You are on page 1of 172

KATA PENGANTAR

Sampai dengan tahun 2004, Komisi Hukum Nasional sesuai dengan mandat yang
dimilikinya berdasarkan Keputusan Presiden No. 15 Tahun 2000, secara berkelanjutan
menjalankan fungsinya dalam memberikan pendapat kepada Presiden tentang pelbagai
kebijakan hukum serta pembentukan rencana pembaharuan hukum nasional Indonesia.
Salah satu elemen penting di dalam sistem hukum Indonesia yang tidak luput dari
perhatian Komisi Hukum Nasional adalah bidang hukum administrasi negara.

Bidang hukum administrasi negara dirasakan semakin penting peran dan fungsinya di
dalam era reformasi hukum dewasa ini, khususnya karena semakin beragamnya dan
kompleksnya tugas-tugas publik yang harus diselenggarakan demi peningkatan
kesejahteraan masyarakat, dan juga karena semakin besarnya kewenangan pemerintah
di daerah dalam mengelola potensi-potensi lokalnya di dalam kerangka otonomi daerah.
Fungsi koordinasi, integrasi, sinkronisasi melalui kaidah-kaidah hukum administrasi
negara yang modern semakin menjadi kebutuhan yang mendesak untuk diwujudkan
dalam rangka peningkatan kualitas pelaksanaan tugas-tugas negara itu.

Menyadari hal itu, Komisi Hukum Nasional beranggapan bahwa perkembangan


kehidupan bernegara dewasa ini sedang berada dalam momentum terbaiknya untuk
pelaksanaan reformasi di bidang hukum administrasi negara, dan dalam kaitan itu
Komisi beranggapan bahwa sektor yang perlu mendapat prioritas perhatian adalah
bidang Pelayanan Publik. Pelayanan publik di Indonesia dewasa ini, baik secara
nasional maupun secara regional hampir berada pada titik nadir. Hal ini tercermin dari
semakin banyaknya keluhan dan sorotan negatif yang datang dari warga masyarakat
sebagai penerima pelayanan publik, baik mengenai kualitas pelayanan dan produk
pelayanan yang rendah, tingkat responsivitas petugas pelayanan, bahkan penanganan
terhadap keluhan-keluhan publik, yang tidak memuaskan, kecenderungan-
kecenderungan KKN, dsb. Kesemuanya itu semakin membuktikan bahwa pembenahan di
bidang Pelayanan Publik perlu mendapatkan perhatian utama.

i
Menghadapi situasi ini, Komisi Hukum Nasional menyadari sepenuhnya bahwa inti
permasalahannya keprihatinan terhadap kualitas pelayanan publik di Indonesia terletak
pada tidak adanya dan/atau tidak bekerjanya Sistem Pelayanan Publik sebagaimana
mestinya, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem administrasi
negara Indonesia. Dalam kerangka berpikir pembenahan hukum dan sistem
administrasi negara Indonesia pada umumnya, Komisi Hukum Nasional pada tahun 2004
menyelenggarakan penelitian yang bertema: Membangun Sistem Pemerintahan yang
Layak dan Melakukan Reformasi Hukum Administrasi: Reformasi Hukum
Administrasi Negara dalam Rangka Pelayanan Umum . Dengan tema itu, Tim
Peneliti telah merencanakan dan mengusulkan serangkaian kegiatan pengumpulan dan
analisis data/informasi yang dilakukan baik terhadap peraturan perundang-undangan
nasional, regional, dan sektoral mengenai pelayanan publik, aspirasi instansi-instansi
penyelenggara pelayanan publik dan masyarakat pengguna jasa publik atau fihak-fihak
yang dianggap representatif untuk menyuarakan aspirasi itu.

Atas dasar persetujuan dan kerjasama dengan pihak Sekretariat Negara Republik
Indonesia, maka Komisi Hukum Nasional pada bulan Juli 2004 secara resmi membentuk
sebuah Tim Penelitian, yang diketuai oleh Prof. J.E. Sahetapy, dengan anggota-
anggota sebagai berikut:

a. Agustinus Pohan, SH, MS


b. Robertus Budi Prastowo, SH, M.Hum
c. Bayu Seto Hardjowahono, SH, LL.M
d. Nurul Diana, SH.,MH

Harus diakui bahwa dengan keterbatasan waktu yang tersedia (bulan Juli November
2004), serta keterbatasan dana, Tim Peneliti harus bekerja keras, fleksibel, kreatif dan
efisien agar penelitian tetap dapat mencapai hasil dengan kualitas yang secara optimal
dapat dipertanggungjawabkan. Tim memulai pelaksanaan tugas-tugasnya pada bulan
Juli 2004 dan berlangsung secara intensif selama 3,5 bulan sampai dengan disusunnya
laporan penelitian ini. Tenggang waktu yang sangat terbatas itu, secara intensif diisi
dengan kegiatan penyusunan proposal dan persiapan administrasi penelitian, penelitian

ii
normatif, penelitian lapangan, beberapa kali focused group discussions dengan nara
sumber dan responden yang mewakili pelbagai unsur dan kepentingan, analisis data dan
penyusunan interim report, workshop, dan penyusunan laporan akhir.

Berkat kerjasama yang baik dan dukungan dari semua fihak, khususnya fihak Sekretariat
Negara RI dan instansi-instansi penyelenggara pelayanan publik baik di tingkat pusat
maupun di daerah, serta berkat rahmat Tuhan YME, Tim Peneliti akhirnya berhasil
menuntaskan penelitian ini dan menyusun kesimpulan dan rekomendasinya di dalam
laporan ini. Untuk itu Tim juga mengucapkan banyak terima kasih kepada para Nara
Sumber yang berperan sangat aktif dalam memberi masukan-masukan berharga untuk
memperkaya hasil penelitian ini, kepada para staf administrasi penelitian yang tanpa
mengenal lelah berkerja keras berupaya agar kegiatan penelitian ini dapat selesai para
waktunya, serta kepada pihak-pihak independen yang menyumbangkan tenaga dan
fikirannya untuk melancarkan kegiatan Tim.

Harapan utama Komisi Hukum Nasional dengan diselesaikannya penelitian ini adalah
bahwa hasil-hasil penelitian akan dapat bermanfaat besar dalam upaya reformasi
hukum, khususnya dalam pembinaan regulasi dan sistem Pelayanan Publik Nasional
Indonesia di masa depan. Harapan Tim Peneliti, setidak-tidaknya hasil penelitian ini
akan merangsang studi, penelitian, serta perumusan kebijakan lebih lanjut di bidang
pelayanan publik dan hukum administrasi negara Indonesia, dalam rangka menuju
masyarakat Indonesia baru yang demokratis dan madani.

Terima Kasih.

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang ........................................................................... 1
2. Permasalahan ............................................................................ 7
3. Tujuan dan Sasaran Penelitian .................................................... 10
4. Metode Penelitian ....................................................................... 13
5. Evaluasi Pelaksanaan Penelitian ................................................... 17
6. Organisasi Penelitian ................................................................... 18

BAB II HASIL PENELITIAN NORMATIF SISTEM PENYELENGGARAAN


PELAYANAN PUBLIK INDONESIA
1. Sistem Penyelenggaraan Pelayanan Publik Nasional Indonesia ...... 19
A. Regulasi tentang Pelayanan Publik ......................................... 22
B. Asas-Asas Penyelenggaraan Pelayanan Publik ......................... 23
C. Standar Minimum Pelayanan .................................................. 26
D. Norma-Norma Perilaku Petugas Penyelenggara Pelayanan
Publik ................................................................................... 26

2. Sistem Pengelolaan Keluhan Publik


A. Elemen-Elemen Sistem Pengelolaan Keluhan Publik ................. 41
B. Deskripsi Pengaturan Pelayanan Publik secara Sektoral ........... 46
a. Pelayanan Administrasi Badan Pertanahan Nasional ........... 48
b. Pelayanan Administrasi Kantor Catatan Sipil ...................... 50
c. Pelayanan Administrasi Kepolisian .................................... 51
d. Pelayanan Barang PT. Telekomunikasi Indonesia ............... 53
e. Pelayanan Barang PT. PLN ............................................... 54
f. Pelayanan Jasa Kesehatan Pusat Kesehatan Masyarakat...... 55
g. Pelayanan Jasa PT. Pos Indonesia ..................................... 58

iv
C. Deskripsi Pengaturan Pelayanan Keluhan Publik secara Sektoral
a. Pelayanan Keluhan pada Badan Pertanahan Nasional ........ 59
b. Pelayanan Keluhan pada Kantor Catatan Sipil ................... 60
c. Pelayanan Keluhan pada Kantor Kepolisian ....................... 61
d. Pelayanan Keluhan pada PT. Telekomunikasi Indonesia ..... 61
e. Pelayanan Keluhan pada PT. PLN ..................................... 66
f. Pelayanan Keluhan pada Pusat Kesehatan Masyarakat ....... 69
g. Pelayanan Keluhan pada PT. Pos Indonesia ....................... 70

3. A. Analisis Normatif Pengaturan Sistem Penyelenggaraan


Pelayanan Publik .................................................................. 70
B. Analisis Normatif Pengaturan Sistem Pelayanan Keluhan
Publik .................................................................................. 75

BAB III PELAKSANAAN PELAYANAN PUBLIK DAN PELAYANAN KELUHAN


PUBLIK
1. Pelaksanaan Pelayanan Publik dan Pelayanan Keluhan Publik
A. Badan Pertanahan Nasional ................................................... 88
B. Kantor Catatan Sipil .............................................................. 91
C. Kantor Kepolisian ................................................................. 96
D. PT. Telekomunikasi Indonesia ................................................ 99
E. PT. PLN ................................................................................ 100
F. PT. Pos Indonesia ................................................................. 101
G. Pusat Kesehatan Masyarakat ................................................. 103

2. Persepsi Masyarakat terhadap Pelayanan Publik dan Pelayanan Keluhan


Publik
A. Persepsi Masyarakat terhadap Pelayanan Publik ...................... 104
B. Persepsi Masyarakat terhadap Pelayanan Keluhan Publik .......... 108

v
BAB IV STANDAR KUALITAS DAN MEKANISME PELAYANAN PUBLIK DAN
PELAYANAN KELUHAN PUBLIK
1. Standar Kualitas Pelayanan Publik yang Ideal dan Realistik ........... 111
2. Standar Minimum Kualitas Pelayanan Keluhan Publik .................... 118
3. Masalah-Masalah dalam Proses Pelayanan Keluhan Publik ............ 128
4. Mengkaji Kemungkinan Mengikutsertakan Biro Hukum dalam
Pelayanan Keluhan Publik .......................................................... 138

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Kesimpulan dan Rekomendasi .......................................................... 144

Daftar Pustaka ............................................................................................. 163

vi
BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Dalam rangka mempercepat proses penyempurnaan pelaksanaan
pembangunan negara dan bangsa yang dalam beberapa tahun terakhir ini
mengalami banyak hambatan dan perlambatan, serta untuk mengejar pelbagai
ketertinggalan yang dialami negara dan bangsa Indonesia dalam upaya peningkatan
kualitas hidup bangsa Indonesia, maka salah satu aspek penting yang menuntut
perhatian sangat besar dewasa ini adalah upaya-upaya nyata untuk peningkatan
etos kerja dan kinerja dari aparatur pemerintahan.

Salah satu fungsi utama dalam penyelenggaraan pemerintahan yang


menjadi kewajiban aparatur pemerintah adalah penyelenggaraan pelayanan
publik. Peraturan perundangan Indonesia telah memberikan landasan formal
penyelenggaraan pelayanan publik yang didasarkan pada Asas-asas Umum
Pemerintahan Yang Baik. Pasal 3 Undang-undang No.28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(selanjutnya UU KKN) menyebutkan asas-asas yang menjadi landasan
penyelenggaraan pelayanan publik terdiri dari: asas kepastian hukum; asas tertib
penyelenggaraan Negara; asas kepentingan umum; asas keterbukaan; asas
proporsionalitas; asas profesionalitas; dan asas akuntabilitas.

Selanjutnya berkaitan dengan pelaksanaan kinerja pemerintah tersebut,


telah diundangkan pula Instruksi Presiden No.7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintahan yang menginstruksikan instansi Pemerintahan untuk
menyampaikan laporan akuntabilitas kinerja instansi kepada Presiden dan Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan Mutu Pelayanan Aparatur
Pemerintahan Kepada Masyarakat. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat
difahami sebagai pedoman bagi aparatur pemerintah dalam memberikan pelayanan
publik. Namun demikian, sampai dengan tahun 2003, fungsi pedoman-pedoman
tersebut masih dirasakan kurang memadai karena belum adanya pedoman umum
yang dapat dijadikan standar penilaian perilaku aparat penyedia pelayanan publik
dalam pelaksanaan tugas-tugasnya sehari-hari. Baru sejak diundangkannya:
1
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63/KEP/M.PAN/2003
tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik (selanjutnya
disebut KepMenpan No. 63/2003), yang kemudian diikuti oleh Keputusan-
keputusan Menpan yang dimaksudkan untuk mendukung Kepmen No. 63/2003,
yaitu:
Keputusan No: Kep/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan
Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah
selanjutnya disebut Kepmenpan No. 25/2004), dan
Keputusan No: Kep/26/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi
dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik (selanjutnya
disebut Kepmenpan No. 26/2004),
maka secara yuridik hukum positif Indonesia dapat dianggap telah cukup
meletakkan dasar hukum formal untuk memperbaiki kinerja lembaga terutama
lembaga atau instansi penyelenggara pelayanan publik 1 . Gagasan untuk
menetapkan aturan-aturan hukum yang menyangkut pelayanan publik dapat
difahami sebagai salah satu wujud dari tekad nasional untuk memperbaiki fungsi
dan kualitas pelayanan publik di Indonesia.
Secara umum pelayanan publik dapat diartikan sebagai: kewajiban yang
diamanatkan oleh Konstitusi untuk dilaksanakan oleh Pemerintah guna memenuhi
hak-hak warga masyarakat. Di dalam Kepmenpan No. 63/2003, yang dimaksud
dengan pelayanan publik adalah:
segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara
pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan
maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2

1
Sesuai Lampiran Keputusan Menpan No. 63/2003 (bagian I.C tentang Pengertian
Umum, butir 5), Pemberi Pelayanan Publik adalah pejabat/pegawai instansi pemerintah yang
melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2
Butir C. Pengertian Umum, sub. 1;

2
Pandangan lain membatasi pengertian pelayanan publik sebagai:

suatu kewajiban yang diberikan oleh Konstitusi atau undang-undang


kepada Pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar warga Negara atau
penduduk atas suatu pelayanan (publik). 3

Lebih lanjut, berdasarkan Keputusan Menpan No. 63/2003, pelayanan


publik dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: Kelompok Pelayanan Administratif,
Kelompok Pelayanan Barang dan Kelompok Pelayanan Jasa. Makna dari masing-
masing kelompok pelayanan tersebut dijelaskan sebagai berikut 4 :

- Kelompok Pelayanan Administratif: yaitu pelayanan yang menghasilkan


berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik. Beberapa jenis
pelayanan publik yang dapat dikategorikan sebagai bagian dari pelayanan
administrasi misalnya: penerbitan dokumen yang berkaitan dengan:
a. status kependudukan atau kewarganegaraan (misalnya: Kartu Tanda
Penduduk, pasport, akta nikah, akta kelahiran, akta kematian, dll.);
b. status kepemilikan (misalnya: Sertifikat Hak Atas Tanah, Buku Pemilik
Kendaraan Bermotor, dll.);
c. status kompetensi (misalnya: Surat Ijin Mengemudi, Ijin Mendirikan
Bangunan, Surat Ijin Usaha, dll.).
Kelompok Pelayanan Barang: pelayanan yang menghasilkan berbagai
bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik. Hal ini berkaitan dengan tugas-
tugas yang dilaksanakan oleh negara selaku pelaku usaha, yang kewenangannya
dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara (misalnya penyediaan air minum/air
bersih, penyediaan listrik, penyediaan jaringan telekomunikasi, dll.);

- Kelompok Pelayanan Jasa: pelayanan yang menghasilkan berbagai


bentuk/jenis barang yang dibutuhkan oleh publik (misalnya: pelayanan
pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi,
penyelenggaraan post, dll.).

3
Lihat juga hasil kajian Kelompok Kerja B3-KHN 2001/2002 dalam Laporan Akhir
Penelitian tentang Prosedur Penyampaian Keluhan Publik, kerja sama antara Komisi Hukum
Nasional dengan Fakultas Hukum UNPAR, 2001-2002, hal.
4
bagian IV Lampiran Kep No. 63/KEP/M.PAN/2003

3
Walaupun Keputusan-keputusan Menpan tersebut di atas diharapkan
dapat berfungsi sebagai pedoman dan petunjuk-teknis bagi seluruh instansi
penyelenggara pelayanan publik serta demi terwujudnya penyelenggaraan
pelayanan publik yang prima 5 , namun kenyataan di Indonesia menunjukkan masih
banyaknya keluhan serta ketidakpuasan terhadap kualitas aparatur pemerintahan
dalam menjalankan tugas-tugas pelayanan publiknya, terutama bila dikaitkan
dengan kewajiban untuk memperhatikan Asas-asas Penyelenggaraan
Pemerintahan yang Baik (Principles of Good Governance). Tidak jarang pula
bahwa rendahnya kualitas pelayanan publik ini pada gilirannya menjadi penyebab
timbulnya kasus-kasus yang dapat dikategorikan sebagai maladministrasi
(maladministration) 6 .

Ruang lingkup penyelenggaraan pelayanan publik dewasa ini semakin


meluas dan menyentuh tidak saja pemenuhan atau penegakan hak-hak dasar
manusia, seperti pendidikan, sandang, pangan, perumahan, pekerjaan yang layak,
jaminan kesehatan, lingkungan hidup yang sehat, dan sebagainya, tetapi juga
menyangkut hal-hal yang langsung menyentuh kehidupan manusia sehari-hari,
seperti perijinan, identitas status, penyaluran kebutuhan bahan pokok,
transportasi, telekomunikasi, dan sebagainya. Seiring dengan semakin
meningkatnya kompleksitas pelayanan publik, baik secara kualitatif maupun
kuantitatif, maka semakin terasa pula adanya kebutuhan untuk meningkatkan
kualitas dan kuantitas pelayanan publik pada umumnya, yang salah satu caranya
adalah melalui upaya reformasi sistem regulasi penyelenggaraan pelayanan publik.
Mengingat bahwa reformasi di bidang ini erat kaitannya dengan tata aturan
(regulasi) di bidang hukum administrasi negara, maka reformasi terhadap sistem

5
Lihat Bagian B. Maksud dan Tujuan.
6
Keadaan di mana sebuah badan publik dianggap telah gagal untuk bertindak sesuai
dengan aturan atau prinsip-prinsip yang mengikat badan itu atau pengurus dari badan itu.
Pengertian ini merupakan terjemahan dari definisi maladministration yang digunakan oleh
Lembaga Ombudsman Masyarakat Eropa (The European Ombudsman) yaitu: maladministration
occurs when a public body fails to act in accordance with a rule or principle which is binding upon
it. Diajukan di dalam Annual Report 1997 dan diterima sebagai definisi resmi oleh Parlemen
Eropa. Bandingkan pula dengan Pasal 1,butir 9 Rancangan UU Ombudsman Nasional: Tindakan
Maladministrasi adalah perbuatan atau pengabaian kewajiban hukum instansi dan atau pejabat
pemerintahan yang melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik.

4
pelayanan publik di Indonesia tidak lagi cukup untuk digantungkan pada adanya
suatu peraturan perundang-undangan sebagai peraturan payung saja. Reformasi
hukum administrasi yang bermuara pada pembenahan dan penertiban
penyelenggaraan pelayanan publik haruslah dilaksanakan sebagai upaya
aktualisasi peraturan perundang-undangan yang sudah ada dan atau perumusan
peraturan perundang-undangan baru. Reformasi administrasi dapat meliputi:
reformasi administrasi yang ditujukan untuk perbaikan birokrasi, inovasi,
peningkatan kualitas produk pelayanan, atau peningkatan efisiensi dan efektifitas
pelayanan publik, dan penghormatan serta perlindungan terhadap hak-hak
masyarakat penerima pelayanan publik. Sementara itu, urgensi dari
dilaksanakannya reformasi itu memperoleh pembenarannya di dalam kebutuhan
nyata untuk mengatasi ketidakpastian dan perubahan-perubahan yang senantiasa
terjadi dalam lingkungan organisasi.

Bagian II dari Keputusan Menpan No. 63/2003 menegaskan bahwa:

hakekat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada


masyarakat yang merupakan perwujudan dari kewajiban aparatur pemerintahan
sebagai abdi masyarakat.

Bertitik tolak dari pengertian itu, sebenarnya dapat disimpulkan bahwa


hakekat Pelayanan Publik bertolak dari, di satu pihak, kewajiban aparat birokrasi
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam kedudukannya sebagai
abdi masyarakat dan sesuai peraturan hukum yang berlaku di satu pihak, dan di
lain pihak, hak masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik yang prima dari
aparatur pemerintah. Kedua hak ini sebenarnya merupakan dua sisi dari mata
uang yang sama. Reformasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik hendaknya
diartikan sebagai upaya mengembalikan perwujudan asas-asas penyelenggaraan
pemerintahan yang baik dan bersih (principles of good and clean government) ke
dalam dua perpektif di atas, dan titik konvergensi dari kedua esensi tersebutlah
yang dimanifestasikan ke dalam penyelenggaraan pelayanan publik berdasarkan
asas-asas pemerintahan yang baik dan bersih. Beberapa pra-kondisi yang

5
tampaknya perlu ditumbuh-kembangkan untuk menciptakan suasana yang
kondusif untuk melaksanakan reformasi tersebut adalah:

1. Kehidupan masyarakat yang berbasis pada kedaulatan rakyat, dimana


terdapat ruang bagi rakyat untuk dapat berpartisipasi dalam proses
pengambilan kebijakan politik dengan berorientasi pada konsensus rakyat;
2. Adanya komponen kelembagaan yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan,
potensi, kondisi obyektif, dan karakter sosial ekonomi dan budaya rakyat;
3. Diakuinya seoptimal mungkin perimbangan kekuasaan dan kewenangan
dalam hubungan antar lembaga sehingga dimungkinkan pelaksanaan checks
dan balances;
4. pembagian kewenangan yang jelas di antara bidang-bidang pemerintahan
yang sesuai dengan tugas dan fungsinya, namun tanpa menutup
kemungkinan terjadinya sinergi antara satu fungsi pelayanan dengan lainnya;
5. Dilaksanakanya fungsi-fungsi manajemen pemerintahan yang didasarkan pada
rasionalitas, obyektivitas, efektivitas, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas;
6. Berfungsinya lembaga legislatif yang dapat meningkatkan kemampuannya
dalam hal melakukan fungsi kontrol, legislasi dan perumusan kebijakan
pemerintah, baik di tingkat pusat dan daerah;
7. Adanya visi, misi dan tujuan umum, yang jelas dalam menetapkan strategi
kebijakan pemerintah yang responsif terhadap perubahan rakyat;
8. Ditumbuhkannya kesadaran pada penyelenggara pelayanan publik bahwa
pelaksanaan fungsi-fungsi publik pada dasarnya bertolak tidak saja dari aspek
kewenangan (authority) saja, tapi di sisi lain juga bertolak dari aspek
pemenuhan hak-hak masyarakat untuk memperoleh pelayanan yang
baik/prima

Beberapa pra-kondisi tersebut dapat juga dijadikan parameter politik


dalam penyelenggaraan pelayanan publik, dan bila diletakkan dalam konteks
reformasi, maka hal ini menuntut adanya perubahan pemahaman dari sekedar
orientasi untuk membenahi dan meningkatkan kinerja birokrasi pemerintahan saja,
tetapi terutama harus diarahkan untuk menjawab dan memenuhi kebutuhan dan
peningkatan kesejahteraan rakyat. Melalui analogi dengan pemikiran yang
6
dikembangkan dalam dunia bisnis, maka organisasi dan kinerja organisasi
penyelenggara pelayanan publik harus dilaksanakan dalam koridor customers
satisfaction. Hal terakhir inilah yang menyebabkan persoalan bagaimana
masyarakat sebagai customer dapat dipenuhi hak-haknya tidak saja menyangkut
peningkatan kualitas produk pelayanan publiknya, tetapi juga peningkatan
standar kualitas mekanisme dan proses pelayanan serta mekanisme dan proses
yang tersedia bagi masyarakat untuk menyampaikan ketidakpuasan dan keluhan-
keluhannya atas pelayanan publik yang diperolehnya.

Dalam rangka melakukan pembaruan hukum administrasi, khususnya


yang berkaitan langsung dengan sistem penyelenggaraan pelayanan publik seperti
yang dimaksud di ataslah, maka melalui Program Induk KHN yaitu Sub. Komisi B
akan melakukan penelitian yang bertopik: Membangun Sistem Pemerintahan
yang Layak dan Reformasi Hukum Administrasi, dan fokus kajian akan
diarahkan pada sub-topik Reformasi Hukum Administrasi Negara dalam
Rangka Pelayanan Publik.

2. PERMASALAHAN
Seperti telah disinggung di atas, beberapa esensi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik yang perlu selalu disadari adalah:

(1) adanya kewajiban pada pihak administrasi negara untuk menjalankan fungsi
dan wewenangnya berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan
bersih;
(2) pengakuan terhadap hak asasi setiap warganegara atas pemerintahan dan
perilaku administratif yang baik;
(3) keaneka ragaman jenis serta lingkup pelaksanaan pelayanan publik di
Indonesia sebagai akibat dari adanya keragaman urusan dan kepentingan
masyarakat yang harus dipenuhi melalui penyelenggaraan pelayanan publik;

Berkaitan dengan hal-hal di atas, tampaknya terdapat tiga gejala


utama yang menjadi menjadi pemicu perhatian pada penelitian ini, yaitu:

7
a. Rendahnya kualitas pelayanan publik yang dilaksanakan oleh sebagian
aparatur pemerintahan atau administrasi negara dalam menjalankan tugas
dan fungsinya. Di dalam kerangka hukum administrasi positif Indonesia saat
ini telah diatur tentang standar minimum kualitas pelayanan, namun
kepatuhan terhadap standar minimum pelayanan publik tersebut masih belum
terlihat manifestasinya dalam pelaksanaan tugas aparatur pemerintahan. Hal
ini terbukti dari masih sangat banyaknya keluhan dan ketidakpuasan yang
dilontarkan masyarakat Perlu dikaji lebih lanjut adalah upaya untuk membuat
agar standar minimum pelayanan publik tersebut dapat menjadi pedoman
yang efektif, sehingga dapat tercipta kepastian dan perlindungan hukum, baik
bagi para penyelenggara pelayanan publik sendiri maupun bagi
masyarakat/anggota masyarakat;
b. Birokrasi yang panjang (red-tape bureaucracy) dan adanya tumpang
tindih tugas dan kewenangan, yang menyebabkan penyelenggaraan
pelayanan publik menjadi panjang dan melalui proses yang berbelit-belit,
sehingga tidak mustahil memperbesar kemungkinan timbulnya ekonomi biaya
tinggi, terjadinya penyalahgunaan wewenang, korupsi, kolusi dan nepotisme,
perlakuan diskriminatif, dsb.
c. Rendahnya pengawasan external dari masyarakat (social control)
terhadap penyelenggaraan pelayanan publik, sebagai akibat dari
ketidak jelasan standar dan prosedur pelayanan, serta prosedur
peyampaian keluhan pengguna jasa pelayanan publik. Karena itu
tidak cukup dirasakan adanya tekanan sosial (social pressure) yang memaksa
penyelenggara pelayanan publik harus memperbaiki kinerja mereka. Salah
satu wujud dari peningkatan kontrol sosial ini, misalnya, melalui pembenahan
sistem dan prosedur pelayanan keluhan publik (public complaints/grievance
system & procedure) yang baik. Lebih jauh lagi, penelitian pendahuluan
menunjukkan bahwa peraturan perUUan yang tampaknya dipersiapkan
sebagai umbrella regulation di bidang pelayanan publik yang berlaku secara
nasional, juga sangat sedikit menghadirkan ketentuan-ketentuan yang secara
tegas menetapkan sistem dan standar pelayanan atas keluhan publik
(public complaints, public grievance standards and procedure.

8
Dengan demikian, sistem pelaksanaan pelayanan publik yang berorientasi pada
kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat, setidak-tidaknya harus memberikan
pedoman komprehensif yang mengikat aparat dan masyarakat tentang:

1. Jaminan bahwa pelayanan publik tersebut dikelola secara profesional dan


bertanggungjawab oleh petugas publik yang berwenang untuk memberikan
pelayanan publik (Code of Conduct for Public Servants);
2. Prosedur yang dapat menjamin transparansi dan akuntabilitas proses
pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pejabat atau petugas yang
berwenang;
3. Jaminan bahwa manfaat pelayanan publik yang diharapkan dan dibutuhkan
oleh masyarakat tersebut dapat diperoleh secara layak, wajar, dan
proporsional bila dihadapkan dengan biaya dan pengorbanan yang harus
diberikan;
4. Jaminan, baik secara yuridik maupun etik, bahwa hak masyarakat untuk
memperoleh pelayanan prima itu didukung oleh standar dan mekanisme
pengajuan keluhan yang memadai.

Dari uraian latar belakang permasalahan yang ada, maka dapat disimpulkan
beberapa pertanyaan penelitian yang hendak dijawab di dalam penelitian ini,
yaitu:

1. Bagaimanakah konsistensi pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang


telah mengatur fungsi pelayanan publik sebagai peraturan payung di dalam
penyelenggaraan pelayanan publik pada masing-masing bidang atau sektor?
2. Bagaimanakah pandangan masyarakat sebagai penerima pelayanan mengenai
pelayanan publik yang dilakukan oleh instansi pelayanan publik dewasa ini
dan apakah fungsi pelayanan publik tersebut sudah dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku?
3. Bagaimanakah penyelenggaraan pelayanan publik yang berorientasi pada
kebutuhan dan kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan seutuhnya melalui
penyediaan standar dan prosedur pelayanan keluhan publik yang dapat

9
berfungsi sebagai sumber masukan dan koreksi bagi sistem pelayanan publik
dalam arti umum maupun sektoral?

3. TUJUAN DAN SASARAN PENELITIAN


3.1. TUJUAN UMUM

Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, tujuan umum


dari pengkajian dan penelitian ini adalah perumusan kesimpulan-
kesimpulan umum dan rekomendasi mengenai:
Prospek Pembentukan dan Pengembanngan Prosedur Pelayanan
Publik di dalam Hukum Positif Indonesia

3.2. TUJUAN KHUSUS

Memperhatikan permasalahan-permasalahan dan kondisi saat ini


di Indonesia seperti yang telah diuraikan di atas, Kelompok Kerja dapat
membuat asumsi umum bahwa upaya pembinaan dan pembentukan
suatu Prosedur dan Mekanisme Pelayanan Publik, yang secara utuh
dan terpadu memuat dan menetapkan:
1. kewajiban-kewajiban utama setiap pejabat administrasi negara (dalam
arti yang seluas-luasnya) untuk menjalankan fungsinya berdasarkan
prinsip-prinsip Perilaku Administrasi yang baik (Principles of Good
Administrative Behaviour);
2. hak-hak setiap anggota masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik
secara layak dan sesuai dengan harapan-harapan mereka yang sah;
3. ketentuan-ketentuan tentang (i) subyek-subyek hukum yang harus
menyelenggarakan pelayanan publik, (ii) faktor saat dan tenggang-waktu
pelayanan publik, (iii) tata cara dan persyaratan permohonan pelayanan
publik yang dibutuhkan oleh masyarakat, (iv) akibat hukum serta sanksi-
sanksi yang tegas dan jelas bagi penyelenggara pelayanan publik yang
melanggar kewenangan dan tugas mereka.

10
4. Sub-sistem standar dan prosedur pelayanan keluhan publik yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan seyogyanya tunduk pada
prinsip-prinsip yang sama dengan prinsip-prinsip good governance yang
berlaku atas sistem pelayanan publik pada umumnya;

Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, maka ada beberapa sasaran pokok
dalam penelitian ini, yaitu:

Tujuan Khusus I:

Mengkaji sinkronisasi dan konsistensi peraturan perundang-undangan yang, di


satu pihak telah meletakan dasar-dasar penyelenggaraan pelayanan publik
secara umum dan nasional, dengan peraturan perundang-undangan dan
prosedur pelayanan publik yang telah dibuat untuk penyelenggaraan
pelayanan publik pada masing-masing bidang atau sektor di lain pihak.

Pertanyaan Penelitian:

1. Bagaimanakah pola pengaturan di dalam aturan-aturan hukum positif


Indonesia tentang penyelenggaraan pelayanan publik nasional, yang
berfungsi sebagai aturan payung untuk peraturan-peraturan sejenis yang
bersifat sektoral?
2. Sektor-sektor pelayanan publik apa sajakah yang dewasa ini telah
memiliki peraturan tentang penyelenggaraan pelayanan publik? Sejauh
mana tingkat responsivitas aturan payung itu terhadap kebutuhan-
kebutuhan khas yang ada di setiap sektor pelayanan dan sejauh mana
aturan payung itu sendiri dapat berfungsi sebagai pedoman untuk
pengembangan peraturan-peraturan yang bersifat sektoral tadi?
3. Adakah perbedaan pola pengaturan di berbagai sektor pelayanan publik
yang berpotensi memperburuk kinerja aparatur pemerintah dalam
menyelenggarakan pelayanan publik?

11
Tujuan Khusus II:

Tujuan khusus berikutnya yang hendak dikaji melalui penelitian ini adalah
bagaimana pandangan masyarakat tentang pelayanan publik yang secara aktual
diselenggarakan oleh instansi-instansi penyelenggara pelayanan publik, dan
selanjutnya untuk mengukur apakah pelayanan publik tersebut telah
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (baik umum maupun sektoral).

Pertanyaan Penelitian:

Guna menjawab pertanyaan penelitian di atas, maka telah dianalisis pelbagai


data dan informasi yang menyangkut:
a. Prosedur untuk pelayanan publik baik bagi pemberi maupun penerima.
b. Tingkat transparansi baik menyangkut persyaratan maupun biaya pelayanan
publik.
c. Kepastian akan jangka waktu pelayanan publik yang dibutuhkan.
d. Ketepatan (akurasi) dari pelayanan publik yang diterima (apakah pelayanan
publik yang diterima sesuai dengan yang dibutuhkan).
e. Kelengkapan sarana dan prasaran dari instansi penyelenggara pelayanan
publik.
f. Kompetensi dari petugas yang memberikan pelayanan publik, baik dalam
hal pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap, dan perilaku yang
dibutuhkan.
g. Standar yang berlaku baik secara umum maupun sektoral bagi instansi
pelayan publik.

Tujuan Khusus III:

Melalui penelitian ini hendak diperoleh gambaran umum tentang standar


kualitas dan mekanisme pelayanan keluhan publik yang perlu dikembangkan
sebagai bagian integral dari suatu sistem pelayanan publik yang utuh, bersifat
umum dan nasional, dan berorientasi pada kebutuhan dan kesejahteraan
rakyat.

12
Pertanyaan Penelitian:

1. Adakah standar kualitas pelayanan keluhan publik, baik dalam arti etik
maupun yuridik yang dapat dianggap sebagai pola dasar pelayanan
keluhan publik di Indonesia.
2. Apakah yang seharusnya menjadi unsur-unsur dari suatu sistem
pelayanan keluhan publik yang dapat diterapkan sebagai acuan nasional
serta bagaimana seharusnya penjabaran atau aplikasinya dalam sistem
pelayanan keluhan publik di pelbagai sektor pelayanan jasa publik.
3. Apakah biro-biro hukum di dalam instansi-instansi penyelenggara
pelayanan publik dapat berfungsi sebagai biro pusat pemrosesan dan
penyelesaian keluhan-keluhan publik di instansi yang bersangkutan.
Fungsi dan kompetensi apa saja yang perlu dimiliki biro-biro hukum itu,
agar mereka dapat berfungsi seperti di atas.

Sebagai hasil akhir dari sasaran yang telah dihasilkan tersebut,


Tim merekomendasikan suatu gambaran ideal dari suatu sistem
penyelenggaraan pelayanan publik (yang salah satu komponennya adalah
mekanisme penyampaian keluhan publik), antara lain adalah:

a. Aparatur pemerintah memiliki kinerja yang lebih baik karena adanya


panduan operasional yang dapat menjadi standar minimum dalam
menyelenggarakan pelayanan publik;
b. Masyarakat menjadi lebih tahu dan memahami hak-hak mereka
dalam memperoleh pelayanan publik yang baik;
c. Terciptanya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang utuh
dan secara inherent mencakup juga elemen pelayanan keluhan,
sehingga dapat diwujudkan fungsi pelayanan yang benar-benar
berorientasi pada kepuasan masyarakat pengguna jasa.

4. METODE PENELITIAN
1. Untuk menjawab persoalan penelitian yang menyangkut sinkronisasi
peraturan perundang-undangan yang mengatur fungsi pelayanan publik di
pelbagai sektor pelayanan, akan dilakukan penelitian normative-yuridis
13
terhadap peraturan perundang-undangan positif di Indonesia . Analisis telah
dilakukan baik secara vertikal maupun secara horisontal. Pada tahap pertama
Tim telah merumuskan beberapa asas-asas hukum yang harus menjadi
landasan fungsi pelayanan publik dan menentukan komponen-komponen
utama dari suatu sistem penyelenggaraan pelayanan publik, yang kemudian
dijadikan sebagai norma kritik dalam mengevaluasi peraturan perundang-
undangan hukum positif, baik yang bersifat umum maupun yang khusus
berlaku di suatu instansi pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan publik.
Beberapa perundangan-undangan yang telah diteliti adalah
perUUan yang menyangkut standar dan prosedur pelayanan publik yang
berlaku secara nasional di Indonesia serta regulasi-regulasi di beberapa
instansi publik yang dipilih sebagai reposnden. Kriteria yang dipergunakan
oleh Tim untuk memilih sample penelitian adalah sejalan dengan
pengelompokan jenis pelayanan publik, seperti yang dimaksud di dalam
Kepmenpan No. 63/2003, yang meliputi pelayanan administrasi, pelayanan
barang dan pelayanan jasa, dengan mempertimbangkan:
- Luas lingkup / jangkauan pelayanannya yang bersifat nasional;
- Jenis pelayanannya berkaitan dengan kepentingan atau kebutuhan pokok
(basic needs) masyarakat.

Atas dasar hal diatas Tim menentukan sampel sebagai berikut:


a. Kelompok Pelayanan Administratif:
- Badan Pertanahan Nasional (penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah)
- Kantor Catatan Sipil atau Dinas Kependudukan (akta kelahiran dan
akta kematian)
- Kepolisian (penerbitan perijinan misalnya ijin keramaian).
b. Kelompok Pelayanan Barang:
7
- Perusahaan Penyelenggara Telekomunikasi
- Perusahaan Listrik Negara

7
Disadari sepenuhnya bahwa Kepmenpan No. 63/2003 mengkategorikan pelayanan
telekomunikasi sebagai pelayanan barang, dan disebut pelayanan jaringan telekomunikasi.

14
c. Kelompok Pelayanan Jasa:
- Pusat-pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat
- Kantor Pos.

2. Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang menyangkut aspirasi


dan pandangan masyarakat mengenai kualitas pelayanan publik, secara ideal
survey seharusnya diselenggarakan terhadap sejumlah anggota masyarakat
yang dianggap representatif. Namun dengan mengingat keterbatasan
biaya serta waktu, dan juga dengan mengingat cakupan wilayah
penelitian yang tidak dibatasi pada suatu wilayah tertentu di
Indonesia, maka metoda survey tidak mungkin untuk dilakukan.
Karena itu dengan memperhatikan kendala biaya, waktu serta luasnya cakupan
wilayah penelitian yang diharapkan, maka penelitian ini memusatkan
perhatiannya pada analisis dan penarikan kesimpulan dari data
sekunder, khususnya berupa hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan pihak
lain, baik yang dilakukan oleh intansi pemberi layanan publik itu sendiri atau
penelitian yang dilakukan oleh pihak yang independen seperti halnya masyarakat
(LSM), perguruan tinggi atau lembaga lainnya. Termasuk data sekunder yang
akan digunakan adalah, antara lain, hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
Kelompok Kerja Komisi Hukum Nasional dalam penelitian tentang Sistem
Penyampaian Keluhan Publik.
Selain penggunaan data sekunder sebagaimana dimaksud di atas, juga telah
diselenggarakan beberapa sesi wawancara dan/atau FGD (focused group
discussions) dengan sejumlah responden yang, dengan kriteria tertentu,
dipandang dapat dikualifikasi sebagai informan (pemberi informasi) dari apa
yang dirasakan dan dialami masyarakat dalam menerima layanan publik. Focus
Group Discussion (FGD) juga telah diselenggarakan dengan sejumlah nara
sumber, baik yang sudah ditetapkan sebagai nara sumber dalam penelitian ini
maupun dengan nara sumber lainnya yang dianggap memiliki kapabilitas dalam
bidang-bidang pelayanan publik yang terkait dalam penelitian ini.

15
3. Untuk memperoleh gambaran seutuhnya mengenai kemungkinan
pengembangan fungsi pelayanan keluhan publik sebagai bagian yang utuh
dari sistem pelayanan publik nasional maupun sektoral, Tim telah:
a. Melaksanakan kajian kepustakaan untuk untuk mengetahui prinsip-prinsip
dan teori-teori tentang pelayanan keluhan publik, baik dari segi hukum
maupun dari segi etika-profesional.
b. Melaksanakan kajian perbandingan untuk mengetahui model, sistem dan
prosedur pelayanan keluhan publik yang diselenggarakan dalam public
services di beberapa negara lain.
c. Menggali kriteria ideal dan normatif pelayanan keluhan publik di
Indonesia dan mengkaji keutuhan serta konsistensi sistem pelayanan
keluhan publik dikaitkan dengan sistem pelayanan publik yang saat ini
diberlakukan di dalam hukum positif Indonesia;
d. Meneliti kesenjangan yang ada antara fungsi dan tugas Biro-biro hukum
pada instansi-instansi pemerintah dewasa ini dengan fungsi dan tugas
yang harus diembannya seandainya biro-biro ini hendak menjadi pusat
pelayanan dan pemrosesan keluhan-keluhan dari instansi yang
bersangkutan;
e. Menyelenggarakan lokakarya dengan mengikutsertakan para Narasumber
yang dipilih oleh Tim dan para stakeholder pelayanan publik baik pejabat
instansi pemerintah, akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat, maupun
para pengemban profesi yang secara langsung berhubungan dengan
intansi pelayanan publik seperti notaris. Lokakarya yang diselenggarakan
di Bandung pada tanggal 30 Oktober 2004 tersebut bertujuan untuk
memberi masukan-masukan dari pelbagai sudut pandang, dengan tujuan
untuk memperkaya perolehan data penelitian. Narasumber yang telah
diminta untuk berpartisipasi adalah:
1. Jendral Pol (Purn) Chairudin Ismail (mantan Kapolri yang masih
concern terhadap pengembangan lembaga kepolisian, kritis
melakukan pemikiran terhadap peningkatan kinerja Kepolisian
Negara).
2. Anton Sujata,SH (Kepala Komisi Ombudsman Nasional)

16
3. Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin,SH (Guru Besar Hukum Administrasi
Negara, yang juga mantan birokrat)
4. Soewito, SH (seorang akademisi, ahli di bidang Hukum
Pemerintahan Daerah dan mantan birokrat di lingkungan
Departemen Dalam Negeri).
Sedangkan Ir. Thomas Widjanarko (seorang akademisi dan pejabat di PT
TELKOM) yang diharapkan dapat memberikan masukan tentang
pelaksnaan pelayanan publik untuk sektor bisnis, khususnya PT TELKOM
tidak dapat hadir.

5. EVALUASI TERHADAP PELAKSANAAN PENELITIAN


Berdasarkan evaluasi Tim terhadap kinerja Tim dan pelaksanaan
penelitian, dapat disimpulkan beberapa hasil evaluasi sebagai berikut:
1. Dalam pelaksanaan FGD, beberapa responden yang diharapkan hadir untuk
mewakili institusi penyelenggara pelayanan publik yang hendak diteliti,
ternyata tidak memenuhi undangan Tim, sehingga mengharuskan Tim untuk
memperoleh data dan informasi dari sumber-sumber lain;
2. Dalam pelaksanaan FGD, beberapa responden yang hadir mewakili instansi
yang diundang, ternyata bukan merupakan pejabat atau fungsionaris yang
relevan dengan fokus penelitian yang hendak didiskusikan;
3. Petugas atau pejabat yang dalam kenyataannya hadir dalam sesi-sesi FGD
atau menjadi subyek wawancara dipandang tidak cukup memiliki kompetensi
yang memadai untuk menjadi responden pada penelitian ini;
4. Dalam pelaksanaan wawancara, beberapa responden yang diwawancara
bukan merupakan pejabat atau fungsionaris yang relevan dengan fokus
penelitian yang menjadi pokok wawancara. Responden dalam kategori ini
umumnya kurang mampu memberikan informasi yang dibutuhkan, karena
ketidaktahuan atau karena jawaban-jawaban yang diberikan lebih merupakan
asumsi-asumsi pribadi saja;
5. Tim mengalami kegagalan untuk mewawancarai beberapa responden
penelitian yang diharapkan, dikarenakan beberapa responden samasekali
menolak untuk menerima staf peneliti atau tidak bersedia untuk bertemu

17
dalam rangka pelaksanaan penelitian,sekalipun sebelumnya telah menyatakan
kesediaannya ;
6. Beberapa responden yang telah ditentukan untuk diwawancara ternyata
samasekali tidak berhasil dijumpai walaupun pelbagai upaya telah dilakukan
oleh Tim untuk menjumpainya;

6. ORGANISASI PENELITIAN
Anggaran kegiatan proyek ini bersumber dari APBN yang disalurkan
melalui Sekretariat Negara. Penanggungjawab penelitian adalah Komisi Hukum
Nasional (KHN) Republik Indonesia.

Kelompok Kerja Komisi B-5 terdiri dari:


Agustinus Pohan, SH., MS.
Bayu Seto, SH., LL.M.
Budi Prastowo, SH., MHum.

Nara Sumber:
1. Jendral Pol (Purn) Chairudin Ismail
2. Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin,SH
3. Soewito MD,SH
4. Anton Sujata,SH
5. Prof. Dr. JE Sahetapy, SH

Lokasi Penelitian:
1. Jakarta
2. Bandung
3. Semarang
4. Surabaya

18
BAB II
HASIL PENELITIAN NORMATIF
SISTEM PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK
INDONESIA

1. Sistem Penyelenggaraan Pelayanan Publik Nasional Indonesia


Secara luas istilah Pelayanan Publik dapat diartikan sebagai: kegiatan-
kegiatan dan obyek-obyek tertentu yang secara khusus dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat umum (the general public) atau memberikan
dukungan terhadap upaya meningkatkan kenikmatan dan kemudahan (comfort and
conveniences) bagi seluruh masyarakat 8 .
Di dalam hukum administrasi negara Indonesia, istilah pelayanan publik
diartikan sebagai:
segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah sebagai
upaya pemenuhan kebutuhan orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan
hukum maupun sebagai pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan 9
Definisi yang digunakan di dalam salah satu aturan hukum positif
Indonesia di atas memiliki lingkup yang lebih sempit karena dengan demikian tidak
mencakup pelayanan bagi masyarakat umum yang diselenggarakan oleh pihak-pihak
swasta (baik melalui konsesi, franchise, atau penunjukkan lainnya 10 ) dan juga tidak
mencakup pelayanan publik yang diselenggarakan dalam rangka penegakan hukum

8
Bila dibandingkan dengan term Public Service di dalam Blacks Law Dictionary
yang diberi makna: A term applied to the objects and enterprises of certain kinds of corporations
which specially serve the needs of the general public or conduce to the comfort and convenience
of an entire community , maka term ini mencakup juga pengertian kegiatan dan usaha yang
dijalankan oleh public corporations sebagai perusahaan milik swasta yang memperoleh konsesi
dari negara untuk menyelenggarakan pelayanan publik.
9
Berdasarkan pengertian umum yang dimuat di dalam Lampiran 3 Keputusan Menpan
No. 63/Kep/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, pada
Paragraf I, butir C.
10
Kecuali tentunya Badan-badan Usaha Milik Negara dan Milik Daerah, yang oleh
Keputusan Menpan No.63/2003 dikategorikan sebagai Instansi Pemerintah. Dalam situasi di
mana sebuah BUMN atau BUMD melaksanakan tugasnya melalui kerjasama kontraktual atau
konsesional dengan fihak-fihak swasta dalam menyelenggarakan pelayanan publik, maka fihak-
fihak swasta itu akan terikat pula pada peraturan perundang-undangan mengenai pelayanan
publik yang berlaku, sekurang-kurangnya sebagai standar minimum kualitas pelayanannya.
19
dan keadilan di dalam masyarakat oleh aparat-aparat non-eksekutif, seperti polisi,
kejaksaan atau pengadilan.
Sebagai titik tolak, beberapa esensi dalam penyelenggaraan pelayanan
publik yang perlu selalu disadari adalah bahwa masalah pelayanan publik bersumber
pada:

(4) adanya kewajiban pada pihak administrasi negara untuk menjalankan fungsi
dan wewenangnya berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan
bersih;
(5) adanya pengakuan terhadap hak asasi setiap warganegara atas pemerintahan,
perilaku administratif , dan kualitas hasil-pelayanan yang baik;
(6) adanya keaneka ragaman jenis serta bidang pelayanan publik di Indonesia
sebagai akibat dari adanya keragaman urusan dan kepentingan masyarakat
yang harus dipenuhi melalui penyelenggaraan pelayanan publik;
Terlepas dari perbedaan jenis dan bidang pelayanan di atas, aktivitas
pelayanan publik hampir selalu berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas
penyelenggaraan pemerintahan, di mana semua tugas-tugas yang harus
diselenggarakan dalam rangka merealisasikan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum
(public policies) pemerintah harus dapat didelegasikan pada fihak-fihak atau
institusi-institusi tertentu yang memiliki kewenangan (authority), kompetensi
(competence), dan sumber-sumber daya (resources) untuk menyelenggarakan
pelayanan publik kepada masyarakat umum. Sejalan dengan itu, beberapa hal pokok
yang selalu melekat sebagai ciri dari Pelayanan Publik dan Penyelenggara pelayanan
publik (public servants) adalah bahwa Pelayanan Publik:
a. Umumnya diselenggarakan sebagai pengejawantahan dari dan dalam rangka
realisasi kebijaksanaan negara yang ditujukan untuk masyarakat umum (dalam
wujud penetapan hak dan kewajiban bagi warga masyarakat) yang ditetapkan
melalui aturan-aturan hukum/perundang-undangan;
b. Diselenggarakan oleh petugas-petugas atau instansi-instansi yang berdasarkan
hukum dan peraturan perUUan diberi kewenangan serta diwajibkan untuk
memenuhi kualifikasi-kualifikasi tertentu untuk memberikan pelayanan dalam
urusan tertentu di dalam masyarakat;

20
c. Menyangkut penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat yang dijalankan
berdasarkan kerangka prosedural tertentu yang telah distandardisir dari segi
kinerja maupun kualitasnya;
d. Menyangkut pelbagai urusan dan kepentingan masyarakat umum di pelbagai
bidang kehidupan, yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara, dan
karena itu penyelenggaraannya dapat berkenaan dengan pelayanan
11
administratif, penyediaan barang, penyediaan jasa bagi masyarakat atau
gabungan dari jenis-jenis pelayanan itu;
e. Tingkat keberhasilannya hampir selalu diukur dari tingkat kepuasan masyarakat
penerima pelayanan publik, baik dari segi kualitas pelayanan, praktikabilitas,
tingkat biaya pelayanan yang harus dikeluarkan, kualitas produk
(barang/jasa/status), tingkat responsivitas terhadap keanekaragaman
kepentingan dan kebutuhan di dalam masyarakat, dan tingkat responsivitas
terhadap keluhan-keluhan yang disampaikan oleh masyarakat;
f. Selalu harus diselenggarakan berdasarkan standar kualitas hasil-kerja tertentu
yang mengikat para penyelenggara pelayanan publik sehingga dapat dijamin
pencapaian tingkat kepuasan masyarakat penerima pelayanan publik yang
minimal seragam secara nasional dan atau seragam di pelbagai sektor pelayanan
publik yang ada;
g. Selalu berhadapan dengan pluralitas di dalam masyarakat, baik dari segi
kepentingan (interests), kebutuhan (necessities), latar belakang ekonomi, sosial,
politik, budaya, dsb, sehingga dalam penyelenggaraannya tercakup pula adanya
jaminan untuk bersifat non-diskriminatif, proporsional, obyektif dan imparsial 12 .

11
Bahkan apabila sebagian dari tugas-tugas kepolisian hendak dikategorikan sebagai
pelayanan publik, maka tugas-tugas ini dapat dilihat sebagai pelayanan publik yang khusus, yaitu
pelayanan untuk penegakan hukum dan ketertiban di dalam masyarakat.
12
Sebagai perbandingan, di dalam wacana tentang Pelayanan Publik di luar Indonesia,
dikenal konsep citizenry yang mengandung makna bahwa pelayanan publik lebih dari sekedar
menyediakan pelayanan pada pelanggan atau klien, bukan sekedar memberikan layanan
konsultasi pada pihak-pihak yang berkepentingan, dan bahkan lebih dari sekedar mengupayakan
efisiensi demi kepentingan para pembayar pajak. Pelayanan publik menyediakan pelayanan
kepada masyarakat secara keseluruhan, tanpa melihat pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok
kepentingan yang berada di belakangnya. Disarikan dari: Shergold, Peter, Ethics and the
Changing Nature of Public Service, makalah pada The Fifth International Conference on Public
Sector Ethics Between Past and Future, Australia, 1996. Makalah dapat dilihat seutuhnya pada
http://www.apsc.gov.au/media/shergold050896.htm
21
Artinya juga, bila terdapat penyimpangan-penyimpangan terhadap hal itu hanya
dapat dibenarkan bila terdapat justifikasinya di dalam hukum;
h. Karena pada tingkat realisasinya dilaksanakan oleh petugas-petugas atau
pejabat-pejabat publik tertentu, adanya standar perilaku yang mencakup standar
etik maupun manajerial dalam wujud code of good conduct menjadi keharusan.
Standar perilaku semacam itu harus menjadi pedoman perilaku bagi para
petugas/pejabat dan pedoman penilaian terhadap pemenuhan hak-hak
masyarakat untuk memperoleh pelayanan prima.
Dari gambaran di atas, untuk sementara dapat disimpulkan bahwa
apabila orang berbicara tentang Sistem Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Indonesia yang seutuhnya, maka terdapat faktor-faktor utama yang perlu
bersinergi dan saling mengisi dalam mendukung bekerjanya keseluruhan sistem itu
secara optimal. Faktor-faktor itu meliputi:

A. Regulasi tentang Pelayanan Publik,


Regulasi pelayanan publik berwujud seperangkat peraturan perundang-
undangan, yang sebagian besar merupakan kaidah-kaidah hukum administrasi
negara, yang memberikan dasar hukum dari beroperasinya sistem pelayanan
publik. Elemen regulasi ini memiliki peran yang sentral, karena secara utuh ia
mengintegrasikan, memberikan kekuatan berlaku yang mengikat, serta menjaga
keutuhan dan konsistensi di dalam seluruh sistem pelayanan publik. Peraturan-
peraturan hukum meletakkan dasar yuridik serta menjadi dasar keabsahan dari:
- keberadaan hukum (legal existence) institusi-institusi administrasi negara
penyelenggara pelayanan publik;
- bekerjanya struktur organisasi, pengisian jabatan-jabatan dan fungsi-fungsi
penyelenggara pelayanan publik dengan pejabat-pejabat dengan kualifikasi
dan kompetensi tertentu;
- penetapan dan pelaksanaan tugas, tanggung jawab, kewenangan dan hak-
hak penyelenggara pelayanan publik;
- pengakuan kedudukan, dan penegakan hak, kewajiban, serta tanggung
jawab warga masyarakat pengguna pelayanan jasa publik;

22
- penetapan berlakunya proses/prosedur penyelenggaraan pelayanan jasa
publik serta standar minimum pelayanan (tolok ukur kinerja/hasil
kerja/kualitas produk) termasuk indeks kepuasan masyarakat dan
proses/prosedur pengajuan dan pelayanan keluhan publik (public complaint
/public grievance);
- berlakunya standar perilaku (standard of conduct) para penjabat
penyelenggara pelayanan publik;

B. Asas-asas Penyelenggaraan Pelayanan Publik


Dimaksud dengan asas-asas penyelenggaraan pelayanan publik adalah
prinsip-prinsip dasar yang menjadi acuan dalam pengorganisasian, acuan kerja,
serta pedoman penilaian-kinerja bagi setiap lembaga penyelenggara pelayanan
publik. Asas-asas yang dapat dikategorikan sebagai asas-asas umum administrasi
publik yang baik (general principles of good administration) ini harus bersifat
umum dan adaptif terhadap keunikan jenis-jenis pelayanan yang mungkin
diselenggarakan secara publik.
Bersifat umum karena asas-asas ini secara langsung menyentuh hakekat
pelayanan publik sebagai wujud dari upaya melaksanakan tugas pemerintah
dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat banyak dan/atau tugas pelaksanaan
perintah peraturan perundang-undangan.
Bersifat adaptif, karena asas-asas ini harus dapat berfungsi sebagai
acuan dalam setiap kegiatan administrasi negara yang bersentuhan langsung
dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat umum, baik di bidang
pelayanan administratif, pelayanan jasa, pelayanan barang, ataupun kombinasi
dari pelayanan-pelayanan tersebut. Dengan sifat adaptif ini maka asas-asas ini
dapat selalu dijabarkan lebih lanjut di dalam penetapan aturan-aturan teknis,
baik yang menyangkut sistem, prosedur, standar kualitas, pelayanan keluhan,
dsb dari setiap jenis pelayanan publik.
Asas-asas utama, yang berdasarkan penelitian team, melekat secara
inherent pada esensi Pelayanan Publik adalah 13 :

13
Asas-asas ini merupakan hasil modifikasi yang dilakukan oleh Tim serta kombinasi
antara asas-asas yang dikembangkan oleh Cadbury Committee di Inggris pada tahun 1992:
Lihat: Report of the Committee on the Financial Aspects of Corporate Governance, dengan
23
(1) Asas Keterbukaan (openness)
Keterbukaan menjadi salah satu asas utama untuk menjamin bahwa para
stakeholders 14 dapat mengandalkan proses pengambilan keputusan,
tindakan-tindakan oleh institusi-institusi publik, pengelolaan aktivitas, serta
pengelolaan sumber-sumber daya manusia di dalam institusi-institusi
pelayanan publik. Keterbukaan (mungkin setara dengan asas transparansi)
yang diwujudkan melalui pembinaan komunikasi secara penuh, terinci dan
jelas dengan para stakeholders menjadi salah satu prinsip utama dari suatu
good governance, termasuk dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
(2) Asas Integritas
Integritas mengandung makna berurusan secara langsung
(straightforward dealings) dan ketuntasan (completeness) dalam
pelaksanaan fungsi-fungsi pelayanan publik. Asas moral yang mendasari
asas integritas ini terutama adalah kejujuran, obyektivitas dan standar
kesantunan yang tinggi, serta tanggung jawab atas penggunaan dana-dana
dan sumber daya publik;
(3) Asas Akuntabilitas
Asas ini berkenaan dengan proses di mana unit-unit pelayanan publik dan
orang-orang yang berfungsi di dalamnya harus bertanggung jawab atas
keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan yang dibuatnya, serta
kebersediaan untuk menjalani proses pengawasan baik eksternal (dari
masyarakat) maupun internal (dari atasan). Singkatnya, akuntabilitas
melahirkan kewajiban untuk bertanggung jawab atas fungsi dan
kewenangan yang secara sah dipercayakan kepada setiap public servant .

asas-asas Administrasi yang Baik (General Principles of Good Administration) yang ditetapkan
oleh European Commission dalam: Code of Good Administrative Behaviour: Relatons ewith the
Public, Official Journal of the European Communities: OJ L 267,20.20.2000.
14
Dalam konteks penelitian ini, stakeholders pada dasarnya adalah warga masyarakat
pengguna jasa layanan publik, masyarakat pembayar pajak, institusi-institusi administrasi negara
lain, institusi-institusi swasta, yang secara langsung atau tidak langsung berkepentingan dalam
memperoleh layanan publik. Bandingkan dengan: International Federation of Accountants,
Corporate Governance in The Public Sector: A Governing Body Perspective, Juli 2000, hal 16,
note 2.

24
(4) Asas Legalitas
Berdasarkan asas lawfulness ini, setiap tindakan, pengambilan keputusan,
serta pelaksanaan fungsi suatu institusi pelayanan publik harus sejalan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan dijalankan sesuai
dengan aturan dan prosedur yang ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Legalitas di sini seyogyanya diartikan secara luas dan
tidak hanya mencakup legalitas formal saja, tetapi juga legalitas dalam arti
material/substansial
(5) Asas Non-Diskriminasi dan Perlakuan Yang Sama
Institusi-institusi penyelenggara pelayanan publik harus bekerja atas dasar
prinsip pemberian pelayanan yang sama dan setara kepada warga
masyarakat, tanpa membedakan gender, ras, agama/kepercayaan,
kemampuan fisik, aspirasi politik, dsb. Artinya, perlakuan yang berbeda
terhadap suatu kasus yang pada dasarnya sama dengan kasus-kasus lain,
harus secara tegas mendapatkan pembenarannya di dalam fakta-fakta
khusus yang relevan di dalam kasus tersebut;
(6) Asas Proporsionalitas
Asas ini meletakkan kewajiban pada setiap penyelenggaraan pelayanan
publik untuk menjamin bahwa beban yang harus ditanggung oleh
masyarakat pengguna jasa layanan publik akibat tindakan-tindakan yang
diambil oleh institusi pelayanan publik harus berbanding secara proporsional
dengan tujuan atau manfaat yang hendak diperoleh oleh warga masyarakat
ybs. Asas ini berkaitan erat dengan beban-beban administratif, biaya dan
waktu pelayanan yang harus ditanggung oleh masyarakat apabila mereka
hendak memperoleh pelayanan publik.
(7) Asas Konsistensi
Berdasarkan asas ini, warga masyarakat dan/atau stakeholders layanan
publik pada umumnya memperoleh jaminan bahwa institusi-institusi
pelayanan publik akan bekerja secara konsisten sesuai pola-kerjanya yang
normal dalam perilaku administratifnya. Artinya juga, penyimpangan
terhadap asas ini (dispensasi, perlakuan khusus, dsb) harus memperoleh
pembenarannya secara sah (duly justified).

25
C. Standar Minimum Pelayanan

Yang dimaksudkan dengan Standar Minimum Pelayanan adalah standar


kualitas pelayanan yang sekurang-kurangnya harus dipenuhi oleh setiap
institusi penyelenggara pelayanan publik dengan kualitas hasil kerja yang diukur
dari tingkat kepuasan minimum yang dapat diterima masyarakat pengguna
pelayanan publik. Standar Minimum Pelayanan itu harus dapat menjadi acuan:
- Bagi instansi penyelenggara pelayanan publik dalam menilai tingkat
keberhasilannya dalam perencanaan, pengorganisasian, penetapan dan
pelaksanaan mekanisme operasi dan prosedur pelayanan, penetapan
kompetensi petugas, serta bekerjanya mekanisme dan prosedur pelayanan
terhadap keluhan publik;
- Bagi masyarakat penerima pelayanan publik dalam menetapkan hak dan
kewajibannya sebagai konsumen, mengukur kualitas hasil pelayanan yang
diberikan oleh instansi yang bersangkutan, serta kedudukan dan hak-haknya
untuk mengajukan keluhan-keluhan.

D. Norma-norma Perilaku Petugas Penyelenggara Pelayanan Publik

Faktor terpenting untuk bekerjanya sebuah sistem pelayanan publik


secara optimal pada akhirnya terletak pada faktor petugas atau pejabat/pegawai
pemberi pelayanan publik, termasuk pejabat-pejabat yang membawahi dan
memiliki hubungan organisatoris-hirarkis dengan petugas-petugas tadi. Petugas
sebaiknya diartikan setara dengan public official atau orang yang dipekerjakan
pada sebuah otoritas administrasi publik 15 , dan dalam menjalankan fungsinya itu
tindak-tanduk mereka perlu dibatasi oleh seperangkat norma-norma yang
dituangkan di dalam Code of Conduct for Public Officials, yang antara lain
mencakup norma-norma tentang:
- kewajiban untuk bekerja sesuai dengan aturan-aturan hukum dan standar
etik yang relevan dengan fungsinya;

15
Dalam draft code of conduct untuk petugas pelayanan publik yang dihasilkan melalui
penelitian yang dilakukan oleh Corruption Research Centre dan UNDP di Negara Georgia
digunakan istilah Public Servant. Draft disusun oleh Khidashelli, Vazha, Gegidze, Thea,
Corruption Research Centre, Tbilisi, Georgia, 2001, http://crc.gateway.ge/ .

26
- kewajiban untuk menempatkan diri secara netral dari atau bebas dari
pengaruh kepentingan politis atau ekonomis tertentu;
- kewajiban untuk bersikap dan bekerja dengan jujur, imparsial, dan efisien;
- kewajiban untuk senantiasa bekerja dengan sopan santun, baik terhadap
warga masyarakat yang dilayaninya, maupun terhadap atasan, kolega
maupun bawahannya;
- kewajiban untuk menghindarkan diri dari pertentangan antara kepentingan
pribadi dengan posisi publiknya;
- kewajiban untuk tidak mengambil keuntungan yang tidak wajar dari posisi
atau kedudukannya demi kepentingan pribadi;
- kewajiban untuk senantiasa berperilaku sedemikian rupa demi
mempertahankan dan meningkatkan kepercayaan dan keyakinan publik
terhadap integritas, imparsialitas serta efektivitas pelayanan publik yang
diselenggarakannya;
- kewajiban untuk melaksanakan tugas dan fungsinya atas dasar itikad baik,
ketekunan berdasarkan keakhlian profesional, pengetahuan dan pengalaman
yang memadai;
- kewajiban untuk senantiasa menjaga keseimbangan antara penghormatan
terhadap hak-hak asasi dan kebebasan warga masyarakat dengan kewajiban
untuk mendahulukan kepentingan umum, dan tidak menetapkan
pembatasan-pembatasan yang tidak wajar (unreasonable restrictions);
- kewajiban untuk menghormati hak warga masyarakat atas informasi publik;
- sanksi-sanksi hukum yang tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran terhadap
Code of conduct ini;

Yang menjadi pertanyaan penelitian utama pada bagian ini adalah:


Bagaimana pengaturan masalah pelayanan publik di dalam Hukum
Positif Indonesia melalui peraturan-peraturan hukum administrasi
negara yang bersifat nasional?
Sampai dengan disusunnya laporan penelitian ini, Sumber-sumber hukum
primer yang dapat diklasifikasi sebagai peraturan perundang-undangan khusus
dan secara teknis mengatur tentang penyelenggaraan pelayanan publik secara

27
nasional masih terbatas pada regulasi setingkat Surat Keputusan Menteri,
walaupun peraturan-peraturan ini dapat dianggap sebagai aturan pelaksanaan
dari pelbagai peraturan perundang-undangan setingkat Undang-undang sampai
dengan Instruksi Presiden yang secara umum mengatur Kewenangan
pemerintahan pada tingkat pusat dan daerah, serta upaya untuk menciptakan
16
pemerintahan yang bersih dari unsur-unsur korupsi, kolusi dan nepotisme .
Beberapa peraturan perundangan utama yang secara khusus mengatur
mengenai pelayanan publik atau beberapa elemennya adalah:
(a) Undang-undang No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, khsusnya Pasal
2 ayat (4) dan ayat (5), serta Pasal 16.
(b) Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada
Masyarakat (Selanjutnya disebut Inpres No. 1/1995);
(c) Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Pelayanan Publik (Selanjutnya disebut Kepmenpan No. 63/2003);
(d) Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
25/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks
Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah (Selanjutnya
disebut Kepmenpan No. 25/2004);
(e) Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
26/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan
Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik (Selanjutnya
disebut: Kepmenpan No. 26/2004).
Di bawah ini akan disajikan hasil pengkajian Tim terhadap substansi dari
ketiga Kepmen tersebut, terutama ditinjau dari segi keutuhannya sebagai bagian
dari sistem hukum pelayanan publik nasional Indonesia:

16
Misalnya, UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (yang diubah melalui UU No.
32/2004), UU No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004,
Peraturan Pemerintah No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi
sebagai Daerah Otonom, Peraturan Pemerintah No. 71/2000 tentang Tatacara Pelaksanaan Peran
serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Instruksi Presiden No. 1/1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu
Pelayanan Aparatur kepada Masyarakat.

28
a. UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, yang merupakan
penyempurnaan terhadap UU No. 22/1999, khususnya pasal 16 ayat (1)
dan (2) pada dasarnya merupakan aturan yang memberikan dasar
pembenaran formal dari pemberlakuan Pedoman-pedoman Pelayanan Publik
yang ditetapkan oleh Menpan, sekurang-kurangnya sebelum
diberlakukannya sebuah Undang-undang tentang Pelayanan Umum. Pasal
16 berbunyi:
(1) Hubungan dalam bidang pemerintahan umum antara Pemerintah
dengan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 2
ayat (4) dan ayat (5) meliputi:
a. Kewenangan, tanggung jawab, dan penentuan standar
pelayanan minimal;
b. Pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi
kewenangan daerah, dan
c. Fasilitasi pelaksanaan kerjasama antarpemerintah daerah dalam
penyelenggaraan pelayanan umum;
(2) Hubungan dalam bidang Pelayanan umum antarpemerintah daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:
a. pelaksanaan bidang pelayanan umum antarpemerintah daerah;
b. kerjasama antarpemerintah daerah dalam penyelenggaraan
pelayanan umum, dan
c. pengelolaan perizinan bersama bidang pelayanan umum
b. Inpres No. 1/1995 yang masih merupakan produk perundang-undangan
pre-reformasi hukum sebenarnya hanya memuat perintah Presiden kepada
para instansi-instansi pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah
untuk secara terkoordinasi mengambil langkah-langkah guna memperbaiki
dan meningkatkan mutu pelayanan publik, baik yang menyangkut urusan
pelayanan pemerintah, pembangunan maupun kemasyarakatan. Inpres ini
pada dasarnya hanya berfungsi sebagai dasar hukum bagi instansi-instansi
publik untuk mulai melaksanakan hal itu, tanpa dilengkapi suatu pola umum
upaya peningkatan mutu pelayanan yang dikehendaki atau mengenai pihak-
pihak yang bertanggung jawab untuk merealisasikan hal tersebut.

29
c. Walaupun dituangkan dalam bentuk Keputusan Menteri, secara umum
Kepmenpan No. 63/2003 dapat dianggap sebagai peraturan mendasar
untuk mewujudkan tekad melaksanakan TAP MPR No. XI/1998 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bebas dan Bersih dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme, melalui pembinaan Aparatur Negara yang mampu menjalankan
tugas dan fungsinya secara professional, produktif, transparan dan bebas
KKN, yang diwujudkan melalui peningkatan kinerja aparatur administrasi
negara dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Sebagai Pedoman Umum, Kepmenpan No. 63/2003 menetapkan
orientasi pelayanan publik ke arah pemenuhan kebutuhan dan kepuasan
penerima pelayanan, sehingga dapat meningkatkan daya saing dalam
pemberian pelayanan barang dan jasa. Sejalan dengan semakin besarnya
kecenderungan untuk melihat masalah penyelenggaraan pemerintahan di
dalam konteks otonomi daerah, maka Kepmenpan No. 63/2003 merupakan
peletak dasar untuk 17 :
o penyelenggaraan pelayanan dengan jalur birokrasi yang lebih ringkas;
o memberi peluang bagi pemerintah daerah untuk melakukan terobosan-
terobosan di dalam sistem penyelenggaraan pelayanan publik sehingga
dapat mendukung upaya peningkatan kualitas pelayanan;
o membuka kemungkinan pemanfaatan kemajuan teknologi sebagai solusi
dalam memenuhi aspek transparansi, akuntabilitas dan partisipasi
masyarakat, serta lebih menjamin tersedianya data dan informasi pada
instansi pemerintah yang dapat dianalisis dan dimanfaatkan secara
cepat, akuran, dan aman;
d. Satu hal yang merupakan amanat tersirat, namun tidak secara tegas terurai
di dalam substansi sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang
dikehendaki oleh KepMenpan No. 63/2003 ini adalah memahami idea
masyarakat penerima pelayanan publik sebagai konsumen akhir seperti
yang dimaksudkan di dalam Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK). Hal ini terbukti dari penyebutan UUPK

17
Lihat Pendahuluan, butir A, Latar Belakang.

30
18
sebagai salah satu sumber hukum utama bagi Kepmenpan No. 63/1999 .
Walaupun secara ideal kebijakan ini tampak sangat baik dan berani, namun
beberapa masalah diduga dapat timbul dari perwujudan kebijakan ini dalam
kenyataan, seperti misalnya:
- Kesulitan untuk sepenuhnya menganggap relasi antara penyelenggara
pelayanan publik dan penerima pelayanan publik sebagai relasi antara
pelaku bisnis dan konsumen akhir sesuai kriteria lingkup berlaku
UUPK.
- Kesulitan di atas akan membawa dampak terhadap akurasi dari
pemahaman instansi penyelenggara pelayanan publik sebagai pelaku
bisnis, dan pada gilirannya, menimbulkan deadlock untuk dapat
19
menuntut tanggung jawab instansi publik itu berdasarkan UUPK .
- Kesulitan lain yang dapat timbul adalah untuk memahami sepenuhnya
pengertian warga masyarakat penerima pelayanan publik sebagai
konsumen akhir seperti yang dimaksudkan di dalam UUPK, mengingat
kenyataan tidak sepenuhnya penerima pelayanan publik dapat
dikategorikan sebagai end consumer dari suatu produk. (misalnya
notaris dalam hubungannya dengan BPN, event organizers dalam
hubungannya dengan instansi penerbit perijinan, Pelayanan PT Telkom
atau PLN terhadap konsumen industri, dsb);
- Inkonsistensi-inkonsistensi di atas secara langsung juga berdampak
pada prospek dan efektivitas penyelesaian sengketa-sengketa yang
menyangkut pelayanan publik melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen 20 .
e. Ditinjau dari Maksud dan Tujuan pembuatan Kepmenpan No. 63/2003,
yaitu untuk menjadi acuan bagi seluruh penyelenggara pelayanan publik di

18
Lihat Konsiderans Mengingat butir 1.
19
Penjelasan Pasal 1 Angka 3 UUPK: Pelaku Usaha yang termasuk dalam pengertian ini
adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.
20
Walaupun ada pandangan di kalangan BPSK yang justru menekankan pada kata dan
lain-lain dari pengertian Pelaku Usaha yang dimaksud di dalam UUPK untuk menjaring
instansi-instansi pelayanan publik ke dalam lingkup berlaku UUPK.

31
Indonesia untuk mendorong terwujudnya pelayanan publik yang prima,
maka daya berlaku Kepmenpan No. 63/2003 terhadap seluruh instansi
penyelenggara pelayanan publik inipun patut dipertanyakan. Kedudukan
hirarkis perUUan dari Pedoman Umum (dalam bentuk Keputusan Menteri)
yang seringkali lebih rendah dari aturan-aturan hukum yang menjadi dasar
eksistensi serta landasan kerja instansi-instansi penyelenggara pelayanan
publik yang hendak diaturnya, menyebabkan efektivitas berlakunya
Kepmenpan 63/2003 patut dipertanyakan. Hasil penelitian di lapangan akan
menggambarkan persoalan ini dalam kenyataan .
f. Paragraf I, butir C. tentang Pengertian Umum dari Kepmenpan 63/2003
dalam butir 4 nya membatasi pengertian Unit Penyelenggara Pelayanan
Publik sebagai unit kerja pada Instansi Pemerintah yang secara langsung
memberikan pelayanan kepada penerima pelayanan publik. Namun
demikian, di dalam Paragraf V, butir G dibuka kemungkinan untuk
penyelenggaraan pelayanan publik melalui Biro Jasa Pelayanan.
Kemungkinan semacam ini akan mengurangi sifat pelayanan publik dalam
arti sebenarnya, dan memasukkan aspek komersial ke dalam
penyelenggaraan pelayanan publik. Secara praktikal, hal ini mungkin akan
meningkatkan kualitas pelayanan bagi masyarakat, walaupun secara
potensial dapat menimbulkan masalah-masalah penyulit (complications),
seperti:
- peningkatan cost yang harus ditanggung oleh masyarakat penerima
pelayanan publik;
- kejelasan hubungan hukum antara instansi penyelenggara pelayanan
publik dengan biro jasa pelayanan. Apakah biro semacam itu akan
berkedudukan sebagai agen (agency) dan apabila jawabannya bersifat
afirmatif, apakah ia akan menjadi agen dari warga masyarakat penerima
jasa pelayanan, atau dari instansi penyelenggara pelayanan publik
sebagai prinsipal nya.
- Masalah di atas akan kembali memunculkan persoalan tentang mungkin
atau tidaknya keluhan-keluhan yang timbul akibat rendahnya kualitas
pelayanan dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak-hak

32
konsumen sesuai yang dimaksud di dalam UUPK, ataukah harus
dianggap sebagai praktek maladministrasi yang tunduk pada domain
aturan aturan hukum administrasi negara;
g. Paragraf III Kepmenpan 63/2003 menetapkan sejumlah asas Pelayanan
Publik. Sebagian besar dari asas-asas yang umumnya diakui sebagai asas-
asas pokok pelayanan publik telah dicakup oleh bagian ini, walaupun
umumnya lebih diarahkan pada asas-asas bekerjanya sistem dan proses
pelayanan publik, dan kurang diarahkan pada kualitas etik para pengemban
fungsi pelayanan publiknya, serta standar kualitas produk atau keluaran dari
pelayanan yang diberikan. Kepmenpan No. 26/2004 sudah menjabarkan dua
asas utama pelayanan publik ke dalam petunjuk teknis yang lebih terinci
(lihat butir h di bawah ini)
h. Beberapa asas pokok pelayanan publik yang sudah dicakup oleh Kepmenpan
No. 63/2003 dan atau Kepmenpan No. 26/2004, walaupun beberapa
mungkin dengan pemaknaan yang agak berbeda, adalah:
- Asas Keterbukaan (dis. Asas Transparansi), yang diberi makna yang
lebih sempit daripada asas openness, karena lebih diarahkan pada
kemudahan untuk mengakses pelayanan (accessability), ketersediaan
(abundancy), serta kesederhanaan proses (simplicity), namun kurang
menyentuh keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan dan
komunikasi dengan para stakeholders. Asas ini dijabarkan lebih lanjut di
dalam Kepmenpan No. 26/2004, yang mengartikan transparansi
sebagai Pelaksanaan tugas dan kegiatan yang bersifat terbuka bagi
masyarakat dari proses kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan/pengendaliannya, serta kemudahan akses bagi semua
pihak atas informasi.Dalam sebuah sistem penyelenggaraan pelayanan
publik, asas transparansi ini dijabarkan dalam bentuk petunjuk teknis
yang harus diwujudkan dalam:

Manajemen dan penyelenggaraan pelayanan publik


Prosedur Pelayanan
Persyaratan teknis dan administratif pelayanan

33
Rincian biaya pelayanan
Waktu Penyelesaian Pelayanan
Pejabat yang Berwenang dan Bertanggung jawab
Lokasi Pelayanan
Janji Pelayanan
Standar Pelayanan Publik
Informasi Pelayanan

- Asas Akuntabilitas di dalam Kepmenpan No. 26/2004 diberi makna


sebagai keharusan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik dapat
dipertanggungjawabkan, baik kepada publik maupun kepada
atasan/pimpinan unit pelayanan instansi pemerintah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Pertanggungjawaban yang dimaksud di
atas meliputi akuntabilitas:

Kinerja pelayanan publik


Biaya pelayanan publik
Produk Pelayanan Publik

- Asas Non-Diskriminatif (dis. Asas Kesamaan Hak)

- Asas Proporsionalitas (dis. Asas Keseimbangan Hak dan Kewajiban),


yang dirumuskan secara luas dalam wujud kewajiban pihak penyedia
dan penerima pelayanan untuk memenuhi hak dan kewajibannya
masing-masing. Yang tampak belum dicakup oleh asas ini adalah
pemahaman dasar mengenai proporsionalitas antara besarnya upaya
atau tindakan yang diambil dalam penyelenggaraan pelayanan publik
dengan manfaat atau tujuan yang hendak dicapai melalui pemberian
pelayanan itu;
Asas-asas yang secara teoretis melekat pada esensi pelayanan
publik, namun belum diatur secara eksplisit di dalam Kepmenpan No.
63/2003 adalah:

34
- Asas Integritas, yang menunjuk ke arah, baik sistem, prosedur,
maupun pejabat pelaksana pelayanan publik, terutama aspek-aspek etis
yang dianggap relevan dengan cara kerja pejabat penyelenggara
pelayanan publik (kejujuran, obyektivitas, serta kesantunan);
- Asas Legalitas, yang memberikan dasar keabsahan yuridik pada
setiap tindakan, pengambilan keputusan ataupun pelaksanaan fungsi
pelayanan publik. Tampaknya, Kepmenpan No. 63/2003 telah secara
implisit memuatnya di dalam asas Akuntabilitas yang diberi makna:
dapat dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan. Pengertian umum Pelayanan Publik yang dimuat di dalam
Paragraf I butir C.1 juga tampaknya sudah mencakup asas legalitas ini;
- Asas Konsistensi, yang sebenarnya sangat penting untuk memberi
jaminan kepada para penerima pelayanan jasa publik bahwa proses
pelayanan pada dasarnya harus dijalankan berdasarkan prosedur
normal, dan bahwa pengecualian (atau dispensasi) hanya diberikan bila
didukung oleh justifikasi yang valid berdasarkan hukum;
Asas-asas pelayanan publik yang dimuat secara khas di dalam
Kepmenpan No. 63/2003, dan mungkin akan membentuk kekhasan pada
sistem penyelenggaraan pelayanan publik Indonesia, adalah:
- Asas Kondisional, yang membenarkan penyelenggaraan pelayanan
publik dengan mengacu pada kondisi dan kemampuan pemberi dan
penerima pelayanan. Bila tidak diartikan secara berhati-hati, asas ini
mungkin akan menjadi counter productive terhadap upaya
penyeragaman mutu pelayanan publik secara nasional, dan pada titik
tertentu dapat bersinggungan dengan asas non-diskriminasi.
- Asas Partisipatif, yang bermakna bahwa pelayanan publik harus
mendorong peran-serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan
publik, dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan
masyarakat. Bila dimaknai secara tepat, asas ini penting artinya,
terutama untuk memberikan pembenaran terhadap bekerjanya fungsi
kontrol masyarakat terhadap fungsi dan kinerja pelayanan publik, serta
asas pendukung bagi masyarakat dalam menyampaikan keluhan-keluhan

35
nya atas rendahnya kualitas pelayanan atau praktek-praktek
maladministrasi.
i. Kepmenpan No. 63/2003 membedakan Kelompok Pelayanan Publik ke
dalam tiga kelompok, yaitu: Kelompok Pelayanan Administratif, Kelompok
Pelayanan Barang, dan Kelompok Pelayanan Jasa. Kategorisasi tersebut
dapat dianggap kurang realistik karena kenyataan di dalam masyarakat
menunjukkan adanya ketidak-cocokan atau tumpang-tindih antara
pengelompokan itu dengan sifat pelayanan yang diselenggarakan oleh
instansi-instansi pelayanan publik tertentu. Beberapa contoh yang dapat
menggambarkan, misalnya:
pelayanan di bidang telekomunikasi, yang dapat mencakup tidak saja
penyediaan jaringan telekomunikasi (barang) namun juga penyediaan
jasa telekomunikasi.
pelayanan publik yang diberikan oleh pihak kepolisian yang dipahami
tidak saja untuk melayani (to serve) masyarakat, tetapi terutama juga
untuk memberikan perlindungan (to protect) terhadap masyarakat
melalui upaya-upaya penegakan hukum.
Pelayanan yang diberikan oleh instansi-instansi di bawah Badan
Pertanahan Nasional, yang tidak saja berkaitan dengan penerbitan
sertifikat tanah (administratif), tetapi juga pembentukan dan
perlindungan hak-hak hukum atas tanah; Karena itu, keraguan
mengenai pengelompokan ini tidak harus menjadi masalah, bila:
Setiap instansi penyelenggara pelayanan publik seharusnya
membangun dan melaksanakan standar pelayanannya sendiri yang
selain merupakan standar yang dibakukan, dipublikasikan, dan yang
wajib ditaati oleh baik pemberi maupun penerima pelayanan, juga
akan bersifat khas mengingat kekhasan dari produk pelayanan yang
diberikannya.
Sebuah sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang bersifat
nasional, paling jauh hanya menyediakan standar minimum
pelayanan publik, yang berfungsi sebagai acuan atau pedoman

36
mengenai struktur atau kerangka dasar (basic structure/framework)
dari suatu sistem pelayanan publik;
Yang perlu ditetapkan di dalam standar minimum seperti itu adalah
asas-asas apa saja yang harus mendasari, serta elemen-elemen apa
saja yang harus ada pada setiap sistem pelayanan publik yang
hendak dikembangkan oleh masing-masing instansi secara individual;
j. Sistem penyelenggaraan pelayanan publik bekerja atas dasar asas
keterbukaan dan terutama asas akuntabilitas. Sebelum terbitnya
Kepmenpan No. 63/2003 dan Kepmenpan No. 26/2004, keberadaan suatu
sistem penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia masih belum jelas
dan tidak memiliki dasar legalitas yang pasti sebagai sistem yang
integrated. Maksudnya, peraturan perUUan di dalam hukum positif
Indonesia sebelumnya sudah memberikan dasar hukum cukup lengkap
namun yang pada dasarnya baru dapat :
menjadi prinsip-prinsip penuntun (guiding principles) bagi setiap dan
semua lembaga dan fungsi di Indonesia yang menyelenggarakan
fungsi pelayanan publik;
membuktikan adanya pengakuan di dalam hukum positif Indonesia
terhadap hak asasi warganegara serta warga masyarakat untuk
memperoleh perilaku administrasi yang baik (good administrative
behaviour);
Tersebar di pelbagai peraturan perundang-undangan dan merupakan
salah satu aspek saja dari masalah pemberantasan KKN,
penyelenggaraan pemerintah yang bersih, atau perlindungan hak
21
asasi manusia , dan belum merupakan suatu sub-sistem dari sebuah
sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang utuh.
Kelengkapan yang dimaksud di atas tersimpul dari sudah tersedianya
peraturan perundang-undangan yang memadai untuk mendasari
pembentukan suatu sistem pelayanan publik yang bersifat umum dan

21
Untuk pengkajian normatif terhadap peraturan-peraturan perundang-undangan ini
secara lebih mendalam, lihat lebih lanjut dalam hasil penelitian: Komisi Hukum Nasional &
Universitas Katolik Parahyangan, Prosedur Penyampaian Publik, 2002, tidak dipublikasi.
37
nasional. Beberapa excerpt dari penelitian yang diadakan sebelum tahun
2003 menunjukkan bahwa:
Hukum positif Indonesia pada dasarnya sudah meletakkan kewajiban-
kewajiban utama pada setiap fungsi pelayanan publik di Indonesia
untuk bekerja atas dasar prinsip-prinsip Pemerintahan yang baik
(pasal 3 UU No.28/1999);
Hukum positif Indonesia sudah mengakui bahwa peran-serta
masyarakat dalam penyelenggaraan negara yang bersih melalui
fungsi kontrol-sosial sebenarnya tidak saja merupakan hak tetapi juga
tanggung jawab masyarakat (Pasal 8 UU No.28/1999). Namun
demikian disadari sepenuhnya, ketentuan yang masih bersifat abstrak
ini baru dapat diwujudkan dengan baik dan utuh apabila sistem
hukum positif Indonesia dilengkapi pula dengan suatu standar
minimum suatu sistem pelayanan publik yang lebih konkrit dan
realistik;
Hukum positif Indonesia sudah menetapkan (atau setidak-tidaknya
memiliki gambaran) secara umum mengenai fungsi-fungsi publik apa
saja yang dapat menjadi sasaran kontrol-sosial dan keluhan publik
(Pasal 2 UU No.28/1999). Sebagai Ius Constituendum, Pasal 1 dan
pasal 8 draft RUU Ombudsman Nasional) sebenarnya sudah
mengaturnya secara lebih terinci;
Dari peraturan-peraturan hukum yang ada sebelum tahun 2003 orang
masih dapat mempermasalahkan rentang sasaran (target span) dari
suatu sistem pengelolaan pelayanan publik dan keluhan publik di
Indonesia, yang tampaknya cukup diarahkan pada fungsi-fungsi yang
ada di bawah kekuasaan eksekutif (d.h.i. Pemerintah dalam arti
sempit) saja. Walaupun tidak disebut dengan tegas di dalam
peraturan perUUan yang ada (c/q UUNo.28/1999), masalah sistem
pengelolaan keluhan publik juga menjadi persoalan bagi badan-
badan usaha milik negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD,
dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN yang di samping bertugas
memberikan pelayanan publik, juga berfungsi sebagai lembaga bisnis

38
yang harus menjadi profit-making entities. Di dalam Kepmenpan No.
63/2003 yang dikategorikan sebagai penyelenggara pelayanan publik,
dan dengan demikian juga pelayanan terhadap keluhan publiknya,
mencakup instansi pemerintah sebagai suatu sebutan kolektif
meliputi semua satuan kerja/satuan organisasi dari mulai Kementrian,
departemen, instansi pemerintah lainnya di pusat maupun daerah,
dan sebagainya, sampai dengan badan-badan usaha milik negara,
daerah ataupun badan hukum milik negara. Di samping itu, unit-unit
kesekretariatan dari lembaga tertinggi dan lembaga-lembaga tinggi
negara (non eksekutif) juga masuk dalam kategori penyelenggara
pelayanan publik. Bila ditinjau secara agak simplistik, sebenarnya
apapun kategori instansi publik, memang beroperasinya instansi-
instansi semacam itu selalu menghadapi kemungkinan adanya
gugatan Maladministrasi 22 , dan karena itu perlu berfungsi di
dalam sebuah sistem pelayanan publik (termasuk sub-sistem
pengelolaan keluhan publiknya) yang struktur dasarnya diatur secara
nasional.
Setelah diterbitkannya Kepmenpan No. 63/2003 dan juga Kepmenpan
No. 25/2004 dan Kepmenpan No. 25/2004, maka struktur dasar
dari suatu Sistem Penyelenggaraan Pelayanan Publik yang utuh dan
23
berlaku nasional sebenarnya dapat dianggap sudah terbentuk .
k. Paragraf V butir B dari Kepmenpan No. 63/2003 menetapkan beberapa
prinsip pelayanan publik, yang pada dasarnya sudah menjabarkan asas-asas
pelayanan publik yang disebut di atas. Dalam pelaksanaannya, prinsip-

22
Pengertian Maladministrasi yang seyogyanya menjadi salah satu elemen yang dapat
memicu bekerjanya suatu mekanisme keluhan publik, ternyata belum didefinisikan di dalam
hukum positif Indonesia. Di dalam ius constituendum (Draft RUU tentang Ombudsman Nasional)
hal ini sudah didefinisikan dengan lebih tegas, baik secara umum (pasal 1 butir 9 Draft) maupun
secara lebih terinci (Pasal 11 Draft).
23
Pada saat Penelitian ini berlangsung, sebuah prakarsa untuk merumuskan sebuah
rancangan undang-undang tentang Pelayanan Publik telah dilakukan pada tingkat Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara, dan sedang menunggu persetujuan Presiden.

39
prinsip ini harus menjiwai setiap elemen pelayanan sesuai relevansinya,
yang meliputi 24 :
Prosedur Pelayanan
Jangka Waktu Pelayanan
Biaya Pelayanan
Produk Pelayanan
Sarana dan Prasarana Pelayanan
Kompetensi petugas pemberi pelayanan
Bila dikaitkan dengan Kepmenpan No. 25/2004 tentang
Indeks Kepuasan Masyarakat, maka keenam elemen pelayanan tersebut
telah dijabarkan lebih lanjut menjadi 14 unsur minimal yang harus ada
sebagai dasar pengukuran indeks kepuasan masyarakat. Bila dilakukan
pengelompokan lebih lanjut, maka:
i. Unsur Prosedur Pelayanan mencakup beberapa sub-unsur yang
digunakan untuk menilai kinerja instansi pelayanan publik adalah: (i)
kesederhanaan prosedur pelayanan, (ii) persyaratan pelayanan dan (iii)
keadilan mendapatkan pelayanan; Dalam kaitan ini, Tim beranggapan
bahwa elemen Prosedur Pelayanan ini perlu dijabarkan lagi ke dalam
sub-unsur baru, yaitu: Prosedur Pelayanan Keluhan Masyarakat,
yang sangat penting untuk menilai indeks kepuasan masyarakat
terhadap kinerja instansi pelayanan publik yang bersangkutan;
ii. Unsur Jangka Waktu Pelayanan mencakup sub-unsur (iv) kecepatan
pelayanan dan (v) kepastian jadwal pelayanan; Dalam kaitan dengan
proses pelayanan keluhan masyarakat terhadap produk yang diberikan,
perlu dirumuskan sebuah sub-unsur tambahan, yaitu tingkat
ketanggapan(responsiveness) dalam pemrosesan dan
penyelesaian keluhan-keluhan publik.
iii. Unsur Biaya Pelayanan mencakup sub-sub unsur: (vi) kewajaran biaya
pelayanan dan (vii) kepastian biaya pelayanan;

24
Sesuai dengan Keputusan Menpan No. 63/2003, Pedoman Umum, Bagian V, butir B
tentang Standar Pelayanan Publik.

40
iv. Unsur Produk Pelayanan tampaknya tidak dikelompokkan lebih jauh,
mengingat kekhasan produk dari setiap instansi pelayanan publik, yang
sejalan dengan Paragraf V Butir B Kepmenpan No. 63/2003, diwajibkan
memiliki standar pelayanan yang dipublikasikan sebagai jaminan
adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Tim berpendapat bahwa
kesesuaian produk dengan standar yang telah ditetapkan
sangatlah penting untuk menjadi salah satu unsur minimal untuk
mengukur kepuasan masyarakat;
v. Unsur Sarana dan Prasarana Pelayanan dijabarkan lebih lanjut menjadi
sub-sub unsur: (viii) Kenyamanan Lingkungan dan (ix) Keamanan
Pelayanan. Untuk unsur ini Tim berpendapat bahwa sejalan dengan niat
pemerintah yang dituangkan di dalam Paragraf I Butir A di dalam
Pedoman Umum Kepmenpan No. 63/2003 bahwa pemanfaatan
teknologi informasi harus didorong dalam rangka memenuhi aspek
transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat, maka sub unsur
baru yang menyangkut tingkat pemanfaatan teknologi informasi,
juga di masa depan perlu dijadikan salah satu tolok ukur minimal untuk
menilai kepuasan masyarakat;
vi. Unsur Kompetensi Petugas Pemberi Pelayanan, tampaknya menjadi
unsur yang memperoleh perhatian sangat besar dalam penilaian kinerja
sebuah instansi pelayanan publik. Unsur ini telah dijabarkan lebih lanjut
ke dalam sub-sub unsur: (x) Kejelasan Petugas Pelayanan, (xi)
Kedisiplinan Petugas Pelayanan, (xii) Tanggung Jawab petugas
Pelayanan, (xiii) Kemampuan Petugas Pelayanan, dan (xiv) Kesopanan
dan Keramahan Petugas;

2. Sistem Pengelolaan Keluhan Publik

A. Elemen-elemen dari suatu Sistem Pengelolaan Keluhan Publik

Seperti telah disinggung sebelumnya, struktur dasar suatu Sistem


Pelayanan Publik yang utuh dan bersifat nasional baru dibentuk melalui
peraturan-peraturan setingkat Keputusan Menteri. Dalam tingkatan yang lebih
teknis, sebelum diterbitkannya Kepmenpan No. 63/2003, kondisi sistem
41
pengelolaan keluhan publik di dalam peraturan PerUUan di Indonesia 25 dapat
diringkas sebagai berikut:
26
a. Beberapa peraturan perUUan yang dikaji , ternyata samasekali belum
dilengkapi dengan aturan-aturan yang bersifat teknis-prosedural
mengenai proses penyampaian dan penyelesaian keluhan-keluhan publik.
Hal ini dapat dimengerti karena ketentuan-ketentuan teknis ternyata diatur
lebih lanjut di dalam PP No. 71/2000.
Pasal 3 PP No. 71/2000 yang mengatur tentang identitas pelapor dan
persyaratan yang harus dipenuhi dalam pengajuan keluhan (khusus dalam
tindak pidana korupsi) sebenarnya sudah mencerminkan eksistensi dari
asas-asas kepastian hukum dan asas keterbukaan. Asas Keterbukaan ini
di dalam Pasal 92 UU No. 39/1999 mengalami pembatasan yang
seyogyanya juga diperhatikan dalam sebuah sistem pengelolaan keluhan
publik, yaitu asas kerahasiaan (Confidentiality). Harus diakui bahwa yang
masih perlu pengaturan lebih lanjut adalah masalah tentang kewajiban
untuk menjaga kerahasiaan dihadapkan pada kewajiban-kewajiban hukum
yang berkenaan dengan kewajiban untuk menyerahkan/tidak menahan
bukti-bukti (withholding evidence) yang merupakan kewajiban hukum dalam
bidang hukum acara.
b. Pasal 6 PP No. 71/2000, yang menetapkan kewajiban dalam pengelolaan
keluhan publik untuk menjaga kerahasiaan informasi dan perlindungan
hukum bagi pelapor sebenarnya juga merupakan perwujudan dari asas
kepastian hukum dan asas proporsionalitas (khususnya dalam

25
Lihat lebih lanjut: Hasil Penelitian :Prosedur Penyampaian Keluhan Publik, KHN-
UNPAR, tahun 2003.
26
Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (selanjutnya disebut UU No.28/1999), Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU
No. 39/1999), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2000, tentang Tata
Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana korupsi (selanjutnya disebut PP No. 71/2000), Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional

42
pelaksanaan hak dan perlindungan hukum yang memang dibutuhkan dalam
suatu sistem pengelolaan keluhan publik.
c. Pasal 8 11 PP No. 71/2000, yang mengatur tentang rewards dan
incentives yang tersedia untuk mendukung pertumbuhan minat dan
keberanian anggota masyarakat untuk berpartisipasi melalui fungsi kontrol
sosialnya. Seandainya diletakkan di dalam konteks suatu sistem pengelolaan
keluhan publik, ketentuan-ketentuan semacam ini sebenarnya dapat
dipahami sebagai penjabaran dari asas Menjunjung Tinggi Norma
Kepatutan dan Norma Hukum seperti yang dimaksud di dalam Pasal 1
butir 6 UU No. 28/1999, dan Asas Keadilan seperti yang dimaksud di
dalam UU No. 39/1999.
d. Asas Non-Diskriminasi adalah asas penting yang perlu ditaati khususnya
pada tingkatan teknis-operasional pelayanan keluhan publik. Asas ini
ternyata belum diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang ada.
e. Beberapa pasal di dalam UU No. 39/1999 (Pasal 93 - 96) telah secara
khusus dimaksudkan sebagai ketentuan prosedural untuk penyampaian
pengaduan dan keluhan (walaupun hanya diperuntukkan bagi perkara HAM
saja) Pasal-pasal tersebut dapat menjadi referensi untuk melihat aspek-
aspek teknis prosedural apa sajakah yang perlu mendapat perhatian dalam
pembinaan sebuah sistem Pengelolaan Keluhan Publik pada umumnya.
f. Pasal 12 butir a. dari Rancangan Undang-undang tentang Ombudsman
Nasional yang sampai saat penelitian ini berlangsung, belum dikukhkan
menjadi UU, menetapkan bahwa sebelum pihak Pelapor dapat
menyampaikan keluhannya ia diwajibkan untuk menggunakan semua
upaya hukum atau upaya administrasi yang tersedia, termasuk
menyampaikannya kepada terlapor, tetapi tidak mendapat penyelesaian
sebagaimana mestinya.
Tim masih menganggap perlu untuk mempermasalahkan apakah
kewajiban untuk melakukan exhaustion of any available remedies ini baik untuk
diterapkan di dalam sebuah sistem pengelolaan keluhan publik, baik ditinjau dari
segi teknis (menghindari penumpukkan perkara versus adanya batas daluwarsa
pengajuan keluhan) maupun dari segi konsistensi asasi nya, khususnya dalam

43
kaitan dengan asas kepentingan umum dan/atau asas Tertib Penyelenggaraan
Negara;
Bagaimanakah perkembangan regulasi Indonesia mengenai
keluhan publik setelah diterbitkannya Kepmenpan No. 63/2003, dapat
diuraikan sebagai berikut:
a. Di dalam tingkatan peraturan perundang-undangan yang lebih konkrit,
khususnya Kepmenpan No. 63/2003, masalah Keluhan terhadap
penyelenggaraan pelayanan publik sudah ditetapkan secara lebih konkrit,
dan merupakan bagian dari Pengawasan terhadap kinerja instansi
penyelenggara pelayanan publik 27 . Sementara itu, sistem Pengelolaan
Keluhan Publik, secara umum telah diatur sebagai pedoman di dalam
Paragraf V Butir J tentang Penyelesaian Pengaduan dan Sengketa yang
sekurang-kurangnya meliputi:
Prosedur /tata cara penyampaian dan penyelesaian pengaduan;
Penentuan pejabat untuk menyelesaikan pengaduan;
Prioritas penyelesaian pengaduan;
Rekomendasi Penyelesaian pengaduan;
Respons/tanggapan yang harus terjadi setelah pengaduan diterima
(yang tentunya harus diwujudkan berdasarkan prinsip-prinsip perilaku
administrasi yang baik) dan pemantauan serta evaluasi penyelesaian
pengaduan;
Pelaporan proses dan hasil penyelesaian pengaduan kepada pimpinan;
Penyampaian hasil penyelesaian pengaduan kepada pihak masyarakat
pengadu;
Dokumentasi penyelesaian pengaduan;
Prosedur penyelesaian sengketa, seandainya masalah yang menjadi
obyek pengaduan tidak terselesaikan dan menjadi sengketa. Dalam hal
ini Kepmen No. 63/2003 membuka kemungkinan untuk penyelesaian
sengketa melalui jalur hukum, namun Tim berpendapat bahwa untuk
jenis-jenis pelayanan publik tertentu, penyelesaian dapat dilakukan

27
Lihat Paragraf V, Butir I.3 tentang Pengawasan Masyarakat;

44
dengan metode alternatif penyelesaian sengketa (MAPS), dengan
mengacu pada UU No. 30 tahun 1999.
b. Bila ditinjau dari sifat Kepmenpan No. 63/2003 yang dimaksudkan sebagai
pedoman bagi instansi-instansi penyelenggara pelayanan publik di
Indonesia, maka pengembangan elemen-elemen di atas ke dalam aturan-
aturan atau petunjuk yang bersifat teknis sebenarnya diserahkan kepada
masing-masing instansi sesuai dengan kebutuhan dan kekhasan bidang
dan jenis pelayanan publiknya masing-masing. Namun demikian, suatu
petunjuk teknis yang masih dapat dianggap berada pada level nasional
dapat dijumpai pada Kepmenpan No. 26/2004, khususnya di dalam
Paragraf IV tentang Pengaduan Masyarakat.
(1) Kepmenpan No. 26/2004, yang mengkaitkan hak masyarakat untuk
mengajukan pengaduan atas pelayanan publik yang diterimanya,
sebagai bagian dari perwujudan asas transparansi dan akuntabilitas
itu, menetapkan bahwa setiap instansi penyelenggara pelayanan
publik harus/perlu:
1. Menyediakan akses bagi masyarakat untuk menyampaikan
aspirasi, keluhan, pengaduan, dsb melalui pembentukan kotak
pengaduan, kotak pos, atau satuan tugas penerima pengaduan;
2. Penyediaan surat atau formulir tanda bukti pengaduan yang
memuat identitas dari petugas yang berwenang menyelesaikan
masalah/pengaduan ybs, serta jangka waktu penyelesaiannya;
3. Menindaklanjuti setiap pengaduan, informasi, saran atau
pendapat masyarakat dengan langkah-langkah perbaikan
pelayanan pada unit yang dianggap relevan;
4. Mempertimbangkan pemberian kompensasi terhadap
masyarakat (yang mengajukan pengaduan);
5. Menegaskan bahwa pengaduan yang diajukan secara tertulis
(melalui surat atau media elektronik) harus disampaikan secara
jelas dan bertanggung jawab dengan menunjukkan identitas
pihak pengadu secara lengkap;

45
6. Memberikan sanksi sesuai perUUan yang berlaku kepada
petugas yang terbukti melakukan penyimpangan, yang
terungkap dari pengaduan yang diajukan masyarakat

B. Deskripsi Pengaturan Pelayanan Publik dan Pelayanan Keluhan Publik


secara Sektoral

Sebagai dasar hukum pelaksanaan pelayanan publik dan pelayanan


keluhan publik Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara telah
menerbitkan tiga keputusan yang merupakan satu kesatuan utuh sistem dan
pola penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu :
a. Keputusan Menteri Pendayagunaan Apartur Negara Nomor
63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan
Publik;
b. Keputusan Menteri Pendayagunaan Apartur Negara Nomor
KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks
Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah;
c. Keputusan Menteri Pendayagunaan Apartur Negara Nomor
KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan
Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Ketiga Keputusan MENPAN tersebut berlaku sebagai dasar
penyelenggaraan pelayanan publik dan pelayanan keluhan publik untuk semua
jenis pelayanan publik baik pelayanan administratif, pelayanan barang, dan
pelayanan jasa. Berdasarkan sistematika ketiga Keputusan MENPAN tersebut
jelas sekali bahwa pelayanan keluhan atau pengaduan publik merupakan bagian
integral dari sistem pelayanan publik pada umumnya.
Maksud dan tujuan dikeluarkannya pedoman tersebut adalah sebagai
acuan bagi seluruh penyelenggaran pelayanan publik dalam pengaturan dan
pelaksnaan kegiatan pelayanan publik sesuai dengan kewenangan masing-
masing unit pelayanan publik, sehingga diharapkan dapat mendorong
terwujudnya penyelenggaraan pelayanan publik yang prima dalam arti
memenuhi harapan dan kebutuhan baik bagi pemberi maupun penerima
pelayanan. Salah satu upaya peningkatan kualitas pelayanan publik adalah
46
dengan menyusun indeks kepuasan masyarakat sebagai tolok ukur untuk menilai
tingkat kualitas pelayanan secara berkala untuk menetapkan kebijakan dalam
rangka peningkatan kualitas pelayanan publik selanjutnya. Kualitas suatu
pelayanan publik akan sangat dipengaruhi oleh transparansi dan akuntabilitas
dalam penyelenggaraannya. Prinsip transparansi dan akuntabilitas harus
dilaksnakan pada seluruh aspek manajemen pelayanan publik yang meliputi
kebijakan, perencanaan, pelaksnaaan, pengawasan, dan pelaporan hasil kinerja.
Ketiga Keputusan MENPAN di atas secara sadar disusun dalam paradigma
otonomi daerah dimana sebagaian besar urusan pemerintahan (termasuk
pelayanan publik) menjadi wewenang daerah, sehingga ketiga Keputusan
MENPAN tersebut dimaksudkan hanya menjadi pedoman bagi penyusunan lebih
lanjut sesuai dnegan kewenangan daerah. Dengan paradigma demikian maka
setiap unit pelayanan publik di daerah memiliki kewenangan untuk menyusun
sistem pelayanan publik sesuai dengan kondisi daerah dan masyarakatnya.
Demikian juga disadari bahwa jenis-jenis pelayanan yang diberikan oleh setiap
instansi atau pejabat pelayanan publik memiliki karakteristik yang berbeda
sehingga ada kebutuhan untuk mengatur secara berbeda pula. Oleh karena itu
ketiga Keputusan MENPAN tersebut secara sistematis harus dipandang sebagai
standard minimum rule pengaturan sistem pelayanan publik di daerah dan/atau
instansi penyelenggara pelayanan. Ini berarti bahwa pemerintah daerah
dan/atau instansi dapat menetapkan sistem dan pola pelayanan publiknya
masing-masing sesuai dengan keadaan dan kebutuhan akan tetapi dengan
mengacu pada ketiga Keputusan MENPAN tersebut sebagai standar kualitas
minimum. Jadi, ketiga Keputusan MENPAN tersebut tidak dapat difahami sebagai
standar pelayanan terbaik (atau ideal) yang dapat diberikan oleh sebuah institusi
pelayanan publik. Karena itu pula, apabila suatu instansi pemerintah daerah
dan/atau instansi pelayanan publik lain telah memberikan pelayanan publik
dengan kualitas yang lebih baik dibanding standar minimum rule tersebut, maka
yang masih menjadi kewajiban instansi-instansi tersebut adalah
mempertahankan dan/atau meningkatan kualitas pelayanannya.
Karena dimaksudkan untuk berlaku terhadap semua jenis pelayanan
maka Keputusan MENPAN tersebut berlaku juga terhadap instansi yang saat ini

47
telah menjadi perseroan terbatas, seperti PT Telekomunikasi Indonesia, PT Pos
Indonesia, dan PT PLN. Oleh karena itu terhadap terhadap instansi demikian
selain harus memperhatikan kepentingan dan prinsip-prinsip bisnis, juga harus
memperhatikan asas-asas penyelenggaraan pemerintah yang baik karena fungsi
public service obligation. Secara eksplisit dalam Keputusan MENPAN Nomor 63
Tahun 2003 yang menjadi induk dua keputusan lain di atas ditegaskan
berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
Dengan latar belakang sebagaimana dijelaskan di atas maka setiap unit
pelayanan publik berupa pemerintah daerah dan atau instansi wajib menyusun
sistem pelayanan publik dengan mengacu pada ketiga Keputusan MENPAN
tersebut. Setiap sistem pelayanan publik yang berlaku di unit penyelenggara
pelayanan harus dapat diuji menggunakan prinsip, asas, dan standar yang telah
ditetapkan dalam ketiga Keputusan MENPAN tersebut.

a. Pelayanan Administratif Badan Pertanahan Nasional


Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor 63/KEP/M.PAN.7/2003 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik pelayanan Badan Pertanahan Nasional
(selanjutnya disebut: BPN) khususnya pelayanan penerbitan sertifikat
sebagai tanda bukti hak atas tanah dikelompokkan sebagai pelayanan
administratif. Pelaksanaan pelayanan BPN merupakan operasionalisasi dari
UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA). Sebagai dasar pelaksanaan UUPA tersebut diterbitkan beberapa
perundang-undangan yang berlaku secara secara nasional. Keseluruhan
peraturan yang berlaku secara nasisonal tersebut diterbitkan sebelum tahun
2003 sehingga belum mengacu pada Keputusan Menpan tersebut di atas.
Bahkan dalam FGD di beberapa kota diketahui bahwa beberapa Kantor
Wilayah Pertanahan sedang menyusun prosedur pelayanan di bidang
pertanahan.
Beberapa peraturan perundangan yang berlaku secara nasional di
bidang pelayanan pertanahan adalah:

48
1. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur tentang tatacara, persyaratan,
prosedur pendaftaran tanah secara umum, yang kemudian
operasionalisasinya diatur dalam Peraturan Meneteri Agararia/Kepala
BPN Nomor 3 Tahun 1997 yang secara rinci mengatur tentang:
a. Jenis-jenis pelayanan pendaftaran tanah;
b. Persyaratan setiap jenis pelayanan pendaftaran tanah;
c. Prosedur setiap jenis pelayanan pendaftaran tanah;
d. Ruang lingkup wewenang pejabat yang memberikan pelayanan
setiap jenis pelayanan pendaftaran tanah.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan Pembuat Akta Tanah.
3. Instruksi Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1998 tentang Peningkatan Efisiensi dan Kualitas
Pelayanan Masyarakat di Bidang Pertanahan.
4. Instruksi Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 1 Tahun 1999 tentang Penyelesaian Tunggakan Pekerjaan
Permohonan Masyarakat di Bidang Pertanahan.
a. Menginstruksikan setiap pejabat untuk menyelesaikan dengan
segera semua tunggakan pekerjaan permohonan pelayanan
pertanahan selambambat-lambatnya 3 bulan sejak instruksi ini
dikeluarkan;
b. Mengatur prosedur dan tindakan-tindakan yang harus dilakukan
dalam rangka menyelesaikan tunggakan;
c. Kemungkinan untuk menambah petugas apabila volume pekerjaan
di suatu unit pelayanan dinilai memerlukannya.
5. Instruksi Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 2 Tahun 1999 tentang Percepatan Pelayanan Pendaftaran
Peralihan Hak atas Tanah.
Pertimbangan diterbitkannya peraturan ini adalah bahwa
pelayanan pendaftaran hak atas tanah melalui pemindahan hak dengan akta

49
PPAT dan lelang untuk tanah yang sudah bersertifikat merupakan pelayanan
sederhana sehingga peraturan ini dikeluarkan untuk memberikan kepastian
kepada pemohon khususnya mengenai waktu penyelesaian. Beberapa
substansi penting peraturan ini adalah:
a. Kepala Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kota seluruh Indonesia harus
menyelesaiakan setiap permohonan pendaftaran peralihan hak atas
tanah yang sudah bersertifikat yang sudah dilengkapi dokumen secara
lengkap dalam waktu 2 minggu setelah penerimaan permohonan.
b. Kepala Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kota seluruh Indonesia harus
menyelesaiakan tunggakan setiap permohonan pendaftaran peralihan
hak atas tanah yang sudah bersertifikat yang sudah dilengkapi
dokumen secara lengkap dalam waktu 3 bulan setelah terbitnya
instruksi.
c. Prosedur penerimaan permohonan, pemberitahuan kepada PPAT dan
pemohon apabila ada kekurangan dokumen yang menjadi persyaratan.
d. Larangan untuk membebankan persyaratan lain kecuali yang ditentukan
dalam peraturan perundangan yang berlaku.
e. Menetapkan larangan-larangan bagi petugas dan pejabat untuk
melakukan tindakan yang dapat memperlambat pelayanan seperti
melakukan perubahan data fisik, perubahan status, dan pengukuran
ulang.

b. Pelayanan Administratif Kantor Catatan Sipil


Pelayanan administratif yang dilaksanakan oleh Kantor Catatan
Sipil khususnya penerbitan akta kelahiran dan akta kematian secara nasional
diatur dalam Keputusan Menteri Dalam negeri Nomor 54 Tahun 1999
tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk. Secara
administrasi negara pelayanan kependudukan ini merupakan bidang layanan
yang menjadi otonomi pemerintah kabupaten dan kota, sehingga
pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah (PERDA)
Kabupaten dan Kota atau Keputusan Bupati dan Walikota, kecuali untuk
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta diatur dalam PERDA Propinsi dan

50
Keputusan Gubernur. Penelitian terhadap peraturan perundangan daerah
tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar diterbitkan sebelum
Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 tersebut sehingga substansinya
belum mengacu pada Keputusan Menpan tersebut.
Pemerintah kota yang telah memberlakukan peraturan
pelaksanaan yang mengacu pada Keputusan Menpan tersebut adalah
Pemerintah Kota Semarang dengan menerbitkan Keputusan Walikota
Semarang Nomor: 065/311 Tahun 2003 tentang Standar Pelayanan Minimal
Dinas Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil Kota Semarang. Dalam
Keputusan Walikota Semarang tersebut diatur secara rinci dan lengkap
tentang:
1. Jenis-jenis pelayanan administarsi yang diberikan, meliputi: Kartu
Keluarga, Kartu Tanda Penduduk, Surat Keterangan Kelahiran, Surat
Keterangan Kematian, Akta Kelahiran, Akta Perkawinan, Akta
Perceraian, Akta Kematian, Akta Pengangkatan Anak, Akta Pengakuan
dan Pengesahan Anak, Perubahan Akta, Pembuatan Kutipan dan
Salinan, Surat Keterangan.
2. Setiap jenis pelayanan administrasi tersebut dilengkapi dengan
pengaturan secara rinci tentang: dasar hukum, persyaratan, prosedur di
setiap tahap pelayanan (sampai ke tingkat kecamatan dan kelurahan),
alur sistem pelayanan, biaya, waktu penyelesaian, jam pelayanan,
alamat dan nomor telepon yang dapat digunakan masyarakat untuk
mengajukan pengaduan.
3. Disamping hal-hal tersebut di atas pada Keputusan Walikota tersebut
juga mengatur tentang prosedur pengaduan yang sangat rinci untuk
setiap jenis layanan administrasi yang diberikan.

c. Pelayanan Administrasi Kepolisian


Disamping berfungsi sebagai salah satu lembaga penegak hukum
dan penjaga keamanan masyarakat, kepolisian juga memiliki fungsi sebagai
instansi yang memberikan pelayanan administrasi kepada masyarakat.
Pelayanan publik (yang di lingkungan kepolisian dikenal dengan istilah

51
pelayanan masyarakat / YANMAS) sebenarnya merupakan esensi pekerjaan
polisi, dalam rangka mewujudkan filosofi POLRI Rastra Sewakottama yang
berarti abdi utama nusa dan bangsa (masyarakat). Abdi utama di sini
dimaksudkan sebagai pelayanan prima yang kemudian menjiwai kode etik
POLRI baru. Pelayanan publik bagi kepolisian tercantum dalam TRI BRATA
yang merupakan filosofi POLRI yang kemudian dijabarkan lebih lanjut
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian khsusnya
Pasal 13 huruf c memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat dan Pasal 14 huruf k memberikan pelayanan kepada
masyarakat sesuai kepentingannya di dalam lingkup tugas kepolisian.
Selanjutnya dalam Kode Etik POLRI berdasarkan Keputusan Kapolri
No.Pol.KEP/32/VII/2003 ditegaskan dalam Pasal 5 bahwa memberikan
pelayanan terbaik, memberikan pelayanan kepada masyarakat secara ikhlas
dengan prosedur cepat, sederhana, serta tidak bermasa bodoh, apatis,
mendiamkan adanya harapan masyarakat. Secara lebih rinci diatur
beberapa tindakan atau perilaku yang harus dan dilarang untuk dilakukan
dalam rangka pelayanan publik tersebut, yakni: [c] menguatamakan
kemudahan dan tidak mempersulit, [e] tidak membeda-bedakan
(diskriminasi cara pemberian pelayanan, [g] tidak meminta biaya kecuali
diatur oleh undang-undang, [i] tidak mengeluarkan kata-kata atau gerakan
tubuh yang mengisyaratkan minta imbalan atas jasa pelayanan yang
28
diberikan.
Pelaksanaan pelayanan publik oleh kepolisian berupa pelayanan
administartif antara lain adalah penerbitan ijin seperti Surat Ijin Mengemudi
(SIM) dan Ijin Keramaian. Pelayanan SIM dilakukan oleh Kepolisian Resor
atau Kepolisian Wilayah Kota Besar, sedang ijin keramaian diberikan oleh
seluruh tingkat kepolisian dari Kepolisian Sektor sampai Mabes POLRI-
tergantung cakupan kegiatan atau keramaian yang dimintakan ijin.

28
Jendral Polisi (Purn) Drs. Chaeruddin Ismail, SH., Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan Pelayanan Publik, Makalah pada Lokakarya Penelitian ini, Bandung, 30 Oktober
2004, halaman 9-10.
52
Pelaksanaan penelitian terhadap peraturan perundangan yang
menjadi dasar pelaksanaan pelayanan administrasi oleh kepolisian diperoleh
informasi sebagai berikut:
1. Melalui FGD dan wawancara responden pejabat kepolisian
menyampaikan bahwa prosedur dan hal-hal yang berkaitan dengan
pelayanan administrasi oleh kepolisian dilaksanakan berdasarkan
Keputusan Kapolri, antara lain Job List No. 02 Tahun 1998 untuk
pelayanan Samsat, dan beberapa Kuptusan Kapolri tentang Petunjuk
Pelaksanaan.
2. Akan tetapi Tim tidak berhasil memperoleh salinan atau copy dari
Keputusan Kapolri yang disebut oleh para responden dalam FGD dan
wawancara tersebut.
3. Beberapa substansi Keputusan Kapolri tersebut menurut responden
memuat tentang:
a. Pelayanan SIM meliputi: persyaratan, biaya, prosedur, jangka waktu
(one day service), dan alur pelayanan.
b. Pelayanan ijin keramaian meliputi: persyaratan, prosedur, ruang
lingkup kewenangan setiap tingkatan kepolisian, biaya. Untuk
pelayanan ijin keramaian ini diakui dalam praktiknya lebih banyak
tergantung pada kebiasaan.

d. Pelayanan Barang PT Telekomunikasi Indonesia


Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor 63/KEP/M.PAN.7/2003 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik pelayanan oleh perusahaan
telekomunikasi seperti PT TELKOM dikelompokkan sebagai pelayanan
barang, meskipun pihak PT TELKOM dan masyarakat pada umumnya
mempersepsi pelayanan perusahaan telekomunikasi sebagai pelayanan jasa.
Dasar hukum pelayanan telekomunikasi di Indonesia adalah Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Peraturan Pemerintah
Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, dan

53
Keputusan Menteri Perhubungan RI Nomor KM. 29 Tahun 2004 tentang
Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi.
Secara teknis pelayanan PT TELKOM diatur dalam Instruksi
Direktur Operasi Nomor: IR.6/HK/220/OPE-00/1995 tentang tentang
Pengelolaan Pelayanan Penerangan Lokal, Penerangan Tagihan,
Penanganan Gangguan, dan Announcement; Instruksi Direktur Operasi dan
Pemasaran Nomor: IR.9/HK220/OPSAR-21/1995 tentang peningkatan
Pelayanan Gangguan; dan Keputusan Direksi Nomor: KD.36/TK.300/OPSAR-
23/2001 yang mengatur tentang pengelolaan keluhan. 29
Penelitian melalui FGD di beberapa kota terhadap pelaksanaan
pelayanan yang dilaksanakan PT TELKOM memperoleh beberapa informasi
sebagai berikut:
1. PT TELKOM tidak mendasarkan pelaksanaan pelayanannya pada
Keputusan MENPAN akan tetapi berdasarkan standar opereasi ISO.
2. Standar pelayanan PT TELKOM diberlakukan secara nasional
berdasarkan Keputusan Direksi dan/atau Keputusan Direktur kecuali
untuk jenis dan prosedur yang bersifat percobaan, yang hanya akan
diberlakukan di wilayah tertentu.
3. PT TELKOM saat ini lebih mempersepsi pelayanannya sebagai
pelayanan bisnis yang harus dikelola dengan manajemen bisnis
daripada sebagai bagian dari aparatur pemerintah.

e. Pelayanan Barang Perusahaan Listrik (PT PLN)


Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor 63/KEP/M.PAN.7/2003 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik pelayanan oleh perusahaan
telekomunikasi seperti PT TELKOM dikelompokkan sebagai pelayanan
barang. Dasar hukum pelayanan oleh PT PLN adalah Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, Peraturan Menteri
Perambangan dan Energi Nomor: 03 P/451/M.PE 1991 yang mengatur

29
Karena setelah Tim berkali-kali menghubungi PT TELKOM untuk melakukan penelitian
tidak mendapat tanggapan dari PT TELKOM maka informasi tentang peraturan teknis tersebut
diambil dari laporan penelitian Kelompok Kerja B-3 KHN, Januari 2003.
54
tentang hak dan kewajiban pelanggan PT PLN, Keputusan Presiden Nomor
89 tentang Tarif Dasar Listrik. Sedangkan Indikator Mutu Pelayanan diatur
dalam Keputusan Dirjen LPE, ketentuan tentang Tata Usaha Langganan
diatur dalam Direksi PT PLN, dan ketentuan pelayanan lainnya diatur dalam
Keputusan General Manager. Dalam penelitian ini Tim tidak berhasil
memperoleh ketiga peraturan yang disebut terakhir.
Berdasarkan Keputusan Presiden tentang TDL di atas sebenarnya
PT PLN telah diwajibkan untuk menyusun standar pelayanan, yang
kemudian ditetapkan indikator mutu pelayanan (IMP) oleh Dirjen PLE.
Melalui FGD dan wawancara diperoleh informasi bahwa IMP tersebut
mencakup 13 item indikator diantaranya:
a. kualitas teknis pasokan tenaga listrik;
b. jangka waktu permohonan pemasangan baru;
c. penerangan hak dan kewajiban pelanggan;
d. akurasi dan kesalahan pencatatan meter;
e. waktu penanganan gangguan pelanggan;
f. pembuatan laporan triwulan penanganan gangguan;
g. kompensasi pelanggan bila IMP terlampaui; dan
h. penyelenggaraan unit pengaduan dan gangguan.
IMP tersebut diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia, akan
tetapi secara teknis beberapa daerah mengembangkan pelayanan sesuai
dengan kemampuan dan fasilitas yang tersedia di daerah, misalnya di
Semarang karena kerjasama dengan PT TELKOM- tersedia layanan Hallo
123 berupa call center yang dapat digunanakan masyarakat untuk
mengajukan keluhan gangguan tentang pelayanan PT PLN.

f. Pelayanan Jasa Kesehatan


Dalam penelitian ini pelayanan kesehatan yang diteliti hanya
meliputi peraturan perundangan pelayanan kesehatan yang berlaku secara
institusional untuk lembaga kesehatan seperti rumah sakit dan pusat
kesehatan masyarakat (PUSKESMAS), sehingga tidak meliputi standar
pelayanan kesehatan yang dilakukan secara mandiri oleh para pengemban

55
profesi di bidang kesehatan seperti dokter dan perawat sebagaimana diatur
dalam kode etik. Dasar hukum pelayanan kesehatan oleh rumah sakit dan
puskesmas adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan. Sebagai pelaksnaan UU Kesehatan tersebut Menteri Kesehatan
RI menerbitkan beberapa peraturan yang berlaku secara nasional, yakni:
1. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1747/MENKES
KESOS/SK/12/2000 dan Nomor 1457/MENKES/SK/X/2003 tentang
Standar Pelayanan Miminal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota, yang
pada pokoknya mengatur tentang:
a. Kewajiban menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai Standar
Pelayanan Minimal.
b. Standar Pelayanan Minimal tersebut mencakup jenis pelayanan
kesehatan ibu dan bayi, anak prasekolah dan usia sekolah, keluarga
berencana, imunisasi, pelayanan pengobatan dan perawatan,
kesehatan jiwa, pertumbuhan balita, gizi, obstetrik dan neo natal,
gawat darurat, penyelidikan epidemiologi dan penanganan kejadian
luar biasa, pencegahan dan pemberantasan penyakit polio,
pencegahan dan pemberantasan penyakit TB Paru, ISPA, HIV/AIDS,
DBD, Diare, pelayanan kesehatan lingkungan, pengendalian vektor,
hegiene dan sanitasi umum, penyuluhan perilaku sehat, penyuluhan
dan penanggulangan NAPZA, penyediaan obat dan perbekalan
kesehatan, penggunaan obat generik, penyelenggaraan pembiayaan
prabayar, pembiayaan keluarga miskin.
c. Setiap jenis pelayanan tersebut telah ditetapkan indikator kinerja
dan targetnya untuk tahun 2010 dalam prosentase yang terukur.
d. Ditetapkan pengorganisasian, prosedur pelaksanaan, pembinaan,
dan pengawasan utuk menjamin terlaksnanya Standar Pelayanan
Minimal tersebut.
2. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 228/MENKES/SK/III/2002
tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit
yang Wajib Dilaksanakan di Daerah, yang pada pokoknya mengatur
tentang:

56
a. Dasar hukum, pengertian, dan ruang lingkup Standar Pelayanan
Minimum di bidang kesehatan.
b. Falsafah, Misi, Visi, dan Tujuan ditetapkannya pedoman Standar
Pelayanan Minimal di bidang kesehatan.
c. Manfaat ditetapkannya Standar Pelayanan Minimal bagi masyarakat,
rumah sakit, pemerintah kabupaten/kota, pemerintah propinsi, dan
pemerintah pusat.
d. Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit yang mencakup indikator
kinerja manajemen dan pelayanan medik.
e. Peraturan internal rumah sakit (hospital by laws).
f. Monitoring dan Evaluasi.
3. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 128/MENKES/SK/II/2004
tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat, yang pada
pokoknya mengatur tentang:
a. Konsep Dasar: pengertian, visi, misi, tujuan, dan fungsi Pusat
Kesehatan Masyarakat.
b. Kedudukan, Organisasi, dan Tata Kerja Pusat Kesehatan
Masyarakat.
c. Upaya dan asas penyelenggaran Pusat Kesehatan Masyarakat, yang
mencakup asas pertanggungjawaban wilayah, asas pemberdayaan
masyarakat, asas keterpaduan, dan asas rujukan.
d. Manajemen Pusat Kesehatan Masyarakat yang mencakup
perencanaan, usulan kegiatan, dan survey mawas diri.
e. Pelaksnaan dan pengendalian yang mencakup pengendalian mutu
dan biaya dan prosedur penjaminannya.
f. Pembiayaan.
Sebagai konsekuensi berlakunya UU Otonomi Daerah kewenangan
pelayanan bidang kesehatan menjadi otonomi pemerintah kabupaten/kota,
sehingga pemerintah kabupaten/kota seharusnya mengatur secara lebih
rinci Standar Pelayanan Minimal di bidang kesehatan. Pemerintah Kota
Semarang merupakan pemerintah daerah yang telah menetapkan Standar
Pelayanan Minimal bidang kesehatan sebagaimana dirumuskan dalam

57
Keputusan Walikota Semarang Nomor 064/314 Tahun 2003. Keputusan
Walikota tersebut secara tegas dalam konsiderannya mengacu pada
Keputusan MENPAN Tahun 2003. Dalam Keputusan Walikota Semarang
tersebut diatur secara rinci dan lengkap tentang:
1. Jenis-jenis perijinan yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan,
seperti: ijin praktik tenaga kesehatan, ijin apotik dan toko obat, ijin
sarana kesehatan balai pengobatan/klinik dan rumah bersalin, ijin
rumah sakit, ijin laboratorium klinik, dan lain-lain.
2. Setiap jenis pelayanan administrasi perijinan tersebut dilengkapi dengan
pengaturan secara rinci tentang: dasar hukum, persyaratan, prosedur di
setiap tahap pelayanan (sampai ke tingkat kecamatan dan kelurahan),
alur sistem pelayanan, biaya, waktu penyelesaian, jam pelayanan,
alamat dan nomor telepon yang dapat digunakan masyarakat untuk
mengajukan pengaduan.
3. Penetapan Standar Pelayanan Minimal penanganan kematian ibu hamil
dan bersalin, penanggulangan gisi buruk, kejadian luar biasa, dan
demam berdarah.
4. Standar Pelayanan Minimal sebagaimana dalam butir 3 di atas meliputi:
pengertian dan ruang lingkup, dasar hukum, kompetensi petugas dan
persyaratan, prosedur pelayanan dan alur proses, target pencapaian,
biaya, dan mekanisme penanganan pengaduan.
5. Penetapan Standar Pelayanan Minimal pelayanan kesehatan oleh
PUSKESMAS yang meliputi: prosedur, alur dan mekanisme layanan,
lama layanan (indikator sampai ke menit), tarif biaya setiap jenis
layanan, dan penanganan pengaduan atau keluhan.

g. Pelayanan Jasa Pos (PT POS)


PT POS selain memberikan pelayanan jasa khususnya pengiriman
benda pos, saat ini juga memberikan pelayanan barang seperti pelayanan
filatelis. Penelitian ini hanya mencakup pelayanan jasa yang dilakukan oleh
PT POS. Berdasarkan hasil wawancara dengan pejabat Humas di Kantor
Pusat PT POS Bandung dipeoleh informasi sebagai berikut:

58
1. Pelayanan PT POS diatur oleh peraturan perundangan yang dikeluarkan
oleh pemerintah, khsususnya tentang tarif pelayanan jasa pos.
2. Operasionalisasi setiap jenis pelayanan yang dilakukan PT POS
mengikuti prosedur dan standar yang ditetapkan dalam Keputusan
Direksi.
3. PT POS melalui Keputusan Direksi telah menetapkan standar khususnya
jangka waktu pengiriman benda pos sesuai jenis pelayanan yang
digunakan pelanggan.
4. Pelayanan jasa oleh PT POS telah mengacu pada Keputusan MENPAN
Tahun 2003.
5. Pejabat Humas yang menjadi responden tidak dapat menunjukkan
Keputusan Direksi yang disebutkan, dan Tim tidak berhasil
memperolehnya meskipun telah berupaya melalui berbagai upaya.

C. Deskripsi Pengaturan Pelayanan Keluhan Publik secara Sektoral

a. Pelayanan Keluhan Publik di Badan Pertanahan Nasional


Di instansi Badan Pertanahan Nasional pelayanan keluhan
masyarakat dilaksanakan dengan beberapa cara sebagai berikut:
1. Berdasarkan Butir KEDUA huruf d Instruksi Menteri Negara Agraria /
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 tentang
Percepatan Pelayanan Pendaftaran Peralihan Hak atas Tanah,
ditetapkan bahwa Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Propinsi bertugas menerima keluhan dari masyarakat mengenai
pelayanan pendaftaran peralihan hak dan mengambil tindakan yang
diperlukan. Akan tetapi dalam instruksi ini sama sekali tidak diatur
tentang prosedur dan standar pelayanan keluhan masyarakat tersebut.
2. Keputusan Menteri Negara Agararia Nomor 140-I-1999 tentang
Kelompok Kerja Penanganan Pengaduan Masyarakat menetapkan
beberapa hal sebagai berikut:

59
a. Membentuk kelompok kerja penanganan pengaduan masyarakat
yang bertanggungjawab kepada Menteri Negara Agraria / Kepala
Badan Pertanahan Nasional.
b. Penanganan pengaduan masyarakat dapat disampaikan melalui
Kotak Pos 4000, Faksimili nomor 021-7267633 dan 7254725, dan
pengaduan secara langsung.
Dalam keputusan tersebut tidak diatur secara rinci tentang prosedur
penanganan setelah keluhan diterima maupun standar penanganan
keluhan seperti jangka waktu, jaminan hukum, biaya dan sebagainya.
3. Melalui FGD dan wawancara diperoleh informasi bahwa penyampaian
keluhan masyarakat dalam praktik diterima dan ditangani langsung oleh
setiap bagian teknis yang berkaitan dengan pokok keluhan. Apabila
bagian teknis ini tidak dapat menyelesaikan keluhan secara memuaskan
maka keluhan dapat disampaikan kepada atasan langsungnya.
4. Apaila keluhan tersebut sudah meningkat menjadi sengketa hukum
maka akan ditangani oleh suatu bagian khusus yang menangani
sengketa-sengketa hukum yang melibatkan institusi.

b. Pelayanan Keluhan Publik di Kantor Catatan Sipil


Berdasarkan sistem administrasi negara di mana kewenangan
pengaturan administrasi kependudukan dan catatan sipil merupakan
kewenangan pemerintah kota/kabupaten, maka kewenangan pengaturan
keluhan publik pada bidang pelayanan administrasi dan kependudukan
semstinya juga diatur oleh paraturan perundangan di daerah. Tim peneliti
berhasil menemukan peraturan pelayanan keluhan publik yang diberlakukan
di kota Semarang berdasarkan Keputusan Walikota Nomor 065/311 Tahun
2003 yang sudah mengacu pada Keputusan MENPA No. 63 Tahun 2003.
Dalam Keputusan Walikota Semarang tersebut pelayanan
penanganan keluhan publik diatur sebagai berikut:
1. Pada setiap jenis pelayanan kependudukan dan catatan sipil ditetapkan
alamat dan nomor telepon yang dapat digunakan oleh masyarakat
untuk menyampaikan keluhan atau pengaduan.

60
2. Dirumuskan secara rinci tentang penanganan keluhan atau pengaduan
masyarakat, yang meliputi:
a. Prosedur meyampaikan keluhan atau pengaduan melalui telepon,
fax, surat, dan pengaduan langsung dan tata cara penanganannya.
b. Ditetapkan alur penyelesaian keluhan atau pengaduan dengan
menetapkan secara jelas pejabat yang bertanggungjawab.
c. Kemungkinan dibentuknya sebuah tim oleh walikota atau kepala
dinas untuk menangani suatu keluhan atau pengaduan.
d. Ditetapkan tatacara penyampaian hasil penanganan keluhan atau
pengaduan kepada masyarakat yang mengajukan keluhan.
e. Ditetapkan kewajiban untuk menyampaikan laporan hasil
penanganan keluhan kepada wali kota.

c. Pelayanan Keluhan Publik di Kepolisian


Pengaturan pelayanan administrasi di unit-unit pelayanan
kepolisian dilaksnakan berdasarkan Keputusan atau Instruksi Kapolri yang
keberlakuannya bersifat internal. Tim mengetahui tentang peraturan-
peraturan tersebut melalui FGD maupun wawancara akan tetapi, setelah
menempuh berbagai upaya, tidak berhasil memperoleh naskah beberapa
peraturan yang disebut oleh para narasumber dalam FGD atau wawancara
tersebut. Oleh karena itu Tim tidak dapat melakukan deskripsi terhadap
peraturan tersebut, akan tetapi keadaan demikian justru akan merupakan
bagian dari analisis pada Bab IV.

d. Pelayanan Keluhan Publik di PT Telekomunikasi Indonesia


PT. Telekomunikasi Indonesia adalah sebuah Badan Usaha Milik
Negara yang selama bertahun-tahun telah memiliki kedudukan monopoli
sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi. 30 Walau saat ini kedudukan

30
Lihat UU No.3 tahun 1989 tentang Telekomunikasi; PP No. 8 tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Telekomunikasi dan Keputusan Menteri Pariwisata dan Telekomunikasi No.
39/KS.002/MPPT-1993 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Telekomunikasi Dasar. Di dalam
peraturan-peraturan tersebut, PT. Telkom berkedudukan sebagai Badan Penyelenggara jasa
telekomunikasi. Badan lain yang akan ikut terlibat dalam penyelenggaraan jasa telekomunikasi ini
61
monopoli tersebut di dalam perundang-undangan telah dihapuskan, 31
namun dalam kenyataan saat ini PT. Telkomlah yang menjadi
penyelenggara jasa telekomunikasi terbesar. 32 Dengan demikian, sudahlah
selayaknya bila keberhasilan PT. TELKOM dalam menyediakan pelayanan
yang terbaik kepada masyarakat menjadi concern dari seluruh masyarakat.
Sebagai pelanggan dari jasa telekomunikasi yang diselenggarakan
oleh PT. Telkom, masyarakat memiliki hak untuk dapat mengajukan
keluhannya, apabila penyediaan jasa dari PT. Telkom tersebut ternyata tidak
memenuhi standar yang seharusnya. Jenis keluhan pelayanan yang dapat
diajukan oleh pelanggan itu antara lain:
1. Keluhan terhadap sarana (misalnya: jaringan bocor, hubungan
terputus, dll.);
2. Keluhan terhadap buruknya pelayanan (misalnya keterlambatan
penghitungan besarnya tagihan, kelambatan memberikan bantuan
informasi (misalnya melalui 108, 109), buruknya pelayanan petugas
gangguan (misalnya melalui 147 atau 117), dll.).
Ketentuan tentang penyampaian keluhan pada TELKOM
diselenggarakan sebagai berikut 33 :

hanya dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan PT. Telkom dalam bentuk perjanjian Joint
Venture, Kerja Sama Operasi, atau Kontrak Manajemen.
31
Hal ini ditegaskan dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang tidak
lagi menempatkan PT. Telkom sebagai Badan Penyelenggara jasa telekomunikasi. Dengan
demikian, penyelenggaraan jasa telekomunikasi bukan lagi menjadi hak tunggal dari PT. Telkom.
Sepanjang ada Badan Usaha yang memenuhi kriteria yang ditentukan di dalam UU tersebut,
maka ia dapat berpartisipasi untuk menyelenggarakan jasa telekomunikasi.
32
Sebagai gambaran, saat ini penyelenggaraan jaringan fixed phone hanya disediakan
oleh PT. Telkom.
33
Mekanisme ini diringkas dari Instruksi Direktur Operasi dan Pemasaran Perusahaan
Perseroan (Persero) PT. Telekomunikasi Indonesia No. IR.6/HK/220/OPE-00/1995 tentang
Pembenahan Pengelolaan Pelayanan Penerangan Lokal (108), Penerangan Tagihan Jastel (109),
Penanganan Gangguan (117 atau 147) dan Announcement; Instruksi Direktur Operasi dan
Pemasaran Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Telekomunikasi Indonesia No.
IR.9/HK220/OPSAR-21/1995 tentang Peningkatan Pelayanan Penanganan Gangguan (117 atau
147); dan Keputusan Direksi Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Telekomunikasi Indonesia No.
KD.36/TK.300/OPSAR-23/2001.

62
1. Cara mengajukan keluhan 34 :
- Lisan: diajukan melalui Loket Pengaduan di wilayah pelanggan;
- Pengajuan secara tertulis: diajukan menggunakan surat, faksimili,
telex, telegram, e-mail dan lain-lain). Masalahnya, apabila
pengirimannya akan dilakukan melalui media-media ini, saat ini
sebagian besar masyarakat tidak mengetahui alamat yang harus
dituju. Hal ini terjadi karena kurangnya sosialisasi di lingkungan kerja
Telkom. Kemungkinan lain juga karena Telkom ingin memusatkan
pelayanan penyampaian keluhan melalui telepon, yang prosedur
penyampaian keluhannya relatif lebih simpel dan seragam di seluruh
Indonesia.
- Melalui telepon: pengajuan keluhan dilakukan melalui pesawat No.
117 atau 147. Telkom telah memasang voice processing yang akan
berfungsi untuk menjawab keluhan masyarakat; dan menindaklanjuti
keluhan tersebut.
- Melalui media massa: misalnya pada media massa tertentu (seperti
radio atau televisi, ada yang memiliki acara yang menginformasikan
keluhan-keluhan masyarakat, misalnya telepon terganggu). Dengan
memberikannya kesempatan kepada pelanggan untuk mengajukan
keluhan melalui media massa, seharusnya Telkom juga menyediakan
petugas yang bertugas untuk memantau berbagai sarana
penyampaian keluhan yang ada di media massa (misalnya
memantau acara-acara (yang relevan) di radio atau televisi, atau
surat pembaca di majalah atau koran) agar penyampaian keluhan
dapat langsung terpantau oleh Telkom. Bila Telkom tidak
menyediakan petugas ini, maka penyampaian keluhan melalui media
massa tampaknya akan percuma dan tidak menyelesaikan masalah
dengan efektif.

34
Lihat juga butir 2.3.b. Lampiran Keputusan Direksi Perusahaan Perseroan (Persero) PT.
Telekomunikasi Indonesia No. KD.36/TK.300/OPSAR-23/2001.

63
2. Asas penanganan gangguan yang dijadikan pedoman:
- Prosedur penanganannya cepat, tepat dan sederhana, sesuai dengan
kondisi di lapangan. 35 Yang menjadi masalah adalah: di dalam
peraturan operasionalnya tidak didefinisikan lebih lanjut kriteria apa
yang harus dipergunakan untuk menentukan apakah respons
terhadap keluhan pelanggan yang diajukan itu dapat dikatagorikan
sebagai respons yang cepat, tepat dan sederhana. Yang harus
ditegaskan kembali di sini, yang akan diukur kecepatannya adalah
respons/reaksi terhadap keluhan yang diajukan oleh masyarakat
tersebut; dan bukan penyelesaian masalah yang
dikeluhkannya. Kecepatan penyelesaian keluhan tidak dapat
distandarisasi, karena tingkat kompleksitas masalah yang diajukan
juga bisa berbeda satu dengan yang lain. Apabila keluhannya
berkaitan dengan kerusakan jaringan, penyelesaian masalahnya
tentulah membutuhkan waktu yang lebih lama daripada penyelesaian
masalah kebocoran suara atau dengungan pada pesawat telepon.
Dengan demikian, yang harus bisa terukur adalah jangka waktu
maksimal dari reaksi atau respons yang diberikan terhadap keluhan
publik yang diajukan.
- Namun demikian, penanganan gangguan yang dikeluhkan apapun
masalahnya- harus diselesaikan dengan tepat dan melalui cara yang
paling sederhana, dari pelbagai alternatif penyelesaian masalah
yang dapat ditempuh.
3. Mekanisme pengelolaan keluhan 36 :
- Pelanggan (atau dalam hal tertentu tidak hanya pelanggan,
melainkan masyarakat pada umumnya. Misalnya bila seorang
pengguna jasa telepon umum selalu kehilangan koinnya tanpa
memperoleh sambungan, karena adanya pesawat telepon umum

35
Lihat Diktum Pertama butir 9 Instruksi Direktur Operasi dan Pemasaran Perusahaan
Perseroan (Persero) PT. Telekomunikasi Indonesia No. IR.9/HK220/OPSAR-21/1995.
36
Disusun dengan menyederhanakan prosedur teknis yang telah dimiliki oleh TELKOM di
dalam Lampiran Keputusan Direksi No. KD.36/TK.300/OPSAR-23/2001.

64
yang tidak berfungsi baik. Ia berhak untuk mengajukan keluhan,
paling tidak agar pesawat telepon umum tersebut segera diperbaiki.)
mengajukan keluhannya kepada Unit Call Center melalui cara yang
telah dijabarkan di atas;
- Unit Call Centre menanyakan dan meneliti masalah atau gangguan
yang dikeluhkan dan mendata identitas pengadu dan melakukan
registrasi pengaduan;
- Unit Call Centre melakukan pengukuran dan pengetesan untuk
mengetahui ada atau tidaknya kerusakan atau gangguan.
- Dari hasil pengukuran, apabila ternyata memang benar terdapat
kerusakan atau gangguan, maka dilakukan pendistribusian pekerjaan
(dispatching) kepada unit kerja yang sesuai dengan area kerjanya;
- Menjadwalkan perbaikan yang akan dilakukan;
- Melakukan analisa dan letak gangguan (di lokasi kerusakan di
tempat pengadu). Apabila ada kesulitan di lokasi (misalnya rumah
pengadu dalam keadaan kosong), petugas harus meninggalkan
pesan atau pemberitahuan;
- Apabila pemeriksaan dapat dilakukan, petugas harus
menginformasikan jenis kerusakan atau gangguan yang terjadi, dan
menginformasikan apakah terhadap gangguan atau perbaikan
tersebut akan dikenai biaya, seandainya perbaikan tersebut
dilakukan.
- Apabila perbaikan ingin dilakukan, biaya yang harus dibayarkan
ditagih dahulu kepada pengadu. Semua proses tersebut harus
dicatat di dalam Berita Acara yang sudah disediakan oleh
perusahaan.
- Petugas mengadakan perbaikan atau penggantian saluran yang
rusak.
- Setelah Petugas melakukan perbaikan, dilakukan test call kepada
telepon pengadu. Apabila masalah yang diadukan dapat diselesaikan,
maka dibuat berita acara penyelesaian dan melaporkannya kepada
unit clearance. Apabila masalah yang diadukan, maka petugas harus

65
melaporkan ke Unit Kerja Distribusi, agar dilakukan pendistribusian
pekerjaan kembali (redispatch).

e. Pelayanan Keluhan Publik di Perusahaan Listrik (PT PLN)


Undang-Undang No. 15 tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan
dalam pasal 15 ayat (1) menegaskan bahwa Pemegang Kuasa
Ketenagalistrikan (dalam hal ini PLN) berkewajiban untuk memberikan
pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat. Di lain pihak, hak dari
pelanggan PLN diatur di dalam pasal 3 Peraturan Menteri Pertambangan dan
Energi No. 03 P/451/M.PE 1991 tanggal 26 April 1991, yang intinya
menegaskan bahwa pelanggan berhak untuk mendapatkan tenaga listrik
secara berkesinambungan dengan keandalan yang baik. Hal yang dapat
mengecualikan PLN dari kewajibannya tersebut hanyalah apabila PLN
menghadapi force majeure, sehingga harus menghentikan sementara
kewajibannya untuk mensupply listrik terus menerus, tanpa dibebani
kewajiban untuk memberikan ganti rugi (contoh yang paling aktual adalah
ketika terjadi bencana banjir di Jakarta pada bulan Februari yang lalu. Untuk
menghindarkan tegangan pendek (kortsluit), maka PLN terpaksa mematikan
supply listrik di beberapa daerah, misalnya Kedoya, Pulo Mas, dll.).
Sebagai pelanggan dari jasa listrik yang diselenggarakan oleh
PLN, masyarakat memiliki hak untuk dapat mengajukan keluhannya, apabila
penyediaan jasa dari PLN tersebut ternyata tidak memenuhi standar yang
seharusnya. Jenis keluhan pelayanan yang dapat diajukan oleh pelanggan
itu antara lain:
Keluhan terhadap kerusakan sarana (misalnya: jaringan rusak, listrik padam,
dll.); keluhan terhadap buruknya pelayanan (misalnya pemadaman listrik
berkala tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, penyambungan yang
terlambat, pembacaan meteran yang tidak sesuai dengan pemakaian,
tegangan yang tidak stabil, kelambatan memberikan pelayanan gangguan
(misalnya setelah adanya laporan keluhan melalui pesawat telepon no. 123),
dll.).

66
Ketentuan tentang penyampaian keluhan pada PLN
diselenggarakan sebagai berikut 37 :
1. Cara mengajukan keluhan:
Tertulis: diajukan melalui Loket Pengaduan di kantor cabang atau
kantor rayon yang terdekat dengan lokasi dari pelanggan. Pelanggan
akan mengisi formulir pengaduan gangguan yang telah disediakan di
kantor tersebut. Menurut informasi yang dijelaskan pada website PLN,
kantor-kantor cabang dan rayon PLN yang khusus menangani masalah
gangguan ini selalu terbuka selama 24 jam perhari.
Lisan melalui telepon: pengajuan keluhan dilakukan melalui pesawat
No. 123. PLN memiliki sistem hubungan antar unit kerja menggunakan
radio panggil, sehingga masalah yang diadukan pelanggan akan relatif
cepat untuk didistribusikan kepada petugas yang tepat.
Melalui media massa: misalnya pada media massa tertentu (seperti
radio atau televisi, ada yang memiliki acara yang menginformasikan
keluhan-keluhan masyarakat, misalnya listrik padam, dll). Dengan
memberikannya kesempatan kepada pelanggan untuk mengajukan
keluhan melalui media massa, seharusnya PLN juga menyediakan
petugas yang bertugas untuk memantau berbagai sarana penyampaian
keluhan yang ada di media massa (misalnya memantau acara-acara
(yang relevan) di radio atau televisi, atau surat pembaca di majalah
atau koran) agar penyampaian keluhan dapat langsung terpantau oleh
PLN. Bila PLN tidak menyediakan tugas ini, maka penyampaian keluhan
melalui media massa tampaknya akan percuma dan tidak
menyelesaikan masalah dengan efektif.
2. Asas penanganan gangguan yang dijadikan pedoman:
Khusus berkaitan dengan penanganan gangguan, PLN tidak memiliki
asas khusus, namun hal ini dapat disimpulkan dari visi dan misi yang

37
Mekanisme ini diringkas dari homepage dari PLN: http://www.indo.net.id/pln/htdocs/
pelayanan.htm.
67
dimiliki oleh PLN. Sebagai contoh, visi dan misi dari PLN Jawa Barat
Banten, landasan filosofinya adalah38:
Mempunyai komitmen yang tinggi terhadap kepentingan pelanggan
dengan menjadikan SDM sebagai sumber daya penting perusahaan.
Dengan memperhatikan visi dan misi PLN Jawa Barat Banten ini,
dapat disimpulkan bahwa di bidang penanganan gangguan/keluhan,
PLN harus semata-mata lebih memperhatikan kepentingan pelanggan.
Artinya, setiap penanganan masalah pelanggan harus dilakukan dengan
sebaik mungkin, untuk memberikan pelayanan yang memuaskan
pelanggannya. Meski filosofi ini telah memberikan landasan nilai-nilai
luhur yang harus dilaksanakan oleh petugas penyelesaian gangguan
atau keluhan pelanggan, namun landasan filosofi ini belum dielaborasi
ke dalam pedoman-pedoman yang lebih operasional. Perlu suatu
pedoman norma perilaku yang lebih terukur (di samping prosedur dan
mekanisme penanganan keluhan), untuk membuat kualitas penanganan
keluhan menjadi lebih terkontrol.
3. Mekanisme pengelolaan keluhan:
Pelanggan mengajukan keluhannya kepada Unit Call Center melalui
cara yang telah dijabarkan di atas (terutama melalui pesawat 123);
- Unit Call Centre menanyakan dan meneliti masalah atau gangguan
yang dikeluhkan dan mendata identitas pengadu dan melakukan
registrasi pengaduan;
- Unit Cal Centre (melalui radio panggil yang saling berhubungan
dengan unit-unit kerja yang berada pada wilayah kerja yang sama
dengan lokasi Unit Call Centre tersebut) akan menghubungi petugas
yang berwenang (misalnya apabila masalahnya berkaitan dengan
tidak stabilnya tegangan listrik, maka diajukan kepada Unit
Pelayanan Jaringan di wilayah pelanggan);
- Petugas melakukan analisa dan letak gangguan (di lokasi kerusakan
di tempat pengadu);

38
Hal ini dapat dilihat dari Tim Restrukturisasi PT. PLN (Persero) UBD Jabar Banten,
Edisi 2.02. Bandung, 2 Oktober 2001: Restrukturisasi PT. PLN (Persero) Distribusi Jabar
Banten, hal. 5.
68
- Apabila pemeriksaan dapat dilakukan, petugas harus
menginformasikan jenis kerusakan atau gangguan yang terjadi, dan
menginformasikan apakah terhadap gangguan atau perbaikan
tersebut akan dikenai biaya, seandainya perbaikan tersebut
dilakukan.
- Petugas mengadakan perbaikan atau penggantian jaringan yang
rusak.
- Setelah Petugas melakukan perbaikan, maka dibuat berita acara
penyelesaian dan melaporkannya kepada Kepala Unit Pelayanan
Jaringan (untuk masalah-masalah teknis jaringan) atau Kepala Unit
Pelayanan Pelanggan (untuk masalah-masalah yang berkaitan
dengan ketidaktepatan pembacaan meteran dan masalah billing) 39 .

f. Pelayanan Keluhan Publik di Rumah Sakit dan Puskesmas


Dalam beberapa Keputusan Menteri Kesehatan RI tidak diatur
tentang prosedur penanganan keluhan masyarakat, akan tetapi diatur
tentang beberapa prosedur penjaminan mutu pelayanan melalui mekanisme
internal seperti mini lokakarya mini bulanan dan triwulanan. Prosedur
pelayanan keluhan publik yang dapat ditemukan selama penelitian adalah
yang berkaitan dengan penanganan keluhan adalah sebagaimana yang
diatur dalam Keputusan Walikota Semarang Nomor 065/314 Tahun 2003
tentang Standar Pelayanan Minimal Dinas Kesehatan Kota Semarang. Dalam
Keputusan tersebut pada pokoknya diatur tentang:
1. Prosedur penyampaian keluhan publik untuk setiap jenis layanan yang
dapat dilakukan secara langsung, per telepon/fax, langsung ke atasan,
dan langsung ke walikota.
2. Pejabat yang harus melakukan tindakan untuk menanggapi dan
menyelesaikan keluhan untuk setiap jenis keluhan.
3. Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh pejabat dalam rangka
menangani keluhan.
4. Jangka waktu, biaya penanganan keluhan.

39
Loc cit, hal 67.
69
g. Pelayanan Keluhan Jasa Pos di PT POS
Hasil wawancara tentang penanganan keluhan publik di PT POS
memperoleh informasi sebagai berikut:
1. PT POS memiliki prosedur dan standar yang berlaku secara nasional
dan dipahamai oleh semua pegawai pos sesuai wewenangnya tentang
penganganan keluhan atau pengaduan yang disampaikan. Prosedur
dan standar pelayanan pengaduan tersebut ditetapkan dalam
Keputusan Direksi.
2. PT POS melalui Keputusan Direksi telah menetapkan standar khususnya
penggantian kerugian maksimal apabila keluhan atau pengaduan tidak
dapat diselesaikan (khususnya pengaduan kehilangan benda pos dan
keterlambatan layanan khusus)
3. Pelayanan keluhan publik oleh PT POS telah mengacu pada Keputusan
MENPAN Tahun 2003.
4. Pejabat Humas yang menjadi responden tidak dapat menunjukkan
Keputusan Direksi yang disebutkan, dan Tim tidak berhasil
memperolehnya meskipun telah berupaya melalui berbagai upaya.

3. A. Analisis Normatif Sistem Penyelenggaraan Pelayanan Publik


1. Keputusan-keputusan Menteri Penertiban Aparatur Negara No 63/2003,
25/2004, dan 26/2004, dapat dikatakan telah menyediakan sebuah struktur
dasar atau pedoman untuk pembentukan sebuah Sistem Pelayanan Publik
Indonesia yang terpadu. Asas-asas yang digunakan sebagai asas
penyelenggaraan pelayanan publik, umumnya juga sudah sejalan dengan
asas-asas pemerintahan yang baik (Principles of Good Governance), dengan
catatan bahwa masih ada beberapa asas penting yang belum dimuat di
dalamnya (Asas Integritas dan asas Konsistensi) atau yang merupakan asas-
asas yang unik sifatnya (Asas Kondisional dan Asas Partisipatif)
2. Kepmenpan No. 63/2003 menggunakan UU Perlindungan Konsumen (UU
No. 8/1999) sebagai salah satu dasar hukum utama pemberlakuan
pedoman umum penyelenggaraan pelayanan publik, sehingga tampak

70
adanya asumsi bahwa pelayanan publik oleh instansi-instansi penyelenggara
kepada masyarakat merupakan manifestasi dari relasi pelaku
usaha/produsen dan konsumen seperti yang dimaksud di dalam UUPK.
Namun dalam kenyataan, penerapan UUPK dalam persoalan-persoalan
kualitas pelayanan publik yang dihadapi masyarakat masih menimbulkan
masalah-masalah tersendiri akibat adanya keengganan di beberapa pihak
instansi penyelenggara pelayanan publik untuk disetarakan dengan pelaku
usaha seperti yang dimaksud di dalam UUPK. Akibatnya, kewenangan
badan yang dibentuk untuk menyelesaikan sengketa-sengketa perlindungan
konsumen dianggap tidak berlaku atas instansi-instansi penyelenggara
pelayanan publik (khususnya yang berkaitan dengan pelayanan
administratif)
3. dalam pelaksanaannya di pelbagai instansi pelayanan publik (baik di tingkat
pusat maupun daerah, atau di bidang pelayanan administrasi, barang atau
jasa) belum sepenuhnya dijadikan sebagai acuan untuk pembinaan
dan pelaksanaan fungsi-fungsi pelayanan instansi-instansi tersebut. Hal ini
terbukti dari banyaknya instansi yang merumuskan prosedur dan tata-cara
pelayanan nya sendiri (untuk uraian lebih lanjut lihat butir 4 di bawah ini).
4. Beberapa instansi yang bergerak di bidang pelayanan penyediaan
barang dan atau jasa, atau yang dapat dikategorikan sebagai
penyelenggara pelayanan publik atas dasar perjanjian dengan masyarakat
sebagai konsumen (PT Telkom, PLN, PT Pos, dsb) umumnya telah memiliki
suatu sistem dan prosedur pelayanan publiknya sendiri. Umumnya sistem
dan prosedur semacam itu ditetapkan secara intern (dalam arti, tidak
mengacu pada Keputusan-keputusan Menpan melainkan mengacu pada UU
Sektoral yang berlaku atas instansinya atau dalam bentuk Keputusan-
keputusan Direksi) namun diupayakan untuk diberlakukan secara nasional
dengan memperhatikan kemampuan dan kendala-kendala di daerah.
Sebagai badan usaha, yang sangat berkepentingan dengan peningkatan
daya saing dan mungkin arus globalisasi, badan-badan usaha tersebut pada
umumnya dituntut untuk mengelola sistem pelayanan publik dengan
standar yang lebih tinggi dari hal-hal yang ditetapkan di dalam Keputusan-

71
keputusan Menteri Penertiban Aparatur Negara. Namun demikian, bila
dinilai dari segi substansi, maka sistem dan prosedur pelayanan publik ini
untuk sebagian besar sudah sejalan dengan prinsip-prinsip dan standar
pelayanan minimum yang ditetapkan di dalam Kepmenpan No. 63/2003;
5. Instansi-instansi lain (di luar apa yang disebut pada butir 4 di atas) seperti
misalnya Badan Pertanahan Nasional, Dinas kependudukan (Catatan Sipil),
atau Dinas Pelayanan Kesehatan lebih banyak bekerja atas dasar regulasi
yang ditetapkan oleh jalur kekuasaan sektoralnya sendiri (misalnya Menteri,
Kapolri, atau Otoritas Pemerintah di daerah). Seyogyanya, baik departemen
maupun otoritas pemerintah di daerah tetap mengacu pada keputusan-
keputusan Menpan yang ada, namun demikian, hanya sebagian kecil dari
instansi-instansi pelayanan publik yang ada telah secara eksplisit
menegaskan bahwa regulasi lokal (Pemkot Semarang dalam bidang
pelayanan administratif) mengenai prosedur dan tata cara pelayanan publik
memang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Kepmenpan No. 63/2003.
Pengertian yang perlu dirumuskan dengan lebih tegas di dalam Kepmenpan
No. 63/2003 (atau di dalam Undang-undang tentang Pelayanan Publik, bila
kelak menjadi hukum positif) adalah tentang kedudukan keputusan menteri
ini yang hanya dimaksudkan sebagai standar dan kelengkapan minimum
dari suatu sistem pelayanan publik yang harus ada di instansi apapun yang
menyelenggarakan aktivitas pelayanan publik.
6. Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari kenyataan-kenyataan di atas,
dapat diringkaskan menjadi sebagai berikut:
(a) Dengan beberapa penyempurnaan di sana-sini, keseluruhan
Keputusan-keputusan Menteri Penertiban Aparatur Negara (063/2003,
025/2004,dan 026/2004) sudah berhasil menetapkan struktur dasar
(basic structure) dari suatu sistem pelayanan publik, yang bermanfaat
sebagai standar minimum kelengkapan suatu sistem
penyelenggaraan pelayanan publik;
(b) Namun demikian, pembedaan jenis pelayanan publik antara pelayanan
administratif dengan pelayanan barang/jasa (atau dapat disebut
pelayanan bisnis) tetaplah relevan, terutama dalam menetapkan

72
sejauh mana standar itu harus dipenuhi sebagai persyaratan minimum
(minimum requirements) atau sekedar menjadi titik orientasi saja
dalam pembinaan sebuah sistem pelayanan publik yang umumnya
sudah mengacu pada norma-norma ukur (benchmarks) yang lebih
tinggi (ISO, dsb); 40
7. Sampai dengan laporan penelitian ini dirumuskan, data yang diperoleh Tim
belum menunjukkan adanya instansi penyelenggara pelayanan publik yang
sudah melaksanakan (atau bahkan menyadari adanya) Kepmenpan No.
25/2004 yang memberikan pedoman umum penyusunan Indeks Kepuasan
Masyarakat. Hal ini dapat dijelaskan karena Kepmen yang relatif baru ini
(Februari 2004) belum sepenuhnya berhasil disosialisasikan pada instansi-
instansi penyelenggara pelayanan publik di Indonesia. Namun demikian,
terlepas dari kenyataan itu, substansi dari Kepmen No. 25/2004 dapat
41
berfungsi positif dalam upaya menyediakan data yang dibutuhkan untuk :
Mengidentifikasi kelemahan dan atau kekurangan yang dirasakan
dalam pelaksanaan fungsi setiap unsur penyedia layanan publik ;
Menilai kembali kinerja penyelenggaraan pelayanan yang telah
berjalan;
Menjadi bahan masukan dalam penetapan kebijakan dan upaya untuk
peningkatan mutu pelayanan;
Menyusun indeks kepuasan masyarakat secara menyeluruh, baik atas
kualitas pelayanan instansi-instansi publik di pusat maupun di daerah;
Memacu persaingan positif antara unit-unit penyelenggara pelayanan
publik di lingkungan pemerintah pusat dan daerah;
Memberikan gambaran pada konsumen mengenai rating kinerja setiap
instansi penyelenggara pelayanan publik.
8. Ditinjau dari aspek pelayanan terhadap keluhan publik, maka di dalam
Kepmenpan No. 25/2004 ini perlu ditambahkan beberapa unsur indeks
kepuasan masyarakat, khususnya yang menyangkut pelayanan pada

40
Hal ini juga tersirat di dalam Kepmenpan No. 63/2003, Paragraf V butir C
41
Bandingkan: Paragraf E tentang Manfaat, butir 1 6 dari Kepmen No. 25/2004

73
masyarakat dalam proses penyampaian keluhan dan/atau penyelesaian
sengketa; Dengan demikian, indeks kepuasan masyarakat dapat diukur
terhadap keseluruhan sistem pelayanan publik sebuah instansi.
9. Salah satu aspek dari penyelenggaraan pelayanan publik Indonesia yang
terpenting namun tampaknya belum memperoleh perhatian secukupnya
adalah Code of Conduct yang lebih banyak dimaksudkan untuk
mengendalikan perilaku individu-individu pelaksana pelayanan publik. Code
of conduct semacam ini seharusnya lebih banyak diturunkan dari nilai-nilai
etika-profesional para pengemban fungsi pelayanan publik pada umumnya,
dan dapat berlaku atas semua jenis pelayanan publik. Elemen Code of
Conduct perlu menjadi salah satu elemen pendukung sistem
penyelenggaraan pelayanan publik Indonesia, karena tanpa kehadirannya,
suatu sistem yang sudah baik dari segi regulasi, pengorganisasian,
penetapan flow of activities, proses pelaksanaan, pembiayaan, dan
pelayanan terhadap keluhan-keluhan, namun tidak didukung oleh kontrol
atas perilaku individual setiap pejabat pelaksananya, akan menjadi sia-sia.

Dari studi perbandingan terhadap pelbagai code of conducts yang dirumuskan


untuk pelayanan publik di pelbagai sistem hukum asing, dapat disimpulkan bahwa
suatu Code of Conduct untuk petugas pelayanan publik akan meliputi nilai-nilai
yang pada dasarnya merupakan nilai-nilai derivatif dari Asas-asas Keterbukaan,
Integritas dan Akuntabilitas. Petugas pelayanan publik harus:
a. senantiasa melindungi kepentingan umum dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya;
b. melaksanakan tugas-tugas atas dasar itikad baik dan kerja-keras, dilandasi
keterampilan profesional, pengetahuan dan pengalaman;
c. senantiasa bertingkah laku sesuai dengan hukum;
d. senantiasa bebas dari pengaruh-pengaruh politik, ekonomi atau pengaruh-
pengaruh lain yang dapat berdampak terhadap kinerjanya;
e. senantiasa menghindarkan diri dari perbenturan kepentingan (conflict of
interests) antara kewajiban-kewajiban resminya dengan kepentingan-
kepentingan pribadinya serta kepentingan pihak-pihak ketiga;

74
f. tidak menggunakan posisi atau jabatannya untuk kepentingan politik,
ekonomi, atau kepentingan pribadi orang lain;
g. senantiasa berupaya sebaik-baiknya untuk meningkatkan kepercayaan
masyarakat atas pelayanan publik;

Ditinjau dari sudut pandang masyarakat penerima pelayanan publik, Petugas


pelayanan publik harus:
a. secara proporsional senantiasa menjaga keseimbangan antara upaya
menegakkan kepentingan umum dan upaya menjamin perlindungan atas hak-
hak asasi dan kebebasan warga masyarakat, tanpa pembatasan-pembatasan
yang tidak wajar dan/atau melawan hukum;
b. memenuhi hak warga negara atas akses informasi publik yang secara
langsung atau tidak langsung relevan dengan pelayanan yang sedang
dimintakan oleh warga masyarakat;
c. menunjukkan sikap yang profesional, didukung oleh keramahan dan
kesopanan dalam bertindak-tanduk;

B. Analisis Normatif Pengaturan Pelayanan Keluhan Publik


Penyelesaian pengaduan atau keluhan atas pelayanan publik yang tidak
memenuhi standar pelayanan minimal merupakan satu kesatuan yang melekat
dan tidak dapat dipisahkan dari penyelenggaraan pelayanan publik yang prima.
Dalam praktik tidak akan bisa dihindarkan terjadinya pengaduan atau keluhan
dari masyarakat penerima pelayanan karena terjadinya pelayanan yang tidak
sesuai dengan standar pelayanan minimal maupun pelayanan yang tidak
memuaskan masyarakat yang menerima pelayanan. Dalam Angka V Huruf J
Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 ditegaskan bahwa:

Penyelenggaraan pelayanan publik perlu memperhatikan dan


menerapkan penyelesaian pengaduan atau keluhan. Setiap pimpinan unit
penyelenggara pelayanan publik wajib menyelesaikan setiap laporan atau
pengaduan masyarakat mengenai ketidakpuasan dalam pemberian
pelayanan sesuai kewenangannya.

75
Selain penyelesaian pengaduan atau keluhan yang belum atau tidak
menjadi sengketa hukum, setiap unit pelayanan publik juga harus melakukan
antisipasi apabila menghadapi kenyataan intensitas ketidakpuasan masyarakat
meningkat menjadi sengketa hukum. Dalam Keputusan MENPAN tersebut
ditegaskan bahwa penyelesaian sengketa (hukum) yang yang muncul dari
penyelenggaraan pelayanan publik dapat diselesaiakan melalui jalur hukum.
Berdasarkan Butir VI Keputusan MENPAN tersebut ditegaskan bahwa
perlu dibuat petunjuk pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik yang
digunakan sebagai landasan penyusunan standar pelayanan oleh masing-masing
pimpinan unit penyelenggara pelayanan. Salah satu komponen pelayanan yang
harus dimuat dalam stnadar pelayanan tersebut adalah tentang penanganan
pengaduan atau keluhan. Untuk menjamin agar pengaturan tentang penanganan
pengaduan atau keluhan tersebut memenuhi prinsip transparansi dan
akuntabilitas maka dalam pedoman tersebut setidak-tidaknya dimuat tentang:
a. Prioritas penyelesaian pengaduan;
b. Penentuan pejabat yang menyelesaikan pengaduan;
c. Prosedur penyelesaian pengaduan;
d. Rekomendasi penyelesaian pengaduan;
e. Pemantauan dan evaluasi penyelesaian pengaduan;
f. Pelaporan proses dan hasil penyelesaian pengaduan kepada pimpinan;
g. Penyampaian hasil penyelesaian pengaduan kepada yang mengadukan;
h. Dokumentasi penyelesaian pengaduan.
Secara lebih operasional Keputusan MENPAN Nomor 26 Tahun 2004 pada
Butir IV menetapkan secara rinci prosedur penyampaian, penanganan,
penyelesaian dan tindak lanjut, konsekuensi, dan sanksi dalam proses pelayanan
keluhan publik tersebut.
Penelitian normatif terhadap peraturan-peraturan tentang pelayanan
publik atau standar pelayanan minimum di instansi yang menjadi obyek penelitian
ini dapat digambarkan sebagai berikut:

76
a. Badan Pertanahan Nasional
1. Pelaksanaan pelayanan publik pada unit-unit pelayanan Badan
Pertanahan Nasional dilakukan berdasarkan peraturan-peraturan yang
berlaku secara nasional. Peraturan-peraturan yang berlaku secara
nasional pada umumnya masih bersifat sangat umum dan berisi hukum
materiil tentang pertanahan. Seiring dengan paradigma otonomi daerah
dan kenyataan bahwa permasalahan yang dihadapi daerah berbeda, saat
ini beberapa Kantor Wilayah Pertanahan sedang berusaha untuk
menyusun regulasi yang bersifat khas dengan memperhatikan kebutuhan
daerah. Regulasi yang sedang disusun ini terbatas hanya mengatur
tentang prosedur pelayanan dengan tetap mengacu pada peraturan
perundangan nasional, dan sama sekali tidak akan mengatur tentang
hukum materiil di bidang pertanahan.
2. Peraturan-peraturan yang ada pada umumnya dirumuskan dan
diberlakukan sebelum berlakunya Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun
2003 sehingga substansiya belum mengacu pada Keputusan Menpan
tersebut. Dari peraturan yang diteliti tidak ditemukan adanya bagian yang
secara khusus mengatur tentang pelayanan keluhan publik atas layanan
yang diberikan oleh unit-unit pelayanan di lingkungan Badan Pertanahan
Nasional. Diterbitkannya Keputusan Menteri Negara / Kepala BPN Nomor
140-I-1999 yang membentuk Kelompok Kerja penanganan pengaduan
masyarakat merupakan kebijakan yang sentralistik karena kelompok kerja
tersebut hanya dibentuk di tingkat pusat, dan tidak bersifat operasional
karena sama sekali tidak diatur tentang prosedur, mekanisme, dan
standar penanganan keluhan yang disampaikan.
3. Unit-unit pelayanan di lingkungan Badan Pertanahan Nasional tidak
memiliki bagian khusus pelayanan keluhan, karena keluhan diterima dan
ditangani oleh setiap bagian yang memberikan pelayanan. Akan tetapi
apabila keluhan atau pengaduan tidak berhasil diselesaikan dan kemudian
meningkat menjadi sengketa hukum maka sengketa hukum tersebut akan
ditangani oleh suatu bagian khusus yaitu Sekretariat Sengketa
Pertanahan.

77
4. Di Badan Pertanahan Nasional terjadi praktik yang mencerminkan
kebijakan reaktif di bidang penanganan keluhan dengan cara
mengeluarkan instruksi untuk menyelesaikan tunggakan permohonan
pelayanan sebagaimana dalam Instruksi Menteri Negara Agraria / Kepala
BPN Nomor 1 Tahun 1999. Kebijakan reaktif ini mengindikasikan
tingginya potensi keluhan dan sengketa sebagai akibat tidak dipenuhinya
standar pelayanan prima terutama dari segi kecepatan pelayanan. Secara
yuridis bentuk hukum instruksi juga hanya memiliki kekuatan mengikat
internal dan tidak memenuhi asas transparansi.

b. Dinas Kependudukan dan Kantor Catatan Sipil


Pelayanan administratif kependudukan dan catatan sipil merupakan
kewenangan otonomi daerah sehingga peraturan perundangan tentang
Standar Pelayanan Minimal termasuk pelayanan keluhan semestinya diatur
dalam peraturan-peraturan daerah. Penelitian terhadap peraturan-peraturan
daerah di wilayah penelitian meunjukkan bahwa baru Pemerintah Kota
Semarang yang menerbitkan peraturan tentang Standar Pelayanan Minimal
termasuk pelayanan keluhan di bidang kependudukan dan catatan sipil yang
telah mengacu pada Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003.
Dalam Keputusan Walikota Semarang Nomor 065/311 Tahun 2003
tentang Standar Pelayanan Minimal di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
telah diatur secara rinci dan lengkap tentang penanganan keluhan sebagai
berikut:
1. Penyampaian keluhan oleh masyarakat dapat dilakukan melalui surat
atau faksimili di alamat atau nomor yang telah ditentukan dengan jelas,
melalui telepon, dan langsung kepada Walikota.
2. Telah diatur secara rinci proses dan prosedur dari setiap cara
penyampaian keluhan yang berbeda tersebut:
a. Keluhan yang disampaikan melalui surat atau faksimili diterima oleh
Kepala Tata Usaha dan setelah diagenda harus disampaikan kepada
Kepala Dinas. Kepala Dinas setelah mempelajari isi keluhan kemudian
mendisposisi kepada tim yang dibentuk untuk menangani keluhan

78
yang kemudian akan melakukan pengkajian. Tim membuat jawaban
tertulis dan kemudian melalui Kepala Tata Usaha disampaikan
kepada masyarakat yang mengajukan keluhan.
b. Keluhan yang disampaikan melalui telepon akan langsung
disampaikan kepada pejabat yang menangani keluhan untuk
ditangani atau diserahkan kepada tim untuk dilakukan pengkajian,
yang hasilnya disampaikan melalui telepon atau surat.
c. Keluhan yang disampaikan melalui walikota akan didisposisi kepada
Kepala Tata Usaha untuk disampaikan kepada Kepala Dinas. Kepala
Dinas mendisposisi kepada Tim yang akan melakukan pengkajian.
Hasil pengkajian yang harus disampaikan kepada mesyarakat yang
mengajukan keluhan dengan tembusan kepada walikota.
3. Pengaturan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang ini secara
keseluruhan telah memenuhi ketentuan dalam Keputusan MENPAN
Nomor 63 Tahun 2003, dan dapat menjadi model untuk pengaturan di
daerah-daerah lain. Pemerintah Semarang telah berhasil menyusun
Standar Pelayanan Minimal termasuk pelayanan keluhan dengan
mengacu pada Keputusan MENPAN untuk sebagian besar dinas yang
memberikan pelayanan kepada masyarakat.

c. Kepolisian
1. Pelayanan administrasi oleh kepolisian berupa perijinan seperti surat ijin
mengemudi (SIM) dan ijin keramaian tampaknya dilakukan berdasarkan
kebiasaan yang muncul dalam pratik dan kebijakan setiap kepala unit
pelayanan di kepolisian. Apabila benar ada Surat atau Instruksi Kapolri
tentang penyelenggaraan pelayanan administrasi tersebut maka hal
tersebut bersifat internal. Untuk pelayanan SIM memang prosedur dan
persyaratannya jelas disosialisasikan melalui bagan atau alur pelayanan di
unit-unit pelayanan, akan tetapi ternyata dalam bagan atau alur
pelayanan tersebut tidak dimuat tentang pelayanan keluhan.
2. Hasil wawancara kepada responden pimpinan kepolisian yang secara
tegas tidak mengetahui tentang adanya Keputusan MENPAN Nomor 63

79
Tahun 2003 juga menunjukkan bahwa pelayanan keluhan di unit-unit
kepolisian belum mengacu kepada Keputusan Menpan tersebut.

d. PT Telekomunikasi Indonesia
1. Pada dasarnya pengelolaan keluhan yang telah dilakukan oleh TELKOM
relatif memiliki prosedur dan mekanisme yang cukup jelas, dalam kaitan
dengan:
- Telah jelas bagaimana pengaduan harus dilakukan;
- Telah jelas petugas-petugas yang berkewajiban untuk mengatasi
masalah yang dikeluhkan;
- Telah jelas mekanisme kerja para petugas dalam menanggapi
keluhan pelanggan;
- Telah jelas kriteria perbaikan atau penggantian perangkat yang
menjadi tanggung jawab TELKOM dan yang harus atas biaya
pengadu;
- Adanya kewajiban untuk memberikan informasi kepada pengadu,
apabila ada masalah dalam perbaikan.

2. Pada dasarnya pengelolaan keluhan yang telah dilakukan oleh TELKOM


masih dapat ditingkatkan menjadi lebih baik apabila prosedur dan
mekanisme pengelolaan keluhannya dilengkapi dengan hal-hal berikut:
- Di dalam prosedur penyampaian keluhan pelanggan tersebut belum
ditentukan jangka waktu maksimal (selambat-lambatnya) respons
dari petugas terhadap keluhan tersebut harus dilakukan. Dengan
demikian, belum ada jaminan bahwa petugas yang akan
menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh pelanggan tersebut pasti
akan dengan cepat datang untuk memeriksa keluhan yang dimiliki
oleh pelanggan.
- Di dalam prosedur penyampaian keluhan pelanggan tersebut tidak
ditentukan jangka waktu maksimal (selama-lamanya) perbaikan oleh
petugas tersebut dapat dilakukan, dengan mengklasifikasikan
masalah yang dihadapi oleh pelanggan (misalnya: bila masalahnya

80
tidak memerlukan penggantian alat/perangkat, bila kerusakannya
mengharuskan terjadinya penggantian alat/perangkat, dst.).
- Di dalam prosedur penyampaian keluhan pelanggan tersebut tidak
disebutkan dengan tegas tentang hak pelanggan untuk mendapat
laporan sampai di mana penyelesaian masalahnya telah dilakukan,
apabila masalah yang dikeluhkan tersebut tidak bisa diselesaikan
seketika pada saat pengaduan itu diajukan. Misalnya: apabila
seorang pelanggan mengeluhkan tentang jumlah tagihan yang
melebihi pemakaian telepon dari pelanggan. Apabila pada saat
keluhan itu diajukan, ternyata untuk menjawab masalah pelanggan
tersebut masih harus dilakukan proses lebih lanjut, maka tidak ada
jaminan bahwa pelanggan akan diberitahu tentang pejabat siapa
yang sedang menangani masalah tersebut sudah sampai di tahap
apa penyelesaian tersebut dilakukan, dan tahap penyelesaian apa
lagi yang masih harus dilalui.

3. Hal penting yang juga perlu dilakukan oleh TELKOM untuk membuat
masyarakat bisa mengetahui hak dan kewajibannya dalam mengajukan
keluhan publik adalah dengan mensosialisasikan prosedur dan
mekanisme keluhan publik kepada pelanggannya. Hal yang paling efektif
untuk sosialisasi ini adalah dengan mencantumkan mekanisme
mengajukan pengaduan melalui buku Daftar Pelanggan TELKOM yang
dibagikan kepada semua pelanggannya. Dengan demikian, pelanggan
dapat mengetahui secara lebih transparan prosedur dan mekanisme
keluhan pelanggan harus diajukan.

e. Perusahaan Listrik PT PLN


1. Pada dasarnya pengelolaan keluhan yang telah dilakukan oleh PLN relatif
memiliki prosedur dan mekanisme yang cukup jelas, dalam kaitan
dengan:
- Telah jelas bagaimana pengaduan harus dilakukan;

81
- Telah jelas petugas-petugas yang berkewajiban untuk mengatasi
masalah yang dikeluhkan.
2. Namun demikian, pada dasarnya pengelolaan keluhan yang telah
dilakukan oleh PLN masih dapat ditingkatkan menjadi lebih baik apabila
prosedur dan mekanisme pengelolaan keluhannya dilengkapi dengan hal-
hal berikut:
- Di dalam prosedur penyampaian keluhan pelanggan tersebut belum
ditentukan jangka waktu maksimal (selambat-lambatnya) respons dari
petugas terhadap keluhan tersebut harus dilakukan. Dengan
demikian, belum ada jaminan bahwa petugas yang akan
menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh pelanggan tersebut pasti
akan dengan cepat datang untuk memeriksa keluhan yang dimiliki
oleh pelanggan.
- Di dalam prosedur penyampaian keluhan pelanggan tersebut tidak
ditentukan jangka waktu maksimal (selama-lamanya) perbaikan oleh
petugas tersebut dapat dilakukan, dengan mengklasifikasikan
masalah yang dihadapi oleh pelanggan (misalnya: bila masalahnya
tidak memerlukan penggantian alat/perangkat, bila kerusakannya
mengharuskan terjadinya penggantian alat/perangkat, dst.).
- Di dalam prosedur penyampaian keluhan pelanggan tersebut tidak
disebutkan dengan tegas tentang hak pelanggan untuk mendapat
laporan sampai di mana penyelesaian masalahnya telah dilakukan,
apabila masalah yang dikeluhkan tersebut tidak bisa diselesaikan
seketika pada saat pengaduan itu diajukan. Misalnya: apabila seorang
pelanggan mengeluhkan tentang jumlah tagihan yang melebihi
pemakaian listrik dari pelanggan. Apabila pada saat keluhan itu
diajukan, ternyata untuk menjawab masalah pelanggan tersebut
masih harus dilakukan proses lebih lanjut, maka tidak ada jaminan
bahwa pelanggan akan diberitahu tentang pejabat siapa yang sedang
menangani masalah tersebut sudah sampai di tahap apa penyelesaian
tersebut dilakukan, dan tahap penyelesaian apa lagi yang masih harus
dilalui.

82
- Dalam pelaksanaan tugas di lapangan, telah jelas mekanisme kerja
para petugas dalam menanggapi keluhan pelanggan. Namun
demikian, mekanisme kerja tersebut belum dirumuskan ke dalam
ketentuan yang menjadi pedoman kerja dan menunjukkan hak dan
kewajiban dari PLN dan pelanggannya;
- Tidak ada kewajiban bagi petugas PLN untuk memberikan informasi
kepada pengadu, apabila ada masalah dalam perbaikan dari hal yang
diadukan.
3. Hal penting yang juga perlu dilakukan oleh PLN untuk membuat
masyarakat bisa mengetahui hak dan kewajibannya dalam mengajukan
keluhan publik adalah dengan mensosialisasikan prosedur dan
mekanisme keluhan publik kepada pelanggannya. Hal yang paling efektif
untuk sosialisasi ini adalah dengan mencantumkan mekanisme
mengajukan pengaduan melalui formulir pembayaran tagihan listrik.
Dengan demikian, pelanggan dapat mengetahui secara lebih transparan
prosedur dan mekanisme keluhan pelanggan harus diajukan.

f. Rumah Sakit dan Puskesmas


1. Departemen Kesehatan RI merupakan departemen yang sangat responsif
terhadap tuntutan pelayanan prima. Melalui beberapa Keputusan Menteri
Kesehatan sudah dirumuskan ketentuan-ketentuan umum sebagai
pedoman pelayanan bidang kesehatan yang harus diikuti oleh unit-unit
pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas. Pedoman yang
berlaku nasional ini sudah secara rinci mengatur tentang standar
pelayanan minumum, akan tetapi ternyata belum mengatur tentang
kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan keluhan. Setelah
berlakunya UU Otonomi Daerah kewenangan pengaturan bidang
kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas menjadi kewenangan
pemerintah daerah, akan tetapi Menteri Kesehatan masih tetap
mengeluarkan keputusan untuk dipergunakan sebagai pedoman
pengaturan lebih lanjut di setiap daerah.

83
2. Pemerintah daerah yang secara responsif menyesuaikan pedoman
pelayanan kesehatan berdasarkan UU Otonomi Daerah dan Keputusan
MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 adalah Pemerintah Kota Semarang.
Dengan Keputusan Walikota Semarang Nomor 065/314 Tahun 2003
ditetapkan Standar Pelayanan Minimal untuk pelayanan kesehatan yang
di dalamnya secara rinci telah mengatur pula pelayanan keluhan.
3. Pelayanan keluhan dalam Keputusan Walikota Semarang tersebut
mencakup pelayanan keluhan untuk setiap jenis layanan yang berbeda
satu terhadap yang lain karena karakteristik jenis layanan yang berbeda
maupun pelayanan keluhan yang dirumuskan secara umum. Peraturan ini
mewajibkan setiap unit layanan kesehatan untuk menyelenggarakan
pelayanan keluhan meskipun tidak secara rinci mengatur prosedur
penanganan keluhan. Akan tetapi penanganan keluhan atas pelayanan
yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan maupun unit-unit pelayanan
kesehatan yang disampaikan kepada Dinas Kesehatan telah diatur secara
lengkap.
4. Keputusan Walikota Semarang ini secara keseluruhan telah mengacu
kepada substansu Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 dan dapat
menjadi acuan pengaturan di daerah-daerah lain.

g. PT POS
1. Pelayanan keluhan yang dilakukukan oleh PT POS didasarkan pada
kebiasaan yang muncul dari praktik dan keputusan-keputusan Direksi
yang berlaku secara internal.
2. Sifat internal ini tidak dapat menjamin transparansi penanganan keluhan
yang diajukan oleh masyarakat, sehingga masyarakat tidak bisa
mengetahui hak-hak dan kewajibannya dalam proses penanganan
keluhan.

Dari analisis normatif peraturan pelayanan publik khususnya


pelayanan keluhan publik di instansi-instansi penyelenggara pelayanan publik
yang menjadi obyek penelitian di atas di bandingkan dengan ketentuan

84
dalam ketiga Keputusan MENPAN yang merupakan standard minimum rule,
dapat dilakukan klasifikasi sebagai berikut:
1. Beberapa instansi penyelenggara pelayanan publik telah secara responsif
menyesuaikan sistem pelayanan publiknya (termasuk pelayanan keluhan)
dengan Keputusan MENPAN. Instansi pelayanan publik yang segera
menyesuaikan sistem pelayananya ditingkat pusat misalnya Departemen
Kesehatan RI, dan di tingkat daerah misalnya Pemerintah Kota
Semarang.
2. Beberapa instansi penyelenggara pelayanan publik belum melakukan
penyesuaian sistem pelayanannya dengan mengacu pada Keputusan
MENPAN, misalnya Pemerintah Kota Bandung.
3. Beberapa instansi penyelenggara pelayanan publik menyatakan tidak
dapat menyesuaikan sistem pelayanannya dengan Keputusan MENPAN
karena kekhasan jenis pelayanan yang diberikan menjadikan Keputusan
MENPAN tidak cocok diterapkan di instansinya, misalnya Badan
Pertanahan Nasional (BPN) dan Kepolisian.
4. Instansi-instansi yang saat ini telah berbentuk hukum sebagai perseroan
terbatas seperti PT TELKOM, PT POS, dan PT PLN cenderung menyusun
sistem pelayanannya dengan mengacu pada pertimbangan-pertimbangan
pengembangan bisnisnya. PT TELKOM dan PT POS memilih
menggunakan standar pelayanan berdasarkan ISO sedangkan PT PLN
menyusun standar pelayanan sendiri sesuai keadaan riil dan kebutuhan
teknis.

Keanegaragaman pola pengaturan sistem pelayanan puiblik dan


pelayanan keluhan publik pada beberapa instansi yang diteliti tersebut, selain
karena kekhasan jenis pelayanan yang diselenggarakan setiap instansi secara
yuridis disebabkan oleh hirarkhi bentuk peraturan yang menjadi standard
minimum rule yakni keputusan menteri. Kementerian PAN adalah adalah
kementerian nondepartemen sehingga secara hirarkhis berkedudukan setara
dengan Menteri Departemen Teknis. Karena itu, daya memaksa dari
Keputusan MENPAN tersebut dapat dianggap kurang kuat, karena Menteri

85
Departemen memiliki kewenangan untuk mengatur instansi-instansi di
bawahnya dengan cara yang menyimpang. Demikian juga terhadap instansi-
instansi pelayanan publik di daerah secara yuridis daya mengikat Keputusan
MENPAN dirasakan kurang kuat karena berdasarkan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 dan Undang-undasng No. 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah, pemerintah daerah memiliki kewenangan secara penuh untuk
mengatur sendiri urusan-urusan yang menjadi wewenang otonomnya.
Saat ini oleh Kementerian PAN sedang dipersiapkan penyusunan
Undang-undang Pelayanan Publik yang sebenarnya merupakan peningkatan
hirarkhi substansi yang telah diatur dalam Keputusan MENPAN Nomor 63
Tahun 2003 ke tingkat undang-undang.

86
BAB III
PELAKSANAAN PELAYANAN PUBLIK DAN
PELAYANAN KELUHAN PUBLIK

Penelitian ini membutuhkan informasi yang berasal dari data sekunder


dan data primer. Data sekunder yang dibutuhkan adalah ketentuan perundang-
undangan mengenai pelayanan publik dan pelayanan keluhan publik dan hasil-hasil
penelitian yang pernah dilakukan oleh pihak lain. Adapun data primer yang dibutuhkan
berupa keterangan dari instansi pemberi pelayanan publik mengenai kualitas pelayanan
yang diberikan dan pendapat masyarakat mengenai kualitas pelayanan publik tersebut.
Untuk mendapatkan data primer tersebut telah dilakukan Focus Group Discussion (FGD)
dan dihadiri oleh para stakeholders yang berkaitan dengan lingkup penelitian, yaitu
wakil dari instansi pelayanan publik yang termasuk ke dalam kelompok pelayanan
administratif, kelompok pelayanan barang, dan kelompok pelayanan jasa. FGD juga
dihadiri para wakil masyarakat yang pernah meneliti kualitas pelayanan publik dan
memiliki banyak pengalaman dalam menerima pelayanan publik. Mengingat
keterbatasan biaya dan waktu, maka FGD dilakukan hanya di beberapa kota sebagai
sampel, yaitu Kota Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Bandung.

Berikut ini terdapat pemaparan hasil kajian empirik dari informasi-


informasi yang berhasil dikumpulkan oleh tim peneliti mengenai pelaksanaan pelayanan
publik dan pelayanan keluhan publik yang pada pokoknya meliputi tata cara pelayanan
yang diberikan hingga prosdur penanganan keluhan. Selain itu dipaparkan juga persepsi
masyarakat akan pelayanan publik yang diberikan oleh instansi terkait.

1. Pelaksanaan Pelayanan Publik dan Pelayanan Keluhan Publik

Pemaparan mengenai pelaksanaan pelayanan publik dan pelayanan


keluhan publik disampaikan berdasarkan kelompok pelayanan publik, hal ini
dilakukan karena secara umum terdapat keseragaman karakteristik pelayanan
publik.

87
Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
No.63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan
Publik, kelompok pelayanan administratif adalah pelayanan yang menghasilkan
berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status
kewarganegaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan atau penguasaan terhadap
suatu barang dan sebagainya. Dokumen-dokumen ini antara lain Kartu Tanda
Penduduk (KTP), Akte Pernikahan, Akte Kelahiran, Akte Kematian, Buku Pemilik
Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Ijin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor
Kendaraan Bermotor (STNK), Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), Paspor, Sertifikat
Kepemilikan/Penguasaan Tanah dan sebagainya.

Berdasarkan Keputusan Menteri PAN tersebut, maka dalam penelitian ini


diambil beberapa sampel instansi untuk mewakili kelompok pelayanan administratif,
yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN), Catatan Sipil/Dinas Kependudukan, dan
Kepolisian.

A. Badan Pertanahan Nasional

BPN merupakan instansi pelayanan publik yang memiliki 36 jenis


pelayanan administratif diantaranya adalah pemberian ijin lokasi, penyelesaian
sengketa garapan, ganti rugi kelebihan tanah maksimal dan absentee, ganti
rugi dan santunan, penetapan lokasi dan konsolidasi tanah, penataan dan
peruntukan tanah, penyelesaianan tanah kosong, dsb. Output dari keseluruhan
pelayanan dapat berupa surat keterangan, informasi, atau sertifikat tanah.
Pelayanan dengan konsep dekonsentrasi mendasarkan pada satu bentuk
peraturan sehingga memudahkan dalam hal sosialisasi. Selain bersifat
pelayanan, BPN juga dapat membantu melakukan penyelesaian sengketa-
sengketa agraria berdasarkan asas-asas pemerintahan yang bersih dan untuk
menyelesaikan sengketa itu dibentuk sekretriat sengketa pertanahan. Apabila
tidak dapat diselesaikan maka sengketa tersebut dilajutkan ke pengadilan.

BPN mengalami kesulitan dalam hal teknis operasional pelayanan


seperti peraturan hak atas tanah yang besinggungan antara hukum jaman dulu
(zaman belanda dan tahun 60-an) dengan hukum saat ini dan minimnya
88
penggunaan teknologi informasi digital yang dapat mempermudah pekerjaan.
BPN yang sudah menggunakan sistem komputerisasi untuk mempermudah
pelayanan saat ini baru terdapat di Jakarta Pusat dan Jakarta Barat.
Prosedur untuk pelayanan publik secara baku ditentukan oleh peraturan
menteri yang selanjutnya disesuaikan dengan 36 jenis pelayanan yang ada.
Selain itu terdapat juga Instruksi Menteri Negara/Kepala BPN No.3/98 tanggal
20 Juli 1998 yang berisi mengenai pemberlakuan sistem loket untuk
meningkatkan kualitas pelayanan di bidang pertanahan. Penggunaan sistem
loket ini diikuti dengan manajemen yang jelas mengenai jenis pelayanan yang
diberikan, kemudian disertai dengan penyediaan petugas-petugas khusus di
back office. Prosedur dan persyaratan yang ada disosialisasikan kepada
masyarakat dengan cara pembuatan flow chart alur kerja pelayanan-pelayanan
utama, sedangkan informasi pelayanan lainnya biasanya didapat masyarakat
melalui PPAT yang ditunjuk oleh masyarakat.
Kepmenpan No. 63/2003 masih kurang tersosialisasi dengan baik,
khususnya di daerah-daerah, mengingat BPN memiliki prosedur operasional
pelayanan yang didesain sendiri dan dirasa lebih lengkap khususnya bila
dikaitkan dengan keberagaman pelayanan yang dilakukan oleh BPN.
Desain prosedur operasional pelayanan disusun di daerah-daerah sesuai
dengan karakteristik pelayanan masing-masing daerah lalu dipadukan untuk
dijadikan suatu prosedur operasional yang baku bagi suatu wilayah. Desain
prosedur operasional di daerah-daerah tersebut berasal dari keputusan kepala
kantor.
Kurang tersosialisasinya Kepmenpan tersebut juga dikarenakan
karakteristik pelayanan yang diinginkan oleh Kepmenpan adalah pelayanan
satu atap sehingga tidak dapat diterapkan di BPN. Berdasarkan karakteristik
yang berbeda tersebut, BPN tidak merasa perlu akan adanya suatu peraturan
perundangan mengenai prosedur atau standar minimum pelayanan publik dan
prosedur penanganan keluhan karena BPN sudah memiliki dan memberlakukan
standar pelayanan yang dibuat oleh instansi tersebut. Standar pelayanan
tersebut dirasa cukup fleksibel, lengkap, dan dianggap dapat memenuhi
kebutuhan konsumen.

89
Tidak diperoleh informasi tentang adanya Peraturan yang berlaku
dilingkungan Badan Pertanahan Nasional yang mengatur tentang prosedur
penyampaian keluhan publik. Sekalipun demikian tidak berarti tidak ada
prosedur atau tata cara yang biasa dilakukan dalam operasional sehari-hari
kegiatan di BPN, khususnya mengenai penyampaian keluhan yang dilakukan
oleh masyarakat (konsumen).
Media untuk penyampaian keluhan masyarakat biasanya melalui kotak-
kotak saran, menghubungi bagian yang bersangkutan dengan keluhan,
melalui situs instansi atau langsung menghubungi Kepala BPN. BPN tidak
menyediakan bagian khsusus yang menangani keluhan masyarakat kecuali BPN
Propinsi DKI Jakarta yang memiliki Sekretariat Penanganan Sengketa. Keluhan
yang masuk akan ditangani oleh Sekretariat Penanganan Sengketa dan
selanjutnya akan didisposisikan kepada masing-masing pihak sesuai dengan
kewenangannya. Keluhan yang datang biasanya berupa jangka waktu
pelayanan, padahal untuk pelayanan pertanahan memang membutuhkan
waktu yang cukup lama. Untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan
hukum, BPN memiliki Biro Hukum yang bertugas untuk mendampingi BPN
ketika BPN terlibat perkara yang harus dilanjutkan ke pengadilan. Biro Hukum
ini juga terlibat secara aktif dalam proses penanganan keluhan, khususnya
dalam hal keluhan masyarakat tersebut telah berubah menjadi sebuah
sengketa.
Tingkat kepuasan konsumen/masyarakat terhadap pelayanan yang
diberikan BPN tidak pernah diteliti karena BPN tidak pernah mengadakan survei
untuk itu. Terdapat penelitian yang dilakukan oleh Komisi Ombudsman
Nasional dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengenai mal administrasi
pertanahan. Penelitian tersebut mengkaji 85 kasus, dan kesimpulan dari
penelitian tersebut adalah terbukti 46% dari kasus-kasus tersebut melanggar
ketentuan. Kesimpulan lainnya adalah tarif yang diberlakukan tidak sesuai
dengan peraturan. Persoalan lain yaitu menyangkut standar operasional
prosedur (SOP) bidang pelayanan, dimana peraturan pemerintah pusat
mengenai SOP, ternyata kurang operasional dilingkungan BPN, sehingga
memungkinkan adanya ketidaktahuan instansi di wilayah akan adanya

90
peraturan pemerintah itu. Ketidak jelasan dalam penerapan SOP, juga
menyebabkan adanya interpretasi yang berbeda-beda diantara para aparat
pelaksana.

B. Catatan Sipil/Dinas Kependudukan

Secara umum, jenis pelayanan yang diberikan oleh Dinas


Kependudukan adalah jenis pelayanan administrasi. Dinas Kependudukan
memberikan pelayanan publik antara lain pencatatan yang mengasilkan akta
kelahiran, akta perkawinan dan perceraian, akta kematian, akta pengakuan
anak dan pengesahan. Dinas Kependudukan juga mengeluarkan Surat Ijin
Menetap (SIM), Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi orang asing, Surat
Pendaftaran Bagi Orang Asing (SPBOA).
Dinas kependudukan dan Kantor catatan Sipil, semula merupakan dua
institusi yang terpisah. Untuk wilayah DKI Jakarta, kedua institusi tersebut
bergabung menjadi Dinas Kependudukan dan catatan Sipil sejak tahun 2001.
Jenis pelayanan yang diberikan bergantung pada kebutuhan
masyarakat di tiap daerah, tetapi secara garis besar jenis pelayanan yang
diberikan oleh Dinas Kependudukan/Catatan Sipil adalah:
a. Pembuatan Kartu Tanda Penduduk
b. Pembuatan Kartu Keluarga
c. Pembuatan Kartu Identitas Pendatang
d. Pencatatan Kelahiran
e. Pencatatan Kematian
f. Pencatatan Perkawinan
g. Pencatatan Perceraian
h. Pencatatan Pengakuan Anak
i. Pengesahan Anak
j. Pencatatan Pengangkatan Anak
k. Mutasi Data
l. Perbaikan/Perubahan Data
m. Pembatalan Akta
n. Kutipan/Duplikat Akta
91
o. Salinan Lengkap Akta
p. Pelaporan Akta Luar Negeri
q. Perjanjian Perkawinan
r. Surat Keterangan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil

Standar pelayanan yang digunakan oleh Dinas Kependudukan/Catatan


Sipil adalah MenPan No. 63/2003 dan teknis pelayanan diatur dalam SK
Walikota/Bupati atau peraturan perundangan lainnya. Hal serupa juga
dilakukan oleh Pemkot Semarang dengan mengelaurkan Surat Keputusan
Walikota Semarang yang mengatur tentang standar pelayanan minimal. Surat
Keputusan semacam ini sesungguhnya merupakan turunan dari Surat
Keputusan MenPan No. 63/2003. Dalam SK tersebut dimuat tentang
persyaratan, tarif, serta jangka waktu pelayanan. Ketentuan di atas pada
dasarnya diikuti dan dilaksanakan oleh Dinas Kependudukan sehingga tidak
menemui banyak kesulitan dalam memberikan pelayanan kepada publik,
bahkan Dinas Kependudukan Kota Bandung menerima Piala Pelayanan Prima
tingkat Madya. Beberapa kesulitan yang dihadapi adalah dalam mengeluarkan
akta bagi orang asing, terdapat beberapa peraturan yang bertabrakan dengan
instansi imigrasi.
Persyaratan dan teknis pelayanan yang diberikan, dipandang sudah
sangat transparan, sehingga setiap aparat mengetahui dan menguasai seluruh
pelayanan yang diberikan. Untuk itu, pada beberapa waktu setiap aparat
secara bergiliran akan melakukan tugas pelayanan yang berbeda-beda,
sehingga setiap aparat akan menguasai peraturan, proptap, dan teknis
pelayanan yang diberikan oleh Dinas Kependudukan.
Di Wilayah DKI, seluruh pelayanan dilaksanakan dengan sistem satu
pintu melalui loket pelayanan. Pelayanan tersebut dapat melalui:
a. Pelayanan di tingkat Dinas, dilaksanakan oleh Subdis Bina Pencatatan dan
Subdis Bina Pendaftaran;
b. Pada tingkat Sudin (Suku Dinas), dilaksanakan oleh Seksi Pendaftaran dan
Pencatatan Kelahiran dan Kematian, Seksi Pencatatan Perkawinan,

92
Perceraian, Pengangkatan dan Pengesahan Anak, serta Seksi-seksi
Pengelolaan Identitas dan Mutasi Penduduk;
c. Pada tingkat Kecamatan, dilaksanakan oleh Seksi Kependudukan dan
Catatan Sipil Kecamatan;
d. Pada tingkat Kelurahan, dilaksanakan oleh Subsie Kependudukan dan
Catatan Sipil Kelurahan

Dinas Kependudukan melakukan sosialisasi prosedur pelayanan


(seluruh kegiatan pelayanan), produk pelayanan, serta fungsi/tugas dinas
kependudukan. Materi sosialisasi di Kota Semarang memuat juga tarif dan
prosedur penyampaian keluhan.
Sosialisasi ini dilakukan oleh Sub Din Pengendalian bagian Yusitisi
melalui penyuluhan langsung (tatap muka) dan tidak langsung (melalui media
elektronik dan cetak) serta penyebaran brosur/leaflet, booklet dan
pemasangan papan prosedur/persyaratan di ruang pelayanan. Kerjasama juga
dilakukan untuk mendukung kegiatan pelayanan dimana Dinas Kependudukan
bekerja sama dengan media cetak, wartawan, RT/RW, bidan, dan rumah sakit.
Untuk meningkatkan mutu pelayanan juga dilakukan sosialisasi KepMenPan No.
63/2003 kepada para pihak pelaksana sampai tingkat kelurahan sehingga
diharapkan seluruh pihak pelaksana mengerti prosedur pelayanan yang harus
diberikan.
Pelayanan terhadap keluhan masyarakat dilakukan dengan pengadaan
kotak surat, tetapi kotak surat tersebut kurang digunakan sebagai media
penyampaian keluhan. Keluhan lebih banyak disampaikan melalui telepon atau
kunjungan langsung ke instansi. Keluhan-keluhan tersebut selalu dikelola dan
disosialisasikan sampai ke tingkat kelurahan dan dijadikan bahan evaluasi
pelayanan setiap tiga bulan. Keluhan yang muncul biasanya berkaitan dengan
keinginan konsumen untuk mendapatkan akta dengan cepat dan tidak
mengikuti persyaratan serta cenderung untuk memuaskan dan memenuhi
kebutuhan konsumen saja. Keluhan yang datang dapat langsung ditujukan ke
SubDin masing-masing sesuai dengan keluhan atau melalui Bagian Tata Usaha
yang selanjutnya juga akan diarahkan ke SubDin yang terkait. Di Kota

93
Semarang, pengelolaan keluhan dilakukan oleh subbid pengendalian.
Pengelolaan keluhan ini didasarkan pada Surat Keputusan Kepala Dinas. Selain
langsung melalui dinas terkait, dibeberapa kota, penyampaian keluhan juga
dapat dilakukan melalui suatu dinas khusus, yaitu dinas infokom, yang
bertugas untuk melayani keluhan yang berkaitan dengan keseluruhan
pelayanan yang dilakukan oleh Pemkot.
Di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta,
penanganan keluhan masyarakat diatur dalam Keputusan Kepala Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta No. 3 Tahun 2004
tentang Pembentukan Tim Advokasi Penanganan atau Penyelesaian Kasus atau
Permasalahan Pelayanan Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil pada
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Propinsi DKI Jakarta. Tugas Tim
meneliti dan mengusut setiap permasalahan yang timbul di Kantor
Kependudukan Dan Catatan Sipil, membuat pertimbangan dan saran hukum,
politis, sosiologis, dan psikologis, guna mendapat tindak lanjut dari Kepala
Dinas terhadap masalah yang timbul terkait dengan pelayanan administrasi.
Tim ini juga bertindak sebagai Biro Hukum. Terdapat juga Keputusan Kepala
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta No. 4 Tahun 2004
tentang Pedoman Pelaksanaan Penanganan atau Penyelesaian Kasus atau
Permasalahan Pelayanan administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil pada
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Propinsi DKI Jakarta. Adapun
prosedur kerja tim untuk mengatasi permasalahan yang terjadi adalah:
- Para Kasubdis atau Kepala Suku Dinas atau masyarakat atau instansi lain
yang menyampaikan permasalahan yang ditemukan diajukan kepada
Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
- Kepala Dinas menerima dan memberikan disposisi kepada tim yang
kemudian diproses dan dibahas lebih lanjut.
- Tim menerima dan memproses. Untuk permasalahan yang ditemukan oleh
subdinas dan suku dinas, Tim akan melakukan penelitian, pengkajian,
observasi, dan investigasi lapangan. Lalu, hasil tersebut dilaporkan kepada
kepala dinas.

94
- Untuk permasalahan yang ditemukan instansi lain atau gugatan
masyarakat, Tim melakukan pengecekan keabsahan dokumen yang
selanjutnya atas perintah Kepala Dinas, Tim akan memberikan penjelasan
baik lisan ataupun tertulis kepada instansi yang memerlukan. Atas perintah
Kepala Dinas, melakukan konsultasi, memberikan kesaksian, ataupun
informasi dan data kepada lembaga penegak hukum (kepolisian, kejaksaan,
ataupun pengadilan).
- Mewakili Kepala Dinas di sidang-sidang pengadilan sebagai saksi ahli.
- Melaporkan hasil-hasil tersebut kepada Kepala Dinas.
- Kepala Dinas menerima pertimbangan, usul, dan saran dari tim sebagai
bahan pengambilan keputusan.
- Kepala Dinas mengambil keputusan, dan/atau tindak lanjut
penyelesaiannya, memberikan pertimbangan sanksi pembinaan,
melaksanakan penetapan atau keputusan pengadilan, atau penyelesaian
secara administrasi.
- Surat tugas secara khusus kepada tim akan diberikan Kepala Dinas terkait
dengan kegiatan memberikan informasi kepada lembaga penegak hukum,
dan menjadi saksi ahli di pengadilan.
Seluruh tahapan dan peraturan di atas telah disosialisasikan sampai
tingkat suku dinas dan kelurahan. Terdapat peraturan lain yang terkait
mendasari prosedur baku ini, yaitu Perda Khusus Ibukota Jakarta No. 1/1996
tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dalam Kerangka Sistem
Informasi Manajemen Kependudukan dalam Wilayah Khusus Ibukota Jakarta;
Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. 15 Tahun 1999 tentang Prosedur
Pelayanan Masyarakat Pada Kantor Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta;
Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. 135 Tahun 2001 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta.
Dinas Kependudukan/Catatan Sipil tidak memiliki suatu bagian yang
bertindak sebagai biro hukum untuk menangani masalah hukum yang dihadapi
instansi. Sehingga untuk menyelesaikan permasalahan hukum, instansi
tepatnya bagian yustisi akan bekerjasama dengan pihak lain. Survei secara
langsung untuk mengetahui kepuasan konsumen tidak pernah dilakukan

95
kecuali menanggapi pendapat masyarakat melalui penyuluhan-penyuluhan
yang sering dilakukan.
Untuk mengetahui kualitas pelayanan yang diberikan Kantor Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta kepada masyarakat,
pernah dilakukan survei pada tahun 2002 yang isinya mengenai tingkat
kepuasan masyarakat terhadap pelayanan administrasi kependudukan dan
catatan sipil di DKI Jakarta dan rekomendasi untuk perbaikan pelayanan.
Adapun faktor-faktor yang dipakai sebagai dasar evaluasi adalah faktor
tuntutan masyarakat akan peningkatan kualitas pelayanan, faktor antisipasi
terhadap perkembangan dinamika masyarakat, mengikuti perkembangan
teknologi, dan perubahan kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah. Monitoring
tentang kualitas pelayanan juga dilakukan dengan cara lain, seperti yang
dilakukan oleh Pemkot Semarang, dimana mereka melakukan evaluasi setiap 3
(tiga) bulan melalui monitoring di kecamatan-kecamatan.
Untuk memberikan payung dan pedoman bagi pelayanan publik yang
dilakukan oleh instansi pemerintah, KepMenPan No. 63/2003 sudah cukup
memberi batasan dan aturan tetapi dirasakan masih perlunya peraturan
dengan hirarki yang lebih tinggi sehingga bisa lebih mengikat para pemberi
pelayanan publik. Peraturan tersebut dapat berupa Surat Keputusan Bersama
(SKB) yang dikeluarkan oleh seluruh instansi pemberi layanan publik yang
selanjutnya disepakati sebagai aturan payung dalam memberikan pelayanan
kepada publik.

C. Kepolisian

Berdasarkan UU No. 2 tahun 2002 tentqng Kepolisian Negara Republik


Indonesia, tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia meliputi:
- memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
- menegakan hukum;
- memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Memperhatikan hal diatas, maka lembaga Kepolisian memliki perbedaan
dengan lembaga lainnya, karena tugas pelayanan kepada masyarakat hanyalah
96
merupakan salah satu dari tugasnya, selain bertugas sebagai penegak hukum,
yang tampak lebih dominan.
Kepolisian memberikan pelayanan berupa administrasi dan operasional/
lapangan dimana setiap pelayanan dilaksanakan oleh suatu bagian khusus atau
petugas khusus yang memahami masing-masing fungsi dan prosedur
pelayanan. Prosedur dan standar pelayanan kepolisian diatur melalui undang-
undang, peraturan pemerintah, dan juklak dari Kapolri. Kepolisian tampaknya
tidak menggunakan KepMenPan No. 63/2003 sebagai standar pelayanannya.
Hal ini didasarkan pada temuan bahwa pihak kepolisian tidak mengetahui
keberadaan KepMen tersebut. Hal ini tidak berarti bahwa lembaga Kepolisian
republik Indonesia tidak memiliki standar pelayanan, hanya sasja didasarkan
pada ketentuan internal kepolisian. Prosedur pelayanan ini disosialisasikan
melalui media langsung dan media tidak langsung (cetak dan elektronika).
Kepolisian memiliki standar baku dalam menangani keluhan
masyarakat, yaitu surat arahan/Petunjuk KAPOLRI. Bagian yang bertugas
untuk melayani keluhan publik adalah :

PROPAM (Profesi dan Pengamanan)


Berwenang atas izin sekolah, jabatan, kenaikan pangkat seseorang.

BINKUM (Pembinaan Hukum)


Menampung keluhan yang berkaitan dengan konflik hukum internal,
eksternal yang ada kaitannya dengan kelembagaan.

ITWASDA (Inspektorat Pengawasan Daerah)


Untuk menyatukan kepolisian

Provost
Melayani keluhan masyarakat mengenai pelayanan dan tingkah laku
petugas kepolisian

HUMAS (Hubungan Masyarakat)


Bertugas untuk menampung informasi dari masyarakat yang selanjutnya
disalurkan ke PROPAM dan ITWASDA.

97
Kepolisian memiliki Biro Hukum yang berfungsi untuk menangani
masalah aplikasi dari proses hukum/ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Keluhan masyarakat dapat disampaikan ke masing-masing pos sesuai dengan
jenis keluhan atau dikirim ke kotak saran yang telah disediakan lalu keluhan
tersebut akan disalurkan ke bagian tertentu seusai dengan jenis keluhan.
Sosialisasi penerimaan keluhan masyarakat dilakukan melalui media radio dan
televis, contohnya adalah dibuatnya suatu acara talkshow di salah satu televisi
swasta yang berjudul Halo Polisi. Acara itu membahas mengenai pelayanan
yang diberikan kepolisian dan terdapat pembahasan keluhan yang disampaikan
oleh masyarakat.
Dalam lokakarya yang diselenggarakan tanggal 30 Oktober 2003
Chaeruddin Ismail 42 mengemukakan bahwa dalam pelaksanaan pelayanan
publik kepada masyarakat kepolisian sering terbentur pada dilemma antara
pendekatan sebagai stronghand of law and society dan pendekatan softhand of
law and society yang dapat berdampak pada penyelenggaraan pelayanan
publiknya. Proses pemberian SIM yang dimaksudkan untuk menjamin
keselamatan pengendara dan pemakai jalan lainnya seringkali harus tidak
mempertimbangkan maksud utama pemberian SIM tersebut karena besarnya
jumlah masyarakat (terutama di kota besar) yang memerlukan pelayanan
pemberian SIM. Seringkali standar dan persyaratan teknis yang telah
ditetapkan sangat tinggi untuk memperoleh Sim harus dilonggarkan dalam
pelaksanaannya.
Sampai saat ini sarana dan prasarana untuk melakukan pelayanan dan
pelayanan keluhan publik sudah cukup memadai. Peraturan perundangan yang
mengatur prosedur pelayanan keluhan publik juga tidak dibutuhkan karena
sudah ada Undang-undang/ Peraturan Pemerintah/ Peraturan Daerah dan
kebijakan pimpinan yang telah mengatur prosedur pelayanan tersebut.

42
Chaerudiin Ismail, op. cit, halaman 8.
98
D. PT TELKOM

Pada tahun 1995 PT Telkom telah go public sehingga menjadi


perusahaan terbuka. PT Telkom menggunakan paradigma baru dalam
bisnisnya dengan menggunakan sistem Kerja Sama Operasi (KSO). Terdapat
dua wilayah yang tidak menggunakan sistem KSO, yaitu wilayah DKI Jakarta
dan Jawa Timur. Pada suatu masa tertentu, pelayanan PT Telkom di Jawa
Barat dan Banten sangat tidak baik, yang merupakan akibat tidak langsung
dari krisis moneter pada tahun 1997-1998.

Kondisi ini sangat mempengaruhi pelayanan yang diberikan PT Telkom


sehingga para konsumen yang menerima efeknya. Kualitas menurun,
pemasangan jaringan telepon baru tidak memungkinkan kecuali apabila ada
saluran yang tidak terpakai yang dijual kembali. Muncul perbedaan-perbedaan
pelayanan yang diberikan oleh PT Telkom kepada konsumen korporasi dan
konsumen residensial rumah. Konsumen korporasi sangat mudah untuk
mendapatkan jaringan telepon baru dibandingkan dengan konsumen
residensial rumah. Telkom telah memiliki acuan standar pelayanan dengan
apa yang disebut Telkom telah memiliki prosedur dalam meberikan pelayanan
dengan standar secara nasional berupa ISO dan diperkuat oleh SK Direksi,
sehingga dari KAnwil sampai cabang memiliki standar prosedur pelayanan yang
sama. Selain itu juga terdapat service level guarantee atau SLG. SLG ini
merupakan penjabaran dari UU 8/99 tentang Perlindungan Konsumen pasal 7
huruf (d), bahwa kewajiban pelaku usaha untuk menjamin mutu barang atau
jasa yang berlaku dan juga perintah UU yang berikutnya, yaitu no 8. Terdapat
juga perintah UU no 36 tentang Telekomunikasi, yaitu berdasarkan pasal 15
ayat (2) dimana penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan fasilitas
telekomunikasi dan menjamin kualitas pelayanan jasa telekomunikasi. Akan
tetapi pelaksanaan standar pelayanan tersebut sulit dilakukan, hal ini terjadi
karena PT Telkom terletak pada posisi yang sulit. Di satu sisi PT Telkom
merupakan perusahaan negara/BUMN sedangkan di sisi lain Telkom
merupakan PT sehingga terdapat banyak peraturan yang mengatur PT Telkom
yang berasal dari MenPan, MeNeg BUMN, dan Menteri Perhubungan. Oleh

99
sebab itu, PT Telkom menetapkan standar pelayanan yang berorientasi kepada
konsumen.
Untuk mengukur tingkat kepuasan konsumen, PT Telkom bersama
dengan lembaga penelitian layanan mendisain dan melakukan program riset
dengan metoda satisfaction index dan customer loyalty index. Hasil dari
program riset tersebut dipublikasikan kepada masyarakat melalui media massa.
Selain melalui program riset tingkat kepuasan konsumen, munculnya pesaing
bisnis dari pihak swasta membuat Telkom belajar secara cepat untuk
mengatasi kekurangan-kekurangan pelayanan yang diberikan oleh Telkom.
Telkom sering melakukan crosscheck mengenai hasil program riset tingkat
kepuasan konsumen dengan pihak swasta dan ternyata pelayanan pihak
swasta terhadap konsumen tidak lebih baik dari PT Telkom.
PT Telkom dalam memberikan pelayanan keluhan melakukan dua
metode, yaitu konsumen datang langsung ke service point atau dapat
menghubungi 117. Penanganan keluhan ini telah ada standarnya, yaitu paling
lama 3 hari PT Telkom sudah datang ke lapangan untuk menyelesaikan
persoalan yang dikeluhkan oleh konsumen. Keluhan yang timbul dari
masyarakat merupakan salah satu riset untuk pengembangan pelayanan
Telkom.

E. PLN

Sesuai dengan Keppres 89 tentang Tarif Dasar Listrik bahwa PLN wajib
membuat standar pelayanan. Berdasarkan keppres tersebut maka PLN
membuat standar Tingkat Mutu Pelayanan (TMP). TMP ini juga dipengaruhi
oleh SK Direksi yang juga merupakan acuan dalam membuat standar
pelayanan.
Sosialisasi pelayanan yang dapat diberikan oleh PLN dilakukan melalui
penyebaran leaflet di kantor-kantor PLN, tempat pembayaran, dan KUD.
Prosedur sosialisasi ini merupakan prosedur nasional yang dijabarkan di setiap
daerah pelayanan PLN.

100
Standar pelayanan yang dilaksanakan di PLN tidak menggunakan Kep
Men No. 63/2003. PLN menetapkan suatu standar tersendiri yang berlaku
secara internal melalui apa yang disebut dengan Tingkat Mutu Pelayanan.
Kepuasan pelanggan akan layanan PLN didapat melalui survei dan
penyebaran angket pada saat ada pameran pembangunan, selain itu juga
sering diadakan temu pelanggan besar 1 semester untuk berdialog.

PLN bekerjasama dengan YLKI dan LP2k untuk memberikan pelayanan


keluhan publik. Keluhan publik tersebut dikelola lalu dijadikan bahan evaluasi
untuk perbaikan ke depan.
Pelayanan keluhan publik ditangani oleh PLN dengan menyiapkan dua
cara, yaitu:
Call center/Dinas Gangguan yang dapat dihubungi 24 jam yang berfungsi
untuk menangani gangguan aliran listrik pelanggan.

Asmen Pelayanan Pelanggan yang terdapat di setiap kantor terkecil dengan


waktu operasional adalah waktu kerja.

F. PT POS

PT POS memiliki bermacam pelayanan yang ditujukan langsung kepada


masyarakat, yaitu pelayanan komunikasi atau surat, pelayanan barang/
logistik, pelayanan keuangan, dan pelayananan keagenan. Pelayanan
pengiriman terdiri dari pelayanan standar dan pelayanan prioritas. Pelayanan
standar adalah pelayanan untuk surat biasa dan pelayanan prioritas adalah
pelayanan untuk kilat khusus dan express. Pelayanan komunikasi atau surat
terdiri dari surat biasa, surat kilat, surat kilat khusus, express, surat tercatat,
dan surat ems untu ke ke luar negeri. Pelayanan barang terdiri dari paket
biasa, paket reguler, paket kilat, paket kilat khusus, dan paket optima.
Pelayanan keuangan melayani wesel, wesel union, dan wesel pos instan.
Pelayanan keagenan berkaitan dengan pihak ke-3 yang bekerja sama dengan
PT POS untuk penjualan materai, akta, tabungan, retail, dll. Selain itu, PT POS
juga memberikan pelayanan untuk pembayaran telpon dan pembayaran kartu
kredit. Apabila melihat jenis pelayanan di atas maka PT POS memberikan
pelayanan barang dan jasa.
101
Prosedur dan aturan pelayanan yang diberikan PT POS secara rigid
diatur oleh Skep Direksi, sedangkan standar pelayanan yang diberikan merujuk
ke KepMen No. 63. Dalam KepMen No.63 tersebut tidak dijelaskan secara rinci
apa saya peraturan pelayanan, sehingga beberapa peraturan dibuat sendiri
sesuai kebutuhan dan tidak semua pegawai mengetahui atau mendapat
penejelasan yang rinci mengenai KepMen No. 63 tersebut. SOP yang harus
dilakukan oleh PT POS diatur dalam PP No. 37/85 dan UU No. 6/84 tentang
POS.
PT POS tidak menginformasikan mengenai pelayanan yang diberikan
karena kebanyakan konsumen telah mengetahui macam pelayanan yang
diberikan oleh PT POS, tetapi untuk jenis pelayanan yang baru dikeluarkan
selalu disosialisasikan melalui radio atau media cetak. Untuk teknis pelayanan,
konsumen dapat menanyakan tarif dan lama waktu pengiriman ke loket-loket
yang tersedia karena di setiap loket sudah terdapat SDM yang menguasai
informasi mengenai pelayanan yang diberikan atau konsumen dapat membaca
aturan yang terdapat di resi/bon yang mereka terima.
PT POS memberikan pelayanan terhadap keluhan konsumen yang
dapat diadukan ke humas yang bertindak sebagai customer service. Untuk
mendukung kegiatan pelayanan keluhan publik maka telah diterbitkan instruksi
kantor dimana supervisor harus selalu bersedia untuk menangani keluhan yang
diajukan publik. Keluhan yang muncul biasanya adalah surat, uang atau paket
yang tidak sampai dan keluhan terhadap pelayanan langsung. Keluhan tersebut
akan ditindaklanjuti ke bagian-bagian tertentu sesuai keluhan. PT POS juga
memiliki biro khusus yang berkaitan dengan hukum, yaitu Bantuan Hukum Pos
Indonesia. Salah satu tugas biro ini adalah untuk menyelesaikan permasalahan
yang tidak dapat diselesaikan oleh bagian humas mengenai keluhan konsumen.
Untuk mengetahui tingkat kepuasan konsumen, bagian LitBangPos melakukan
survei setiap tahunnya berupa penyebaran kuesioner.
Secara umum, pelayanan publik harus diatur oleh suatu aturan yang
baku, tetapi tidak menutup kemungkinan munculnya aturan lokal untuk
penyesuaian dengan kebutuhan setiap instansi pelayanan karena pelayanan

102
yang diberikan selalu berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan
masyarakat/konsumen.

G. KESEHATAN

Pelayanan yang diberikan oleh Departemen Kesehatan adalah


pelayanan jasa dengan menyediakan Puskesmas untuk kepentingan
masyarakat termasuk di dalamnya alat, obat dan perlengkapan lain. Dengan
adanya UU tentang Pemerintahan Daerah, fasilitas pemberian pelayanan jasa
tersebut dialihkan ke masing-masing pemerintah kota/kabupaten. Pemberian
ijin pendirian rumah sakit masih diberikan oleh pusat terutama yang
bekerjasama dengan pihak asing. Depkes memberikan rekomendasi mengenai
tenaga asing dan/atau pengobatan tradisional sesuai dengan permintaan
masyarakat. Jumlah pelayanan Puskesmas disesuaikan dengan kebutuhan
masing-masing daerah.
Prosedur pelayanan secara baku diatur dalam KepMenKes No.
1457/MENKES/SK/X/2003 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang
Kesehatan di Kabupaten/Kota. Peraturan tersebut merupakan penyesuaian dari
keputusan yang sebelumnya, yaitu Keputusan Menteri Kesehatan dan
Kesejahteraan Sosial RI No. 1747/Menkes Kesos/SK/12/2000 tentang Pedoman
Penetapan Standar Pelayanan Minimal dalam Bidang Kesehatan di
Kabupaten/Kota. Selanjutnya standar pelayanan minimal di masing-masing
wilayah harus menyesuaikan dengan aturan ini. Prosedur yang dilakukan
melibatkan berbagai pihak dan sumber pembiayaannya dibebankan kepada
APBD. Output dari proses pelayanan tersebut adalah pemberian pelayanan
kesehatan melalui puskesmas. Prosedur pelayanan disosialisasikan melalui
penempelan pamflet atau brosur di tiap puskesmas.
Dinas Kesehatan menyadari keberadaan KepMenPan No. 63/2003 dan
merasa bahwa peraturan itu menjelaskan mengenai keharusan bagi setiap
instansi sebagai aparatur pemerintahan untuk melakukan pelayanan yang
maksimal ke masyarakat. Peraturan tersebut sudah disosialisasikan dan
dilaksanakan tetapi kelanjutannya masih harus ditanyakan ke Biro Hukum.

103
Keluhan masyarakat dapat di salurkan langsung ke Dinas Kesehatan,
koran Media Indonesia, dan kotak saran yang terdapat di setiap Puskesmas.
Apabila keluhan tersebut tidak dapat diselesaikan, maka keluhan tersebut akan
diserahkan ke Dinas Kesehatan Kota, selanjutnya keluhan tersebut akan
ditangani oleh Biro Umum dan bila diperlukan akan bekerja sama dengan Biro
Hukum. Setiap tiga bulan Puskesmas akan melakukan evaluasi mengenai
keluhan yang telah disampaikan yang selanjutnya akan disampaikan ke tingkat
pemerintah kota.
Keluhan yang diterima umumnya adalah keluhan atas penempatan dari
dokter-dokter baru di daerah. Adapun Biro Hukum bertugas untuk mengoleksi
berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan aturan di bidang kesehatan.
Secara umum sarana prasarana untuk menunjang pelayanan publik
sudah cukup terpenuhi tetapi untuk di setiap puskesmas tergantung kebutuhan
puskesmas tersebut. Departemen Kesehatan melakukan survei yang berisikan
informasi mengenai kesehatan, tidak pernah secara spesifik menanyakan
mengenai kepuasan pelayanan kesehatan di Puskesmas, tetapi pertanyaan
kepuasan pelayanan ditanyakan kepada mereka yang menjalani rawat inap dan
rawat jalan pada survei 2001. Bagian yang melakukan survei adalah Surkesnas,
sebagai bagian dari Litbang Departemen Kesehatan.
Keberadaan KepMenPan No. 63/2003 sudah cukup membantu dalam
memberikan standar pelayanan publik, tetapi diharapkan ada KepPres
mengenai standar/prosedur pelayanan publik yang minimal mengatur
mengenai prosedur penanganan keluhan.

2. Persepsi Masyarakat terhadap Pelayanan Publik dan Pelayanan Keluhan


Publik

A. Persepsi Masyarakat terhadap Pelayanan Publik

Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.


63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik,
dinyatakan bahwa Hakekat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan
prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur
104
pemerintah sebagai abdi masyarakat. Pernyataan tersebut menguatkan
peranan pemerintah sebagai instansi yang berkewajiban pemberi pelayanan
yang prima kepada masyarakat karena pada dasarnya, konsumen/ masyarakat
adalah warga negara yang harus dipenuhi hak-haknya tidak terkecuali
sehingga pemerintah sebagai instansi yang memberikan pelayanan publik
harus dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya sesuai dengan
peraturan-perundangan yang berlaku. Berdasarkan kondisi nyata, terdapatnya
pedoman pelayanan publik tersebut belum dapat menjamin bahwa hak-hak
masyarakat terpenuhi, buktinya masih banyak terdapat penyelewengan-
penyelewengan dalam pelaksanaan kewajiban memberikan pelayanan kepada
masyarakat sehingga masyarakat tidak mendapatkan pelayanan yang prima
atau masyarakat menemui hambatan dalam mendapatkan pelayanan tersebut.
Beberapa kasus yang dialami oleh masyarakat dalam memperoleh pelayanan
dari pemerintah adalah:

1. Bidang Pelayanan Administratif


- Tidak terdapatnya standar prosedur dan biaya perijinan keramaian
sehingga prosedur dan biaya yang dikeluarkan oleh peminta ijin
berbeda-beda di setiap wilayah kepolisian.
- Terdapatnya sertifikat ganda yang dimiliki masyarakat.
- Banyak tanah yang masih belum memiliki sertifikat sehingga muncul
klaim dari berbagai pihak atas kepemilikan tanah tersebut.
- Mahalnya tarif dan lamanya waktu pelayanan yang diberikan BPN.
- Tidak transparannya prosedur dan tarif pelayanan yang diberikan oleh
instansi pemerintah.
2. Bidang Pelayanan Barang
- Biaya yang tinggi dan sulitnya pemasangan saluran telepon baru
terutama di Jawa Barat dan Banten.
- Pemasangan produk baru PT Telkom di setiap nomor pelanggan tanpa
sepengetahuan pelanggan sehingga pelanggan akan terkena tagihan
untuk penggunaan produk tersebut setiap bulannya.

105
- Call Center Telkom tidak memiliki sdm yang menguasai permasalahan
sehingga keluhan yang diajukan masyarakat harus ditunda atau
dialihkan ke bagian lain.
- Kesalahan pencatatan meteran listrik yang mengakibatkan tingginya
ongkos penggunaan listrik
- Tidak transparannya prosedur dan tarif pelayanan yang diberikan oleh
instansi pemerintah.
3. Bidang Pelayanan Jasa
Keluhan utama di bidang pelayanan jasa khususnya oleh PT POS
adalah bahwa barang atau benda pos yang dikirim melalui pos tidak sampai
atau hilang

Menurut masyarakat, kasus-kasus yang dialami di atas disebabkan


oleh karakter pemerintah yang diantaranya:

- Budaya aparat instansi penyedia jasa layanan publik seperti jaman


kolonial yang masih melekat dimana aparat adalah penguasa bukan
pelayan masyarakat. Penguasa akan mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnnya sehingga banyak kepentingan-kepentingan individu
yang terlibat dalam proses pemberian pelayanan publik
- Terdapat banyaknya kesalahan dalam mengintepretasikan peraturan
perundangan yang ada sehingga pelayanan yang diberikan berbeda-
beda di setiap wilayah dan terkadang menyimpang dari tujuan
pelayanan seperti yang tertulis di dalam peraturan perundangan.
- Tidak transparannya instansi pemerintah dalam memberikan pelayanan
seperti informasi mengenai waktu pelayanan, tarif, serta informasi
mengenai proses pelayanan itu sendiri.
- Kemampuan SDM yang kurang memadai dalam memberikan pelayanan
dan menangani keluhan masayrakat.
- Kurangnya sosialisasi mengenai badan atau instansi yang bertugas
memberikan pendampingan masyarakat untuk mengatasi sengketa
antara masyarakat dan instansi pelayanan publik.
- Masyarakat dalam mengajukan keluhan terhadap instansi pelayanan
publik harus mengikuti prosedur yang tersedia, jika dapat diselesaikan
106
secara baik-baik maka sebaiknya tidak perlu melibatkan pengadilan.
Masyarakat dapat mengajukan keluhan ke instansi terkait dan
memberikan tenggang waktu, apabila tidak ada tanggapan maka
masyarakat dapat mengadukan keluhannya ke BPSK.
Beberapa peserta FGD yang dianggap sebagai wakil masyarakat
banyak memberikan pendapat dan saran. Salah satu pendapat dan saran
yang diberikan adalah bahwa sifat pelayanan masyarakat merupakan hal
yang wajib diberikan serta merupakan fitrah dan tanggung jawab yang
harus dilaksanakan oleh pelayan masyarakat, yaitu aparat pemerintah.
Seyogyanya aparat pemerintah harus memiliki suatu standar pelayanan
atau tupoksi mengenai pelayanan yang harus diberikan. Penentuan standar
pelayanan dan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) tersebut berupa konsep
awal yang harus didasarkan suatu pertimbangan dan polling. Konsep
tersebut disimulasikan dan disebarkan kepada publik yang diharapkan akan
ada masukan dari publik terhadap konsep yang telah dibuat. Masukan
tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk pematangan dan
penyempurnaan konsep awal menjadi suatu konsep yang akan mendasari
standar pelayanan yang harus diberikan dan tupoksi dari instansi/aparat
pemerintah terkait.

Pelayanan publik secara langsung seperti di loket-loket pelayanan


tidak boleh dianggap hanya sebagai pelaksanaan tugas saja tetapi
merupakan sebuah interaksi antara konsumen dengan produsen/penyedia
jasa layanan, sehingga penyedia jasa layanan harus memberikan pelayanan
dengan baik, cepat, tepat dan ramah. Selain itu segala kegiatan yang
berkaitan dengan pelayanan harus disosialisasikan dan sering diadakan
forum interaktif antara konsumen dan penyedia jasa layanan karena akan
percuma apabila terdapat peraturan dan undang-undang yang mengatur
pelayanan publik tetapi hanya diketahui oleh pihak penyedia jasa layanan
saja. Situasi ini akan menimbulkan munculnuya keluhan-keluhan konsumen
yang dikarenakan ketidaktahuan bukan karena kesalahan atau
ketidakmampuan penyedia jasa layanan dalam memberikan pelayanan.

107
Pendapat lain menyatakan bahwa hukum harus ditegakkan yang
berdasar pada sumbernya yaitu Undang-undang. Selama ini kegiatan
pemerintahan kebanyakan hanya berdasar pada keputusan dan peraturan-
peraturan yang posisinya lemah. Selain itu kebudayaan yang telah
ditanamkan pada masa penjajahan juga masih terus dipelihara seperti
rakyat harus memberi upeti pada pemimpin wilayah/aparat sehingga aparat
pemerintah yang seharusnya sebagai pelayan masyarakat selalu
mengharapkan imbalan dari masyarakat. Hal ini menyebabkan pelayanan
yang diberikan oleh aparat pemerintah tidak pernah berkualitas dan selalu
timbul korupsi karena dianggap sudah sepantasnya pemerintah
mendapatkan uang dari pelayanan yang diberikan.

B. Persepsi Masyarakat terhadap Pelayanan Keluhan Publik

Salah satu fungsi utama dalam penyelenggaraan pemerintahan yang


menjadi kewajiban aparatur pemerintah adalah penyelenggaraan pelayanan
publik yang berupa pelayanan administratif, pelayanan barang, dan pelayanan
jasa. Penyelenggaraan pelayanan publik pada saat ini mengalami penurunan
kualitas serta terdapat ketidakjelasan standar dan prosedur pelayanan publik,
juga prosedur penyampaian keluhan jasa pelayanan publik. Kondisi ini
mengakibatkan munculnya keluhan masyarakat mengenai pelayanan publik
yang terkadang juga tidak ditanggapi dengan baik oleh pihak pemerintah
sehingga pelayanan keluhan publik juga menimbulkan berbagai macam
keluhan.

Beberapa instansi bidang pelayanan publik telah memiliki suatu badan


khusus yang bertugas untuk melakukan pelayanan keluhan publik, tetapi
beberapa instansi lainnya tidak memiliki suatu badan yang bertugas untuk
melakukan pelayanan keluhan publik. Hal ini memunculkan suatu fenomena
berupa media alternatif untuk menampung dan menyalurkan keluhan publik
menuju suatu instansi tertentu. Terdapat pertanyaan terhadap fenomena
tersebut, yaitu mengapa masyarakat merasa butuh akan media alternatif
penyalur keluhan publik? Dapatkah media yang melayani keluhan publik

108
tersebut dimasukkan ke dalam struktur pemerintahan dengan Biro Hukum yang
mengambil tugas tersebut?
Biro Hukum tidak dapat direkomendasikan sebagai media yang
melayani keluhan publik karena akan menimbulkan bias terhadap tugas dan
fungsi utama dari Biro Hukum tersebut. Dalam tradisinya, Biro Hukum bertugas
melayani Gubernur dan jajarannya untuk membuat surat keputusan, peraturan
daerah, dsb. Biro Hukum tidak terbiasa sebagai suatu badan yang bertugas
memonitor.

Munculnya fenomena media alternatif yang melayani keluhan publik


disebabkan karena masyarakat merasa bahwa media tersebut (radio dan
yayasan lembaga konsumen) sangat efektif dalam melayani atau setidaknya
menyalurkan keluhan-keluhan masyarakat akan pelayanan publik yang
diberikan oleh instansi pemerintah. Selain itu, keluhan yang disalurkan melalui
media aternatif tersebut tidak melalui suatu proses birokrasi yang
membingungkan masyarakat. Radio memiliki kontrol sosial secara langsung
sehingga instansi yang dikeluhkan terdorong untuk langsung menjawab
keluhan tersebut tanpa masayarakat harus mencari informasi bagaimana
menyalurkan keluhan mereka.

Ada pula yang beranggapan bahwa munculnya radio sebagai media


alternatif yang melayani keluhan publik dikarenakan tumpang tindihnya
peraturan dan regulasi sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda
bagi tiap-tiap instansi sehingga regulasi tersebut tidak dapat dijalankan secara
optimal.

BPN beranggapan bahwa media radio tidak efektif bagi penyelesaian


keluhan masyarakat yang berkaitan dengan pelayanan yang diberikan oleh
BPN. Media yang tepat adalah media cetak seperti koran. Hal ini disebabkan
kondisi data yang terdapat di BPN masih berupa data manual, belum mencapai
tahap digital sehingga apabila terdapat keluhan mengenai pelayanan yang
berkaitan dengan data yang ada, maka BPN membutuhkan beberapa waktu
untuk mencari data dan menganalisis keluhan tersebut kemudian
disosialisasikan alasan munculnya keluhan dan solusinya.

109
Secara umum, munculnya media alternatif yang melayani keluhan
publik sangat didukung oleh setiap instansi pelayanan publik karena
memberikan pembelajaran bagi kedua belah pihak baik pihak yang dikeluhkan
dan pihak yang mengajukan keluhan. Pembelajaran tersebut dapat
meningkatkan kinerja instansi pelayanan publik dan dapat mensosialisasikan
prosedur-prosedur dan hambatan-hambatan yang dimiliki oleh instansi-instansi
tersebut kepada masyarakat. Dengan adanya sosialisasi ini, masyarakat dapat
lebih terbuka wawasannya terhadap persoalan yang sedang dihadapi bersama
dengan instansi terkait. Terdapat hal yang perlu ditekankan dalam fenomena
ini, yaitu media akternatif ini tidak boleh sebagai tempat peradilan baik bagi
instansi terkait ataupun masyarakat. Media ini hanya berfungsi sebagai
moderator bagi masyarakat dan instansi pelayanan publik untuk membahas
persoalan yang dihadapi oleh kedua belah pihak dan solusinya.

110
BAB IV
STANDAR KUALITAS DAN MEKANISME
PELAYANAN PUBLIK & PELAYANAN KELUHAN PUBLIK

Melalui tinjauan yang telah disajikan di dalam Bab II Tim telah mencoba
merumuskan secara teoretik asas-asas umum untuk sebuah sistem penyelenggaraan
pelayanan publik, termasuk sub-sistem pelayanan keluhan-keluhan masyarakat terhadap
kinerja instansi pelayanan publik itu. Dari uraian pada Bab III telah dapat diperoleh
gambaran tentang bagaimana persepsi yang hidup di dalam masyarakat mengenai
kenyataan-kenyataan yang ada serta harapan-harapan masyarakat mengenai kualitas
pelayanan publik di Indonesia. Masyarakat yang dimaksud di sini tentunya adalah pihak-
pihak yang berkedudukan dan bertugas sebagai pejabat instansi-instansi yang
menjalankan kegiatan pelayanan publik (penyelenggara pelayanan publik) dan warga
masyarakat atau lembaga-lembaga yang merepresentasikan warga masyarakat sebagai
penerima pelayanan publik.

Pada Bab IV ini, Tim melakukan analisis terhadap dan menarik beberapa
kesimpulan berdasarkan hal-hal yang diungkapkan pada bab II, khususnya mengenai
prospek dari pengembangan suatu Sistem Penyelenggaraan Pelayanan Publik Nasional,
termasuk sistem pengelolaan keluhan-keluhan publiknya, dan berdasarkan data dan
informasi yang diperoleh dari para stakeholders pelayanan publik di Indonesia (bab III).
Analisis pada Bab ini akan dibagi ke dalam dua bagian, yaitu analisis terhadap persoalan
standar kualitas dan mekanisme pelayanan publik yang seyogyanya ada di Indonesia,
dan terhadap sistem pengelolaan keluhan-keluhan publik (penerima pelayanan publik)
yang seharusnya menjadi sebuah sub-sistem yang tidak terpisahkan dari sebuah sistem
pelayanan publik.

1. Standar Kualitas Pelayanan Publik yang Ideal dan Realistik


Kinerja pelayanan publik yang ideal pada dasarnya harus mampu memberikan
pelayanan yang cepat, murah, mudah, berkeadilan, berkepastian hukum, terbuka,
dan dapat dipertanggungjawabkan, sesuai dengan perkembangan dinamika

111
43
masyarakat . Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat masih
menghadapi kinerja dan pengelolaan pelayanan publik yang masih jauh dari optimal,
yang antara lain disebabkan oleh sistem manajemen instansi pemerintahan yang
belum efisien, praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, ketiadaan standar
kualitas yang jelas untuk menjadi pedoman bagi instansi-instansi penyelenggara
pelayanan publik, dsb sehingga pelayanan publik di Indonesia pada umumnya lebih
banyak menjadi sasaran kritik dan ketidakpuasan masyarakat penerima pelayanan
yang sampai batas-batas tertentu menempatkan diri sebagai konsumen dari
pelayanan publik itu. Ketidakpuasan itu seperti dikemukakan para peserta FGD di
beberapa wilayah, antara lain, terbukti dari:
Banyaknya pengaduan-pengaduan atau keluhan-keluhan yang disampaikan
melalui media massa atau langsung pada unit pelayanan yang bersangkutan
yang menggambarkan ketidakpuasan warga masyarakat terhadap kualitas
pelayanan dari pelbagai instansi penyelenggara pelayanan publik;
Keluhan-keluhan tentang prosedur birokratif yang masih berbelit-belit dan
berbiaya tinggi;
Pengambilan keputusan yang tidak transparan dan inkonsisten sehingga
masyarakat penerima pelayanan tidak memiliki kepastian mengenai hak-haknya;
Kurangnya akses publik terhadap informasi mengenai hak dan kewajiban, baik
pihak penyelenggara pelayanan maupun penerima pelayanan, sehingga warga
masyarakat tidak memiliki kepastian mengenai kedudukan hukumnya di dalam
sistem pelayanan publik itu;
Kualitas pelayanan yang masih rendah, baik dari segi tata-cara pelayanan,
kualitas produk yang dihasilkan, waktu penyelesaian pelayanan serta penetapan
dan pengenaan biaya pelayanan;
Adanya kesan bahwa baik-buruknya kualitas pelayanan publik sangat tergantung
pada kualitas individual dari pejabat-pejabat yang kebetulan bertanggung jawab
atas suatu jenis pelayanan tertentu;

43
Lihat :Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Konsepsi Pengaturan RUU
tentang Pelayanan Publik, Naskah Akademik dalam rangka Permohonan Persetujuan Prakarsa
Penyusunan RUU tentang Pelayanan Umum, 2004, hal. 1.

112
Tidak adanya kepastian hukum yang menjamin hak-hak masyarakat sebagai
konsumen penerima pelayanan publik, dan kesulitan untuk menuntut kualitas
pelayanan atau produk yang setara dengan apa yang diatur di dalam Undang-
undang Perlindungan Konsumen karena aplikabilitas UUPK terhadap pelayanan
publik yang masih merupakan wacana;
Tidak adanya sanksi yang jelas terhadap praktek-praktek maladministrasi yang
menimbulkan kerugian pada warga masyarakat;
Tidak ada atau tidak jelasnya sistem dan mekanisme pengajuan keluhan-keluhan
publik (public complaints, grievances) yang dapat menjadi pegangan bagi para
penerima pelayanan publik.
Tidak adanya transparansi dan sosialisasi prosedur atau tata cara pelayanan
yang baku kepada masyarakat, atau bila prosedur atau tata cara itu ada dan
dipublikasikan, pelaksanaannya pelayanan dilaksanakan dengan cara yang
menyimpang dari prosedur yang ada;.Tetapi karena adanya kecenderungan
bahwa masyarakat didorong untuk menggunakan atau menempatkan diri di
dalam proses atau tata-cara yang menyimpang itu, maka masyarakat menjadi
kehilangan ruang untuk menilai ada-tidaknya penyimpangan dan pelanggaran
hukum dalam perolehan produk pelayanan publik itu.
Belum tumbuhnya mentalitas para petugas atau pejabat penyelenggara
pelayanan publik sebagai public servant, dan sebaliknya, masih kuatnya
mentalitas para petugas/pejabat sebagai pihak yang justru harus dilayani
menimbulkan kecenderungan bahwa baik-buruknya pelayanan yang diberikan
banyak tergantung pada keputusan diskresioner para pejabat itu;
Di lain pihak, data yang diperoleh Tim dari instansi-instansi
penyelenggara pelayanan publik atau dari pihak-pihak yang secara langsung
menjalankan fungsi pelayanan publik itu, diperoleh gambaran yang agak berbeda
dan beragam, yaitu:
1. Beberapa instansi di beberapa wilayah penelitian menyadari sepenuhnya
mengenai berlakunya Pedoman di dalam Kepmenpan No 63/2003 sebagai acuan
utama, dan berdasarkan itu menerbitkan peraturan-peraturan lokal (pemerintah
daerah) atau intern (Keputusan Direksi) untuk menata sistem pelayanan
publiknya sejalan dengan pedoman Menpan tersebut; Beberapa di antara

113
instansi-instansi yang masuk dalam kategori ini bahkan memberikan respond
yang cukup cepat untuk menyesuaikan mekanisme dan kualitas pelayanannya
terhadap pedoman-pedoman Menpan itu.
2. Beberapa instansi lain menyadari adanya Pedoman Menpan tersebut, tetapi tidak
melakukan penyesuaian terhadap sistem pelayanan publiknya karena mereka
bekerja atas dasar peraturan-peraturan sektoral dan/atau internal mereka
sendiri; Beberapa di antaranya memang telah memiliki standar kualitas
pelayanan yang memenuhi standar yang ditetapkan di dalam Pedoman Menpan,
namun sebagai instansi pelayanan publik yang menyelenggarakan pelayanan
juga sebagai institusi bisnis, maka instansi-instansi ini mengacu pada standar lain
yang dikenal secara internasional, seperti ISO, dsb.
3. Beberapa instansi mengklaim bahwa Pedoman Menpan itu dalam beberapa
aspek menjadi tidak feasible untuk dilaksanakan di lingkungan kerja mereka,
karena sifat pelayanan yang khas. Peserta FGD dari Kepolisian mengatakan
bahwa Pedoman Menpan tidak dapat dilaksanakan dalam pelayanan kepolisian
karena ruang lingkup dan kekhasan pelayanan kepolisian, akan tetapi pendapat
tersebut secara tegas dibantah oleh narasumber Chaeruddin Ismail dalam
lokakarya. Peserta FGD dari BPN menyatakan Pedoman Menpan tidak cocok
diterapkan dalam pelayanan oleh BPN karena BPN selalu harus melakukan due
dilligence berdasarkan berkas-berkas dan bukti-bukti yang sah secara yuridis.

4. Beberapa instansi tidak mengetahui adanya Pedoman Menpan atas sistem


pelayanan publik yang mereka selenggarakan, walaupun tetap mengklaim bahwa
regulasi internal mereka telah mencakup elemen-elemen dari suatu sistem
penyelenggaraan pelayanan publik (ketentuan tentang persyaratan, biaya, tata-
cara dan alur, jangka waktu pelayanan);
Secara ideal, gejala-gejala di atas seharusnya dapat diatasi apabila
semua komponen dari sebuah Sistem Penyelenggaraan Pelayanan Publik bekerja
dengan baik dan bersinergi secara positif satu sama lain. Di bab II telah disinggung
komponen-komponen utama dari sistem semacam itu, yang meliputi:

114
Komponen regulasi tentang pelayanan publik yang secara efektif dapat
memberi kekuatan hukum berkerjanya semua komponen pelayanan publik
lainnya secara terintegratif dan utuh;
Komponen Asas-asas Penyelenggaraan Pelayanan Publik yang
seharusnya menjadi acuan dalam pengelolaan sebuah instansi pelayanan
publik. Asas-asas ini harus merupakan asas-asas umum (general principles)
yang dapat menyentuh semua wilayah pelayanan publik, terlepas dari kekhasan
dan kekhususan bidang atau wilayah tugasnya.
Komponen Standar Minimum Pelayanan atau standar kualitas
pelayanan yang sekurang-kurangnya harus dipenuhi oleh setiap institusi
penyelenggara pelayanan publik dengan kualitas hasil kerja yang diukur dari
tingkat kepuasan minimum yang dapat diterima masyarakat pengguna
pelayanan publik.
Komponen Norma Perilaku Petugas Pelayanan Publik yang lebih banyak
merupakan norma-norma etika yang berfungsi mengendalikan perilaku
individual petugas-petugas administrasi;
Dari tinjauan terhadap hal-hal yang sejauh ini sudah diatur di dalam
Keputusan-keputusan Menpan di atas, serta memperhatikan kebutuhan untuk
memberikan fleksibilitas dalam realisasinya di dalam masing-masing instansi yang
memiliki kekhasan tugas dan fungsi, maka apa yang diatur di dalam Kepmenpan No.
63/2003 dan No. 26/2004, dengan tetap mempertimbangkan ekemen-elemen dari
suatu sistem pengelolaan keluhan publik yang sudah ada sebelumnya di pelbagai
peraturan perUUan di Indonesia, dapat dianggap sudah cukup memadai sebagai
struktur dasar pengelolaan keluhan atas pelayanan publik di Indonesia.
Para narasumber dalam lokakarya secara tegas mengemukakan bahwa
pengaturan sistem pelayanan publik dalam ketiga Kepmenpan sudah mencukupi
sebagai dasar untuk menyususn sistem pelayanan publik di setiap instansi
penyelenggara pelayanan publik. Prof. Dr. Ateng Syafrudin menegaskan bahwa
dilihat secara regulatif keberadaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 yang
mengatur tentang asas-asas umum penyelenggaraan negara yang bebas dari KKN
yang kemudian ditindaklanjuti oleh ketiga Kepmenpan tersebut sudah sangat
mencukupi. Selanjutnya ditegaskan bahwa apabila semua perundang-undangan

115
yang ada tersebut ditegakkan maka diyakini akan terjadi perbaikan kualitas
pelayanan publik. Menurut narasumber Soewito MD unsur-unsur yang menjadi
kriteria dalam ketiga Kepmenpan tersebut sudah sangat mencukupi sebagai unsur
minimal yang harus ada. Narasumber Anton Sujata, Ketua Komisi Ombudsman
Nasional, menyatakan bahwa secara substansial ketiga Kepmenpan tersebut sudah
mencukupi, dengan masukan perlu ditekankannya kewajiban untuk membentuk
lembaga internal complaint yang terpisah dari unit-unit pelayanan itu sendiri dan
ditegaskannya kewajiban complaint officer yang bertindak mewakili masyarakat yang
menyampaikan keluhan. Pada bagian lain Anton Sujata mengemukakan bahwa
secara substansial unsur-unsur dalam ketiga Kepmenpan tersebut juga digunakan
oleh Komisi Ombudsman Nasional untuk menilai kinerja pemerintah yang oleh
masyarakat diadukan ke Komisi Ombudsman Nasional. Narasumber Chaeruddin
Ismail bahkan secara tegas menolak pendapat para peserta FGD dari kalangan
kepolisian yang menyatakan ketiga Kepmenpan tersebut tidak cocok untuk
diterapkan di lingkungan pelayanan publik oleh kepolisian. Selanjutnya ditegaskan
bahwa kepolisian harusnya dapat menggunakan ketiga Kepmenpan tersebut sebagai
dasar untuk menyusun sistem pelayanan publiknya.
Beberapa hal yang memiliki tingkat urgensi yang cukup tinggi untuk
ditinjau lebih lanjut adalah:
kekuatan hukum dari Keputusan-keputusan Menpan itu untuk dapat dijadikan
dasar hukum pembinaan dan pengembangan sistem pengelolaan keluhan publik
di setiap instansi publik, yang keberadaanya umumnya didasarkan pada Undang-
undang. Dalam kaitan ini harapan yang besar dapat diletakkan pada lahirnya
Undang-undang tentang Pelayanan Publik Indonesia yang di dalamnya
juga memuat sistem pengelolaan keluhan publik yang berlaku secara nasional
dan befungsi sebagai Standar Minimum pelayanan publik di Indonesia;
Tentang hirarkhi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang sistem
pelayanan publik yang berlaku secara nasional untuk semua jenis pelayanan
publik ini para narasumber sepakat bahwa perlunya meningkatkan hirarkhi dari
keputusan menteri ke hirarkhi yang lebih tinggi. Ada dua alternatif yang
berkembang tentang hirarkhi perundang-undangan yang seharusnya mengatur
pelayanan publik, yaitu:

116
- Alternatif I : Undang-Undang, dengan argumen bahwa sifat mengikat
undang-undang terhadap semua instansi penyelenggara pelayanan publik
akan lebih kuat. Hal ini dapat menghindari egoisme sektoral dan
fragmentasi pengaturan di setiap instansi.
- Alternatif II : Peraturan Pemerintah, dengan argumentasi bahwa dasar-
dasar tentang pelayanan publik sudah cukup diatur dalam UU Nomor 28
Tahun 1999 sehingga apabila kita hendak mengatur aspek pelaksnaan dan
operasional dari UU tersebut cukup dalam PP. Pengaturan tentang sistem
pelayanan publik yang dikehendaki harus sampai relatif rinci dan lengkap
sehingga pengaturan pada tingkat undang-undang (yang pada umumnya
hanya mengatur hal-hal umum) dikhawatirkan tidak akan operasional.
- Alternatif III : Pengaturan prinsip-prinsip sebagai standar pelayanan
minimum sebagaimana diatur dalam Kepmenpan 63/2003 diatur dalam
undang-undang, sedang pelaksanaannya secara rinci, teknis, dan lengkap
yang saat ini diatur dalam Kepmenpan 25/2004 dan 26/2004 diatur dalam
Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden.
Dalam lokakarya, Prof. Dr. JE Sahetapy,SH mengusulkan agar asas-asas dan
prinsip-prinsip perlindungan pelapor atas suatu perilaku maladministrasi
sebagaimana terdapat dalam whistle blower act yang berlaku di Amerika dapat
sepenuhnya diberlakukan. Hal ini memberikan jaminan hukum kepada
masyarakat umum yang mengadu, dan untuk efektivitasnya perlindungan
terutama harus diberikan juga kepada bawahan yang melaporkan tindakan
maladministrasi yang dilakukan oleh atasannya.
Bila diperhatikan substansi dari pedoman-pedoman yang ditetapkan oleh Menpan
yang relevan dengan pelayanan publik. Khususnya Kepmenpan No. 63/2003, No.
25/2004, dan No. 26/2004, maka pedoman-pedoman tersebut seyogyanya
difahami sebagai pedoman atau standar minimum struktur dan sistem
penyelenggaraan pelayanan publik, yang, di satu pihak dapat dikatakan bersifat
memaksa (compulsary) dalam arti bahwa setiap instansi penyelenggara
pelayanan publik wajib memperhatikan standar minimum itu sebagai benchmark
dalam pembinaan dan pengembangan sistem pelayanan publiknya, namun di lain
pihak bersifat supplementary, karena setiap instansi penyelenggara pelayanan

117
publik dapat, dan bahkan dianjurkan untuk membina sistem dan standar
pelayanan umum yang lebih baik, lebih lengkap, dan atau lebih tinggi standar
kualitasnya.
Perlu ada penyempurnaan terhadap Kepmenpan No. 25/2004, tentang Indeks
Kepuasan Masyarakat, khususnya dengan menambahkan Unsur Indeks
Kepuasan Masyarakat (Paragraf I Butir G) dengan hal-hal yang menyangkut
fasilitas, kecepatan, kualitas, serta biaya pelayanan terhadap
pengaduan/complaint yang diajukan oleh masyarakat terhadap instansi yang
bersangkutan.
Unsur terpenting dari sebuah sistem pelayanan publik yang belum diatur secara
lebih jelas dan tegas di dalam sistem pelayanan publik di Indonesia dewasa ini
adalah Kode Perilaku Petugas Pelaksana Pelayanan Publik (Code of
Conduct for Public Servants). Hal ini menjadi salah satu faktor penentu
keberhasilan sistem pelayanan publik, terutama bila disadari bahwa sebagian
besar dari permasalahan dan keluhan mengenai pelayanan publik di Indonesia
dapat dikembalikan pada unsur manusia pengemban fungsi pelayanan publiknya
(ekses-ekses KKN, conflict of interest, dsb). Kehadiran sebuah Code of Conduct
yang selengkapnya mungkin akan lebih mengkokohkan struktur dasar dari
Sistem Pelayanan Publik Indonesia.

2. Standar Minimum Kualitas Pelayanan Keluhan Publik


Keluhan atau pengaduan adalah upaya berdasarkan hukum yang dapat
dilakukan oleh masyarakat apabila menerima pelayanan tidak prima dari
penyelenggara pelayanan publik. Suatu pelayanan dapat diklasifikasi sebagai tidak
prima apabila kualitas pelayanan tersebut tidak sesuai dengan harapan dari
masyarakat penerima pelayanan (subyektif) dan/atau tidak memenuhi standar
pelayanan minimal yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
(obyektif). Dengan demikian pelayanan keluhan publik sebenarnya merupakan
konsekuensi atau akibat dari kualitas pelayanan publik yang tidak memenuhi
harapan dan/atau tidak memenuhi standar. Oleh karena itu sistem pelayanan
keluhan publik mestinya menjadi bagian tidak terpisahkan dari sistem pelayanan
publik. Bertitik tolak dari asumsi bahwa aktivitas pelayanan terhadap keluhan publik

118
atas kinerja intansi dan/atau pejabat publik adalah bagian yang tidak terpisahkan
dari keseluruhan fungsi pelayanan publik, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
asas-asas penuntun serta pengakuan atas hak dan tanggung jawab masyarakat
yang dimaksud di atas tentunya akan berlaku pula atas sistem pelayanan keluhan
publik yang menjadi pusat perhatian penelitian ini.
Ditinjau dari aspek perwujudan asas-asas pemerintahan yang baik yang
diasumsikan berlaku juga atas suatu sistem dan mekanisme pelayanan keluhan
publik, maka dapat disimpulkan bahwa:
a. Asas Keterbukaan dan asas Akuntabilitas sudah agak eksplisit tercermin di
dalam aturan-aturan hukum yang berkenaan dengan pengelolaan keluhan
publik; Eksistensi kedua asas ini di dalam perundang-undangan secara eksplisit
menegaskan dasar legitimasi dari keberadaan suatu sistem dan mekanisme
pengelolaan keluhan publik di dalam sistem hukum Indonesia, baik dalam
lingkup nasional maupun sektoral.
b. Asas Kepastian Hukum dalam suatu sistem pengelolaan Keluhan Publik, pada
dasarnya juga sudah dipenuhi di dalam peraturan perUUan yang disebut pada
butir 1) di atas, khususnya yang menyangkut:
1. hak-hak masyarakat untuk melaksanakan kontrol sosial terhadap
berjalannya fungsi pelayanan publik;
2. hak masyarakat untuk memperoleh pelayanan yang sama dalam
penyelenggaraan negara;
3. hak untuk memperoleh informasi dan menyampaikan saran dan pendapat;
4. hak untuk memperoleh perlindungan hukum.
Asas Kepastian Hukum ini belum tercermin dengan tegas dalam kaitan
dengan jaminan adanya tindak-lanjut (follow up) terhadap keluhan/ pengaduan
yang sudah dimulai prosesnya sejak keluhan diajukan oleh masyarakat.
c. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara yang dimaksud di dalam UU No.
28/1999 tampaknya belum secara tegas diwujudkan di dalam peraturan PerUUan
yang dikaji, khususnya dalam konteks pelayanan atas keluhan
warganegara/masyarakat. Pengertian dan lingkup dari konsep maladministrasi
tampaknya perlu diberlakukan juga dalam sistem pengelolaan keluhan publik,

119
dan merepresentasikan berlakunya Asas Tertib Penyelenggaraan Negara di
dalam pelayanan keluhan publik di Indonesia;
d. Asas Kepentingan Umum yang mendahulukan kepentingan umum dengan
cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif belum diatur secara tegas di dalam
ketentuan-ketentuan mengenai pelayanan terhadap keluhan publik. Terdapat
perbedaan lingkup makna antara asas ini menurut UU No. 28/1999 dengan
makna proportionality (seperti yang misalnya dimaksud di dalam Code of Good
Administrative Behaviour yang dikenal di dalam sistem hukum asing), yang
mencakup juga makna bahwa: keputusan-keputusan dan tindakan publik harus
selalu memperhatikan proporsionalitas antara besarnya dampak dari
keputusan/tindakan publik dengan tujuan yang hendak dicapai dari pelaksanaan
tindakan/pembuatan keputusan itu. Seandainya diterapkan pada suatu sistem
pengelolaan keluhan publik, asas proportionality dalam arti yang kedua ini
tampaknya perlu diperhatikan pula untuk menjamin adanya proporsionalitas
antara pelaksanaan hak yang diberikan kepada masyarakat untuk mengajukan
keluhan dengan dampak yang mungkin timbul terhadap berfungsinya suatu
sistem pelayanan publik yang sudah ada.
e. Asas Proporsionalitas di dalam UU No. 28/1999 diartikan sebagai
keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara. Belum ada
ketentuan yang secara eksplisit mengatur hal ini dalam konteks pelayanan
keluhan publik.
f. Asas Profesionalitas, diartikan sebagai pengutamaan pada keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Belum ada ketentuan dari peraturan perUUan yang dikaji yang sudah
secara tersurat meletakkan asas ini sebagai salah satu asas dalam pemrosesan
keluhan publik. Hal ini juga belum tampak jelas di dalam Draft Rancangan UU
Ombudsman Nasional. Seandainya hukum positif Indonesia telah memiliki suatu
Standar Minimum Perilaku Administratif yang Baik (semacam Code of Good
Administrative Behaviour yang berlaku di Masyarakat Eropa), maka tampaknya
standar semacam itulah yang dapat dianggap sebagai standar minimum
keakhlian dan kaidah etik dari pengelolaan keluhan publik. Artinya tingkat
profesionalitas dari pelayanan keluhan publik pada dasarnya dapat diukur dari

120
dipenuhinya ukuran-ukuran perilaku administrasi tertentu pada saat suatu
instansi melayani dan menyelesaikan suatu persoalan yang diajukan melalui
keluhan publik.
Thesis akademis atas berlakunya asas-asas pemerintahan yang baik
tersebut dalam pelayanan keluhan publik sejalan akan tetapi tidak sama persis
dengan asas-asas penyelenggaraan pelayanan keluhan sebagaimana disebutkan
dalam Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003, yakni:
a. Asas Transparansi, yang berati bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses
oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta
mudah dimengarti;
b. Asas Akuntabilitas, yang berarti dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. Asas Kondisional, yang berarti sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi
dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan
efektifitas.
d. Asas Partsisipasif, yang berarti mendorong peranserta masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan,
dan harapan masyarakat.
e. Asas Kesamaan Hak, yang berarti tidak diskriminatif dengan tidak
membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi.
f. Asas Keseimbangan Hak dan Kewajiban, yang berarti bahwa pemberi dan
penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing
pihak.
Dari sudut pandang hukum dan kebijakan untuk berjalannya mekanisme
pelayanan keluhan publik yang baik dibutuhkan:
a. seperangkat asas/aturan yang menetapkan standar minimum kualitas pelayanan
publik yang dijabarkan dari asas-asas pemerintahan yang baik, dan dirumuskan
untuk diberlakukan sebagai dasar berfungsinya sistem pelayanan publik dan
yang pada gilirannya berlaku pula dalam aktivitas pengelolaan keluhan publik;
b. sistem dan prosedur pengelolaan keluhan publik yang komprehensif dan
mencakup elemen-elemen kewajiban dan hak masyarakat, kewajiban dan hak

121
pejabat administrasi negara, prosedur pengajuan dan penyelesaian keluhan
publik, perlindungan hukum, serta penghargaan/pemberian insentif.
Keluhan publik dalam sistem hukum dan administrasi negara Indonesia
dapat dilakukan dengan dua saluran kelembagaan, yaitu:

a. Keluhan publik diajukan kepada instansi atau pejabat (atau atasannya) yang
menyelenggarakan keluhan, oleh karena proses penanganan keluhan dilakukan
secara internal;
b. Keluhan publik diajukan tidak kepada instansi atau pejabat yang
menyelenggarakan keluhan akan tetapi kepada lembaga-lembaga yang secara
khusus dibentuk untuk mengelola keluhan publik. Penanganan keluhan yang
dilakukan oleh lembaga eksternal ini biasanya dilakukan setelah secara internal
keluhan tidak dapat diselesaikan secara memuaskan. Pelaporan tentang tindak
pidana korupsi yang dilakukan pejabat publik berdasarkan Undang-Undang
Antikorupsi, pengaduan pelanggaran HAM kepada KOMNAS HAM, atau
pengaduan ke Komisi Ombudsman Nasional (KON) merupakan bentuk pelayanan
keluhan yang bersifat eksternal.
Penelitian ini membatasi hanya pada penanganan keluhan atau
pengaduan yang bersifat internal saja, yang melekat pada instansi atau pejabat
penyelenggara pelayanan publik. Selain asas-asas umum pemerintahan yang baik
(good governance), beberapa perundang-undangan organik yang saat berlaku
sebagai hukum positif dan menjadi dasar penyelenggaraan pelayanan publik dan
pelayanan keluhan publik adalah:

a. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan Mutu Pelayanan


Aparatur Pemerintahan kepada Masyarakat jo Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun
1999 tentang Akuntabilitas Instansi Pemerintahan. Kedua INPRES tersebut
merupakan landasan politis dan kebijakan untuk perkembangan perundang-
undangan tentang pelayanan publik dan keluhan publik di Indonesia.
b. Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme yang menyebutkan asas-asas yang menjadi landasan
penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu asas kepastian hukum, asas tertib

122
penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas
proporsional, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.
c. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
63/Kep/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan
Publik jo Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
Kep/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Penyusunan Indeks Kepuasan
Masyarakat jo Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor Kep/26/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan
Akuntabilitas dalam Penyelengaraan Pelayanan Publik. Ketiga keputusan ini
sebagai satu kesatuan sistematis mengatur secara relatif utuh sistem pelayanan
publik dan sistem pelayanan keluhan publik.
Hasil pengkajian normatif terhadap sejumlah peraturan hukum di atas
menunjukkan bahwa dasar-dasar hukum berfungsinya fungsi pelayanan publik dan
pelayanan keluhan publik pada instansi dan/atau pejabat peyelenggara keluhan
publik sudah cukup memadai untuk:

a. menjadi prinsip-prinsip penuntun (guiding principles) tidak saja bagi lembaga-


lembaga khusus itu, tetapi juga untuk setiap dan semua lembaga dan fungsi
pelayanan publik di Indonesia dalam melaksanakan fungsi pelayanan publiknya;
c. membuktikan adanya pengakuan di dalam hukum positif Indonesia terhadap hak
asasi warganegara serta masyarakat untuk memperoleh pelayanan administrasi
yang baik.;
d. membuktikan pengakuan dalam hukum positif Indonesia bahwa peran-serta
masyarakat dalam penyelenggaraan negara yang bersih melalui fungsi kontrol-
sosial sebenarnya tidak saja merupakan hak tetapi juga tanggung jawab
masyarakat.
Dengan perkataan lain, di dalam hukum positif Indonesia sudah tersedia
peraturan perundang-undangan yang memadai untuk menjadi dasar hukum dari
keberadaan suatu sistem pengelolaan keluhan publik yang bersifat umum. Dalam
kaitan itu, beberapa hasil analisis umum yang dapat dibuat dari pengkajian normatif
dan empirik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Hukum positif Indonesia pada dasarnya sudah meletakkan kewajiban-kewajiban


utama pada setiap fungsi pelayanan publik di Indonesia untuk bekerja atas
123
dasar prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (pasal 3 UU No.28/1999). Melalui
penafsiran sistematis dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip good governance
tersebut berlaku pula terhadap apabila fungsi-fungsi pelayanan publik itu harus
menerima, memproses dan menyelesaikan masalah-masalah yang terbit dari
keluhan-keluhan masyarakat.
Namun demikian kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
sebagian besar responden aparat yang bekerja dalam satu atau lebih lembaga
penyedia layanan publik (khususnya di bidang pelayanan umum) berpendapat
bahwa hambatan-hambatan yang terjadi dalam melayani public complaints itu
banyak diakibatkan oleh tidak adanya prosedur baku (standard procedure)
untuk melayani dan memproses keluhan-keluhan publik itu. Di lain pihak,
sebagian besar responden yang mewakili masyarakat juga berpendapat bahwa
kelengkapan substansi dan prosedur baku untuk memperoleh pelayanan yang
wajar terhadap keluhan-keluhan mereka juga menjadi hal yang sangat penting
bagi masyarakat sebelum mereka terdorong untuk mengajukan keluhan-
keluhannya langsung pada badan-badan publik yang dianggap melakukan
maladministrasi.
b. Berdasarkan hal itu, dan didukung oleh hasil perbandingan dengan norma-
norma perilaku administrasi yang baik (good administrative behaviour) yang
dikenal di dalam sistem hukum asing, dapat disimpulkan bahwa penjabaran
lebih lanjut dari prinsip-prinsip pemerintahan yang baik harus dapat diwujudkan
dalam suatu Standar Minimum Kualitas Pelayanan Keluhan Publik, yang
merupakan penjabaran dari asas-asas pemerintahan yang baik, dilengkapi
dengan beberapa asas perilaku administrasi yang baik dan diwujudkan dalam
aturan-aturan perilaku yang khusus diperuntukkan bagi suatu Sistem
Pengelolaan Keluhan Publik.
c. Hukum positif Indonesia sudah mengakui bahwa peran-serta masyarakat dalam
penyelenggaraan negara yang bersih melalui fungsi kontrol-sosial sebenarnya
tidak saja merupakan hak tetapi juga tanggung jawab masyarakat.
Namun demikian, ketentuan yang ada masih bersifat umum sehingga
penelitian lapangan menunjukkan seringkali tidak cocok sepenuhnya dengan
kebutuhan dan karakteristik pelayanan suatu instansi penyelenggara pelayanan

124
publik. Instansi-instansi yang pelayanan publik yang telah menjadi badan usaha
seperti PT TELKOM, PT PLN, dan PT POS INDONESIA karena kebutuhan
pengembangan bisnisnya tidak cukup lagi sekedar mengacu pada standar
pelayanan menurut beberapa peraturan perundang-undangan di atas. Karena
tuntutan kerjasama internasional dan konsekuensi sebagai perseroan terbuka
maka instansi-instansi tersebut ada kecenderungan untuk menggunakan
standar pelayanan yang bersertifikat nasional dan/atau internasional. Oleh
karena itu standar pelayanan publik, standar pelayanan keluhan publik,
prosedur, dan mekanismenya yang diatur dalam perundang-undangan tersebut
harus dinilai sebagai standar minimal, artinya instansi-instansi penyelenggara
pelayanan publik dapat mengadopsi sistem lain akan tetapi tidak boleh lebih
buruk dari standar yang ditentukan dalam berbagai perundang-undangan di
atas.
Secara umum sistem pelayanan publik dan pelayanan keluhan publik
yang ditetapkan dalam beberapa Keputusan Menpan baru dapat diwujudkan
dengan baik dan utuh apabila setiap instansi penyelenggara pelayanan publik
menjabarkan dan melengakapi mekanisme dan prosedur pengelolaan keluhan
publik yang lebih konkrit, sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik pelayanan
yang diselenggarakan. Hasil penelitian lapangan menunjukkan indikasi bahwa
hampir di semua sektor pelayanan umum (tidak termasuk pelayanan publik
pada instansi yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas / PT) ketiadaan
mekanisme dan prosedur yang jelas untuk mengelola keluhan-keluhan
masyarakat terhadap kinerja suatu badan penyedia layanan umum diakui (oleh
responden aparat) sebagai adalah salah satu kendala terbesar bagi badan/dinas
tersebut untuk dapat menangani keluhan-keluhan masyarakat dengan baik.
Senada dengan itu, cukup besar persepsi masyarakat yang cenderung apatis
pada kinerja pelayanan keluhan publik disebabkan oleh ketiadaan mekanisme
dan prosedur yang baku dan dapat mereka gunakan untuk menyampaikan dan
memperoleh penyelesaian yang baik terhadap keluhan-keluhannya.
d. Pengertian pelayanan tidak prima yang hakikatnya merupakan maladministrasi
seyogyanya menjadi salah satu elemen yang dapat menjadi kriteria obyektif
dan memicu bekerjanya suatu mekanisme penyampaian keluhan publik,

125
ternyata tidak selalu dapat ditentukannya ukuran obyektifnya untuk setiap
jenis layanan dan di setiap instansi penyelenggara pelayanan publik, karena
penelitian lapangan menunjukkan sebagian besar instansi penyelenggara
keluhan publik belum menetapkan secara yuridis standar pelayanan minimal
yang berlaku.
Penelitian lapangan terhadap responden yang mewakili masyarakat
menunjukkan bahwa sumber-sumber timbulnya kekecewaan masyarakat
terhadap pelayanan publik adalah: 44
a. kualitas produk layanan yang rendah, sehingga masyarakat merasa
dirugikan hak dan kepentingannya. Kenyataan ini menunjukkan adanya
lack of quality control yang sebenarnya bersumber pada kelemahan dalam
pelaksanaan fungsi pengawasan;
b. diskriminasi dalam pemberian pelayanan, yang lebih banyak dirasakan di
wilayah perkotaan, mungkin disebabkan tidak adanya standar pelayanan
minimum yang dapat menjadi ukuran baik bagi aparat penyedia layanan
maupun bagi masyarakat;
c. kerumitan birokratik yang menyebabkan masyarakat enggan untuk
menyelesaikan urusan dan kepentingannya sesuai prosedur yang ada (atau
yang mungkin tidak ada); Kerumitan birokratis dalam memproses keluhan-
keluhan masyarakat jelas akan mendorong masyarakat untuk
menggunakan jalur-jalur alternatif untuk menyampaikan keluhannya;
d. Adanya biaya-biaya tambahan yang harus dikeluarkan masyarakat untuk
memperoleh pelayanan yang lebih baik. Di samping mencerminkan
lemahnya kontrol, gejala ini juga menunjukkan perilaku administratif yang
buruk dan bertentangan dengan asas kepastian hukum dan keadilan;
e. Rendahnya kualitas dan kurangnya jumlah sumber daya manusia yang
memberikan pelayanan atau yang menangani keluhan-keluhan, yang dapat
menjadi sumber dari rendahnya kualitas pelayanan umum dan tidak
berfungsinya mekanisme pelayanan terhadap keluhan-keluhan masyarakat.
Informasi yang agak inkonsisten diperoleh dari jawaban-jawaban aparat

44
Lihat: Laporan Penelitian Kelompok Kerja B-3 Komisi Hukum Nasional, Januari 2003,
halamam 155.

126
pengelola dinas publik yang menyatakan bahwa instansi mereka sudah
memiliki petugas khusus untuk melayani keluhan-keluhan publik,
sementara responden masyarakat umumnya beranggapan bahwa
rendahnya kualitas pelayanan keluhan antara lain disebabkan oleh
kurangnya sumber daya manusia. Untuk mengatasi persoalan tersebut,
suatu standar minimum kualitas pelayanan (termasuk pelayanan keluhan
masyarakat) harus juga menyinggung masalah kualifikasi minimum
pengelola dan kewajiban bagi instansi penyedia layanan umum untuk
menyediakan bagian khusus yang menangani keluhan-keluhan masyarakat.
Prinsip-prinsip perilaku administratif yang baik tentunya harus digunakan
untuk menjaga standar kualitas kerja dari para pengelolanya.
Kenyataan di atas sejalan dengan surat Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor 80/M.PAN.3/2002 yang mengidentifikasi 7 faktor yang
menghambat atau mengurangi efektivitas pengawasan masyarakat, yaitu:
a. Luas dan kompleksnya cakupan kegiatan birokrasi pemerintah yang tersebar di
seluruh pelosok tanah air, sehingga tidak mungkin ditangani secara sentralistik.
b. Proses penanganan pengaduan masyarakat sangat lambat dan berbelit-belit,
sehingga sering mendorong masyarakat cenderung menempuh jalan pintas,
menyelesaiakan sendiri masalah yang dianggap merugikannya dan melanggar
rasa keadilan masyarakat. Hal ini perlu diantisipasi agar tidak terjadi gejolak
sosial yang anarkhis.
c. Adanya kecenderungan pimpinan instansi pemerintah melindungi aparat di
jajaran instansinya agar kelihatan bersih, sehingga laporannya tidak lugas dan
kurang obyektif.
d. Kerangnya kesadaran dan pemahaman terhadap arti, makna, urgensi serta
manfaat pengawasan masyarakat dari sebagian besar aparatur pemerintah,
sehingga kurang peduli dan tidak peka terhadap aspirasi serta keluhan
masyarakat.
e. Kurangnya konsistensi dan transparansi dalam penegakan hukum yang sering
tidak tuntas, sehingga mengurangi kepercayaan masyarakat.

127
f. Kurangnya perlindungan hukum bagi pelapor dan saksi dari ancaman dari
pejabat terlapor dan atau kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang
aparat pemeriksa terhadap pejabat terlapor dan atau pelapor.
g. Cara berfikir dan bertindak yang formalistik dan rutin, disertai arogansi
kekuasaan sehingga cenderung sering mempersonifikasikan dirinya sebagai
penguasa dengan pertimbangan-pertimbangan subyektif dan berlindung pada
wewenang administratif yang tidak terukur.

3. Masalah-masalah dalam proses penyampaian keluhan pada bidang


pelayanan umum
Dari hasil sementara pengkajian secara normatif terhadap peraturan
perundang-undangan di bidang pelayanan publik serta didukung oleh fakta dan data
yang diperoleh dari penelitian lapangan, dapat disimpulkan bahwa sistem
penyampaian keluhan publik di Indonesia menghadapi dua masalah utama yaitu:
a. Tidak adanya standar minimum kualitas pelayanan (minimum quality standard on
public service) yang pada akhirnya harus diberlakukan dalam pengelolaan
keluhan-keluhan publik;
b. Tidak adanya sistem, baik institusional maupun prosedural, yang komprehensif
dan integral tentang pengelolaan keluhan publik.
Dari hasil pengakajian normatif terhadap peraturan perundang-undangan
dan penelitian empiris terhadap pelaksanaan pelayanan jasa publik di bidang
pelayanan umum ternyata tidak dapat ditemukan adanya standar minimum kualitas
pelayanan yang berlaku umum terhadap semua jenis fungsi dan dinas-dinas publik
yang dapat menjadi pegangan, baik bagi setiap fungsionaris aparatur pemerintahan
atau administrasi negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya, maupun
masyarakat sebagai konsumen atau pengguna penerima layanan.
Umumnya peraturan perundang-undangan yang telah berhasil ditemukan
dan dikaji ternyata hanya mengatur tentang susunan organisasi suatu instansi yang
bertugas dan berfungsi melakukan suatu pelayanan umum dan uraian tugas dan
fungsi setiap bagian secara sangat umum. Dalam kaitan dengan sistem dan
prosedur penyampaian keluhan publik, kenyataan ini sebenarnya membawa
Kelompok Kerja pada dua alternatif kesimpulan, yaitu, atau (i) standar kualitas

128
pelayanan keluhan publik sudah dianggap inherent pada tugas dan wewenang publik
berdasarkan asas-asas pemerintaan yang baik, atau (ii) pengaturan tentang standar
kualitas pelayanan public grievances/public complaints memang belum disadari
sebagai hal penting yang merepresentasikan fungsi kontrol sosial masyarakat
terhadap jalannya penyelenggaraan administrasi publik.

Secara ideal dalam peraturan perundang-undangan organik yang


mengatur suatu instansi harus dirumuskan dengan memperhatikan standar minimum
kualitas pelayanan umum namun disesuaikan dengan bidang dan fungsi masing-
masing instansi. Penjabaran sampai tingkat tehnis prosedural dari prinsip-prinsip
good governance dan good administration behavior merupakan salah satu sarana
penting untuk mengukur kinerja instansi tersebut. Segala program yang disusun dan
dilaksnakan oleh instansi publik tersebut kemudian harus diuji dengan standar yang
ditetapkan sebelumnya. Di sisi lain secara yuridis penjabaran standar demikian dapat
menjadi pintu masuk bagi masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kinerja
suatu instansi publik dan untuk mengajukan keluhan-keluhan terhadap pelanggaran-
pelanggarannya (maladministrative behavior).

Terlepas dari kebutuhan di atas, dari analisis silang terhadap data dan
informasi yang diperoleh dari responden aparat di satu pihak dan responden
masyarakat, Kelompok Kerja cenderung untuk menyimpulkan adanya beberapa
gejala umum sebagai berikut: 45

a. Aparat dari dinas-dinas penyedia pelayanan publik menyatakan bahwa


keluhan-keluhan yang datang dari masyarakat cenderung disampaikan
dengan cara penyampaian langsung ke instansi ybs baik secara lisan atau
secara tertulis, atau secara tidak langsung dengan memanfaatkan media
massa (cetak atau elektronik). Sementara itu di lain pihak, kebanyakan
responden masyarakat yang pernah mengajukan keluhannya pada suatu
dinas publik juga beranggapan bahwa keluhan-keluhan paling banyak
diajukan secara langsung dan secara lisan (tatap-muka atau melalui telepon)
ke dinas yang terkait, atau melalui surat resmi dan media massa. Yang
menarik dari persepsi masyarakat ini adalah bahwa:

45
Op. Cit. halaman 161.
129
- sebagian besar responden masyarakat belum pernah mengajukan
keluhannya melalui suatu sistem penyampaian keluhan publik tertentu,
karena tidak mengetahui prosedur yang harus dijalani;

- sejumlah tertentu responden masyarakat (dalam jumlah yang cukup


signifikan) merasa pengajuan resmi semacam itu tidak ada manfaatnya
karena tidak akan ada tanggapan serius dari dinas atau aparat yang
bersangkutan;

- sejumlah tertentu responden masyarakat merasa yakin bahwa pengajuan


keluhan semacam itu akan membawa mereka ke dalam kerumitan
birokrasi, dan karena itu enggan untuk menjalaninya.

Fakta-fakta di atas tampaknya mendukung dugaan sementara dalam


penelitian normatif yang menunjukkan bahwa ketiadaan sistem dan prosedur
penyampaian keluhan publik yang jelas dan sederhana, akan mengakibatkan
semakin besarnya keengganan masyarakat untuk menyampaikan keluhan-
keluhannya ke instansi yang bersangkutan. Anggapan tentang rendahnya
kualitas dan responsivitas dari instansi terlapor serta kekhawatiran akan
adanya kerumitan birokrasi juga mungkin berkaitan dengan tidak adanya
standar minimum pelayanan publik yang dapat dijadikan pegangan baik oleh
instansi/dinas terlapor maupun oleh masyarakat.

b. Secara teoretis dengan bertitik tolak dari anggapan dasar bahwa suatu
standar minimum kualitas pelayanan publik dibutuhkan untuk menjamin
bahwa penyelenggaraan administrasi negara, termasuk urusan-urusan
pelayanan umum dapat berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip Good
governance dan Good Administrative Behaviour. Standar minimum kualitas
pelayanan publik semacam itu juga akan menjadi pedoman perumusan serta
pelaksanaan suatu sistem penyampaian keluhan publik. Namun demikian,
penelitian normatif terhadap pelbagai jenis pelayanan publik yang

130
dilaksanakan dalam penelitian ini (kecuali di Kota Semarang) menunjukkan
bahwa Standar Minimum Kualitas Pelayanan semacam itu memang belum
ada dalam arti belum ditetapkan secara hukum. Di lain pihak, penelitian
empiris terhadap responden aparat dan responden wakil masyarakat,
ternyata bahwa yang menjadi kausa dari pelbagai keluhan-keluhan
masyarakat terhadap pelayanan publik terutama menyangkut: 46

Inkonsistensi antara tindakan,kebijaksanaan atau keputusan instansi-


instansi penyedia jasa publik yang umumnya dianggap tidak sejalan
dengan, atau menyimpang dari standar kualitas yang
ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku;

Inkonsistensi termaksud di atas terutama (tercermin dari sebagian besar


jawaban responden) menyangkut kelambatan waktu pelaksanaan
pelayanan jasa. Ada pelbagai faktor yang dapat menjadi penyebab
inefisiensi semacam itu, seperti misalnya, kekurangan sumber daya
manusia, tidak adanya prosedur dan petunjuk teknis yang jelas untuk
penyediaan layanan, dsb;

Inkonsistensi juga tampak dari aspirasi sebagian responden yang


mengeluhkan rendahnya kualitas produk layanan dibandingkan
dengan kualitas yang seharusnya diberikan. Keluhan semacam ini
tampak agak lebih besar di wilayah perkotaan, dibandingkan dengan
wilayah non-perkotaan, dan hal ini mungkin disebabkan oleh adanya
demand for quality yang lebih tinggi di wilayah perkotaan;

Inkonsistensi atau penyimpangan lain yang menjadi sumber keluhan


masyarakat dalam pelayanan umum (walaupun dalam persentase yang
relatif kecil) adalah dalam hal pengenaan biaya tidak resmi. Gejala
ini tampak lebih dirasakan di wilayah non-perkotaan dibandingkan

46
Lihat: Laporan Akhir Penelitian Prosedur Penyampaian Keluhan Publik, Kelompok
Kerja B-3 Fakultas Hukum Unpar KHN, 2003, halaman 167 184.

131
wilayah perkotaan, dan hal ini mungkin berkaitan dengan akses yang
lebih baik bagi anggota masyarakat untuk memperoleh informasi
mengenai tarif-tarif dan biaya resmi serta lebih tingginya kesadaran
masyarakat mengenai hak-haknya, sehingga memperkecil kemungkinan
bagi aparat pemberi layanan untuk mengenakan biaya-biaya tidak resmi.
Jadi, secara umum dapatlah dikatakan bahwa faktor pengawasan
internal dan pengawasan eksternal (termasuk social control)
menjadi faktor yang cukup penting dalam penetapan standar minimum
kualitas pelayanan, termasuk juga standar minimum pelayanan atas
keluhan-keluhan masyarakat;

Inkonsistensi-inkonsistensi lain, walaupun dalam persentase yang relatif


lebih kecil, seperti hambatan-hambatan birokrasi (di dalam proses
penyediaan pelayanan publik yang seharusnya cepat, aman dan murah),
rendahnya kualitas produk layanan yang diberikan, rendahnya kualitas
SDM yang harus menangani urusan pelayanan publik tertentu, atau
adanya diskriminasi dalam pemberian pelayanan, yang pada dasarnya
mengarah pada tidak adanya prosedur baku yang menjadi pedoman dan
pegangan baik bagi aparat maupun masyarakat.

Berdasarkan kajian normatif terhadap peraturan-peraturan perundang-


undangan yang berlaku atas pelbagai dinas/institusi pelayanan umum (dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah), Kelompok Kerja pada dasarnya berkesimpulan bahwa
hukum positif Indonesia belum memiliki sebuah sistem yang utuh dan yang dapat
digunakan sebagai pedoman umum bagi setiap institusi penyedia pelayanan umum
(dan juga BUMN dan fungsi-fungsi pemerintahan lainnya) tentang pengelolaan dan
penyampaian keluhan publik. Pendek kata, sistem pengelolaan dan penyampaian
keluhan publik adalah peraturan organik yang membuka kemungkinan bagi
masyarakat untuk melaksanakan hak-haknya memperoleh perilaku administrasi yang
baik sesuai dengan Standar Minimum Kualitas Pelayanan Publik yang seharusnya
ditetapkan terlebih dahulu. Sistem semacam itu harus:

132
a. mencakup aspek institusional, dalam arti menetapkan prinsip-prinsip umum
tentang kualifikasi sumber daya, tentang struktur dan kedudukan organisatoris
dari suatu unit pengelola keluhan publik di dalam sebuah institusi administrasi
negara, kewenangan-kewenangan dalam penanganan masalah, dsb. Termasuk
di sini garis kewenangan dan tanggung jawab dalam penanganan masalah-
masalah inter departemental atau antar-institusi; Rekomendasi ini sejalan
dengan aspirasi yang diperoleh dari penelitian empirik, di mana salah satu
hambatan dan kesulitan bagi dinas atau institusi publik dalam penanganan
keluhan-keluhan masyarakat terletak pada ketidakjelasan organisasi dan
wewenang untuk memproses dan menyelesaikan masalah yang menjadi obyek
keluhan;
b. mencakup aspek prosedural, dalam arti menetapkan basic process dari
penyampaikan keluhan-keluhan masyarakat terhadap kinerja atau
kebijaksanaan/keputusan institusi administrasi. Aspek prosedural akan
mencakup prinsip-prinsip dasar penanganan keluhan publik, persyaratan
pelapor, persyaratan pengajuan keluhan, langkah-langkah-langkah yang harus
dijalani pihak pelapor, prosedur follow up proses penyelesaian masalah, sistem
pemantauan dan pelaporan, akibat-akibat hukum bagi pihak pelapor dan/atau
terlapor, dsb. Hal ini relevan bila dikaitkan dilihat dari kenyataan bahwa tidak-
adanya prosedur yang jelas yang harus dijalani oleh masyarakat menjadi
kendala dalam menyampaikan keluhan-keluhannya;
c. bersifat integratif, maksudnya adalah bahwa sistem pengelolaan dan
penyampaian keluhan publik yang dimaksud di sini harus bersifat umum dan
dapat diterapkan (applicable) pada fungsi dan tugas pelbagai dinas pelayanan
umum, tanpa mengabaikan kekhasan dan keunikan bidang tugas dan sifat
pelayanannya. Dengan berpedoman pada sistem yang integratif ini, setiap
institusi pelayanan umum dapat membangun aturan-aturan pada tingkat
petunjuk-pelaksanaan atau petunjuk-teknis yang sudah memperhatikan
kekhasan bidang tugasnya masing-masing.
Dikaitkan dengan persoalan yang dihadapi dalam praktek (dari
penelitian empirik serta in-depth interview dengan beberapa pihak), banyak
hambatan dalam penyelesaian keluhan-keluhan publik yang terbentur oleh

133
persoalan-persoalan antar-dinas atau antar-institusi yang masing-masing
bekerja dalam lingkup-kewenangan yang berbeda. Bila semua institusi
pelayanan umum dapat berpegang pada satu sistem pengelolaan dan
penyampaian keluhan publik yang sifatnya integratif, maka diharapkan bahwa
persoalan-persoalan hukum antar-wewenang dapatlah dihindarkan;

d. bersifat komprehensif, maksudnya adalah bahwa sistem ini harus lengkap


dan utuh, dalam arti mencakup kaidah-kaidah yang memuat asas-asas utama
dalam pengelolaan keluhan publik (yang tentunya merupakan hasil elaborasi
dari prinsip-prinsip good governance dan good administrative behaviour) dan
aturan-aturan pelaksanaan yang bersifat konkrit dan dapat langsung
dilaksanakan atau diterapkan pada institusi/dinas pelayanan umum apapun.

Perumusan Standar dan Prosedur Pengelolaan Keluhan Publik

Pada dasarnya, masyarakat penerima pelayanan dari penyelenggara


pelayanan publik, berhak untuk memperoleh pelayanan pengelolaan keluhan dengan
kualitas yang sama. Disadari bahwa pelayanan yang dilakukan oleh satu instansi dan
atau pejabat tertentu tentulah sangat berbeda dengan instansi dan atau pejabat
yang lain. Namun demikian, perlu diatur tentang standar pengelolaan keluhan
publik, yang berlaku umum sehingga menjadi payung (umbrella act) bagi setiap
instansi dan atau pejabat penyelenggara pelayanan publik, yang menjadi pedoman
umum untuk mengelola keluhan masyarakat. Makna dari standar minimum
pengelolaan keluhan publik ini adalah hal terendah yang masih dianggap baik
dalam mengelola keluhan publik. Sepanjang masing-masing instansi telah memenuhi
standar minimal tersebut, selanjutnya mereka diperkenankan untuk
mengembangkan pola pengelolaan keluhannya, yang lebih baik daripada standar
minimum tersebut dan sesuai dengan bidang kerja masing-masing.

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan sebelumnya, maka secara teoretis


dapat disimpulkan bahwa beberapa hal harus dimuat di dalam prosedur penanganan
keluhan publik, antara lain:

134
a. Asas yang mendasari prosedur penyampaian keluhan publik:
Pengelolaan keluhan publik harus didasari oleh asas-asas yang termuat di
dalam good governance, secara lebih khusus terfokus pada asas transparansi
dan akuntabilitas. Ketentuan tersebut harus memuat tentang kewajiban
lembaga-lembaga teknis untuk melakukan pengelolaan keluhan publik dan
menjamin hak-hak masyarakat untuk mengajukan keluhan. Karena kedudukan
lembaga yang mengelola keluhan tersebut bersifat dominan terhadap
masyarakat, maka prinsip transparansi - dalam arti masyarakat dapat
mengakses proses pengelolaan keluhan - menjadi hal yang sangat penting untuk
diatur.

Di samping itu, asas akuntabilitas harus diartikan bahwa setiap


pengelolaan keluhan publik harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau pelanggan, baik dari segi prosedur dan mekanisme pengelolaan
keluhan tersebut dan substansi penyelesaian masalahnya yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, perlu juga
diadopsi asas-asas kepastian hukum, proporsionalitas, profesionalitas,
non diskriminatif, keadilan dan pengutamaan kepentingan umum.
b. Jenis keluhan yang dapat dikatagorikan sebagai keluhan publik:
Jenis keluhan yang dapat dikategorikan sebagai keluhan publik antara
instansi yang satu dengan yang lain dapat berbeda-beda, karena jenis pelayanan
atau usaha yang dilakukan oleh masing-masing instansi juga dapat berbeda-
beda. Oleh karena itu, masing-masing instansi harus mendeskripsikan di dalam
prosedur penyampaian keluhan publiknya tentang hal apa saja yang dapat
dikategorikan sebagai keluhan publik tersebut. Misalnya: instasi tersebut
membatasi makna keluhan publik hanya mencakup keluhan yang berkaitan
dengan mal-administration dari aparat, sehingga apabila keluhan yang
diajukan ternyata berkaitan dengan keluhan pelanggan yang mengharapkan
digantinya teknologi yang dipergunakan oleh perusahaan (tidak ada mal-
administration, hanya semata-mata menghendaki peningkatan pelayanan), maka
keluhan itu dapat ditolak (dengan menyebutkan secara tegas alasan
penolakannya).

135
c. Cara mengajukan keluhan publik:
Karena masing-masing instansi juga memiliki struktur organisasi dan cara
kerja yang khas dan spesifik, maka masing-masing instansi dapat menentukan
tentang cara mengajukan keluhan, yang penting di dalam cara pengajuan
keluhan tersebut harus memuat tentang:
1. Syarat-syarat pelengkap yang harus dipenuhi oleh pengaju keluhan (misalnya
membawa dokumen-dokumen pelengkap tertentu, memiliki bukti diri, dll.);
2. Bentuk pengajuan keluhan (misalnya harus mengisi formulir tertentu,
dapatkah mengajukan keluhan melalui alat komunikasi tertentu misalnya
dengan telepon, e-mail atau facsimile);
3. Penentuan pejabat / instansi yang bertugas menerima keluhan. Dengan
memperhatikan hasil penelitian lapangan terhadap responden aparat maupun
masyarakat yang pada umumnya menyatakan perlunya dibentuk bagian
khusus yang melayani keluhan publik pada masing-masing lembaga maka
perlu dipertimbangkan tentang hal tersebut dalam pengaturannya.
d. Penentuan pejabat yang berwenang untuk melakukan pengelolaan keluhan,
termasuk penentuan tata cara pengalihan keluhan dari penerima keluhan kepada
pejabat teknis yang berwenang (dikenal dengan metode dispatching);
e. Harus ditentukan jangka waktu untuk merespons keluhan publik. Jangka waktu
ini harus dirumuskan dengan kata-kata yang terukur, misalnya dalam waktu 2
hari; dan tidak menggunakan kata-kata yang tidak terukur, misalnya secepat
mungkin, segera setelah, dll.
f. Harus ditentukan juga jangka waktu menyelesaikan masalah yang dikeluhkan.
Penentuan jangka waktu ini bisa dirinci dengan membedakan beberapa
kelompok misalnya:
1. Berdasarkan kompleks atau tidaknya masalah yang dihadapi (dengan
menyebutkan juga apa kriteria kekompleksan dari masalah tersebut);
2. Berdasarkan penyelesaian yang bersifat intern instansi itu sendiri atau
masalahnya lintas sektoral;
3. Berdasarkan perlu atau tidaknya mengadakan penggantian
perangkat/sarana/prasarana;

136
4. Berdasarkan kriteria-kriteria lain yang sesuai dengan kondisi instansi
tersebut.
g. Prosedur pengajuan keluhannya harus tidak dikenai biaya;
h. Apabila dalam penyelesaian masalah ternyata terdapat perbaikan yang
membutuhkan biaya, harus diberlakukan asas transparansi dalam penarikan
biaya (misalnya dengan perincian perbaikan apa saja yang harus dilakukan,
perangkat apa saja yang harus diganti, siapa yang harus menanggung biaya dari
perangkat tersebut, dll). Bahkan seharusnya setiap instansi memiliki daftar
rincian perangkat/alat yang harus menjadi tanggungan instansi dan yang harus
menjadi tanggungan yang mengajukan keluhan;
i. Prosedur penyampaian keluhan publik ini harus memuat juga jaminan dari
instansi tersebut untuk memberikan legal protection bagi yang mengajukan
keluhan;
j. Prosedur penyampaian keluhan publik ini juga harus memuat legal protection
bagi otoritas yang menerima keluhan publik yang tidak sah (prosedural dan
substansial);
k. Prosedur penyampaian keluhan publik ini memuat juga tata cara rehabilitasi bagi
pihak yang dirugikan, misalnya dengan memberikan pemulihan, memberikan
ganti rugi, dll;
l. Tatacara penginformasian hasil penanganan keluhan kepada pihak yang
mengajukan keluhan.
m. Kewajiban bagi setiap instansi untuk melakukan sosialisasi prosedur baku
penyampaian keluhan publik yang berlaku di instansinya.
Secara teknis operasional Keputusan MENPAN Nomor 26 Tahun 2004
memberikan beberapa pedoman pelaksanaan pelayanan keluhan atau pengaduan
masyarakat, beberapa diantaranya adalah:
a. Masyarakat harus diberi beberapa alternatif tatacara menyampaikan keluhan,
mulai dari kotak pengaduan, kotak pos, satuan tugas khusus dan cara lain yang
dapat digunakan masyarakat. Masyarakat yang melakukan pengaduan harus
memberikan identitas yang jelas, tidak boleh anonim atau surat kaleng.

137
b. Masyarakat yang melakukan pengaduan harus diberi formulir tanda bukti
pengaduan. Pada formulir tersebut harus disebutkan nama dan jabatan petugas
yang berwenang menyelesaikan pengaduan dan jangka waktu penyelesaiannya.
c. Apabila dalam penanganan pengaduan ternyata terjadi penyimpangan oleh
petugas pelayanan maka perlu diberikan sanksi kepada petugas yang
bersangkutan.

4. Mengkaji kemungkinan untuk melibatkan biro hukum dalam pelayanan


publik
Pelayanan keluhan publik merupakan bagian integral dan tidak
terpisahkan dari sistem pelayanan publik pada umumnya, ini berarti bahwa dalam
suatu sistem pelayanan publik yang diselenggarakan oleh suatu instansi di dalamnya
harus tersedia subsistem pelayanan keluhan. Dalam sistem hukum administrasi
Indonesia hak atas pelayanan publik yang prima merupakan hak normatif yang
dijamin oleh undang-undang, sebaliknya penyelenggara pelayanan publik memiliki
kewajiban hukum untuk menyelenggarakan pelayanan prima. Dilihat dari sisi
masyarakat atau konsumen penerima pelayanan, sistem pelayanan keluhan
merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menjamin dan melindungi
hak-haknya atas pelayanan publik yang prima. Sedangkan dari sisi penyelenggara
pelayanan, sistem pelayanan keluhan merupakan salah satu cara untuk memperoleh
umpan balik dari penyelenggaraan pelayanan publik yang bermanfaat dalam rangka
evaluasi untuk peningkatan kualitas pelayanan.
Disamping unsur-unsur sistem pelayanan publik pada umumnya, sistem
pelayanan keluhan yang ideal mensyaratkan beberapa unsur yang harus dipenuhi
sebagaimana telah diuraikan dalam butir 4 bab ini. Beberapa unsur dari seluruh
unsur tersebut adalah menyangkut aspek kelembagaan dan/atau aspek personil dari
sistem pelayanan keluhan di istansi penyelenggara pelayanan, yaitu:

1. Bahwa harus ditetapkan bagian dan/atau pejabat yang bertugas dan memiliki
kewajiban untuk menerima dan menangani keluhan;
2. Bahwa pejabat dan/atau pegawai yang ditugaskan menerima keluhan harus
memiliki kompetensi untuk menangani keluhan sesuai prosedur pelayanan
keluhan yang berlaku di instansi tersebut.

138
Untuk menjamin hak yuridis masyarakat penerima layanan untuk
mengajukan keluhan dan agar keluhan tersebut mendapat penanganan secara
maksimal maka menurut Anton Sujata 47 , Ketua Komisi Ombudsman Nasional,
secara ideal setiap instansi harus menyediakan bagian dan/atau pejabat khusus
(complaint officers) yang menerima dan menangani keluhan (internal complaint).
Pelayanan keluhan harus dilakukan oleh bagian yang terpisah dengan bagian yang
memberikan pelayanan pokok.

Tersedianya bagian khsuus sebagai internal complaint dilihat dari


kepentingan masyarakat akan lebih menjamin keluhan tersebut ditangani secara
cepat dan tepat oleh pejabat dan/atau pegawai yang kompeten untuk itu, dan
mempermudah masyarakat melakukan pematauan atas proses penanganan keluhan
karena cukup berhubungan dengan satu bagian saja untuk semua jenis keluhan.
Sedangkan dari sudut instansi penyelenggara pelayanan keberadaan bagian khusus
tersebut akan mempermudah pengelolaan keluhan dan tidak mengganggu
pelaksanaan pelayanan pokok karena petugas pelayanan pokok tidak akan
berhubungan langsung dengan masyarakat yang mengajukan keluhan. Sentralisasi
penanganan keluhan ini juga memudahkan pemantauan keluhan yang disampaikan
dan proses penyelesaiannya, yang pada akhirnya akan mempermudah evaluasi atas
sistem pelayanan yang diselenggarakan.

Complaint officers harus memiliki kompetensi khusus membangun


hubungan dengan masyarakat dan/atau konsumen yang mengajukan keluhan,
kompetensi complaint officers harus lebih pada aspek human relation daripada aspek
teknis pelayanan pokok. Meskipin complaint officers merupakan bagian dari
organisasi suatu instansi penyelenggara pelayanan akan tetapi karena fungsinya
mereka memiliki kedudukan yang khas, yaitu membangun hubungan dengan
masyarakat dan/atau konsumen untuk kepentingan instansi. Complaint officers ini
tidak bertugas untuk menutupi kekurangan atau melakukan pembelaan atas
kualiatas pelayanan yang belum prima atau atas suatu tindakan maladministrasi,
akan tetapi menampung dan menyampaikan keluhan kepada bagian teknis
pelayanan pokok dari sudut pandang masyarakat dan/atau konsumen, kemudian

47
Anton Sujata, dalam lokakarya tanggal 30 Oktober 2004

139
menyampaikan penjelasan secara jujur dan obyektif atas masalah yang dikeluhkan
kepada masyarakat dan/atau konsumen berdasarkan hasil investigasi bagian teknis
pelayanan pokok. Menurut Anton Sujata pada umumnya di Indonesia tugas public
service officers dan complaint officers sering dicampuraduk sehingga fungsi
complaint officers malah lebih sering mewakili pejabat pemberi layanan daripada
masyarakat yang menyampaikan keluhan.

Penelitian lapangan melalui wawancara dan focused group disscusion


(FGD) memperoleh informasi bahwa semua instansi telah melakukan pelayanan
keluhan publik, akan tetapi setiap instansi memiliki sistem pelayanan keluhan yang
berbeda. Dari berbagai sistem yang diberlakukan, dapat diidentifikasi tiga pola
sebagai berikut:

1. Tidak ada bagian khusus pelayanan keluhan, sehingga keluhan diterima dan
ditangani oleh bagian yang juga memberikan pelayanan pokok. Dengan pola ini
masyarakat dan/atau konsumen yang akan mengajukan keluhan harus
berhubungan dengan bagian dimana pelayanan tersebut dianggap tidak
memuaskan. Apabila pelayanan memerlukan penyelesaian secara berjenjang
maka hal ini menyulitkan masyarakat dan/atau konsumen yang akan
mengajukan keluhan karena untuk keluhan pada setiap tahap pelayanan ia
harus berhubungan dengan bagian yang berbeda. Instansi yang menerapkan
pola ini adalah Badan Pertanahan Nasional, Kepolisian, dan Dinas Kependudukan
/ Catatan Sipil.
2. Tidak ada bagian khusus pelayanan keluhan, keluhan diterima dan ditangani
langsung oleh pimpinan instansi. Pola ini memiliki kelebihan karena penyelesaian
keluhan dapat langsung dilakukan oleh pimpinan suatu instansi, akan tetapi
dalam praktiknya justru merugikan masyarakat dan atau konsumen yang
mengajukan keluhan karena akses untuk berhubungan langsung dengan
pimpinan instansi untuk menyampaikan keluhan maupun memantau proses
penyelesaian keluhan tersebut sangat kecil. Instansi yang menerapkan pola ini
adalah Puskesmas dimana keluhan atas pelayanan kesehatan yang diberikan
oleh puskesmas dapat diajukan kepada Kepala Puskesmas dan/atau Kepala
Dinas Kesehatan.

140
3. Bagian Humas diberi tugas untuk menerima keluhan dari masyarakat dan/atau
konsumen untuk disampaikan kepada supervisor dan penyelesaian keluhan
dilakukan oleh bagian teknis pelayanan pokok sesuai keluhan yang disampaikan.
Pola ini mirip dengan pola ideal yang diuraikan di atas, akan tetapi patut
dicermati kemungkinan terjadinya conflict of interest karena tugas dan fungsi
bagian humas berbeda dengan tugas dan fungsi complaint officers. Bagian
Humas dari suatu instansi adalah membangun image instansinya, sehingga pada
saat berhubungan dengan masyarakat yang mengajukan keluhan akan
cenderung tidak obyektif. Instansi yang menerapkan pola ini adalah PT. POS
INDONESIA.
4. Ada bagian khusus yang menerima keluhan. Bagian khusus ini setelah menerima
keluhan kemudian dengan prosedur dan mekanisme yang berlaku melakukan
distribusi ke masing-masing bagian teknis pelayanan pokok sesuai keluhan yang
diterima (dikenal dengan istilah dispatching). Penanganan keluhan dilakukan
oleh masing-masing bagian teknis, hasil investigasi permasalahan dan/atau
penyelesaian keluhan tersebut disampaikan kepada complaint officer untuk
selanjutnya disampaikan kepada masyarakat dan/atau masyarakat yang
mengajukan keluhan. Pola ini sesuai dengan pola ideal yang diuraikan di atas.
Instansi yang telah menerapkan pola ini adalah PT. TELKOM dan PT. PLN.
5. Kantor pusat dari instansi penyelenggara pelayanan publik membuka pusat
pelayanan keluhan melalui kotak pos, faksimili, atau telepon hot line. Pola ini
sangat mudah diakses oleh masyarakat akan tetapi proses penanganan keluhan
biasanya bersifat tertutup dan tidak dapat diakses oleh masyarakat dalam rangka
melakukan pemantauan atas penanganan keluhan tersebut. Instansi yang
menerapkan pola ini adalah Badan Pertanahan Nasional.
Beberapa instansi menerapkan secara bersama-sama lebih dari satu pola
pelayanan keluhan tersebut di atas. Badan Pertanahan Nasional menerapkan pola
pertama dan kelima, kepolisian menerapkan pola pertama dan kedua.

Temuan penelitian lapangan menunjukkan bahwa tidak ada satu instansi


pun yang melibatkan atau mengikutsertakan bagian hukum atau biro hukum untuk
melakukan penanganan atas keluhan masayarakat dan atau konsumen. Padahal
penelitian ini juga memperoleh informasi bahwa semua instansi yang diteliti, kecuali

141
puskesmas / dinas kesehatan, memiliki bagian hukum. Pada umumnya fungsi dan
tugas bagian hukum dari suatu instansi adalah: 48

1. Menyiapkan rancangan peraturan perundang-undangan, surat keputusan


(beschiking), atau bentuk dokumen hukum lain yang menjadi kewenangan
instansi yang bersangkutan yang memerlukan pengkajian dan pengujian dari
aspek hukum sebelum ditetapkan lebih lanjut;
2. Meneliti, mengkaji, menguji, dan memberikan rekomendasi dari aspek hukum
terhadap rancangan dari luar (dalam rangka koordinasi) sebelum ditetapkan
lebih lanjut oleh yang berwenang;
3. Melakukan pengkajian dan memberikan rekomendasi atas suatu sengketa
hukum yang melibatkan instansi yang bersangkutan.
4. Bertindak sebagai kuasa atau wakil dari instansi dalam penyelesaian sengketa
hukum di dalam maupun di luar pengadilan.
Di luar tugas menyiapkan regulasi atau beschiking, secara umum Bagian
Hukum dari suatu instansi akan dilibatkan dalam suatu penanganan keluhan apabila
keluhan tersebut telah berkembang sedemikian rupa menjadi sengketa hukum.
Menurut Anton Sujata, Bagian Hukum lebih tepat menjadi penasihat hukum instansi
pemerintah. Di kepolisian, Bagian Hukum bertugas sebagai pembantu dan
pelaksana pimpinan POLRI yag menanagani permasalahan hukum seperti mewakili
di muka pengadilan, di DPR, dan perumus kebijakan yang menyangkut hukum. 49

Berdasarkan hal di atas para nara sumber sepakat bahwa Biro Hukum
tidak cocok dan tidak tepat dilibatkan dalam proses pelayanan keluhan
masyarakat/konsumen, kecuali telah menjadi sengketa hukum. Dalam hal terjadi
sengketa, bagian hukum akan bertindak sebagai wakil yang memperjuangkan
kepentingan instansi. Tim menyimpulkan yang dimaksud sengketa hukum oleh para
narasumber adalah bahwa keluhan (baca: sengketa) tersebut sudah menjadi
gugatan dan/atau laporan, atau setidak-tidaknya potensial menjadi demikian,
melalui sistem peradilan perdata, pidana, atau tata usaha negara. Menurut Soewito
MD pelibatan Biro Hukum dalam penanganan setiap keluhan justru akan memaksa

48
Soewito MD, dalam lokakarya tanggal 30 Oktober 2004.
49
Chaeruddin Ismail, dalam lokakarya tanggal 30 Oktober 2004.
142
setiap keluhan harus diselesaikan melalui jalur hukum, padahal seringkali
masalahnya hanya masalah teknis atau administrasi. Secara tegas Anton Sujata
mengemukakan bahwa Bagian Hukum tidak tepat dikembangkan menjadi bagian
yang menangani keluhan publik.

Pendapat para narasumber yang disampaikan dalam lokakarya tersebut


ternyata sejalan dengan pandangan para peserta FGD. Salah seorang peserta FGD di
Surabaya yang mewakili masyarakat secara tegas menyatakan bahwa Bagian
Hukum tidak cocok diikutsertakan dalam pelayanan keluhan, karena kultur yang
telah terbentuk pada para personil Bagian Hukum ini adalah sebagai pembantu atau
staff pelaksana suatu instansi sehingga hanya akan berorientasi pada kepentingan
instansinya. Yang bersangkutan juga mengkhawatirkan setiap keluhan akan dibawa
ke ranah hukum (dalam arti pengadilan, Tim) sehingga justru akan merugikan
masyarakat karena pengetahuan hukum yang rendah dari masyarakat dan buruknya
sistem peradilan. Salah seorang peserta FGD di Jakarta yang berpengalaman
memimpin Bagian Hukum suatu departemen selama lebih dari 20 tahun juga
menyatakan bahwa Bagian Hukum tidak cocok diikutsertakan dalam pelayanan
keluhan, karena pada umumnya para personilnya tidak cukup memiliki kompetensi
sebagai complaint officers.

143
BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Dengan segala keterbatasan waktu, sarana serta biaya yang dihadapi


oleh Tim sebagai kendala, Penelitian ini pada dasarnya berfungsi sebagai suatu studi
eksploratif dan analisis kritikal terhadap kondisi masa-kini (current state-of-affairs)
dari sistem dan regulasi Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Indonesia, dengan
tujuan untuk dapat menyimpulkan serta merekomendasikan pelbagai hal yang
berkaitan dengan Prospek Pembentukan dan Pengembangan Prosedur Pelayanan
Publik di dalam Hukum Positif Indonesia. Dalam kerangka itulah Tim telah
melaksanakan:

Pengkajian terhadap aspek sinkronitas dan konsistensi peraturan perundang-


undangan yang dimaksudkan sebagai peletak dasar sebuah sistem
penyelenggaraan pelayanan publik secara umum dan nasional, dengan peraturan
perundang-undangan dan prosedur pelayanan publik yang telah dibuat untuk
penyelenggaraan pelayanan publik pada masing-masing sektor pelayanan atau
wilayah pelayanan;

Pengkajian terhadap pandangan instansi-instansi penyelenggara pelayanan publik


dan masyarakat penerima pelayanan mengenai kondisi aktual pelayanan publik,
dan selanjutnya untuk mengukur apakah pelayanan publik tersebut telah
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (baik umum maupun sektoral).

Analisis serta perumusan mengenai suatu Sistem Penyelenggaraan Pelayanan


Publik yang dapat diterapkan dan diberlakukan secara nasional, tanpa harus
mengabaikan kekhasan jenis dan bidang pelayanan yang dapat dijumpai di dalam
setiap sektor dan/atau wilayah pelayanan;

Analisis serta perumusan rekomendasi mengenai standar kualitas dan mekanisme


pelayanan keluhan publik yang perlu dikembangkan sebagai bagian integral dari
suatu sistem pelayanan publik yang utuh, bersifat umum dan nasional, dan
berorientasi pada kebutuhan dan kesejahteraan rakyat.
144
Sebagai sasaran akhir yang Tim berusaha merekomendasikan suatu gambaran ideal
dari suatu sistem penyelenggaraan pelayanan publik (termasuk sub-sistem dan
mekanisme penyampaian keluhan publik), dengan harapan bahwa:

a. Aparatur pemerintah memiliki kinerja yang lebih baik karena adanya panduan
operasional yang dapat menjadi standar minimum dalam menyelenggarakan
pelayanan publik;

b. Masyarakat menjadi lebih tahu dan memahami hak-hak mereka dalam


memperoleh pelayanan publik yang baik;

c. Terciptanya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang utuh dan


secara inherent mencakup juga elemen pelayanan keluhan, sehingga
dapat diwujudkan fungsi pelayanan yang benar-benar berorientasi pada
kepuasan masyarakat pengguna jasa.

Bab ini akan menyajikan beberapa kesimpulan serta rekomendasi yang telah
dihasilkan oleh Tim, dengan harapan bahwa proses reformasi di bidang hukum
administrasi negara di Indonesia di masa depan, khususnya dalam peningkatan
kualitas pelayanan publik dapat memiliki landasan yang lebih solid dan dapat
dipertanggung jawabkan.

KESIMPULAN & REKOMENDASI

A. SISTEM PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK YANG IDEAL

a. Komponen Regulasi

Suatu sistem penyelenggaraan pelayanan publik harus bertumpu pada


seperangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan dasar hukum
serta kekuatan mengikat dari sistem itu pada instansi instansi yang diaturnya,
dalam arti:

- mengintegrasikan sistem dan prosedur penyelenggaraan pelayanan publik


secara nasional termasuk penetapan standar minimum kualitas
pelayanan publik yang baik.

145
- keberadaan hukum (legal existence) institusi-institusi administrasi negara
penyelenggara pelayanan publik;

- menjamin legalitas dan bekerjanya struktur organisasi, pengisian jabatan-


jabatan dan fungsi-fungsi penyelenggara pelayanan publik dengan pejabat-
pejabat dengan kualifikasi dan kompetensi tertentu;

- memberikan dasar hukum yang jelas mengenai tugas, tanggung jawab,


kewenangan dan hak-hak penyelenggara pelayanan publik;

- memberikan dasar hukum yang kuat atas pengakuan kedudukan penegakan


hak dan kewajiban, serta tanggung jawab warga masyarakat pengguna
pelayanan jasa publik;

- memberikan dasar hukum yang kuat atas penetapan berlakunya


proses/prosedur operasional penyelenggaraan pelayanan jasa publik serta
keberlakuan standar minimum pelayanan termasuk indeks kepuasan
masyarakat dan proses/prosedur pengajuan dan pelayanan keluhan publik
(public complaint /public grievance);

- dasar hukum yang kuat dan efektif atas berlakunya standar perilaku
(standard of conduct) para penjabat penyelenggara pelayanan publik;

b. Komponen Asas-asas Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Asas-asas utama yang mendasari bekerjanya suatu sistem pelayanan publik,


pada dasarnya tidak banyak berbeda dari asas-asas tentang Good
50
Administration, Good Governance, Beginselen van Behoorlijk Bestuur . Tim
berkesimpulan bahwa asas-asas penyelenggaraan pelayanan publik mencakup:

(1) Asas Keterbukaan (openness/transparansi)

(2) Asas Integritas

(3) Asas Akuntabilitas

50
Lihat Ateng Syafrudin, Butir-butir Komentar tentang Pelayanan Publik, makalah
pembahasan dalam Workshop Penelitian ini, Bandung, 2004, tidak dipublikasi.

146
(4) Asas Legalitas

(5) Asas Non-Diskriminasi dan Perlakuan Yang Sama

(6) Asas Proporsionalitas

(7) Asas Konsistensi

(8) Asas Legitimasi dan Akseptabilitas51

c. Komponen Standar Minimum Pelayanan

Standar Minimum Pelayanan adalah standar kualitas pelayanan yang


sekurang-kurangnya harus dipenuhi oleh setiap institusi penyelenggara
pelayanan publik dengan kualitas hasil kerja yang diukur dari tingkat kepuasan
minimum yang dapat diterima masyarakat pengguna pelayanan publik.

Dalam konteks sebuah sistem pelayanan publik nasional standar minimum


semacam ini hanya dapat dirumuskan sebagai norma-norma umum yang dapat
dijadikan acuan oleh instansi-instansi sektoral untuk mengembangkan standar
minimum pelayanan di sektor pelayanan yang dibinanya. Jadi di dalam sistem
nasional, standar kualitas hanya menetapkan elemen-elemen pokok yang harus
ditetapkan, baik secara sektoral ataupun secara regional, demi terjaminnya
kualitas pelayanan minimum yang menjadi hak masyarakat.

d. Komponen Kode Etik Perilaku Petugas Pelayanan Publik

Faktor utama yang menjadi penentu keberhasilan kinerja sebuah sistem


penyelenggaraan pelayanan publik, baik pada tingkat nasional maupun sektoral
atau regional, adalah faktor manusia yang berada di belakang sistem itu.
Manusia di sini menunjuk ke arah petugas dan/atau pejabat yang menyediakan
pelayanan publik bagi masyarakat. Walaupun di dukung oleh tata peraturan yang
lengkap serta dikendalikan oleh standar kualitas yang memadai, namun tanpa

51
Asas ini merupakan asas tambahan yang diperoleh Tim sebagai masukan dari Prof.
Ateng Syafrudin selaku narasumber dalam penelitian ini. Lihat: Ateng Syafrudin, Butir-butir
Komentar tentang Pelayanan Publik, supra note 1.

147
didukung oleh integritas, kompetensi serta profesionalitas dari para
petugas/pejabatnya, maka seluruh sistem pelayanan publik itu akan kehilangan
daya-gunanya samasekali. Karena itu tindak-tanduk public official atau orang
yang dipekerjakan pada sebuah otoritas administrasi publik, dalam menjalankan
fungsinya itu perlu dibatasi oleh seperangkat norma-norma yang dituangkan di
dalam semacam Code of Conduct for Public Officials, yang antara lain
mencakup norma-norma perilaku tentang:

kewajiban untuk bekerja sesuai dengan aturan-aturan hukum dan standar


etik yang relevan dengan fungsinya;

kewajiban untuk menempatkan diri secara netral dari atau bebas dari
pengaruh kepentingan politis atau ekonomis tertentu;

kewajiban untuk bersikap dan bekerja dengan jujur, imparsial, dan efisien;

kewajiban untuk senantiasa bekerja dengan sopan santun, baik terhadap


warga masyarakat yang dilayaninya, maupun terhadap atasan, kolega
maupun bawahannya;

kewajiban untuk menghindarkan diri dari pertentangan antara kepentingan


pribadi dengan posisi publiknya;

kewajiban untuk tidak mengambil keuntungan yang tidak wajar dari posisi
atau kedudukannya demi kepentingan pribadi;

kewajiban untuk senantiasa berperilaku sedemikian rupa demi


mempertahankan dan meningkatkan kepercayaan dan keyakinan publik
terhadap integritas, imparsialitas serta efektivitas pelayanan publik yang
diselenggarakannya;

kewajiban untuk melaksanakan tugas dan fungsinya atas dasar itikad baik,
ketekunan berdasarkan keakhlian profesional, pengetahuan dan pengalaman
yang memadai;

kewajiban untuk senantiasa menjaga keseimbangan antara penghormatan


terhadap hak-hak asasi dan kebebasan warga masyarakat dengan kewajiban
untuk mendahulukan kepentingan umum, dan tidak menetapkan
pembatasan-pembatasan yang tidak wajar (unreasonable restrictions);
148
kewajiban untuk menghormati hak warga masyarakat atas informasi publik;

sanksi-sanksi hukum yang tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran terhadap


Code of conduct ini;

e. Komponen Pengelolaan Keluhan Publik

Tim beranggapan bahwa pelayanan atas dan pengelolaan keluhan atau


pengaduan masyarakat merupakan salah satu komponen yang tidak
terpisahkan dari sebuah sistem pelayanan publik. Bertitik tolak dari asumsi
tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa asas-asas penuntun serta
pengakuan atas hak dan tanggung jawab masyarakat yang dimaksud di atas
tentunya akan berlaku pula atas sistem dan penyelenggaraan pelayanan keluhan
publik.

Ditinjau dari aspek perwujudan asas-asas pemerintahan yang baik maka


dapat diasumsikan bahwa asas-asas tersebut dengan sendirinya berlaku juga
atas komponen pelayanan keluhan publik. Namun demikian, beberapa asas yang
secara khusus menjiwai sebuah sistem pelayanan keluhan publik, adalah:

a. Asas Keterbukaan dan asas Akuntabilitas

b. Asas Kepastian Hukum khususnya yang menyangkut kepastian hukum


tentang:

hak-hak masyarakat untuk melaksanakan kontrol sosial terhadap


berjalannya fungsi pelayanan publik;

hak masyarakat untuk memperoleh pelayanan yang sama dalam


penyelenggaraan negara;

hak untuk memperoleh informasi dan menyampaikan sarandan


pendapat;

hak untuk memperoleh perlindungan hukum.

c. Asas Kepentingan Umum yang mendahulukan kepentingan umum dengan


cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif di dalam pelayanan terhadap

149
keluhan publik. Dalam konteks keluhan publik, tampaknya asas ini harus
difahami senafas dengan asas proporsionalitas.

d. Asas Profesionalitas, yang diartikan sebagai pelayanan keluhan yang


diberikan berdasarkan pelaksanaan keahlian yang berlandaskan kode etik
profesi dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B. SISTEM PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK INDONESIA DEWASA


INI DAN DI MASA DEPAN

a. Komponen Regulasi

Sumber-sumber hukum primer yang dapat diklasifikasi sebagai peraturan


perundang-undangan khusus dan secara teknis mengatur tentang
penyelenggaraan pelayanan publik secara nasional masih terbatas pada regulasi
setingkat Surat Keputusan Menteri, khususnya dalam bentuk Keputusan Menteri
Penertiban Aparatur Negara (Kepmenpan). Namun demikian, harus diakui pula
bahwa peraturan-peraturan ini dapat dianggap sebagai aturan pelaksanaan dari
pelbagai peraturan perundang-undangan setingkat Undang-undang sampai
dengan Instruksi Presiden yang secara umum mengatur Kewenangan
pemerintahan pada tingkat pusat dan daerah, serta upaya untuk menciptakan
pemerintahan yang bersih dari unsur-unsur korupsi, kolusi dan nepotisme.

Peraturan perUUan yang ada sebelum tahun 2003 telah memberikan dasar
hukum yang cukup kuat untuk keberadaaan sebuah sistem
penyelenggaraan pelayanan publik secara nasional. Namun demikian,
peraturan-peraturan perUUan di atas baru meletakkan dasar legalitas dan
cerminan kemauan politik pemerintah untuk menciptakan sistem
penyelenggaraan negara yang bersih dan terpercaya, termasuk penyelenggaraan
pelayanan publiknya.

Aturan-aturan hukum positif yang secara eksplisit memberikan dasar hukum


untuk pembentukan sistem, struktur dan pengelolaan pelayanan publik baru
muncul di dalam:

150
Kepmenpan No. 63/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Pelayanan Publik;

Kepmenpan No. 25/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks


Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah, dan

Kepmenpan No. 26/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan


Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik;

Dari hasil analisis dan pengkajian Tim terhadap ketiga Kepmenpan tersebut,
dapat disimpulkan beberapa butir penting di bawah ini:

Kepmenpan No. 63/2003 membedakan Kelompok Pelayanan Publik ke dalam


tiga kelompok, yaitu: Kelompok Pelayanan Administratif, Kelompok Pelayanan
Barang, dan Kelompok Pelayanan Jasa. Kategorisasi tersebut dapat dianggap
kurang realistik karena kenyataan di dalam masyarakat menunjukkan adanya
ketidak-cocokan atau tumpang-tindih antara pengelompokan itu dengan sifat
pelayanan yang diselenggarakan oleh instansi-instansi pelayanan publik
tertentu.

Tim berkesimpulan bahwa untuk menghilangkan keragu-raguan mengenai


bidang pelayanan, dan karena itu juga membawa dampak terhadap
efektivitas berlakunya Kepmenpan No. 63/2003, maka setiap instansi
penyelenggara pelayanan publik seharusnya membangun dan
melaksanakan standar pelayanannya sendiri yang selain merupakan
standar yang dibakukan, dipublikasikan, dan yang wajib ditaati oleh baik
pemberi maupun penerima pelayanan, juga akan bersifat khas mengingat
kekhasan dari produk pelayanan yang diberikannya.

Sebuah sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang bersifat nasional,


paling jauh hanya menyediakan standar minimum pelayanan publik,
yang berfungsi sebagai acuan atau pedoman mengenai struktur atau
kerangka dasar (basic structure/framework) dari suatu sistem pelayanan
publik;

Sebagai Pedoman Umum, Kepmenpan No. 63/2003 menetapkan orientasi


pelayanan publik ke arah pemenuhan kebutuhan dan kepuasan penerima

151
pelayanan, sehingga dapat meningkatkan daya saing dalam pemberian
pelayanan barang dan jasa; Sejalan dengan semakin besarnya
kecenderungan untuk melihat masalah penyelenggaraan pemerintahan di
dalam konteks otonomi daerah, maka Kepmenpan No. 63/2003 merupakan
52
peletak dasar untuk :

o penyelenggaraan pelayanan dengan jalur birokrasi yang lebih ringkas;

o memberi peluang bagi pemerintah daerah untuk melakukan terobosan-


terobosan di dalam sistem penyelenggaraan pelayanan publik sehingga
dapat mendukung upaya peningkatan kualitas pelayanan;

o membuka kemungkinan pemanfaatan kemajuan teknologi sebagai solusi


dalam memenuhi aspek transparansi, akuntabilitas dan partisipasi
masyarakat, serta lebih menjamin tersedianya data dan informasi pada
instansi pemerintah yang dapat dianalisis dan dimanfaatkan secara cepat,
akuran, dan aman;

KepMenpan No. 63/2003 ini telah memahami idea masyarakat penerima


pelayanan publik sebagai konsumen akhir seperti yang dimaksudkan di
dalam Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK) 53 . Walaupun secara ideal kebijakan ini tampak sangat baik dan

52
Lihat: UU No. 32 /2004 tentang Pemerintah Daerah, khususnya pasal 16 ayat
(1) dan (2) yang pada dasarnya memberikan dasar pembenaran formal dari pemberlakuan
Pedoman-pedoman Pelayanan Publik yang ditetapkan oleh Menpan pada instansi-instansi
pelayanan publik di daerah, sekurang-kurangnya sebelum diberlakukannya sebuah Undang-
undang tentang Pelayanan Umum. Pasal 16 berbunyi:
(1) Hubungan dalam bidang pemerintahan umum antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:
a. Kewenangan, tanggung jawab, dan penentuan standar pelayanan minimal;
b. Pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah, dan
c. Fasilitasi pelaksanaan kerjasama antarpemerintah daerah dalam penyelenggaraan
pelayanan umum;
(2) Hubungan dalam bidang Pelayanan umum antarpemerintah daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:
a. pelaksanaan bidang pelayanan umum antarpemerintah daerah;
b. kerjasama antarpemerintah daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum, dan
c. pengelolaan perizinan bersama bidang pelayanan umum
53
Lihat Konsiderans Mengingat butir 1.

152
berani, namun beberapa masalah diduga dapat timbul dari perwujudan
kebijakan ini dalam kenyataan, seperti misalnya:

o kesulitan untuk sepenuhnya menganggap relasi antara penyelenggara


pelayanan publik dan penerima pelayanan publik sebagai relasi antara
pelaku bisnis dan konsumen akhir sesuai kriteria lingkup berlaku
UUPK.

o Kesulitan di atas akan membawa dampak terhadap akurasi dari


pemahaman instansi penyelenggara pelayanan publik sebagai pelaku
bisnis, dan pada gilirannya, menimbulkan deadlock untuk dapat
54
menuntut tanggung jawab instansi publik itu berdasarkan UUPK .

o Kesulitan untuk memahami sepenuhnya pengertian warga masyarakat


penerima pelayanan publik sebagai konsumen akhir seperti yang
dimaksudkan di dalam UUPK, mengingat kenyataan tidak sepenuhnya
penerima pelayanan publik dapat dikategorikan sebagai end consumer
dari suatu produk;

Inkonsistensi-inkonsistensi di atas secara langsung juga berdampak pada


prospek dan efektivitas penyelesaian sengketa-sengketa yang menyangkut
pelayanan publik melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen 55 .

Maksud dan Tujuan pembuatan Kepmenpan No. 63/2003, adalah untuk


menjadi acuan bagi seluruh penyelenggara pelayanan publik di Indonesia
untuk mendorong terwujudnya pelayanan publik yang prima, Dari segi ini
maka daya berlaku Kepmenpan No. 63/2003 terhadap seluruh instansi
penyelenggara pelayanan publik inipun patut dipertanyakan. Kedudukan
hirarkis perUUan dari sebuah Pedoman Umum (yang dituangkan dalam
bentuk Keputusan Menteri) seringkali lebih rendah dari aturan-aturan hukum
yang menjadi dasar eksistensi serta landasan kerja instansi-instansi

54
Penjelasan Pasal 1 Angka 3 UUPK: Pelaku Usaha yang termasuk dalam pengertian ini
adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.
55
Walaupun ada pandangan di kalangan BPSK yang justru menekankan pada kata dan
lain-lain dari pengertian Pelaku Usaha yang dimaksud di dalam UUPK untuk menjaring
instansi-instansi pelayanan publik ke dalam lingkup berlaku UUPK.

153
penyelenggara pelayanan publik yang hendak diaturnya. Situasi ini
menyebabkan efektivitas berlakunya Kepmenpan 63/2003 patut
dipertanyakan. Hasil penelitian di lapangan akan menggambarkan persoalan
ini dalam kenyataan.

Secara substansial sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang diatur di


dalam Kepmenpan No. 63/2003 dan didukung oleh Kepmenpan No. 25 dan
26 tahun 2004 sudah dapat dianggap cukup sebagai peletak
kerangka/struktur dasar suatu Sistem Pelayanan Publik Nasional. Namun
mengingat fungsinya yang harus dapat memayungi sistem
penyelenggaraan pelayanan publik di seluruh Indonesia (baik sektoral
maupun regional), maka Tim berkesimpulan bahwa secara formal sistem ini
tidak cukup dituangkan dalam bentuk Kepmenpan saja. Pelbagai pendapat
menyarankan agar sistem ini diatur dalam bentuk Undang-undang atau
sekurang-kurangnya Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden,
sehingga memiliki daya ikat sebagai Umbrella Act untuk mengikat
56
instansi-instansi pelayanan publik yang ada .

Paragraf V, butir G Kepmenpan 63/2003 membuka kemungkinan


penyelenggaraan pelayanan publik melalui Biro Jasa Pelayanan.
Kemungkinan semacam ini akan mengurangi sifat pelayanan publik dalam
arti sebenarnya, dan memasukkan aspek komersial ke dalam
penyelenggaraan pelayanan publik. Secara praktikal, hal ini mungkin
bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan bagi masyarakat, namun
Tim berpendapat bahwa secara potensial kemungkinan ini dapat
menimbulkan masalah-masalah penyulit (complications) yang perlu
diantisipasi.

56
Lihat: Soewito, MD, SH, Bahan Pertemuan Workshop Komisi Hukum Nasional,
Bandung30 Oktober 2004, tidak dipublikasi.
154
b. Komponen Asas-asas Penyelenggaraan Pelayanan Publik

a. Paragraf III Kepmenpan 63/2003 menetapkan sejumlah asas Pelayanan


Publik. Sebagian besar dari asas-asas yang umumnya diakui sebagai asas-
asas pokok pelayanan publik telah dicakup oleh bagian ini, walaupun
umumnya lebih diarahkan pada asas-asas bekerjanya sistem dan proses
pelayanan publik, dan kurang diarahkan pada kualitas etik para pengemban
fungsi pelayanan publiknya, serta standar kualitas produk atau keluaran dari
pelayanan yang diberikan. Kepmenpan No. 26/2004 sudah menjabarkan dua
asas utama pelayanan publik ke dalam petunjuk teknis yang lebih terinci
(lihat penjelasan di bawah ini)

b. Beberapa asas pokok pelayanan publik yang sudah dicakup oleh


Kepmenpan No. 63/2003 dan atau Kepmenpan No. 26/2004, walaupun
beberapa mungkin dengan pemaknaan yang agak berbeda adalah:

Asas Keterbukaan (dis. Asas Transparansi)

Asas Akuntabilitas

Asas Non-Diskriminatif (dis.Asas Kesamaan Hak)

Asas Keseimbangan Hak dan Kewajiban

c. Asas-asas yang secara teoretis melekat pada esensi pelayanan publik, namun
belum diatur secara eksplisit di dalam Kepmenpan No. 63/2003 adalah:

Asas Integritas, yang sebenarnya mengkaitkan sistem


penyelenggaraan pelayanan publik sebagai suatu sistem manajemen
dengan nilai-nilai etika-profesional yang mengarah pada manusia-
manusia pendukung sistem itu.

Asas Legalitas, yang memberikan dasar keabsahan yuridik pada setiap


tindakan, pengambilan keputusan ataupun pelaksanaan fungsi pelayanan
publik;

Asas Konsistensi, yang sebenarnya sangat penting untuk memberi


jaminan kepada para penerima pelayanan jasa publik bahwa proses

155
pelayanan pada dasarnya harus dijalankan berdasarkan prosedur
normal, dan bahwa pengecualian (atau dispensasi) hanya diberikan bila
didukung oleh justifikasi yang valid berdasarkan hukum;

Asas Legitimasi dan Akseptabilitas, yang mengkaitkan sistem


pelayanan publik dengan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kualitas
pelayanan dan kualitas produk pelayanan yang senantiasa harus
dipertahankan pada suatu standar tertentu.

d. Asas-asas pelayanan publik yang dimuat secara khas di dalam Kepmenpan


No. 63/2003, dan mungkin akan membentuk kekhasan sistem
penyelenggaraan pelayanan publik Indonesia, adalah:

o Asas Kondisional, yang membenarkan penyelenggaraan pelayanan


publik dengan mengacu pada kondisi dan kemampuan pemberi dan
penerima pelayanan. Asas ini mungkin akan menjadi counter productive
terhadap upaya penyeragaman (standardisasi) mutu pelayanan publik
secara nasional, dan pada titik tertentu dapat bersinggungan dengan
asas non-diskriminasi, karena asas ini menjadi alasan pembenar untuk
memberikan perlakuan dan pelayanan yang berbeda pada warga
masyarakat yang pada dasarnya memiliki hak-hak dan berada dalam
situasi yang sama;

o Asas Partisipatif, yang bermakna bahwa pelayanan publik harus


mendorong peran-serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan
publik, dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan
masyarakat.

c. Komponen Standar Minimum Pelayanan

Paragraf V butir B dari Kepmenpan No. 63/2003 menetapkan beberapa prinsip


pelayanan publik, yang pada dasarnya sudah menjabarkan asas-asas pelayanan

156
publik yang disebut di atas. Dalam pelaksanaannya, prinsip-prinsip ini harus
menjiwai setiap elemen pelayanan sesuai relevansinya, yang meliputi 57 :

Prosedur Pelayanan

Jangka Waktu Pelayanan

Biaya Pelayanan

Produk Pelayanan

Sarana dan Prasarana Pelayanan

Kompetensi petugas pemberi pelayanan

Tim beranggapan bahwa setiap elemen tersebut dapat menjadi subyek penilaian
masyarakat. Artinya, bila dikaitkan dengan Kepmenpan No. 25/2004 tentang
Indeks Kepuasan Masyarakat, maka keenam elemen pelayanan tersebut telah
dijabarkan lebih lanjut menjadi 14 unsur minimal yang harus ada sebagai dasar
pengukuran indeks kepuasan masyarakat. Bila dilakukan pengelompokan lebih
lanjut, maka Tim dapat menyimpulkan bahwa:

a) Unsur Prosedur Pelayanan mencakup beberapa sub-unsur yang


digunakan untuk menilai kinerja instansi pelayanan publik adalah: (i)
kesederhanaan prosedur pelayanan, (ii) persyaratan pelayanan dan (iii)
keadilan mendapatkan pelayanan;

b) Unsur Jangka Waktu Pelayanan mencakup sub-unsur (iv) kecepatan


pelayanan dan (v) kepastian jadwal pelayanan;

c) Unsur Biaya Pelayanan mencakup sub-sub unsur: (vi) kewajaran biaya


pelayanan dan (vii) kepastian biaya pelayanan;

d) Unsur Produk Pelayanan tampaknya tidak dikelompokkan lebih jauh,


mengingat kekhasan produk dari setiap instansi pelayanan publik, yang
sejalan dengan Paragraf V Butir B Kepmenpan No. 63/2003, diwajibkan
memiliki standar pelayanan yang dipublikasikan sebagai jaminan adanya
kepastian bagi penerima pelayanan.

57
Sesuai dengan Keputusan Menpan No. 63/2003, Pedoman Umum, Bagian V, butir B
tentang Standar Pelayanan Publik.
157
e) Unsur Sarana dan Prasarana Pelayanan dijabarkan lebih lanjut
menjadi sub-sub unsur: (viii) Kenyamanan Lingkungan dan (ix) Keamanan
Pelayanan.

f) Unsur Kompetensi Petugas Pemberi Pelayanan, tampaknya menjadi unsur


yang memperoleh perhatian sangat besar dalam penilaian kinerja sebuah
instansi pelayanan publik. Unsur ini telah dijabarkan lebih lanjut ke dalam
sub-sub unsur: (x) Kejelasan Petugas Pelayanan, (xi) Kedisiplinan Petugas
Pelayanan, (xii) Tanggung Jawab petugas Pelayanan, (xiii) Kemampuan
Petugas Pelayanan, dan (xiv) Kesopanan dan Keramahan Petugas;

g) Di samping unsur-unsur yang telah dimuat di dalam Kepmenpan No.


25/2004 tersebut di atas, Tim merekomendasikan bahwa indeks kepuasan
masyarakat dinilai juga dalam kualitas pelayanan atas keluhan, pengaduan
masyarakat serta proses penyelesaian sengketa antara masyarakat dengan
instansi publik ybs.

d. Komponen Kode Etik Perilaku Petugas Pelayanan Publik

Pengamatan dan analisis Tim terhadap pelaksanaan pelayanan publik di


lapangan, didukung oleh masukan-masukan dalam diskusi menunjukkan bahwa
ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas pelayanan publik pada akhirnya
terfokus pada kualitas perilaku petugas/pejabat penyedia layanan. Kenyataan ini
terbukti dari:

Keluhan-keluhan tentang prosedur birokratif yang masih berbelit-belit dan


berbiaya tinggi karena adanya pungutan-pungutan tidak resmi yang harus
ditanggung warga masyarakat untuk memperoleh pelayanan yang
seharusnya menjadi hak masyarakat;

Pengambilan keputusan oleh petugas secara tidak transparan dan


inkonsisten sehingga masyarakat penerima pelayanan tidak memiliki
kepastian mengenai hak-haknya;

Tata-cara pelayanan, kualitas produk yang dihasilkan, waktu penyelesaian


pelayanan serta penetapan dan pengenaan biaya pelayanan yang berlapis

158
yang dapat dikaitkan pada mentalitas para petugas yang tidak memiliki
semangat pelayanan yang tinggi dan tidak adanya kode etik perilaku yang
menetapkan batas-batas kewenangan serta perilaku para petugas/pejabat
pelayanan;

Adanya kesan bahwa baik-buruknya kualitas pelayanan publik sangat


tergantung pada kualitas individual dari pejabat-pejabat yang kebetulan
bertanggung jawab atas suatu jenis pelayanan tertentu;

Tidak adanya sanksi yang jelas dan secara transparan dapat diketahui oleh
warga masyarakat terhadap praktek-praktek maladministrasi yang
menimbulkan kerugian pada warga masyarakat. Maladministrasi yang
bersumber pada perilaku dan pengambilan keputusan petugas/pejabat
pelayanan publik, berdasarkan kesimpulan yang dibuat oleh Komisi
Ombudsman Nasional, meliputi:

o Penundaan pelayanan yang berlarut;

o Persekongkolan;

o Pemalsuan

o Pelaksanaan tindakan di luar kompetensi dan penyalahgunaan


wewenang

o Inkompetensi

o Permintaan imbalan tidak resmi/korupsi;

o Kolusi dan nepotisme dalam pelayanan publik;

o Pelaksanaan tindakan-tindakan yang dianggap tidak layak/tidak patut;

o Pelaksanaan tindakan-tindakan dan pengambilan keputusan yang


tidak adil;

Belum tumbuhnya mentalitas para petugas atau pejabat penyelenggara


pelayanan publik sebagai public servant, dan sebaliknya, masih kuatnya
mentalitas para petugas/pejabat sebagai pihak yang justru harus dilayani
menimbulkan kecenderungan bahwa baik-buruknya pelayanan yang
diberikan banyak tergantung pada keputusan diskresioner para pejabat itu;
159
Hal-hal di atas selain menunjukkan belum bekerjanya sistem pelayanan publik
pada umumnya, juga menunjukkan bahwa pada titik terakhir ketidakpuasan
masyarakat atas kualitas pelayanan publik dapat diarahkan pada perilaku para
petugas dan/atau pejabat pengambil keputusan dalam pelayanan publik
itu.

Dengan perkataan lain, unsur terpenting dari sebuah sistem pelayanan publik
yang belum diatur secara lebih jelas dan tegas di dalam sistem pelayanan
publik di Indonesia dewasa ini adalah Kode Perilaku Petugas Pelaksana
Pelayanan Publik (Code of Conduct for Public Servants) yang dapat
mengendalikan perilaku mereka dalam melaksanakan fungsi pelayanannya
sehari-hari.

e. Komponen Pengelolaan Keluhan Publik

Dari peraturan-peraturan hukum yang ada sebelum tahun 2003 orang masih
dapat mempermasalahkan rentang sasaran (target span) dari suatu sistem
pengelolaan pelayanan publik dan keluhan publik di Indonesia, yang tampaknya
cukup diarahkan pada fungsi-fungsi yang ada di bawah kekuasaan eksekutif
(d.h.i. Pemerintah dalam arti sempit) saja. Walaupun tidak disebut dengan tegas
di dalam peraturan perUUan yang ada (c/q UU No. 28/1999), masalah sistem
pengelolaan keluhan publik juga menjadi persoalan bagi badan-badan usaha
milik negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD, dan Badan Hukum Milik
Negara (BHMN yang di samping bertugas memberikan pelayanan publik, juga
berfungsi sebagai lembaga bisnis yang harus menjadi profit-making entities.

Di samping itu, unit-unit kesekretariatan dari lembaga tertinggi dan lembaga-


lembaga tinggi negara (non eksekutif) juga masuk dalam kategori penyelenggara
pelayanan publik. Bila ditinjau secara agak simplistik, sebenarnya apapun
kategori instansi publik, beroperasinya instansi-instansi semacam itu selalu
menghadapi kemungkinan adanya gugatan Maladministrasi, dan karena itu di
dalam sebuah sistem pelayanan publik (termasuk sub-sistem pengelolaan
keluhan publiknya) perlu diatur struktur dasarnya secara nasional.

160
Elemen-elemen dari suatu Sistem Pengelolaan Keluhan Publik

a. Di dalam tingkatan peraturan perundang-undangan yang lebih konkrit,


khususnya Kepmenpan No. 63/2003, masalah Keluhan terhadap
penyelenggaraan pelayanan publik sudah ditetapkan secara lebih konkrit, dan
merupakan bagian dari Pengawasan terhadap kinerja instansi penyelenggara
pelayanan publik 58 .

b. Sistem Pengelolaan Keluhan Publik, secara umum telah diatur sebagai


pedoman di dalam Paragraf V Butir J tentang Penyelesaian Pengaduan dan
Sengketa yang sekurang-kurangnya meliputi:

o Prosedur /tata cara penyampaian dan penyelesaian pengaduan;

o Penentuan pejabat untuk menyelesaikan pengaduan;

o Prioritas penyelesaian pengaduan;

o Rekomendasi Penyelesaian pengaduan;

o Respons/tanggapan yang harus terjadi setelah pengaduan diterima (yang


tentunya harus diwujudkan berdasarkan prinsip-prinsip perilaku
administrasi yang baik) dan pemantauan serta evaluasi penyelesaian
pengaduan;

o Pelaporan proses dan hasil penyelesaian pengaduan kepada pimpinan;

o Penyampaian hasil penyelesaian pengaduan kepada pihak masyarakat


pengadu;

o Dokumentasi penyelesaian pengaduan;

o Aturan-aturan pokok yang menyangkut perlindungan terhadap fihak


pengadu/pelapor (baik internal maupun eksternal instansi);

o Prosedur penyelesaian sengketa, seandainya masalah yang menjadi


obyek pengaduan tidak terselesaikan dan menjadi sengketa hukum. Tim
berpendapat bahwa untuk jenis-jenis pelayanan publik tertentu,

58
Lihat Paragraf V, Butir I.3 tentang Pengawasan Masyarakat;

161
penyelesaian dapat dilakukan dengan metode alternatif penyelesaian
sengketa (MAPS), dengan mengacu pada UU No. 30 tahun 1999.

c. Bila ditinjau dari sifat Kepmenpan No. 63/2003 yang dimaksudkan sebagai
pedoman bagi instansi-instansi penyelenggara pelayanan publik di Indonesia,
maka pengembangan elemen-elemen di atas ke dalam aturan-aturan atau
petunjuk yang bersifat teknis sebenarnya diserahkan kepada masing-masing
instansi sesuai dengan kebutuhan dan kekhasan bidang dan jenis pelayanan
publiknya masing-masing. Namun demikian, suatu petunjuk teknis yang
masih dapat dianggap berada pada level nasional dapat dijumpai pada
Kepmenpan No. 26/2004, khususnya di dalam Paragraf IV tentang
Pengaduan Masyarakat.

d. Umumnya pandangan yang berhasil diperoleh Tim menunjukkan bahwa


Biro-biro Hukum pada instansi-instansi pelayanan publik sebaiknya tidak
difungsikan sebagai bagian yang menangani keluhan-keluhan masyarakat
mengenai pelayanan instansi yang bersangkutan. Penolakan ini juga berlaku
atas Unit-unit Hubungan Kemasyarakatan (humas) yang ada pada
instansi-instansi publik. Alasan utama dari penolakan ini adalah karena kedua
unit ini umumnya lebih cenderung menempatkan diri sebagai unit yang
berfihak pada instansi induknya, dan kurang dapat bersikap obyektif dalam
mengelola keluhan-keluhan yang diajukan oleh masyarakat. Unit-unit humas
mungkin dapat difungsikan sebagai unit yang akan menampung dan
menseleksi keluhan-keluhan yang masuk, dan secara sistematis menyalurkan
keluhan-keluhan itu kepada unit-unit pelaksana yang secara langsung
berkaitan dengan substansi keluhan untuk ditangani lebih lanjut. Sementara
proses penanganan itu berlangsung, melalui proses monitoring yang baik unit
Humas dapat selalu memiliki informasi mutakhir mengenai perkembangan
proses penanganan keluhan serta keputusan yang dapat diperoleh oleh
masyarakat pengaju-keluhan.

162
DAFTAR PUSTAKA

Bintoro Tjokroaminoto, Prof. H, Manajemen Pembangunan, Masagung, Jakarta,


1987.

Corruption Research Centre dan UNDP di Negara Georgia digunakan istilah Public
Servant. Draft disusun oleh Khidashelli, Vazha, Gegidze, Thea, Corruption
Research Centre, Tbilisi, Georgia, 2001, http://crc.gateway.ge/

Development Administration Circular No. 1/1992, Guide Guide On Total Quality


Management In The Public Service, Malaysia, 1992

Dimock, Marshall E, Dimock, Gladys Ogden, Fox, Douglas M., Administrasi


Negara, Terjemahan, Edisi ke 5, Erlangga, 1986.

Frida Rustiani, Perizinan Usaha Kecil di Indonesia, Policy Paper, Partnership for
Economic Growth, Ministry of Industry and Trade, Jakarta, 2001.

Ibrahim, R, BUMN dan Kepentingan Umum, Citra Aditya Bakti Bandung: 1997

Ilyas Saad, DR., Implementasi Otonomi Daerah Sudah Mengarah Pada Penciptaan
Distorsi dan High Cost Economy, Makalah, Seminar PEG-USAID tentang
Decentralization, Regulatory Reform and the Business Climate, Jakarta, 2003.

International Federation of Accountants, Corporate Governance in The Public


Sector: A Governing Body Perspective, Juli 2000.

International Monetary Fund, Good Governance, The IMFs Role, washington D.C.,
1997, Sumber : http://www.imf.org/external/pubs/ft/exrp/govern/

Komisi Hukum Nasional & Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan,


Prosedur Penyampaian Keluhan Publik, Laporan Akhir Penelitian, 2001-2002;

163
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Sistem Administrasi Negara
Republik Indonesia, edisi 3, Gunung Agung, Jakarta, 1997.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Konsepsi Pengaturan RUU tentang


Pelayanan Publik, Naskah Akademik dalam rangka Permohonan Persetujuan
Prakarsa Penyusunan RUU tentang Pelayanan Umum, 2004.

Ministry of Justice of the Kingdom of the Netherlands, General Administrative


Law Act.

Nazir, Mohammad, Ph.D., Metode Penelitian, Ghalia Indonesia

Official Journal of the European Communities, Code of Good Administrative


Behaviour: Relatons ewith the Public General Principles of Good Administration,
European Commission, 2000, OJL 267,20.20.2000.

Organization for Economic Cooperation and Development, OECD Principles of


Good Governance, OECD Council, 1998, Sumber:
http://www1.oecd.org/daf/governance/principles.htm

Rodrik, Dani, Four Simple Principles for Democratic Governance of Globalization,


Harvard University, May 2001, Sumber: http://www.demglb.de/rodrikpaper.html

Shergold, Peter, Ethics and the Changing Nature of Public Service, makalah pada The
Fifth International Conference on Public Sector Ethics Between Past and
Future, Australia, 1996 http://www.apsc.gov.au/media/shergold050896.htm

Sderman, Jacob, The European Code of Good Administrative Behaviour, The


European Ombudsman, 2001

164
Tim Peneliti FIKB PPs PSIA-FISIP UI, Studi Awal tentang Kinerja Pemerintah
Daerah Kota Dilihat dari Kualitas Pelayanan Kesehatan, Pasar dan IMB, Executive
Summary, Sumber: Http://www.forum-inovasi.or.id

Tim Restrukturisasi PT. PLN (Persero) UBD Jabar Banten, Restrukturisasi PT.
PLN (Persero) Distribusi Jabar, Banten Edisi 2.02. Bandung, 2 Oktober 2001;

United States Department of State, Accountability Good Governance Is Good for


Businesses and Governments, Bureau for International Narcotics and Law
Enforcement Affairs, May, 2001, Sumber:
http://www.state.gov/g/inl/rls/rpt/fgcrpt/2001

DAFTAR PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-undang Republik Indonesia No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang-undang Republik Indonesia No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan
Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat;

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia No.


63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan
Publik;

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Imdonesia, No.


25/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan
Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah;

165
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia, No.
26/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas
Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

166

You might also like