Professional Documents
Culture Documents
A. PENDAHULUAN
Hutan hujan tropis adalah hutan yang memiliki keanekaragaman tumbuhan
yang sangat tinggi, atau hutan dengan pohon-pohon yang tinggi, iklim yang
lembab, dan curah hujan yang tinggi (Zaenuddin, 2008).
Patandianan (1996) mengatakan bahwa sifat tanah hutan hujan tropis
adalah miskin hara sehingga tidak mampu mendukung produktivitas tumbuhan
yang sangat tinggi. Menurut Resosoedarmo et al., (1986) produktivitas yang
sangat tinggi pada kawasan ini terjadi karena ekosistem hutan hujan tropis
memiliki sistem daur hara yang sangat ketat, tahan kebocoran, dan berlangsung
cepat.
Pada hutan hujan tropis di wilayah Situ Lembang, terutama dalam kanopi
pohon, terdapat berbagai kehidupan hewan serangga yang jumlahnya tak terhitung
dan kadang-kadang memiliki warna yang indah sekali. Selain itu banyak juga
terdapat katak pohon, kadal, ular, burung, tupai, monyet, dsb. Sebagian besar
hidup hewan-hewan tersebut di atas pohon dan sangat jarang turun untuk
menyentuh tanah selama hidupnya. Tumbuhan penyusun dari hutan hujan ini dapat
berganti daun-daunya setiap tahunnya secara individual. Namun demikian tidak
terdapat perubahan musiman yang teratur dan tidak juga berpengaruh terhadap
seluruh vegetasi yang ada. Sepanjang tahun terjadi pembungaan dan
pembentukkan buah, meskipun ada kecenderungan setiap tumbuhannya memiliki
musim pembuahan pada waktu-waktu tertentu dan tidak sama untuk masing-
masing jenis tumbuhan. Proses demikian disebut dengan gejala cauliflory
(berbunga dan berbuah pada batang atau dahan-dahan yang telah tua dan tidak
berdaun lagi). Proses dan siklus yang demikian itu merupakan gejala yang sangat
umum dalam wilayah hutan hujan tropis (Ardiananda, 2008).
BAB II
PEMBAHASAN
Secara geografis daerah hutan hujan tropis mencakup wilayah yang terletak di
antara titik balik rasi bintang Cancer dan rasi bintang Capricornus, yaitu suatu
wilayah yang terletak di antara 23027 LU dan 23027 LS (Weidelt, 1995).
Menurut Ewusie (1980) wilayah hutan hujan tropis mencakup 30 % dari luas
permukaan bumi dan terdapat mulai dari Amerika Selatan, bagian tengah dari
benua Afrika, sebagian anak benua India, sebagian besar wilayah Asia Selatan dan
wilayah Asia Tenggra, gugusan kepulauan di samudra Pasifik, dan sebagian kecil
wilayah Australia.
Pada umumnya wilayah hutan hujan tropis dicirikan oleh adanya 2 musim
dengan perbedaan yang jelas, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Ciri
lainnya adalah suhu dan kelembapan udara yang tinngi, demikian juga dengan
curah hujan, sedangkan hari hujan merata sepanjang tahun (Walter, 1981).
C. Jenis tumbuhan yang hidup di daeran hutan hujan tropis antara lain :
Pohon jelutung dapat disadap sepanjang tahun, produksi getah per pohon
tergantung pada ukuran pohon dan cara penyadapannya. Sedangkan mutu
getah jelutung tergantung pada jenis pohon jelutung yang disadap serta
perlakuan dan teknik penanganan pascapanen yang diterapkan. Mutu getah
jelutung terbaik dihasilkan dari Dyera costulata (Jelutung oukit). Getah
jelutung bermutu tinggi bila memiliki kandungan karet (perca) yang tinggi
dan resin (harsa) yang rendah. Dyera Costulata menghasilkan getah sekitar 2,5
kg lebih banyak dari Dyera laxiflora yang hanya menghasilkan 0,5 kg getah.
Di Kalimantan dari satu pohon pantung rata-rata dapat menghasilkan pantung
seberat pikul atau rata-rata produksi getah jelutung sebanyak 50
kg/pohon/tahun.
Kayu jelutung bersifat lunak dan berwarna putih dengan tekstur permukaan
agak rata, halus dan licin sehingga bisa digunakan sebagai bahan pola sepatu,
sebagai bahan baku pembuatan batang pensil dan sebagai bahan pembuatan
papan dan peti. Vinir kayu jelutung mudah dibuat dan mudah direkat. Kayu
jelutung mudah digergaji dalam keadaan kering dan mudah dikerjakan seperti
diserut, dibor, dipaku, disekrup dan diberi finishing seperti cat, divernis dan
dipelitur. Semua bagian kayu segar sangat rentan terhadap serangan jamur
blue-stain, pengupasan kulit tanpa dibarengi pembubuhan fungisida akan
mempermudah serangan blue-stain.
Karena pohon jelutung termasuk jenis pohon dwiguna, maka sangat baik
untuk dikembangkan di kawasan penyangga (buffer zone) sebagai tanaman
konservasi dan sumber penambah penghasilan bagi masyarakat setempat.
Upaya pengembangan tanaman jelutung di kawasan penyangga perlu
dibarengi dengan penyuluhan tentang teknik penyadapan, pengolahan dan
standar mutu komoditi jelutung, sehingga masyarakat setempat dapat
menikmati nilai tambah dari pengolahan getah jelutung.
ENCEKIK
2. Terna
Pada bagian hutan yang kanopinya tidak begitu rapat, memungkinkan sinar matahari
dapat tembus hingga ke lantai hutan. Pada bagian ini banyak tumbuh dan berkembang
vegetasi tanah yang berwarna hijau yang tidak bergantung pada bantuan dari luar.
Tumbuhan yang demikian hidup dalah iklim yang lembab dan cenderung bersifat
terna seperti paku-pakuan dan paku lumut (Selagenella spp.) dengan bagian
dindingnya sebagian besar terdiri dari tumbuhan berkayu. Terna dapat membentuk
lapisan tersendiri, yaitu lapisan semak-semak (D), terdiri dari tumbuhan berkayu agak
tinggi. Lapisan kedua yaitu semai-semai pohon (E) yang dapat mencapai ketinggian 2
meter.
3. Tumbuhan Pemanjat
Tumbuhan ini bergantung dan menunjang pada tumbuhan utama dan memberikan
hiasan utama pada hutan hujan tropis. Tumbuhan pemanjat ini lebih dikenal dengan
sebutan Liana. Tumbuhan ini dapat tumbuh baik, besar dan banyak, sehingga mampu
memberikan salah satu sifat yang paling mengesankan dari hutan hujan tropis.
Tumbuhan ini dapat berbentuk tipis seperti kawat atau berbentuk besar sebesar paha
orang dewasa. Tumbuhan ini seperti menghilang di dalam kerimbunan dedaunan atau
bergantungan dalam bentuk simpul-simpul tali raksasa (ingat dalam film Tarzan, the
Adventure). Sering pula tumbuhan ini tumbuh di percabangan pohon-pohon besar.
Beberapa diantaranya dapat mencapai panjang sampai 200 meter.
4. Epifita
Tumbuhan ini tumbuh melekat pada batang, cabang atau pada daun-daun pohon,
semak, dan liana. Tumbuhan ini hidup diakibatkan oleh kebutuhan akan cahaya
matahari yang cukup tinggi. Beberapa dari tipe ini hidup di atas tanah pada pohon-
pohon yang telah mati. Tumbuhan ini pada umumnya tidak menimbulkan pengaruh
buruk terhadap inang yang menunjangnya. Tumbuhan ini pun hanya memainkan
peran yang kurang berarti dalam ekonomi hutan. Namun demikian, epfita memainkan
peranan penting dalam ekosistem sebagai habitat bagi hewan. Epifit pun memainkan
peranan penting dan sangat menarik untuk menunjukkan adaptasi struktural terhadap
habitatnya. Jumlah jenisnya lebih beraneka ragam, biasanya melibatkan kekayaan
jenis-jenis tumbuhan spora, baik dari golongan yang rendah maupun paku-pakuan
dan tumbuhan berbunga termasuk diantaranya semak-semak. Kehadiran epifit dalam
ukuran yang luas lagi digunakan untuk membedakan antara hutan hujan tropis dengan
komunitas hutan di daerah iklim sedang.
Epifit hidup dengan mengumpulkan pengganti tanah berupa sisa tumbuhan yang telah
mati. Sisa-sisa tumbuhan yang telah mati itu biasanya dikumpulkan oleh semut yang
menghuni sistem perakaran tumbuhan dan berfungsi sebagai pot bunga bagi epifit.
Kebutuhan air bagi epfit dikumpulkan dari udara hutan hujan tropis yang sangat
lembab dengan sistem perakaran berbentuk jaringan velamen yang bersifat sepon.
Epifit juga harus mampu menyimpan air yang telah diperolehnya. Sebagai
konsekuensinya, epifit sering bersifat xeromorfik atau memiliki tempat penyimpanan
air yang khusus atau jaringan-jaringan penyimpan air.
Epifit dalam hutan hujan tropis dapat dibedakan dalam tiga tipe utama sesuai dengan
mikrohabitatnya yang berbeda-beda. Tipe pertama adalah epifit yang bersifat ekstrim
xerofil. Epifit ini hidup pada bagian paling ujung cabang-cabang dan ranting-ranting
pohon yang besar sebagai inangnya, misalnya pada suku Bromeliaceae dan juga dari
jenis Cactus. Tipe yang kedua adalah epfita matahari. Epifit ini biasanya bersifat
xeromorfik dan terutama terdapat pada pagian tengah tajuk inangnya. Epifit ini pun
hidup di sepanjang dahan-dahan pohon besar penyusun tiga tingkat teratas. Epifit ini
biasanya merupakan epifit terkaya diantara sinusia eofitik baik dari segi jenis maupun
populasinya. Tipe yang ketiga adalah tipe epift naungan. Epifit ini dapat ditemui pada
batang dan dahan-dahan pohon lapisan C, atau pada batang liana yang besar. Sinusia
epifit naungan terutama terdiri dari tumbuhan paku yang tidak menunjukkan tanda-
tanda xeromorfik. Pola pemencaran dan regenerasi epifita dapat dengan spora yang
diterbangkan oleh angin, biji, dan buah. Pemencaran biji dan buah epifita ini biasanya
dilakukan oleh hewan. Contoh yang menarik dari jenis epifita yang banyak
dikembangkan oleh manusia adalah dari epifita anggrek.
5. Pencekik Pohon
6. Saprofita
Tipe tumbuhan ini mendapatkan zat haranya dari bahan organik yang telah mati
bersama-sama dengan parasit-parasit. Tumbuhan ini merupakan komponen
heterotrof yang tidak berwarna hijau di hutan hujan tropis. Jenis tumbuhan ini terdiri
atas cendawan atau jamur (fungi), dan bakteri. Tumbuhan ini dapat membantu
terjadinya penguraian organik, terutama yang hidup di dekat permukaan lantai hutan.
Namun beberapa jenis anggrek tertentu, suku Burmanniaceae dan Gentianaceae,
jenis-jenis Triuridaceae dan Balanophoraceae yang sedikit mengandung klorofil
dapat hidup dengan cara saprofit yang sama.
Tumbuhan ini banyak ditemukan pada lantai hutan yang memiliki rontokkan daun-
daun yang cukup tebal dan terjadi pembusukkan yang nyata. Tumpukan dedaunan
tersebut dapat dijumpai pada rongga-rongga atau sudut-sudut diantara akar-akar banir
pohon-pohon.
7. Parasit
Jenis tumbuhan ini biasanya mengambil unsur hara dari pohon inangnya untuk
kelangsungan hidupnya. Tumbuhan ini hidupnya hanya untuk merugikan tumbuhan
inangnya. Tumbuhan ini dapat berupa cendawan dan bakteria yang digolongkan
dalam 2 sinusia penting. Pertama adalah parasit akar yang tumbuh di atas tanah dan
yang kedua adalah setengah parasit (hemiparasit) yang tumbuh seperti epifita di atas
pohon. Parasit akar jumlahnya sangat sedikit dan tidak seberapa penting artinya,
namun bila dikaji secara mendalam akan sangat menarik sekali. Hemiparasit yang
bersifat seperti epifit jenisnya sangat banyak sekali dan jumlahnyanya pun melimpah
ruah serta banyak dijumpai di seluruh hutan hujan tropis. Kebanyakan hemiparasit
adalah dari suku benalu (Loranthaceae).
Jumlah total energi yang terbentuk melalui proses fotosintesis perunit area
perunit waktu di sebut produktivitas primer kotor, namun demikian tidak semua
energi yang dihasilkan melalui fotosintesis ini diubah menjadi biomassa, tetapi
sebagian dibebaskan lagi melalui proses respirasi. Produktivitas primer bersih
dengan demikian adalah hasil fotosintesis dikurangi dengan respirasi (Barbour et
al., 1987).
Suhu udara di daerah dataran rendah hutan hujan tropis tidak pernah turun
sampai pada titik beku. Sebagian besar suhu pada wilayah ini berkisar antara 20-
0
28 C (Walter, 1981). Radiasi global bervariasi berdasarkan keadaan atmosfer,
lintang, dan ketinggian (Whittaker, 1973). Suhu Udara di daerah hutan hujan
tropis tidak pernah turun sampai sampai mencapai titik beku (00 C) namun pada
daerah yang sangat tinggi dimana kadang-kadang tapi sangat jarang suhu turun
hampir mencapai titk beku (Warsito, 1999). Suhu rata-rata pada sebagian besar
daerah adalah 270C, dan kisaran suhu bulanan berkisar 24-280C, yang dengan
demikian kisaran suhu musiman ini jauh lebih kecil dibanding kisaran suhu siang
dan malam (diurnal) yang dapat mencapai 100. Suhu maksimum jarang mencapai
380C juga jarang jatuh sampai di bawah 200C (Mabberly,1983).Berdasarkan
gradasi suhu rata-rata tahunan, maka produktivitas akan meningkat dari wilayah
kutup ke wilayah ekuator (Barbour et al, 1987), namun untuk daerah hutan hujan
tropis suhu bukanlah faktor dominan yang menentukan produktivitas, tapi
lamanya musim tumbuh (Walter, 1981).
Wilayah hutan hujan tropis menerima lebih banyak sinar matahari tahunan
yang tersedia bagi fotosintesis dibanding dengan wilayah iklim sedang. Hal ini
disebabkan oleh 3 faktor: (1) Kemiringan poros bumi menyebabkan wilayah
tropika menerima lebih banyak sinar matahari dibanding pada atmosfer luarnya
dibanding dengan wilayah iklim sedang. (2) Lewatnya sinar matahari pada
atmosfer yang lebih tipis (karena sudut yang lebih tegak lurus di daerah tropika),
mengurangi jumlah sinaran yang diserap oleh atmosfer. Di wilayah hutan hujan
tropis, 56% sampai dengan 59 % sinar matahari pada batas atmosfer dapat sampai
di permukaan tanah. (3) Masa tumbuh, yang terbatas oleh keadaan suhu adalah
lebih panjang di daerah hutan hujan tropis (kecuali di tempat-tempat yang sangat
tinggi) (Sanches, 1992).
Jordan (1995) menjelaskan bahwa adanya suhu yang tinggi dan konstan
hampir sepanjang tahun dapat bermakna musim tumbuh bagi tumbuh-tumbuhan
akan berlangsung lama, yang pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas.
Berdasarkan sinar matahari dan lamanya masa tumbuh De Witt dalam Sanches
(1992) menaksir hasil tanaman pangan yang mungkin, berdasarkan jalur lintang.
Perhitunganya menunjukkan bahwa daerah hutan hujan tropis berkemungkinan
memberikan hasil lebih besar per tahun dibanding daerah iklim sedang, dengan
mengandaikan tidaknya faktor pembatas. Pada daerah lintang tropika kemampuan
panen tahunan rata-rata adalah sebesar 60 ton/ha hasil kering keseluruhan. Kira-
kira setengah dari jumlah itu dianggap sebagai hasil panen yang menguntungkan
dari segi ekonomi.
b. Curah Hujan
Di daerah hutan hujan tropis jumlah curah hujan per tahun berkisar antara
1600 sampai dengan 4000 mm (Warsito, 1999) dengan sebaran bulan basah 9,5-12
bulan basah (Sanches, 1992). Kondisi ini menjadi wilayah ini memiliki curah
hujan yang merata hampir sepanjang tahun yang akan sangat mendukung
produktivitas yang tinggi.
Hujan selain berfungsi sebagai sumber air juga berfungsi sebagai sumber
hara. Whitmore (1986) mengatakan bahwa banyak nitrogen yang terfiksasi selama
terjadi badai dan turun ke bumi bersama dengan hujan. Hara lain yang banyak
masuk ke dalam ekosistem melalui curah hujan menurut Kenworty dalam
Whitmore (1986) adalah K, Ca, dan Mg.
Walaupun memberi dampak positif bagi produktivitas vegetasi menurut
Resosoedarmo et al., (1986) curah hujan yang tinggi akan menyebabkan tanah-
tanah yang tidak tertutupi oleh vegetasi rentan sekali terhadap pencucian yang
akan mengurangi kesuburan tanah dengan cepat. Barbour et al, (1987) mengatakan
bahwa sebagai salah satu faktor siklus hara dalam sistem, pencucian adalah
penyebab utama hilangnya hara dari suatu ekosistem. Hara yang mudah sekali
tercuci terutama adalah Ca dan K.
f. Tanah.
g. Herbivora
Herbivora adalah faktor biotik yang mempengaruhi produktivitas vegetasi.
Sekitar 10 % dari produktivitas vegetasi darat dunia dikonsumsi oleh herbivora
biofag. Persentase ini bervariasi menurut tipe ekosistem darat (Barbour at al.,
1987). Oleh karena produktivitas yang tinggi, maka dapat di antisipasi adanya
potensi yang tinggi untuk terjadi serangan insekta. Namun, sedikit bukti yang ada,
sekurang-kurangnya di hutan yang tumbuh secara alami, adanya serangan insekta
pada areal berskala luas (Lugo et al., dalam Jordan, 1985). Walau pun demikian
defoliasi pada individu pohon secara menyeluruh sering sekali terjadi (Jordan,
1985). Menurut penulis yang sama hal ini disebabkan oleh tingginya
keanekaragaman di daerah hutan hujan tropis. Banyak pohon mengembangkan alat
pelindung terhadap herbivora melalui produksi bahan kimia tertentu yang jika
dikonsumsi oleh herbivora memberi efek yang kurang baik bagi herbivora.
Salah satu bentuk adaptasi konservasi hara secara alami di hutan hujan
tropis yang memiliki tanah yang miskin hara adalah dengan menghasilkan
biomassa akar yang relatif besar dibanding bagian tubuh tumbuhan lainnya, dan
konsentrasi dari akar tersebut sebagian besar di atas permukaan tanah. Nye dan
Thinker (1977) dalam Jordan (1985) meneliti pentingnya pergerakan hara di dalam
tanah, dan mereka menemukan bahwa tumbuhan yang tumbuh di tanah yang
miskin hara memiliki konsentrasi akar yang sangat besar di atas permukaan tanah.
Keuntungan dari adaptasi ini adalah akar dapat menyerap hara lebih banyak.
Konsentrasi akar di atas permukaan tanah juga memungkinkan akar
bercampur dengan serasah, berbagai organisme yang telah mati, dan organisme
pengurai. Hal ini memungkinkan akar dapat dengan cepat dan lebih banyak
menyerap berbagai hasil penguraian yang dilakukan organisme pengurai di
sekelilingnya. Selanjutnya kondisi ini juga akan membuat hara terserap ke dalam
pohon daripada ke organisme lain atau tercuci keluar dari sistem.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa di daerah hutan hujan tropis, hara
jarang sekali tersimpan lama di tanah, namun langsung diserap oleh tumbuhan
atau oleh mikroorganisme. Pergerakan hara yang demikian ini juga ditunjang oleh
keberadaan berbagai organisme yang hidup maupun mati seperti bryophyta,
lichens, lumut, bromelia, paku-pakuan, anggrek, dan epifit lainnya yang sangat
banyak terdapat pada tajuk pohon. Organisme-organisme ini mampu menyerap
haranya sendiri dari lingkungan sekitarnya, terutama dari atmosfer tanpa merusak
tumbuhan inangnya.
Pada saat organisme penghuni tajuk ini mati, maka hara yang
dikandungnya juga akan terurai dan langsung diserap oleh akar-akar udara yang
sangat banyak terdapat di hutan hujan tropis. Kemampuan ini ditunjang oleh
morfologi akar udara yang memiliki banyak sekali akar-akar halus di
permukaannya, juga banyak dari akar ini dapat berasosiasi dengan jamur
membentuk endomikoriza, dan memiliki kemampuan untuk memfiksasi nitrogen.
Kehadiran mikoriza juga sangat membantu tumbuhan memperoleh hara
pada tanah yang miskin. Kimmins (1987) menjelaskan bahwa mikoriza adalah
asosiasi antara jamur dan akar tumbuhan tinggi. Jamur-jamur ini menyelimuti
akar tumbuhan dengan akar yang disebut hyphae. Hyphae kemudian berhubungan
dengan sel-sel akar dan hasil metabolosme pun ditransfer di antara keduanya. Akar
tumbuhan secara pasif akan terus-menerus mengeluarkan senyawa-senyawa yang
dibutuhkan oleh jamur seperti asam amino yang kemudian diserap oleh jamur.
Jamur, sebaliknya menyuplai tumbuhan dengan berbagai hara yang diperlukan.
Jamur-jamur ini memperoleh hara-hara tersebut dari penguraian maupun melalui
fiksasi.
Hutan hujan menyediakan rumah bagi tumbuhan dan hewan liar. Hutan hujan
merupakan rumah bagi banyak spesies tumbuhan dan hewan di dunia,
termasuk diantaranya spesies yang terancam punah. Saat hutan ditebangi,
banyak spesies yang harus menghadapi kepunahan. Beberapa spesies di hutan
hujan hanya dapat bertahan hidup di habitat asli mereka. Kebun binatang tidak
dapat menyelamatkan seluruh hewan.
DAFTAR PUSTAKA
Ardiananda. 2008. Forest Ecology. Gadjah Mada: Jogjakarta.
http://ahmad-zaenudin.blogspot.com/2008/03/hutan-hujan-tropis-di-
indonesia-usaha.html
http://geocorida.blogspot.com/2008/01/hutan-hujan-tropis.html
Patandianan, A. T. 1996. Studi Komposisi dan Struktur Vegetasi Areal HPH PT.
Bina Wana Sejahtera, Propinsi Sulawesi Utara. Tesis. PPS Univ. Gadjah
Mada, Jogjakarta.
Zaenuddin. 2008. Pengantar Ekolologi. Penerbit Remadja Karya CV, Bandung.