You are on page 1of 24

TUGAS MANAJEMEN

TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

ANDISTYA OKTANING LISTRA (0910210022)


EKONOMI PEMBANGUNAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah berjudul Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan dengan baik. Terima Kasih kepada Dr. Noermijati, SE, MM yang
telah memberi pengarahan dan bimbingan sebelumnya kepada penulis dalam hal
penyusunan makalah ini.

Makalah Manajemen mengenai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan disusun


secara analitis dan faktual berdasarkan sumber sumber yang akurat. Makalah ini
sendiri mengandung berbagai penjelasan mengenai deskripsi dan kasus kasus
nyta yang terjadi mengenai tanggung jawab sosial suatu perusahaan, misalnya :
Kasus KPK dalam menyelesaikan kasus BLBI dan Kasus Lumpur Lapindo. Hal
ini diharapkan dapat memberikan informasi yang lengkap berdasarkan
pendayagunaan ilmu yang sangat dibutuhkan para mahasiswa dalam proses KBM
(Kegiatan Belajar Mengajar) selanjutnya.

Menyadari bahwa keberhasilan penyusunan Makalah terkait banyak aspek,


maka diperlukan suatu acuan yang terstandar di berbagai aspek tersebut. Dengan
tetap menyadari kekurangannya, makalah ini diharapkan dapat menjadi salah satu
sumber acuan yang minimal dapat dipergunakan dalam materi perkuliahan
selanjutnya.

Terima Kasih,

Malang, 6 Desember 2009

Penulis
DAFTAR ISI

1. Etika dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan 1

2. Menanti KPK Tuntaskan Penyelesaian Kasus BLBI 3

3. Kasus Lapindo Brantas 6

Bab I : Kronologis Permasalahan 7

Hasil Uji Lumpur dan Dampak 14

Keterlibatan BP Migas 16

Pertanggungjawaban Kontraktor Sumur Banjar Panji 1 17

dan Pemegang Saham Lapindo Brantas Inc.

Bab II : Etika Terkait 19

Honestly, Fairness, Compassion, Integrity, Predictability, 19

and Responsibility.

4. Daftar Pustaka
ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL
PERUSAHAAN
Praktek tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social
Responsibility/CSR) oleh korporasi besar, khususnya di sektor industri ekstraktif
(minyak, gas, dan pertambangan lainnya), saat ini sedang disorot tajam. Kasus
Buyat adalah contoh terbaru--bukan terakhir--tentang bagaimana realisasi
tanggung jawab sosial itu. Tulisan ini bermaksud menelaah praktek CSR
berkaitan dengan peran aktif masyarakat sipil dalam memaknai dan turut
membentuk konsep kemitraan yang merupakan salah satu kondisi yang
dibutuhkan dalam mewujudkan CSR. Dalam artikel "How Should Civil Society
(and The Government) Respond to 'Corporate Social Responsibility'?", Hamann
dan Acutt (2003) menelaah motivasi yang mendasari kalangan bisnis menerima
konsep CSR. Ada dua motivasi utama. Pertama, akomodasi, yaitu kebijakan bisnis
yang hanya bersifat kosmetik, superficial, dan parsial. CSR dilakukan untuk
memberi citra sebagai korporasi yang tanggap terhadap kepentingan sosial.
Singkatnya, realisasi CSR yang bersifat akomodatif tidak melibatkan perubahan
mendasar dalam kebijakan bisnis korporasi sesungguhnya.
Kedua, legitimasi, yaitu motivasi yang bertujuan untuk mempengaruhi
wacana. Pertanyaan-pertanyaan absah apakah yang dapat diajukan terhadap
perilaku korporasi, serta jawaban-jawaban apa yang mungkin diberikan dan
terbuka untuk diskusi? Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa motivasi ini
berargumentasi wacana CSR mampu memenuhi fungsi utama yang memberikan
keabsahan pada sistem kapitalis dan, lebih khusus, kiprah para korporasi raksasa.
Telaah Hamann dan Acutt sangat relevan dengan situasi implementasi CSR di
Indonesia dewasa ini. Khususnya dalam kondisi keragaman pengertian konsep
dan penjabarannya dalam program-program berkenaan dengan upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
Keragaman pengertian konsep CSR adalah akibat logis dari sifat pelaksanaannya
yang berdasarkan prinsip kesukarelaan. Tidak ada konsep baku yang dapat
dianggap sebagai acuan pokok, baik di tingkat global maupun lokal. Secara
internasional saat ini tercatat sejumlah inisiatif code of conduct implementasi
CSR. Inisiatif itu diusulkan, baik oleh organisasi internasional independen
(Sullivan Principles, Global Reporting Initiative), organisasi negara (Organization
for Economic Cooperation and Development), juga organisasi nonpemerintah
(Caux Roundtables), dan lain-lain. Di Indonesia, acuannya belum ada. Bahkan
peraturan tentang pembangunan komunitas (community development/CD) saat ini
masih dalam bentuk draf yang diajukan Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral. Tak heran jika berbagai korporasi sebenarnya berada dalam situasi
"bingung" untuk melaksanakan CSR. Selain gambaran itu, tampak pula
kecenderungan pelaksanaan CSR di Indonesia yang sangat tergantung pada chief
executive officer (CEO) korporasi. Artinya, kebijakan CSR tidak otomatis selaras
dengan visi dan misi korporasi. Jika CEO memiliki kesadaran moral bisnis
berwajah manusiawi, besar kemungkinan korporasi tersebut menerapkan
kebijakan CSR yang layak. Sebaliknya, jika orientasi CEO-nya hanya pada
kepentingan kepuasan pemegang saham (produktivitas tinggi, profit besar, nilai
saham tinggi) serta pencapaian prestasi pribadi, boleh jadi kebijakan CSR sekadar
kosmetik.
Sifat CSR yang sukarela, absennya produk hukum yang menunjang dan
lemahnya penegakan hukum telah menjadikan Indonesia sebagai negara ideal bagi
korporasi yang memang memperlakukan CSR sebagai kosmetik. Yang penting,
Laporan Sosial Tahunannya tampil mengkilap, lengkap dengan tampilan foto
aktivitas sosial serta dana program pembangunan komunitas yang telah direalisasi.
Di pihak lain, kondisi itu juga membuat frustrasi korporasi yang berupaya
menunjukkan itikad baik. Celakanya, bagi yang terakhir ini, walau dana dalam
jumlah besar dikucurkan, manajemen CSR dibentuk, serta strategi dan program
dibuat, nyatanya tuntutan serta demo dari masyarakat dan aktivis organisasi
nonpemerintah masih tetap berlangsung. Sementara itu, sikap pemerintah sejauh
ini masih memprihatinkan.
Secara teoretis CSR mengasumsikan korporasi sebagai agen pembangunan
yang penting, khususnya dalam hubungan dengan pihak pemerintah dan
kelompok masyarakat sipil. Dengan menggunakan alur pemikiran motivasi dasar,
berbagai stakeholder kunci dapat memantau, bahkan menciptakan tekanan
eksternal yang bisa "memaksa" korporasi mewujudkan konsep dan penjabaran
CSR yang lebih sesuai dengan kondisi Indonesia. Dari perspektif masyarakat sipil,
pola kemitraan sangat menguntungkan karena kegiatan bisnis memiliki berbagai
sumber daya penting dan kapabilitas yang dapat digabungkan untuk tujuan-tujuan
pembangunan. Misalnya, pembangunan infrastruktur industri pertambangan di
wilayah pedalaman mampu menyumbang secara signifikan pada penyediaan
berbagai fasilitas publik, yang dapat dilihat dalam perkembangan kota Sangatta,
Pekanbaru, dan Balikpapan.
Namun, peran masyarakat sipil dalam pendayagunaan berbagai sumber
daya dan kapabilitas perlu disalurkan dan diperkuat oleh organisasi
nonpemerintah dan pemerintah. Artinya, kemitraan adalah prasyarat dasar. Dalam
khazanah kemitraan dikenal istilah "kompetensi inti pelengkap" (complementary
core competencies). Kapasitas rekayasa teknis, logistik, finansial, dan sumber
daya manusia yang dimiliki korporasi dapat dipadu dengan modal sosial,
ekonomi, budaya, dan pengetahuan lokal. Tentu juga dengan kerangka
pembangunan yang lebih luas yang dilakukan pemerintah. Peningkatan posisi
tawar masyarakat sipil masih harus diperjuangkan. Masyarakat sipil perlu
memainkan peran lebih aktif dalam membentuk wacana tentang CSR. Hal ini
mengisyaratkan kalangan organisasi nonpemerintah juga harus lebih memahami
agenda CSR. Bukan hanya retorikanya, tetapi juga unsur-unsur terukurnya, seperti
aspek legislasi dan berbagai indikator kuantitatif keberhasilan CSR dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada kenyataannya, peta pemahaman
organisasi nonpemerintah terhadap masalah ini masih sangat bervariasi. Yang
tergolong garis keras condong menentang CSR, karena dianggap produk
neoliberal dalam rangka penaklukan masyarakat sipil. Ada yang berkompeten,
memiliki komitmen, dan dapat berkolaborasi, tapi jumlahnya masih sangat kecil.
Bagian terbesar mungkin malahan hanya free rider.
Dalam era kapitalisme global saat ini, eksistensi kapitalis seperti korporasi
multinasional adalah keniscayaan. Menafikan keberadaan mereka dalam dinamika
pembangunan di berbagai aspek adalah irasional. Sementara itu, menyiasati
kehadiran korporasi dalam kerja sama kemitraan yang sejajar untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat bukanlah ilusi. Optimisme dan perjuangan mewujudkan
hal itu lebih berarti dari sekadar asal berseberangan.

Menanti KPK Tuntaskan Penyelesaian Kasus


BLBI
By: Achmad Daniri

Republika, Senin, 15 Desember 2008

Pada 9 Desember lalu adalah tepat lima tahun Hari Antikorupsi. Sayangnya
hingga kini kita belum menyaksikan keberanian dan kesungguhan pemerintah
dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi berskala besar di Tanah Air, khususnya
terkait BLBI.Pemerintah tidak bersikap tegas sehingga masa depan penyelesaian
kasus-kasus ini sangat kabur dan tidak jelas. Padahal, kasus-kasus tersebut telah
merugikan negara dalam jumlah yang sangat besar.

Sebagai catatan, dari kasus BLBI I (BCA/keluarga Salim) dan II


(BDNI/Sjamsul Nursalim) saja, negara merugi masing-masing Rp 33,32 triliun
dan Rp 23,48 triliun. Misalnya, dalam jawaban interpelasi atas kasus BLBI
beberapa waktu lalu Presiden justru menyatakan akan melanjutkan kebijakan
pemerintahan terdahulu terkait penyelesaian kasus BLBI. Hal ini termasuk
mempertahankan kebijakan Inpres release and discharge yang selama ini menjadi
penghambat proses hukum terhadap obligor-obligor BLBI.

Pemerintah juga tidak tegas menindak obligor BLBI yang belum


menyelesaikan kewajibannya. Berbagai akomodasi diberikan, dari mulai
pengunduran jadwal pembayaran hingga reformulasi jumlah kewajiban yang
harus dibayarkan. Pemerintah bahkan sempat memberikan sambutan karpet
merah di Istana Negara bagi sejumlah obligor BLBI beberapa waktu lalu. Untuk
kasus Sjamsul Nursalim dan keluarga Salim pemerintah juga menunjukkan
ketidakberdayaannya. Meskipun indikasi tindak pidana telah demikian nyata
dilakukan obligor-obligor tersebut, termasuk menyerahkan aset-aset fiktif
(undervalued) sebagai pelunasan kewajiban, pada kenyataannya mereka terus
dibiarkan melenggang dengan bebas.

Presiden bahkan juga tidak banyak bertindak saat oknum aparat penegak
hukum dari institusi yang dibawahinya, Kejaksaan Agung, terlibat dugaan suap
menyuap dengan Artalyta Suryani dalam rangka melindungi kepentingan obligor
BLBI Sjamsul Nursalim. Padahal, salah seorang jaksa terbaik mereka, yaitu Urip
Tri Gunawan, telah terbukti bersalah dan menerima vonis penjara.

Atas kasus ini, majelis hakim telah pula menyimpulkan dengan tegas kasus
itu tidak berdiri sendiri dan memiliki keterkaitan dengan kasus BLBI. Karena itu,
sudah seharusnya pelaku-pelaku utama skandal BLBI, seperti Sjamsul Nursalim
dan keluarga Salim, segera diseret ke pengadilan. Kasus suap Artalyta-Urip juga
menyeret nama sejumlah nama pejabat tinggi di Kejagung. Karena itu, tak pelak
ini menegaskan kentalnya indikasi KKN dalam penyelesaian kasus BLBI oleh
Kejagung. Karena itulah, Kejagung sesungguhnya sudah tidak bisa diharapkan
lagi menyelesaikan kasus BLBI secara objektif dan berkeadilan. Bagaimana
mungkin pihak yang telah terlibat mampu memeriksa dirinya sendiri secara
objektif?

Kejagung bahkan sempat menyatakan banding atas putusan PN Jaksel yang


membatalkan SP3 Sjamsul Nursalim. Seolah turut menutup-nutupi keterlibatan
oknum Kejagung dalam kasus BLBI, Jaksa Agung Hendarman Supandji belum
lama ini juga berani menyimpulkan Jaksa Urip bertindak sendirian dalam kasus
suap Artalyta.

KPK harus progresif

Atas sejumlah hal tersebut, kita kembali mendorong Komisi Pemberantasan


Korupsi (KPK) untuk bertindak progresif dalam menangani kasus BLBI dan
segera menyelesaikan kasus ini secara tuntas, objektif, dan berkeadilan.
Penuntasan kasus BLBI oleh KPK merupakan sebuah keharusan mengingat KPK
adalah lembaga penegak hukum yang dipandang kredibel dan masih dapat
diharapkan saat ini.

Keberhasilan pengusutan kasus-kasus ini oleh KPK juga akan


mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap tegaknya supremasi hukum di
negara Republik Indonesia, sebagaimana telah diamanatkan konstitusi.
Diingatkan, penanganan kasus BLBI oleh KPK didukung oleh landasan hukum
yang kuat, seperti tercantum dalam Pasal 8 ayat 2 dan Pasal 9 UU No 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam pasal-pasal tersebut antara lain ditegaskan bahwa KPK dapat


mengambil alih kasus yang sedang ditangani oleh kepolisian atau kejaksaan jika
ditemukan bahwa penanganan kasus tersebut berlarut-larut dan terindikasi
korupsi. Penanganan kasus BLBI oleh KPK (dengan mengambil alihnya dari
tangan Kejagung) juga tidak bertentangan dengan asas nonretroaktif (tidak
berlaku surut) karena tindakan korupsi dalam kasus BLBI sudah dinyatakan
sebagai tindak pidana jauh sebelum lahirnya KPK.

Asas nonretroaktif hanya dapat berlaku pada perbuatan pidana, bukan pada
kewenangan KPK untuk menangani kasus korupsi tersebut. Hal yang lebih
penting untuk dipertimbangkan adalah bahwa skandal BLBI merupakan kejahatan
luar biasa (extra ordinary crimes) yang telah sangat merugikan negara dan terus
membebani rakyat hingga puluhan tahun yang akan datang (sekurang-kurangnya
hingga tahun 2033).

Tercatat kerugian negara dari skandal BLBI setidaknya sebesar Rp 138,4


triliun (dari penyimpangan penyaluran BLBI). Jumlah ini masih harus ditambah
dengan kerugian negara dari kebijakan penyehatan perbankan yang memakan
biaya total Rp 640,9 triliun dan tingkat pengembalian uang negara yang sangat
kecil dari penyelesaian kewajiban obligor (negara merugi Rp 62,74 triliun dari
lima obligor MSAA penerima SKL).Beban inilah yang harus ditanggung rakyat
melalui pos pembayaran utang dalam APBN sebesar rata-rata Rp 60 triliun setiap
tahunnya. Atas dasar hal-hal di atas, maka KPK telah memiliki lebih dari cukup
dasar hukum maupun moral untuk menuntaskan kasus-kasus BLBI.

Dengan begitu, yang kini diperlukan hanyalah keberanian, kemauan, dan


komitmen pimpinan KPK beserta jajarannya untuk segera menuntaskan kasus ini.
Dalam kaitan itu, selanjutnya kita juga mendesak KPK untuk:

1. Menindaklanjuti kasus suap Artalyta-Urip dengan menyidangkan kasus-kasus


BLBI Sjamsul Nursalim dan keluarga Salim, mengingat vonis hakim Tipikor telah
menyatakan keterkaitan kasus suap tersebut dengan kasus BLBI.

2. Melebarkan pemeriksaan terhadap pejabat Kejagung yang diindikasikan terlibat


dalam kasus suap Artalyta-Urip, seperti Kemas Yahya Rahman, M Salim, Untung
Udjie Santoso, Wisnu Subroto, dan Djoko Widodo.

3. Mengusut dan menjadikan Glenn Yusuf sebagai tersangka atas kasus


penggelembungan nilai aset Sjamsul Nursalim.

4. Menggunakan terungkapnya kasus suap Artalyta-Urip dan Glenn Yusuf-Urip


sebagai pintu masuk untuk mengusut kembali seluruh kasus BLBI yang
terindikasi menyimpang penyelesaiannya oleh Kejagung.

Kita turut mengingatkan agar KPK bertindak konsisten dan progresif dalam
menyelidiki kasus-kasus BLBI. Kita tidak menghendaki KPK pada kemudian hari
mengidap penyakit masuk angin, yaitu hanya bersikap garang di awal proses,
tetapi mandul dalam penyelesaiannya.

KPK juga harus meneguhkan komitmennya untuk mengusut tuntas semua


tindak korupsi yang dilakukan obligor BLBI tanpa pandang bulu. Kita tidak
mengharapkan KPK lari dari tanggung jawab atau mencoba-coba mencari celah
untuk menghindari pengusutan terhadap kasus utamanya. Misalnya, mengalihkan
penyelidikan kasus BLBI hanya ke bank-bank pemerintah (meskipun bank-bank
ini juga tetap harus diusut) dan tidak ke bank-bank swasta. Padahal, obligor-
obligor bank swasta, seperti Sjamsul Nursalim dan keluarga Salim telah nyata-
nyata mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi negara.

Terakhir, kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kita juga hendak


mengingatkan agar Presiden membuktikan janjinya memberantas korupsi tanpa
pandang bulu, sebagaimana marak disampaikan iklan Katakan Tidak pada
Korupsi Presiden bersama partainya di sejumlah media massa. Kita dapat
nyatakan, tanpa bukti dan langkah nyata, maka iklan tersebut hanya promosi
Presiden menjelang pemilu 2009 yang tak bermakna apa-apa bagi rakyat.

Presiden harus berkomitmen mengusut kasus-kasus korupsi berskala besar,


seperti BLBI, dan tidak hanya menyibukkan diri pada kasus-kasus remeh dan
bernilai kecil. Kita ingatkan untuk kesekian kalinya, korupsi BLBI adalah
kejahatan kemanusiaan mahabesar yang telah menghancurkan sendi-sendi
perekonomian negara sehingga sudah sangat layak menjadi program prioritas
Presiden.

Kasus Lapindo Brantas


Lapindo Brantas Inc. adalah salah satu perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja
Sama (KKKS) yang ditunjuk BPMIGAS untuk melakukan proses pengeboran
minyak dan gas bumi. Saham Lapindo Brantas dimiliki 100% oleh PT. Energi
Mega Persada melalui anak perusahaannya, yaitu PT Kalila Energy Ltd. (84,24%)
dan Pan Asia Enterprise (15,76%). Saat ini Lapindo memiliki 50% participating
interest di wilayah Blok Brantas, Jawa Timur, Indonesia. Selain Lapindo,
participating interest Blok Brantas juga dimiliki oleh PT Medco E&P Brantas
(anak perusahaan dari MedcoEnergi) sebesar 32% dan Santos sebesar 18%.
Dikarenakan memiliki nilai saham terbesar, maka Lapindo Brantas bertindak
sebagai operator.

PT. Energi Mega Persada sebagai pemilik saham mayoritas Lapindo Brantas
merupakan anak perusahaan Grup Bakrie. Grup Bakrie memiliki 63,53% saham,
sisanya dimiliki komisaris EMP, Rennier A.R. Latief, dengan 3,11%, Julianto
Benhayudi 2,18%, dan publik 31,18%. Chief Executive Officer (CEO) Lapindo
Brantas Inc. adalah Nirwan Bakrie yang merupakan adik kandung dari pengusaha
dan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia pada
Kabinet Indonesia Bersatu, Aburizal Bakrie.

Pada 20 September 2006, PT Energi Mega Persada Tbk (PT EMP) berencana
menjual Lapindo Brantas Inc. ke Lyte Limited, perusahaan yang berafiliasi ke
Kelompok Usaha Bakrie. Akan tetapi penjualan ini tidak disetujui oleh Bapepam-
LK dengan alasan manajemen Energi belum bisa memberi penjelasan apa
penyebab insiden lumpur panas dan pihak mana yang harus bertanggungjawab.
Oleh karena itu, PT EMP mengalihkan rencana penjualan Lapindo Brantas ke
pihak ketiga yang tidak berafiliasi dengan grup Bakrie sehingga tidak perlu
meminta persetujuan rapat umum pemegang saham karena bukan benturan
kepentingan, sebagaimana yang terjadi dengan penjualan kepada Lyte. Pada 14
November 2006, kepemilikan saham EMP di Lapindo akhirnya dijual kepada
Freehold Group Limited, sebuah perusahaan investasi yang berkedudukan di
Kepulauan Virgin Britania Raya, namun penjualan ini lalu dibatalkan Freehold
pada 28 November 2006.

Pada 29 Mei 2006, lumpur panas menyembur dari sumur Banjar Panji-1 milik
PT. Lapindo Brantas di desa Renokenongo, kecamatan Porong, Kabupaten
Sidoarjo provinsi Jawa Timur, Indonesia. Semburan lumpur yang sampai dengan
saat ini belum berhasil dihentikan telah menyebabkan tutupnya banyak pabrik dan
sawah, serta banyak pemukiman penduduk yang tak bisa digunakan dan ditempati
lagi. Untuk menghentikan semburan lumpur di Sidoarjo, Lapindo meminta
bantuan kepada group disaster expert, seperti Alert Disaster Control (Asia) Pte
Ltd (Canada) dan Abel Engineering/Well Control (Texas, USA).

Bab I

Kronologis Permasalahan

Kronologis Terjadinya Semburan Lumpur di Sidoarjo oleh Lapindo Brantas


Inc.

Januari 2005 :

Lapindo Brantas Inc. melakukan eksplorasi potensi gas alam di Kabupaten


Sidoarjo, Jawa Timur, karena sumber gas di wilayah Porong, Tanggulangin dan
Buduran masih dinilai cukup potensial untuk dieksploitasi. Sejak 1999 hingga
2005, pihak Lapindo sudah mengeksploitasi gas alam di Sidoarjo pada 13 titik
sumur yang tersebar di Porong, Tanggulangin dan Buduran yang diprediksi akan
ada hingga 2007 dengan target hasil sebesar 80 juta kaki kubik per hari. Namun,
dari 13 titik sumur yang saat ini diekploitasi telah memproduksi 70 juta kaki
kubik per hari dan masih kurang dari target yang ditetapkan tersebut.

Sehingga, Lapindo mengeksploitasi 7 tambahan titik sumur di Desa Wunut


Kecamatan Porong, karena ke-13 titik sumur yang dieksploitasi secara alami
dinilai akan mengalami penurunan kandungan gas alam. Pihak Lapindo beralasan
bila mereka tidak melakukan eksplorasi dan eksploitasi gas alam, dikhawatirkan
akan terjadi krisis energi yang mempengaruhi kegiatan industri dan masyarakat
umum, terutama saat ini semakin banyak pemakaian gas untuk segala kebutuhan,
sehingga kebutuhan gas di Jawa Timur dari tahun ke tahun dipastikan mengalami
peningkatan.

18 Mei 2006 :
Pada 18 Mei 2006 atau 11 hari sebelum semburan gas, rekanan proyek
Lapindo mengingatkan mengenai pemasangan casing atau pipa selubung. Casing
sudah harus dipasang sebelum pengeboran sampai di formasi Kujung di
kedalaman 2.804 meter. Lapindo sebagai operator proyek belum memasang
casing berdiameter 5/8 inci pada kedalaman 2.590 meter. Padahal, pemasangan
casing adalah salah satu rambu keselamatan.

27 Mei 2006 :

Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki


(2590 meter) untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut
akan dipasang selubung bor (casing) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan
kedalaman untuk mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam
formasi) dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum
pengeboran menembus formasi Kujung.

Pada 27 Mei 2006 pukul 07.00 hingga 13.00, pengeboran dilanjutkan ke


kedalaman 9.297 kaki. Pengeboran dilakukan dari kedalaman 9.277 kaki ke 9.283
kaki. Pada kedalaman ini, sirkulasi lumpur berat masuk ke dalam lapisan tanah,
yang disebut loss. Setelah terjadi loss, sebagai langkah standar disuntikkan loss
circulating material (LCM) atau material penyumbat ke dalam sumur untuk
menghentikan loss agar sirkulasi kembali normal.

Pada umumnya, peristiwa loss diikuti munculnya tekanan tinggi dari dalam
sumur ke atas yang disebut kick. Untuk mengantisipasi kick, pipa ditarik ke atas
untuk memasukkan casing 9-5/8 inci yang rencananya akan dipasang tepat di
kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung (8500
kaki) sebagai pengamanan sumur. Sebagai catatan, casing terakhir terpasang di
kedalaman 3.580 kaki.

28 Mei 2006 :

Pada 28 Mei 2006, salah seorang pekerja pengeboran sudah merasakan ada
kebocoran gas. Ia sudah menginformasikan kepada pimpinannya di Lapindo. Saat
itu, karyawan pengeboran telah mengingatkan, jika pengeboran diteruskan dapat
mengakibatkan kebocoran, dan yang akan keluar adalah gas beracun yang dapat
menimbulkan terjadinya kebakaran. Tetapi, pihak pimpinan tidak menghiraukan
peringatan itu dan meminta agar pengeboran dilanjutkan.

Pada pukul 08.00-12.00, saat proses penarikan pipa hingga 4.241 kaki, terjadi
kick berkekuatan 350 Psi. Oleh karena itu, lumpur berat disuntikkan ke dalam
sumur. Ketika hendak ditarik lebih ke atas, pada kedalaman 3.580 kaki bor macet
atau stuck. Upaya menggerakkan pipa ke atas, ke bawah, maupun merotasikannya
gagal. Bahkan, pipa tetap bergeming saat dilakukan penarikan sampai dengan
kekuatan 200 ton. Upaya ini berlangsung mulai pukul 12.00 hingga 20.00.
Selanjutnya, untuk mengamankan sumur, di area macetnya bor disuntikkan
semen. Karena macet, akhirnya diputuskan bor atau fish diputus dari rangkaian
pipa dengan cara diledakkan.

29 Mei 2006 :

Menurut keterangan sejumlah mekanik penambangan PT. Tiga Musim Masa


Jaya (TMMJ), perusahaan subkontrak penambangan, semburan gas disebabkan
pecahnya formasi sumur pengeboran. Semburan (blow out) lumpur mulai terjadi
pada 27 Mei sekitar pukul 07.00. Saat itu lumpur buatan untuk melindungi mata
bor sekaligus untuk memudahkan proses pengeboran (oil base mud) hilang atau
loss. Sejak saat itu lokasi pengeboran langsung ditutup dengan Police Line dan
aparat kepolisian dari Polsek Porong telah menutup jalan menuju area
pengeboran.

Ketika bor berada di kedalaman 9.000 kaki atau 2.743 meter dan akan
diangkat untuk ganti rangkaian, tiba-tiba macet. Gas tak bisa keluar melalui
saluran fire pit dalam rangkaian pipa bor, dan menekan ke samping, akhirnya
keluar ke permukaan melalui rawa. Sekitar pukul 05.00, lumpur dan gas akhirnya
menyembur sekitar 100 meter dari sumur. Menurut para saksi mata di sekitar
kejadian, semburan itu disertai suara keras dan ketinggiannya mencapai 15 meter.

Lokasi semburan lumpur berada di Porong, yakni kecamatan di bagian selatan


Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 km sebelah selatan kota Sidoarjo. Kecamatan ini
berbatasan dengan Kecamatan Gempol (Kabupaten Pasuruan) di sebelah selatan.
Lokasi semburan hanya berjarak 150-500 meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-
1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas sebagai operator
blok Brantas. Lokasi tersebut merupakan kawasan pemukiman dan di sekitarnya
merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari lokasi
semburan terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan
Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), serta jalur kereta api lintas
timur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi.

Ketika semburan lumpur terjadi pertama kali di sekitar Sumur Banjar Panji 1
(BJP-1), volume lumpur yang dihasilkan masih pada tingkat 5.000 meter kubik
per hari. Lubang semburan terjadi di beberapa tempat, sebelum akhirnya menjadi
satu lubang yang dari waktu ke waktu menyemburkan lumpur panas dengan
volume yang terus membesar hingga mencapai 50.000 m3 per hari. Permasalahan
penanganan lumpur panas ini menjadi jauh lebih berat akibat semakin
membesarnya volume lumpur panas yang disemburkan, dari antara 40,000 m3
sampai 60,000 m3 (Mei-Agustus) menjadi 126,000 m3 per hari, sehingga yang
akan dibuang tidak hanya air dari lumpur tersebut, akan tetapi keseluruhan lumpur
panas yang menyembur di sekitar sumur Banjar Panji 1.

2 Juni 2006 :
Pihak Lapindo tetap bersikukuh menganggap bahwa peristiwa semburan lumpur
merupakan dampak gempa bumi yang membentuk retakan dalam lapisan tanah.
Retakan itulah yang kemudian mengakibat gas dan lumpur menyembur keluar.
Meskipun dalam penyidikan awal juga telah terungkap adanya indikasi
kejanggalan dalam eksplorasi, pihak Lapindo tetap bersikeras bahwa semua
kegiatan pengeborannya sudah sesuai SOP (standar operating procedure)

4 Juni 2006 :

Pakar geologi, sekaligus Kepala Unit Pusat Studi Bencana Lembaga Penelitian
dan Pengabdian Kepada Masyarakat Kampus ITS Sukolilo Surabaya, Ir. Amien
Widodo, M.T., menyangkal pendapat pihak Lapindo. Menurutnya, semburan
Lumpur dan gas di sumur Banjar Panji-1 terjadi bukan karena pengaruh gempa.
Sebab, getaran yang terjadi di kawasan Surabaya dan Sidoarjo karena gempa
Jogja hanya sekitar 2,2 skala richter. Gempa di Jogjakarta berskala 5,9 skala
richter dan apabila berpengaruh di Sidoarjo skalanya kecil, dan tidak akan
menyebabkan luapan lumpur Lapindo.

5 Juni 2006 :

PT Medco Energi mengirimkan surat kepada Presdir Lapindo, Imam P. Agustino.


Dalam surat yang ditandatangani oleh Budi Basuki selaku Perwakilan Komite
Operasi PT Medco E&P Brantas dijelaskan bahwa berdasarkan kajian teknis yang
dilakukan oleh Medco terhadap insiden luapan lumpur, Lapindo sebagai operator
telah melakukan kelalaian sebagaimana tertera dalam perjanjian Operasi Bersama
Brantas.

Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa dalam rapat teknis pada 18 Mei 2006,
Medco telah mengingatkan operator untuk memasang casing pada kedalaman
8.500 kaki untuk mengantisipasi potensi kebocoran sebelum pengeboran
menembus formasi kujung sebagaimana disetujui dalam program pengeboran.

16 Juni 2006 :

Koordinator Divisi Advokasi Energi Jaringan Advokasi Tambang, Andri Wijaya,


menganggap alasan yang dikemukakan Lapindo tidak masuk akal, karena tidak
ada sumur eksploitasi dan eksplorasi lain yang letaknya lebih dekat dengan
Jogjakarta yang mengalami luberan lumpur akibat gempa Jogja. Andri mencurigai
luberan lumpur disengaja sebagai proses clearing area di sekitar wilayah
pengeboran dalam waktu singkat dan cepat. Artinya, perusahaan membutuhkan
tanah, sedangkan tanah yang sudah terendam lumpur pasti dijual dengan harga
murah.

21 Juni 2006 :

Aburizal Bakrie menyatakan bahwa kasus Lapindo merupakan tanggung jawab


perusahaan. Ia juga menyatakan bahwa Lapindo Brantas Inc. akan menangani
kerugian yang ditimbulkan dan telah menyiapkan dana hingga US$ 70 juta.
Juli 2006 :

General Manajer Lapindo Brantas Inc., Imam Agustino, dijadikan tersangka atas
timbulnya bencana lumpur Lapindo.

Agustus 2006 :

Lapindo Brantas Inc. membayar sejumlah Rp 2,5 juta per tahun selama 2 tahun
kepada setiap keluarga yang menjadi korban lumpur Lapindo sebagai biaya untuk
menyewa rumah.

8 September 2006 :

Presiden RI membentuk Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di


Sidoarjo, yang memiliki masa tugas selama 6 bulan.

November 2006 :

Tim peneliti dari Danareksa memperkirakan kerugian yang diderita Lapindo


Brantas Inc. akan meningkat dari US$ 180 juta menjadi US$ 3 miliar.

Desember 2006 :

Kekayaan keluarga Bakrie yang diperkirakan mencapai US$ 1,2 miliar (atau
setara dengan Rp 11,04 triliun), menempatkan keluarga Bakrie sebagai keluarga
terkaya ke-6 di Indonesia.

8 Maret 2007 :

Lapindo Brantas Inc. menyatakan bahwa mereka telah menghabiskan Rp 1,3


triliun untuk ganti rugi akibat luapan lumpur Lapindo, termasuk dampak sosial
yang diakibatkan di Porong, Sidoarjo.

22 Maret 2007 :

Peta musibah lumpur Lapindo meluas hingga Gempolsari, Ketapang, dan desa
Kalitengah.

8 April 2007 :

Presiden RI mengeluarkan Peraturan No. 14/2007 mengenai pembentukan


Sidoarjo Mudflow Management Body (BPLS) untuk menggantikan Tim Nasional
Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo.

26 Juni 2007 :
Presiden RI meminta Lapindo Brantas Inc. untuk mempercepat pembayaran atas
20% uang muka ganti rugi kepada 10,000 keluarga yang menjadi korban lumpur
Lapindo pada 1 Juli 2007 dalam jangka waktu 10 minggu.

14 September 2007 :

Batas akhir pembayaran 20% uang muka ganti rugi telah lewat dan Lapindo
Brantas Inc. gagal untuk memenuhi permintaan Presiden RI.

November 2007 :

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan perdata YLBHI dalam perkara
penanganan korban lumpur Lapindo.

Desember 2007 :

Akibat meningkatnya harga batu bara di pasar internasional, saham milik Bumi
Resources, salah satu perusahaan yang dimiliki oleh keluarga Bakrie, meningkat
tajam, yang meningkatkan jumlah kekayaan keluarga Bakrie hingga US$ 5,4
miliar (atau setara dengan Rp 50 triliun). Hal ini mengakibatkan keluarga Bakrie
menjadi keluarga terkaya di Indonesia. Pada saat ini, biaya kompensasi akibat
bencana lumpur Lapindo telah mencapai Rp 3,4 triliun.

Mahkamah Agung menolak permohonan uji materi Peraturan Presiden tentang


Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Selain itu, Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan menolak gugatan Walhi terhadap Lapindo dan Presiden RI. Pengadilan
Negeri Jakarta Utara juga menolak gugatan YLBHI.

28 Mei 2008 :

Batas waktu bagi Lapindo Brantas Inc. untuk memulai pembayaran sisa 80% uang
ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo telah tiba. Pihak Lapindo melakukan
pembayaran yang pertama kepada 11 warga di Siring sejumlah Rp 2,054 miliar.

11 Juni 2008 :

Presiden RI mengeluarkan Peraturan Presiden No. 48/2008, revisi atas Peraturan


Presiden no. 14/2007. Desa Kedungcangkring, Pejarakan, dan Besuki telah
menambah daftar desa dalam peta bencana lumpur Lapindo, namun pendanaan
atas ketiga desa tersebut dilakukan oleh pemerintah.

11 November 2008 :

Lapindo Brantas Inc. mengemukakan bahwa pihaknya telah menghabiskan Rp 1,8


triliun untuk membeli lahan dan bangunan warga yang terkena lumpur Lapindo.
Namun, ketua asosiasi Renokenongo, Sunarto, mengemukakan bahwa masih
terdapat 465 kasus senilai Rp 37 miliar dimana Lapindo masih belum
membayarkan 20% uang muka ganti ruginya.

27 November 2008 :

Presiden RI mendesak Lapindo Brantas Inc. untuk melakukan pembayaran 20%


uang muka ganti rugi sejumlah Rp 49 miliar.

30 November 2008 :

Ribuan korban lumpur Lapindo datang ke Jakarta untuk melakukan aksi


demonstrasi di Istana Presiden, gedung DPR, dan kantor Menteri Kesejahteraan
Rakyat.

Desember 2008 :

Lapindo Brantas Inc. gagal untuk memenuhi tenggat waktu yang diminta oleh
Presiden. Dengan alasan dana, Lapindo Brantas Inc. berjanji mencicil sisa ganti
rugi Rp 30 juta per bulan.

Februari 2009 :

Presiden RI meminta Lapindo Brantas Inc. agar menyelesaikan pembayaran ganti


rugi dalam tahun ini. Namun, pihak Lapindo menyatakan hanya mampu
membayar Rp 15 juta per bulan.

Maret 2009 :

Cicilan ganti rugi yang dijanjikan Lapindo Brantas Inc. senilai Rp 15 juta per
bulan dihentikan akibat kekurangan dana.

April 2009 :

Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi YLBHI.

Mei 2009 :

Kepolisian dan Kejaksaan Jawa Timur menyatakan bahwa penyebab semburan


lumpur Lapindo adalah akibat kesalahan manusia (human error).

Juni 2009 :
Ratusan pekerja yang ditugaskan untuk memperkuat tanggul dan mengaduk
lumpur Lapindo berhenti bekerja akibat kontrak kerja mereka tidak diperpanjang.
Hal ini mengakibatkan terhambatnya pembuangan lumpur ke Kali Porong.

Juli 2009 :

Tim Adhoc Komisi Nasional Hak Asasi Manusia akan memeriksa korban
semburan lumpur Lapindo terkait dugaan pelanggaran HAM berat, antara lain hak
hidup, hak untuk mendapatkan pekerjaan, hak kesehatan, hak pendidikan, dan
sebagainya.

Hasil uji lumpur

Berdasarkan pengujian toksikologis di 3 laboratorium terakreditasi


(Sucofindo, Corelab dan Bogorlab) diperoleh kesimpulan ternyata lumpur
Sidoarjo tidak termasuk limbah B3 baik untuk bahan anorganik seperti Arsen,
Barium, dan sebagainya, maupun untuk untuk bahan organik seperti
Trichlorophenol, Chlordane, dan sebagainya. Hasil pengujian menunjukkan
semua parameter bahan kimia itu berada di bawah baku mutu, sehingga tidak
berbahaya dan tidak beracun bagi biota akuatik.

Namun kesimpulan dari Wahana Lingkungan Hidup menunjukkan hasil


berbeda. Dari hasil penelitian Walhi dinyatakan bahwa secara umum pada area
luberan lumpur dan sungai Porong telah tercemar oleh logam kadmium (Cd) dan
timbal (Pb) yang cukup berbahaya bagi manusia apalagi kadarnya jauh di atas
ambang batas. Dan perlu sangat diwaspadai bahwa ternyata lumpur Lapindo dan
sedimen Sungai Porong kadar timbal-nya sangat besar yaitu mencapai 146 kali
dari ambang batas yang telah ditentukan. Hal ini dapat membahayakan manusia
dan lingkungan :

1. Bioakumulasi dalam jaringan lemak manusia (dan hewan)

2. Kulit merah, iritasi, melepuh, dan kanker kulit jika kontak langsung dengan
kulit

3. Kanker

4. Permasalahan reproduksi

5. Membahayakan organ tubuh seperti liver, paru-paru, dan kulit

Dampak PAH dalam lumpur Lapindo bagi manusia dan lingkungan mungkin
tidak akan terlihat sekarang, melainkan nanti 5-10 tahun kedepan. Dan yang
paling berbahaya adalah keberadaan PAH ini akan mengancam kehidupan anak
cucu, khususnya bagi mereka yang tinggal di sekitar semburan lumpur Lapindo
beserta ancaman terhadap kerusakan lingkungan. Namun sampai Mei 2009 atau
tiga tahun dari kejadian awal ternyata belum terdapat adanya korban sakit atau
meninggal akibat lumpur tersebut.

Dampak

Semburan lumpur ini membawa dampak yang signifikan bagi masyarakat


sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Sampai Mei 2009, PT
Lapindo, melalui PT Minarak Lapindo Jaya telah mengeluarkan uang baik untuk
mengganti tanah masyarakat maupun membuat tanggul sebesar Rp 6 triliun.

1. Lumpur menggenangi 12 desa di 3 kecamatan, serta rusaknya areal pertanian,


sarana pendidikan dan Markas Koramil Porong, yaitu di Kecamatan Porong,
Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih
dari 25.000 jiwa akibat tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan
77 unit rumah ibadah terendam lumpur.

2. Lahan dan ternak yang terkena dampak lumpur hingga Agustus 2006 antara
lain: lahan tebu seluas 25,61 ha, lahan padi seluas 172,39 ha, serta 1.605 ekor
unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang.

3. 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan


memberhentikan 1.873 tenaga kerja.

4. 4 kantor pemerintah tidak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak
bekerja.

5. Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong,


serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon)

6. Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak
1.683 unit, dengan rincian : Tempat tinggal 1.810, sekolah 18, kantor 2
(Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15
unit.

7. Kerusakan lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi, termasuk areal


persawahan.

8. Pipa air milik PDAM Surabaya patah akibat amblesnya permukaan tanah di
sekitar semburan lumpur.

9. Meledaknya pipa gas milik Pertamina akibat penurunan tanah karena tekanan
lumpur dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam.

10. Ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol dan mengakibatkan kemacetan di


jalur-jalur alternatif, yaitu melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong dan jalur
Waru-tol-Porong.
11. SUTET milik PT PLN dan seluruh jaringan telepon dan listrik di 4 desa serta
1 jembatan di Jalan Raya Porong tak dapat difungsikan.

Penutupan ruas jalan tol ini juga menyebabkan terganggunya jalur transportasi
Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi serta kota-kota lain di bagian timur
pulau Jawa. Ini berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro
(Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri
utama di Jawa Timur.

Keterlibatan BP Migas

Menurut Wakil Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Sonny


Keraf, pihak yang harus bertanggung jawab atas semburan lumpur di Sidoarjo
adalah Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas)
karena sesuai dengan aturan yang berlaku, BP Migas adalah pihak yang bertugas
mengatur dan mengawasi pengeboran.

Salah satu tugas BP Migas adalah menyetujui proposal pengeboran dengan


sistem kontrak bagi hasil dan mengawasi prosedur peralatan pengeboran dalam
kerangka pengawasan. BP Migas mempunyai Bidang Operasi di mana di
dalamnya ada Divisi Operasi Lapangan. Divisi ini memonitor semua kegiatan
operasi lapangan (survei dan pemboran) yang sedang dilakukan kontraktor.

Munculnya kasus Lumpur Lapindo diduga merupakan akibat pengawasan yang


tidak ketat dimana BP Migas hanya memperhatikan mengenai pengurusan kontrak
bagi hasil.

Dugaan tersebut terkait dengan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan atas
semburan lumpur Lapindo yang menyatakan bahwa Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral serta BP Migas tidak mengawasi eksplorasi sumur Banjar
Panji-1 yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas.

Selain itu, berdasarkan hasil investigasi yang telah dilakukan oleh WALHI
Jawa Timur, menyatakan bahwa selama beroperasi selama 3 bulan PT Lapindo
Brantas tidak pernah melakukan sosialisasi atau pengumuman setempat terhadap
warga, termasuk pemerintah daerah.

Fakta ini menunjukkan bahwa peran pengawasan dan pemantauan pemerintah


melalui Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas),
yang memilih kontraktor, PT Lapindo Brantas, memberi izin eksplorasi (melalui
Keputusan Presiden), serta bertindak sebagai pemantau operasi dan lingkungan,
menerima laporan harian (daily reports), tidak dilakukan dengan baik dan benar
dalam kasus ini. Padahal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi, seharusnya BP Migas memperingatkan Lapindo
yang melakukan pengeboran tanpa memasang selubung bor (cassing).

Namun, langkah penyidikan pihak kepolisian tidak berjalan lancar akibat


pihak Lapindo tidak bersedia menyerahkan berbagai dokumen terkait dengan
pengeboran dengan alasan bahwa dokumen-dokumen tersebut berstatus rahasia
Negara, sesuai dengan UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 pasal 20 yang mengatur
dan menjamin kerahasiaan data dan informasi seputar kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi minyak dan gas. UU Migas ini tidak hanya menjadi tembok
penghalang bagi pihak kepolisian saja, tetapi juga menjadi penghambat dalam
usaha tanggap darurat.

Sejak UU Migas berlaku, otoritas pelaksaaan Kontrak kerja sama dan


pengawasan kegiatan sektor Migas yang sebelumnya berada di Pertamina (Badan
Usaha Milik Negara) kini berada pada Badan Pengelola (BP) Migas (Badan
Hukum Milik Negara). BP Migas sebagai pelaksana negara (regulator) tidak
memiliki kapasitas sebanyak Pertamina baik dari segi sumber daya manusia, dana,
kapasitas hingga kewenangan BP Migas yang sangat terbatas. Jika diperhatikan
lebih lanjut, berlakunya UU Migas memperlemah pengawasan yang dilakukan
pemerintah terhadap operator pertambangan, khususnya untuk memastikan bahwa
para operator mengikuti prosedur operasi yang aman.

Akibatnya, pemerintah tidak berani mengambil tindakan untuk mencabut Ijin


operasi PT Lapindo Brantas karena sejak adanya UU Migas, pemerintah hanya
memiliki fungsi regulator. Demikian juga dengan BP Migas yang merupakan
badan pelaksana pemerintah, yang tidak memiliki sistem dan perangkat sebagai
BUMN, seperti Pertamina, yang berarti jika ijin Lapindo dicabut, pemerintah
tidak akan mampu mengelola pertambangan yang sebelumnya dikelola oleh
Lapindo, terutama sejak diketahui ada kelompok yang sangat berkuasa di balik
keberadaan Lapindo, yaitu kelompok Bakrie. Situasi ini akan lebih mudah
ditangani sebelum UU Migas berlaku yaitu jika ijin operasi PT Lapindo dicabut,
Pertamina bisa mengambil alih segala tindakan yang diperlukan dalam
penanganan bencana yang terjadi hingga mengambil alih pengelolaan lapangan
bersangkutan.

Sampai dengan tahun 2009, belum ada kejelasan lebih lanjut mengenai
keterlibatan pihak BP Migas dalam kasus semburan Lumpur Lapindo. Hal ini
dikarenakan pihak kepolisian dan penyidik belum menemukan bukti-bukti nyata
mengenai keterlibatan pihak BP Migas, walaupun banyak pihak yang menyetujui
bahwa pihak BP Migas juga memiliki tanggung jawab atas semburan Lumpur di
Sidoarjo tersebut.

Pertanggungjawaban Kontraktor Sumur Banjar Panji 1 dan Pemegang


Saham Lapindo Brantas Inc.
Pengeboran Sumur Banjar Panji 1 yang menyebabkan luapan lumpur
terletak di Blok Brantas, sebuah blok eksploitasi gas alam yang dikelola oleh
beberapa pihak yaitu:

Lapindo Brantas Inc, sebagai pemilik participating interest terbesar bertindak


sebagai operator. Dalam pengeboran kegiatan eksplorasi gas alam di Sumur
Banjar Panji 1 oleh Lapindo Brantas Inc, operasi pengeboran dilakukan melalui
penunjukkan sub-kontraktor PT Medici Citra Nusantara (salah satu perusahaan
dalam grup Bakrie). Dalam laporan penyelidikan BPK terhadap kasus luapan
lumpur sehubungan dengan kelalaian tidak dipasangnya casing dalam aktivitas
pengeboran dikatakan bahwa Lapindo Brantas Inc. dan PT Medici Citra
Nusantara telah lalai dalam pengeboran karena tidak memasang casing pada
kedalaman yang sesuai dengan drilling program yang telah disepakati
sebelumnya dengan BP Migas.

Pada tahun 2006, polisi telah menetapkan 13 tersangka, sebagian berasal dari
Lapindo Brantas dan PT Medici Citra Nusantara, di antaranya Imam P. Agustino
(Direktur Utama Lapindo Brantas Inc.), Rahenold, Subie dan, Slamet B.K.
(ketiganya adalah Drilling Supervisor PT Medici Citra Nusa), Willem Hunila
(company man Lapindo Brantas Inc.), Edi Sutriono (supervisor drilling), Nur
Rahmat Sawolo (Vice President Drilling PT Energi Mega Persada, yang
dikaryakan di Lapindo Brantas Inc.), Yenny Nawawi (Direktur Utama PT Medici
Citra Nusa), Slamet Rianto (Manajer Drilling PT Medici Citra Nusa), Soleman
(rig manager), Lilik Marsudi (juru bor), Sardianto (mandor), dan Aswan Siregar
(mantan Direktur Lapindo Brantas Inc.). Sampai saat ini dari sisi tindak pidana
kelalaian, baru ketigabelas tersangka di atas yang dijadikan tersangka. Per Juni
2009, pemeriksaan masih berlangsung dan belum ada yang ditetapkan sebagai
terdakwa.

Sehubungan dengan kedua partner pengelola Blok Brantas yang lain, PT Medco
E&P Brantas dan Santos Brantas, kedua perusahaan tersebut menilai bahwa
Lapindo telah melakukan kelalaian (gross negligence), seperti tertuang dalam
dokumen perjanjian operasi bersama (JOA) Blok Brantas, artikel 1.28. Mengacu
pada klausul 4.6 dari JOA Brantas, Lapindo sebagai operator harus bertanggung
jawab terhadap klaim dari pihak lain, termasuk menanggung biaya pemulihan
agar situasi menjadi normal kembali setelah kebocoran.

Keberadaan Medco dan Santos di blok itu hanya sebatas partisipasi modal
kerja, bukan operator. Kewenangannya pun sebatas memberikan advis teknis.
Melalui surat No. MGT-088/JKT/06 tanggal 5 Juni 2006, PT Medco E&P Brantas
telah mengingatkan Lapindo pada saat technical meeting pada tanggal 18 Mei
2006, agar Lapindo memasang casing 9 5/8 pada kedalaman 8.500 kaki.
Pertimbangan teknis dari PT Medco E&P Brantas adalah pemasangan casing
tersebut untuk mengantisipasi adanya potensi masalah pada sumur sebelum
pemboran memasuki formasi Kujung. Dari sisi pemegang saham, ketika luapan
lumpur tersebut terjadi, berikut ini adalah susunan kepemilikan saham:
Tanggung jawab atas Lapindo Brantas Inc. selaku operator dalam kasus
luapan lumpur ini berada di PT Energi Mega Persada Tbk. yang memiliki
kepemilikan sampai 100% di Lapindo Brantas Inc. Sedangkan Grup Bakrie adalah
pemegang saham terbesar PT Energi Mega Persada Tbk. sebesar 63,35%.
Sehingga secara tidak langsung Grup Bakrie juga merupakan pemegang saham
terbesar dan memilik kendali atas Lapindo Brantas Inc.

Berkaitan dengan kepemilikan dan kendali Grup Bakrie atas Lapindo Brantas
Inc. banyak pihak yang menuntut pertanggungjawaban dari Grup Bakrie untuk
menyelesaikan masalah luapan lumpur dan turut berpartisipasi dalam memberikan
ganti rugi atas kerugian ekonomi dan sosial yang dialami oleh masyarakat. PT
Medici Citra Nusantara, subkontraktor dari pengeboran yang menyebabkan
luapan lumpur, pada akhirnya diketahui merupakan bagian dari Grup Bakrie.
Namun sampai saat ini tidak ada pertanggungjawaban secara resmi dari Grup
Bakrie. Pasal 3 Ayat 1 Undang-Undang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa
pemegang saham tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai
saham yang telah diambilnya. Akan tetapi pernyataan dari Grup Bakrie sendiri
melalui Abdurizal Bakrie, pemegang kekuaasaan terbesar dalam Grup Bakrie,
mengatakan akan menyiapkan dana untuk ganti rugi, mengesankan bahwa Grup
Bakrie akan bertanggung jawab.

Dengan alasan untuk melindungi pemilik saham publiknya, PT Energi Mega


Persada menjual 100% kepemilikan saham di Lapindo Brantas Inc, melalui Kalila
Energy Ltd. dan Pan Asia Enterprise ke Freehold Ltd. namun penjualan tersebut
dibatalkan pada November 2006 oleh Freehold. Pada tanggal 26 Maret 2007,
melalui PT Minarak Lapindo Jaya, PT Energi Mega Persada Tbk. menyatakan
akan bertanggung jawab atas ganti rugi masyarakat dan mulai menyalurkan ganti
rugi kepada masyarakat. Untuk kondisi saat ini, ganti rugi kepada masyarakat
telah dihentikan sejak Maret 2008 dengan alasan tidak adanya dana.
Pertanggungjawaban dari pemilik saham, Grup Bakrie dan pemilik saham lainnya
tidak kejelasan secara formal.

Bab II

Teori Etika Terkait

Kami menggunakan teori dan penjelasan dalam buku Leonard J. Brooks


(2004) dalam mengkaitkan permasalah kasus Lapindo Brantas, yang telah
dijelaskan di atas, dengan Etika dalam tindakan maupun keputusan perusahaan.

Milton Friedman dalam teorinya memandang bahwa bisnis ada untuk


melayani lingkungan dan menegaskan bahwa organisasi harusnya selalu
mengawasi tindak tanduknya sebelum, ketika, dan sesudah melaksanakan
keputusannya. Contoh organisasi yang selalu memantau lingkungan bisnis mereka
adalah CERES. Terkadang kalau perusahaan kurang mampu mengawasinya
sendiri, mereka akan meminta bantuan konsultan (ethical investor) untuk
mengawasi dan menasihati jika ada sesuatu yang mengancam yang terkait dengan
kegiatan dan investasi untuk profitabilitas dan integritas etika.
Hal-hal yang perlu diawasi terangkum dalam Hypernorm. Hypernorm adalah
nilai dasar untuk mencakup seluruh kepentingan para stakeholder. Nilai ini adalah
untuk seluruh pihak yang terkait, sehingga dapat diterapkan pada seluruh
stakeholder untuk mendukung kegiatan perusahaan.

Nilai yang tercakup dalam Hypernorm adalah:

Honestly, Fairness, Compassion, Integrity, Predictability, and Responsibility.

Dalam Bab III dan IV dalam makalah ini akan dibahas mengenai evaluasi,
evaluasi yang akan dibahas banyak terkait dengan pengawasan perusahaan terkait
dengan hypernorm predictability dan responsibility. Untuk keputusan yang terkait
dengan publik dan masyarakat banyak, kita dapat menggunakan The Moral
Standards Approach, yang dikembangkan oleh Professor Manuel Velasquez
(1992). Teori ini memfokuskan pada tiga dimensi dari dampak tindakan yang
diajukan, yaitu;

(1) apakah tindakan tersebut memberikan keuntungan bagi masyarakat umum,

(2) apakah tindakan tersebut adil bagi semua stakeholders,

(3) apakah tindakan tersebut benar.

EDM Considerations Philosophical Theories


- Well-offness or well-being Consequentialism, Utilitarianism,
Theology
- Respect for the rights of stakeholders Deontology (rights and Duties)
- Fairness among stakeholders Kants Categorical imperative,
justice as impartiality
- Expectations for character traits, virtue Virtue
Specific EDM Issues
- Different behavior in different cultures Relativism, subjectivism
(bribery)
- Conflicts of interest, and limits to self- Deontology, subjectivism, egoism
interested behavior

Tiga standar dari Moral standards approach, yaitu;

Moral Standard Pertanyaan dari keputusan yang diajukan

Risiko etika merupakan risiko tidak terpenuhinya ekspektasi stakeholder


dimana jika tidak terpenuhi akan memunculkan potensi kehilangan dukungan
untuk mencapai tujuan perusahaan, sementara jika melewati ekspektasi akan
menghasilkan keuntungan kompetitif.
Ada banyak cara untuk dilakukannya pengawasan, seperti dikeluarkannya
regulasi terkait, code of conduct profesi, audit eksternal untuk laporan keuangan,
internal control dan salah satu yang mulai terkenal karena terkait dengan
lingkungan hidup dan masyarakat adalah corporate social responsibility (CSR).
Perusahaan mulai menyadari selain bertanggung jawab terhadap para pemegang
saham mereka juga bertanggung jawab terhadap para pihak yang berkepentingan
(stakeholder). Sebagai hasil paradigma baru ini perusahaan tertarik dalam menilai
kinerja perusahaan yang diminati oleh para stakeholder untuk mengetahui apa
yang sedang terjadi, bagaimana teknik manajemen bekerja, dan apakah yang
dilaporkan kepada dewan komite dan publik.

DAFTAR PUSTAKA
www.Google.com: 3 November 2009 pukul 08.53. Wibowo, Pamadi. Tanggung
jawab Sosial Masyarakat. Associate LabSosio Universitas Indonesia.
www.Google.com: 3 November 2009 pukul 08.55. Daniri, Achmad. Menanti
KPK Tuntaskan Penyelesaian Kasus BLBI. Republika, Senin, 15 Desember 2009.
Terbit di Web : Selasa, 16 Desember 2008
www.Google.com: 3 November 2009 pukul 09.10. Agnes Halim, Christina
Aprillia, Lidia Feniati, dan Shartika Nirmala Dewi. Kasus Lapindo Brantas.
Universitas Indonesia Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi. Diterbitkan oleh
Emil Bachtiar tanggal 27 Juli 2007

You might also like