You are on page 1of 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Suku kata polisitemia (bahasa Yunani) mengandung arty poly (banyak),
cyt (sel), dan hemia (darah) adalah suatu penyakit kelaianan pada sistem
mieloproliferatif dimana terjadi klon abnormal pada hemopoitik sel induk
(hematopoietic stem cells) dengan peningkatan sensitivitas pada growth factors
yang berbeda untuk terjadinya maturasi yang berakibat terjadinya peningkatan
banyak sel.
Istilah polisitemia memberikan beberapa arti yang berbeda. Secara
langsung, istilah ini harus digunakan dalam bidang terluas yang berarti sel darah
merah yang berlebihan per unit volume darah, tanpa memandang penyebab
dasarnya. Beberapa klinisi telah membatasi istilah polisitemia terhadap kondisi
dimana terlihat peningkatan massa sel darah merah dan menggunakan istilah
polisitemia relative untuk semua gangguan dimana kontraksi volume plasma
merupakan penyebabnya.
Pada polisitemia, peningkatan volume sel darah merah disebabkan oleh
mieloproliferasi endogen. Sifat sel asal dari cacat dikemukakan pada banyak
pasien oleh overproduksi granulosit dan trombosit seperti sel darah merah.
Permasalahan yang ditimbulkan pada polisitemia berkaitan dengan massa eritrosit,
basofil dan trombosit yang betambah, serta perjalanan alamiyah penyakit menuju
ke arah fibrosis sumsum tulang.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai polisitemia mencakup definisi,
etiologi, patofisiologi, penegakkan diagnosis khususnya gambaran dari
pemeriksaan radiologis yang mungkin ditemukan, diagnosis banding, serta
penatalaksanaannya.

2
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan referat ini adalah sebagai syarat ujian stase
radiologi program pendidikan profesi dokter umum periode 38 Fakultas
Kedokteran UMY.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Polisitemia vera, merupakan suatu penyakit atau kelainan pada sistem
mieloproliferatif yang melibatkan unsur-unsur hemopoetik dalam sumsum tulang.
Mulainya diam-diam tetapi progresif, kronik dan belum diketahui penyebabnya.
Seperti diketahui pada orang dewasa sehat, eritrosit, granulosit, dan trombosit
yang beredar dalam darah tepi diproduksi dalam sumsum tulang. Seorang dewasa
yang berbobot 70 kg akan menghasilkan 1 x 1011 neutrofil dan 2 x 1011 eritrosit
setiap harinya.

B. Epidemiologi
Polisitemia vera biasanya mengenai pasien berumur 40-60 tahun,
walaupun kadang-kadang ditemukan + 5% pada mereka yang berusia lebih muda.
Angka kejadian polisitemia vera ialah 7 per satu juta penduduk dalam setahun.
Penyakit ini dapat terjadi pada semua ras/bangsa, walaupun didapatkan angka
kejadian yang lebih tinggi di kalangan bangsa Yahudi. Pada pria didapatkan dua
kali lebih banyak dibandingkan pada wanita.

C. Etiologi
Sebagai suatu penyakit neoplastik yang berkembang lambat, policitemia
terjadi karena sebagian populasi eritrosit berasal dari satu klon induk darah yang
abnormal. Berbeda dengan keadaan normalnya, sel induk darah yang abnormal ini
tidak membutuhkan eritropoetin untuk proses pematangannya (eritropoetin
serum , 4 mU/mL). Hal ini jelas membedakannya dari eritrositosis atau
polisitemia sekunder dimana eritropoetin tersebut meningkat secara fisiologis
(wajar sebagai kompensasi atas kebutuhan oksigen yang menigkat), biasanya pada
keadaan dengan saturasi oksigen arteiral rendah, atau eritropoetin tersebut
meningkta secara non fisiologis (tidak wajar) pada sindrom paraneoplastik
manifestasi neoplasma lain yang mensekresi eritropoetin. Di dalam sirkulais darah
tepi pasien polisitemia vera didapati peninggian nilai hematokrit yang

4
menggambarkan terjadinya peningkatan konsentrasi eritrosit terhadap plasma,
dapat mencapai . 49% pada wanita (kadar Hb . 16 mg/dL) dan . 52% pada pria
(kadar Hb . 17 mg/dL), serta didapati pula peningkatan jumlah total eritrosit
(hitung eritrosit >6 juta/mL). Kelainan ini terjadi pada populasi klonal sel induk
darah (sterm cell) sehingga seringkali terjadi juga produksi leukosit dan trombosit
yang berlebihan.

D. Manifestasi Klinis
Permasalahan yang ditimbulkan berkaitan dengan massa eritrosit, basofil,
dan trombosit yang bertambah, serta perjalanan alamiah penyakit menuju ke arah
fibrosis sumsum tulang. Fibrosis sumsum tulang yang ditimbulkan bersifat
poliklonal dan bukan neoplastik jaringan ikat.
Tanda dan gejala yang predominan pada polisitemia vera adalah sebagai
akibat dari :
1. Hiperviskositas
Peningkatan jumlah total eritrosit akan meningkatkan viskositas darah
yang kemudian akan menyebabkan :
o penurunan kecepatan aliran darah (shear rate), lebihjauh lagi akan
menimbulkan eritrostasis sebagai akibat penggumpalan eritrosit.
o penurunan laju transpor oksigen
Kedua hal tersebut akan mengakibatkan terganggunya oksigenasi jaringan.
Berbagai gejala dapat timbul karena terganggunya oksigenasi organ
sasaran (iskemia/infark) seperti di otak, mata, telinga, jantung, paru, dan
ekstremitas.
2. Penurunan shear rate
Penurunan shear rate akan menimbulkan gangguan fungsi hemostasis
primer yaitu agregasi trombosit pada endotel. Hal tersebut akan
mengakibatkan timbulnya perdarahan, walaupun jumlah trombosit >450
ribu/mL. Perdarahan terjadi pada 10-30% kasus policitemia,
manifestasinya dapat berupa epistaksis, ekimosis, dan perdarahan
gastrointerstinal.

5
3. Trombositosis (hitung trombosit >400.000/mL).
Trombositosis dapat menimbulkan trombosis. Pada policitemia tidak ada
korelasi trombositosis dengan trombosis. Trombosis vena atau
tromboflebitis dengan emboli terjadi pada 30-50% kasus policitemia.
4. Basofilia (hitung basofil >65/mL)
Lima puluh persen kasus policitemia datang dengan gatal (pruritus) di
seluruh tubuh terutama setelah mandi air panas, dan 10% kasus polisitemia
vera datang dengan urtikaria suatu keadaan yang disebabkan oleh
meningkatnya kadar histamin dalam darah sebagai akibat adanya basofilia.
Terjadinya gastritis dan perdarahan lambung terjadi karena peningktana
kadar histamin.
5. Splenomegali
Splenomegali tercatat pada sekitar 75% pasien polisitemia vera.
Splenomegali ini terjadi sebagai akibat sekunder hiperaktivitas
hemopoesis ekstramedular.
6. Hepatomegali
Hepatomegali dijumpai pada kira-kira 40% polisitemia vera. Sebagaimana
halnya splenomegali, hepatomegali juga merupakan akibat sekunder
hiperaktivitas hemopoesis ekstramedular.
7. Laju siklus sel yang tinggi
Sebagai konsekuensi logis hiperaktivitas hemopoesis dan splenomegali
adalah sekuestasi sel darah makin cepat dan banyak dengan demikian
produksi asam urat darah akan meningkat. Di sisi lain laju filtrasi
gromerular menurun karena penurunan shear rate. Artritis Gout dijumpai
pada 5-10% kasus polisitemia vera.
8. Difisiensi vitamin B12 dan asam folat.
Laju silkus sel darah yang tinggi dapat mengakibatkan defisinesi asam folat
dan vitamin B12. Hal ini dijumpai pada + 30% kasus policitemia karena
penggunaan/ metabolisme untuk pembuatan sel darah, sedangkan kapasitas
protein tidak tersaturasi pengikat vitamin B12 (UB12 – protein binding

6
capacity) dijumpai meningkat pada lebih dari 75% kasus. Seperti diketahui
defisiensi kedua vitamin ini memegang peranan dalam timbulnya kelainan
kulit dan mukosa, neuropati, atrofi N.optikus, serta psikosis.
E. Perjalanan Klinis
a. Fase eritrositik atau fase polisitemia
Fase ini merupakan fase permulaan. Pada fase ini didapatkan peningkatan
jumlah eritrosit yang dapat berlangsung hingga 5-25 tahun. Pada fase ini
dibutuhkan flebotomi secara teratur untuk mengendalikan viskositas darah
dalam batas normal.
b. Fase burn out (terbakar habis ) atau spent out (terpakai habis)
Dalam fase ini kebutuhan flebotomi menurun sangat jauh atau pasien
memasuki periode panjang yang tampaknya seperti remisi, kadang-kadang
timbul anemia tetapi trombositosis dan leukositosis biasanya menetap.
c. Fase mielofibrotik
Jika terjadi sitopenia dan splenomegali progresif, manifestasi klinis dan
perjalanan klinis menjadi serupa dengan mielofibrosis dan metaplasia mieloid.
Kadang-kadang terjadi metaplasia mieloid pada limpa, hati,. kelenjar getah
bening dan ginjal.
d. Fase terminal
Pada kenyataannya kematian pasien dengan polisitemia vera diakibatkan oleh
komplikasi trombosis atau perdarahan. Kematian karena mielofibrosis terjadi
pada kurang dari 15%. Kelangsungan hidup rerata (median survival) pasien
yang diobati berkisar antara 8 dan 15 tahun, sedangkan pada pasien yang tidak
mendapat pengobatan hanya 18 bulan. Dibandingkan dengan pengobatan
flebotoni saja, risko terjadinya leukimia akut meningkat 5 kali jika pasien
diberi pengobatan fosfor P32 dan 13 kali jika pasien mendapat obat sitostatik
seperti klorambusil
F. Penegakkan Diagnosa
International Polycythemia Study Group kedua menetapkan 2 kriteria
pedoman dalam menegakkan diagnosis polisitemia vera dari 2 kategori
diagnostik. Diagnosis polisitemia dapat ditegakkan jika memenuhi kriteria :
a. Dari kategori : A1 + A2 + A3, atau

7
b. Dari kategori : A1 + A2 + 2 kategori B

Kategori A
1. Meningktanya massa sel darah merah diukur dengan krom-radioaktif Cr51.
Pada pria > 36 mL/kg, dan pada wanita > 32 mL/kg.
2. Saturasi oksigen arterial > 92%. Eritrositosis yang terjadi sekunder terhadap
penyakit atau keadaan lainnya juga disertai massa sel darah merah yang
meningkat. Salah satu pembeda yang digunakan adalah diperiksanya saturasi
oksigen arterial. Pada polisitemia vera tidak didapatkan penurunan. Kesulitan
ditemui apabila pasien tersebut berada dalam keadaan :
o Alkalosis respiratorik, dimana kurva disosiasi pO2 akan bergeser ke kiri,
dan
o Hemaglobinopati, dimana afiitas oksigen meningkat sehingga kurva pO2
juga akan bergeser ke kiri.
3. Splenomegali
Kategori B
1. Trombositosis : Trombosit > 400.00/mL
2. Leukositosis : Leukosit > 12.000/mL (tidak ada infeksi)
3. Leukosit 12alkali fosfatase (LAF) score meningkat dari 100 (tanpa adanya
panasa atau infeksi)
4. Kadar vitamin B12 > 900pg?mL dan atau UB12BC dalam serum > 2200 pg/mL
Pemeriksaan Laboratorium
1. Eritrosit
Untuk menegakkan diagnosis polisitemia vera, peninggian massa eritrosit
haruslah didemonstrasikan pada saat perjalanan penyakit ini. Pada hitung
sel jumlah eritrosit dijumpai > 6 juta/mL, dan sediaan apus eritrosit
biasanya normokrom, normositik kecuali jika terdapat defisiensi besi.
Poikilositosis dan anisositosis menunjukkan adanya transisi ke arah
metaplasia meiloid di akhir perjalanan penyakit ini.

8
2. Granulosit
Granulosit jumlahnya meningkat terjadi pada 2/3 kasus policitemia,
berkisar antara 12-25 ribu/mL tetap dapat sampai 60 ribu?mL. Pada dua
pertiga kasus ini juga terdapat basofilia.
3. Trombosit
Jumlah trombosit biasanya berkisar antara 450-800 ribu/mL, bahkan dapat
> 1 juta/mL. Sering didapatkan dengan morfologi trombosit yang
abnormal.
4. B12 Serum
B12 serum dapat meningkat, hal ini dijumpai pada 35 % kasus, tetapi
dapat pula menurun, yaitu pada + 30% kasus, dan kadar UB12BC
meningkat pada > 75% kasus policitemia.
5. Pemeriksaan sumsum tulang
Pemeriksaan ini tidak diperlukan untuk diagnostik, kecuali bila ada
kecurigaan terhadap penyakit mieloproliferatif lainnya seperti adanya sel
blas dalam hitung jenis leukosit. Sitologi sumsum tulang menunjukkan
peningkatan selularitas normoblastik berupa hiperplasi trilinier seri
eritrosit, megakariosit, dan mielosit. Sedangkan dari gambaran
histopatologi sumsum tulang adanya bentuk morfologi megakariosit yang
patologis/abnormal dan sedikit fibrosis merupakan petanda patognomonik
policitemia.
6. Pemeriksaan sitogenetik
Pada pasien policitemia yang belum mendapat pengobatan P53 atau
kemoterapi sitostatik dapat dijumpai kariotip 20q-,=8,+9,13q-,+1q. Variasi
abnormalitas sitogenetik dapat dijumpai selain bentuk tersebut di atas
terutama jika pasien telah mendapatkan pengobatan P53 atau kemoterapi
sitostatik sebelumnya.

G. Komplikasi
Komplikasi dari spondilitis tuberkulosis yang paling serius adalah Pott’s
paraplegia yang apabila muncul pada stadium awal disebabkan tekanan

9
ekstradural oleh pus maupun sequester, atau invasi jaringan granulasi pada medula
spinalis dan bila muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya
fibrosis dari jaringan granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis
spinalis.
Mielografi dan MRI sangatlah bermanfaat untuk membedakan penyebab
paraplegi ini. Paraplegi yang disebabkan oleh tekanan ekstradural oleh pus
ataupun sequester membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi
medulla spinalis dan saraf.
Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah ruptur dari abses
paravertebra torakal ke dalam pleura sehingga menyebabkan empiema
tuberkulosis, sedangkan pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot
iliopsoas membentuk psoas abses yang merupakan cold abscess.

H. Diagnosa Banding
9. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative
spondylitis).Adanya sklerosis atau pembentukan tulang baru pada foto
rontgenmenunjukkan adanya infeksi piogenik. Selain itu keterlibatan dua
ataulebih corpus vertebra yang berdekatan lebih menunjukkan adanya
infeksituberkulosa daripada infeksi bakterial lain.
10. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid).
Dapat dibedakan dari pemeriksaan laboratorium.
11. Tumor/penyakit keganasan (leukemia, Hodgkin’s disease,
eosinophilicgranuloma, aneurysma bone cyst dan Ewing’s sarcoma)
Metastase dapat menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebratetapi
berbeda dengan spondilitis tuberkulosa karena ruang diskusnya
tetapdipertahankan. Secara radiologis kelainan karena infeksi
mempunyaibentuk yang lebih difus sementara untuk tumor tampak suatu lesi
yangberbatas jelas.
12. Scheuermann’s disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa
olehkarena tidak adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian
sudutsuperior dan inferior bagian anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal.

10
I. Penatalaksanaan
A. Prinsip pengobatan
1. Menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat normal kasus (individual) dan
mengendalikan eritropoesis dengan flebotomi.
2. Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik/ polisitemia yang belum
terkendali.
3. Menghindari pengobatan berlebihan (over treatment)
4. Menghindari obat yang mutagenik, teragenik dan berefek sterilisasi pada pasien
usia muda.
5. Mengontrol panmielosis dengan fosfor radioaktif dosis tertentu atau kemoterapi
sitostatik pada pasien di atas 40 tahun bila didapatkan :
- Trombositosis persisten di atas 800.00/mL, terutama jika disertai gejala
trombosis
- Leukositosis progresif
- Splenomegali yang simtomatik atau menimbulkan sitopenia problematik
- Gejala sistemis yang tidak terkendali seperti pruritus yang sukar dikendalikan,
penurunan berat badan atau hiperurikosuria yang sulit diatasi.
B. Media Pengobatan
1. Flebotomi
Flebotomi dapat merupakan pengobatan yang adekuat bagi seorang apsien
polisitemia
selama bertahun-tahun dan merupakan pengobatan yang dianjurkan.
Indikasi flebotomi :
- polisitemia vera fase polisitemia
- polisitemia sekunder fisiologis hanya dilakukan jika Ht > 55 % (target Ht <
55%)
- polisitemia sekunder nonfisiologis bergtantung pada derajat beratnya gejala yang
ditimbulkan akibat hiperviskositas dan penurunan shear rate, sebagai
penatalaksanaas
terbatas gawat darurat sindrom paraneoplastik.

11
Pada policitemia tujuan prosedur flebotomi tersebut adalah mempertahankan
hematokrit < 42%
pada wanita, dan < 47% pada pria untuk mencegah timbulnya hiperviskositas dan
penurunan shear rate. Indikasi flebotomi terutama pada semua pasien pada
permulaan penyakit, dan pada pasien yang masih dalam usia subur.
2. Kemoterapi Sitostatika
Tujuan pengobatan kemoterapi sitostatik adalah sitoreduksi. Saat ini lebih
dianjurkan menggunakan Hidroksiurea salah satu sitostatik golongan obat
antimetabolik, sedangkan penggunaan golongan obat alkilasi sudah banyak
ditinggalkan atau tidak dianjurkan lagi karena afek leukemogenik, dan
mielosupresi yang serius. Walaupun demikian, FDA masih membenarkan
klorambusil dan Busulfan digunakan pada policitemia.
indikasi penggunaan kemoterapi sitostatik :
- hanya untuk polisitemia rubra primer (policitemia)
- flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan . 2 kali sebulan
- trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis
- urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan antihistamin
- splenomegali simtomatik/mengancam ruptur limpa
Cara pemberian kemoterapi sitostatik :
- Hidroksiurea (Hydrea 500 mg/tablet) dengan dosis 800-1200 mg/m2/hari atau
diberikan sehari 2 kali dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali, jika telah tercapai target
dapat dilanjutkan dengan pemberian intermiten untuk pemeliharaan.
- Klorambusil (Leukeran 2 mg/tablet) dengan dosis induksi 0,1-0,2 mg/kgBB/hari
selama 3-6 minggu, dan dosis pemeliharaan 0,4 mg/kgBB tiap 2-4 minggu. o
Busulfan (Myleran 2 mg/tablet) 0,06 mg/kgBB/hari atau 1,8mg/m2/hari, jika telah
tercapai target dapat dilanjutkan dengan pemberian intermiten untuk
pemeliharaan.
Pasien dengan pengobatan cara ini harus diperiksa lebih sering (sekitar 2 sampai 3
minggu sekali). Kebanyakan klinisi menghentikan pemberian obat jika hematokrit
:
- Pada pria < 47% dan memberikannya lagi jika > 52%
- Pada wanita < 42% dan memberikannya lagi jika > 49%

12
3. Fosfor Radiokatif (P32)
Pengobatan ini efektif, mudah dan relatif murah untuk pasien yang tidak
kooperatif atau dengan keadaan sosiekonomi yang tidak memungkinkan untuk
berobat secara teratur. P32 pertama kali diberikan dengan dosis sekitar 2-
3mCi/m2 secar intravena, apabila diberikan per oral maka dosis dinaikkan 25%.
Selanjutnya jika setelah 3-4 minggu pemberian P32 pertama :
- mendapatkan hasil, reevaluasi setelah 10-12 minggu. Jika diperlukan dapat
diulang akan tetapi hal ini jarang dibutuhkan,
- tidak mendapatkan hasil, selanjutnya dosis kedua dinaikkan 25% dari dosis
pertama, dan diberikan sekitar 10-12 minggu setelah dosis pertama.
Panmeiosis dapat dikontrol dengan cara ini pada sekutar 80% pasien untuk jangka
waktu 1-2 bulan dan mungkin berakhir 2 tahun atau lebih lama lagi. Sitopenia
yang serius setelah pengobatan ini jarang terjadi. Pasien diperiksa sekitar 2-3
bulan sekali setelah keadaan stabil.
Trombositosis dan trombositemia yang mengancam (hiperagregasi) atau terbukti
menimbulkan trombosis masih dapat terjadi emskipun eritrositosis dan
leukositosis dapat terkendali.
4. Kemoterapi Biologi (Sitokin)
Tujuan pengobatan dengan produk biologi pada polisitemia vera terutama untuk
mengontrol trombositemia (hitung trombosit . 800.00/mm3), produk biologi yang
digunakan adalah Interferon (Intron-A 3&5 juta IU, Roveron-A 3 & 9 juta IU)
digunakan terutama pada keadaan trombositema yang tidak dapat dikendalikan.
Dosis yang dianjurkan 2 juta IU/m2/subkutan atau intramuskular 3 kali seminggu.
Kebanyakan klinisi mengkombinasikannya dengan sitostatik Siklofosfamid
(Cytoxan 25 mg & 50 mg/tablet) dengan dosis 100mg/m2/hari, selama 10-14 ahri
atau target telah tercapai (hitung trombosit < 800.000/mm3) kemudian dapat
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 100mg/m3 1-2 kali seminggu.
5. Pengobatan Suportif
a. Hiperurisemia diobati dengan alopurinol 100-600 mg/hari oral pada pasien
dengan penyakit yang aktif dengan memperhatikan fungsi ginjal.

13
b. Pruritus dan urtikaria dapat diberikan anti histamin, ika diperlukan dapat
diberikan Psoralen dengan penyinaran Ultraviolet range A (PUVA)
c. Gastritis/ulkus peptikum dapat diberikan penghambat reseptor H2
d. Antiagregasi trombosit Analgrelide turunan dari Quinazolin disebutkan juga
dapat menekan trombopoesis.
C. PEMBEDAHAN PADA PASIEN POLICITEMIA
Pembedahan Darurat
Sedapat-dapatnya ditunda atau dihindari. Dalam keadaan darurat, dilakukan
flebotomi agresif dengan pronsip isovolemik dengan mengganti plasma yang
terbuang dengan plasmafusin 4% atau cairan plasma ekspander lainnya, bukan
cairan isotonis/ garam fisiologis, suatu prosedur yang merupakan tindakan
penyelamatan hidup (life-saving).
Splenektomi sangat berbahaya untuk dilakukan pada semua fase polisitemia, dan
harus dihindari karena dalam perjalanan penyakitnya jika terjadi fibrosis sumsum
tulang organ inilah yang diharapkan sebagai pengganti hemopoesisnya.
Pembedahan Berencana
Pembedahan berencana dapat dilakukan setelah pasien terkendali dengan baik.
Lebih dari 75% pasien dengan polisitemia vera tidak terkendali atau belum diobati
akan mengalami perdarahan atau komplikasi trombosis pada pembedahan. Kira-
kira sepertiga dari jumlah pasien tersebut akan meninggal. Angka komplikasi akan
menurun jauh jika eristrositosis sudah dikendalikan dengan adekuat sebelum
pembedahan. Makin lama telah terkendali, makin kecil kemungkinan terjadinya
komplikasi pada pembedahan. Darah yang didapat dari flebotomi dapat disimpan
untuk transfusi autologus pada saat pembedahan.
BAB III
KESIMPULAN

Spondilitis tuberkulosis adalah peradangan granulomatosa yang bersifat


kronis, destruktif oleh mikrobakterium TB. TB tulang belakang selalu merupakan
infeksi sekunder dari focus ditempat lain dalam tubuh.
Gambaran klinik yang terjadi biasanya hanya berupa nyeri pinggang atau
punggung. Nyeri ini terjadi akibat reaksi inflamasi di vertebra dan sukar

14
dibedakan dengan nyeri oleh penyebab lain seperti kelainan degeneratif karena
biasanya keadaan umum penderita masih baik. Pada foto rontgen belum
didapatkan kelainan. Bila proses berlanjut, terjadi destruksi vertebra yang akan
terlihat pada foto rontgen.
Diagnosis sedini mungkin, dan dengan pengobatan yang tepat, prognosisnya
baik meskipun tanpa tindakan operatif. Penyakit dapat kambuh jika pengobatan
tidak teratur atau tidak dilanjutkan setelah beberapa saat, yang dapat
menyebabkan terjadinya resistensi terhadap pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA

Rasjad C. Spondilitis Tuberkulosa dalam Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Ed.II.


Makassar: Bintang Lamumpatue. 2003.

Harsono. Spondilitis Tuberkulosa dalam Kapita Selekta Neurologi. Ed. II.


Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 2003.

15
Hidalgo, JA. Pott Disease. [Online]. 2005 Aug 25 [cited 2008 Feb 27];[17
screens]. Available from: URL:http:www.eMedicine.com/med/topic

Tamburaf, V. Spinal Tuberculosis. [Online]. 2006 Oct [cited 2008 Des 27];[4
screens]. Available from: URL:http://www.infeksi.com

Harisinghani, MG. Tuberculosis from Head to Toe. [Online]. 1999 Feb 19 [cited
2008 Des 27];[4 screens]. Available from: URL:http://www.nejm.com

Yanardag, H. Pott Disease. [Online]. 1999 Feb 19 [cited 2008 Des 27];[5 screens].
Available from: URL:http://www.ispub.com

Sinan, T. Spinal tuberculosis: CT and MRI features. [Online]. 1999 Feb 19 [cited
2008 Des 27];[5 screens]. Available from: URL:http://www.kfshrc.edu.sa

Danchaivijitr, N. Diagnostic Accuracy of MR Imaging in Tuberculous


Spondylitis. [Online]. 2007 Feb 19 [cited 2008 Des 27];[5 screens]. Available
from: URL:http://www.medassocthai.org/journal

Wim de Jong, Spondilitis TBC, Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta; EGC.

16

You might also like