Professional Documents
Culture Documents
I. TUJUAN
II. MANFAAT
Hasil
B. Hasil MIC
Dosis
Kelompok 1 6,25 mg/ml
Kelompok 2 3,125 mg/ml
Kelompok 3 3,125 mg/ml
Kelompok 4 12,5 mg/ml
C. Hasil Pengobatan
Dosis Hari Gejala Keterangan
Dosis A 125 Rabu Sehat Hidup semua
Kamis Sirip sudah mulai geripis Hidup semua
Jumat Sirip banyak geripis, diam di Hidup semua
dasar
Sabtu Lele mati 4 (borok, geripis, kulit
ngelupas
Minggu Lele mati 4 (borok, kulit
mengelupas, kulit geripis)
Senin Tidak ada yang hidup
Selasa
Dosis B 250 Rabu Sehat Hidup semua
Kamis Sirip mulai geripis Hidup semua
Jumat Sirip banyak geripis Hidup semua
Sabtu Lele mati 5 ( borok, geripis, kulit
ngelupas)
Minggu Hidup 1
Senin Hidup 1
Selasa Hidup 1
Dosis C 375 Rabu Sehat Hidup semua
Kamis Sirip mulai geripis Hidup semua
Jumat Sirip banyak bergeripis Hidup semua
Sabtu Lele mati 5 (borok, geripis, kulit
ngelupas)
Minggu Mati
Senin Mati
Selasa Mati
Pembahasan
A. Kesimpulan
1) suatu bakteri menjadi resisten ataupun sensitif terhadap antibiotik tergantung dari
sifat bakteri tersebut serta kemampuan bakteri dalam memproduksi ensim-ensim
yang dapat merusak daya kerja obat.
2) Berdasarkan hasil bakteri aeromonas hidrophila resisten terhadap beberapa
antibiotic yaitu terramycin dan penicillin, kemudian sensitive terhadap
streptomycin dan ampicillin. Tetapi pada kelompok 3 A. hidrophila sensitive
terhadap terramycin, hal ini dimungkinkan tingkat virulensi dari bakteri A.
hidrophila yang digunakan berbeda-beda.
3) MIC yang digunakan adalah 3,125 mg/ml, karena dosis tersebut sudah dapat
menghambat pertumbuhan bakteri.
4) Perlindungan obat tergantung dari kemangkusan obat itu sendiri, karena obat-
obatan tidak meningkatkan daya tahan tubuh tetapi justru menekan immunitas
tubuh bahkan dapat menekan laju pertumbuhan.
5) Keefektifan antibiotik tergantung dari patogenesitas bakteri yang dimaksud.
6) Daya kerja obat akan baik pada saat bakteri melakukan pembelahan sel dan
sebaliknya apabila bakteri tidak berada pada fase tersebut maka bakteri tersebut
relatif resisten terhadap antibiotik yang digunakan.
B. Saran
1) Coba gunakan strain bakteri yang lebih pathogen lagi untuk melihat keefektifan
antibiotic yang digunakan sehingga dapat terlihat lebih jelas mana antibiotic yang
benar-benar dapat menghambat bakteri tersebut baik itu dengan dosis tinggi
maupun dengan dosis rendah.
2) Sebaiknya penggunaan antibiotik dengan dosis tertentu harus lebih diperhatikan
karena apabila terjadi kelebihan dosis yang menyebabkan lokus kerja obat pada
ribosom bakteri berubah maka bakteri tidak lagi sensitive terhadap obat golongan
tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2002. Pengelolaan Kesehatan Ikan Budidaya Laut. Balai Budidaya Laut
lampung. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Depatremen Perikanan dan
kelautan, Lampung.
Kamiso H. N., Triyanto, Sri H., 1997. Uji Antigenesitas Dan Efikasi Vaksin Aeromonas
Hidrophila Pada Lele Dumbo (Clarias Gariepinus). Jurnal Perikanan Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.
Kordi, K., dan Ghufran H., 2004. Penanggulangan Hama Dan Penyakit Ikan. Rineka
Cipta Dan Bina Adiaksara. Jakarta.
Lewis, E. H., J. Tarpley,. T. Marks and R. F. Sois., 1985. Drug Induced Structural
Changes In Olfactory Organs Of Channel Catfish Ictalurus Punctatus. J. Fish.
Boil., 26 : 355-358
McDaniel, D., 1979. Fish Health Blue Book. Procedure For The Detection And
Adentification Of Certain Fish Pathogen. Fish Health Section. American Fish.
Soc., 47-48
Rijkers, G. T., R. Van Dostrerom and W.B. Van Muiswinkel, 1981.The Immune System
Of Cyprinid Fish, Oxytetracycline And The Regulation Of Humoral Immunity In
Carp. Vet. Immunol. Immunopathol., 2 : 281-290.
Sujudi, H. Dkk., 1993. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa Aksara. Jakarta.
Wu, J., H. Lin, L. Jan, Y. Hsu dan L. Chang, 1981. Biological Control Of Fish Bacterial
Pathogen, Aeromonas Hidrophila By Bacteriophage AH 1. Fish pathol., 15 (3/4) :
271-276.
C. VAKSINASI
I. TUJUAN
II. MANFAAT
Pembuatan vaksin dewasa ini ada beberapa cara. Johnson dan Amend (1984),
membuat vaksin dengan inaktivasi bakteri dengan menggunakan larutan formalin.
Sedang Itami dan Kusuda (1980), disamping dengan cara tersebut, mereka juga membuat
vaksin dengan cara pemanasan pada suhu 100 oC dan ultrasonikasi.
Menurut Dorson (1984), cara vaksinasi yang ditempuh sangat menentukan
keberhasilan imunisasi. Diantara cara-cara tersebut adalah injeksi peritoneal, injeksi
intramuskular, merendam dalam suspensi vaksin, menyemprotkan suspensi vaksin
bertekanan tinggi ke tubuh ikan dan dengan melalui makanan atau oral (Souter, 1984).
Faktor lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan vaksinasi menurut Souter (1984),
adalah kisaran suhu, ukuran, dan spesies ikan.
Vaksin itu sendiri adalah satu antigen yang biasanya berasal dari suatu jasad
patogen yang telah dilemahkan atau dimatikan, ditujukan untuk meningkatkan ketahanan
(kekebalan) ikan atau menimbulkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit tertentu.
Vaksinasi merupakan sala satu upaya penanggulangan penyakit pada hewan (termasuk
ikan) dengan cara pemberian vaksin ke dalam tubuh hewan agar memiliki ketahanan
terhadaop serangan penyakit. Teknik pemakaian vaksin yang biasa dilakukan pada ikan
mencakup bermacam cara, yaitu : melalui suntikkan, melalui makanan atau oral,
perendaman, dan penyemprotan dengan tekanan tinggi (Kordi dan Ghufran, 2004).
Pada tingkat aplikasi di lapangan hasil vaksinasi akan sangat dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan terutama kualitas air (Ellis, 1988). Karena kualitas air akan
mempengaruhi kondisi ikan dan tanggapan ikan terhadap vaksinasi (Roberts, 1993).
Dalam hal ini vaksinasi diduga dapat meningkatkan daya tahan tidak saja humoral tetapi
juga seluler. Dalam petahanan tubuh antara humoral dan seluler tidak saja bekerja
sendiri-sendiri tetapi juga saling bekerja sama (Einsen, 1980; Rijkers and Van
Muiswinkel, 1977). Menurut Einsen (1980), vaksinasi adalah usaha untuk meningkatkan
antibodi spesifik. Meningkatnya antibodi tidak saja akan meningkatkan kemampuan
pertahanan humoral tetapi juga pertahanan seluler (cell-mediated immunity) sehingga
hasil kerja masing-masing maupun hasil kerja antara pertahanan humoral dan seluler
meningkat.
Menurut hasil penelitian yang ditemukan oleh Lillehaug (1991), mngatakan
bahwa benih ikan salmon yang di vaksin vibrio pertumbuhannya lebih lambat sekitar 2,9
% daripada yang tidak divaksin. Hal ini diduga karena pengaruh padat penebaran dan
efek samping vaksin. Ikan yang divaksin tingkat kematiannya lebih rendah sekitar
setengahnya daripada yang tidak divaksin sehingga kepadatannya lebih tinggi dua kali
lipat. Kepadatan yang tinggi menyebabkan pertumbuhan yang lebih lambat. Sedang
tentang efek sampingan vaksin terhadap pertumbuhan belum diketahui dengan jelas
mekanismenya.
Menurut Chusing (1942) dalam Anderson (1974), antibodi baru terbentuk setelah
sekitar 4 hari pada suhu 28 oC. Kamiso (1986), melaporkan pada ikan salmon bahwa titer
antibodi baru positip satu minggu setelah vaksinasi (suhu 12-18 oC).
Menurut Sujudi dkk. (1993), teori pembentukan antibodi : mekanisme sebenarnya
dari pembuatan antibodi sebagai reaksi atas masuknya antigen belum diketahui secara
pasti. Walaupun demikian telah diajukan beberapa teori dan setidaknya teori-teori ini
dapat memberi gambaran mengenai masalah sintesa antibodi ditinjau dari beberapa sudut.
Sebuah teori akan memuaskan bila dapat menjelaskan beberapa hal yang penting :
1) Derajat khas yang tinggi mengenai antibodi
2) Pembentukan antibodi dalam jumlah yang besar sebagai reaksi atas masuknya
antigen yang sedikit
3) Peristiwa reaksi imun sekunderdengan pembentukan antibodi yang cepatdan
jumlahnya lebih banyak
4) Kemampuan sel pembentuk antibodi untuk mengenal antigen berasal dari
jaringan sendiri dan tidak membuat antibodi terhadapnya.
I. Selective Theory (EHRLICH, 1900)
Menurut teori ini pada permukaan setiap sel pembuat antibodi di dalam badan
terdapat gugusan-gugusan kimia yang khas, disebut side chain (sidechain theory),
semacam receptor yang berfungsi seperti antibodi dan dapat mengikat antigen yang
sesuai untuknya. Antigen itu akan merusak reseptor yang berlebihan dan dilepaskan oleh
sel ke dalam serumsebagai antibodi.
IV. METODOLOGI
A. Pembuatan Vaksin
1) Kultur murni (vibrio 4 isolat)
2) Medium TSB divortex
3) Kemudian menuangkan ke medium TSA
4) Inkubasi selama 24 jam
5) Panen
Panen
Antigen O
Inaktivasi
pemanasan
Antigen H 30 100 oC
Pencucian 1
sentrifuge
Pencucian 3
sentrifuge uji viabilitas
hitung kepadatan
B. Vaksinasi
C. Uji Tantang
1) Menyuntik ikan yang telah divaksin dengan bakteri pathogen dan PBS sebagai
kontrol, kemudian memelihara ikan selama 2 minggu.
2) Mengamati jumlah kematian ikan selama 14 hari.
3) Menghitung nilai RPS (Relative Percent Survival) sebagai berikut:
1. % kematian ikan yang divaksin
RPS = 1 -
ii. % kematian ikan yang tidak divaksin
Hasil
A. Pembuatan Vaksin
Ag kepadatan kepadatan volume PBS
2j20 3,18 108 31,8 1010 7,86 242,14
16GO 5,952108 5,9521010 4,2109 208
24SKH 5,56108 5,56 1010 44,96 205,04
2SAH 18,97108 18,971010 13,18 236,82
250 l
Vol = kepada tan X
PBS = 250 l X
B. Vaksinasi
Hasil vaksinasi
Perlakuan Hari Gejala Keterangan
Kontrol Rabu Normal
Kamis
Jumat Normal
Sabtu Normal
Minggu Normal
Senin Normal
Selasa Normal Mortalitas 0%
Vaksinasi Rabu
Kamis Normal
Jumat Normal
Sabtu Normal
Minggu Normal
Senin Normal X=10 ekor kontrol
Selasa Normal X=10ekor perlakuan
titer
antibodi
(2 )
5
n
4
perlakuan
3 kontrol
2
1
1 3 4
minggu pengamatan
C. Uji Tantang
Log ikanuji ikanmati n-r r n r Total %Mortalitas
Dosis X (r)
2 30 0 30 0 67 67 0
4 30 6 24 6 37 43 13,95
6 30 17 13 23 13 36 63,89
8 30 30 0 53 0 53 100
50 %
m = x1 + d . % 1 + 1 %
50 3,95
= 4+2 . 63 ,89 13 ,95
A. Pembuatan Vaksin
Menurut Kordi dan Ghufran (2004), vaksin adalah satu antigen yang biasanya
berasal dari suatu jasad patogen yang telah dilemahkan atau dimatikan, ditujukan untuk
menungkatkan ketahanan (kekebalan) ikan atau menimbulkan kekebalan aktif terhadap
suatu penyakit tertentu.
Vaksin berfungsi sebagai antigen stimulan untuk memacu sel-sel terspesialisasi
untuk memproduksi antibodi dan sel-sel tersebut umunya adalah limfosit (Anderson,
1974). Meskipun dari proses masuknya vaksin ke dalam tubuh ikan sampai terbentuknya
antibodi secara biokimia dan fisiologis belum diketahui dengan jelas, tetapi sampai
sekarang dikenal adanya dua imunitas pada vertebrata, yaitu imunitas sel dan imunitas
humoral. Pada prinsipnya vaksin dapat mencegah terjadinya infeksi yaitu vaksin yang
mengandung seluruh sel, dan vaksin dapat mencegah efek infeksi yaitu vaksin toxoid
clostridium (Soeripto, 2001).
Mekanisme kerjanya, sebelum vaksin dibuat lakukan kultur bakteri dan setelah
disiapkan kultur bakteri dari masing-masing isolat, bakteri diinaktivkan dengan larutan
formalin sampai 2 % dan didiamkan selama 24 jam. Kemudian sel-sel bakteri dipanen,
sel-sel bakteri yang diperoleh kemudian dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali dengan
menggunakan sentrifuse selama 10 menit pada kecepatan 3000 rpm. Sebelum vaksin
digunakan atau disimpan, diadakan uji viabilitas terlebih dahulu untuk melihat
kemungkinan adanya sel bakteri yang masih hidup. Caranya yaitu dengan mengambil
sampel dan ditumbuhkan pada medium TCBS selama 24 jam. Bila ternyata masih ada
yang hidup, inaktivasi diulangi kembali. Selanjutnya vaksin disimpan dalam refrigerator
untuk sewaktu-waktu digunakan. Antigen O (Ag O) dibuat dari kultur murni bakteri pada
medium Trypticase Soya Broth (TSB) yang telah berumur 18-24 jam. Inaktivasi bakteri
dengan cara pemanasan pada suhu 100 oC selama 30 menit. Selanjutnya dicuci dengan
Phosphate Buffer Saline (PBS) (pH 7,0) sebanyak 3 kali dengan sentrifuse (3000 rpm
selama 10 menit). Selanjutnya Ag O tersebut disimpan dalam refrigerator sampai
digunakan. Pada saat penggunaan antigen O melalui pemanasan, hal ini ditujukan agar
didapat bagian membran sel yang hanya mengandung polisakarida murni tanpa ada lagi
campuran dari lipid yang hilang karena pemanasan. Antigen H (Ag H) dibuat dengan
menginaktivasi bakteri dari kultur murni dalam medium TSB umur 18-24 jam dengan
formalin konsentrasi 2%. Selanjutnya dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali. Untuk
penggunaan selanjutnya, antigen H tersebut disimpan dalam refrigerator. pada
penggunaan antigen H dengan perendaman formalin yang bertujuan untuk melemahkan
bakteri sehingga mengalami pengkerutan karena kehilangan cairan sel. Biasanya titer
antibodi yang didapat relatif tinggi karena antigen H mempunyai afinitas tinggi terhadap
flagel dan mudah menyebabkan bergerombolnya flagel. Semua vibrio mempunyai
antigen H yang sama. Antigen H ini bersifat tahan panas. Antibodi terhadap antigen H
tidak bersifat protektif. Sedangkan Antibodi terhadap antigen O bersifat protektif.
B. Vaksinasi
Vaksinasi adalah salah satu cara pemberian rangsangan atau antigen secara
sengaja agar ikan dapat memproduksi antibodi terhadap suatu bibit penyakit atau
patogen. Keberhasilan vaksinasi tergantung beberapa vaktor antara lain jumlah dan mutu
antigen, cara vaksinasi, umur ikan, lingkungan hidup, serta sifat dan kemampuan masing-
masing individu ikan (Dorson, 1984).
Menurut Souter (1984), cara vaksinasi dapat dilakukan dengan injeksi peritoneal,
injeksi intramuskular, merendam dalam suspensi vaksin, menyemprotkan suspensi vaksin
bertekanan tinggi ketubuh ikan dan melalui makanan atau oral. Pada praktikum ini
dilakukan dengan injeksi intraperitoneal. Injeksi intraperitoneal ini dilakukan pada awal
vaksinasi dan akhir vaksinasi. Kemudian setelah 1 minggu dilakukan booster atau
vaksinasi ulang untuk meningkatkan antibodi dikarenakan adanya proses pengenalan
terhadap antigen yang sama untuk kedua kalinya. Hal tersebut dapat meningkatkan
respon imun yang disebabkan karena sel-sel memori yang terbentuk setelah dilakukan
booster. Adapun mekanisme terbentuknya antibodi yaitu dimulai dengan adanya 2
macam sel limfosit, limfosit T yang dipersiapkan oleh atau mempunyai ketergantungan
dari kelenjar timus dan berperanan dalam kekebalan seluler dan limfosit B yang
mempunyai ketergantungan dari bursa dan berperanan dalam kekebalan humoral. Kedua
macam limfosit setelah dirangsang oleh antigen akan mengalami proliferasi dan
perubahan morfologi. Limfosit B akan berubah menjadi sel plasma yang mensintesa dan
mengeluarkan antibodi. Kemudian limfosit T berubah menjadi sel limfoblas yang
mengandung banyak ribosom sehingga menjadi basofilik dalam pewarnaan. Kegiatan
limfosit B dapat dilihat dari pembentukan pusat germinatif di daerah korteks kelenjar
limfe dan penyebaran sel plasma ke daerah medulla. Immunoglobulin hanya ditemukan
pada permukaan sel limfosit B dan sebagian besar memilki immunoglobulin jenis IgM
pada permukaan sel, mungkin dalam bentuk monomer.
Antibodi pada ikan terletak di dalam serum dan yang digunakan dalam Ab adalah
serum dan PBS yang diletakkan dalam sumuran. Antibodi digunakan untuk mengetahui
adanya reaksi antara antigen dengan antibodi atau disebut dengan aglutinasi. Setelah
dilakukan booster perbandingan antara vaksin dan kontrol cukup terlihat jelas yaitu
terjadi peningkatan pada titer antibodi akhir setelah divaksin yaitu 4,5 dan kontrol 4. hal
tersebut dikarenakan didalam tubuh ikan yang divaksinasi sudah ada respon imun yang
terbentuk secara alami dalam tubuh ikan tersebut, dengan demikian terjadi reaksi antigen-
antibodi.
Menurut Kamiso dan Triyanto (1990), mengatakan bahwa besarnya titer antibodi
tidak langsung sebanding dengan kemampuan daya tahan ikan. Hal ini diindikasikan
bahwa ikan yang memiliki titer Ab rendah lebih tahan dibandingkan ikan yang memilki
titer tinggi. Hal tersebut tergantung sifat dan kemampuan Ab yang terbentuk walaupun
Ab yang dimiliki mempunyai kelas yang sama (IgM pada ikan).
SR (Survival Rate) merupakan tingkat kelulushidupan ikan setelah divaksin.
Variasi dari tingkat kelulushidupan dikarenakan adanya perbedaan kondisi lokasi
percobaan, baik keadaan fisik bak pemeliharaan, kualitas air, jumlah dan mungkin tingkat
keganasan dari vibrio yang ada serta cara pemeliharaan.
RPS (Relative Percent Survival) atau tingkat perlindungan relatif digunakan untuk
menunjukkan efikasi vaksin atau penggunaan vaksin untuk melindungi ikan dari serangan
bakteri vibrio. Menurut Kamiso dkk., (1993) mengatakan bahwa hasil uji laboratorium
dimana RPS vaksinasi sekitar 58-100%. Berdasarkan hasil pengamatan dari vaksinasi dan
kontrol menunjukkan hasil 100%, tingginya nilai RPS dalam skala labotatorium diduga
karena kondisi lingkungan yang baik, dan relatif stabil, serta ukuran benih yang sudah
cukup besar. Umur ikan sangat berpengaruh terhadap evikasi vaksin. Semakin besar atau
semakin tua ikan nila yang divaksin semakin tinggi RPS-nya. Karena menurut Thune
(1980), semakin besar atau bertambahnya umur ikan, tanggapan kekebalannya semakin
baik, sebab organ tubuh yang berhubungan dengan tanggapan kekebalan sudah lebih
berkembang.
MTD (Mean Time To Death) atau rata-rata hari kematian, vaksinasi tidak selalu
mempengaruhi hari kematian ikan. Menurut Kamiso (1986) pada vaksinasi untuk
mencegah vibriosis mengatakan bahwa meskipun vaksinasi meningkatkan tingkat
perlindungan ikan, ternyata rata-rata waktu kematian tidak berbeda antara ikan yang
divaksin dan kontrol.
Vaksin atau vaksinasi itu meningkatkan daya tahan tidak hanya humoral tetapi
juga seluler dalam pertahanan tubuh antara seluler dan humoral tidak saja bekerja sendiri-
sendiri tetapi juga saling bekerja sama. Apabila pertahanan, baik itu humoral maupun
seluler meningkat maka antibodi pun juga akan meningkat. Karena kita tahu bahwa
pertahanan humoral berperan di dalam sel limfosit B dan sedangkan petahanan seluler
berperan dalam sel limfosit T. Setelah kedua macam sel tersebut dirangsang oleh antigen
maka akan mengalami proliferasi dan perubahan morfologi. Pada sel limfosit B akan
menjadi sel plasma yang mensintesis dan memproduksi antibodi. Dengan demikian
apabila sel limfosit B tersebut meningkat akibat rangsangan vaksin maka produksi
antibodi yang dihasilkan pun juga akan meningkat.
Vaksin merupakan antigen stimulan yang memacu sel-sel terspesialisasi untuk
memproduksi antibodi dan sel-sel tersebut umumnya adalah limposit (Anderson, 1974).
Sedangkan antibodi adalah molekul immunoglobulin yang memilki urutan asam amino
khas, hanya berinteraksi dengan antigen yang sintesanya dirangsang mutagen tersebut di
jaringan limfoid (Kamiso dkk., 1993).
Vaksin dengan antigen memiliki hubungan yang sangat erat karena vaksin sendiri
adalah bahan atau antigen yang sengaja dimasukkan ke dalam tubuh ikan untuk
merangsang kekebalan spesifik pada ikan. Kemudian antigen memiliki hubungan yang
erat pula dengan titer antibodi, karena jenis antigen akan menentukan tingginya titer
antibodi. Selain itu juga variasi antigenik dari bakteri yang digunakan tidak saja pada
jenis antigen tetapi juga besarnya titer antibodi yang terbentuk. Dengan demikian
tingginya titer antibodi tergantung dari jenis antigen yang digunakan dan variasi
antigenik dari bakteri vibrio tersebut. Jika titer antibodi tinggi maka tingkat
kelulushidupan dari ikan pun juga akan tinggi. Karena semakin baik efikasi vaksin yang
digunakan untuk merangsang sel limfosit dalam membentuk antibodi maka semakin baik
pula pertahanan baik itu humoral maupun seluler. Sehingga akan menekan tingkat
kematian yang tinggi akibat infeksi bakteri dan sebaliknya akan meningkatkan laju
pertumbuhan.
C. Uji Tantang
Menurut Kamiso dkk., (1993), LD50 merupakan derajat keganasan patogen atau
ukuran patogenesitas dari bakteri. Sedangkan uji tantang adalah melakukan infeksi
bakteri tertentu kedalam tubuh ikan yang telah divaksinasi untuk melihat evikasi vaksin
dalam merangsang pembentukkan antibodi.
Pada saat vaksinasi pertama digunakan untuk merangsang sel limfosit dalam
memproduksi antibodi. Ditinjau dari waktu yang diperlukan, ternyata semua jenis antigen
dari semua isolat mencapai puncak titer antibodi pada minggu kedua dan ketiga setelah
vaksinasi. Kemudian setelah itu dilakukan booster (vaksinasi ulang), hal tersebut
digunakan untuk meningkatkan titer antibodi yang telah terbentuk setelah vaksinasi
pertama. Dengan demikian apabila produksi antibodinya meningkat maka ketahanan ikan
terhadap suatu penyakit khususnya vibrio akan meningkat pula. Hal ini yang
menyebabkan tingkat kelulushidupan dari ikan juga akan tinggi dan tentunya menekan
tingkat kematian. Tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu faktor
lingkungan, titer antibodi bisa saja tinggi namun apabila kondisi lingkungan seperti
kualitas air, bibit penyakit dan antigen alami akan berpengaruh terhadap efektivitas
vaksin. Kualitas air akan sangat mempengaruhi kemampuan ikan yang divaksin dalam
membentuk antibodi dan faktor kekebalan non spesifik (Anderson, 1974). Perairan alami
biasanya terdapat berbagai patogen terutama patogen oportunistik. Keadaan lingkungan
akan sangat mempengaruhi baik jenis maupun jumlahnya. Tingkat keganasan bakteri
patogen juga akan berbeda pada kondisi yang berbeda. Ada suatu kecenderungan bahwa
pada suhu air yang lebih tinggi bakteri patogen akan lebih ganas (Stevenson, 1988).
Dengan demikian belum tentu titer antibodi tinggi selalu diikuti dengan SR yang tinggi
pula, karena hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Selain itu SR akan
menjadi rendah oleh faktor stres dan beberapa sebab lain yang juga dimungkinkan.
Adanya stres akan menekan pembentukkan antibodi sehingga peningkatan daya tahan
ikan yang divaksin rendah.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Secara umum dapat dikatakan bahwa vaksinasi dengan cara injeksi lebih efektif
dibandingkan dengan cara rendaman dan oral.
2. Hasil titer awal baik vaksin dan kontrol sama-sama 1,5 dan setelah booster vaksin
4,5 dan kontrol 4.
3. Pemberian vaksin dapat meningkatkan daya tahan tubuh ikan secara spesifik
bahkan dapat meningkatkan titer antibodi.
4. Vaksinasi tergantung dari cara vaksinasi dan jenis antigennya, dua hal itu yang
penting.
5. Peningkatan atau tingginya titer antibodi tidak selalu diikuti dengan peningkatan
SR, karena faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan vaksinasi
dalam pembentukkan dan peningkatan antibodi.
6. Vaksinasi meningkatkan pertahanan tidak hanya seluler tetapi juga humoral, dan
masing-masing tidak bekerja sendiri-sendiri tetapi juga saling bekerja sama.
7. Antigen memiliki hubungan yang erat dengan titer antibodi, karena jenis antigen
menentukan tingginya titer antibodi.
8. Variasi antigenik pada bakteri tidak saja pada jenis antigen tetapi juga besarnya
titer antibodi yang terbentuk.
9. Tinggi rendahnya titer antibodi tergantung dari jenis antigennya.
10. Antibodi terhadap antigen H tidak bersifat protektif, sedangkan antibodi terhadap
antigen O bersifat protektif.
Saran
1. Perlu dilakukan uji lapang untuk mengetahui efikasi vaksin terhadap benih nila.
2. Perlu dilakukan percobaan selanjutnya untuk mengetahui seberapa lama vaksin
yang dibuat dapat bertahan terhadap infeksi vibrio.
DAFTAR PUSTAKA
Kamiso, H.N, Triyanto, Sukiman WS, Sri Hartati, Bambang Triyatmo, dan Sri Sulandari.
1990. Uji Coba Vaksin Aeromonas hydrophila Terhadap Ikan Lele Dumbo (Clarias
gariepinus). Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Kamiso, H. N., Adi S., Iwan Yusuf B. L., Widodo, Nuzirwan T., Eni Budi S. H., Suko H.,
Triyanto, Ustadi, Ade Noor K., Wiwiek N., Sri W., Setianingsih. 1993. Hama
Penyakit Ikan Karantina Golongan Bakteri. Pusat Karantina Pertanian Dan
Fakultas Pertanian Jurusan Perikanan UGM. Yogyakarta.
Kordi, K. dan ghufran, H., 2004. Penaggulangan Hama Dan Penyakit Ikan. Rineka cipta
dan bina adiaksara. Jakarta.
Lillehaug, A. 1991. Vaccination Of Atlantic Salmon (salmo solar l.) Against Coldwater
Vibriosis Duration Of Protection And Effect On Growth Rate. Aquaculture, 92 : 99-
107.
Michel, C.; G. tixier dan M. Mevel, 1984. Evaluation Of The Protective Immunity And
Economic Efficacy Of Vaccines For Fish. In : symposium of fish vaccination, ed. P.
dekinkelin dan C. michel. Paris, office international desepizooties, p. 75-96.
Rijkers, G.T. and W. B. van muiswinkel, 1977. The Immune System Of Cyprinid Fish.
The development of cellular and responsiveness in the rosy barb (barbus
conchonius). In : developmental immunobiology. J. B. Solomon and J. D. Horton
(eds.), elvesier/north Holland, 233-240.
Souter, B. W., 1984. Immunization With Vaccines. Dep. Of fish. And oceans. Winnipeg,
man. 111-117.
Sujudi, H., 1993. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa aksara. Jakarta.
A. EPIDEMIOLOGI
I. TUJUAN
II. MANFAAT
1. Dapat mengetahui sejarah baik itu sejarah ikannya, lokasi pngambilan sampel
ataupun distribusi penyakitnya.
2. Dapat menghitung mortalitas dan juga morbiditas yang meliputi faktor
prevalency dan incidency.
Secara umum epidemiologi merupakan salah satu bagian dari ilmu kesehatan
masyarakat (public health) yang menekankan perhatiannya terhadap keberadaan penyakit
ataupun masalah kesehatan lainnya dalam masyarakat (Bustan, 2006). Pengertian lain
epidemiologi adalah ilmu tentang distribusi (penyebaran) dan determinant (faktor
penentu) masalah kesehatan untuk development (perencanaan) dari penanggulangan
masalah kesehatan.
Berbagai definisi telah dikemukakan oleh para penulis dan para pakar yang
mencurahkan waktunya dalam epidemiologi. Beberapa diantara mereka dapat disebutkan
di sini :
1. Wade Hampton Frost (1927), Guru Besar Epidemiologi di School of Hygiene,
Universitas John Hopkins mendefinisikan epidemiologi sebagai suatu
pengetahuan tentang fenomena massal (mass phenomen) penyakit infeksi atau
sebagai riwayat alamiah (natural history) penyakit menular.
2. Greenwood (1934), Professor di School of Hygiene and Tropical Medicine,
London, mengemukakan batasan epidemiologi yang lebih luas di mana dikatakan
bahwa epidemiologi mempelajari tentang penyakit dan segala macam kejadian
penyakit yang mengenai kelompok (herd) penduduk.
3. Kemudian Brian Macmohan (1970), pakar epidemiologi di Amerika Serikat yang
bersama Thomas F. Pugh menulis buku Epidemiology; Principles and Methods
menyatakan bahwa epidemiology is the study of the distribution and determinants
of disease frequency in man. Epidemiology adalah studi tentang penyebaran dan
penyebab kejadian penyakit pada manusia dan mengapa terjadi distribusi
semacam itu.
4. Gary D. Friedman (1974), selanjutnya dalam bukunya Primer Of Epidemiology
menuliskan bahwa epidemiology is the study of disease occurance in human
populations. Batasan ini lebih sederhana dan tampak senapas dengan apa yang
dikemukakan oleh macmohan. Dan ini pula yang kurang lebih dikemukakan oleh
Anders Ahlbom dan Staffan Norel (1988s) dalam bukunya Introduction Of
Modern Epidemiology. Dikatakan bahwa epidemiologi adalah ilmu pengetahuan
mengenai terjadinya penyakit pada populasi manusia.
Dengan demikian definisi epidemiologi, Last (1988) dalam Bustan (2006), mengatakan
bahwa epidemiology is the study of the distribution and determinants of health-related
states or eventsin specified populations and the application of this study to the control of
health problems .
Epidemiologi diharapkan dapt berperan dalam pembangunan kesehatan secara
keseluruhan. Bentuk peran itu dapat dijabarkan dalam 7 peran utama (Valanis, 1999)
yaitu :
1. Investigasi etiologi penyakit
2. Identifikasi factor resiko
3. Identifikasi sindrom dan klasifikasi penyakit
4. Melakukan diagnosis banding (differential diagnosys) dan perencanaan
pengobatan
5. Surveilan status kesehatan
6. Diagnosis komunitas dan perencanaan pelayanan kesehatan
7. Evaluasi pelayanan kesehatan dan intervensi kesehatan
diagnosis adalah upaya untuk menegakkan atau mengetahui jenis penyakit yang
diderita oleh makhluk hidup baik hewan maupun manusia. Untuk mengetahui adanya
penyakit dapat dilakukan diagnosis dengan melakukan 3 cara utama (Ahlbom, 1988) :
1. Anamnese
2. Tanda (sign)
3. Tes (uji)
prevalensi merupakan ukuran tentang jumlah atau proporsi dari kasus atau
masalah kesehatan pada suatu populasi tertentu. Sedangkan insidensi dirumuskan sebagai
banyaknya kasus baru yang ditemukan pada suatu periode waktu tertentu dibagi dengan
populasi beresiko (Bustan, 2006). Etiologi berkaitan dengan lingkup kegiatan
epidemiologi dalam mengidentifikasi penyebab penyakit dan masalah kesehatan lainnya.
Sedangkan epidemiologi dalam klinik digunakan dalam penentuan abnormalitas;
menentukan batas seseorang atau hewan dapat disebut sakit atau mempunyai suatu kadar
hasil pemeriksaan laboratorium yang abnormal.
IV. METODOLOGI
b. Cara kerja
1. Mendiagnosa penyakit ikan dengan menanyakan status ikan dan riwayat penyakit
ikan kepada pemilik ikan
2. Mendiagnosa ikan secara fisik ketika dikolam dengan mengamati kelakuan ikan,
cara renang, gerakan tubuh.
3. Pemeriksaan eksternal terhadap kemungkinan abnormalitas meliputi warna ikan,
produksi lendir, kelengkapan organ, parasit eksternal (kulit dan insang)
4. Pemeriksaan internal dengan pembedahan untuk mengetahui keadaan organ-organ
dalam.
5. Mengamati dan mencatat kondisi lingkungan saat dilungkungan meliputi kualitas
air, sumber air, jumlah dan frekuensi pakan, pengobatan.
Hasil
Pemeriksaan Internal
parameter Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV
Dinding Coklat Nila : warna Tidak ada tanda Besar: Warna
perut hijau tanda yang pucat kompak
Warna Bawal: Putih berhubungan dan kenyal
dengan Kecil :
Heneguya sp. Kemerahan ,
kenyal
Keadaan Usus berwarna Nila : ginjal Keadaan normal Besar: Limfa
organ putih tidak panjang hitam usus dan
lembek , organ 7 cm dan usus hati kuning
dalam baik dan 0,5 cm pucat, ginjal
normal Bawal : organ hitam
Jantung warna baik Jantung, Kecil : limpa
merah pucat, Hati hati berwarna dan ginjal
dan limpa warna kemerahan , merah
merah, limpa kehitaman,
gelembung kehijauan hati
renang putih dan gelembung kemerahan
kecil, ginjal renang putih
merah segar
Timbunan Tidak ada cairan Nila: cairan Besar; Banyak
cairan sedikit , Kecil : sedikit
sedikit lemak
Bawal: Cairan
sedikit ,
banyak lemak
Parasit
dalam organ
Kondisi lingkungan
parameter Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV
Sumber air Sungai gajah Sungai gajah Sungai opak Sungai opak
wong dialirkan wong
melalui selokan
Kualitas air Agak jernih, Warna Hijau, pH 7 Suhun air 28
warna hijau jika kecoklatan, Suhu air 26 C C, pH 6,8
musim hujan pH7,1 , suhu air suhu udara 28
agak keruh dan udara 27 C C
namun bila
muim kemarau
jernih
Jumlah dan Pelet 2% berat Nila: pelet daun Pelet pokhpand 5% berat tubuh
ukuran pakan tubuh, senthe hijau satu hari 10 sak
dan roti Bawal: usus (@ 30 kg)
sebanyak ikan roti daun hijau
mau (kayu apu)
Frekuensi 2 kali sehari 3 kali sehari 1-2 kali sehari 2 kali sehari
pakan
Pengobatan Kolam: Garam Penambahan Penggaraman Jamur : garam
dapur 2 ons/m3 garam 0,5 ons / Pemupukan Supertetra :
dicairkan dalam m3 untuk Kapur penyakit ikan
air dan di pencegahan Diberi pupuk muter-muter
masukkan diberikan puyuh pada
kolam , seminggu setiap kolam
diberikan hari fdalam
selama 3 hari jangaka tiap
Individu: tiga hari
mencelup ikan
pada cairan
garan selam 4-5
detik
Lain lain Terbuka , Tidak ada Saluran air
ditanami talas vegetasi bersistem seri
peneduh
Pembahasan
Kesimpulan
Saran
Pencegahan dini mengenai serangan penyakit melalui riwayat penyakit dan distribusinya
harus lebih ditekankan lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Hoole, D.; Bucke, D; Burges, P.; and Wellby, I. 2001. Diseasesof Carp and Other
Cyprinid Fishes. Fishing News Book. Blackwell Sciences Ltd., Oxford.
Irianto, A., 2004. Patologi Ikan Teleostei. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
MacMohan, B., TF.Pugh. Epidemiology : Principles and Methods. Little Brown and
Company. 1970.