You are on page 1of 49

LATAR BELAKANG

Dalam budidaya ikan, penyakit ikan dapat mengakibatkan kerugian ekonomis.


Karena penyakit dapat menyebabkan kekerdilan, periode pemeliharaan lebih lama,
tingginya konversi pakan, tingkat padat tebar yang rendah dan kematian. Sehingga dapat
mengakibatkan menurunnya atau hilangnya produksi.
Penyakit meliputi penyakit infeksi dan bukan infeksi. Penyakit infeksi merupakan
masalah utama, meliputi penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri, fungi
dan parasit. Menurut Kinne (1980), penyakit pada hewan perairan dapat disebabkan oleh
cacat genetis, cidera fisik, ketidak seimbangan nutrient, pathogen dan atau polusi.
Dinamika infeksi, berat-ringannya penyakit serta penularan penyakit dalam suatu
populasi atau antara dua atau lebih populasi ikan, serupa dengan yang terjadi pada hewan
terrestrial dan manusia. Akan tetapi karena lingkungan air, maka dinamika penularan
penyakit menjadi berbeda, karena air akan memfasilitasi penyebaran agensia penyebab
penyakit. Pada umumnya penyakit infeksi bersifat musiman, terutama pada daerah tropis.
Di daerah sub-tropis seperti amerika serikat, wabah penyakit infeksi umumnya terjadi
pada bulan maret-juni dan September-oktober, ketika suhu air mencapai 20-28 oC.
Kisaran suhu tersebut merupakan suhu optimum bagi sebagian besar patogen ikan
(Plumb, 2001).
Perkembangan dan keseriusan suatu penyakit dalam akuakultur meliputi suatu
interaksi yang kompleks antara tingkat virulensi pathogen, derajat imunitas inang, kondisi
fisiologis dan genetika hewan, stress dan padat tebaran. Secara umum faktor-faktor yang
terkait dengan timbulnya penyakit merupakan interaksi dari 3 faktor yaitu inang,
pathogen dan lingkungan atau stressor eksternal (yaitu perubahan di lingkungan yang
tidak menguntungkan, tingkat higienik yang buruk dan stress) (Austin dan Austin, 1999).
Tujuan dari praktikum manajemen kesehatan ikan adalah untuk mengetahui
distribusi serangan penyakit atau wabah (epidemiologi) kemudian melakukan diagnosis
baik itu pengamatan eksternal maupun internal. Selanjutnya melakukan pengendalian
terhadap infeksi pathogen dengan cara vaksinasi dan pengobatan (antibiotik) berdasarkan
dosis yang telah ditentukan.
B. PENGOBATAN

I. TUJUAN

1. Mengetahui efektifitas antibiotik untuk menanggulangi penyakit bacterial.


2. Mengetahui cara menentukan konsentrasi minimum suatu antibiotic yang dapat
menghambat pertumbuhan bakteri.
3. Mengetahui sensitifitas bakteri pathogen terhadap beberapa antibiotic.

II. MANFAAT

1. Pengobatan bermanfaat untuk mencegah dan mengobati (menyembuhkan)


penyakit ikan yang disebabkan oleh hama dan berbagai penyakit infeksi
(parasiter).
2. Uji MIC bermanfaat untuk menentukan dosis terendah suatu antibiotik yang dapat
membunuh patogen dengan jumlah paling tinggi.
3. Uji sensitifitas bakteri terhadap antibiotik berguna untuk mengetahui efektifitas
berbagai antibiotik sebagai agen anti bakteri.
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sensitifitas Bakteri Terhadap Antibiotik


Antibiotic adalah suatu substansi kimia yang diperoleh dari, atau dibentuk oleh
berbagai spesies mikroorganisme, yang dalam konsentrasi rendah mampu menghambat
pertumbuhan mikroorganisme lainnya. Antibiotika tersebar di alam, dan memegang
peranan penting dalam mengatur populasi mikroba dalam tanah, air, limbah dan kompos.
Antibiotika ini berbeda dalam susunan kimia dan cara kerjanya. Dari sekian banyak
antibiotika yang telah berhasil ditemukan, hanya beberapa sja yang cukup tidak toksik
untuk dapat dipakai dalam pengobatan (Sujudi, 1993).
Beberapa antibiotic bekerja terhadap dinding sel bakteri (penicillin dan
sefaloporin) atau membrane sel (kelompok polymiksin). Mekanisme kerja terpenting
adalah menghambat metabolisme protein bakteri secara selektif, sehingga kuman musnah
atau tidak berkembang lagi, misalnya chloramphenicol, tetracycline aminiglicosida, dan
machlorida. Tetapi terhadap kebanyakan virus, antibiotic itu tidak aktif. Hal ini diduga
lantaran virus tidak memiliki proses metabolic yang sesungguhnya, melainkan tergantung
seluruhnya dari proses-prose inang (host). Menurut daya kerjanya antibiotic dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu antibiotic bakteriostatik dan antibiotic bakterisid.
Antibiotic bakteriostatik bekerjanya menghambat pertumbuhan dan perkembangan
bakteri, misalnya menghambat sintesis protein bakteri. Sedangkan antibiotic bakterisid
bekerjanya mematikan bakteri, seperti menghambat biosinresis dinding sel bakteri. Tapi,
daya kerja antibiotik ini juga ditentukan oleh besar kecilnya dosis yang diberikan.
Apabila antibiotik bakterisid diberikan dalam dosis rendah, maka itu dapat bersifat
bakteriostatik. Sebaliknya, antibiotik bakteriostatik bisa bersifat bakterisid kalau
diberikan pada dosis tinggi (Kordi dan Ghufran, 2004).
Menurut Sujudi ( 1993), sifat-sifat antibiotik sebaknya adalah :
1. Menghambat atau membunuh patogen tanpa merusak host.
2. Bakterisid dan bukan bakteriostatik.
3. Tidak menyebabkan resistensi pada kuman.
4. Berspektrum luas.
5. Tidak bersifat alergenik atau menimbulkan efek samping bila dipergunakan
dalam jangka waktu lama.
6. Tetap aktif dalam plasma, cairan badan atau eksudat.
7. Larut di dalam air serta stabil.
8. Bactericidal level di dalam tubuh cepat dicapai dan bertahan untuk waktu lama.
Antibiotika mengganggu (interfere) bagian-bagian yang peka di dalam sel, yaitu :
1. Sintesis dinding sel.
2. Fungsi membran.
3. Sintesis protein.
4. Metabolisme asam nukleat.
5. Metabolisme intermedier.
Istilah penicillin adalah generik untuk semua grup penicillin, baik yang natural
maupun semisintetik. Dari penicillin natural yang dihasilkan, ternyata bensil penicillin
atau penicillin G adalah yang paling bermanfaat dalam klinik. Penicillin G ini efektif
terhadap kebanyakan kokus positif dan negatif gram. Yang resisten terhadap antibiotik ini
adalah enterokokus dan strain Staphylococcus aureus penghasil penicilinasa. Kekurangan
penicillin G adalah :
1. Diinaktifkan oleh pH asam cairan lambung.
2. Dirusak oleh penicilinasa.
3. Kadang-kadang menyebabkan reaksi alergi.
Dari senyawa-senyawa berspektrum luas yang bermanfaat dalam klinik adalah ampisilin
yang tahan asam tetapi peka terhadap penisilinasa dan karbenisilinyang terutama berguna
terhadap infeksi oleh pseudomonas. Kemudian streptomycin yang bersifat bakterisid
terhadap sejumlah besar kuman-kuman positif dan negatif gram, dan terhadap
mycobacterium tuberculosis (Sujudi, 1993). Menurut Kamiso dkk. (1993), penggunaan
terramysin (TM-50) untuk penanggulangan aeromonas hydrophila dengan dosis 25
mg/kg dengan cara injeksi, 50-100 mg/kg/hari dengan cara oral dan 1-2 minggu 10 ppm
dengan cara perendaman selama 1 hari.
B. MIC (Minimum Inhibitory Concentration)
Pemilihan obat yang paling efektif adalah dengan memperhatikan spesifitas obat
terhadap agen infeksi, jalur metabolisme obat, hasil-hasil metabolit obat, serta efek obat
dan hasil metabolit obat pada tubuh ikan (ada beberapa obat yang hasil metabolitnya
sangat beracun). Pada penentuan dosis obat harus diketahui dosis terapiutik serta dosis
toksiknya dengan cara memperhatikan atau melihat faktor-faktor tersebut sehingga dapat
ditentukan metode dalam pengobatannya (Anonim, 2002).
Cara yang biasa digunakan untuk mengetahui keampuhan suatu antibiotik yaitu
antibiogram atau bisa disebut juga sebagai uji kepekaan antibiotik terhadap patogen
penyebab penyakit. Antibiogram menguji antibiotik pilihan pada mikroorganisme
patogen yang diisolasi dari penderita penyakit. Uji ini dibutuhkan suspensi baku dari
mikroorganisme patogen yang ditumbuhkan dalam media. Kemudian suspensi baku
tersebut dimasukkan ke dalam media yang telah berisi berbagai konsentrasi antibiotik.
Konsentrasi terendah yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme di dalam media
dapat ditentukan dengan cara mengukur kekeruhan setelah dilakukan inkubasi. Tabung
media yang berisi konsentrasi antibiotik yang dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme patogen terlihat tetap bening, sedang pada tabung dengan konsentrasi
antibiotik yang tidak menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen terlihat
berwarna keruh. Kemampuan antibiotic dapat ditentukan dengan melihat konsentrasi
terendah antibiotik yang masih dapat mematikan atau menghambat pertumbuhan
mikroorganisme patogen. Metode dalam penentuan kemampuan antibiotik tersebut
disebut dengan MIC (Minimum Inhibitory Concentration) (Lay, 1994).
C. Pengobatan
Penanggulangan hama dan penyakit ikan selama ini masih tertumpu pada
penggunaan obat-obatan termasuk antibiotik dan desinfektan. Tetapi penggunaan obat-
obatan tersebut akan menimbulkan masalah, yaitu kemungkinan timbulnya patogen
(varietas baru) yang resisten terhadap obat-obatan dan akan terjadi penimbunan residu
obat-obatan di dalam tubuh ikan maupun di lingkungan yang akhirnya dapat
mempengaruhi organisme-organisme yang berguna di perairan setempat (Wu dkk.,
1981). Oleh sebab itu menurut Suyanto (1983) usaha terbaik untuk menanggulangi hal
tersebut adalah dengan pencegahan.
Pencegahan timbulnya penyakit bacterial dapat dilakukan dengan sanitasi
lingkungan, meningkatkan nutrisi yang diberikan maupun dengan vaksinasi (Kamiso
dkk., 1997).
Penggunaan obat-obatan dianggap sangat praktis, efektif, dan murah. Tetapi perlu
diingat, karena obat-obatan kebanyakan tidak spesifik dan dapat menimbulkan strain
bakteri yang resisten dan menimbulkan pencemaran lingkungan (Kordi dan Ghufran,
2004).
IV. METODOLOGI

A. Alat dan Bahan Uji Sensitifitas Bakteri Terhadap Antibiotik


1) Bakteri patogen Aeromonas hidrophila
2) Antibiotik volume 30 l : terramycin, ampicillin, streptomycin, dan penicillin.
3) Medium TSA
4) Paperdisk blank steril dan petridisk steril.
5) Pinset steril, lampu bunsen, mikropipet, yellow tip, vortex, spidol marker, label,
dan inkubator.
B. Alat dan Bahan MIC
1) Tabung reaksi
2) Mikropipet
3) 10 l kultur bakteri Aeromonas hidrophila
4) 1 ml antibiotik
5) PBS
6) Medium TSB
C. Alat dan Bahan Pengobatan
1) Bakteri ikan lele yaitu Aeromonas hidrophila
2) Spuit 1 ml
3) Antibiotik
4) PBS
5) Pakan ikan

A. Cara Kerja Sensitifitas Bakteri Terhadap Antibiotik


1. kultur bakteri aeromonas hydrophila kultur 24 jam
2. melakukan vortex
3. kemudian streak rapat pada medium TSA
4. lakukan pemberian antibiotik
a. terramycin
b. ampisilin
c. streptomycin
d. penicillin
5. inkubasi selama 24 jam
6. lakukan pengamatan
B. Cara Kerja MIC
1. menyiapkan media TSB
2. menambahkan 1 ml antibiotik
3. menambahkan 10 l bakteri aeromonas hydrophila
4. konsentrasi antibiotik yang digunakan
a. 0 mg/l ------- 0 ppm
b. 1,565 mg/l ------- 62,5 ppm
c. 3,125 mg/l ------- 12,5 ppm
d. 6,25 mg/l ------- 250 ppm
e. 12,5 mg/l ------- 500 ppm
f. 25 mg/l ------- 1000 ppm
C. Cara Kerja Pengobatan
1. dosis MIC 125 ppm
a. 1 dosis 125 ppm
b. 2 dosis 250 ppm
c. 3 dosis 375 ppm
2. disuntikkan pada masing-masing ikan
3. ember 1, ember 2, dan ember 3 yang berisi ikan diinjeksi dengan dosis yang telah
ditentukan
V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

A. Hasil Sensitivitas Bakteri Terhadap Antibiotik


Pada medium agar TSA dihasilkan atau terbentuk zona hambat pada zona A, B dan D.
Sedangkan zona C tidak terbentuk zona hambat. Terbentuk zona hambat artinya bakteri
tersebut sensitif terhadap antibiotik yang digunakan dan yang tidak terbentuk zona
hambat berarti resisten.
Sensitif Resisten
Kelompok 1 Streptomycin Terramycin
Kelompok 2 Streptomycin Terramycin
Kelompok 3 Terramycin Penicillin
Kelompok 4 ampicillin Penicillin

B. Hasil MIC
Dosis
Kelompok 1 6,25 mg/ml
Kelompok 2 3,125 mg/ml
Kelompok 3 3,125 mg/ml
Kelompok 4 12,5 mg/ml

Dosis yang digunakan adalah 3,125 mg/ml

C. Hasil Pengobatan
Dosis Hari Gejala Keterangan
Dosis A 125 Rabu Sehat Hidup semua
Kamis Sirip sudah mulai geripis Hidup semua
Jumat Sirip banyak geripis, diam di Hidup semua
dasar
Sabtu Lele mati 4 (borok, geripis, kulit
ngelupas
Minggu Lele mati 4 (borok, kulit
mengelupas, kulit geripis)
Senin Tidak ada yang hidup
Selasa
Dosis B 250 Rabu Sehat Hidup semua
Kamis Sirip mulai geripis Hidup semua
Jumat Sirip banyak geripis Hidup semua
Sabtu Lele mati 5 ( borok, geripis, kulit
ngelupas)
Minggu Hidup 1
Senin Hidup 1
Selasa Hidup 1
Dosis C 375 Rabu Sehat Hidup semua
Kamis Sirip mulai geripis Hidup semua
Jumat Sirip banyak bergeripis Hidup semua
Sabtu Lele mati 5 (borok, geripis, kulit
ngelupas)
Minggu Mati
Senin Mati
Selasa Mati

Pembahasan

sensitifitas bakteri terhadap antibiotik


Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme hidup
terutama fungsi bakteri atau melalui sintesis, memiliki efek mematikan atau menghambat
pertumbuhan mikroorganisme, khususnya bakteri (Kordi dan Ghufran, 2004).
Bakteri dikatakan sensitif terhadap suatu antibiotik apabila antibiotik tersebut
mampu mengganggu struktur double helix DNA kuman atau bakteri sehingga mampu
pula mempengaruhi seluruh fase pertumbuhan dan metabolisme kuman. Apabila
antibiotik tersebut cocok digunakan maka akan dapat menghambat pembelahan sel
bakteri. Berdasarkan hasil pengamatan pada kelompok 2 terdapat zona hambat yang
cukup besar pada penggunaan antibiotik penicillin terhadap kultur bakteri A. hidrophila,
karena apabila dilihat dari mekanisme kerja penicillin yaitu mengganggu (interfere)
pembentukan dinding sel terutama pada tahap terakhir. Penggunaan penicillin ini dapat
menyebabkan terbentuknya sferoplas yaitu kuman-kuman tanpa dinding sel atau kuman
bentuk L.
Menurut Sujudi (1993), ada berbagai mekanisme yang menyebabkan suatu
populasi kuman atau bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik. Mekanisme tersebut
antara lain adalah :
1. Mikroorganisme memproduksi ensim yang merusak daya kerja obat, misalnya
stafilokokus resisten terhadap penicillin disebabkan karena stafilokokus
memproduksi ensim beta laktamase yang memecahkan cincin beta laktam dari
penicillin, sehingga penicillin tidak lagi aktif bekerja.
2. Terjadinya perubahan permeabilitas bakteri terhadap obat tertentu. Misalnya
streptokokus mempunyai barier alami terhadap obat golongan aminoglikosida.
3. Terjadinya perubahan pada tempat atau lokus tertentu di dalam sel sekelompok
mikroorganisme tertentu yang menjadi target dari obat. Misalnya obat golongan
aminoglikosida memecah atau membunuh bakteri karena obat ini merusak sistem
ribosom sub-unit 30S.
4. Terjadinya perubahan pada metabolic pathway yang menjadi target obat.
5. Terjadi perubahan ensimatik sehingga kuman atau bakteri meskipun masih dapat
hidup dengan baik tapi kurang sensitif terhadap antibiotik.
Asal mula terjadinya resistensi kuman atau bakteri terhadap obat atau antibiotik dapat
dibagi menjadi :
1. Non Genetik
2. Genetik

1. Sebab-Sebab Non Genetik


Hampir semua obat antibiotika bekerja baik pada masa aktif pembelahan kuman
atau bakteri. Dengan demikian, populasi kuman atau bakteri yang tidak berada pada fase
pembelahan aktif pada umumnya relatif resisten terhadap obat.
2. Sebab-Sebab Genetik
Terjadinya resistensi kuman atau bakteri terhadap antibiotik umumnya terjadi
karena perubahan genetik. Perubahan genetik bisa terjadi secara kromosomal maupun
ekstra kromosomal, dan perubahan genetik tersebut dapat ditransfer atau dipindahkan
dari satu spesies bakteri kepada spesies bakteri lain melalui berbagai mekanisme.
a. Resistensi kromosomal
Resistensi bakteri terhadap antibiotika yang mempunyai sebab genetik
kromosomal terjadi misalnya karena terjadinya mutasi spontan pada lokus ADN
yang mengontrol susceptibility terhadap obat tertentu. Mutasi spontan terjadi
dengan frekuensi kira-kira 10-7 sampai 10-12.
b. Resistensi ekstrakromosomal
Bakteri mengandung pula materi genetik yang ekstrakromosomal yang disebut
plasmid. Plasmid adalah molekul DNA yang bulat atau sirkuler :
a) Kira-kira mempunyai berat 1-3 % dari kromosom bakteri
b) Berada bebas dalam sitoplasma bakteri
c) Adakalanya dapat bersatu kedalam kromosom bakteri
d) Dapat melakukan replikasi sendiri secara otonom
e) Dapat pula berpindah atau dipindahkan dari satu spesies ke spesies lain

Beberapa contoh plasmid adalah :


1. Faktor R
Faktor R adalah suatu golongan plasmid yang membawa gen-gen untuk resistensi
terhadap satu atau lebih antibiotika dan logam berat. Gen dalam plasmid yang
menyebabkan resisten obat seringkali memproduksi ensim-ensim yang dapat
merusak daya kerja obat.
2. Toksin
Beberapa toksin dari bakteri juga merupakan produk dari plasmid.
3. Faktor F
Faktor F disebut dengan fertility factor memegang peranan dalam proses
konjugasi bakteri.
Berdasarkan hasil pengamatan bakteri Aeromonas hidrophila tergolong dalam
bakteri yang sensitif terhadap antibiotik streptomycin untuk kelompok 1, streptomycin
untuk kelompok 2, terramycin untuk kelompok 3, ampicillin untuk kelompok 4.
kemudian aeromonas hidrophila resisten terhadap antibiotik terramycin untuk kelompok
1, terramycin untuk kelompok 2, penicillin untuk kelompok 3 dan 4.

B. MIC (Minimum Inhibitory Cocentration)


MIC merupakan kemampuan antibiotic dengan dosis terendah yang masih mampu
mematikan atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme pathogen (Lay, 1994). Suatu
antibiotic atau obat sebelum digunakan untuk pengobatan sebaiknya melewati tahap uji
efektifitas terlebih dahulu yang meliputu uji minimum inhibitory concentration (MIC)
dan uji tantang (Anonim, 2008).
MIC berfungsi atau mempunyai peranan dalam mencari konsentrasi obat terendah
yang sudah terjadi penggumpalan yang akan digunakan sebagai dosis obat terendah yang
dapat membunuh bakteri.
Mekanisme kerjanya yaitu, pertama membuat stok obat atau antibiotic dengan
dosis yang dikehendaki, kemudian membuat seri pengenceran antibiotic menggunakan
PBS. Setelah itu menyiapkan media TSB sebanyak 6 tabung, kemudian menambahkan 1
ml antibiotic kedalam masing-masing tabung. Kemudian langkah selanjutnya tambahkan
10 l kultur bakteri Aeromonas hidrophila 24 jam kedalam tiap tabung yang berisi TSB
dan antibiotic. Konsentrasi antibiotic yang digunakan yaitu 0 mg/l, 1,565 mg/l, 3,125
mg/l, 6,25 mg/l, 12,5 mg/l dan 25 mg/l. kemudian menginkubasi tiap perlakuan selama
24 jam dan setelah diinkubasi diamati pertumbuhan bakterinya. MIC ditunjukkan oleh
konsentrasi antibiotic terendah yang menunjukkan penghambatan pertumbuhan bakteri.
Dari hasil pengamatan dosis yang digunakan yaitu 3,125 mg/ml. tujuan dari dosis ini
dibuat adalah untuk mengamati adanya reaksi anti gen bakteri dengan antibiotic obat.
Dosis 3,125 mg/ml dipilih karena lebih efektif untuk digunakan dibandingkan dengan
dosis lain yang telah dibuat.
C. Pengobatan
Apabila dilihat dari gejala eksternalnya seperti sirip gripis, terdapat borok dan
kulit mengelupas dimungkinkan karena infeksi aeromonas hidrophila. Dibandingkan
dengan pustaka menurut Kordi dan Ghufran (2004), mengatakan bahwa ikan yang
terserang bakteri ini biasanya memperlihatkan gejala-gejala berupa, warna tubuh ikan
menjadi gelap, kemampuan berenang menurun, mata ikan rusak dan agak menonjol, sisik
terkuak, seluruh siripnya rusak, insang berwarna merah keputihan, ikan terlihat megap-
megap di permukaan air, insangnya rusak sehingga sulit bernafas, kulit ikan menjadi
kasat dan timbul pendarahan selanjutnya diikuti dengan luka-luka borok, perut ikan
kembung (dropsi), dan apabila dilakukan pembedahan maka akan kelihatan pandarahan
pada hati, ginjal, dan limpa. Menurut Mc Daniel (1979), penyakit bacterial yang
disebabkan oleh bakteri tersebut dikenal dengan nama MAS (Motil Aeromonas
Septisemia), degan tanda-tanda antara lain warna kulit menjadi gelap, bercak-bercak
merah pada permukaan tubuh, dan pada sirip-siripnya, mata rusak dan menonjol serta
adanya benjolan-benjolan yang terdapat pada permukaan tubuh. Pada bagian dalam tubuh
juga terdapat tanda-tanda antara lain hemorrhage pada intestinum, peritoneum dan
jaringan otot serta isi perut tampak berdesakan.
Pengobatan dengan antibiotic biasanya menjadi tidak efektif tergantung dari
patogenesitas atau virulensi dari bakteri aeromonas hidrophila. Bakteri tersebut memiliki
serotipe yang banyak atau beragam, hal ini yang menyebabkan patogenesitasnya pun
berbeda-beda. Pada saat uji laboratorium, pengobatan atau penggunaan antibiotik lebih
efektif dikarenakan pada saat uji sensitifitas bakteri terhadap beberapa antibiotik dan
diinkubasi selama 24 jam tentunya bakteri akan berkembang biak atau melakukan
konjugasi. Pada saat bakteri melakukan pembelahan sel antibiotic dapat bekerja dengan
baik untuk menghentikan pertumbuhan bakteri sehingga bakteri menjadi sensitive
terhadap antibiotic tertentu. Tetapi berbeda kondisinya pada saat uji lapang, karena belum
tentu kultur bakteri yang diinjeksikan ke ikan lele akan melakukan pembelahan sel di
dalam inang padahal teori mengatakan bahwa antibiotik bekerja baik pada masa aktif
pembelahan kuman atau bakteri. Dengan demikian, populasai kuman atau bakteri yang
tidak berada pada fase pembelahan aktif pada umumnya relative resisten terhadap obat
(Sujudi dkk., 1993). Hal ini yang menyebabkan pengobatan menjadi tidak efektif saat
diterapkan di lingkungan. Selain itu factor lingkungan yang kurang stabil mempengaruhi
patogenesitas bakteri terhadap inang.
Ketika antibiotik diinjeksikan ke ikan dengan dosis-dosis yang telah ditentukan
tidak dapat membunuh bakteri tersebut, hal ini dikarenakan tingkat perlindungan pada
pengobatan banyak tergantung kemangkusan obat. karena obat-obatan pada umumnya
tidak meningkatkan daya tahan tubuh baik humoral maupun seluler tetapi justru menekan
kemampuan imunitas tersebut (Rijkers et al., 1981; Grondel and Boeston, 1982; Lewis et
al, 1985). Rijkers et al., 1981 bahkan menyatakan bahwa obat-obatan tidak hanya
menekan kemampuan pertahanan humoral dan seluler, tetapi juga menekan pertumbuhan
ikan.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1) suatu bakteri menjadi resisten ataupun sensitif terhadap antibiotik tergantung dari
sifat bakteri tersebut serta kemampuan bakteri dalam memproduksi ensim-ensim
yang dapat merusak daya kerja obat.
2) Berdasarkan hasil bakteri aeromonas hidrophila resisten terhadap beberapa
antibiotic yaitu terramycin dan penicillin, kemudian sensitive terhadap
streptomycin dan ampicillin. Tetapi pada kelompok 3 A. hidrophila sensitive
terhadap terramycin, hal ini dimungkinkan tingkat virulensi dari bakteri A.
hidrophila yang digunakan berbeda-beda.
3) MIC yang digunakan adalah 3,125 mg/ml, karena dosis tersebut sudah dapat
menghambat pertumbuhan bakteri.
4) Perlindungan obat tergantung dari kemangkusan obat itu sendiri, karena obat-
obatan tidak meningkatkan daya tahan tubuh tetapi justru menekan immunitas
tubuh bahkan dapat menekan laju pertumbuhan.
5) Keefektifan antibiotik tergantung dari patogenesitas bakteri yang dimaksud.
6) Daya kerja obat akan baik pada saat bakteri melakukan pembelahan sel dan
sebaliknya apabila bakteri tidak berada pada fase tersebut maka bakteri tersebut
relatif resisten terhadap antibiotik yang digunakan.

B. Saran

1) Coba gunakan strain bakteri yang lebih pathogen lagi untuk melihat keefektifan
antibiotic yang digunakan sehingga dapat terlihat lebih jelas mana antibiotic yang
benar-benar dapat menghambat bakteri tersebut baik itu dengan dosis tinggi
maupun dengan dosis rendah.
2) Sebaiknya penggunaan antibiotik dengan dosis tertentu harus lebih diperhatikan
karena apabila terjadi kelebihan dosis yang menyebabkan lokus kerja obat pada
ribosom bakteri berubah maka bakteri tidak lagi sensitive terhadap obat golongan
tertentu.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2002. Pengelolaan Kesehatan Ikan Budidaya Laut. Balai Budidaya Laut
lampung. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Depatremen Perikanan dan
kelautan, Lampung.

Anonim. 2008. Petunjuk Praktikum Manajemen Kesehatan Ikan. Laboratorium Hama


Dan Penyakit Ikan Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.

Grondel, J. L. and H. J. A. M. Boeston, 1982. The Influence Of Antibiotic On The


Immune System I. Inhibition Of The Mitogenic Leukocyte Response In Vitro by
Oxytetracycline. Dev. Comp. Immunol., sup. 2,211-216.
Kamiso, H. N., Adi S., Iwan Yusuf B. L., Widodo, Nuzirwan T., Eni Budi S. H., Suko H.,
Triyanto, Ustadi, Ade Noor K., Wiwiek N., Sri W., Setianingsih. 1993. Hama
Penyakit Ikan Karantina Golongan Bakteri. Pusat Karantina Pertanian Dan
Fakultas Pertanian Jurusan Perikanan UGM. Yogyakarta.

Kamiso H. N., Triyanto, Sri H., 1997. Uji Antigenesitas Dan Efikasi Vaksin Aeromonas
Hidrophila Pada Lele Dumbo (Clarias Gariepinus). Jurnal Perikanan Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.

Kordi, K., dan Ghufran H., 2004. Penanggulangan Hama Dan Penyakit Ikan. Rineka
Cipta Dan Bina Adiaksara. Jakarta.

Lay, Bibiwana W. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada,


Jakarta.

Lewis, E. H., J. Tarpley,. T. Marks and R. F. Sois., 1985. Drug Induced Structural
Changes In Olfactory Organs Of Channel Catfish Ictalurus Punctatus. J. Fish.
Boil., 26 : 355-358

McDaniel, D., 1979. Fish Health Blue Book. Procedure For The Detection And
Adentification Of Certain Fish Pathogen. Fish Health Section. American Fish.
Soc., 47-48

Rijkers, G. T., R. Van Dostrerom and W.B. Van Muiswinkel, 1981.The Immune System
Of Cyprinid Fish, Oxytetracycline And The Regulation Of Humoral Immunity In
Carp. Vet. Immunol. Immunopathol., 2 : 281-290.

Sujudi, H. Dkk., 1993. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa Aksara. Jakarta.

Suyanto, S. R., 1983. Penyakit Ikan Dan Cara-Cara Pemberantasannya. Penebar


Swadaya. Jakarta.

Wu, J., H. Lin, L. Jan, Y. Hsu dan L. Chang, 1981. Biological Control Of Fish Bacterial
Pathogen, Aeromonas Hidrophila By Bacteriophage AH 1. Fish pathol., 15 (3/4) :
271-276.
C. VAKSINASI

I. TUJUAN

1) Mengetahui cara-cara pembuatan vaksin.


2) Mengetahui cara-cara pemberian vaksin dan pengaruhnya pada ikan.

II. MANFAAT

1) Dapat mengetahui prinsip dasar pembuatan vaksin pada tiap tahapnya.


2) Vaksinasi diharapkan mampu merangsang pembentukan antibodi, karena pada
bakteri tertentu ada yang menghasilkan antibodi yang tinggi tetapi tidak protektif.

III. TINJAUAN PUSTAKA

Pembuatan vaksin dewasa ini ada beberapa cara. Johnson dan Amend (1984),
membuat vaksin dengan inaktivasi bakteri dengan menggunakan larutan formalin.
Sedang Itami dan Kusuda (1980), disamping dengan cara tersebut, mereka juga membuat
vaksin dengan cara pemanasan pada suhu 100 oC dan ultrasonikasi.
Menurut Dorson (1984), cara vaksinasi yang ditempuh sangat menentukan
keberhasilan imunisasi. Diantara cara-cara tersebut adalah injeksi peritoneal, injeksi
intramuskular, merendam dalam suspensi vaksin, menyemprotkan suspensi vaksin
bertekanan tinggi ke tubuh ikan dan dengan melalui makanan atau oral (Souter, 1984).
Faktor lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan vaksinasi menurut Souter (1984),
adalah kisaran suhu, ukuran, dan spesies ikan.
Vaksin itu sendiri adalah satu antigen yang biasanya berasal dari suatu jasad
patogen yang telah dilemahkan atau dimatikan, ditujukan untuk meningkatkan ketahanan
(kekebalan) ikan atau menimbulkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit tertentu.
Vaksinasi merupakan sala satu upaya penanggulangan penyakit pada hewan (termasuk
ikan) dengan cara pemberian vaksin ke dalam tubuh hewan agar memiliki ketahanan
terhadaop serangan penyakit. Teknik pemakaian vaksin yang biasa dilakukan pada ikan
mencakup bermacam cara, yaitu : melalui suntikkan, melalui makanan atau oral,
perendaman, dan penyemprotan dengan tekanan tinggi (Kordi dan Ghufran, 2004).
Pada tingkat aplikasi di lapangan hasil vaksinasi akan sangat dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan terutama kualitas air (Ellis, 1988). Karena kualitas air akan
mempengaruhi kondisi ikan dan tanggapan ikan terhadap vaksinasi (Roberts, 1993).
Dalam hal ini vaksinasi diduga dapat meningkatkan daya tahan tidak saja humoral tetapi
juga seluler. Dalam petahanan tubuh antara humoral dan seluler tidak saja bekerja
sendiri-sendiri tetapi juga saling bekerja sama (Einsen, 1980; Rijkers and Van
Muiswinkel, 1977). Menurut Einsen (1980), vaksinasi adalah usaha untuk meningkatkan
antibodi spesifik. Meningkatnya antibodi tidak saja akan meningkatkan kemampuan
pertahanan humoral tetapi juga pertahanan seluler (cell-mediated immunity) sehingga
hasil kerja masing-masing maupun hasil kerja antara pertahanan humoral dan seluler
meningkat.
Menurut hasil penelitian yang ditemukan oleh Lillehaug (1991), mngatakan
bahwa benih ikan salmon yang di vaksin vibrio pertumbuhannya lebih lambat sekitar 2,9
% daripada yang tidak divaksin. Hal ini diduga karena pengaruh padat penebaran dan
efek samping vaksin. Ikan yang divaksin tingkat kematiannya lebih rendah sekitar
setengahnya daripada yang tidak divaksin sehingga kepadatannya lebih tinggi dua kali
lipat. Kepadatan yang tinggi menyebabkan pertumbuhan yang lebih lambat. Sedang
tentang efek sampingan vaksin terhadap pertumbuhan belum diketahui dengan jelas
mekanismenya.
Menurut Chusing (1942) dalam Anderson (1974), antibodi baru terbentuk setelah
sekitar 4 hari pada suhu 28 oC. Kamiso (1986), melaporkan pada ikan salmon bahwa titer
antibodi baru positip satu minggu setelah vaksinasi (suhu 12-18 oC).
Menurut Sujudi dkk. (1993), teori pembentukan antibodi : mekanisme sebenarnya
dari pembuatan antibodi sebagai reaksi atas masuknya antigen belum diketahui secara
pasti. Walaupun demikian telah diajukan beberapa teori dan setidaknya teori-teori ini
dapat memberi gambaran mengenai masalah sintesa antibodi ditinjau dari beberapa sudut.
Sebuah teori akan memuaskan bila dapat menjelaskan beberapa hal yang penting :
1) Derajat khas yang tinggi mengenai antibodi
2) Pembentukan antibodi dalam jumlah yang besar sebagai reaksi atas masuknya
antigen yang sedikit
3) Peristiwa reaksi imun sekunderdengan pembentukan antibodi yang cepatdan
jumlahnya lebih banyak
4) Kemampuan sel pembentuk antibodi untuk mengenal antigen berasal dari
jaringan sendiri dan tidak membuat antibodi terhadapnya.
I. Selective Theory (EHRLICH, 1900)
Menurut teori ini pada permukaan setiap sel pembuat antibodi di dalam badan
terdapat gugusan-gugusan kimia yang khas, disebut side chain (sidechain theory),
semacam receptor yang berfungsi seperti antibodi dan dapat mengikat antigen yang
sesuai untuknya. Antigen itu akan merusak reseptor yang berlebihan dan dilepaskan oleh
sel ke dalam serumsebagai antibodi.

II. Instructive Theory (PAULING, dan lain-lainnya)


Teori ini mengatakan bahwa antigen bekerja sebagai cetakan atau template dan
persediaan gamma-globulin di dalam badan yang belum mempunyai bentuk tetentu
kemudian menyesuaikan bentuknya sehingga berupa bentuk komplementer dari antigen.
Bentuk ini kemudian dapat dipetahankan dengan ikatan-ikatan disulfida, ikatan-ikatan
hydrogen dan sebagainya. Teori ini tidak dapat dipertahankan dan kemudian ternyata
bahwa sifat khas anti bodi ditentukan oleh urutan asam amino di bagian variable fab,
yang pembentukannya ditentukan oleh suatu messenger RNAdan perubahan mRNA tidak
dapat terjadi secepat kontak dengan antigen.
III. Clonal Selection Theory (BURNET)
Teori ini berdasarkan kemampuan mutasi dan seleksi dari sel-sel tertentu di dalam
badan sesuai dengan kemampuan yang sama pada kuman. Sel yang berperan dalam
reaksi kekebalan, sel limfosit, hanya dapat mengikat satu jenis antigen (atau beberapa
antigen lain yang hamper serupa). Kemampuan ini telah ada sejak lahir dan merupakan
sifat bawaan. Dengan denikian maka sel-sel limfosit di dalam badan merupakan
kumpulan sel yang berlainan, ada ynag dapat bereaksi dengan satu antigen dan ada yang
bereaksi dengan antigen lain. Bila antigen masuk ke dalam badan ia diikat oleh reseptor
pada permukaan limfosit yang cocok, dan sel limfosit itu akan mengalami proliferasi dan
membentuk satu clone. Sebagian sel dari clone ini akan mengeluarkan antibodi (sel
plasma) dan sebagian lain akan menyebar malalui aliran darah dan limfe ke dalam
jaringan tubuh sebagai cadangan sel yang sensitive terhadap antigen itu (memory cell).
Ada empat macam vaksin khususnya untuk bakteri yaitu toksin, bakteri yang
dimatikan, bakteri yang dilemahkan dan antigen murni. Masing-masing antigen
mempunyai kelebihan dan kelemahan. Tetapi dari segi praktis dan biaya saat ini dalam
bidang perikanan yang banyak digunakan adalah vaksin dari bakteri yang dimatikan.
Vaksin ini kecuali mudah dibuat juga sangat aman karena tidak ada kemungkinan efek
sampingan seperti vaksin yang dibuat dari toksin dan bakteri yang dilemahkan (Michel
dkk., 1984).

IV. METODOLOGI

A. Pembuatan Vaksin
1) Kultur murni (vibrio 4 isolat)
2) Medium TSB divortex
3) Kemudian menuangkan ke medium TSA
4) Inkubasi selama 24 jam
5) Panen

Panen

Antigen O
Inaktivasi
pemanasan
Antigen H 30 100 oC

Formalin 2 % (24 jam)

Pencucian 1
sentrifuge
Pencucian 3
sentrifuge uji viabilitas

uji viabilitas (TCBS) tumbuh tidak tumbuh

tumbuh tidak tumbuh hitung kepadatan

hitung kepadatan

4 isolat bakteri vibrio


a. V. Combalii strain jepara (2 j 2)
b. V. Fluvialis situbondo (24 sk)
c. V. Fluvialis gondo (16 g)
d. V. Non patogen situbondo (2 SA)
Kelompok 1 dan 2 Ag O
Kelompok 3 dan 4 Ag H

B. Vaksinasi

1) Aklimatisasi ikan uji selama 1 minggu


2) Amati titer antibodi awal
3) Encerkan vaksin 1010 - 108
4) Lakukan vaksinasi secara suntikan pada ikan sejumlah 0,1 ml
5) Pelihara ikan yang telah divaksin selama 1 minggu
6) Amati toter antibodi setelah vaksinasi
7) Lakukan booster
8) Pelihara kembali ikan selama 1 minggu
9) Amati titer antibodi setelah booster

C. Uji Tantang
1) Menyuntik ikan yang telah divaksin dengan bakteri pathogen dan PBS sebagai
kontrol, kemudian memelihara ikan selama 2 minggu.
2) Mengamati jumlah kematian ikan selama 14 hari.
3) Menghitung nilai RPS (Relative Percent Survival) sebagai berikut:
1. % kematian ikan yang divaksin
RPS = 1 -
ii. % kematian ikan yang tidak divaksin

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

A. Pembuatan Vaksin
Ag kepadatan kepadatan volume PBS
2j20 3,18 108 31,8 1010 7,86 242,14
16GO 5,952108 5,9521010 4,2109 208
24SKH 5,56108 5,56 1010 44,96 205,04
2SAH 18,97108 18,971010 13,18 236,82

250 l
Vol = kepada tan X

PBS = 250 l X

B. Vaksinasi
Hasil vaksinasi
Perlakuan Hari Gejala Keterangan
Kontrol Rabu Normal
Kamis
Jumat Normal
Sabtu Normal
Minggu Normal
Senin Normal
Selasa Normal Mortalitas 0%

Vaksinasi Rabu
Kamis Normal
Jumat Normal
Sabtu Normal
Minggu Normal
Senin Normal X=10 ekor kontrol
Selasa Normal X=10ekor perlakuan

Hasil Pengamatan Titer Antibodi


(TA ke-3)
8 mei 2008

Produksi antibodi Kontrol Perlakuan


Titer 1 21,5 21,5
Titer 2 24 24,5
Titer 3 24 26
6

titer
antibodi
(2 )
5
n

4
perlakuan
3 kontrol
2
1
1 3 4

minggu pengamatan

C. Uji Tantang
Log ikanuji ikanmati n-r r n r Total %Mortalitas
Dosis X (r)
2 30 0 30 0 67 67 0
4 30 6 24 6 37 43 13,95
6 30 17 13 23 13 36 63,89
8 30 30 0 53 0 53 100

50 %
m = x1 + d . % 1 + 1 %

50 3,95
= 4+2 . 63 ,89 13 ,95

LD50 = anti log 5,44


= 2,75 . 105 0,1 ml 2,75 . 106
Pembahasan

A. Pembuatan Vaksin
Menurut Kordi dan Ghufran (2004), vaksin adalah satu antigen yang biasanya
berasal dari suatu jasad patogen yang telah dilemahkan atau dimatikan, ditujukan untuk
menungkatkan ketahanan (kekebalan) ikan atau menimbulkan kekebalan aktif terhadap
suatu penyakit tertentu.
Vaksin berfungsi sebagai antigen stimulan untuk memacu sel-sel terspesialisasi
untuk memproduksi antibodi dan sel-sel tersebut umunya adalah limfosit (Anderson,
1974). Meskipun dari proses masuknya vaksin ke dalam tubuh ikan sampai terbentuknya
antibodi secara biokimia dan fisiologis belum diketahui dengan jelas, tetapi sampai
sekarang dikenal adanya dua imunitas pada vertebrata, yaitu imunitas sel dan imunitas
humoral. Pada prinsipnya vaksin dapat mencegah terjadinya infeksi yaitu vaksin yang
mengandung seluruh sel, dan vaksin dapat mencegah efek infeksi yaitu vaksin toxoid
clostridium (Soeripto, 2001).
Mekanisme kerjanya, sebelum vaksin dibuat lakukan kultur bakteri dan setelah
disiapkan kultur bakteri dari masing-masing isolat, bakteri diinaktivkan dengan larutan
formalin sampai 2 % dan didiamkan selama 24 jam. Kemudian sel-sel bakteri dipanen,
sel-sel bakteri yang diperoleh kemudian dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali dengan
menggunakan sentrifuse selama 10 menit pada kecepatan 3000 rpm. Sebelum vaksin
digunakan atau disimpan, diadakan uji viabilitas terlebih dahulu untuk melihat
kemungkinan adanya sel bakteri yang masih hidup. Caranya yaitu dengan mengambil
sampel dan ditumbuhkan pada medium TCBS selama 24 jam. Bila ternyata masih ada
yang hidup, inaktivasi diulangi kembali. Selanjutnya vaksin disimpan dalam refrigerator
untuk sewaktu-waktu digunakan. Antigen O (Ag O) dibuat dari kultur murni bakteri pada
medium Trypticase Soya Broth (TSB) yang telah berumur 18-24 jam. Inaktivasi bakteri
dengan cara pemanasan pada suhu 100 oC selama 30 menit. Selanjutnya dicuci dengan
Phosphate Buffer Saline (PBS) (pH 7,0) sebanyak 3 kali dengan sentrifuse (3000 rpm
selama 10 menit). Selanjutnya Ag O tersebut disimpan dalam refrigerator sampai
digunakan. Pada saat penggunaan antigen O melalui pemanasan, hal ini ditujukan agar
didapat bagian membran sel yang hanya mengandung polisakarida murni tanpa ada lagi
campuran dari lipid yang hilang karena pemanasan. Antigen H (Ag H) dibuat dengan
menginaktivasi bakteri dari kultur murni dalam medium TSB umur 18-24 jam dengan
formalin konsentrasi 2%. Selanjutnya dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali. Untuk
penggunaan selanjutnya, antigen H tersebut disimpan dalam refrigerator. pada
penggunaan antigen H dengan perendaman formalin yang bertujuan untuk melemahkan
bakteri sehingga mengalami pengkerutan karena kehilangan cairan sel. Biasanya titer
antibodi yang didapat relatif tinggi karena antigen H mempunyai afinitas tinggi terhadap
flagel dan mudah menyebabkan bergerombolnya flagel. Semua vibrio mempunyai
antigen H yang sama. Antigen H ini bersifat tahan panas. Antibodi terhadap antigen H
tidak bersifat protektif. Sedangkan Antibodi terhadap antigen O bersifat protektif.
B. Vaksinasi
Vaksinasi adalah salah satu cara pemberian rangsangan atau antigen secara
sengaja agar ikan dapat memproduksi antibodi terhadap suatu bibit penyakit atau
patogen. Keberhasilan vaksinasi tergantung beberapa vaktor antara lain jumlah dan mutu
antigen, cara vaksinasi, umur ikan, lingkungan hidup, serta sifat dan kemampuan masing-
masing individu ikan (Dorson, 1984).
Menurut Souter (1984), cara vaksinasi dapat dilakukan dengan injeksi peritoneal,
injeksi intramuskular, merendam dalam suspensi vaksin, menyemprotkan suspensi vaksin
bertekanan tinggi ketubuh ikan dan melalui makanan atau oral. Pada praktikum ini
dilakukan dengan injeksi intraperitoneal. Injeksi intraperitoneal ini dilakukan pada awal
vaksinasi dan akhir vaksinasi. Kemudian setelah 1 minggu dilakukan booster atau
vaksinasi ulang untuk meningkatkan antibodi dikarenakan adanya proses pengenalan
terhadap antigen yang sama untuk kedua kalinya. Hal tersebut dapat meningkatkan
respon imun yang disebabkan karena sel-sel memori yang terbentuk setelah dilakukan
booster. Adapun mekanisme terbentuknya antibodi yaitu dimulai dengan adanya 2
macam sel limfosit, limfosit T yang dipersiapkan oleh atau mempunyai ketergantungan
dari kelenjar timus dan berperanan dalam kekebalan seluler dan limfosit B yang
mempunyai ketergantungan dari bursa dan berperanan dalam kekebalan humoral. Kedua
macam limfosit setelah dirangsang oleh antigen akan mengalami proliferasi dan
perubahan morfologi. Limfosit B akan berubah menjadi sel plasma yang mensintesa dan
mengeluarkan antibodi. Kemudian limfosit T berubah menjadi sel limfoblas yang
mengandung banyak ribosom sehingga menjadi basofilik dalam pewarnaan. Kegiatan
limfosit B dapat dilihat dari pembentukan pusat germinatif di daerah korteks kelenjar
limfe dan penyebaran sel plasma ke daerah medulla. Immunoglobulin hanya ditemukan
pada permukaan sel limfosit B dan sebagian besar memilki immunoglobulin jenis IgM
pada permukaan sel, mungkin dalam bentuk monomer.
Antibodi pada ikan terletak di dalam serum dan yang digunakan dalam Ab adalah
serum dan PBS yang diletakkan dalam sumuran. Antibodi digunakan untuk mengetahui
adanya reaksi antara antigen dengan antibodi atau disebut dengan aglutinasi. Setelah
dilakukan booster perbandingan antara vaksin dan kontrol cukup terlihat jelas yaitu
terjadi peningkatan pada titer antibodi akhir setelah divaksin yaitu 4,5 dan kontrol 4. hal
tersebut dikarenakan didalam tubuh ikan yang divaksinasi sudah ada respon imun yang
terbentuk secara alami dalam tubuh ikan tersebut, dengan demikian terjadi reaksi antigen-
antibodi.
Menurut Kamiso dan Triyanto (1990), mengatakan bahwa besarnya titer antibodi
tidak langsung sebanding dengan kemampuan daya tahan ikan. Hal ini diindikasikan
bahwa ikan yang memiliki titer Ab rendah lebih tahan dibandingkan ikan yang memilki
titer tinggi. Hal tersebut tergantung sifat dan kemampuan Ab yang terbentuk walaupun
Ab yang dimiliki mempunyai kelas yang sama (IgM pada ikan).
SR (Survival Rate) merupakan tingkat kelulushidupan ikan setelah divaksin.
Variasi dari tingkat kelulushidupan dikarenakan adanya perbedaan kondisi lokasi
percobaan, baik keadaan fisik bak pemeliharaan, kualitas air, jumlah dan mungkin tingkat
keganasan dari vibrio yang ada serta cara pemeliharaan.
RPS (Relative Percent Survival) atau tingkat perlindungan relatif digunakan untuk
menunjukkan efikasi vaksin atau penggunaan vaksin untuk melindungi ikan dari serangan
bakteri vibrio. Menurut Kamiso dkk., (1993) mengatakan bahwa hasil uji laboratorium
dimana RPS vaksinasi sekitar 58-100%. Berdasarkan hasil pengamatan dari vaksinasi dan
kontrol menunjukkan hasil 100%, tingginya nilai RPS dalam skala labotatorium diduga
karena kondisi lingkungan yang baik, dan relatif stabil, serta ukuran benih yang sudah
cukup besar. Umur ikan sangat berpengaruh terhadap evikasi vaksin. Semakin besar atau
semakin tua ikan nila yang divaksin semakin tinggi RPS-nya. Karena menurut Thune
(1980), semakin besar atau bertambahnya umur ikan, tanggapan kekebalannya semakin
baik, sebab organ tubuh yang berhubungan dengan tanggapan kekebalan sudah lebih
berkembang.
MTD (Mean Time To Death) atau rata-rata hari kematian, vaksinasi tidak selalu
mempengaruhi hari kematian ikan. Menurut Kamiso (1986) pada vaksinasi untuk
mencegah vibriosis mengatakan bahwa meskipun vaksinasi meningkatkan tingkat
perlindungan ikan, ternyata rata-rata waktu kematian tidak berbeda antara ikan yang
divaksin dan kontrol.
Vaksin atau vaksinasi itu meningkatkan daya tahan tidak hanya humoral tetapi
juga seluler dalam pertahanan tubuh antara seluler dan humoral tidak saja bekerja sendiri-
sendiri tetapi juga saling bekerja sama. Apabila pertahanan, baik itu humoral maupun
seluler meningkat maka antibodi pun juga akan meningkat. Karena kita tahu bahwa
pertahanan humoral berperan di dalam sel limfosit B dan sedangkan petahanan seluler
berperan dalam sel limfosit T. Setelah kedua macam sel tersebut dirangsang oleh antigen
maka akan mengalami proliferasi dan perubahan morfologi. Pada sel limfosit B akan
menjadi sel plasma yang mensintesis dan memproduksi antibodi. Dengan demikian
apabila sel limfosit B tersebut meningkat akibat rangsangan vaksin maka produksi
antibodi yang dihasilkan pun juga akan meningkat.
Vaksin merupakan antigen stimulan yang memacu sel-sel terspesialisasi untuk
memproduksi antibodi dan sel-sel tersebut umumnya adalah limposit (Anderson, 1974).
Sedangkan antibodi adalah molekul immunoglobulin yang memilki urutan asam amino
khas, hanya berinteraksi dengan antigen yang sintesanya dirangsang mutagen tersebut di
jaringan limfoid (Kamiso dkk., 1993).
Vaksin dengan antigen memiliki hubungan yang sangat erat karena vaksin sendiri
adalah bahan atau antigen yang sengaja dimasukkan ke dalam tubuh ikan untuk
merangsang kekebalan spesifik pada ikan. Kemudian antigen memiliki hubungan yang
erat pula dengan titer antibodi, karena jenis antigen akan menentukan tingginya titer
antibodi. Selain itu juga variasi antigenik dari bakteri yang digunakan tidak saja pada
jenis antigen tetapi juga besarnya titer antibodi yang terbentuk. Dengan demikian
tingginya titer antibodi tergantung dari jenis antigen yang digunakan dan variasi
antigenik dari bakteri vibrio tersebut. Jika titer antibodi tinggi maka tingkat
kelulushidupan dari ikan pun juga akan tinggi. Karena semakin baik efikasi vaksin yang
digunakan untuk merangsang sel limfosit dalam membentuk antibodi maka semakin baik
pula pertahanan baik itu humoral maupun seluler. Sehingga akan menekan tingkat
kematian yang tinggi akibat infeksi bakteri dan sebaliknya akan meningkatkan laju
pertumbuhan.

C. Uji Tantang
Menurut Kamiso dkk., (1993), LD50 merupakan derajat keganasan patogen atau
ukuran patogenesitas dari bakteri. Sedangkan uji tantang adalah melakukan infeksi
bakteri tertentu kedalam tubuh ikan yang telah divaksinasi untuk melihat evikasi vaksin
dalam merangsang pembentukkan antibodi.
Pada saat vaksinasi pertama digunakan untuk merangsang sel limfosit dalam
memproduksi antibodi. Ditinjau dari waktu yang diperlukan, ternyata semua jenis antigen
dari semua isolat mencapai puncak titer antibodi pada minggu kedua dan ketiga setelah
vaksinasi. Kemudian setelah itu dilakukan booster (vaksinasi ulang), hal tersebut
digunakan untuk meningkatkan titer antibodi yang telah terbentuk setelah vaksinasi
pertama. Dengan demikian apabila produksi antibodinya meningkat maka ketahanan ikan
terhadap suatu penyakit khususnya vibrio akan meningkat pula. Hal ini yang
menyebabkan tingkat kelulushidupan dari ikan juga akan tinggi dan tentunya menekan
tingkat kematian. Tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu faktor
lingkungan, titer antibodi bisa saja tinggi namun apabila kondisi lingkungan seperti
kualitas air, bibit penyakit dan antigen alami akan berpengaruh terhadap efektivitas
vaksin. Kualitas air akan sangat mempengaruhi kemampuan ikan yang divaksin dalam
membentuk antibodi dan faktor kekebalan non spesifik (Anderson, 1974). Perairan alami
biasanya terdapat berbagai patogen terutama patogen oportunistik. Keadaan lingkungan
akan sangat mempengaruhi baik jenis maupun jumlahnya. Tingkat keganasan bakteri
patogen juga akan berbeda pada kondisi yang berbeda. Ada suatu kecenderungan bahwa
pada suhu air yang lebih tinggi bakteri patogen akan lebih ganas (Stevenson, 1988).
Dengan demikian belum tentu titer antibodi tinggi selalu diikuti dengan SR yang tinggi
pula, karena hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Selain itu SR akan
menjadi rendah oleh faktor stres dan beberapa sebab lain yang juga dimungkinkan.
Adanya stres akan menekan pembentukkan antibodi sehingga peningkatan daya tahan
ikan yang divaksin rendah.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Secara umum dapat dikatakan bahwa vaksinasi dengan cara injeksi lebih efektif
dibandingkan dengan cara rendaman dan oral.
2. Hasil titer awal baik vaksin dan kontrol sama-sama 1,5 dan setelah booster vaksin
4,5 dan kontrol 4.
3. Pemberian vaksin dapat meningkatkan daya tahan tubuh ikan secara spesifik
bahkan dapat meningkatkan titer antibodi.
4. Vaksinasi tergantung dari cara vaksinasi dan jenis antigennya, dua hal itu yang
penting.
5. Peningkatan atau tingginya titer antibodi tidak selalu diikuti dengan peningkatan
SR, karena faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan vaksinasi
dalam pembentukkan dan peningkatan antibodi.
6. Vaksinasi meningkatkan pertahanan tidak hanya seluler tetapi juga humoral, dan
masing-masing tidak bekerja sendiri-sendiri tetapi juga saling bekerja sama.
7. Antigen memiliki hubungan yang erat dengan titer antibodi, karena jenis antigen
menentukan tingginya titer antibodi.
8. Variasi antigenik pada bakteri tidak saja pada jenis antigen tetapi juga besarnya
titer antibodi yang terbentuk.
9. Tinggi rendahnya titer antibodi tergantung dari jenis antigennya.
10. Antibodi terhadap antigen H tidak bersifat protektif, sedangkan antibodi terhadap
antigen O bersifat protektif.

Saran

1. Perlu dilakukan uji lapang untuk mengetahui efikasi vaksin terhadap benih nila.
2. Perlu dilakukan percobaan selanjutnya untuk mengetahui seberapa lama vaksin
yang dibuat dapat bertahan terhadap infeksi vibrio.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, D. P., 1974. Diseases of Fishes. Book 4 : fish immunology, ed. By S. F.


snieszko dan H. R. axelrod, TFH pub., nepture city.

Dorson, M., 1984. Applied Immunology Of Fish In Symposium On Fish Vaccination. O.


I. E., paris.

Einsen, H. N., 1980. Cell-Mediated Hypersensitivity And Immunity. In : microbiology,


including immunology and moleculer genetics, davis, B ; R. dulbeco; H.N.,
einsen and H.S. ginsberg (eds.) 3rd ed., harper and row pub., Philadelphia. P.
493-522
Ellis, A.E., 1988. Optimizing Factors For Fish Vaccination, A.E. ellis (ed.) academic
press, ltd, p 32-46

Itami, T dan R. kusuda, 1980. Studies On Spray Vaccination Against Vibriosis In


Cultured Ayu-I. effect of bentonit and pH on vaccination efficacy. Bull. Of the
Japanese soc. Of sci. fisheries, 46 : 533-536

Johnson, T. A. dan D. F. Amend, 1984. Potential For Immersion Vaccination Against


Aeromonas Salmonicida. J. fish dis., 197 : 101-105

Kamiso H. N., 1986. Differences In Pathogenicity And Pathology Of Vibrio Anguillarum


And Vibrio Ordalii In Chum Salmon (Oncorlyncus keta) And English Sole
(Parophrys vetulus) Under Laboratory Conditions. Ph.D. thesis, Oregon state
univ., corvalis, 116.

Kamiso, H.N, Triyanto, Sukiman WS, Sri Hartati, Bambang Triyatmo, dan Sri Sulandari.
1990. Uji Coba Vaksin Aeromonas hydrophila Terhadap Ikan Lele Dumbo (Clarias
gariepinus). Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Kamiso, H. N., Adi S., Iwan Yusuf B. L., Widodo, Nuzirwan T., Eni Budi S. H., Suko H.,
Triyanto, Ustadi, Ade Noor K., Wiwiek N., Sri W., Setianingsih. 1993. Hama
Penyakit Ikan Karantina Golongan Bakteri. Pusat Karantina Pertanian Dan
Fakultas Pertanian Jurusan Perikanan UGM. Yogyakarta.

Kordi, K. dan ghufran, H., 2004. Penaggulangan Hama Dan Penyakit Ikan. Rineka cipta
dan bina adiaksara. Jakarta.

Lillehaug, A. 1991. Vaccination Of Atlantic Salmon (salmo solar l.) Against Coldwater
Vibriosis Duration Of Protection And Effect On Growth Rate. Aquaculture, 92 : 99-
107.

Michel, C.; G. tixier dan M. Mevel, 1984. Evaluation Of The Protective Immunity And
Economic Efficacy Of Vaccines For Fish. In : symposium of fish vaccination, ed. P.
dekinkelin dan C. michel. Paris, office international desepizooties, p. 75-96.

Rijkers, G.T. and W. B. van muiswinkel, 1977. The Immune System Of Cyprinid Fish.
The development of cellular and responsiveness in the rosy barb (barbus
conchonius). In : developmental immunobiology. J. B. Solomon and J. D. Horton
(eds.), elvesier/north Holland, 233-240.

Roberts, R. J., 1993. Motile Aeromonas Septicemia In Bacterial Diseases Of Fish. V.


inglish, R. j. Roberts and N. R. bromage (eds.) Blackwell Sci. pub., 143-156.
Soeripto, 2001. Pendekatan Konsep Kesehatan Hewan Melalui Vaksinasi. Balai
penelitian veteriner, jl. R. E. Martadinata No. 30, bogor 16114.

Souter, B. W., 1984. Immunization With Vaccines. Dep. Of fish. And oceans. Winnipeg,
man. 111-117.

Stevevson, R. M. W., 1988. Vaccination Against Aeromonas hydrophila. In : fish


vaccination. A. E. ellis (ed). Academic press, London. 112-123 p.

Sujudi, H., 1993. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa aksara. Jakarta.

Thune, R. L., 1980. Immunization Of Channel Catfish (Ictalurus Punctatus) Againts


Aeromonas Hydrophila Via Hyperosmotic Infiltration. M. S. thesis. Auburn
university, 55 p.

A. EPIDEMIOLOGI

I. TUJUAN

1. Mengetahui mortalitas dan morbiditas yang diakibatkan oleh serangan parasit.


2. Menganalisis kemungkinan faktor determinan atau penentu suatu serangan parasit

II. MANFAAT

1. Dapat mengetahui sejarah baik itu sejarah ikannya, lokasi pngambilan sampel
ataupun distribusi penyakitnya.
2. Dapat menghitung mortalitas dan juga morbiditas yang meliputi faktor
prevalency dan incidency.

III. TINJAUAN PUSTAKA

Secara umum epidemiologi merupakan salah satu bagian dari ilmu kesehatan
masyarakat (public health) yang menekankan perhatiannya terhadap keberadaan penyakit
ataupun masalah kesehatan lainnya dalam masyarakat (Bustan, 2006). Pengertian lain
epidemiologi adalah ilmu tentang distribusi (penyebaran) dan determinant (faktor
penentu) masalah kesehatan untuk development (perencanaan) dari penanggulangan
masalah kesehatan.
Berbagai definisi telah dikemukakan oleh para penulis dan para pakar yang
mencurahkan waktunya dalam epidemiologi. Beberapa diantara mereka dapat disebutkan
di sini :
1. Wade Hampton Frost (1927), Guru Besar Epidemiologi di School of Hygiene,
Universitas John Hopkins mendefinisikan epidemiologi sebagai suatu
pengetahuan tentang fenomena massal (mass phenomen) penyakit infeksi atau
sebagai riwayat alamiah (natural history) penyakit menular.
2. Greenwood (1934), Professor di School of Hygiene and Tropical Medicine,
London, mengemukakan batasan epidemiologi yang lebih luas di mana dikatakan
bahwa epidemiologi mempelajari tentang penyakit dan segala macam kejadian
penyakit yang mengenai kelompok (herd) penduduk.
3. Kemudian Brian Macmohan (1970), pakar epidemiologi di Amerika Serikat yang
bersama Thomas F. Pugh menulis buku Epidemiology; Principles and Methods
menyatakan bahwa epidemiology is the study of the distribution and determinants
of disease frequency in man. Epidemiology adalah studi tentang penyebaran dan
penyebab kejadian penyakit pada manusia dan mengapa terjadi distribusi
semacam itu.
4. Gary D. Friedman (1974), selanjutnya dalam bukunya Primer Of Epidemiology
menuliskan bahwa epidemiology is the study of disease occurance in human
populations. Batasan ini lebih sederhana dan tampak senapas dengan apa yang
dikemukakan oleh macmohan. Dan ini pula yang kurang lebih dikemukakan oleh
Anders Ahlbom dan Staffan Norel (1988s) dalam bukunya Introduction Of
Modern Epidemiology. Dikatakan bahwa epidemiologi adalah ilmu pengetahuan
mengenai terjadinya penyakit pada populasi manusia.
Dengan demikian definisi epidemiologi, Last (1988) dalam Bustan (2006), mengatakan
bahwa epidemiology is the study of the distribution and determinants of health-related
states or eventsin specified populations and the application of this study to the control of
health problems .
Epidemiologi diharapkan dapt berperan dalam pembangunan kesehatan secara
keseluruhan. Bentuk peran itu dapat dijabarkan dalam 7 peran utama (Valanis, 1999)
yaitu :
1. Investigasi etiologi penyakit
2. Identifikasi factor resiko
3. Identifikasi sindrom dan klasifikasi penyakit
4. Melakukan diagnosis banding (differential diagnosys) dan perencanaan
pengobatan
5. Surveilan status kesehatan
6. Diagnosis komunitas dan perencanaan pelayanan kesehatan
7. Evaluasi pelayanan kesehatan dan intervensi kesehatan
diagnosis adalah upaya untuk menegakkan atau mengetahui jenis penyakit yang
diderita oleh makhluk hidup baik hewan maupun manusia. Untuk mengetahui adanya
penyakit dapat dilakukan diagnosis dengan melakukan 3 cara utama (Ahlbom, 1988) :
1. Anamnese
2. Tanda (sign)
3. Tes (uji)
prevalensi merupakan ukuran tentang jumlah atau proporsi dari kasus atau
masalah kesehatan pada suatu populasi tertentu. Sedangkan insidensi dirumuskan sebagai
banyaknya kasus baru yang ditemukan pada suatu periode waktu tertentu dibagi dengan
populasi beresiko (Bustan, 2006). Etiologi berkaitan dengan lingkup kegiatan
epidemiologi dalam mengidentifikasi penyebab penyakit dan masalah kesehatan lainnya.
Sedangkan epidemiologi dalam klinik digunakan dalam penentuan abnormalitas;
menentukan batas seseorang atau hewan dapat disebut sakit atau mempunyai suatu kadar
hasil pemeriksaan laboratorium yang abnormal.
IV. METODOLOGI

. Alat dan Bahan


No Alat Kegunaan No Bahan Kegunaan
1 seser Menangkap sampel 1. Ikan sampel Identifikasi patogen
2 Termometer Mengukur suhu air 2. Air sampel Mengetahui pH air
3 Botol aqua Tempat sampel air 3. Aquades Membasahi sampel
4 Skalpel Membedah ikan
5 Pinset Membedah ikan
6 Piring Membedah ikan
preparat
7 Kertas Mengukur pH
lakmus
8 Gelas benda Meletakkan sampel
9 Cover glass Melindungi
mikroskop dari
sampel
10 Mikroskop Melihat patogen
11 Wadah ikan Untuk mengamati
pergerakan ikan di
kolam

b. Cara kerja

1. Mendiagnosa penyakit ikan dengan menanyakan status ikan dan riwayat penyakit
ikan kepada pemilik ikan
2. Mendiagnosa ikan secara fisik ketika dikolam dengan mengamati kelakuan ikan,
cara renang, gerakan tubuh.
3. Pemeriksaan eksternal terhadap kemungkinan abnormalitas meliputi warna ikan,
produksi lendir, kelengkapan organ, parasit eksternal (kulit dan insang)
4. Pemeriksaan internal dengan pembedahan untuk mengetahui keadaan organ-organ
dalam.
5. Mengamati dan mencatat kondisi lingkungan saat dilungkungan meliputi kualitas
air, sumber air, jumlah dan frekuensi pakan, pengobatan.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

a. Diagnosa penyakit ikan :


1. Status ikan
parameter Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV
Jenis Gurami a. nila Lele lele
b. bawal
Populasi Gurami Bawal 2 3000 ekor/ 2000 ekor/
kuintal kolam (3x 5 m2) kolam (3x4)
Umur 4 bulan a.nila 5-6 bulan 1 bulan 2 bulan
b.bawal 5
bulan
Jenis Jantan a. jantan Jantan Jantan
kelamin b. betina
Ukuran 17,5 cm a. 27,5 cm a. kecil 9,8 cm a. kecil 24 cm
b. 30 cm b. besar 23 cm b. besar 27 cm.
Berat 78 gram a. 600 gram a. 10 gram a. 105 gram
b. 320 gram b. 100 gram b. 160 gram
Asal daerah Grojogan bantul a. Lokal Bokesan Muntilan
b. Ngrajek cangkringan bokesan
ngrajek
Manajemen Intensif Intensif, Intensif Intensif
pemeliharaan monokultur polikultur, air
dari S. Gajah
Wong
b. Riwayat penyakit
parameter Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV
Waktu 29 maret 2008 29 maret 2008 1 minggu setelah Musim
kejadian penebaran penghujan
Frekuensi tiap bulan ada, Perubahan Tiap penebaran Musim
/ paling puncak bulan juli- musim bibit penghujan
sering agustus (jamur)
Tingkat 1-2 ekor/ hari Bawal : 0% 15-20 % 20 kg
kematian Nila: ada
2 . Diagnosa fisik di kolam
parameter Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV
Kelakuan Gelisah, muncul nila: Tidak Menggantung , Mengapung,
dipermukaan, berdiam di bahkan ada yang menggantung
tidak menggesek- dasar posisinya dipermukaan
gesekkantubuh bawal: Tidak terbalik. air, tidak
pada dinding berdiam di Menggesek- Menggesek-
kolam, sisik lepas dasar kolam gesekkan tubuh gesekkan
pada dinding tubuh pada
dinding

Cara Lambat, gelisah Keduanya Berputar-putar Diam dan


berenang lincah lalu mengapung terlihat lemas
Gerakan Kurang lincah , Bawal ; lincah Tidak selincah Kurang lincah
tubuh tidak seperti yang Nila sedikit yang lain
lain lemah
3. Pengamatan eksternal terhadap kemungkinan abnormalitas
parameter Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV
Pertumbuhan Normal, Nafsu Normal Badan kurus dan Besar : Normal
makan kurang kecil Kecil : Normal
Warna kulit Hitam kusam, Bawal : Hitam agak Besar: Hitam
tidak segar kehitaman dan pucat kekuningan
berwarna Kecil: Hitam
merah mulai kemerah-
perut sampai merahan
rima oris
Nila: hitam
keputihan
Keadaan Sisik sebagian Bawal : Halus, - Besar: Sirip
kulit lepas sisik baik dan normal
Sirip: kusam , halus Kecil: Bercak
dan geripis pada Nila : Lepas kemerahan,sirip
sirip ekor dan kasar normal
Sirip: geripis berwarna
kemerahan
Warna Agsak pucat - Pucat Pucat
insang
Produksi Banyak di insang Bawal: Banyak Berlebihan Besar: Sedikit
lendir , kulit Nila: Sedikit di insang
maupun kulit
Kecil ; Banyak
di insang
maupin di kulit
Lain-lain Mata normal Mata normal
Parasit
penempel
, Lokasi

Pemeriksaan Internal
parameter Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV
Dinding Coklat Nila : warna Tidak ada tanda Besar: Warna
perut hijau tanda yang pucat kompak
Warna Bawal: Putih berhubungan dan kenyal
dengan Kecil :
Heneguya sp. Kemerahan ,
kenyal
Keadaan Usus berwarna Nila : ginjal Keadaan normal Besar: Limfa
organ putih tidak panjang hitam usus dan
lembek , organ 7 cm dan usus hati kuning
dalam baik dan 0,5 cm pucat, ginjal
normal Bawal : organ hitam
Jantung warna baik Jantung, Kecil : limpa
merah pucat, Hati hati berwarna dan ginjal
dan limpa warna kemerahan , merah
merah, limpa kehitaman,
gelembung kehijauan hati
renang putih dan gelembung kemerahan
kecil, ginjal renang putih
merah segar
Timbunan Tidak ada cairan Nila: cairan Besar; Banyak
cairan sedikit , Kecil : sedikit
sedikit lemak
Bawal: Cairan
sedikit ,
banyak lemak
Parasit
dalam organ

Kondisi lingkungan
parameter Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV
Sumber air Sungai gajah Sungai gajah Sungai opak Sungai opak
wong dialirkan wong
melalui selokan
Kualitas air Agak jernih, Warna Hijau, pH 7 Suhun air 28
warna hijau jika kecoklatan, Suhu air 26 C C, pH 6,8
musim hujan pH7,1 , suhu air suhu udara 28
agak keruh dan udara 27 C C
namun bila
muim kemarau
jernih
Jumlah dan Pelet 2% berat Nila: pelet daun Pelet pokhpand 5% berat tubuh
ukuran pakan tubuh, senthe hijau satu hari 10 sak
dan roti Bawal: usus (@ 30 kg)
sebanyak ikan roti daun hijau
mau (kayu apu)
Frekuensi 2 kali sehari 3 kali sehari 1-2 kali sehari 2 kali sehari
pakan
Pengobatan Kolam: Garam Penambahan Penggaraman Jamur : garam
dapur 2 ons/m3 garam 0,5 ons / Pemupukan Supertetra :
dicairkan dalam m3 untuk Kapur penyakit ikan
air dan di pencegahan Diberi pupuk muter-muter
masukkan diberikan puyuh pada
kolam , seminggu setiap kolam
diberikan hari fdalam
selama 3 hari jangaka tiap
Individu: tiga hari
mencelup ikan
pada cairan
garan selam 4-5
detik
Lain lain Terbuka , Tidak ada Saluran air
ditanami talas vegetasi bersistem seri
peneduh

Pembahasan

Berdasarkan hasil pengamatan kelompok 1, apabila dilihat dari hasil pemeriksaan


eksternal terhadap kemungkinan abnormalitas yaitu dimulai dari pengamatan
pertumbuhan terlihat pada ikan gurami nafsu makan berkurang. Hal ini dimungkinkan
bahwa ikan terserang parasit. Kemudian warna kulitnya hitam kusam atau tidak segar, hal
ini bisa disebabkan oleh adanya serangan parasit dan juga oleh faktor-faktor selain
penyakit. Kelainan warna itu dapat dianggap sebagai gejala dari suatu penyakit bila tidak
ada penyebab lain seperti takut, terkejut atau habis memijah. Lagi pula, perubahan warna
tubuh ikan yang disebabkan penyakit sifatnya permanen (berlangsung lama). Berdasarkan
pengamatan produksi lendirnya juga banyak, ini menunjukkan kalau ikan tersebut sakit
terutama pada ikan yang berwarna gelap. Sebaliknya, kelebihan lendir itu agak sulit
diketahui pada ikan dengan tubuh berwarna terang karena lendir berwarna bening sampai
agak keabu-abuan. Produksi lendir yang berlebihan pada ikan biasanya disebabkan oleh
parasit yang menyerang bagian kulit. Banyaknya lendir yang dikeluarkan tergantung pada
intensitas serangan. Apabila dilihat lagi warna insang pucat (anemia) bisa disebabkan
oleh infeksi bakteri ataupun virus, sedangkan mata menonjol (eksoptalmia) bisa
diakibatkan oleh infeksi tuberkulosis, infeksi cacing ataupun virus. Berdasarkan hasil
pengamatan eksternal di mikroskop, terlihat pada insang adanya parasit heneguya p.
Yang termasuk penyakit endoparasit protozoik. Menurut Irianto (2004), Henneguya
merupakakan parasit dari kelompok myxosporidia, ciri spesifiknya yaitu adanya 2 kapsul
polar dan dinding spora memiliki bagian yang memanjang seperti ekor. Secara klinis ikan
yang terinfeksi akan menunjukkan adanya kista putih yang banyak pada kulit dan insang.
Kista akan dapat membesar dan dapat menyebabkan hiperplasia sel-sel epitel insang,
selanjutnya menyebabkan anoksia (kekurangan oksigen) akibat disfungsi insang. Infeksi
interlamella insang dapat menyebabkan nekrosis dan pada status berat menyebabkan
kematian.
Pada lapisan lendir jenis parasit non protozoik yaitu diplostonum mergi ynag
masuk dalam kelompok trematoda digenea. Jenis ini memiliki siklus hidup yang
kompleks dengan melibatkan sejumlah hewan inang. Ikan dapat dapat berperan sebagai
inang perantara maupun inang definitif tergantung spesies trematoda digenea. Trematoda
dapat berupa parasit eksternal atau internal pada berbagai macam organ.
Pada kelompok 2, berdasarkan hasil pemeriksaan abnormalitas terlihat kulit pada
ikan nila kasar dimungkinkan adanya infeksi oleh ichthyosporodium dan sisik pada ikan
nila juga kasar, lepas atau geripis. Hal ini juga dimungkinkan infeksi bakteri atau air yang
terlalu asam. Berdasarkan pengamatan eksternal secara mikroskopis, pada lendir
ditemukan adanya henneguya dan trichodina. Trichodina merupakan protozoa dari
kelompok ciliata. Memiliki bulu getar peritrikha. Trichodina merupakan agensia
penyebab penyakit trikhodiniasis. Sel trichodina berbentuk bundar seperti cawan dengan
diameter 50 m, bulu getar terangkai pada kedua sisi sel, dan memiliki makro serta
mikronukleus. Ketika dilihat secara dorso-ventral, sel trichodina berbentuk seperti
cakram dengan bentukan cincin di dalamnya. Kemudian pada sis ditemukan
ichthyophthirius dan henneguya serta pada insang juga ditemukan adanya henneguya.
Menurut Hoole et al., (2001) Ichthyophthirius termasuk protozoa yang bersifat parasit
obligat. Ichthyophthirius merupakan protozoa berbulu getar, parasit obligat pada ikan air
tawar yang harus menemukan inang baru dalam 48 jam (pada suhu sekitar 25-27 oC).
Stadium trofozoitnya (trophozoite) dapat memiliki diameter hingga 100 m, berbulu
getar (cilia) dan memilki nukleus berbentuk tapal kuda. Pada ikan bawal baik itu
pengamatan eksternal maupun internal tidak ditemukan gejala penyakit. Pada
pemeriksaan internal ikan nila, di usus cacing jenis dactylogyrus dan trichodina.
Dactylogyrus termasuk trematoda monogenea dan merupakan parasit yang biasa disebut
sebagai cacing pipih. Beberapa spesies mungkin menginfeksi rektrum, uretra, rongga
tubuh bahkan saluran pembuluh darah. Epidemik disertai kematian yang tinggi dapat
berlangsung pada hewan budidaya karena densitas yang tinggi, sanitasi yang buruk, dan
menurunya kualitas perairan. Penularan cacing trematoda monogenea dari satu individu
ke individu lainnya terjadi secara kontak langsung. Monogenea tidak mempunyai inang
antara dan siklus hidupnya sederhana. Hewan dewasa bersifat hermafrodit, monogenea
ovipar (misalnya dactylogyrus) membebaskan telur ke kolom air, dan ketika menetas
sudah dalam bentuk morfologi seperti hewan dewasa.
Pada kelompok 3 berdasarkan pengamatan abnormalitas, badan kurus kecil dan
hal tersebut dapat diakibatkan oleh infeksi tuberkulosis dan penyakit cacing. Kemudian
terjadi hemorrhage pada sirip dapat juga disebabkan serangan argulus sp., infeksi bakteri,
infeksi trichodina sp., dan gigitan lintah. Pada insang ditemukan parasit henneguya dan
pada kulit ikan lele kecil juga ditemukan henneguya. Pada pemeriksaan internal tidak
terdapat tanda-tanda yang berhubungan dengan serangan henneguya sp. Namun, parasit
itu sendiri pada ikan lele besar ditemukan di organ insang.
Pada kelompok 4 berdasarkan pengamatan eksternal ikan lele besar terlihat warna
insang pucat dan parasit yang menempel adalah jenis henneguya. Di atas sudah
dijelaskan bahwa insang pucat dapat dikarenakan adanya infaksi bakteri ataupun virus.
Sedangkan pada pengamatan internal terlihat pada organ hati berwarna kuning pucat atau
cokelat kekuning-kuningan atau berwarna seperti tembaga. Hal tersebut bisa dikarenakan
infeksi bakteri dan livoid liver degeneration. Pada lele kecil terdapat banyak bercak
merah pada kulit, hal tersebut diindikasikan terserang oleh bakteri aeromonas sp. Bakteri
aeromonas termasuk dalam famili pseudomonadaceae. Ciri utama bakteri aeromonas
adalah bentuknya seperti batang, ukurannya 1-4 0,4-1 mikron, bersifat gram negatif,
fakultatif aerobik (dapat hidup dengan atau tanpa oksigen), tidak berspora, bersifat motil
(bergerak aktif) karena mempunyai satu flagel (monotrichous flagella) yang keluar dari
salah satu kutubnya, senang hidup di lingkungan bersuhu15-30 oC dan pH 5,5-9.
Lingkungan adalah bagian dari kehidupan yang sangat penting. Gangguan
lingkungan akan mengganggu kesehatan ikan. Diperlukan pengetahuan dan upaya untuk
menjaga agar air dan udara tidak tercemar dengan zat-zat yang dapat membawa gangguan
atau penyakit pernapasan. Dengan demikian apabila lingkungan baik terbebas dari segala
pencemar dan serangan penyakit maka ikan pun juga akan menjadi sehat, karena faktor
lingkungan menjadi faktor pembatas (limitting factor) yang sangat penting. Definisi sehat
menurut WHO 1948 dalam Bustan 2006 adalah health is a state of complete physical,
mental and social well being and not merely the absence of disease or infirmity.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Epidemiologi menekankan upaya menerangkan bagaimana distribusi penyakit dan


bagaimana berbagai komponen menjadi faktor penyebab penyakit tersebut.
2. Pengetahuan tentang jalan masuk suatu penyakit ke dalam tubuh itu penting untuk
epidemiologi karena dengan pengetahuan itu dapat dilakukan penghadangan
perjalanan kuman masuk ke dalam tubuh ikan.

Saran
Pencegahan dini mengenai serangan penyakit melalui riwayat penyakit dan distribusinya
harus lebih ditekankan lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Ahlbom, A dan S. Norel. 1988. Pengantar Epidemiologi Modern. Editor : Suhardi,


Januar Ahmad. Yayasan Essentia Medica. 1992.

Bustan, M. N., 2006. Pengantar Epidemiologi. Rineka Cipta. Jakarta

Friedman, GD., 1974. Prinsip-Prinsip Epidemiologi. Yayasan Essentia Medica.


Yogyakarta.

Hoole, D.; Bucke, D; Burges, P.; and Wellby, I. 2001. Diseasesof Carp and Other
Cyprinid Fishes. Fishing News Book. Blackwell Sciences Ltd., Oxford.

Irianto, A., 2004. Patologi Ikan Teleostei. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
MacMohan, B., TF.Pugh. Epidemiology : Principles and Methods. Little Brown and
Company. 1970.

Valanis, B. Epidemiology In Health Care. Appleton & Lange, Standford, Connecticut.


1999.

You might also like