita akan ditinggalkan. Dari sini bisa dilihat cara berpikir Syeikh Zarnuji dengan keyakinannya
bahwa masa-masa terbaik adalah pada dekade awal Islam, padahal kalau kita coba benar pahami
perjalanan Islam selama ini justru akan kita temukan berbagai macam perbaikan yang mengacu pada
ilmu-ilmu yang datang setelahnya, dengan tidak menafikan kerusakan yang diakibatkan.
Anjuran Syeikh Zarnuji diatas justru bertentangan dengan hadits Nabi Saw, yang dia kutip di halaman
berikutnya : “Hikmah adalah perbendaharaan yang hilang dari orang beriman, dimanapun kalian
temukan, ambillah”
Adapun kehawatiran Syeikh Zarnuji tentang menjauhnya umat dari agama, dan banyaknya
pertentangan dalam pemahaman terhadapnya adalah suatu kehawatiran yang kurang berdasar. Karena
dengannya Islam menjadi lebih berwarna, hingga umat mampu memilah mana yang terbaik dan sesuai
bagi mereka, sesuai dengan hukum universalitas Islam. Islam benar-benar menjadi rahmah lil âlamîn.
(lebih jelas lihat di http://fajar-cerah.blogspot.com/) seiring dengan berkembangnya zaman dan kemajuan
teknologi, maka ilmu-ilmu pun ikut berkembang sehingga kita sebagai umat yang mempunyai peradaban
tinggi dibandingkan umat lain juga tidak boleh ketinggalan akan ilmu-ilmu baru yang terbentuk. Maka
kita pun harus ikut serta mempelajarinya untuk menghadapi tantangan zaman yang semaikn berkembang.
Setidaknya, analisis kedua masalah itu bisa mewakili sekelumit kritikan yang ada pada kitab
ta’lim muta’alim. Dan bisa kita simpulkan bahwa, dalam kitab tersebut ada hal-hal yang relevan dengan
zaman sekarang, ada pula yang harus diperbaiki. Sehingga, kita sebagai generasi intelektual setidaknya
kita tidak memaknai kitab itu secara tekkstual saja, akan tetapi pemaknaan lain juga perlu kita lakukan,
karena pengarang kitab itu saya rasa juga menyesuaikan dengan zamannya. Wallahu ‘a’alm bisshowaab..

You might also like