Professional Documents
Culture Documents
Terima Kasih,
Penulis
DAFTAR ISI
Keterlibatan BP Migas 16
and Responsibility.
4. Daftar Pustaka
ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL
PERUSAHAAN
Praktek tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social
Responsibility/CSR) oleh korporasi besar, khususnya di sektor industri ekstraktif
(minyak, gas, dan pertambangan lainnya), saat ini sedang disorot tajam. Kasus
Buyat adalah contoh terbaru--bukan terakhir--tentang bagaimana realisasi
tanggung jawab sosial itu. Tulisan ini bermaksud menelaah praktek CSR
berkaitan dengan peran aktif masyarakat sipil dalam memaknai dan turut
membentuk konsep kemitraan yang merupakan salah satu kondisi yang
dibutuhkan dalam mewujudkan CSR. Dalam artikel "How Should Civil Society
(and The Government) Respond to 'Corporate Social Responsibility'?", Hamann
dan Acutt (2003) menelaah motivasi yang mendasari kalangan bisnis menerima
konsep CSR. Ada dua motivasi utama. Pertama, akomodasi, yaitu kebijakan bisnis
yang hanya bersifat kosmetik, superficial, dan parsial. CSR dilakukan untuk
memberi citra sebagai korporasi yang tanggap terhadap kepentingan sosial.
Singkatnya, realisasi CSR yang bersifat akomodatif tidak melibatkan perubahan
mendasar dalam kebijakan bisnis korporasi sesungguhnya.
Kedua, legitimasi, yaitu motivasi yang bertujuan untuk mempengaruhi
wacana. Pertanyaan-pertanyaan absah apakah yang dapat diajukan terhadap
perilaku korporasi, serta jawaban-jawaban apa yang mungkin diberikan dan
terbuka untuk diskusi? Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa motivasi ini
berargumentasi wacana CSR mampu memenuhi fungsi utama yang memberikan
keabsahan pada sistem kapitalis dan, lebih khusus, kiprah para korporasi raksasa.
Telaah Hamann dan Acutt sangat relevan dengan situasi implementasi CSR di
Indonesia dewasa ini. Khususnya dalam kondisi keragaman pengertian konsep
dan penjabarannya dalam program-program berkenaan dengan upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
Keragaman pengertian konsep CSR adalah akibat logis dari sifat pelaksanaannya
yang berdasarkan prinsip kesukarelaan. Tidak ada konsep baku yang dapat
dianggap sebagai acuan pokok, baik di tingkat global maupun lokal. Secara
internasional saat ini tercatat sejumlah inisiatif code of conduct implementasi
CSR. Inisiatif itu diusulkan, baik oleh organisasi internasional independen
(Sullivan Principles, Global Reporting Initiative), organisasi negara (Organization
for Economic Cooperation and Development), juga organisasi nonpemerintah
(Caux Roundtables), dan lain-lain. Di Indonesia, acuannya belum ada. Bahkan
peraturan tentang pembangunan komunitas (community development/CD) saat ini
masih dalam bentuk draf yang diajukan Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral. Tak heran jika berbagai korporasi sebenarnya berada dalam situasi
"bingung" untuk melaksanakan CSR. Selain gambaran itu, tampak pula
kecenderungan pelaksanaan CSR di Indonesia yang sangat tergantung pada chief
executive officer (CEO) korporasi. Artinya, kebijakan CSR tidak otomatis selaras
dengan visi dan misi korporasi. Jika CEO memiliki kesadaran moral bisnis
berwajah manusiawi, besar kemungkinan korporasi tersebut menerapkan
kebijakan CSR yang layak. Sebaliknya, jika orientasi CEO-nya hanya pada
kepentingan kepuasan pemegang saham (produktivitas tinggi, profit besar, nilai
saham tinggi) serta pencapaian prestasi pribadi, boleh jadi kebijakan CSR sekadar
kosmetik.
Sifat CSR yang sukarela, absennya produk hukum yang menunjang dan
lemahnya penegakan hukum telah menjadikan Indonesia sebagai negara ideal bagi
korporasi yang memang memperlakukan CSR sebagai kosmetik. Yang penting,
Laporan Sosial Tahunannya tampil mengkilap, lengkap dengan tampilan foto
aktivitas sosial serta dana program pembangunan komunitas yang telah direalisasi.
Di pihak lain, kondisi itu juga membuat frustrasi korporasi yang berupaya
menunjukkan itikad baik. Celakanya, bagi yang terakhir ini, walau dana dalam
jumlah besar dikucurkan, manajemen CSR dibentuk, serta strategi dan program
dibuat, nyatanya tuntutan serta demo dari masyarakat dan aktivis organisasi
nonpemerintah masih tetap berlangsung. Sementara itu, sikap pemerintah sejauh
ini masih memprihatinkan.
Secara teoretis CSR mengasumsikan korporasi sebagai agen pembangunan
yang penting, khususnya dalam hubungan dengan pihak pemerintah dan
kelompok masyarakat sipil. Dengan menggunakan alur pemikiran motivasi dasar,
berbagai stakeholder kunci dapat memantau, bahkan menciptakan tekanan
eksternal yang bisa "memaksa" korporasi mewujudkan konsep dan penjabaran
CSR yang lebih sesuai dengan kondisi Indonesia. Dari perspektif masyarakat sipil,
pola kemitraan sangat menguntungkan karena kegiatan bisnis memiliki berbagai
sumber daya penting dan kapabilitas yang dapat digabungkan untuk tujuan-tujuan
pembangunan. Misalnya, pembangunan infrastruktur industri pertambangan di
wilayah pedalaman mampu menyumbang secara signifikan pada penyediaan
berbagai fasilitas publik, yang dapat dilihat dalam perkembangan kota Sangatta,
Pekanbaru, dan Balikpapan.
Namun, peran masyarakat sipil dalam pendayagunaan berbagai sumber
daya dan kapabilitas perlu disalurkan dan diperkuat oleh organisasi
nonpemerintah dan pemerintah. Artinya, kemitraan adalah prasyarat dasar. Dalam
khazanah kemitraan dikenal istilah "kompetensi inti pelengkap" (complementary
core competencies). Kapasitas rekayasa teknis, logistik, finansial, dan sumber
daya manusia yang dimiliki korporasi dapat dipadu dengan modal sosial,
ekonomi, budaya, dan pengetahuan lokal. Tentu juga dengan kerangka
pembangunan yang lebih luas yang dilakukan pemerintah. Peningkatan posisi
tawar masyarakat sipil masih harus diperjuangkan. Masyarakat sipil perlu
memainkan peran lebih aktif dalam membentuk wacana tentang CSR. Hal ini
mengisyaratkan kalangan organisasi nonpemerintah juga harus lebih memahami
agenda CSR. Bukan hanya retorikanya, tetapi juga unsur-unsur terukurnya, seperti
aspek legislasi dan berbagai indikator kuantitatif keberhasilan CSR dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada kenyataannya, peta pemahaman
organisasi nonpemerintah terhadap masalah ini masih sangat bervariasi. Yang
tergolong garis keras condong menentang CSR, karena dianggap produk
neoliberal dalam rangka penaklukan masyarakat sipil. Ada yang berkompeten,
memiliki komitmen, dan dapat berkolaborasi, tapi jumlahnya masih sangat kecil.
Bagian terbesar mungkin malahan hanya free rider.
Dalam era kapitalisme global saat ini, eksistensi kapitalis seperti korporasi
multinasional adalah keniscayaan. Menafikan keberadaan mereka dalam dinamika
pembangunan di berbagai aspek adalah irasional. Sementara itu, menyiasati
kehadiran korporasi dalam kerja sama kemitraan yang sejajar untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat bukanlah ilusi. Optimisme dan perjuangan mewujudkan
hal itu lebih berarti dari sekadar asal berseberangan.
Pada 9 Desember lalu adalah tepat lima tahun Hari Antikorupsi. Sayangnya
hingga kini kita belum menyaksikan keberanian dan kesungguhan pemerintah
dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi berskala besar di Tanah Air, khususnya
terkait BLBI.Pemerintah tidak bersikap tegas sehingga masa depan penyelesaian
kasus-kasus ini sangat kabur dan tidak jelas. Padahal, kasus-kasus tersebut telah
merugikan negara dalam jumlah yang sangat besar.
Presiden bahkan juga tidak banyak bertindak saat oknum aparat penegak
hukum dari institusi yang dibawahinya, Kejaksaan Agung, terlibat dugaan suap
menyuap dengan Artalyta Suryani dalam rangka melindungi kepentingan obligor
BLBI Sjamsul Nursalim. Padahal, salah seorang jaksa terbaik mereka, yaitu Urip
Tri Gunawan, telah terbukti bersalah dan menerima vonis penjara.
Atas kasus ini, majelis hakim telah pula menyimpulkan dengan tegas kasus
itu tidak berdiri sendiri dan memiliki keterkaitan dengan kasus BLBI. Karena itu,
sudah seharusnya pelaku-pelaku utama skandal BLBI, seperti Sjamsul Nursalim
dan keluarga Salim, segera diseret ke pengadilan. Kasus suap Artalyta-Urip juga
menyeret nama sejumlah nama pejabat tinggi di Kejagung. Karena itu, tak pelak
ini menegaskan kentalnya indikasi KKN dalam penyelesaian kasus BLBI oleh
Kejagung. Karena itulah, Kejagung sesungguhnya sudah tidak bisa diharapkan
lagi menyelesaikan kasus BLBI secara objektif dan berkeadilan. Bagaimana
mungkin pihak yang telah terlibat mampu memeriksa dirinya sendiri secara
objektif?
Asas nonretroaktif hanya dapat berlaku pada perbuatan pidana, bukan pada
kewenangan KPK untuk menangani kasus korupsi tersebut. Hal yang lebih
penting untuk dipertimbangkan adalah bahwa skandal BLBI merupakan kejahatan
luar biasa (extra ordinary crimes) yang telah sangat merugikan negara dan terus
membebani rakyat hingga puluhan tahun yang akan datang (sekurang-kurangnya
hingga tahun 2033).
Kita turut mengingatkan agar KPK bertindak konsisten dan progresif dalam
menyelidiki kasus-kasus BLBI. Kita tidak menghendaki KPK pada kemudian hari
mengidap penyakit masuk angin, yaitu hanya bersikap garang di awal proses,
tetapi mandul dalam penyelesaiannya.
PT. Energi Mega Persada sebagai pemilik saham mayoritas Lapindo Brantas
merupakan anak perusahaan Grup Bakrie. Grup Bakrie memiliki 63,53% saham,
sisanya dimiliki komisaris EMP, Rennier A.R. Latief, dengan 3,11%, Julianto
Benhayudi 2,18%, dan publik 31,18%. Chief Executive Officer (CEO) Lapindo
Brantas Inc. adalah Nirwan Bakrie yang merupakan adik kandung dari pengusaha
dan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia pada
Kabinet Indonesia Bersatu, Aburizal Bakrie.
Pada 20 September 2006, PT Energi Mega Persada Tbk (PT EMP) berencana
menjual Lapindo Brantas Inc. ke Lyte Limited, perusahaan yang berafiliasi ke
Kelompok Usaha Bakrie. Akan tetapi penjualan ini tidak disetujui oleh Bapepam-
LK dengan alasan manajemen Energi belum bisa memberi penjelasan apa
penyebab insiden lumpur panas dan pihak mana yang harus bertanggungjawab.
Oleh karena itu, PT EMP mengalihkan rencana penjualan Lapindo Brantas ke
pihak ketiga yang tidak berafiliasi dengan grup Bakrie sehingga tidak perlu
meminta persetujuan rapat umum pemegang saham karena bukan benturan
kepentingan, sebagaimana yang terjadi dengan penjualan kepada Lyte. Pada 14
November 2006, kepemilikan saham EMP di Lapindo akhirnya dijual kepada
Freehold Group Limited, sebuah perusahaan investasi yang berkedudukan di
Kepulauan Virgin Britania Raya, namun penjualan ini lalu dibatalkan Freehold
pada 28 November 2006.
Pada 29 Mei 2006, lumpur panas menyembur dari sumur Banjar Panji-1 milik
PT. Lapindo Brantas di desa Renokenongo, kecamatan Porong, Kabupaten
Sidoarjo provinsi Jawa Timur, Indonesia. Semburan lumpur yang sampai dengan
saat ini belum berhasil dihentikan telah menyebabkan tutupnya banyak pabrik dan
sawah, serta banyak pemukiman penduduk yang tak bisa digunakan dan ditempati
lagi. Untuk menghentikan semburan lumpur di Sidoarjo, Lapindo meminta
bantuan kepada group disaster expert, seperti Alert Disaster Control (Asia) Pte
Ltd (Canada) dan Abel Engineering/Well Control (Texas, USA).
Bab I
Kronologis Permasalahan
Januari 2005 :
18 Mei 2006 :
Pada 18 Mei 2006 atau 11 hari sebelum semburan gas, rekanan proyek
Lapindo mengingatkan mengenai pemasangan casing atau pipa selubung. Casing
sudah harus dipasang sebelum pengeboran sampai di formasi Kujung di
kedalaman 2.804 meter. Lapindo sebagai operator proyek belum memasang
casing berdiameter 5/8 inci pada kedalaman 2.590 meter. Padahal, pemasangan
casing adalah salah satu rambu keselamatan.
27 Mei 2006 :
Pada umumnya, peristiwa loss diikuti munculnya tekanan tinggi dari dalam
sumur ke atas yang disebut kick. Untuk mengantisipasi kick, pipa ditarik ke atas
untuk memasukkan casing 9-5/8 inci yang rencananya akan dipasang tepat di
kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung (8500
kaki) sebagai pengamanan sumur. Sebagai catatan, casing terakhir terpasang di
kedalaman 3.580 kaki.
28 Mei 2006 :
Pada 28 Mei 2006, salah seorang pekerja pengeboran sudah merasakan ada
kebocoran gas. Ia sudah menginformasikan kepada pimpinannya di Lapindo. Saat
itu, karyawan pengeboran telah mengingatkan, jika pengeboran diteruskan dapat
mengakibatkan kebocoran, dan yang akan keluar adalah gas beracun yang dapat
menimbulkan terjadinya kebakaran. Tetapi, pihak pimpinan tidak menghiraukan
peringatan itu dan meminta agar pengeboran dilanjutkan.
Pada pukul 08.00-12.00, saat proses penarikan pipa hingga 4.241 kaki, terjadi
kick berkekuatan 350 Psi. Oleh karena itu, lumpur berat disuntikkan ke dalam
sumur. Ketika hendak ditarik lebih ke atas, pada kedalaman 3.580 kaki bor macet
atau stuck. Upaya menggerakkan pipa ke atas, ke bawah, maupun merotasikannya
gagal. Bahkan, pipa tetap bergeming saat dilakukan penarikan sampai dengan
kekuatan 200 ton. Upaya ini berlangsung mulai pukul 12.00 hingga 20.00.
Selanjutnya, untuk mengamankan sumur, di area macetnya bor disuntikkan
semen. Karena macet, akhirnya diputuskan bor atau fish diputus dari rangkaian
pipa dengan cara diledakkan.
29 Mei 2006 :
Ketika bor berada di kedalaman 9.000 kaki atau 2.743 meter dan akan
diangkat untuk ganti rangkaian, tiba-tiba macet. Gas tak bisa keluar melalui
saluran fire pit dalam rangkaian pipa bor, dan menekan ke samping, akhirnya
keluar ke permukaan melalui rawa. Sekitar pukul 05.00, lumpur dan gas akhirnya
menyembur sekitar 100 meter dari sumur. Menurut para saksi mata di sekitar
kejadian, semburan itu disertai suara keras dan ketinggiannya mencapai 15 meter.
Ketika semburan lumpur terjadi pertama kali di sekitar Sumur Banjar Panji 1
(BJP-1), volume lumpur yang dihasilkan masih pada tingkat 5.000 meter kubik
per hari. Lubang semburan terjadi di beberapa tempat, sebelum akhirnya menjadi
satu lubang yang dari waktu ke waktu menyemburkan lumpur panas dengan
volume yang terus membesar hingga mencapai 50.000 m3 per hari. Permasalahan
penanganan lumpur panas ini menjadi jauh lebih berat akibat semakin
membesarnya volume lumpur panas yang disemburkan, dari antara 40,000 m3
sampai 60,000 m3 (Mei-Agustus) menjadi 126,000 m3 per hari, sehingga yang
akan dibuang tidak hanya air dari lumpur tersebut, akan tetapi keseluruhan lumpur
panas yang menyembur di sekitar sumur Banjar Panji 1.
2 Juni 2006 :
Pihak Lapindo tetap bersikukuh menganggap bahwa peristiwa semburan lumpur
merupakan dampak gempa bumi yang membentuk retakan dalam lapisan tanah.
Retakan itulah yang kemudian mengakibat gas dan lumpur menyembur keluar.
Meskipun dalam penyidikan awal juga telah terungkap adanya indikasi
kejanggalan dalam eksplorasi, pihak Lapindo tetap bersikeras bahwa semua
kegiatan pengeborannya sudah sesuai SOP (standar operating procedure)
4 Juni 2006 :
Pakar geologi, sekaligus Kepala Unit Pusat Studi Bencana Lembaga Penelitian
dan Pengabdian Kepada Masyarakat Kampus ITS Sukolilo Surabaya, Ir. Amien
Widodo, M.T., menyangkal pendapat pihak Lapindo. Menurutnya, semburan
Lumpur dan gas di sumur Banjar Panji-1 terjadi bukan karena pengaruh gempa.
Sebab, getaran yang terjadi di kawasan Surabaya dan Sidoarjo karena gempa
Jogja hanya sekitar 2,2 skala richter. Gempa di Jogjakarta berskala 5,9 skala
richter dan apabila berpengaruh di Sidoarjo skalanya kecil, dan tidak akan
menyebabkan luapan lumpur Lapindo.
5 Juni 2006 :
Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa dalam rapat teknis pada 18 Mei 2006,
Medco telah mengingatkan operator untuk memasang casing pada kedalaman
8.500 kaki untuk mengantisipasi potensi kebocoran sebelum pengeboran
menembus formasi kujung sebagaimana disetujui dalam program pengeboran.
16 Juni 2006 :
21 Juni 2006 :
General Manajer Lapindo Brantas Inc., Imam Agustino, dijadikan tersangka atas
timbulnya bencana lumpur Lapindo.
Agustus 2006 :
Lapindo Brantas Inc. membayar sejumlah Rp 2,5 juta per tahun selama 2 tahun
kepada setiap keluarga yang menjadi korban lumpur Lapindo sebagai biaya untuk
menyewa rumah.
8 September 2006 :
November 2006 :
Desember 2006 :
Kekayaan keluarga Bakrie yang diperkirakan mencapai US$ 1,2 miliar (atau
setara dengan Rp 11,04 triliun), menempatkan keluarga Bakrie sebagai keluarga
terkaya ke-6 di Indonesia.
8 Maret 2007 :
22 Maret 2007 :
Peta musibah lumpur Lapindo meluas hingga Gempolsari, Ketapang, dan desa
Kalitengah.
8 April 2007 :
26 Juni 2007 :
Presiden RI meminta Lapindo Brantas Inc. untuk mempercepat pembayaran atas
20% uang muka ganti rugi kepada 10,000 keluarga yang menjadi korban lumpur
Lapindo pada 1 Juli 2007 dalam jangka waktu 10 minggu.
14 September 2007 :
Batas akhir pembayaran 20% uang muka ganti rugi telah lewat dan Lapindo
Brantas Inc. gagal untuk memenuhi permintaan Presiden RI.
November 2007 :
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan perdata YLBHI dalam perkara
penanganan korban lumpur Lapindo.
Desember 2007 :
Akibat meningkatnya harga batu bara di pasar internasional, saham milik Bumi
Resources, salah satu perusahaan yang dimiliki oleh keluarga Bakrie, meningkat
tajam, yang meningkatkan jumlah kekayaan keluarga Bakrie hingga US$ 5,4
miliar (atau setara dengan Rp 50 triliun). Hal ini mengakibatkan keluarga Bakrie
menjadi keluarga terkaya di Indonesia. Pada saat ini, biaya kompensasi akibat
bencana lumpur Lapindo telah mencapai Rp 3,4 triliun.
28 Mei 2008 :
Batas waktu bagi Lapindo Brantas Inc. untuk memulai pembayaran sisa 80% uang
ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo telah tiba. Pihak Lapindo melakukan
pembayaran yang pertama kepada 11 warga di Siring sejumlah Rp 2,054 miliar.
11 Juni 2008 :
11 November 2008 :
27 November 2008 :
30 November 2008 :
Desember 2008 :
Lapindo Brantas Inc. gagal untuk memenuhi tenggat waktu yang diminta oleh
Presiden. Dengan alasan dana, Lapindo Brantas Inc. berjanji mencicil sisa ganti
rugi Rp 30 juta per bulan.
Februari 2009 :
Maret 2009 :
Cicilan ganti rugi yang dijanjikan Lapindo Brantas Inc. senilai Rp 15 juta per
bulan dihentikan akibat kekurangan dana.
April 2009 :
Mei 2009 :
Juni 2009 :
Ratusan pekerja yang ditugaskan untuk memperkuat tanggul dan mengaduk
lumpur Lapindo berhenti bekerja akibat kontrak kerja mereka tidak diperpanjang.
Hal ini mengakibatkan terhambatnya pembuangan lumpur ke Kali Porong.
Juli 2009 :
Tim Adhoc Komisi Nasional Hak Asasi Manusia akan memeriksa korban
semburan lumpur Lapindo terkait dugaan pelanggaran HAM berat, antara lain hak
hidup, hak untuk mendapatkan pekerjaan, hak kesehatan, hak pendidikan, dan
sebagainya.
2. Kulit merah, iritasi, melepuh, dan kanker kulit jika kontak langsung dengan
kulit
3. Kanker
4. Permasalahan reproduksi
Dampak PAH dalam lumpur Lapindo bagi manusia dan lingkungan mungkin
tidak akan terlihat sekarang, melainkan nanti 5-10 tahun kedepan. Dan yang
paling berbahaya adalah keberadaan PAH ini akan mengancam kehidupan anak
cucu, khususnya bagi mereka yang tinggal di sekitar semburan lumpur Lapindo
beserta ancaman terhadap kerusakan lingkungan. Namun sampai Mei 2009 atau
tiga tahun dari kejadian awal ternyata belum terdapat adanya korban sakit atau
meninggal akibat lumpur tersebut.
Dampak
2. Lahan dan ternak yang terkena dampak lumpur hingga Agustus 2006 antara
lain: lahan tebu seluas 25,61 ha, lahan padi seluas 172,39 ha, serta 1.605 ekor
unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang.
4. 4 kantor pemerintah tidak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak
bekerja.
6. Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak
1.683 unit, dengan rincian : Tempat tinggal 1.810, sekolah 18, kantor 2
(Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15
unit.
8. Pipa air milik PDAM Surabaya patah akibat amblesnya permukaan tanah di
sekitar semburan lumpur.
9. Meledaknya pipa gas milik Pertamina akibat penurunan tanah karena tekanan
lumpur dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam.
Penutupan ruas jalan tol ini juga menyebabkan terganggunya jalur transportasi
Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi serta kota-kota lain di bagian timur
pulau Jawa. Ini berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro
(Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri
utama di Jawa Timur.
Keterlibatan BP Migas
Dugaan tersebut terkait dengan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan atas
semburan lumpur Lapindo yang menyatakan bahwa Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral serta BP Migas tidak mengawasi eksplorasi sumur Banjar
Panji-1 yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas.
Selain itu, berdasarkan hasil investigasi yang telah dilakukan oleh WALHI
Jawa Timur, menyatakan bahwa selama beroperasi selama 3 bulan PT Lapindo
Brantas tidak pernah melakukan sosialisasi atau pengumuman setempat terhadap
warga, termasuk pemerintah daerah.
Sampai dengan tahun 2009, belum ada kejelasan lebih lanjut mengenai
keterlibatan pihak BP Migas dalam kasus semburan Lumpur Lapindo. Hal ini
dikarenakan pihak kepolisian dan penyidik belum menemukan bukti-bukti nyata
mengenai keterlibatan pihak BP Migas, walaupun banyak pihak yang menyetujui
bahwa pihak BP Migas juga memiliki tanggung jawab atas semburan Lumpur di
Sidoarjo tersebut.
Pada tahun 2006, polisi telah menetapkan 13 tersangka, sebagian berasal dari
Lapindo Brantas dan PT Medici Citra Nusantara, di antaranya Imam P. Agustino
(Direktur Utama Lapindo Brantas Inc.), Rahenold, Subie dan, Slamet B.K.
(ketiganya adalah Drilling Supervisor PT Medici Citra Nusa), Willem Hunila
(company man Lapindo Brantas Inc.), Edi Sutriono (supervisor drilling), Nur
Rahmat Sawolo (Vice President Drilling PT Energi Mega Persada, yang
dikaryakan di Lapindo Brantas Inc.), Yenny Nawawi (Direktur Utama PT Medici
Citra Nusa), Slamet Rianto (Manajer Drilling PT Medici Citra Nusa), Soleman
(rig manager), Lilik Marsudi (juru bor), Sardianto (mandor), dan Aswan Siregar
(mantan Direktur Lapindo Brantas Inc.). Sampai saat ini dari sisi tindak pidana
kelalaian, baru ketigabelas tersangka di atas yang dijadikan tersangka. Per Juni
2009, pemeriksaan masih berlangsung dan belum ada yang ditetapkan sebagai
terdakwa.
Sehubungan dengan kedua partner pengelola Blok Brantas yang lain, PT Medco
E&P Brantas dan Santos Brantas, kedua perusahaan tersebut menilai bahwa
Lapindo telah melakukan kelalaian (gross negligence), seperti tertuang dalam
dokumen perjanjian operasi bersama (JOA) Blok Brantas, artikel 1.28. Mengacu
pada klausul 4.6 dari JOA Brantas, Lapindo sebagai operator harus bertanggung
jawab terhadap klaim dari pihak lain, termasuk menanggung biaya pemulihan
agar situasi menjadi normal kembali setelah kebocoran.
Keberadaan Medco dan Santos di blok itu hanya sebatas partisipasi modal
kerja, bukan operator. Kewenangannya pun sebatas memberikan advis teknis.
Melalui surat No. MGT-088/JKT/06 tanggal 5 Juni 2006, PT Medco E&P Brantas
telah mengingatkan Lapindo pada saat technical meeting pada tanggal 18 Mei
2006, agar Lapindo memasang casing 9 5/8 pada kedalaman 8.500 kaki.
Pertimbangan teknis dari PT Medco E&P Brantas adalah pemasangan casing
tersebut untuk mengantisipasi adanya potensi masalah pada sumur sebelum
pemboran memasuki formasi Kujung. Dari sisi pemegang saham, ketika luapan
lumpur tersebut terjadi, berikut ini adalah susunan kepemilikan saham:
Tanggung jawab atas Lapindo Brantas Inc. selaku operator dalam kasus
luapan lumpur ini berada di PT Energi Mega Persada Tbk. yang memiliki
kepemilikan sampai 100% di Lapindo Brantas Inc. Sedangkan Grup Bakrie adalah
pemegang saham terbesar PT Energi Mega Persada Tbk. sebesar 63,35%.
Sehingga secara tidak langsung Grup Bakrie juga merupakan pemegang saham
terbesar dan memilik kendali atas Lapindo Brantas Inc.
Berkaitan dengan kepemilikan dan kendali Grup Bakrie atas Lapindo Brantas
Inc. banyak pihak yang menuntut pertanggungjawaban dari Grup Bakrie untuk
menyelesaikan masalah luapan lumpur dan turut berpartisipasi dalam memberikan
ganti rugi atas kerugian ekonomi dan sosial yang dialami oleh masyarakat. PT
Medici Citra Nusantara, subkontraktor dari pengeboran yang menyebabkan
luapan lumpur, pada akhirnya diketahui merupakan bagian dari Grup Bakrie.
Namun sampai saat ini tidak ada pertanggungjawaban secara resmi dari Grup
Bakrie. Pasal 3 Ayat 1 Undang-Undang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa
pemegang saham tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai
saham yang telah diambilnya. Akan tetapi pernyataan dari Grup Bakrie sendiri
melalui Abdurizal Bakrie, pemegang kekuaasaan terbesar dalam Grup Bakrie,
mengatakan akan menyiapkan dana untuk ganti rugi, mengesankan bahwa Grup
Bakrie akan bertanggung jawab.
Bab II
Dalam Bab III dan IV dalam makalah ini akan dibahas mengenai evaluasi,
evaluasi yang akan dibahas banyak terkait dengan pengawasan perusahaan terkait
dengan hypernorm predictability dan responsibility. Untuk keputusan yang terkait
dengan publik dan masyarakat banyak, kita dapat menggunakan The Moral
Standards Approach, yang dikembangkan oleh Professor Manuel Velasquez
(1992). Teori ini memfokuskan pada tiga dimensi dari dampak tindakan yang
diajukan, yaitu;
DAFTAR PUSTAKA
www.Google.com: 3 November 2009 pukul 08.53. Wibowo, Pamadi. Tanggung
jawab Sosial Masyarakat. Associate LabSosio Universitas Indonesia.
www.Google.com: 3 November 2009 pukul 08.55. Daniri, Achmad. Menanti
KPK Tuntaskan Penyelesaian Kasus BLBI. Republika, Senin, 15 Desember 2009.
Terbit di Web : Selasa, 16 Desember 2008
www.Google.com: 3 November 2009 pukul 09.10. Agnes Halim, Christina
Aprillia, Lidia Feniati, dan Shartika Nirmala Dewi. Kasus Lapindo Brantas.
Universitas Indonesia Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi. Diterbitkan oleh
Emil Bachtiar tanggal 27 Juli 2007