You are on page 1of 30

REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

MAKALAH

Diajukan Sebagai Bahan Seminar I


(Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan)

Oleh :

IKRAMA MASLOMAN
060 516 009

PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2010

1
REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

MAKALAH
Diajukan Sebagai Bahan Seminar I
(Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan)

Oleh :
Ikrama Masloman
060 516 009

Menyetujui,

Kepala Laboratorium Pembimbing I


Ekonomi dan Bisnis Perikanan

Ir. Christian Dien, M.Si Ir. Otniel Pontoh, M.Si


NIP. 19591222 198703 1 001 NIP. 19540903 198503 1 001

Mengetahui,

Ketua Jurusan Ketua Program Studi


Manajemen Sumberdaya Perikanan Sosial Ekonomi Perikanan

Ir. Henneke Pangkey, M.Sc, Ph.D Ir. Jeannette F. Pangemanan, M.Si


NIP. 19600622 198703 2 001 NIP. 19611216 198803 2 003

Pembantu Dekan Bidang Akademik

Dr. Ir. Hens Onibala, M.Sc

2
NIP. 19590930 198703 1 003

RINGKASAN

Ikrama Masloman. 060 516 009. Revitalisasi Pembangunan Perikanan .


Dibimbing Oleh : Ir. Otniel Pontoh, M.Si

Indonesia sebagai Negara kepulauan (archipelago state) terbesar di Dunia


memiliki potensi sumberdaya perikanan yang besar hingga sering disebut bahwa
sektor perikanan merupakan raksasa yang sedang tidur (the sleeping giant). Hasil riset
Komisi Stok Ikan Nasional menyebutkan bahwa stok sumberdaya perikanan nasional
diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun. Hal ini tentu estimasi kasar karena belum
mencakup potensi ikan di perairan daratan (inland waters fisheries). dan potensi
material untuk bioteknologi yang diperkirakan mencapai kapitalisasi pasar triliunan
rupiah. Total kontribusi sektor perikanan dan kelautan terhadap PDB nasional
mencapai 25 % dan menyumbang lebih dari 15 % lapangan pekerjaan. (Burke, et.al,
2002).
Percepatan pembangunan sektor Perikanan selama ini masih belum dapat
menjawab Amanat pembangunan ekonomi serta harapan masyarakat Indonesia secara
keseluruhan melainkan bernada setengah hati, degradasi pada sektor ini disumbang
oleh rapuhnya regulasi tentang pengelolaan perikanan, mulai dari rezim pengelolaan
yang cenderung eksploitatif serta tidak memenuhi keadalin distributif, kemudian
kebijakan pengelolaan yang sentralistik sehingga pemanfaatan di daerah yang kurang
optimal, dan paradigma pembangunan sektoral yang belum terintegrasi yang memicu
ketidakadilan dalam pemerataan pembangunan, serta model penanaman investasi
yang belum jelas keberpihakannya.
Namun demikian, besarnya potensi sumberdaya alam perikanan ini tidak
semerta tanpa persoalan baik struktural maupun fungsional. Sebagai hasilnya,
besarnya potensi yang ada tidak diimbangi dengan pemanfaatan optimal dengan
tujuan untuk kemakmuran rakyat. Maka Revitalisasi Pembangunan Perikanan harus
menjadi jawaban atas kondisi sektor perikanan hari ini. sebagai langkah pemulihan,
dimulai dari perubahan rezim pemanfaatan dari quasi open acces yang cenderung
eksploitasi secara bebas di batasi dengan penerapan rezim limited entry, Kemudian
Pengelolaan perikanan diberikan otonom kepada daerah dalam konteks desentralisasi
sehingga diharapkan pengelolaan sumber daya dapat berjalan secara optimal, Serta
pengelolaan perikanan perluh dintegrasikan, dan penerapan kebijakan investasi hijau
pada sektor perikanan yang mendorong pemanfaatan yang optimal tanpa meremehkan
kesejahteraan masyarakat serta keberlangsungan sumber daya alam.

3
KATA PENGANTAR

Puja dan Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala karunianya
sehingga penyusun dapat menyelesaikan Makalah ini yang berjudul Revitalisasi
Pembangunan Perikanan, yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana Perikanan di Program Studi Agrobisnis Fakultas Perikanan dan ilmu
Kelautan Universitas Sam Ratulangi.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan, nasihat,
serta dukungan baik secara moril maupun material sehingga penyusun mampu
menyelesaikan Makalah ini, terutama kepada Ir. Outniel Pontoh, M.Si selaku Dosen
Pembimbing serta segenap Dosen Program studi Agrobisnis Perikanan, Mahasiswa,
dan pihak-pihak yang lain.
Penulis dengan segala keterbatasannya menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dalam penyusunan Makalah ini, oleh karena itu penulis menerima segala
kritik dan saran yang dapat membangun dalam penyempurnaan Makalah ini. Akhir
kata penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat
digunakan sebaik-baiknya.

Manado, 16 Juni 2010

Penulis

4
DAFTAR 1SI

HALAMAN JUDUL . ......................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii

KATA PENGANTAR.. ...................................................................................... iii

DAFTAR IS1 ...................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

1.1.Latar Belakang ............................................................................. 1

1.2.Definisi Judul .............................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 8


BEBERAPA STRATEGI REVITALISASI PEMBANGUNAN
PERIKANAN
2.1. Perubahan Rezim Perikanan Dari Quasi Open Access ke
limited Entry.................................................................................8

2.2. Penerapan Kebijakan Total Allowable Effort


(Total Pengijinan Usaha) .......10

2.3.Desentralisasi Pengelolaan Perikanan ........................................ 12

2.4. Perencanaan dan Pengelolaan Perikanan Secara Terpadu .......... 16

2.5. Investasi Hijau Sektor Perikanan .............................................. 18


2.5.1. Landasan Pembangunan Berkelanjutan
Investas Hijau ................................................................ 18
2.5.2. Pengertian Investasi Hijau untuk Perikanan
(Green Investment For Fisheries) ................................... 18
2.5.3. Mengapa Green Investment
Untuk Perikanan Diperlukan .......................................... 19
2.5.4. Manfaat Investasi Hijau (Green Investment) ................. 21

BAB III PENUTUP .................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 24

5
BAB I
PENDAHULUAN

I.I. Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai yang
terpanjang nomor dua setelah Kanada yaitu 81.000 km. Luas wilayah teritorial
Indonesia yang sebesar 7,1 juta km2 didominasi oleh wilayah laut yaitu kurang lebih
5,4 juta km2. Dengan potensi fisik sebesar ini, Indonesia dikaruniai pula dengan
sumberdaya perikanan dan kelautan yang besar. Dari sisi keanekaragaman hayati,
Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan hayati kelautan terbesar. Dalam
hal ekosistem terumbu karang (coral reefs) misalnya, Indonesia dikenal sebagai salah
satu penyumbang kekayaan hayati terumbu karang terbesar di dunia. Menurut data
World Resources Institute (2002), dengan luas total sebesar 50.875 km2, maka 51 %
terumbu karang di kawasan Asia Tenggara dan 18 % terumbu karang di dunia, berada
di wilayah perairan Indonesia.
Menurut Tridoyo K (2007), Sumberdaya perikanan juga memiliki potensi yang
besar hingga sering disebut bahwa sektor perikanan merupakan raksasa yang sedang
tidur (the sleeping giant). Hasil riset Komisi Stok Ikan Nasional menyebutkan bahwa
stok sumberdaya perikanan nasional diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun. Hal
ini tentu estimasi kasar karena belum mencakup potensi ikan di perairan daratan
(inland waters fisheries). Total kontribusi sektor perikanan dan kelautan terhadap
PDB nasional mencapai 25 % dan menyumbang lebih dari 15 % lapangan pekerjaan.
Namun demikian, besarnya potensi sumberdaya perikanan ini tidak semerta
tanpa persoalan baik struktural maupun fungsional, khususnya pada era pemerintahan
pasca-orde lama. Sebagai hasilnya, besarnya potensi yang ada tidak diimbangi dengan
pemanfaatan optimal dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat. Isu-isu kemiskinan
nelayan, misalnya, telah menjadi isu struktural sejak lama bagi pengelolaan
(governance) sektor perikanan. Pada saat yang sama, isu-isu rusaknya sumberdaya
alam perikananpun telah lama diketahui. Studi yang dilakukan oleh Burke, et.al
(2002) misalnya menyebut bahwa kerusakan terumbu karang di Indonesia telah
sampai pada tahap mengkhawatirkan. Hampir 51 % kawasan terumbu karang yang
terancam di Asia Tenggara berada di Indonesia, disusul sebesar 20 % di Filipina.

6
Menurut Tridoyo K (2007), Paling tidak ada 3 hal yang menjadi penyebab
ketidakseimbangan ini. Pertama, masih rendahnya muatan teknologi di sektor
Perikanan dan kelautan. Seperti yang telah jamak diketahui, sektor perikanan dan
kelautan bergerak mulai dari level tradisional hingga industri. Dalam strukturnya,
sektor tradisional masih mendominasi, misalnya di bidang perikanan tangkap yang
mencapai 87 % (Dahuri, 2003). Sektor tradisional ini masih terbelit persoalan
minimnya pengetahuan dan teknologi di bidang perikanan dan kelautan sehingga
optimalisasi terhadap kinerja ini belum sesuai dengan potensi yang ada. Tanpa
mengurangi betapa pentingnya variabel-variabel lokal seperti traditional knowledge,
local wisdoms, dan sebagainya, peningkatan level kinerja dari sektor tradisional
menuju sektor post-traditional memerlukan input teknologi yang sesuai dan tepat.
Kedua, lemahnya pengelolaan. Dalam konteks ini, pengelolaan sumberdaya
perikanan masih belum integratif dan komprehensif. Masih banyaknya benturan antar
sektor dan kepentingan membuat pengelolaan terhadap sumberdaya perikanan dan
belum optimal. Marjinalisasi sektor budidaya perikanan laut (mariculture) oleh sektor
eksplorasi minyak lepas pantai misalnya telah lama menjadi isu utama
ketidakseimbangan pengelolaan antar sektor. Demikian pula antara perikanan dengan
wisata bahari, dan sebagainya. Oleh karena itu, perubahan paradigma (shifting
paradigm) dari paradigma sektoral menjadi paradigma integrasi diperlukan sehingga
segenap kegiatan ekonomi yang menjadi penyangga sektor perikanan dapat dikelola
secara komprehensif.
Terakhir, masih kurangnya dukungan ekonomi-politik. Dalam era Pemerintahan
sebelumnya, sektor perikanan banyak dimarjinalisasi secara politik dengan
menempatkan sektor ini ke dalam posisi kedua (second-best option) dari kebijakan
pembangunan pertanian nasional. Dalam proses pemerintahan negara, kebijakan
politik sangat mempengaruhi pengambilan keputusan terhadap suatu hal. Hal ini
terkait pula dengan persoalan pengelolaan seperti yang telah dikupas sebelumya yaitu
betapa pentingnya koordinasi antar sektor dan Departemen yang memiliki domain
kerja di atau terkait dengan bidang perikanan. Oleh karena itu perikanan sebagai salah
satu kontributor ekonomi nasional memerlukan dukungan optimal secara ekonomi
dan politik guna memanfaatkan potensi yang dimiliki melalui pendekatan
komprehensif yang berkelanjutan.

7
Pembangunan Perikanan Nasional secara alamiah (by nature) memerlukan
platform karena platform memiliki peran strategis sebagai conceptual guidance
bagi operasionalisasi dan implementasi pembangunan sektor ini. Dengan demikian,
by nature pula, platform pembangunan berisi faktor-faktor strategis yang bersifat
makro kebijakan yang dapat digunakan sebagai petunjuk bagi proses pengambilan
keputusan yang terkait dengan sektor perikanan.
Menurut Hanna (1999) Satu hal yang banyak menimbulkan salah persepsi
(flawing perceptions) di kalangan publik bahkan dari kalangan akademisi adalah
bahwa perikanan dianggap sebagai komoditas semata. Hal ini tidak terlepas dari
pandangan klasik tentang struktur produksi ekonomi yang menempatkan perikanan,
pertanian, kehutanan, dan peternakan sebagai primary sector yang berkonotasi pada
produksi komoditas belaka. Padahal sejarah membuktikan bahwa perikanan
merupakan kegiatan ekonomi yang memiliki banyak keterkaitan langsung (direct
inter-linkages) antar faktor penyusunnya yaitu ekosistem, ekonomi, dan komunitas
serta institusi yang terkait dengannya. Keempat dimensi dengan segenap dinamikanya
tersebut tidak dapat dipisahkan dalam semua pembicaraan tentang Perikanan.
Dalam bukunya yang komprehensif berjudul Sustainable Fisheries System,
Charles (2001) menguraikan pentingnya pendekatan sistem bagi pengelolaan
perikanan. Sementara itu, Hall and Day (1977) menganggap bahwa : any
phenomenon, either structural or functional, having at least two separable components
and some interactions between these components dapat dianggap sebagai sebuah
sistem. Dalam konteks ini, perikanan, by nature, adalah sebuah sistem karena banyak
faktor dan fenomena yang terkait secara bersama-sama dan saling bergantung (inter-
dependencies) di dalamnya (Gambar 1).

8
NATURAL ECOSYSTEM MANAGEMENT SYSTEM

Policy Manage-
ment

fish population
Develop- Research
HUMAN SYSTEM ment

aquatic environment
Harvesters
external forces
external forces (e.g. government
(e.g. climate changes) downizing)
Comm. Post
Harvest

external forces
(e.g. macroeconomics policy)

Gambar 1. Perikanan Sebagai Sebuah Sistem (diadopsi dari Charles (2001)

Sementara itu, Charles (2001) menegaskan bahwa sistem perikanan merupakan


sebuah kesatuan dari 3 komponen utama yaitu (1) sistem alam (natural system) yang
mencakup ekosistem, ikan dan lingkungan biofisik; (2) sistem manusia (human
system) yang terdiri dari unsur nelayan atau petani ikan, pelaku pasar dan konsumen,
rumah tangga perikanan dan komunitas pesisir serta lingkungan sosial, ekonomi dan
budaya yang terkait dengan sistem ini; (3) sistem pengelolaan perikanan (fishery
management system) yang mencakup unsur-unsur kebijakan dan perencanaan
Perikanan, Pembangunan Perikanan, rezim pengelolaan perikanan, dan riset
perikanan. Dalam konteks ini maka dapat dikatakan bahwa sistem perikanan adalah
sistem yang kompleks. Dengan menggunakan perspektif informal, sistem dikatakan
kompleks apabila struktur dan fungsi dari sistem tersebut tidak diketahui dengan baik
sebagaimana terjadi untuk sistem Perikanan. Selain itu, definisi kompleks adalah
apabila sistem tersebut memiliki sejumlah unsur yang terkait satu sama lain secara
dinamik maupun statis. Semakin banyak jumlah unsur dalam struktur sebuah sistem
maka semakin kompleks sistem tersebut (Charles, 2001).

9
Kekompleksan sistem perikanan dapat didekati dari perspektif keragaman
(diversity) di mana paling tidak ada empat jenis keragaman dalam sistem ini, yaitu :
keragaman species (species diversity), keragaman genetik (genetic diversity),
keragaman fungsi, dan keragaman sosial ekonomi (de Young, et.al, 1999 dalam
Tridoyo (2007).
Dengan beberapa kendala menyangkut kompleksitas dari sistem dan
pengembangan sumberdaya Perikanan, maka Revitalisasi merupakan jalan terbaik
dalam merancang dan menggagas ide-ide dalam model pembangunan perikanan yang
efektif, efisien, dan berkelanjutan. Sebagai sumbangsih positif terhadap
pengembangan sumberdaya Perikan di Indonesia.

I.2. DEFINISI JUDUL

REVITALISASI
Revitalisasi menurut Laretna, (2002) memiliki dua pengertian besar yaitu :
- Pembenahan.
- Memfungsikan Kembali

Revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan suatu kawasan, bagian atau sektor
yang mengalami degradasi kemunduran untuk dicarikan langkah dalam
pemulihan dan meningkatkan kualitas secara optimal suatu kawasan, bagian atau
sektor. Skala revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro. Proses revitalisasi
sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek
sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan
potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat). (K.
Danisworo, 2001 dalam Laretna 2002).

Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada penyelesaian


keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan ekonomi
masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Untuk melaksanakan
revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat. Keterlibatan yang dimaksud

10
bukan sekedar ikut serta untuk mendukung aspek formalitas yang memerlukan
adanya partisipasi masyarakat, selain itu masyarakat yang terlibat tidak hanya
masyarakat di lingkungan tersebut saja, tapi masyarakat dalam arti luas (Laretna,
2002)

PEMBANGUNAN
Siagian (1994) Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan
yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan
pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation
building). Siagian (1994).

Ginanjar Kartasasmita (1994) memberikan pengertian yang lebih sederhana,


yaitu sebagai suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya
yang dilakukan secara terencana.

Pembangunan (development) adalah proses perubahan yang mencakup


seluruh sistem sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan,
pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan budaya (Alexander 1994).

Portes (1976) mendefenisiskan pembangunan sebagai transformasi ekonomi,


sosial dan budaya. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan
untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Esensi pembangunan adalah keseluruhan aktivitas yang berjalan simultan,


meliputi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi guna mencapai tujuan ke arah
perubahan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Seluruh aktivitas tersebut
didukung oleh kebijakan pembangunan, sehingga menjadi pedoman yang
representatif dalam meningkat. anonimuos, (1991)

Pada dasarnya sasaran pembangunan perikanan adalah utuk meningkatkan


pendapatan nelayan, meningkatkan eksport dan mengurangi import hasil
perikanan menyediakan protein ntuk memperbaiki gizi makanan rakyat, serta
meningkatkan pengendalian dan pengawasan terhadap kelestarian sumber daya
perikanan. anonimuos, (1993)

11
PERIKANAN

Perikanan adalah kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan


pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi,
produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu
sistem bisnis perikanan. (UU No 31 tahun 2004).

Perikanan adalah adalah kegiatan yang memiliki banyak keterkaitan langsung


(direct inter-linkages) antar faktor penyusunnya yaitu ekosistem, ekonomi, dan
komunitas serta institusi yang terkait dengannya. Dalam pemanfaatan sumber
daya yang terdapat dalam lingkungan perairan dan dikelola untuk kesejahteraan
masyarakat.

REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

Maka revitalisasi Pembangunan Perikanan dapat di definisikan sebagai suatu


upaya memvitalkan usaha pemanfaatan sumber daya dalam perairan. Lewat proses
perubahan yang berjalan simultan, meliputi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
guna mencapai tujuan ke arah perubahan kesejahteraan masyarakat.

12
BAB II
PEMBAHASAN

BEBERAPA STRATEGI REVITALISASI PEMBANGUNAN PERIKANAN

2.1. PERUBAHAN REZIM PERIKANAN DARI Quasi Open Access ke


Limited Entry

Pengelolaan atau manajemen perikanan adalah suatu rezim, sebagai suatu rezim
maka pengelolaan perikanan terdiri dari suatu objek yaitu sumberdaya yang harus
dikelola atau ditata serta manusia sebagai pengelola atau penata. Rezim pengelolaan
sumberdaya perikanan berbasis pada sumberdaya perikanan yang berarti bahwa
keberadaan sumberdaya perikanan merupakan sesuatu yang mutlak. Tanpa ada
sumberdaya maka tidak ada artinya rezim pengelolaan itu. Semakin besar ukuran
sumberdaya maka semakin komplikasi pengelolaannya. Sebaliknya semakin kecil
ukuran ukuran sumberdaya perikanan semakin tidak berarti rezim itu. Nikijuluw
(2005).
Dimulai dari adagium the Freedoom of the Sea yang diinisiasi oleh Grotius
(1609), rezim pemanfaatan sumberdaya laut dikenal sebagai rezim open acces di
mana hampir tidak ada batasan untuk melakukan akses terhadap sumberdaya
perikanan di laut. Dalam konteks hukum laut, adagium ini merupakan awal dari
perdebatan konsep pengelolaan laut antara penganut mazhab laut terbuka/bebas (mare
liberum) yang dipelopori oleh Grotius dan mazhab laut tertutup (mare clausum) yang
di antaranya diiniasi oleh sekelompok pemikir Inggris seperti Welwood dan Selden.
Seperti yang telah diidentifikasi oleh Charles (2001), paling tidak ada dua makna
dalam rezim open access ini, yaitu pertama, bahwa sumberdaya perikanan yang tidak
tak terbatas ini diakses oleh hampir kapal yang tidak terbatas (laissez-faire) yang
diyakini akan menghasilkan kerusakan sumberdaya dan masalah ekonomi. Makna
kedua adalah bahwa tidak ada kontrol terhadap akses kapal namun terdapat
pengaturan terhadap hasil tangkapan. Hal ini diyakini menjadi salah satu kontributor
dari overkapitalisasi terhadap kapal yang didorong oleh pemahaman rush for the fish;
siapa yang kuat dia yang menang, Tridoyo (2007).
Menurut Tridoyo (2007), Indonesia, melalui penataan hukum yang menyangkut
kegiatan perikanan maupun pengelolaan laut pada umumnya, memang menyebut
adanya pembatasan akses terhadap wilayah penangkapan ikan. Namun demikian,

13
pengaturan ini tidak diikuti dengan pembatasan jumlah kapal sehingga yang terjadi
adalah quasi open access seperti yang telah diuraikan di atas. Selain itu, lemahnya
penegakan hukum di laut menjadi kontributor utama dari belum berhasilnya rezim
tata kelola (governance) perikanan kita. Dalam konteks ini revitalisasi tata kelola
(governance revitalization) menjadi salah satu prasyarat utama sebagai bagian dari
sebuah konsepsi negara kelautan terbesar (ocean state) di dunia.
Menurut T Kusumantanto (2007), Salah satu titik awal dari revitalisasi tata
kelola perikanan adalah secara gradual mengubah rezim quasi open acces menjadi
limited entry atau paling tidak controlled-open acces. Rezim ini menitikberatkan
pada pengelolaan sumberdaya perikanan baik dari sisi input maupun output melalui
mekanisme pengaturan use rights. Tata pemerintahan yang baik (good governance)
menjadi prasyarat dari penerapan rezim ini karena menyangkut mekanisme
pemberian ijin yang adil, transparan dan efisien. Charles (2001), memperingatkan
bahwa rezim pengelolaan limited entry tidak dapat digunakan secara sendirian,
namun harus dilakukan dalam skema management portofolio dimana melibatkan tool
lain seperti quantitative allocation of inputs atau allowable catches yang dipayungi
oleh sebuah kerangka peraturan (legal endorsment) yang sesuai. Konsepsi limited
entry ini dapat pula menjadi titik awal bagi pemberian hak yang jelas kepada nelayan
perikanan pantai untuk melakukan aktifitasnya melalui mekanisme fishing right.
Dalam konteks ini, pemberian hak penangkapan ikan (fishing right) harus
mempertimbangkan kepada siapa hak tersebut diberikan. Oleh karena itu, definisi
nelayan perlu pula direvitalisasi sehingga menghasilkan nelayan yang profesional
bukan sekedar free raiders yang menjadi ciri utama pelaku perikanan dalam rezim
open access. Fit and proper test terhadap nelayan tidak berorientasi hanya kepada
pertimbangan ekonomi saja, namun yang lebih penting adalah pertimbangan
komunitas sehingga menjamin keberlanjutan perikanan dari sisi komunitas seperti
yang telah diuraikan sebelumnya.

14
2.2. PENERAPAN KEBIJAKAN TOTAL ALLOWABLE EFFORT (TOTAL
PENGIJINAN USAHA)

Berdasarkan karakteristik human system dalam tipologi fishery system seperti


yang disampaikan oleh Charles (2001), terdapat beberapa karakteristik umum dari
nelayan (fishers) yaitu bahwa pertama, nelayan berbeda menurut latar belakang sosial
seperti tingkat umur, pendidikan, status sosial dan tingkat kohesitas dalam komunitas
mikro (antar nelayan dalam satu grup) atau dalam komunitas makro (nelayan dengan
anggota masyarakat pesisir lainnya). Kedua, dalam komunitas nelayan komersial,
nelayan dapat bervariasi menurut occupational commitment-nya seperti nelayan
penuh, nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan, atau menurut occupational
pluralism-nya seperti nelayan dengan spesialisasi tertentu, nelayan dengan sumber
pendapatan beragam, dan lain sebagainya. Ketiga, nelayan dapat bervariasi menurut
motivasi dan perilaku di mana dalam hal ini terdiri dari dua kelompok yaitu nelayan
dengan karakteristik profit-maximizers yaitu nelayan yang aktif menangkap ikan
untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan cenderung berperilaku
seperti layaknya perusahaan, dan kelompok nelayan satisficers atau nelayan yang
aktif menangkap ikan untuk mendapatkan penghasilan yang cukup.
Menurut Kusumantanto, T. (2007) Salah satu key factor dalam dinamika sosial
ekonomi nelayan adalah informasi dan pengetahuan tentang hak (rights) karena pola
relokasi nelayan tetap harus mempertimbangkan konsep perikanan berbasis hak
(right-based fisheries) untuk menjamin keadilan dan keberlanjutan komunitas nelayan
sebelum dan sesudah relokasi. Menurut Ostrom and Schlager (1996), paling tidak ada
dua tipe hak yang penting dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
alam termasuk sumberdaya perikanan yaitu (1) use (operational-level) rights, dan (2)
collective-choice rights. Tipe hak yang pertama mengacu pada hak yang melekat pada
operasionalisasi perikanan atau dalam konteks perikanan tangkap adalah yang terkait
dengan proses dan dinamika penangkapan ikan. Dalam tipe ini, beberapa hak penting
antara lain adalah hak akses (access rights) yaitu hak untuk masuk (entry) ke dalam
usaha perikanan tangkap baik dalam konteks daerah penangkapan (fishing ground)
atau dalam salah satu struktur usaha perikanan seperti penyediaan bahan baku,
pengolahan perikanan, dan lain sebagainya. Masih dalam tipe hak yang pertama (use
rights), hak untuk menangkap ikan dalam jumlah tertentu (harvest rights) juga

15
merupakan jenis hak yang penting. Walaupun secara kontekstual berbeda,
kepemilikan kedua hak (access and harvest rights) secara bersama-sama merupakan
unsur penting dalam keberlanjutan komunitas perikanan. Tanpa pemberian hak
tersebut, maka tujuan relokasi nelayan ke tempat yang baru tidak akan tercapai sesuai
harapan.
Tipe hak kedua (collective-choice rights) lebih menitikberatkan pada hak
pengelolaan perikanan (fisheries governance) yang biasanya diberikan kepada
otoritas tertentu di luar masyarakat nelayan (supra-community). Otoritas ini biasanya
adalah pemerintah lokal yang dalam konteks otonomi daerah sesuai dengan UU No.
32/2004 pasal 18 memegang peran yang penting dalam pengelolaan perikanan.
Dalam konteks relokasi nelayan, tipe hak kedua ini menjadi sangat penting karena
hak ini terkait dengan unsur siapa yang mengatur sebagai pelengkap dari konsep
hak yang terkait dengan siapa yang diatur seperti yang telah dijelaskan dalam tipe
hak pertama (use rights). Selain hak pengelolaan, beberapa jenis hak penting yang
masuk dalam ketegori collective-choice rights adalah hak eksklusi (exclusion right)
yaitu hak otoritas untuk menentukan kualifikasi bagi pihak-pihak yang ingin
mendapatkan hak akses (access right) maupun panen (harvest right) dan hak alienasi
(alienation right) yaitu hak untuk mentransfer dan menjual hak pengelolaan.
Berdasarkan uraian tentang dua unsur penting dalam masyarakat nelayan yaitu
tipologi nelayan dan hak tersebut di atas, maka pola relokasi nelayan yang harus
diterapkan dalam konteks pengembangan perikanan tangkap adalah pola-pola yang
mampu menjamin keberlanjutan komunitas perikanan di tempat yang baru.
Khususnya yang terkait dengan distribusi hak yang adil antara nelayan pendatang
(yang direlokasi) dan nelayan lokal (yang menerima relokasi nelayan). Tanpa skema
ini maka konflik akan sangat mudah terjadi dan pada akhirnya akan memicu
timbulnya biaya sosial (social cost) yang cukup besar. Tridoyo (2007)
Dalam konteks revitalisasi perikanan, pemberlakuan kebijakan relokasi nelayan
harus pula memperhatikan lokasi wilayah pengelolaan perikanan (WPP) sehingga
relokasi nelayan dapat dilakukan dengan prinsip cost effectiveness. Sebagai contoh,
kelebihan nelayan di WPP 1 (Selat Malaka) mungkin akan lebih tepat apabila
dialihkan ke WPP terdekat yaitu WPP 2 (Laut China Selatan) yang notabene masih
relatif dekat dan secara sosial tidak terlalu berbeda.
Selain itu, termasuk dalam strategi ini adalah kebijakan transformasi nelayan.
Kebijakan ini pada intinya bertujuan untuk memindahkan (transform) mata

16
pencaharian nelayan baik secara vertikal misalnya dari nelayan menjadi pembudidaya
ikan, pedagang perikanan atau pengolah ikan, jadi masih tetap dalam koridor sistem
perikanan, atau dilakukan secara horisontal yaitu mengalihkan profesi nelayan
menjadi kegiatan lain di luar sistem perikanan.
Secara teoritis, transformasi vertikal lebih dipilih sebagai salah satu alternatif
kebijakan mengingat bahwa karakteristik komunitas perikanan pada umumnya
bersifat artisanal sehingga tidak jarang kegiatan perikanan merupakan satu-satunya
pilihan hidup bagi masyarakat nelayan. Dengan memindahkan mata pencaharian
mereka yang masih masuk dalam sistem perikanan, diharapkan tidak banyak terjadi
gejolak sosial ekonomi yang timbul. Sama dengan dalam konteks relokasi nelayan,
faktor hak-hak sosial ekonomi masyarakat nelayan yang ditransformasi harus
diperhatikan sehingga keberlanjutan masyarakat ini tetap dapat dijaga.

2.3. DESENTRALISASI PENGELOLAAN PERIKANAN

Secara makro dan ekstentif, pengelolaan atas sumberdaya alam selama ini
memang berada di bawah kewenangan pemerintah pusat berdasarkan UUD 1945
pasal 33 ayat 3 dalam konteks legal makro, dijelaskan bahwa tanah, air, dan
sumberdaya alam yang terkandung didalamnya dikelola oleh negara dan ditujukan
untuk kemakmuran rakyat. Penjabaran ayat yang menyangkut pengelolaan
sumberdaya alam tersebut memang selama ini masih kabur sehingga kecenderungan
pengelolaan yang sifatnya sentralistik diberlakukan pada hampir seluruh sumberdaya
alam. Satria Arif et.al. (2002).
Kebijakan yang sentralistik tersebut, pada akhirnya terbukti telah menimbulkan
degradasi diberbagai sumberdaya alam, selain mengabaikan kepentingan-kepentingan
lokal. Perhitungan Green Accounting oleh Repetto et.al (1989) dalam Arif Satria
(2002) telah menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada dekade 80-
an ternyata tidak sebanding ketika disesuaikan dengan degradasi sumberdaya
perikanan. Kebijakan pengelolaan yang sentralistik cenderung menimbulkan
distribusi rente sumberdaya yang tidak merata antarwilayah.
Dengan digulirkannya undang-undang mengenai otonomi daerah, penjabaran
pasal 33 yang menyangkut aspek pengelolaan kini dijabarkan secara makro

17
Pemerintah pada tingkat regional, dengan kata lain, pengelolaan sumberdaya alam
didesentralisasikan kepada daerah. Desentralisasi sendiri menurut World Resource
Institute mengandung pengertian seperangkat program dan kebijakan yang dirancang
untuk mewujudkan keseimbangan atas kewenangan (otoritas) dan tanggung jawab
terhadap pengelolaan sumberdaya alam, Fauzi, Akhmad.2005.
Menurut Akhmat Solihin (2010) Otonomi Daerah tidak bisa di pisahkan dengan
Kearifan lokal Agar pengetahuan kearifan lokal dapat diakomodasi dalam kebijakan
pembangunan nasional, maka perlu pembagian posisi dan wewenang yang jelas
antara masyarakat lokal dengan pemerintah. Oleh karena itu, revitalisasi kearifan
lokal di era desentralisasi kelautan tersebut dapat menciptakan pembagian wewenang
yang seimbang antara pemerintah (centralized government management) dengan
masyarakat (community based management), yang dikenal dengan pengelolaan
kolaboratif (Co-management).
Pengakuan kearifan lokal juga dituangkan dalam UU No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 2 menyebutkan
bahwa asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup salah satunya
dilaksanakan oleh kearifan lokal, yang dimaksud dengan "asas kearifan lokal" adalah
bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan
nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
Menurut Satria Arif et.al. (2002). ada beberapa aspek positif menyangkut
pengelolaan sumberdaya perikanan dalam era otonomi daerah. Skenario tersebut,
antara lain menyangkut Efektifitas pengaturan, efisiensi ekonomi, dan pemerataan
distribusi yang secara rinci diuraikan berikut ini :

1. Efektifitas Pengaturan, telah lama diketahui bahwa pengelolaan sumberdaya


alam, khususnya sumberdaya perikanan, merupakan masalah yang kompleks karena
terkait dengan masalah hal kepemilikan. Seperti telah diketahui bersama bahwa
sumberdaya perikanan bersifat common property (milik bersama) dengan akses yang
bersifat quasi open access. Istilah common property yang sering diucapkan saat ini,
khususnya untuk sumberdaya perikanan, lebih megarah kepada pemilikan yang
dilakukan di bawah kontrol penguasa (pemerintah) atau lebih mengarah pada sifat
sumberdaya yang public domain. Jadi, bukanlah sifat saat sumberdaya tersebut bukan
milik siapa-siapa (nobodys property).

18
Salah satu sifat yang menonjol dari sumberdaya yang bersifat common
property adalah ketidakterdefinisikannya hak kepemilikan sehingga menimbulkan
gejala yang disebut dengan dissipated resource rent, yaitu hilangnya rente
sumberdaya yang semestinya diperoleh dari pengelolaan sumberdaya yang optimal.
Dalam situasi ketika laut bersifat quasi open acces, eksternalitas (khususnya
eksternalitas negatif) akan mudah timbul, aksi atau tindakan individu yang merugikan
pihak lain (misalnya melakukan eksploitasi yang belebihan) tidak terkoreksi oleh
pasal (market failure).
Dengan lahirnya aturan main yang menyangkut hak kepemilikan sumberdaya
pada tingkat lokal, secara tidak langsung akan memberikan hak kepemilikan
(property rights) kepada pemerintah daerah sehingga masalah-masalah yang
ditimbulkan akibat kondisi yang quasi open access akan jauh lebih mudah
dikendalikan. Pemerintah daerah akan dapat mengelola sumberdaya alam, khususnya
di wilayah pesisir dan lautan secara lebih rasional mengingat ketersediaan
sumberdaya serta terdegradasinya sumberdaya akan menentukan tingkat kemakmuran
pada daerah bersangkutan. Kedua faktor tersebut akan menjadi bagian dalam proses
pengambilan keputusan kebijakan (decision making) sehingga daerah dengan
kewenangan mengelola sumberdaya akan memiliki insentif untuk mengelola
sumberdaya alam tersebut secara efisien dan seoptimal mungkin.
Pada tingkat lokal, desentralisasi diharapkan akan membawa dampak positif
pada terkukuhkannya kembali (restore) hak-hak kepemilikan tradisional yang dalam
sistem sentralistik kurang berkembang dengan baik. Masyarakat pesisir diharapkan
memiliki sense of stewardship terhadap sumberdaya alam mereka sehingga
eksploitasi yang berlebihan dapat terjega.

2. Efisiensi ekonomis. Seperti telah disebutkan, pengelolaan sumberdaya yang


bersifat quasi open access akan menimbulkan ketidakefisienan (inefficiency). Ini
terjadi karena dalam situasi quasi open access, setiap individu akan berusaha
mengeksploitasi sumberdaya sebesar-besarnya. Jika tidak, pihak lain yang akan
meraih keuntungan.
Gordon (1954) dengan sintesis yang sangat terkenal menyebutkan bahwa
dalam situasi open access inilah rente ekonomi (economic rent) akan hilang dan
faktor produksi lebih banyak digunakan dari yang seharusnya sehingga menimbulkan
inefisiensi. Sumberdaya perikanan telah lama terekspos dengan tragedy of the

19
common (kondisi tragis dari sumberdaya alam common property). Dalam kondisi ini
return per individual fleet (penerimaan per individual armada) justru menurun dengan
meningkatnya kapasitas armada. Inefficiency ini secara teoritis dapat dicegah jika
dilakukan rasionalisasi terhadap sumberdaya.
Untuk itulah peran hak kepemilikan yang terdefinisi secara jelas amat
diperlukan. Dengan adanya otoritas wilayah pemerintah daerah memiliki hak otoritas
penuh untuk melakukan rasionalisasi, misalnya dengan pengaturan pembatasan
(limited entry) sehingga inefisiensi dapat dikurangi atau dihilangkan dan over-
exploitation dari sumberdaya alam dapat dikurangi.
Namun, satu hal yang juga harus diperhitungkan adalah aspek kesejahteraan
dari rasionalisasi tersebut. Perikanan di negara berkembang, khususnya indonesia,
merupakan sistem yang kompleks karena melibatkan stakeholders (pemangku
kepentingan) yang banyak. Paling vital adalah nelayan kecil yang merupakan lapisan
yang cukup banyak. Mereka ini hidup diwilayah yang terpencil dengan alternatif
employment yang terbatas sehingga mereka hidup dalam kemiskinan. Oleh karena itu,
harus dipikirkan jangan sampai terjadi perikanan sebagai employment of the last
resort. Perlu disediakan lapangan kerja secara vertikal maupun horizontal yang
menunjang kegiatan perikanan di wilayah pantai.

3. Pemerataan Distribusi. Keuntungan utama (major benefit) lahirnya undang-


undang otonomi daerah adalah terbentuknya iklim hak kepemilikan (property
rights) bagi pemerintah daerah terhadap kekayaan alamnya, khususnya perikanan.
Situasi ini barangkali dapat dianalogikan ketika 200 mil ZEE dideklarasikan.
Deklarasi tersebut dalam banyak hal memberikan keuntungan kepada negara-negara
berkembang yang memiliki sumberdaya kelautan dengan leluasa mengelolanya secara
lebih rasional. Demikian pula halnya dengan undang-undang otonomi daerah ini.
Pada hakekatnya, otonomi daerah memberikan suatu insentif bagi wilayah-
wilayah yang selama ini kurang diuntungkan dalam pengelolaan sumberdaya alam
untuk kesejahteraan masyarakatnya. Dengan otonomi ini, wilayah-wilayah yang
kurang berkembang dan wilayah yang komunitasnya banyak bergantung pada
kegiatan perikanan diberi kelulasan untuk mengembangkan kapasitas dan kapabelitas
dalam mengelola sumberdaya perikanannya dengan memperhatikan aspek-aspek
kelestarian.

20
2.4. PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN PERIKANAN SECARA
TERPADU

Perencanaan terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan


mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih sektor dalam perencanaan
pembangunan dalam kaitannya dengan pengelolaan perikanan. Perencanaan terpadu
biasanya dimaksudkan sebagai suatu upaya secara terprogram untuk mencapai tujuan
yang dapat mengharmoniskan dan mengoptimalkan antara kepentingan untuk
memelihara lingkungan, ketelibatan masyarakat, dan pembangunan ekonomi.
Seringkali keterpaduan juga diartikan sebagai koordinasi antara tahapan
pembangunan perikanan yang meliputi : pengumpulan dan analisis data, perencanaan,
implementasi, dan kegiatan konstruksi. (Sorensen dan Mc Creary, 1990 dalam Dahuri
2001.)
Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral biasanya
berkaitan dengan hanya satu macam pemanfaatan, seperti perikanan tangkap, tambak,
pariwisata, Pelabuhan, indutri, dan pertambangan. Pengelolaan semacam ini dapat
menimbulkan konflik kepentingan antar sektor yang berkentingan yang melakukan
aktivitas pembangunan di wilayah pesisir dan lautan yang sama. Selain itu
pendekatan sektoral semacam ini pada umumnya tidak atau kurang mengindahkan
dampaknya terhadap yang lain, sehingga dapat mematikan usaha sektor yang lain.
Contohnya kegiatan industri yang membuang limbahnya ke lingkungan pesisir dapat
mematikan usaha tambak, perikanan tangkap, pariwisata pantai dan membahayakan
kesehatan manusia. Dahuri, et.al (2001).
Dalam konteks perencanaan pembangunan perikanan sumber daya alam yang
lebih luas, Hanson (1988) mendefinisikan perencanaan sumber daya secara terpadu
sebagai suatu upaya bertahap dan terprogram untuk mencapai tingkat pemanfaatan
sistem sumber daya alam secara optimal dengan memperhatikan semua dampak lintas
sektoral yang mungkin timbul, dalam hal ini yang dimaksud dengan pemanfaatan
optimal adalah suatu cara pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan yang dapat
menghasilkan keuntungan ekonomis secara berkesinambungan untuk kemakmuran
masyarakat.

21
Sementara itu, Lang (1986) dalam Dahuri (2001). Menyarankan bahwa
keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam, seperti pesisir
dan lautan, yang didalamnya terdapat aktivitas perikanan hendaknya dilakukan pada
tiga tataran (level): teknis, konsultatif, dan koordinasi. Pada tataran teknis , segenap
pertimbangan teknis, ekonomis, sosial, dan lingkungan hendaknya secara seimbang
atau proporsional dimasukkan kedalam setiap perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan sumberdaya Perikanan.
Pada tataran konsultatif, segenap aspirasi dan kebutuhan para pihak yang
terlibat (stakeholders) hendaknya diperhatikan sejak tahap perencanaan sampai
pelaksanaan. Tataran koordinasi mensyaratkan diperlakukannya kerjasama yang
harmonis antar semua pihak yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan
lautan, baik itu pemerntah, swasta, maupun masyarakat umum.
Menurut Dahuri, et.al (2001) Keterpaduan mengandung tiga dimensi : sektoral,
bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis.
Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perluh ada koordinasi tugas,
wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi Pemerintah pada tingkat
tertentu (horizontal Integration); dan antar tingkat Pemerintah dari mulai tingkat
desa, kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, sampai tingkat pusat (vertical
integration).
Keterpaduan dari sudut pandang keilmuan mensyarakat bahwa di dalam
pengelolaan hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu
(interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu: ekonomi, ekologi,
teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Ini wajar karena perikanan pada
dasarnya terdiri dari sistem sosial yang terjalin secara kompleks dan dinamis.
Keterpaduan ekologis, bahwa sumber daya perikanan merupakan sumberdaya
yang berada pada suatu ekosistem dengan keberagaman ekosistem, yang satu sama
lain saling terkait, tidak berdiri sendiri, perubahan yang menimpa satu ekosistem akan
menimpa pula ekosistem lainnya.
Perencanaan dan penglolaan perikanan secara terpadu diperlukan untuk
peningkatan pembangunan secara berkelanjutan, dan memberikan kontribus optimal
terhadap kesejahteraan masyarakat Oleh karena itu, perubahan paradigma (shifting
paradigm) dari paradigma sektoral menjadi paradigma integrasi diperlukan sehingga
segenap kegiatan ekonomi yang menjadi penyangga sektor perikanan dapat dikelola
secara komprehensif.

22
2.5. INVESTASI HIJAU SEKTOR PERIKANAN.

2.5.1. Landasan Pembangunan Berkelanjutan dan Investasi Hijau

Amanat pembangunan berkelanjutan dan lestari adalah menjadi hal yang


diamanatkan dalam UUD 45 sebagaimana tertulis pada Pasal 33 yakni
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional. Khusus mengenai pembangunan perikanan dan kelautan, selain didukung
oleh Undang-Undang Perikanan No. 31/2004, pengelolaan perikanan yang lestari dan
bertanggung jawab juga menjadi amanah nasional sebagaimana dituangkan dalam
FAO Code of Conduct on Responsible Fisheries. Gambar I berikut menjelaskan
skema landasan investasi Hijau, Anonimous (2010).

Gambar 1. Landasan Kebijakan Investasi Hijau Perikanan

2.5.2. Pengertian Investasi Hijau untuk Perikanan (Green Investment for


Fisheries)
Green Investment for Fisheries (GIFF) atau investasi hijau untuk perikanan
adalah strategi investasi terhadap usaha perikanan tangkap maupun budidaya

23
perikanan yang bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan yang tidak saja
memberikan manfaat ekonomi yang maksimum namun juga manfaat sosial dan
ekologi yang berkeadilan dan berkelanjutan. Investasi hijau diartikan sebagai
investasi yang mendukung environmental stewardship (penjagaan lingkungan),
perlindungan konsumen, keanekaragaman hayati dan keadilan. Investasi hijau juga
memiliki prinsip dinamis sehingga filosofi investasi diarahkan untuk memungkinkan
adanya fleksibilitas dalam proses pengelolaan untuk menangkap peluang investasi
yang ada namun tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian (prudence), sosial dan
lingkungan serta pertumbuhan ekonomi. Anonimous (2010)
FAO
2.5.3. Mengapa Green Investment untuk Perikanan diperlukan?
Sumber daya ikan merupakan aset kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan
untuk kemakmuran bangsa. Sumber daya ikan selain sebagai sumber kebutuhan
ekonomi domestik dengan memberikan sumber penerimaan rumah tangga dan
industri, juga merupakan sumber penerimaan negara melalui nilai tambah yang
dihasilkan. Namun demikian, sumber daya ikan meski merupakan sumber daya alam
yang dapat pulih (renewable), memiliki keterbatasan yang ditentukan oleh daya
dukung lingkungan dan faktor ekologi lainnya. Bukti-bukti ilmiah menunjukkan
bahwa kemampuan sumber daya ikan untuk menopang kebutuhan manusia sudah
semakin menurun dari waktu ke waktu. Bahkan secara global lebih dari 70% sumber
daya ikan laut dunia sudah mengalami eksploitasi berlebih (over exploitation).
Anonimous (2010)
Fenomena overfishing baik secara ekonomis maupun biologi di perikanan pantai
(coastal fisheries) merupakan fenomena umum yang kini dialami hampir seluruh
Negara berkembang. Situasi ini diperburuk pula oleh pengambilan keputusan yang
myopic oleh para pelaku perikanan dimana keinginan untuk memperoleh hasil
tangkap yang cepat dan dengan kuantitas yang banyak dilakukan dengan tidak
bertanggung jawab melalui penangkapan yang merusak lingkungan (destructive)
yaitu menggunakan bom dan racun serta penggunaan alat tangkap yang tidak ramah
lingkungan. Ekstraksi sumber daya ikan melalui perikanan tangkap yang tidak
memperhatikan aspek di atas pada akhirnya akan memberikan umpan balik yang
negatif pada kegiatan ekonomi baik pada skala rumah tangga, industri, regional
maupun nasional. Hal ini dapat diindikasikan dengan menurunnya produktifitas
perikanan, menurunnya tingkat pendapatan nelayan dan kerusakan lingkungan yang

24
parah yang menimbulkan kerugian ekonomi dan ekologi yang sangat substansial.
Anonimous (2010)
Melihat kenyataan di atas, pembangunan perikanan khususnya perikanan
tangkap memerlukan perubahan dalam pengelolaannya. Orientasi pertumbuhan yang
mengarah pada target kuantitas semata mesti diubah ke arah pertumbuhan yang
berkualitas. Perubahan paradigma ini harus memiliki beberapa karakteristik antara
lain:
Pertama, ia harus menciptakan nilai tambah dan memberikan dampak linkage yang
ekstensif dengan industri lainnya. Dengan kata lain paradigma pembangunan
perikanan ini harus membantu memaksimumkan efisiensi input dan memaksimumkan
output/produk.
Kedua, paradigma baru pembangunan perikanan harus bercirikan keberlanjutan.
Kecenderungan orientasi pembangunan saat ini tidak berkelanjutan karena
ketergantungan pada input produksi yang cukup masif untuk menghasilkan produksi
dan konsumsi yang masif pula yang pada akhirnya menyebabkan permasalahan
lingkungan, dengan kata lain pemenuhan kebutuhan generasi sekarang harus
mengorbankan hak dan kebutuhan generasi yang akan datang.
Ketiga, paradigma baru pembangunan harus mampu memperbaiki kesejahteraan
masyarakat umum. Pembangunan sektoral yang berbasis industrialisasi hanya
memberikan kontribusi yang kecil terhadap masyarakat umum yang berdampak pada
ekstraksi besar-besaran terhadap sumber daya alam dan lingkungan.
Keempat, paradigma baru ini harus memiliki keunggulan kompetitif dan memiliki
potensi pertumbuhan yang dibutuhkan oleh wilayah untuk mempertahankan
keberlanjutan ekonominya. Diantara sektor-sektor ekonomi lainnya, sektor perikanan,
laut dan pesisir memiliki semua karakteristik di atas karena sektor ini memiliki
kapasitas untuk memperbaiki efisiensi, keberlanjutan, kesejahteraan, daya saing
(competitiveness) dan potensi pertumbuhan. Anonimous (2010)
Salah satu aspek penting yang berhubungan dengan keberlanjutan
(sustainability) adalah green aspect (aspek hijau) atau green growth (pertumbuhan
hijau). Green growth dapat dicapai apabila kontradiksi antara pertumbuhan ekonomi
dan pelestarian lingkungan dapat diatasi dan efek sinergi diantara keduanya dapat
dimaksimumkan. Dengan kata lain, green growth strategy (strategi pertumbuhan
hijau) berbasis perikanan selain mampu menghentikan degradasi lingkungan
sekaligus mengembangkan manfaat ekonomi. Dan ketika pertumbuhan ekonomi

25
dapat pula menjadi wahana untuk perbaikan lingkungan, maka momentum
pertumbuhan ekonomi seperti ini harus dipertahankan. Anonimous (2010)
Secara operasional, strategi hijau (green strategy) dalam pengelolaan perikanan
tangkap adalah bagaimana mempertahankan dan meningkatkan kegiatan ekonomi
perikanan tangkap yang berkelanjutan secara ekonomi dan lingkungan. Dengan kata
lain ekstraksi sumber daya ikan dapat dilakukan dengan prinsip economically viable
(dapat berjalan secara ekonomis) dan environmentally sustainable (berkelanjutan
secara lingkungan). Kunci dari tercapainya tujuan tersebut adalah memberikan
guidelines atau pedoman bagi seluruh stakeholder, pengambil kebijakan (policy
makers) akan pentingnya pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab melalui
pengembangan investasi yang ramah lingkungan atau investasi hijau (green
investment). Green Investment tidak saja menjamin kesehatan ekosistem sehingga
ia terus mampu menyuplai barang dan jasa untuk kebutuhan manusia, namun juga
memberikan prinsip keadilan (fairness) kepada sumber daya alam sehingga tidak
terjadi apa yang disebut sebagai natural resource slander (penganiayaan terhadap
sumber daya alam). Selain itu green investment juga menjamin prinsip bisnis
keberlanjutan karena prinsip ini didasarkan pada motto There is no business to be
done on the dead planet. Anonimous (2010)

2.5.4. Manfaat Investasi Hijau (Green Investment)


Secara umum manfaat Investasi hijau telah diuraikan di atas yakni memberikan
jaminan pembangunan ekonomi berbasis sumber daya alam yang berkelanjutan.
Namun demikian manfaat investasi hijau ini juga bisa diuraikan dalam konteks
Mobius Triangle yakni dalam konteks manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan.
Green investment memberikan manfaat sosial dalam bentuk potensi
pengurangan kemiskinan (poverty reduction), peningkatan kesempatan kerja,
pengurangan potensi konflik serta jaminan kontinuitas penyediaan barang dan jasa
dari sumber daya alam dan lingkungan. Green Investment memungkinkan inovasi-
inovasi baru sehingga memungkinkan membuka lapangan pekerjaan baru, dengan
demikian potensi kemiskinan di wilayah pesisir juga dapat dikurangi. Demikian juga
halnya dengan konflik sosial, dengan terjaminnya kondisi kesehatan lingkungan dan
berkurangnya degradasi lingkungan maka potensi konflik yang dipicu oleh hilangnya
kepercayaan (trust) dalam masyarakat serta kurangnya ketersediaan sumber daya
dapat dikurangi secara nyata.

26
Manfaat green investment juga dapat dilihat dari sisi fiskal. Sebagai inovasi dan
paradigma investasi baru, green investment akan memberikan manfaat fiskal bagi
Pemda setempat dalam bentuk retribusi izin dan berbagai pembiayaan lainnya.
Namun yang tidak kalah penting adalah potensi green investment sebagai instrumen
untuk mencegah kebocoran (leakage) dari dana publik yang bisa terjadi manakala
dana tersebut tidak diinvestasikan pada investasi hijau. Misalnya saja investasi pada
kapal yang tidak ramah lingkungan setara dengan membuang investasi dana publik
secara sia-sia karena pada akhirnya dana publik tersebut akan menyebabkan degradasi
lingkungan yang menimbulkan biaya sosial yang cukup mahal yang juga harus
ditanggung oleh publik. Anonimous (2010)
Dari sisi manfaat lingkungan, jelas green investment selain menjamin
keberlanjutan ekstraksi sumber daya perikanan, mencegah terjadinya perairan di
lingkungan pesisir dan laut, green investment juga dirancang untuk mejaga kesehatan
ekosistem yang akan memberikan umpan balik positif kepada aspek sosial dan
ekonomi. Interaksi komponenkomponen di atas dapat dilihat pada Gambar 2 berikut
ini. Gambar 2. Manfaat Investasi Hijau untuk Perikanan (Green Investment for
Fisheries) GIFF. Anomous (2010)

Gambar 2. Manfaat Investasi Hijau untuk Perikanan (Green Investment for Fisheries)

27
BAB III

PENUTUP

Revitalisasi Pembangunan Perikaan harus didekati secara komprehensive dan


tidak semata hanya terkait dengan kepentingan keragaan sebuah birokrasi departemen
melainkan sebuah kebijakan negara untuk mensejahterakan rakyat sehingga program-
program yang disusun harus memperhatikan keterkaitan antar sektor, antar lembaga
dan wilayah dengan tujuan utama adalah mensejahterakan nelayan dan pembudidaya
ikan. Dukungan kebijakan makro nasional dan keberpihakan pemerintah serta
pendekatan program secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan ekologi,
ekonomi, sosial serta kelembagaan akan sangat menentukan keberhasilan revitalisasi
perikanan di negeri bahari Indonesia.
Beberapa strategi revitalisasi yang ditawarkan mulai dari perubahan rezim
pemanfaat, pengelolaan sumber daya yang desentralisasi, kemudian perencanaan dan
pengelolaan secara terpadu antar sektoral, serta penerapan bentuk investasi hijau,
diharapkan mampu membawa sektor Perikanan sebagai kekuatan besar yang dimiliki
negeri ini. Dalam penciptaan lapangan kerja serta tercapainya kesejahteraan rakyat
Indonesia.

28
DAFTAR PUSTAKA

Anonimous (2009), Investasi Hijau Bidang Perikanan Untuk Kesejahteraan, World


Wild Found (WWF) Indonesia

Adhisakti Laretna (2002), Revitalisasi Tata Kelola Kota. UGM Press, Jogjakarta.

Anonimous (a) 1993. Lapora Tahunan Dinas Perikanan sulawesi utara. Dinas
Perkanan Tigkat I sulut, Manado

Anonimous (b) 1991. Perkembangan Perikanan sulawesi utara. Dinas Propinsi


Daerah Tingakat I Sulut, Manado.

Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery Systems. Blackwell Sciences. London, UK.

Cicin-Sain, B and R. Knecth. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management.


Island Press.

Dahuri, Rokhmin., et.al. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan lautan
Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

Fauzi, Akhmad.2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan; isu, sintesis, dan gagasan.
PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Hanna, S. 1999. Strengthening Governance of Ocean Fishery Resources. Ecological


Economics Vol. 31 : pp. 275-286.

Kusumastanto, T. 2003. Ocean Policy dalam Membangun Negeri Bahari di Era


Otonomi Daerah. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

29
Nikijuluw, V.P.H. 2005. Politik Ekonomi Perikanan; bagaimana dan kemana bisnis
perikanan. PT. Fery Agung Corporation (FERACO). Jakarta.

Nohria, N and Gulati, R. 1994. Firms and Their Environments. In : Smelser, N.J. and
Swedberg, R. (Eds). The Handbook of Economic Sociology. Princeton
University Press. Pricenton, NJ. pp. 529-599.

Satria, Arif., et.al. 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. PT. Pustaka Cidesendo.
Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 dan Nomor 31 Tahun


2004.

Prof. Tridoyo's Online Journal Revialisasi Perikanan http://tridoyo.blogspot.com/

Prof.Dr.Hj.SyamsiahBadruddi,M.Sihttp://profsyamsiah.wordpress.com/2009/03/19/pe
ngertian-pembangunan/

30

You might also like