You are on page 1of 5

c c c


   
c

Tidore adalah sebuah nama pulau yang terletak di sebelah barat Pulau
Halmahera dan di sebelah selatan Pulau Ternate. Raja atau kolano pertama
yang menggunakan gelar Sultan di Tidore adalah Caliati atau Jamaluddin
yang memerintah pada tahun 1495 hingga 1512. Sebelumnya tidak
terdapat catatan sejarah siapa kolano yang berkuasa sebelum Caliati.
Namun sejarawan Belanda F.S.A. de Clerq mencatat pada tahun 1334
Tidore dipimpin oleh seseorang yang bernama Hasan Syah. Dari nama
kolano dan gelar sultan yang digunakan di wilayah Tidore nampaknya
pengaruh Islam telah tersebar disana secara luas.

Kesultanan Tidore merupakan satu dari empat kerajaan besar yang berada
di Maluku, tiga lainny a adalah Ternate, Jaijolo dan Bacan. Namun hanya
Tidore dan Ternate-lah yang memiliki ketahanan politik, ekonomi dan
militer. Keduanya pun bersifat ekspansionis, Ternate menguasai wilayah
barat Maluku sedangkan Tidore mengarah ke timur dimana wilayahnya
meliputi Halmahera Tengah, Halmahera Timur, Maba, Patani, Seram Timur,
Rarakit, Werinamatu, Ulisiwa, Kepulauan Raja Empat, Papua daratan dan
sekitarnya.

Sultan kedua Tidore adalah Almansur yang naik takhta pada tahun 1512
dan kemudian ia menetapkan Mareku s ebagai pusat pemerintahan. Ia
adalah Sultan yang menerima kedatangan Spanyol di Tidore untuk
beraliansi secara strategis sebagai jawaban atas aliansi yang dibangun oleh
Ternate dan Portugis. Spanyol tiba di Tidore pada tanggal 8 November
1521, turut serta dalam rombongan kapal armada Magellan, Pigafetta,
seorang etnolog dan sejarawan Italia.

Sultan Almansur memberikan tempat bagi Spanyol untuk melakukan


perdagangan di Tidore. Sepotong kain merah ditukar dengan cengkih satu
bahar (550 pon), 50 pasang gunting dengan satu bokor cengkih, tiga buah
gong dengan dua bokor cengkih. Dengan cepat cengkih di seluruh Tidore
ludes, sehingga harus dicari di tempat lain seperti Moti, Makian dan Bacan.
Demikianlah kerjasama antara Tidore dan Spanyol semakin berkembang,
tidak hanya di bidang perekonomian tetapi juga di bidang militer.
Pada tahun 1524, didasari persaingan ekonomi berupa penguasaan wilayah
perdagangan rempah-rempah, pasukan gabungan Ternate dan Portugis
yang berjumlah 600 orang menyerbu Tidore dan berhasil m asuk ke ibukota
Mareku. Hal yang menarik adalah, meski serangan gabungan tersebut
mencapai ibukota Tidore, mereka tidak dapat menguasai Tidore
sepenuhnya dan berhasil dipukul mundur beberapa waktu kemudian. Dua
tahun berikutnya (1526) Sultan Almansur wafat tanpa meninggalkan
pengganti.

Kegagalan serangan tersebut berujung dilakukannya perjanjian Zaragosa


antara Raja Portugis, John III dan Raja Spanyol, Charles V pada tahun
1529. Dengan imbalan sebesar 350.000 ducats, Charles V bersedia
melepaskan klaimnya atas Maluku, namun demikian hal tersebut tidak
serta merta menyebabkan seluruh armada Spanyol keluar dari Maluku.

Pada tahun yang sama dengan Perjanjian Zaragosa, putera bungsu


Almansur, Amiruddin Iskandar Zulkarnaen, dilantik sebagai Sultan Tidore
dengan dibantu oleh Kaicil Rade seorang bangsawan tinggi Kesultanan
Tidore sebagai Mangkubumi. Dimasanya terjadi tribulasi, ketika Gubernur
Portugis di Ternate, Antonio Galvao, memutuskan untuk kembali meyerang
Tidore. Pasukan Portugis mendapatkan kemenangan ata s Tidore pada
tanggal 21 Desember 1536 dan mengakibatkan Tidore harus menjual
seluruh rempah-rempahnya kepada Portugis dengan imbalan Portugis akan
meninggalkan Tidore.

Pada tahun 1547, Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnaen wafat dan


digantikan oleh Sultan Saifuddin, demikian pula tongkat estafet kesultanan
berikutnya, berturut-turut Kie Mansur, Iskandar Gani dan Gapi Baguna
hingga tahun 1599. Pada era tersebut tidak terjadi sesuatu yang luar biasa
di Kesultanan Tidore, kecuali pada tahun 1578 Portugis membangun
Benteng Dos Reis Mogos di Tidore. Namun demikian benteng tersebut
tidak mencampuri urusan internal kesultanan.

Kejadian penting lainnya yang patut dicatat adalah terjadinya unifikasi


kekuatan Portugis dan Spanyol di Maluku di bawah pimpinan Raja Spanyol
pada tahun 1580. Sehingga demikian semua benteng Portugis dan Spanyol
di seluruh kepulauan Maluku dapat digunakan oleh kedua belah pihak.
Unifikasi ini sebenarnya didahului oleh kejadian sebelumnya, yaitu
penaklukan benteng Portugis-Gamlamo di Ternate oleh Sultan Babullah,
Sultan Ternate terbesar, pada tanggal 26 Desember 1575. Menyerahnya
Gubernur Portugis terakhir di Maluku, Nuno Pareira de Lacerda,
menunjukkan berakhirnya kekuasaan Portugis di Nusantara. Hal ini
mengakibatkan mau tidak mau arma da perang Portugis membentuk
persekutuan dengan Spanyol di kepulauan Maluku.

Pada tanggal 26 Maret 1606, Gubernur Jenderal Spanyol di Manila, Don


Pedro da Cunha, mulai membaca gerak -gerik VOC-Belanda memperluas
wilayah dagangnya hingga Maluku. Karena mer asa terancam dengan
kehadiran armada dagang VOC-Belanda yang mulai menjalin kerjasama
dengan Kesultanan Ternate, ia memimpin pasukan menggempur Benteng
Gamlamo tentu saja dengan bantuan dari Tidore yang pada waktu itu
dipimpin oleh Sultan Mole Majimu.

Spanyol berhasil menguasai Benteng Gamlamo di Ternate, tetapi tidak


lama setelah itu VOC Belanda berhasil pula membuat benteng yang
kemudian disebut sebagai Fort Oranje pada tahun 1607 di sebelah timur
laut Benteng Gamlamo serta membangun garis demarkasi m iliter dengan
Spanyol. Paulus van Carden ditujuk sebagai Gubernur Belanda pertama di
Kepulauan Maluku.

Ketika Sultan Tidore ke 12 memerintah yaitu Sultan Saifudin, pada tahun


1663 secara mengejutkan Spanyol menarik seluruh kekuatannya dari
Ternate, Tidore dan Siau yang berada di Sulawesi Utara ke Filipina.
Gubernur Jenderal Spanyol yang berada Manila, Manrique de Lara,
membutuhkan semua kekuatan untuk mempertahankan Manila dari
serangan bajak laut Cina, Coxeng. Gubernur Spanyol di Maluku, Don
Francisco de Atienza Ibanez, nampak meninggalkan kepulauan Maluku
pada bulan Juni 1663. Maka berakhirlah kekuasaan Spanyol di Kepulauan
Maluku.

Dengan tiadanya dukungan militer dari Spanyol, otomatis kekuatan Tidore


melemah dan VOC-Belanda menjadi kekuatan militer terbesar satu-satunya
di kepulauan yang kaya dengan rempah-rempah itu. Akhirnya Sultan
Saifudin kemudian melakukan perjanjian dengan Laksamana Speelman dari
VOC-Belanda pada tanggal 13 Maret 1667 yang mana isinya adalah : (1)
VOC mengakui hak-hak dan kedaulatan Kesultanan Tidore atas Kepulauan
Raja Empat dan Papua daratan (2) Kesultanan Tidore memberikan hak
monopoli perdagangan rempah-rempah dalam wilayahnya kepada VOC.

Batavia kemudian mengeluarkan Ordinansi untuk Tidore yang membatasi


produksi cengkeh dan pala hanya pada Kepulauan Banda dan Ambon. Di
luar wilayah ini semua pohon rempah diperintahkan untuk dibasmi. Pohon -
pohon rempah yang berlebih ditebang untuk mengurangi produksi rempah
sampai seperempat dari masa sebelum VOC -Belanda memegang kendali
perdagangan atas Maluku.

Apa yang dilakukan oleh VOC-Belanda tersebut, yaitu memusnahkan atau


eradikasi pohon-pohon cengkih di Kepulauan Maluku, disebut sebagai
"Hongi Tochten". Kesultanan Ternate sebenarnya telah terlebih dahulu
mengadakan perjanjian yang berkenaan dengan "Hongi Tochten" pada
tahun 1652 kemudian disusul oleh Tidore beberapa waktu berikutnya
setelah Tidore mengakui kekuatan ekonomi -militer Belanda di Maluku.
Pihak kesultanan menerima imbalan tertentu (recognitie penningen) dari
pihak VOC akibat operasi ini. "Hongi Tochten" dilakukan akibat banyaknya
penyelundup yang memasarkan cengkih ke Eropa sehingga harga cengkih
menjadi turun drastis.

Sepeninggal Sultan Saifudin, Kesultanan Tidore semakin melemah.


Banyaknya pertentangan dan pemberontak an di kalangan istana
kesultanan menyebabkan Belanda dengan begitu mudah mencaplok
sebagian besar wilayah Tidore. Hal ini mencapai puncaknya hingga
pemerintahan Sultan Kamaluddin (1784-1797), dimana sejarawan
mencatat bahwa sultan ini memiliki perangai yan g kurang baik. Namun
demikian lambat laun situasi mulai berubah ketika Tidore memiliki Sultan
yang terbesar sepanjang sejarah mereka yaitu Sultan Nuku.

Pada tahun 1780, Nuku memproklamasikan dirinya sebagai Sultan Tidore


dan menyatakan bahwa kesultanan-nya sebagai wilayah yang merdeka
lepas dari kekuasaan VOC-Belanda. Kesultanan Tidore yang dimaksudkan
olehnya meliputi semua wilayah Tidore yang utuh yaitu : Halmahera
Tengah dan Timur, Makian, Kayoa, Kepulauan Raja Ampat, Papua Daratan,
Seram Timur, Kepulauan Keffing, Geser, Seram Laut, Kepulauan Garang,
Watubela dan Tor.

Setelah berjuang beberapa tahun, Sultan Nuku memperoleh kemenangan


yang gemilang. Ia berhasil membebaskan Kesultanan Tidore dari
kekuasaan Belanda dan mengembalikan pamornya. Penghujung a bad ke-
18 dan permulaan abad ke-19 adalah era keemasan Tidore di bawah Nuku.
Pada titik ini, kebesaran Sultan Nuku dapat dibandingkan dengan
keagungan Sultan Babullah yang telah mengusir Portugis dari Ternate.

Kemenangan-kemenangan yang diraih Sultan Nuku juga tidak lepas dari


kondisi politik yang terjadi di negeri Belanda. Tahun 1794, Napoleon
Bonaparte menyerbu Belanda yang mengakibatkan Raja Willem V
mengungsi ke Inggris. Selama menetap di Inggris, ia mengeluarkan
instruksi ke seluruh Gubernur Jenderal daerah jajahannya agar
menyerahkan daerahnya ke Inggris supaya tidak jatuh ke tangan Perancis.
Tahun 1796, Inggris menduduki. Ditambah dengan bubarnya VOC pada
Desember 1799, maka hal ini semakin memperlemah kedudukan Belanda
di Kepulauan Maluku.

Tetapi pada tanggal 14 November 1805, Tidore kehilangan seorang sultan


yang pada masa hidupnya dikenal sebagai Jou Barakati atau di kalangan
orang Inggris disapa dengan Lord of Forrtune. Wafatnya Sultan Nuku
dalam usia 67 tahun tidak hanya membawa kesedihan ba gi rakyat Malaku,
tetapi juga memberikan kedukaan bagi rakyat Tobelo, Galela dan Lolada
yang telah bergabung ke dalam barisan Nuku sejak awal perjuangannya.

Selain memiliki kecerdasan dan karisma yang kuat, Sultan Nuku terkenal
akan keberanian dan kekuatan batinnya. Ia berhasil mentransformasi masa
lalu Maluku yang kelam ke dalam era baru yang mampu memberikan
kepadanya kemungkinan menyeluruh untuk bangkit dan melepaskan diri
dari segala bentuk keterikatan, ketidakbebasan dan penindasan.

Sumber Bacaan :

1. Kepulauan Rempah-rempah. M.Adnan Amal. Kepustakaan Populer


Gramedia. 2010.
2. Nusantara. Bernard H.M.Vlekke. Kepustakaan Populer Gramedia. 2008.

You might also like