You are on page 1of 12

Minggu, 15 Oktober 2006

Ziauddin Sardar
Menghargai Ketidaktahuan

Aku menulis, maka aku ada. Bagi Ziauddin Sardar, menulis seperti halnya menghirup
udara, makan, atau tidur: sebuah prasyarat untuk bertahan hidup. ''Aku akan mati jika tak
menulis,'' kata pemikir Islam paling terkemuka di Inggris itu, kepada Republika, di
Jakarta, Kamis (5/10) pekan lalu.

Empat puluh buku telah dilahirkan Zia --panggilan Sardar-- dalam rentang 30 tahun. Ia
menulis Aliens R Us: Post Colonial Science Fiction pada 2002. Pada 2004 ia juga
menulis kajian politik Why Do People Hate Amerika? (best seller), dan Desperately
Seeking Paradise. Sebelumnya Sardar melahirkan The Futures of Muslim Civilization
(1979), yang menahbiskannya sebagai futuris peradaban Islam.

Jelas, Sardar tak memaku karya-karyanya pada isu-isu keagamaan, tapi juga politik, studi
kebudayaan, bahkan sains dan teknologi. Mengapa? Untuk menyingkap realitas, kata
Sardar, perlu beragam pendekatan. Untuk menjawab satu pertanyaan, dibutuhkan satu
metodologi khusus. Maka, jadilah Sardar seorang polymath: manusia multibidang.

Sardar berkaca pada sosok Al-Biruni, cendekiawan muslim Abad Pertengahan, yang juga
seorang polymath. ''He is my hero,'' kata Sardar. Al-Biruni meretas batas-batas disiplin
ilmu. Ia menulis teks astronomi Abad Pertengahan --kanon Al-Masudi-- sekaligus belajar
yoga. Ia menulis sejarah mamoth dunia (Kronologi Bangsa Kuno), namun aktif dalam
kegiatan filsafat dan debat teologi di zamannya. Al-Biruni juga berkunjung ke berbagai
tempat di dunia dengan beragam budaya.

Sardar menyerap inspirasi dari Al-Biruni untuk menjadikan dirinya seperti saat ini. Sardar
sekarang adalah guru besar pada Postcolonial Studies, City University, London, meski
gelar sarjananya diperoleh dari jurusan teknologi informasi. Sardar juga kondang sebagai
penyiar yang wajahnya kerap muncul di televisi Inggris, jurnalis, sekaligus kolumnis di
Observer dan New Statesman. Ia kritikus budaya, futuris, sekaligus pemikir Islam
kontemporer yang disegani. Seperti Al-Biruni, Sardar pernah tinggal dan berkunjung ke
beragam wilayah.

Menetap di Arab Saudi (1975-1980), menyaksikan dinamika umat Islam di Irak, Turki,
Pakistan, Cina, menyaksikan Revolusi Islam di Iran. Ia sengaja belajar mistik Islam (sufi)
sekaligus sempat kecewa dengannya. Sardar juga teman diskusi mantan wakil perdana
menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, dan pemikir Islam liberal di sana. Pertarungan sejati
Sardar adalah: bagaimana mewujudkan revivalisme Islam di zaman modern ini.
Bagaimana Islam dapat cocok di abad ke-21 dan kembali meraih peradaban adiluhung
yang sempat lepas.

Jika ditelusuri, kegelisahan Sardar adalah bermula dari bakatnya untuk selalu kritis
terhadap sesuatu. ''Saya termasuk yang percaya pada pertanyaan. Bertanya, bagi saya
adalah fundamental. Anda lihat buku-buku saya penuh dengan pertanyaan. Why do
people hate America, misalnya,'' terang Sardar.

Sekali lagi, ia terinspirasi Al-Biruni. Dalam kacamata Al-Biruni, setiap Muslim memiliki
hak untuk mengajukan pertanyaan, bahkan harus melakukannya. Pertanyaan itu
mencakup wilayah apa saja, termasuk soal Tuhan dan kepercayaan. Sardar banyak
menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. ''Kemudian saya harus
menuliskannya,'' terang dia. Karena itulah menulis adalah sebuah konsekuensi, sekaligus
kebutuhan, dari pengembaraan intelektual Sardar.

Tulisan (buku) itu sendiri, menurut Sardar, adalah pilar fundamental bagi suatu
masyarakat. Masyarakat akan mati tanpa tulisan (buku). ''Bukankah penulis adalah
seseorang yang merefleksikan dan membangun kesadaran kolektif tentang masa depan
masyarakatnya? Bagaimana seandainya masyarakat tidak tahu masa depan mereka
sendiri,'' tanya dia.
Dan penulis, kata Sardar, harus memulai sesuatunya dari pertanyaan atau bersikap kritis.
Itu pulalah yang dilakukan Nabi Muhammad saat menerima wahyu pertama 'Iqra'
(bacalah). Nabi berusaha menggugatnya, ''Aku tak bisa membaca.''

Bagi Sardar, ini adalah pesan yang kuat. Mengapa dalam wahyu pertama, Tuhan
menyuruh Nabi untuk 'membaca', alih-alih mewajibkan shalat, puasa, atau zakat. Dalam
wahyu pertama pula, Tuhan menyebut soal kegiatan 'menulis'. Yakni pada ayat yang
menyebutkan bahwa Tuhan mengajar manusia lewat perantaraan kalam. Karena itulah,
terang Sardar, bertanya, mencari jawaban, dan menulis, adalah aspek amat fundamental
dalam Islam.

Peran ibu
Lahir di Pakistan pada 1951, hijrah ke Hackney, Inggris di usia sembilan tahun, Sardar
belajar Alquran di pangkuan ibunya. Di Pakistan, anak-anak bersekolah di madrasah. Di
Inggris, budaya sekular amat kental. Sang ibu khawatir Sardar tercerabut dari tradisi
keislamannya. Berbekal buku Elementary of Teaching Islam sang ibu menjadi guru
madrasah bagi Sardar kecil. Sekaligus inspiratornya.

Ada tiga jenis jawaban yang diberikan ibunya atas pertanyaan-pertanyaan Sardar, yakni:
'Ya', 'Tidak', dan 'Tidak Tahu'. Sang ibu tak malu untuk bilang tidak tahu. Dari situ Sardar
kecil diajarkan sikap untuk mengakui ketidaktahuan. Tidak tahu bukan aib, tetapi langkah
awal untuk bersama-sama mencari tahu.

Pengetahuan itu sendiri, kata Sardar, adalah kekuatan sekaligus kekuasaan --knowledge is
power. Kekuasaan, kata dia, tidak terletak pada gagang senjata. Yang memungkinkan
senjata tercipta adalah pengetahuan (buku). Inilah yang membuat Barat menjadi kekuatan
dominan. ''Mereka paham bahwa power sesungguhnya terletak pada pengetahuan,'' kata
Sardar.

Minggu, 17 September 2006


RESENSI
Perjalanan Spiritual-Intelektual Sardar

Meskipun banyak memotret kegiatan tabligh Ziauddin Sardar, buku ini sebenarnya
adalah perjalanan spiritual-intelektual Sardar dan perkembangan pemikiran Islam
kontemporer di Eropa. Sardar memang dikenal sebagai pemikir Islam mutrakhir. Tapi, ia
juga seorang broadcaster, pakar teknologi dan informasi, jurnalis, dan penulis produktif.
Saat ini ia mengajar di City University, London.

Lahir pada 1951 di Dipalpur, Pakistan Utara, sejak kecil Sardar berimigrasi ke London
bersama keluarganya. Sebagai cendekiawan ia telah menulis lebih dari 40 judul buku.
Salah satu bukunya yang ditulis bersama Merryl Wyn Davies, Why Do People Hate
America, mencatat bestseller internasional. Ia juga kontributor berkala New Statesman.

Dalam buku Desperately Seeking Paradise -- juga mencatat best seller -- Sardar
menggambarkan kehidupan umat Islam di Inggris, yang kini mencapai lebih dari satu juta
jiwa. Suatu jumlah yang terus meningkat, sekalipun akhir-akhir ini mereka sering
mendapat tekanan politik sebagai dampak dari isu terorisme global.

Dengan menarik Sardar menceritakan kegiatan jamaah tabligh yang datang dari Karachi
untuk melakukan tabligh di Inggris. Salah satu anggota jamaah itu adalah Mashud Sahib,
yang rela meninggalkan usaha rempah-rempahnya di Pakistan dan istri serta delapan
anaknya, untuk berkeliling Eropa mengajak orang-orang datang ke masjid. Dengan gigih
para anggota jamaah itu berkelana selama dua tahun di jalan-jalan Eropa. Sambil
membunyikan lonceng mereka mengajak siapa saja untuk ikut dalam perdebatan Socrates
guna mengenalkan pandangan dan dunia mereka.

Saat Sardar memulai petualangannya bersama para pengikut tabligh, FOSIS (Federawsi
Mahasiswa di Inggris dan Irlandia) telah menjadi bagian hidupnya selama beberapa
tahun. Pelajar Muslim di Inggris adalah wajah kecil dunia Islam yang tak hanya
menyebar secara etnis dan geografis, tetapi juga tradisi, modernitas, beserta
perkembangan dan bentuknya.

Sardar mencatat ada dua katagori anggota di dalamnya: pelajar yang melanjutkan jenjang
pendidikan di Inggris, dan hippies Amerika yang setelah melakukan pencarian panjang
kemudian memeluk Islam dan menjadi sufi. Aku, kata Sardar, adalah tetes pertama dari
gelombang ketiga. Lahir dari orangtua imigran yang dibesarkan serta belajar di Inggris
dan mencapai pendidikan tinggi.

Sardar juga mencatat kedatangan ulama terkemuka Pakistan, Sayyid Abulala Maududi,
seorang pembaharu politik Islam yang mendambakan berdirinya negara Islam. Mawdudi,
yang juga jurnalis, telah merenungkan keadaan umat Muslim selama beberapa dekade
sebelum menyimpulkan bahwa tak akan ada parpol kaum Muslimin yang berhasil tanpa
bersandar pada standar tinggi etika dan moralitas Islam, yaitu parpol yang mendesak
kaum Muslim untuk menerima dan mengamalkan Islam tanpa kecuali.

Ketika diwawancarai oleh The Muslim, Maududi berpendapat bahwa mendirikan negara
Islam melalui perjuangan bersenjata bukanlah jalan yang tepat. ''Bahkan jika Anda
mendirikan negara Islam melalui revolusi bersenjata, negara itu tidak akan berjalan sesuai
dengan Islam.'' (hlm 36).

Sardar, yang banyak terlibat dalam berbagai pemikiran dan organisasi Islam, tidak dapat
menerima saat The Muslim mempublikasikan kesepakatan ulama Pakistan, sebuah fatwa
bahwa sosialisme itu kufur, kafir, atau musuh, dan apapun yang menyebabkan sesorang
menjadi sosialis adalah haram, dilarang keras. Dia mengecam pendapat itu. ''Saya banyak
berkawan dengan orang yang berpandangan sosialis. Karena, saya tidak dapat melihat
secara hitam putih,'' tulisnya.

Kemudian Sardar berpaling pada pandangan-pandangan sufi dengan megangkat tokoh-


tokoh mereka, seperti Gazali, Syekh Abdul Kadir Jaelani dan Al Hallaj. Ia juga
mengisahkan Syekh Nadzim Adil Haqqani, seorang sufi yang datang ke Inggris tahun
1970-an, dan dalam setahun banyak mengumpulkan pengikut Muslim Inggris serta
mendirikan kantor pusat di London Utara.

Sardar juga mengomentari novel Ayat-ayat Setan (The Satanic Verses) karya Salman
Rusdie dan mengecamnya. ''Saat membalik halaman novel, aku mulai merasakan
kemarahanku makin meninggi. Aku merasa seakan Rushdie merenggut apa yang kupeluk
dengan kasih sayang. Suatu penghinaan terhadap Allah dan Nabi Muhammad saw,''
tulisnya.

Cendekiawan ternama ini juga kerap mengunjungi Malaysia. Di Kuala Lumpur dia
bersahabat dengan Anwar Ibrahim dan mengagumi pemikiran-pemikirannya. Di kota itu
dia juga beberapa kali bertemu cendekiawan Malaysia, Prof Dr Sayyid Naquib Alatas,
salah seorang guru Anwar.

Banyak komentar yang diberikan dunia Barat terhadap buku Sardar ini. Tentang buku itu,
harian berpengaruh Inggris, Financial Times, menulis bahwa buku ini tidak hanya
bertindak sebagai sebuah tuntutan bagi kaum Muslimin namun juga memberikan
wawasan dan klarifikasi bagi mereka yang berada di luar agama Islam.

Nama Buku: Desperately Seeking Paradise


Penbgaran: Ziauddin Sardar
Penerbit: Diwan Publishing, Jakarta
Cetakan: Pertama, Juni 2006
Tebal: 485 halaman

(alwi shahab )

Pendidikan Islam
Prof Sardar: Jangan Bicara Masa Lalu
Surabaya, 28 Juli 2004 17:28
Guru besar tamu The City University London, Inggris, Prof Ziauddin Sardar mengatakan,
pendidikan Islam jangan berbicara masa lalu, tapi bicara tentang globalisasi dan
merespon masa depan.

"Pendidikan Islam telah gagal karena tidak kritis terhadap globalisasi dan masa depan
Islam sendiri," katanya saat berbicara dalam seminar "Dampak Globalisasi dan Tantangan
Bagi Pendidikan Islam" di IAIN Sunan Ampel Surabaya, Rabu.

Pemikir Islam itu menjelaskan pendidikan tradisional Islam selama ini hanya bicara
tentang keimanan, tafsir, sejarah, dan hal-hal klasik lainnya, sehingga pendidikan Islam
tak menjawab persoalan global yang ada dan membuat Islam menjadi "konsumen"
globalisasi.

"Di era global, Islam jangan hanya dipahami secara klasik, melainkan Islam harus
dipahami sebagai etika yang dinamis, misalnya jika kita makan tomat di mal yang
ternyata tomat produk Amerika, bagaimana hal itu dipahami secara etik?" katanya.

Oleh karena itu, kata penulis 41 buku itu, pendidikan agama Islam harus membekali
mahasiswa dengan konsep untuk melihat globalisasi sebagai realitas, kemudian realitas
itu dianalisa sesuai konsep Islam untuk melahirkan budaya baru.

"Budaya baru yang didukung konsep analitis itu bukan sekedar respon terhadap
globalisasi tapi merupakan jawaban yang menerima apa yang positif dari globalisasi tapi
tetap didukung konsep Islam," katanya.

Menanggapi hal itu, guru besar IAIN Sunan Ampel Surabaya Prof Dr Syafiq A Mughni
selaku pembanding menyatakan, ada tiga pola hubungan Islam dan globalisasi, yakni
kelompok yang menolak globalisasi secara radikal seperti Hizbut Tahrir.

"Tapi, ada juga kelompok yang selektif terhadap globalisasi dan ada kelompok yang
responsif terhadap globalisasi dengan melakukan kompromi secara perlahan-lahan," kata
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Jawa Timur itu.

Menurut dia, kelompok terakhir antara lain terlihat dengan munculnya konsep
matematika Islam, ekonomi Islam, dan "Islamisasi" konsep lainnya.

Senada dengan itu, Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya Prof Dr Ridlwan Nasir, MA
ketika dikonfirmasi seusai seminar menyatakan tidak semua dosen pendidikan Islam yang
bersikap tekstual, karena sudah banyak dosen pendidikan Islam yang mengajar secara
kontekstual.

"Prof Ziauddin Sardar terlalu menggeneralisir, sebab sekarang sudah banyak dosen
pendidikan Islam yang menguasai metodologi, bukan hanya menguasai Islam secara
tekstual. Di IAIN Surabaya sudah ada 40 doktor dan tujuh guru besar yang semuanya
mengajar secara kontekstual," katanya.

Prof Ziauddin Sardar mengunjungi berbagai komunitas muslim di Surabaya selama dua
hari yakni 27-28 Juli yang berdiskusi dengan komunitas NU Jatim (27/7) dan IAIN
Sunan Ampel Surabaya (28/7). Sebelumnya, kunjungan Sardar yang diprakarsai "British
Council" mendatangi kantor pusat Pemuda Muhammadiyah di Jakarta (26 Juli) dan
diakhiri di Medan (29 Juli). [Tma, Ant]

Sardar: Imperialisme Tak Dapat Dibalas Terorisme

Surabaya, 27 Juli 2004 17:42


Guru besar tamu Universitas London Prof Ziauddin Sardar berpendapat imperialisme
budaya Barat tak dapat dilawan dengan terorisme, karena Nabi Muhammad SAW tak
pernah mengajarkan balas dendam terhadap orang kafir sekalipun.
"Terorisme justru memperlemah citra Islam, dan bahkan masa depan Islam terancam,
sebab tragedi WTC 11 September 2001 terbukti membuat Islam menjadi tertuduh. Selain
itu, tragedi WTC itu membuat Afghanistan dan Irak pun hancur," katanya di Surabaya,
Selasa.

Seusai berbicara dalam seminar "Memikirkan Kembali Pemikiran Islam: Perspektif


Seorang Pengembara Inggris" di Surabaya, pemikir Islam itu menjelaskan Islam sangat
menentang terorisme.

"Teror itu membunuh orang yang tak berdosa dan Islam menilai siapa yang membunuh
orang tak berdosa berarti dia membunuh orang se- dunia, apalagi dalam tragedi WTC
2001 itu ada separuh dari 3.000 korban merupakan umat Islam," katanya.

Menurut dia, terorisme seperti bom Bali muncul sebagai ekspresi kemarahan atas
imperialisme kebudayaan Barat yang menyebabkan perilaku tak bermoral di Bali sebagai
warisan budaya Amerika dan Australia di Pulau Dewata itu.

Namun, katanya, ada cara yang dapat digunakan melawan imperialisme Barat tanpa
terorisme yakni menampilkan kebijaksanaan Islam dalam menyikapi persoalan,
menerapkan strategi berinteraksi dengan dunia modern tanpa kehilangan identitas ke-
Islaman, dan meningkatkan kompetensi keilmuan umat Islam di berbagai bidang.

"Semasa zaman Nabi Muhammad SAW, ada banyak orang yang meninggal dunia,
diantaranya Abu Jahal, tapi tidak ada yang meninggal dunia akibat teror. Ketika Nabi
menguasai Mekkah pun tak melakukan pembalasan terhadap orang kafir yang semasa
berkuasa banyak menyakiti umat Islam," katanya.

Ia menyatakan terorisme merupakan produk global yang tak ada kaitan kepemimpinan
dari satu negara ke negara lain, namun terorisme lebih merupakan jaringan, sehingga
pembunuhan terhadap tokoh sekelas Osama bin Laden tidak akan mengakhiri terorisme
global.

"Terorisme itu ibarat nyamuk. Dia (terorisme) tak dapat dihilangkan dengan membunuh
1-2 ekor nyamuk, melainkan dengan membersihkan kubangan, selokan atau sungai yang
menjadi sarang nyamuk tersebut," katanya.

Selain imperialisme budaya Barat, katanya, terorisme juga dapat dipicu dari internal
Islam sendiri yakni pemutlakan kebenaran terhadap Islam, padahal Islam tidak mengenal
pemutlakan seperti mati syahid pasti masuk surga, sebab pemutlakan dalam Islam adalah
urusan Allah SWT.

Prof Ziauddin Sardar mengunjungi berbagai komunitas muslim di Surabaya selama dua
hari yakni 27-28 Juli. Sebelumnya, kunjungan Sardar yang diprakarsai British Council
adalah ke kantor pusat Pemuda Muhammadiyah di Jakarta pada 26 Juli dan diakhiri di
Medan pada 29 Juli mendatang. [Tma, Ant]

Ziauddin Sardar
Kembali Ke Masa Depan
17/06/2006

MENJEMPUT PERADABAN DI MASA DEPAN

Penerbit : Cetakan : 1, Februari 2005


Tebal : 294 halaman

Peresensi : Jamal Ma’mur Asmani*


Ditengah kehidupan multikompleks sekarang ini, umat Islam masih berada dalam dilema
eksistensial. Di satu sisi, mereka masih disibukkan dengan beragam konflik internal yang
menjerumuskan mereka pada keterbelakangan pada semua lini kehidupan. Di sisi lain,
mereka memimpikan kembali jaman ideal sebagaimana yang telah dirasakan para
pendahulunya ketika memimpin peradaban dunia. Dilema eksistensial ini telah membawa
umat Islam dalam ketidakjelasan prospeknya di masa depan, dimana mereka hanya
disibukkan dengan beragam problem internal, sementara tantangan kehidupan yang
substantif [menuju masa depan] tidak terpikirkan. Akhirnya, umat Islam dewasa ini
terpuruk dalam semua lini kehidupan, baik ekonomi, politik, budaya, dan yang sangat
krusial, krisis transformasi pemikiran, sehingga dalam pergumulan tantangan global
mereka berada dalam eksistensi yang diskriminatif, sub-ordinatif, dan inferior. Dalam
konteks ini, bayang-bayang jaman keeamasan hanyalah fatamorgana yang tak kunjung
terealisasikan, karena untuk merealisasikannya ditutupi oleh absurdnya dilema
eksistensial.

Krisis eksistensial inilah yang ingin dibangun kembali Ziauddin Sardar melalui bukunya
"Kembali Ke Masa Depan". Kebutuhan mendesak umat Islam pada jaman modern, bagi
Sardar, adalah melakukan ijtihad dan me-rethinking Islam untuk menyegarkan kembali
rumusan-rumusan konseptual ulama' klasik ditengah kompleksitas problem kekinian.
Dalam upaya me-rethinking Islam ini, umat Islam berada dalam krisis paradigmatik-
epistimologik. Paradigma-epistemologik yang terbangun dalam dunia Islam selama
banyak 'menyingkirkan' tradisi keilmuannya sendiri, hanya karena ekspansifnya tradisi
modern yang terhembus dari Barat. Dalam hal pemikiran misalnya, umat Islam tidak
mampu menggali watak kritiisme yang telah dirumuskan para pemikir Muslim terdahulu.
Justru mereka banyak mengagungkan konsepsi dan epistemologi dari luar Islam. Mereka
banyak mengagungkan konsep Marxisme, liberalisme, strukturalisme, dekontruksisme,
sementara berfikir kritisnya Ibnu Rusd, Imam Al-Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Khuldun,
hanya dijadikan sebagai pelengkap saja. Dalam hal politik, umat Islam hanya disibukkan
dengan perbedaan mendirikan khilafah islamiyah, padahal hal prinsipil berpolitik [yani
menuju kemaslahatan manusia] diabaikan begitu saja. Kalau kita cermati, perbedaan
mendirikan khilafah islamiyah selama ini hanya dijadikan alat legitimasi dalam
merengkuh kekuasaan.

Dalam membangun paradigma epistimologi ini, bagi Sardar, harus kembali kepada
autetisitasnya. Dengan konsep autentisitas, yakni dengan memahami sumber Islam yang
utama [Al-Quran dan Sunnah] secara mendalam dan kreatif serta mendialogkannya
dengan dunia kontemporer, umat Islam mampu bangkit dan meretas kembali jalan masa
depan yang lebih menjanjikan. Autentisitas yang dimaksud disini, sebagaimana yang
dikatakan Arkoun, bukanlah sebentuk negativisation atau penolakan negatif terhadap
konsep-konsep asing dari luar tradisi Islam. Autentisitas justru menyuarakan keterbukaan
umat Islam dan kepekaannya untuk berdialog dengan entitas-entitas lain yang berbeda,
tetapi dengan tetap berangkat dari nilai-nilai Islam yang substantif. Menjadi autentik
berarti mengambil inisiatif dan secara aktif melibatkan diri dalam perubahan dengan
bertolak dari nilai-nilai dan kesadaran yang dihayati bersama [hal.9].

Dalam memantapkan autentisitas, bagi Sardar, konsep Ijtihad dalam Islam merupakan
konsep yang sangat urgen untuk di interpretasikan ulang. Ijtihad merupakan pengerahan
segala daya upaya untuk memecahkan persoalan syariat semaksimal mungkin. Ungkapan
"segala daya upaya" dalam interpretasi Sardar, mencakup penalaran secara kompleks.
Kompleksitas Ijtihad inilah sebenarnya yang menjadi watak autentik progresif Islam.
Maka, pemaknaan Ijtihad secara progresif di masa depan, merupakan keniscayaan bagi
umat Islam. Terlebih lagi dalam meru

« Kembali ke arsip Buku

Bush, Negara Pelestina, dan Mimpi Buruk


Dunia
Minggu, 14 November 2004
Selain Yahudi, kelompok penting di balik Bush adalah neo-konservatif yang
'berbahaya'. Merekalah yang mempengaruhi kebijakan luar negeri AS di dunia Islam.
Baca CAP Adian Husaini, MA ke 77 Belum lama ini cendekiawan terkenal Inggris
Ziauddin Sardar dan seorang wartawati dan seorang antropologist bernama Merryl Wyn
Davies menerbitkan buku berjudul American Dream, Global Nightmare (2004), (Mimpi
Amerika, Mimpi Buruk Dunia). Buku ini merupakan kelanjutan dari buku terkenal
mereka: “Why Do People Hate America?” (Mengapa Orang Benci Amerika?). Dalam
buku ini mereka mengungkapkan AS begitu dibenci oleh banyak manusia, karena invasi
dan infeksi berbagai produk dan budayanya ke berbagai budaya asli dari jutaan penduduk
dunia. AS adalah ‘hyperpower’ pertama di dunia yang menjalankan politik luar negerinya
dengan ditopang kekuatan militer yang belum pernah ada tandingannya dalam sejarah
dunia. AS pun mengekspor sistem nilai mereka, menentukan negara mana yang beradab,
rasional, dan demokratis. Bahkan, mana yang manusiawi dan tidak.

Kini, dalam buku barunya, American Dream, Global Nightmare, Ziauddin Sardar dan
Merryl Wyn Davies, lebih jauh memaparkan, bagaimana impian AS akan menjadi mimpi
buruk bagi umat manusia. Buku ini ditulis sebelum Presiden George W. Bush
menenangkan pemilihan Presiden untuk periode kedua, melawan John Kerry. Dan tentu
saja, kemenangan Bush, akan semakin mengkhawatirkan banyak umat manusia di muka
bumi. Masa depan perdamaian dunia akan semakin pudar, jauh dari harapan umat
manusia. Perang atas terorisme bisa diperkirakan akan semakin panjang, sebab sejatinya
ada agenda utama lain dibalik slogan “War againts terrorism”.

Mengapa dikatakan ada agenda lain? Karena definisi tentang “terrorism” itu sendiri tidak
pernah jelas. Pada 11 September 2003, Harian terkemuka di Timur Tengah, Al--Syarqul
Ausat, menulis, bahwa setelah dua tahun peristiwa 11 September 2001 berlalu, AS masih
belum mampu mengatasi aksi terorisme. Bahkan perluasan konsep terorisme yang
dipegangnya menciptakan banyak masalah baru. "Dua tahun setelah peristiwa 11
September seharusnya AS sadar bahwa konsep terorisme yang dipegangnya tidak relevan
dan harus mendengar usul dunia Arab sebab terbukti AS makin kepayahan menghadapi
aksi tersebut," demikian Al-Sharqul Awsat. Diingatkan, agar AS mendengar usul dunia
Arab untuk menyepakati terlebih dahulu definisi dan maksud dari terorisme. "Usul Arab
agar terlebih dahulu menentukan definisi terorisme yang disetujui dunia adalah salah satu
cara untuk keluar dari perang jangka panjang dan melelahkan. Kita berharap agar kejadian
di Irak menyadarakan kelompok konservatif di Washington," demikian laporan harian
terbesar Arab itu.

Seruan logis semacam itu sebenarnya terlalu banyak telah diluncurkan berbagai kalangan
di dunia internasional. Namun, tidak dipedulikan oleh sang penguasa super. Berbagai
paradoks terus dibiarkan berjalan. Logika-logika yang saling bertabrakan dipaksakan
karena memang AS dan sekutu-sekutunya memegang hegemoni politik, ekonomi, militer,
dan informasi. Banyak pemimpin negara berpikir serius jika sampai tidak mendapat restu
dari AS. Maka, demi mempertahankan kekuasaan atau kemaslahatan tertentu, berbagai
paradoks dalam soal terorisme itu terpaksa harus dibiarkan terjadi.

Maka, bagi masyarakat AS yang memahami masalah sebenarnya, dan bukan hanya
terpukau oleh opini media massa, bisa dipahami, jika kemenangan Presiden Goerge W.
Bush atas saingannya John Kerry memunculkan keresahan dan protes keras dari berbagai
kalangan rakyatnya. Berbagai aksi protes digelar di AS, dengan membentangkan poster-
poster anti-Bush dan anti-perang. Sejumlah poster terang-terangan menyebut Bush
sebagai teroris. Bahkan, karena kecewa dengan kemenangan Bush, Andrew Veal (25),
datang ke Ground Zero – bekas lokasi Gedung WTC – dan melakukan aksi bunuh diri
dengan menembak dirinya sendiri. Di Malaysia, mantan Perdana Menteri Mahathir
Mohammad menyatakan rasa duka cita atas kemenangan Bush. “Saya sungguh duka cita
dengan perkara ini dan sudah tentu Bush akan membawa malapetaka kepada Islam dalam
tempoh empat tahun akan datang,” kata Mahathir, seperti dikutip koran Berita Harian
(8/11/2004).

Bagi yang mencermati perkembangan politik AS, kemenangan Bush sebenarnya tidak
sulit diperkirakan. Hegemoni kelompok neo-konservatif dalam dunia publikasi, keuangan,
dan pemerintahan AS sudah sangat dominan dan sulit ditembus. Majalah Time, edisi 6
September 2004, memuat ‘cover story’ berjudul “The World According to George Bush”.
Majalah ini membuat polling yang menunjukkan Bush meraih dukungan 46 persen suara
dibandingkan Kerry yang meraih dukungan 44 persen. Kepada majalah ini, Bush
mengungkapkan visinya tentang politik luar negeri AS yang tegas dan tidak mengenal
kompromi, politik yang mengandalkan kekuatan militer, dan bukan politik yang rendah
hati (humble). Tim Bush tidak ingin mengikuti garis politik yang ‘humble’ agar dihormati
dunia. Sebab, menurut mereka, tantangan utama memecahkan ancaman besar yang
dihadapi negara itu. Maka, dalam soal Irak, tim Bush berpendapat, bahwa dukungan
internasional akan diraih AS, jika tentara AS menang perang. “The way to win
international acceptance is to win,” kata seorang pembantu senior Bush.

Untuk melegitimasi pembangunan kekuatan militer, harus ada ancaman yang dianggap riil
oleh publik AS. Karena itulah, mitos-mitos tentang ancaman terorisme yang dibangkitkan
oleh Bush dalam kampanye untuk menarik dukungan rakyat ternyata cukup ampuh untuk
meraup suara. Dalam “American Dream, Global Nightmare” Ziauddin Sardar dan Merryl
Wyn Davies, mencatat adanya 10 hukum dalam mitologi Amerika (the ten laws of
American mythology).

Ke-10 hukum dalam mitologi Amerika itu ialah: (1) Fear is essential, (2) Escape is the
reason for being, (3) Ignorance is bliss, (4) America is the idea of nation (5)
Democratisation of everything is the essence of America, (6) American democracy has the
right to be imperial and express itself throuh empire, (7) Cinema is the engine of the
empire (8) Celebrity is the common currency of empire, (9) War is necessity, (10)
American tradition and history are universal narratives applicable across all time and
space.

“Ketakutan”, tulis Sardar dan Davies, “adalah esensial bagi AS”. Tanpa ‘ketakutan’ tidak
ada AS. Ketakutan adalah energi yang memotivasi kekuatan dan menentukan aksi dan
reaksi. Dalam kasus kemenangan Bush, formula “menjual ketakutan” ini tampak meraih
sukses. Ketakutan dapat menghilangkan logika sehat. Isu keamanan menjadi sentral,
bahwa rakyat AS memang selalu berada dalam ancaman teroris Islam, terutama dari
jaringan al-Qaeda. Entah mengapa, menjelang pemilihan Presiden AS, video Osama yang
mengancam AS, lagi-lagi muncul dan disiarkan luas oleh jaringan televisi internasional.
Ini mirip dengan kemenangan John Howard yang mengiringi peledakan bom di
Keduataan Australia di Jakarta.

Apa yang ditulis oleh Huntington dalam bukunya, Who Are We? bahwa peristiwa 11
September 2001 mengakhiri pencarian AS terhadap musuh baru pasca berakhirnya Perang
Dingin, juga menyiratkan adanya rancangan yang matang tentang mimpi global sebuah
imperium bernama “Imperium Americanum”. Sebuah imperium yang merupakan
superpower tunggal di muka bumi, tanpa saingan. Rancangan ini dibuat oleh kelompok
yang populer dengan sebutan “neo-konservatif” (neo-kon).

Kemenangan Bush tidak dapat dilepaskan dari kerja kelompok neo-kon. Adalah sulit
membayangkan John Kerry memenangkan pemilihan Presiden AS. Sebab salah satu
programnya adalah menarik tentara AS dari Irak – sebuah kondisi yang mirip dengan
kasus Perang Vietnam dan sikap John F. Kennedy. Sejak berakhirnya Perang Dingin,
kelompok neo-kon sudah merancang agenda global dalam politik internasional. Isu-isu
global dirancang dengan matang. Salah satu isu utama adalah doktrin “the clash of
civilizations” yang secara resmi diterima sebagai kebijakan politik pada Konvensi
Platform Partai Republik George W. Bush di Philadelphia, 3 Agustus 2002. Banyak
agenda penting disepakati dalam konvensi tersebut. Diantaranya, unilateralisme AS dan
statusnya sebagai “the only super power” harus tetap dipertahankan; ditetapkannya ‘the
rogue states’ (negara-negara jahat) sebagai musuh baru – tanpa memberikan definisi apa
yang dimaksudkan dengan ‘rogue state’. Definisinya diserahkan kepada imajinasi dan
ketentuan “The Shadow Power”; juga diputuskan bahwa rezim Saddam Hussein harus
diganti. Tidak semua agenda kelompok neo-kon ini telah tercapai. Misalnya, rencana
mereka untuk memindahkan Kedutaan AS dari Tel Aviv ke Jerusalem. (Abdulhay Y.
Zalloum, Painting Islam as The New Enemy, (Kuala Lumpur: Crescent News: 2003).

Dalam bukunya, Sardar dan Davies juga menyebut peran kelompok neo-konservatif
dalam penentuan kebijakan luar negeri AS. Kelompok pemikir (think-tank) neo-kon
dikenal sebagai Project for the New American Century (PNAC), yang didirikan oleh Dick
Cheney, Donald Rumsfeld, Paul Folfowitz, Richard Perle, dan tokoh-tokoh neo-kon
lainnya. Proyek ini dirancang sejak awal 1990-an. Namun, terhenti dengan kemenangan
Clinton. Proyek neo-kon berlanjut lagi dengan kemenangan Bush yunior dan semakin
menemukan momentumnya pasca 11 September 2001. Salah satu proyek terkenal
diluncurkan pada September 2000 berjudul “Rebuilding America’s Defenses: Strategy,
Forces, and Resources for a New Century”. Dikatakan, bahwa saat ini AS tidak
menghadapi rival global. Strategi besar AS harus diarahkan untuk mengambil keuntungan
dari posisi ini semaksimal mungkin. Rancangan Pertahanan yang disusun oleh Paul
Wolfowitz berkaitan dengan Tata Dunia Baru menyebutkan: “Our first objective is to
prevent the reemergence of new rival.”

Michel Colin Piper, melalui bukunya “The High Priests of War” (2004) menyebutkan,
belum pernah dalam sejarah AS terjadi dominasi politik AS yang begitu besar dan
mencolok oleh ‘tokoh-tokoh pro-Israel’ seperti dimasa Presiden George W. Bush.
Sebagian besar anggota neo-kon adalah Yahudi. Salah satu prestasi besar kelompok ini
adalah memaksakan serangan AS atas Irak, meskipun elite-elite militer AS dan Menlu
Colin Powell sendiri, semula menentangnya. Jaringan neo-kon bisa dikatakan semacam
kolaborasi “the unholy trinity” (Zionis Israel-Kristen Fundamentalis-imperialisme AS),
yang telah berhasil menjadikan Presiden Bush sebagai kendaraan untuk menjalankan satu
kebijakan berbasis pada ‘unilateralism’, ‘permanent mobilisation’, dan ‘preventive war’.
Kata Piper, “President Bush seems to be driven by Christian fundamentalism and strong
influence of the Jewish lobby.”

Dalam wawancara dengan Time, 6 September 2004, Bush juga menegaskan tekadnya
untuk mewujudkan sebuah negara Palestina merdeka. Kata Bush, “As you know, I’m the
fisrt President ever to have articulated a position that there ought to be a Palestinian
state. I believe that a Palestinian state will emerge.” Bush ingin menunjukkan bahwa
kasus Iraq dapat dijadikan contoh untuk menumbangkan sistem pemerintahan dimana satu
orang dapat menentukan nasib seluruh rakyatnya. Ia menunjuk pada figur Yasser Arafat,
yang ia sebut sebagai “a failed leader” (pemimpin yang gagal). Ia bangga, dan merasa
dialah pemimpin pertama yang menyatakan hal itu tentang figur Arafat.

Kini, Arafat sudah pergi. Apakah impian Bush untuk terbentuknya sebuah negara
Palestina merdeka akan terwujud? Mungkin saja, jika para pemimpin Palestina selepas
Arafat mau berkompromi soal pembagian wilayah Tepi Barat, khususnya soal Jerusalem.
Namun, ini juga tidak mudah, dilihat dari dua sisi, baik sisi Israel maupun sisi Palestina.
Yang mungkin terjadi adalah menjadikan Jerusalem di bawah pengawasan internasional,
atau satu Tim beranggotakan berbagai negara – termasuk sejumlah negara Arab. Kita
tunggu saja, bagaimana skenario Bush akan berjalan. Yang pasti, masalahnya, Bush dan
AS, juga Israel, memang tidak lagi melihat negara Palestina sebagai ancaman. Sebab,
ancaman utama bagi mereka adalah para pejuang Palestina yang mereka cap sebagai
“fundamentalis”, “militan”, “atau “teroris”, seperti “Jihad Islam”, dan “Hamas”.

Khalil Shikaki, profesor ilmu politik di Universitas Nasional an-Najah Nablus, dalam
artikelnya berjudul "Peace Now or Hamas Later" mencatat ada tiga kekuatan politik
utama di Palestina saat perjanjian Oslo ditandatangani, yaitu (1) Kekuatan utama, yaitu
kelompok nasionalis. Secara ideologis, kelompok yang dipimpin oleh Arafat dan Fatah --
faksi terbesar di PLO -- adalah "semi-sekular pragmatis". Kelompok utama ini menolak
Islam politik dan mengadopsi sejumlah pemikiran demokrasi; (2) Kelompok oposisi
nasionalis kiri, yang memiliki dua kekuatan utama yaitu Front Palestina untuk
Kemerdekaan Palestina (Popular Front for Liberatuon of Palestine/PFLP) dan Front
Demokrasi untuk Kemerdekaan Palestina (Democratic Front for Liration of
Palestine/DFLP), yang lebih kiri, sekular, dan menolak demokrasi Barat atau kapitalisme.
Kelompok ini menolak Kesepakatan Oslo dan tidak terlibat dalam perundingan Oslo,
sehingga memboikot pemilu 1996 di Tepi Barat dan Jalur Gaza; (3) kelompok Hammas
dan Jihad Islam. Kedua kelompok ini sangat menekankan pada perilaku individual,
mengadopsi nilai-nilai politik Islam, dan berusaha mendirikan negara Islam. Mereka juga
menolak perdamaian dengan Israel -- termasuk kesepakatan Oslo -- dan bahkan menolak
legitimasi negara Israel. (Jurnal Foreign Affairs, Agustus 1998.)

Edward N. Luttwak dalam tulisannya berjudul "Strategic Aspecs of U.S.--Israeli


Relations", menyebutkan, saat ini, para pembuat kebijakan di AS dan Israel cenderung
merasa bahwa Islam fundamentalis adalah ancaman terhadap elite-elite Barat di negara-
negara Islam, kepentingan-kepentingan keduanya (dan negara-negara Barat lainnya) di
negara-negara Islam, bahkan kepentingan keduanya di negara masing-masing.

Jadi, bisa dianalisis, karena adanya persepsi yang sama antara AS dan Israel tentang
ancaman bersama, maka dibutuhkan juga satu negara Palestina yang mempunyai sikap
yang sama dengan AS dan Israel. Dimana tugas utamanya adalah memberangus ‘gerakan-
gerakan Islam’ di Palestina. Namun, rencana Bush ini juga tidak mudah, Neo-kon telah
berhasil mementahkan Pembicaraan Camp David II antara Arafat dengan Ehud Barak,
yang ketika itu sudah menyepakati pengembalian 99 persen Jalur Gaza. Lalu, dengan
menjual isu “keamanan” dan “hak Yahudi” atas Jerusalem, Ariel Sharon memenangkan
pemilu Israel, mengalahkan Barak tahun 2001. Pembentukan negara Palestina akan
membentur tembok tebal yang sulit dijebol, yakni soal Jerusalem. Apalagi, kelompok neo-
kon lebih mengikuti garis Likud yang memegang kepercayaan hak historis bangsa Yahudi
atas Jerusalem.

Karena itu, dominasi kelompok neo-kon memang mengkhawatirkan banyak warga AS.
Colin Piper sampai menyerukan melalui bukunya, “It’s time to declare war on The High
Priest of War”. Sebab, agenda kelompok ini memang menyeret dunia ke jancah perang
global. Dan serangan atas Irak adalah tahap pertamanya. Kelompok ini lebih bekerja
dengan ideologi, dengan keyakinan, bukan dengan mengandalkan kepentingan dan logika.
Michel Lind, seorang penulis AS, mengungkapkan, bahwa impian kelompok neo-kon
untuk menciptakan sebuah “imperium Amerika” sebenarnya ditentang oleh sebagian besar
elite perumus kebijakan luar negeri AS dan mayoritas rakyat AS. Lind juga menyebut,
bahwa koalisi Bush-Sharon juga berkaitan dengan keyakinan, bukan karena faktor
kebijakan. Itu bisa dilihat dari latar belakang Bush yang berasal dari keluarga Kristen
fundamentalis. Kata Lind: “There is little doubt that the bonding between George W. Bush
and Ariel Sharon was based on conviction, not expedience. Like the Christian Zionist
base of the Republican Party, George W. Bush was a devout Southern fundamentalist.”

Melihat kuatnya cengekeraman kelompok neo-kon dalam politik AS, wajar jika dunia
pantas khawatir dengan kemenangan Bush yang kedua kali. Benarkah kekhawatiran
Mahathir akan terbukti? Benarkah dunia akan berhasil diseret menuju Perang Global
dengan kendali Zionis Yahudi? Mari kita lihat bersama-sama. Wa makaruu wa
makarallah. (KL, 12 November 2004).
Share this article with social bookmarker

(imy )

Rabu, 18 Oktober 2006M


25 Ramadhan 1427H

“Di era global, Islam jangan hanya dipahami secara klasik, melainkan Islam harus
dipahami sebagai etika yang dinamis, misalnya jika kita makan tomat di mal yang
ternyata tomat produk Amerika, bagaimana hal itu dipahami secara etik?” katanya.
[Ziauddin Sardar, dari liputan NU Online, 2005]

Profesor Ziauddin Sardar adalah penulis terkemuka di Inggris yang menekuni


perkembangan masa depan Islam sebagaimana masa depan sains dan teknologi. Ia pernah
tinggal di Saudi Arabia selama 5 tahun dan kini dianggap sebagai pakar dalam wacana
Islam berkaitan dengan dunia modern yang berfokus pada topik keilmuan dan teknologi.

He is a polymath. A seeker of knowledge; a polymath is someone who is already in


possession of great knowledge.
Ia banyak menulis buku, salah satunya adalah Introducing Islam yang diterjemahkan oleh
penerbit Mizan berjudul Mengenal Islam for Beginners. Buku setebal 176 halaman ini
bercerita singkat tentang Islam lahir hingga perkembangannya hingga kini. Sesuai
judulnya buku ini singkat padat ditulis dengan berbagai ilustrasi yang membantu, tidak
detil namun cukup membantu konsep-konsep dasar lahirnya Islam beserta
perkembangannya terhadap dunia modern. Bisa saya katakan terbatas pada mengenalkan
Islam dan dunianya dalam konteks logika, keilmuan dan teknologi yang telah
berkembang, bukan tentang keagamaan atau syariat Islam.

Namun di dunia modern saat ini yang semakin banyak orang berpikiran maju; buku ini
cocok untuk mengenalkan Islam dan sejarahnya kepada mereka yang non-muslim, serta
kepada para muslim yang juga banyak tak mengenal sejarah Islam itu sendiri, terutama
dalam sejarah perkembangan sains dan teknologi. Muslim sendiri banyak yang
mempunyai kecenderungan antipati terhadap perkembangan sains dan teknologi saat ini
meskipun jika menilik sejarahnya banyak sains dan teknologi ditemukan dan
dikembangkan orang Islam atas keseriusan mereka dalam membaca dan menafsirkan Al-
Quran sebagai petunjuk dalam kehidupan, sebagai implementasi dari firman pertama
yang turun, “Bacalah, atas nama tuhanmu yang menciptakan.”

Salah satu pembahasan dalam buku ini adalah tentang prasarana kemajuan sains dan
teknologi itu sendiri, yaitu penerbitan buku jauh sebelum Johannes Gutenberg
menemukan mesin cetak kertas. Berawal dari ditulisnya kembali Al-Quran dengan
teknologi kertas, digandakan dan disebar ke seluruh koloni bangsa Arab dan Timur
Tengah. Dengan tulis tangan penerbitan buku sebelum abad ke-10 berkembang pesat
hingga melahirkan profesi warraq, yaitu mereka yang ahli dalam menggandakan naskah
secara akurat dan cepat (bedakan dengan tokoh pseudonym Ibn Warraq yang kontra
terhadap Islam). Kebudayaan dan kemajuan ini membuat negeri-negeri di Timur Tengah
dan Persia hingga ke daratan Andalusia saat itu banyak memiliki perpustakaan-
perpustakaan umum untuk publik disertai dengan lembaga-lembaga pengajaran. Namun
sayang perpustakaan di kedua wilayah tersebut sebagian hancur saat Persia diserang
Mongol dan runtuhnya Andalusia di akhir Perang Salib.

Di luar konteks buku pengantar Islam ini, sang penulis sempat singgah ke Indonesia
tahun lalu, singgah di Surabaya dan Jakarta atas sponsor British Council. Dari berbagai
ceramahnya, Pemuda Muhammadiyah merangkum beberapa aspek yang disampaikan
Ziauddin Sardar dan dibukukan ke dalam judul Islam tanpa syariat. Sangat disayangkan
sebagian tokoh organisasi besar dalam pergerakan dan pemurnian Islam di Indonesia –
termasuk besar dalam skala dunia– ini tidak membedakan makna toleransi lakum
diinukum wa liyadiin dengan pluralisme, atau mungkin terkesima dengan pemikiran
ilmiah yang liberal dari Ziauddin Sardar.

Saya sendiri belum membaca buku tersebut. Lain waktu mungkin saya berkesempatan
menemukan buku tersebut dan membacanya.

none. Catatan ini ditulis Rabu, 18 Oktober 2006 pada pukul 23:34 dalam kategori sains/teknologi,
spirit/religi. Anda dapat mengikuti respon semua catatan melalui RSS 2.0 feed. Anda dapat menulis
komentar atau menulis trackback di situs anda sendiri.

Ziauddin Sardar
****
Ziauddin Sardar adalah penulis, penyiar, dan kritikus budaya. Dikenal sebagai
cendekiawan pioner dalam studi-studi futuristik, Sardar kini adalah editor dua jurnal
bergengsi, Futures dan Third Text. Ratusan artikelnya bertebaran di media massa
internasional terkemuka. Di tengah jadwalnya yang padat sebagai pembicara dan
visiting professor Postcolonial Studies di City University, London, Sardar masih
produktif menulis buku. Karya-karyanya yang terbaru, antara lain: Postmodernism
and the Other (1998), Orientalism (1999), Alien R Us (2002), The A to Z of
Postmodern Life (2002), dan best-seller internasional Introducing Islam (1992; 2001).

You might also like