Professional Documents
Culture Documents
Penulis:
Nasir Abas
ISBN 979-3858-05-2
Cetakan I, Juli 2005
Diterbitkan oleh
Penerbit Grafindo Khazanah Ilmu
Pasar Minggu, Jakarta Selatan
e-mail: grafindoina@yahoo.com.sg
Perjalanan panjang ini adalah bagian dari pengabdian Nasir Abas, sang penulis,
kepada Jamaah Islamiyah, dengan cita-cita utama mendirikan Negara Islam di
Nusantara (meliputi Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Filipina). Nasir sendiri
adalah mantan petinggi JI, dengan jabatan terakhir sebagai Amir Mantiqi III
(meliputi Sabah, Serawak, Brunei, Kalimantan, Sulawesi, dan Filipina Selatan).
Kini, ia telah keluar dari JI, yang menurutnya penuh kesesatan dalam
memahami Islam yang hanif dan anggun, menjadi Islam yang keras, dan
menakutkan publik.
Tak ada satu pun agama di dunia ini yang melegitimasi, apalagi mengajarkan
bahwa kekerasan sebagai cara yang absah untuk meraih tujuan. Justifikasi
terhadap agama atas pelbagai kejadian teror misalnya, oleh sekelompok orang
tertentu, jelas salah. Ini tampaknya berpangkal dari kesalahan menangkap dan
memahami pesan agama, apa pun namanya, bahwa kekerasan, apapun
bentuknya, tak dapat ditolerir dan karenanya mesti dikikis hingga ke akar-
akarnya. Sebab, ia tak saja merugikan kehidupan sosial manusia dalam jangka
pendek, tapi juga dalam jangka panjang seperti trauma psikis yang diderita
masyarakat terkena aksi biadab teror.
Sebagai contoh, doktrin jihad misalnya, kerap kali dipahami sekelompok orang,
seperti kebanyakan pemahaman anggota JI, secara sempit, yakni sebagai
sepongkah kekerasan menghalalkan darah orang berbeda agama (non-Muslim),
guna meraih apa yang dicitakannya. Orang kafir adalah musuh utama Islam,
dan karenanya mestilah diperangi. Ini suatu pemahaman amat bodoh,
mengingat makna jihad sesungguhnya amat luas dan mulia.
Semoga penerbitan buku ini dapat membantu dan memandu kita menyelami
ajaran Islam dengan benar, sehingga tidak lagi terjadi aksi kekerasan dengan
mengatasnamakan agama tertentu. Sekali lagi, kekerasan selamanya adalah
terkutuk, dan karenanya, kita memiliki tanggung jawab untuk mencegahnya.
Akhirnya, kritik konstruktif tentu kami butuhkan untuk penyempurnaan
penerbitan edisi berikutnya. Selamat membaca.
Wallahu Alam
Buku ini mencoba memberikan jawaban atas semua tudingan atau kecurigaan di
antara kita. Berdasarkan pengalaman penulis yang pernah bersama dengan para
pelaku Bom Bali di sebuah organisasi, baik di tingkat pimpinan sampai pada
tingkat anggota pelaksana di lapangan, memberikan gambaran kepada pembaca
tentang latar belakang dan kemampuan mereka dalam menggunakan
perlengkapan milker dan bahan kimia.
Karena itu, buku ini diupayakan bisa menjawab berbagai pertanyaan yang
beredar di tengah-tengah masyarakat. Di antaranya adalah, apakah Al-Jamaah
Al-Islamiyah alias JI itu? Sejak kapan JI terbentuk dan melakukan aktivitasnya?
Apa yang diperjuangkannya? Lalu apa kaitannya dengan Bom Bali?
Untuk itulah saya, sebagai seorang mantan pimpinan JI, memberikan jawaban
kepada masyarakat, tentang apa yang selama ini masih menjadi tanda tanya
besar bagi sebagian orang, baik Indonesia maupun dunia.
Juli 2005
Nasir Abas
DAFTAR ISI
Halaman Muka
Pengantar Penerbit 5
Sekapur Sirih dari Penulis 11
Daftar Isi
Muqadimah 13
Bab 1 : Perjalanan ke Afghanistan 19
Bab 2 : Pejuang-pejuang Afghanistan 69
Bab 3 : Jamaah Negara Islam Indonesia (NII) 81
Bab 4 : Al-Jamaah Al-Islamiyah 87
Bab 5 : Perjalanan ke Mindanao 139
Bab 6 : Boleh Berbohong 169
Bab 7 : Kebohongan Imam Samudra 183
Bab 8 : Bom Bali dan Kesesatan Imam Samudra 193
Bab 9 : Ghozwah (Peperangan) 271
Bab 10 : Jihad Membela Agama, Bangsa, dan Negara 281
Bab 11 : Keluar dari Al-Jamaah Al-Islamiyah 303
Lampiran: Sketsa Sejarah dalam Gambar 319
Tentang Penulis 329
Muqadimah
049.013
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-
Hujurat: 13).
003.103
Artinya: "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nimat Allah kepadamu ketika
kamu dahulu (masa Jahilijah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan
hatimu, lalu menjadilah kamu karena nimat Allah orang-orang yang bersaudara;
dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu
daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ajat-ayat-Nya kepadamu, agar
kamu mendapat petunjuk." (Ali Imran: 103)
009.071
Artinya: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang maruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan
sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka takut kepada Allah dan Rasl-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana. (At-Taubah: 71)
Penulis adalah mantan anggota Negara Islam Indonesia (NII) dan mantan
anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah (JI) yang mengalami berbagai macam
pengalaman selama bersama dengan organisasi tersebut. Kisah pengalaman
dapat dipertanggung-jawabkan di hadapan Allah SWT dan di hadapan manusia.
Bagi orang-orang yang mengalami pengalaman yang sama seperti penulis pasti
akan mengingat nostalgia dari kisah yang terdapat di buku ini. Nama-nama
mereka yang disebut dalam buku ini akan menjadi saksi kebenaran dan Allah
SWT juga akan menjadi saksi atas semua persaksian mereka. Buku tulisan
Imam Samudra yang berjudul Aku Melawan Teroris(AMT) memberi saya
inspirasi pertama dan dorongan yang kuat untuk menjelaskan kepada
masyarakat.
Bukan tujuan saya untuk membuka aib seorang Muslim dengan sengaja. Apa
yang saya jelaskan dalam buku ini bukanlah untuk menjerumuskan teman-
teman, tetapi bertujuan menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat.
Saya tidak tega melihat umat Islam mendapatkan informasi yang tidak jelas,
apalagi penyesatan informasi. Sebagai jawaban saya di hadapan Allah SWT nanti
bahwa saya sudah menyampaikan apa adanya sesuai pengetahuan saya kepada
masyarakat umumnya, dan kepada umat Islam khususnya. Cukuplah kita
menghadapi musuh Islam yang berusaha menyesatkan umat Islam, jangan pula
kita sebagai Muslim menyesatkan sesama umat Muslim.
Tujuan saya yang lain dalam menulis buku ini adalah untuk saling mengingatkan
sesama Muslim dengan harapan agar teman-teman yang terlibat dalam aksi
pemboman di luar medan pertempuran atau mempunyai hasrat dan rencana,
agar supaya menghentikan perbuatan mereka yang menurut pengetahuan saya,
kegiatan tersebut termasuk dalam kategori berbuat kerusakan di muka bumi.
Tiada upaya fisik yang dapat saya lakukan untuk menghentikan operasional
pemboman mereka kecuali hanya dengan lisan, semoga dapat membuka hati
nurani teman-teman Muslim tersebut. Mengingat sabda Rasulullah SAW yang
memerintahkan sahabatnya untuk membantu orang yang telah berlaku zalim
dengan cara menghentikan aksi kezalimannya.
Artinya: Dari Anas r.a berkata, Sabda Rasulullah Saw: Bantulah saudaramu
yang berbuat zalim dan (bantulah saudaramu) yang dizalimi. Kemudian berkata
seorang sahabat Aku membantu orang yang dizalimi, lalu bagaimana aku
membantu orang yang berbuat zalim? Lalu Rasulullah SAW menjawab, kamu
menghalanginya dan mencegahnya dari berbuat zalim karena yang demikian itu
adalah membantunya. (Hadis riwayat Bukhari).
Dari Jabir r.a, Rasulullah SAW bersabda: kamu tidak perlu menyembunyikan
persoalan. Seharusnya kamu menolongnya baik yang zalim maupun yang
dizalimi. Terhadap yang zalim, maka hendaklah mencegah kezalimannya.
Sesungguhnya itu berarti telah menolongnya. Manakala terhadap yang dizalimi
hendaklah membelanya. (Hadis Bukhari dan Muslim)
Saya memohon maaf kepada pembaca, karena tulisan ini masih belum cukup
sempurna yang pastinya akan ditemukan kekurangan-kekurangan, di antaranya
disebabkan oleh kesulitan yang dihadapi dalam memindahkan bahasa
percakapan (verbal) kepada bahasa tulisan, ditambah lagi karena faktor human
error yaitu kelupaan. Maka saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari teman-teman dan pembaca supaya pada masa mendatang
akan dapat memberi penjelasan dengan sedetil-detilnya dengan bahasa yang
mudah difahami dan dengan sumber rujukan yang lebih lengkap.
Sebenarnya, saya bukanlah orang yang paling layak untuk menjelaskan apa itu
Al-Jamaah Al-Islamiyah karena saya dahulunya bukanlah bagian dari pimpinan
tertinggi yang mengetahui seluruh kegiatan Al-Jamaah Al-Islamiyah. Tetapi, oleh
karena tidak ada satupun dari kalangan pihak pimpinan Al-Jamaah Al-Islamiyah
yang mau menjelaskan dan malah mereka memutarbalikkan fakta, maka dalam
keterpaksaan saya merasa harus mengambil bagian untuk menjelaskan kepada
umat Islam khususnya dan umat manusia umumnya tentang apa itu Al-Jamaah
Al-Islamiyah, sejauh yang saya alami sendiri. Dengan harapan supaya
masyarakat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan umat Islam tidak
bingung melihat perilaku para pelaku bom seperti Imam Samudra, Ali
Ghufron, Amrozi (figur Bom Bali) dan orang-orang yang sefaham dengannya.
Percaya tidak percaya terserah kepada pembaca yang menilai. Yang paling
penting adalah bahwa saya telah menyempurnakan hajat dengan menceritakan
apa yang saya alami lalu disuguhkan kepada masyarakat sebagai perbandingan
dengan informasi pihak-pihak yang hanya mengumbar opini publik dan
menyesatkan.
Saya tidak mengetahui perencanaan Bom Bali dan tidak ikut terlibat dengan aksi
tersebut, tetapi maksud dari tulisan ini adalah untuk menjelaskan latar belakang
dari sebagian pelaku Bom Bali atau yang terkait dengannya. Sehingga pembaca
dapat menilai kemampuan para pelaku Bom Bali yang disangkal oleh setengah
pihak akan kemampuan mereka, dan apakah semua orang yang pernah ke
Afghanistan adalah sama, keras, dan sadis? Pembaca dapat melihat bahwa
hanya segelintir saja yang terlibat dalam aksi pemboman atau yang terkait
dengannya. Dari sekian banyak nama orang-orang dari para alumni Afghanistan
dan alumni pendidikan kemiliteran di Mindanao Filipina Selatan, kebanyakan
tidak menginginkan dan tidak menyetujui aksi pemboman di tempat awam serta
sasaran orang sipil, kecuali segelintir dari mereka yang terpengaruh dengan
faham Usama Bin Laden dan Imam Samudra yang membolehkan membunuh
orang sipil non-Muslim sebagai pembalasan. Silakan rujuk nama-nama para
pelaku bom dengan daftar nama-nama yang ada di dalam buku ini.
Di dalam buku ini saya tidak menjelaskan tentang teori Jihad secara mendetil,
sebab teori-teori tersebut bisa didapatkan dari buku-buku yang banyak tersedia.
Apa yang ingin saya sampaikan melalui buku ini adalah tentang Al-Jamaah Al-
Islamiyah dan anggota-anggotanya yang terlibat dalam aksi kekerasan
pemboman sepanjang pengetahuan dan pengalaman saya semenjak jejak
pertama munculnya kelompok ini dan perjalanan Jihad yang telah pernah
terlaksana di Afghanistan dan di Mindanao Filipina Selatan. Yang kedua adalah
mengenai hukum-hukum Islam terhadap faham Jihad yang diyakini oleh Imam
Samudra yang termaktub di dalam buku Aku Melawan Teroris.
Jazakumullah khairal jaza dan terima kasih kepada orang-orang yang telah
mendidik saya tentang Islam sehingga sampai saat ini saya masih dapat terus
istiqomah membela martabat Islam dari dicemar dengan faham-faham yang
mengkotorinya, juga membela nasib umat Islam daripada menjadi korban bom
yang mengatasnamakan Jihad. Harapan saya semoga dengan tulisan ini dapat
menyurutkan niat dan hasrat orang-orang yang ingin melakukan praktek
pemboman di tempat orang awam baik keatas warga Muslim ataupun non-
Muslim.
Akhir kata, jika kita memahami dengan baik kisah perjalanan Rasulullah SAW,
mempelajari tafsir-tafsir Al-Quran dan membaca hadis-hadis Nabi Muhammad
SAW, pasti kita akan menemukan bagaimana besarnya toleransi dalam agama
Islam terhadap agama-agama yang lain yang dituntun oleh Rasulullah SAW di
muka bumi ini sejak kenabiannya hinggalah wafatnya. Sungguh indah dan
sungguh benar jika dikatakan Islam adalah agama kesejahteraan untuk sekalian
alam. Wassalamualaikum w.w.
NAMA Afghanistan mulai saya dengar ketika masih duduk di kelas 2 atau 3
Sekolah Menengah (setingkat SMP), Johor Bahru, Malaysia, sekitar tahun
1983/1984. Berita dan artikel mengenai Jihad Afghanistan sering dimuat di
tabloid dan surat kabar harian. Ketika itu orang tua saya biasa membeli surat
kabar Berita Harian (Malaysia). Sungguh memprihatinkan keadaan orang-orang
Afghanistan yang hampir setiap hari diberitakan diserang oleh pasukan tentara
Rusia, disebut juga pasukan Beruang Merah. Seingat saya, semua media pada
waktu itu menyebut pejuang Afghanistan yang berperang memperjuangkan
tanah airnya sebagai Mujahidin.
Sempat terbesit niatan dalam hati untuk pergi ke Afghanistan agar bisa turut
membela nasib umat Islam di sana. Tapi, niatan itu tak pernah terealisasi karena
saya baru berusia 15 tahun dan belum mengetahui prosedur pergi ke
Afghanistan, terlebih bagaimana mendapatkan biayanya. Karena itu, kembali
saya memusatkan perhatian pada pelajaran sekolah, untuk mempersiapkan diri
menghadapi ujian sekolah atau SRP (Sijil Rendah Peperiksaan) yang diadakan
setiap bulan Oktober. Peperiksaan itu sekarang dinamakan PMR (Peperiksaan
Menengah Rendah).
Bagi saya, seorang keturunan Tiong Hoa menyampaikan Islam dengan fasih dan
mudah difahami, sungguh merupakan sesuatu yang istimewa. Bahkan, pada
acara itu juga diadakan pembacaan Al-Quran dan diterjemahkan tanpa
menggunakan kitab Al-Quran terjemahan. Bagi saya, hal ini merupakan sebuah
keajaiban dan keistimewaan tersendiri, sebab ia tidak pernah belajar di sekolah
agama tetapi memiliki kemampuan menterjemahkan Al-Quran dengan baik.
Saya jadi teringat pada Pak Tambi, teman orang tua saya yang mengajarkan
pelajaran harfiah menterjemahkan Al-Quran di rumahnya di Johor Bahru
Malaysia. Ketika saya masih di duduk kelas 3 Sekolah Menengah, dua kali dalam
seminggu orang tua mengantarkan saya dan Ummu Asma (adik) ke rumahnya.
Tetapi sayangnya saya tidak begitu sungguh-sungguh belajar darinya. Rupanya
beliau mempunyai pengetahuan yang sama dengan Maahad Ittiba'us Sunnah
Kuala Pilah dalam ilmu menterjemahkan Al-Quran. Beliaulah orang tua yang
pertama kali mengajarkan dan memperkenalkan kepada saya asas bahasa Arab
dan menterjemahkan Al-Quran.
Usai mendengar ceramah dari para ustaz pada acara silaturrrahmi di Maahad
Ittiba'us Sunnah tersebut, entah bagaimana, tanpa ada orang yang
mempengaruhi dan mendorong saya, tiba-tiba timbul niatan untuk mendalami
pengetahuan agama Islam. Terbetik keinginan untuk membela paham Ahlus
Sunnah wal Jamaah dan menjelaskan kepada Umat Islam yang telah banyak
melakukan amalan-amalan ibadah namun bercampur dengan bid'ah, yaitu amal
ibadah yang tidak dituntunkan oleh Syariat Islam.
Paham Muhammadiyah yang saya pahami pada waktu itu adalah sebagaimana
yang dipahami orang-orang yang memegang paham Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Tetapi, kebanyakan orang di Malaysia pada waktu itu sering kali mengatakan
bahwa paham yang diyakini oleh Muhammadiyah adalah paham Wahabiy atau
paham kaum muda. Tak dapat dipungkiri, akibat dari sikap yang keras tanpa
toleransi serta menghormati perbedaan pendapat dan paham sesama Muslim,
hanya akan menyebabkan timbulnya kebencian satu dengan yang lain. Padahal
tidak ada perbedaan yang mendasar antara kaum tua dan muda yang sama-
sama Muslim. Perbedaan yang terjadi hanyalah di tingkat pendapat (fatwa)
dalam masalah furu'iyah (cabang) saja. Wallahu alam.
Dalam perjalanan pulang ke Johor Bahru usai acara ijtimak di Maahad Ittiba'us
Sunnah, saya sampaikan niat untuk berhenti sekolah kepada orang tua saya; hal
itu disaksikan oleh Pak Mat Dollah yang berada dalam satu mobil. Saya katakan
bahwa saya akan menyelesaikan sekolah sampai akhir tahun tingkatan 3 dan
berniat berhenti sekolah setelah peperiksaan SRP (Sijil Rendah Peperiksaan).
Lulus atau tidak pada peperiksaan SRP itu, saya tetap mau berhenti sekolah dan
belajar di Maahad Ittiba'u Sunnah di Kuala Pilah. Keinginan tersebut disetujui
oleh orang tua saya yang memang tidak pernah memaksa anak-anaknya untuk
sekolah. Meski demikian, mereka tidak pernah bosan memberikan nasihat dan
dorongan, bahkan pilihan kepada anak-anaknya yang seandainya sudah tidak
mau bersekolah lagi agar lebih baik bekerja membantu keluarga.
Sehari setelah kertas terakhir peperiksaan SRP di sekolah menengah pada akhir
Oktober 1984, saya minta izin kepada orang tua untuk berangkat ke Kuala Pilah
Negeri Sembilan. Saya sudah tidak peduli lagi dengan hasil peperiksaan SRP dan
lebih terpikat pada Maahad Ittiba'u Sunnah meski tidak pandai membaca Al-
Quran dan menulis Jawi (arab melayu). Maahad Ittiba'us Sunnah adalah sebuah
masjid yang terletak di Bt 1 Jalan Seremban Kuala Pilah Negeri Sembilan.
Sekarang lebih dikenal dengan Jalan Lama ke Seremban. Seremban adalah
bandar (ibukota) Negeri Sembilan.
Masjid yang juga maahad itu menampung pelajar yang jumlahnya tidak
menentu, terkadang banyak dan terkadang sedikit. Yang paling banyak jika
datang musim libur sekolah menengah dan perguruan tinggi, jumlahnya bisa
mencapai 60-80 orang atau sedikitnya 25-40 orang. Ukuran masjid tidak terlalu
besar sehingga tidak mampu menampung pelajar dalam jumlah besar. Bilik-bilik
tidur untuk para pelajar berada di sekeliling masjid tetapi jumlahnya tidak
banyak, sehingga sebagian pelajar harus menggunakan ruang shalat untuk
tidur. Sementara untuk makan siang dan malam disediakan oleh Ibu Yam,
seorang dermawan dari kampung setempat. Khusus makan malam pada hari
Kamis, para pelajar mendapat sumbangan dari beberapa orang penduduk
kampung sebagai sadaqah.
Maahad atau masjid ini memberi peluang belajar kepada semua lapisan umur.
Tidak ada kewajiban mengenakan pakaian seragam, tidak ada program 24 jam
bagi yang tinggal di Maahad, dan tidak ada pembagian kelas menurut umur atau
tingkat belajar. Siapa saja boleh hadir untuk belajar atau sekadar mendengarkan
pelajaran yang diberikan. Bahkan para siswa diperbolehkan mengikuti pelajaran
tersebut jika mereka mampu. Dengan begitu, di dalam kelas belajar akan
kelihatan siswa dari berbagai umur. Begitu juga tidak ada ketentuan masa waktu
belajar yang pasti di Maahad Ittiba As-Sunnah. Sistemnya bak pepatah 'siapa
cepat dia dapat'.
Dua tahun berada di Maahad Ittiba'us Sunnah tersebut saya ditugaskan untuk
mengajar kelas senior dan junior untuk mata pelajaran Harfiyah menterjemah
Al-Quran dan tatabahasa Arab (Nahwu dan Saraf). Mengingat kesibukan di siang
hari untuk mengajar, maka saya manfaatkan waktu malam hari untuk
menambah pengetahuan dengan mendatangi rumah mudir Maahad, Ustadz
Hashim A Ghani. Saya belajar dan mempertanyakan kepadanya berbagai
permasalahan yang saya dapatkan dari buku-buku. Di samping itu, saya juga
mendalami pengetahuan tersebut secara otodidak.
Perasaan bosan dengan suasana sekolah yang berbeda dengan Maahad Ittiba'u
Sunnah membuat saya merasa rindu dengan Maahad Ittiba'us Sunnah. Itulah
sebabnya saya hanya bertahan sekitar dua bulan di bangku sekolah Arab itu.
Sementara itu, teman-teman orang tua saya menyarankan agar saya kembali ke
Maahad Ittiba'u Sunnah Kuala Pilah. Pasalnya, mereka mendengar bahwa Ustadz
Hashim A Ghani sudah mempunyai akses untuk mengirim pelajar ke luar negeri.
Tanpa berpikir panjang, saya menuruti saran mereka dengan harapan dapat
dikirim ke negara Arab untuk melanjutkan pendidikan.
Saya katakan kepadanya, jika saya belajar di dua sekolah dalam waktu
bersamaan, maka pasti salah satunya akan ketinggalan atau menjadi lemah
serta mendapatkan prestasi buruk. Pertimbangan dan keputusan itu tentu
berdasarkan ukuran kemampuan yang saya miliki. Maka saya lebih memilih
berkonsentrasi pada pelajaran yang ada di Maahad Ittiba'u Sunnah. Mudir
Maahad Ittiba'us Sunnah sekali lagi mengingatkan saya agar tidak menyesal di
kemudian hari karena tidak melanjutkan pendidikan ke tingkatan 4, seterusnya
ke angkatan 5 untuk mengambil peperiksaan SPM (Sijil Peperiksaan Menengah).
Saya katakan kepadanya bahwa saya insya Allah tidak akan menyesal di
kemudian hari karena yakin Allah SWT tidak akan membiarkan saya tanpa rezeki
dari-Nya.
Ternyata saya keliru dengan ucapan itu. Memang benar Allah SWT akan
memberikan rezeki kepada semua makhluk ciptaan-Nya di dunia, baik kepada
yang Muslim maupun yang non-Muslim. Sedangkan Sijil atau sertifikat hasil
ujian itu hanyalah salah satu penyebab dan jalan atau alternatif bagi seseorang
mendapatkan rezeki yang sewaktu-waktu diperlukan. Wallahu alam.
Saya melihat kebaikan akhlak serta budi pekerti yang ada pada orang-orang
Indonesia itu, terutama setelah saya bertemu dengan Ustadz Abdul Halim di
Maahad Ittiba'us Sunnah yang biasa disapa oleh anggota rombongan lain
dengan panggilan Abah. Pertama kali saya mengira bahwa orang yang
memanggilnya Abah adalah anak beliau, tetapi ternyata bukan demikian. Saya
kemudian menyadari bahwa Abah adalah panggilan hormat selaku orang tua.
Namun saya tidak terbiasa memanggil beliau dengan panggilan Abah, melainkan
Ustaz. Belakangan, sekitar tahun 1998, saya baru mengetahui nama beliau di
Indonesia adalah Abdullah Sungkar.
Saya juga bertemu dengan Ustadz Abdus Somad di Maahad Ittiba'us Sunnah,
yang biasa dipanggil oleh orang-orang Indonesia pada waktu itu dengan
panggilan Ustadz Abu. Sempat terlintas di pikiran saya mengapa orang-orang
Indonesia itu memanggil Ustadz Abdus Somad dengan panggilan Ustadz Abu?
Hampir semua orang-orang Indonesia yang bersamanya memanggil beliau
dengan nama Ustadz Abu. Baru sekitar tahun 1997 saya mengetahui bahwa
kebiasaan mereka di Indonesia memanggil Ustadz Abdus Somad dengan
singkatan Ustadz Abu. Sebelum menyeberang ke Malaysia pada awal 1985, di
Indonesia beliau lebih dikenal dengan nama Ustadz Abu Bakar Baasyir.
Sekali lagi, tulisan opini Hilmy Bakar Almascaty, ketua DPP FPI, di Harian
Republika edisi 4 Mei 2004 tentang kehadiran Ustadz Abdus Somad di Maahad
Ittiba'us Sunnah, berbunyi: Di antara yang pernah datang pada saat penulis
nyantri (di Maahad Ittiba'u Sunnah) adalah tokoh Muhammadiyah Indonesia,
Lukman Harun dan beberapa tokoh gerakan Indonesia, termasuk Abu Bakar
Ba'asyir.
Perkenalan saya dengan orang-orang Indonesia pada tahun 1985 itu termasuk
antara lain:
1. Pak Adung, pada sekitar bulan Juni 2004 setelah beliau ditahan oleh
pihak Polri. Saya mendengar langsung penjelasan darinya bagaimana
beliau menyembunyikan Noordin M. Top dan Azahari sejak sekitar bulan
November 2003.
2. Abu Jibril, melalui media saya mengetahui beliau pernah menjadi
tahanan ISA di Malaysia tahun 2001 hingga 2003 / 2004.
3. Pak Solihin.
4. Ustadz Afif, hingga sekarang beliau adalah guru di Ponpes Al-Mukmin
Ngruki.
5. Pak Agung, melalui media saya mengetahui beliau sekarang tahanan
ISA Malaysia.
6. Feri, melalui media saya mengetahui beliau sekarang tahanan ISA
Malaysia.
7. Saiful, (almarhum).
8. Pak Ristan (almarhum).
Ternyata mereka semua adalah para mubaligh yang banyak mengetahui tentang
agama Islam (penilaian saya pada waktu itu). Mereka ramah dan suka
berbincang tentang agama Islam. Malah di antara mereka ada yang membawa
buku-buku bacaan untuk dijual. Kebanyakan buku-buku tentang gerakan Islam,
seperti buku tulisan Hasan al-Banna, Ikhwanul Muslimin, buku kisah-kisah
perjuangan Mujahidin Afghanistan, buku-buku Jihad Islamiy, buku-buku Aqidah
dan Tauhid dan berbagai buku fiqih Ibadah. Saya sering membeli dan meminjam
buku-buku dari orang-orang Indonesia itu atau dari ustadz (panggilan kepada
sebagian dari mereka).
Artinya: Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu
(yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): Marilah kita
memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri
kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada
Allah dan kita minta supaya lanat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang
dusta. (Ali Imran: 61).
Setiap malam saya bersama dua atau tiga orang teman datang ke rumahnya
dengan membawa berbagai macam buku bacaan pilihan, di antaranya adalah
buku Fiqih Jihad yang berdasarkan kepada ayat-ayat Al-Quran dan Hadis Nabi
Muhammad SAW tentang jihad. Ustadz Hashim A Ghani memberikan penjelasan
dengan sejelas-jelasnya, namun ketika ditanya tentang kewajiban berangkat
pergi berjihad ke Afghanistan sampai mengorbankan jiwa sendiri, beliau
mengatakan bahwa kewajiban itu sudah dilaksanakan oleh rakyat Afghanistan.
Sementara para pendakwah dari Malaysia (santri Maahad Ittiba'us Sunnah)
punya kewajiban untuk menjalankan dakwah di Malaysia. Pada saat itu saya
hanya menerima jawaban Ustadz Hashim A Ghani sebagai pendapat pribadi.
Tetapi saya keliru ternyata beliau seorang yang bijaksana dan banyak
pengetahuannya.
Pada waktu yang lain saya menyediakan waktu untuk bersilaturrahmi dengan
mendatangi ustadz-ustadz dari Indonesia yang berada di Kuala Pilah untuk
menimba ilmu pengetahuan yang tidak saya dapatkan penjelasannya di Maahad.
Saya ingin mendengar penjelasan dan berguru dari beberapa orang di luar
tenaga pengajar yang ada di Maahad Ittiba'u Sunnah.
Di antara ustadz (orang Indonesia) yang pernah saya datangi sambil membawa
buku untuk berguru dan meminta penjelasan serta bertanya tentang berbagai
macam persoalan agama di Kuala Pilah Malaysia adalah Ustadz Abdul Halim,
Ustadz Abdus Somad, Ustadz Afif, Ustadz Abu Jibril, Ustadz Solihin, dan Ustadz
Saiful (alm). Saya meminta mereka menjelaskan berbagai persoalan agama
Islam termasuk permasalahan ibadah sehari-hari dan masalah Jihad Fisabilillah.
Di antara mereka juga ada yang menjadi pengajar sementara di Maahad Ittiba'u
Sunnah, seperti Ustadz Afif yang mengajar tatabahasa Arab (Nahwu dan Saraf).
Hilmy hanya mengajar selama beberapa hari saja tentang pengetahuan yang
pernah dipelajarinya di Indonesia, bukan mengajarkan materi pelajaran yang
diajarkan di Maahad Ittiba'us Sunnah. Karena itu saya tidak begitu ingat Hilmy
Bakar Almascaty yang mengaku pernah mengajar di Maahad Ittiba'us Sunnah
dan pelajaran apa yang diajarkannya. Yang jelas bukan pelajaran yang diajarkan
oleh Mudir Maahad, Ustadz Hashim A Ghani. Sedangkan Hilmy Bakar Almascaty
ketika datang ke Malaysia pada awal 1985, memperkenalkan dirinya dengan
nama samaran yaitu Haikal bukan Hilmy. Entah mengapa Hilmy Bakar
Almascaty tidak berani memperkenalkan namanya yang benar pada waktu itu,
mudah-mudahan bukan berniat untuk berbohong.
Di samping mendapatkan penjelasan lisan dari para ustadz yang saya datangi,
saya juga banyak membaca buku-buku bacaan berbahasa Indonesia dan
berbahasa Malaysia. Buku-buku itu menjelaskan tentang hukum-hukum Jihad
dan kisah-kisah Jihad Nabi Muhammad SAW serta para Sahabat-sahabatnya
(seperti buku Hayatus Sohabah) Saya juga membaca buku kisah Jihad Mujahidin
Afghanistan (di antaranya adalah terjemahan dari bahasa Arab). Buku-buku
tersebut saya pinjam atau beli dari orang-orang Indonesia yang tinggal di Kuala
Pilah yang di antara mereka menjual berbagai macam buku bacaan Islamiy.
Tawaran ke Afghanistan
Setelah berhenti dari Sekolah Arab Majidee Johor Bahru (hanya sempat belajar
sekitar sebulan atau dua bulan) saya datang kembali ke Maahad Ittiba'u Sunnah.
Sebelumnya saya mendengar bahwa ada seorang dari teman saya yang
bernama Mat Beduh akan berangkat melanjutkan belajar ke luar negeri, tetapi
saya tidak tahu negara yang akan ditujunya. Sekitar bulan September 1987, Pak
Ristan almarhum (orang Indonesia yang datang ke Malaysia pada awal 1985)
berjumpa saya di Maahad Ittiba'u Sunnah. Dia menanyakan apakah Ustadz
Hashim A Ghani telah menyampaikan pesan darinya untuk saya. Saya katakan
bahwa saya tidak paham apa yang dimaksudkan oleh Pak Ristan. Dia kemudian
meminta saya menemui Ustadz Hashim A Ghani untuk menanyakan isi pesan
yang dimaksudkan. Dengan penuh penasaran saya langsung mendatangi rumah
Ustadz Hashim A Ghani sebelum waktu Zuhur.
Ustadz Hashim A Ghani tidak langsung menjelaskan pesan dari Pak Ristan yang
ingin saya ketahui. Dia berdiam diri agak lama. Baru selepas shalat Zuhur
berjamaah di rumahnya dan makan siang bersamanya, Ustadz Hashim A Ghani
membuka cerita dengan sebuah pertanyaan kepada saya. Katanya, kamu mau
ke Afghanistan atau ke Perlis? Dengan cepat pikiran saya terbayang kisah Jihad
dan Mujahidin Afghanistan dan juga terbayang kisah teman saya yang dikirim
bertugas mengajar di Perlis (salah satu negara bagian di Malaysia). Dalam waktu
hitungan detik saya tidak percaya akan tawaran dan pertanyaan yang diajukan
kepada saya tersebut.
Bagaikan bulan jatuh ke riba dan bahkan tidak percaya; seolah mimpi menjadi
kenyataan. Dalam hitungan detik saya teringat bagaimana kisah seorang ustadz
dari Maahad Ittiba'us Sunnah yang mengajar di sebuah Maahad besar di Perlis
(saya lupa nama maahad itu) lengkap dengan berbagai fasilitasnya. Sebelumnya
saya juga pernah berharap supaya dipilih dan dikirim ke Perlis untuk mengajar
di Sana.
Saya melihat wajah Ustadz Hashim A Ghani sepertinya mengharap agar saya
tetap membantunya mengajar di Maahad Ittiba'u Sunnah atau saya berangkat
ke Perlis mengajar di Maahad di sana. Tetapi saya sudah tidak dapat menguasai
rasa kegembiraan karena nama Afghanistan telah lebih mendominasi pikiran.
Terlebih perasaan hati lebih mendorong untuk berangkat ke Afghanistan sebab
rasa ingin tahu dan ingin mengalami sendiri suasana Jihad yang selama ini
hanya dapat dibaca di buku-buku dan surat kabar harian saja. Saya sudah
membayangkan suasana perang bersama Mujahidin Afghanistan yang akan saya
alami sendiri dan juga membayangkan bagaimana memegang senjata api serta
mulai merasakan kesedihan yang kemungkinan saya tidak akan kembali lagi ke
Malaysia karena gugur di medan pertempuran.
Saya gembira sebab bukan saya sendiri dari warganegara Malaysia yang akan
berangkat. Namun saya tidak mengerti ketika teman-teman Indonesia satu
rombongan yang akan berangkat itu mengatakan bahwa kami berdua adalah
orang Malaysia pertama yang akan diikutsertakan dalam program Jihad ke
Afghanistan. Saya tidak mempertanyakan lebih mendalam mengapa hanya kami
berdua orang Malaysia. Sementara tiga belas orang yang lain dari Indonesia dan
mengapa kami berdua adalah orang pertama yang dipilih dan ditawarkan untuk
berangkat ke Afghanistan. Bagi saya yang paling penting adalah saya dapat
berangkat dan menginjakkan kaki di Afghanistan. Kalau saya banyak bertanya
dan cerewet (rewel) kemungkinan akan digugurkan dari rombongan (yang akan
berangkat) maka sikap yang lebih baik adalah ikuti saja apa yang telah
ditetapkan oleh Pak Ristan.
Meski sudah saling berkenalan dengan teman-teman yang nantinya menjadi satu
rombongan dengan saya, tidak terlintas di pikiran untuk menanyakan kelompok
apakah mereka yang datang dari Indonesia ini? Siapakah yang
memberangkatkan mereka? Apakah tujuan mereka berangkat? Dari manakah
biaya ongkos perjalanan didapatkan? Rasa kegembiraan yang timbul karena
dapat berangkat bersama-sama menutupi semua keraguan dan kecurigaan
sampai-sampai tidak perlu menanyakan lagi yang macam-macam dan juga kalau
dapat secepat mungkin diberangkatkan lalu esoknya tiba di Afghanistan.
Saya mencoba memahami apa yang dimaksudkan harus menjaga rahasia, yaitu
supaya pemberangkatan nanti ke Afghanistan tidak akan ada halangan yang
melintang. Inilah pengalaman pertama saya menghindari berbagai pertanyaan
teman-teman di Kuala Pilah serta mengalihkan perhatian mereka terhadap saya
yang akan berangkat ke Afghanistan. Dengan kata lain saya mulai diajar
berbohong untuk membela kepentingan suatu kelompok (rombongan yang akan
berangkat) bukan bohong untuk kepentingan diri sendiri.
Ternyata Pak Ristan juga bukan nama yang biasa dikenal di Indonesia, menurut
teman-teman serombongan saya mengatakan bahwa nama Ristan adalah
kebalikan dari nama Natsir, yaitu namanya di Indonesia. Beliaulah yang
mengatur proses pemberangkatan orang-orang NII ke Pakistan lewat Malaysia di
bawah pengaturan Ustadz Abdul Halim. Dan beliau jugalah yang memberikan
saya nama Sulaiman yang menurutnya setiap orang yang akan berangkat ke
Afghanistan harus mengubah nama. Ini untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan pada masa mendatang. Inilah pengalaman saya pertama kali harus
mengubah nama. Saya tidak membantah sebab jika memang mengubah nama
termasuk persyaratan berangkat ke Afghanistan.
Saya tidak tahu apa yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia ini dan ritual
apakah yang sedang berlangsung di hadapan mata saya sebab kebanyakan di
antara mereka menangis ketika berjabat tangan dengan Ustadz Abdul Halim
sambil menyebutkan kata-kata (yang kemudian setelah berada di Afghanistan
barulah saya mengetahui bahawa pratik itu adalah berbaiat).
Sebelum tiba giliran saya, sempat terdetik di hati saya untuk tidak melakukan
hal yang sama, yaitu berjabat tangan dengan Ustadz Abdul Halim. Masalahnya,
saya tidak pernah melihat guru saya, Ustadz Hashim A Ghani, Mudir Maahad
Ittiba'us Sunnah, menyuruh atau mengajarkan praktik itu kepada saya rnaupun
murid-muridnya yang lain. Pak Ristan juga tidak pernah memberitahukan bahwa
akan dilaksanakan upacara berjabat tangan dengan Ustadz Abdul Halim sebelum
berangkat. Tetapi saya berpikir kembali jangan sampai karena tidak melakukan
berjabat tangan dengan Ustadz Abdul Halim akan menyebabkan saya tidak
diberangkatkan ke Afghanistan. Karena itu, saya anggap kecil urusan berjabat
tangan itu; bukanlah satu hal yang berat kalau hanya sekadar berjabat tangan.
Lagipun prosesi itu tidak lebih dari tiga menit sudah selesai.
Seingat saya, perkataan yang saya ucapkan ketika berjabat tangan adalah Aku
berbaiat untuk mendengar dan taat dalam keadaan senang dan susah atau
dalam bahasa Arabnya Bayatuka alas sami wat thoah fil usri wal yusri.
Setelah selesai semua peserta yang akan berangkat mendapatkan giliran
masing-masing berjabat tangan dengan Ustadz Abdul Halim lalu beliau
menyampaikan sedikit wejangan sebagai bekal di hati.
Berangkat ke Pakistan
Keesokan harinya, pada pertengahan bulan Oktober 1987, kami semua berlima
belas orang diantar Pak Ristan dengan menaiki mobil menuju ke perumahan di
Subang, Kuala Lumpur. Kami singgah di salah satu ruko (rumah toko) sambil
menunggu jam penerbangan. Di antara mereka, saya adalah orang yang paling
sedikit membawa pakaian dan membawa tas paling kecil, sampai-sampai saya
ditertawakan teman serombongan. Saya heran niengapa teman-teman semua
membawa baju banyak dengan jaket yang tebal-tebal. Saya memang tidak
pernah melihat orang-orang Afghanistan seperti yang dipublikasikan di surat
kabar, majalah, dan televisi memakai pakaian seperti orang-orang di Malaysia
maupun Indonesia. Pastinya pakaian yang dikenakan nanti akan disesuaikan
dengan para pejuang Afghan, supaya tidak kelihatan asing.
Kemudian saya juga heran mengapa teman-teman membawa peralatan tulis dan
juga peralatan geometris; bukankah rombongan ini akan berangkat perang?
Yang tak kalah mengherankan lagi, mengapa mereka membawa kamus Inggris-
Indonesia, Indonesia-Inggris, dan kamus Arab. Dalam pikiran saya, apakah ada
waktu untuk belajar sedangkan waktu akan disibukkan dengan perang. Ya
sudahlah, yang penting saya dapat berangkat. Saya tidak peduli dengan urusan
orang yang membawa banyak barang, itu adalah urusan mereka, yang memikul
beban juga mereka sendiri. Kemungkinan juga saya salah melakukan persiapan.
Tetapi tidak mungkin sebab Pak Ristan tidak pernah menyuruh mempersiapkan
perlengkapan itu semua.
Pesawat berangkat dari Airport Subang, Kuala Lumpur, menuju Pakistan yang
kemudian mendarat di Karachi. Setibanya di Airport Karachi, kami dijemput oleh
orang Indonesia yang fasih berbahasa Pakistan (belakangan saya ketahui
bahasa itu adalah bahasa Urdu dan Parsi). Dia memperkenalkan dirinya dengan
nama Pak Saad. Kami semua dibawa ke sebuah rumah yang disebut Maehmon
Khana (bahasa Afghan) yang bermakna rumah tamu atau ruang tamu. Rumah
itu milik Tanzim Ittihad-e-Islamiy (salah satu organisasi Mujahidin Afghanistan)
yang dipersiapkan untuk urusan organisasi Tanzim Ittihad-e-Islamiy di Karachi
bagi menjemput para tetamu Mujahidin yang mendarat di Karachi Pakistan.
Dalam perkenalan di Maehmon Khana saya mengetahui bahwa Pak Saad adalah
orang yang sudah lama di Pakistan dan Afghanistan. Dia berbicara dengan
orang-orang Afghan yang berada di rumah itu dengan menggunakan bahasa
setempat, sangat menakjubkan sekali. Beliau sudah berada di Pakistan dan
Afghanistan sejak akhir 1984 atau awal 1985. (Belakangan saya ketahui sekitar
tahun 2002 bahwa Pak Saad biasa dipanggil oleh teman-temannya di Indonesia
dengan nama Abu Hadid. Tetapi ketika kasus Bom Bali 12 Oktober 2002
ternyata nama yang tertera di berita adalah Ahmad Roichan).
Ketika tiba di Harbiy Sohanjay, saya mendengar suara sorakan kegembiraan dan
seruan takbir dari orang-orang yang sebangsa dan serumpun yaitu yang
berbeda dari orang Afghan. Mereka adalah orang-orang Indonesia yang telah
lama berada di Afghanistan dan Pakistan. Sebagian dari mereka langsung
memeluk teman serombongan saya, sepertinya mereka sudah saling kenal
ketika di Indonesia dan bahkan di antara mereka menggunakan bahasa yang
asing bagi saya yang belakangan saya ketahui bahwa bahasa itu adalah bahasa
Jawa dan bahasa Sunda dan ada juga yang menggunakan bahasa Lombok. Saya
dan Mat Beduh terkadang tertawa dan tersenyum sendiri sebab kami anggap
lucu dan kami berdua tidak begitu paham dengan bahasa orang Indonesia itu.
Tetapi jika mereka berbicara dengan kami berdua, mereka menggunakan bahasa
Nasional Indonesia.
Saya dan Mat Beduh disambut oleh mereka dengan gembira kerena kami berdua
adalah orang Malaysia yang pertama datang ke situ. Semua ingin berkenalan
dan mengajukkan (menirukan) bahasa Malaysia seolah-olah di antara mereka
pernah tinggal di Malaysia. Saya perhatikan setiap gerak, tingkah, dan
mendengarkan orang-orang Indonesia yang saling menanyakan kabar kampung
halaman mereka (Indonesia). Belakangan saya tahu bahwa mereka sudah
hampir tiga tahun tidak pulang kampung, betapa rindunya mereka dan betapa
gembiranya mereka ketika bertemu dengan orang Indonesia yang baru datang.
Di Harbiy Sohanjay inilah (akhir 1987) pertama kali saya bertemu dan
berkenalan dengan orang yang bernama Mukhlas (ia menikah dengan adik
perempuan saya pada tanggal 1 Juli 1990 di Johor Bahru Malaysia). Mukhlas
menikah bukan karena kedekatan hubungan keluarga istrinya dengan para TKI
sebagaimana yang di jelaskan oleh Hilmy Bakar Almascaty ketua DPP FPI dalam
tulisan opininya di Koran Republika edisi 4 Mei 2004, alumni PP Al-Mukmin,
Ngruki, yang bekerja sebagai TKI ataupun pengajar di Malaysia seperti Mukhlas
(Ali Ghufron) yang akhirnya menikah dengan saudara perempuan Nasir
Tetapi pernikahan itu terjadi karena orang tua saya yang berkenan dengan
akhlak dan budi pekertinya yang bagus serta kemampuannya yang cemerlang
dalam memahami agama Islam, dan lagi pula dalam satu jamaah (waktu itu
dalam jamaah NII). Mukhlas adalah ustadz yang hebat dalam ilmu pengetahuan
Islam dan paling rasional yang pernah saya kenal pada waktu itu. Saya bangga
Mukhlas menikah dengan adik saya itu, sampai-sampai saya disuruh pulang ke
Malaysia menghadiri majelis pernikahannya untuk meyakinkan adik saya bahwa
Mukhlas adalah teman saya yang sepaham dan satu perjuangan di Pakistan dan
Afghanistan (saya hanya sempat sebulan di Malaysia antara Juni dan Juli 1990
lalu kembali ke Afghanistan).
Saya tidak pernah dan tidak akan menyesal Mukhlas menikah dengan adik saya
itu. Adik saya telah mendapatkan suami yang terbaik untuk dirinya, tiada yang
dapat sebanding Mukhlas selaku suami kepada adik saya itu. Sebagai suami, ia
adalah seorang suami yang teladan di sebagian hal. Hilmy Bakar Almascaty
bukan dari kalangan keluarga saya, jadi saya mengira baginya adalah lebih baik
tidak berbicara daripada bercerita yang tidak diketahuinya dan menurut saya
adalah kurang pantas baginya membicarakan urusan keluarga saya karena
beliau tidak mengerti urusan dalaman keluarga saya.
Sekitar bulan November atau Desember 2002, barulah saya mengetahui nama
Mukhlas melalui media adalah Ali Ghufron. Mukhlas sendiri menyatakan
pengakuannya kepada saya pada sekitar akhir bulan Oktober 2002 di rumah
kontrakannya di Gresik bahwa beliau dan adik-adiknya yang melakukan
pemboman di Bali tanggal 12 Oktober 2002 itu. Saya tidak meragui kemampuan
Mukhlas dan adik-adiknya (seperti Ali Imran) karena mereka memang sudah
pernah mendapatkan pendidikan kemiliteran di Afghanistan. Hanya saya merasa
cukup kaget dan tidak bisa berbuat apa-apa, sebab sasaran pemboman mereka
itu di luar kebiasaan pertempuran.
Dan di Harbiy Sohanjay ini kami (rombongan angkatan saya) diingatkan untuk
mengaku berasal dari Filipina jika ditanya oleh orang-orang Afghan atau orang-
orang Arab, alasannya sebagai cover yaitu berselindung, tanpa membantah kami
semua mentaati aturan itu.
Sementara angkatan pertama (Daurah Awal) dari anggota NII berjumlah hanya
5 orang di tempat pendidikan Akademi Milker Mujahidin Afghanistan. Mereka
adalah Syawal (pernah ditahan oleh Polri di Manado pada sekitar akhir tahun
1999 atau awal 2000 atas kasus pemilikan senjata api), Zulkarnain, Mohamad
Faiq, Idris alias Solahudin dan Saad alias Ahmad Roichan. Mereka lebih senior
setahun dari angkatan Mukhlas di antara orang-orang NII yang berada di
Afghanistan pada waktu itu.
Ada satu perkataan yang menarik perhatian saya di Harbiy Sohanjay ketika
mendengarkan orang-orang Indonesia saling berbicara antara satu sarna yang
lain yaitu perkataan Pohantun. Setiap kali perkataan Pohantun disebut, mereka
akan berbicara tentang belajar dan berlatih. Pada awalnya saya tidak ingin
memperhatikan apa yang mereka bicarakan sebab apa yang ada dalam benak
saya adalah kapan saya dan yang lain akan diberangkatkan ke medan
pertempuran, hanya itu saja yang ditunggu-tunggu. Tetapi oleh kerana
perkataan Pohantun semakin sering kedengaran di telinga ketika hari-hari
menantikan acara atau tujuan berikutnya sehingga memancing saya untuk
bertanya. Sebab seolah-olah Pohantun adalah tempat yang akan kami tuju.
Salah seorang di antara mereka belakangan saya ketahui bahwa dia adalah
angkatan Mukhlas yang sudah lulus belajar di Akademi Militer Mujahidin
Afghanistan bagi angkatan kedua (Daurah Duwom, bhs Parsi) menjelaskan
kepada saya dan Mat Beduh. Menurutnya, nanti saya dan teman-teman
serombongan akan diberangkatkan ke sebuah tempat pelatihan yang dinamakan
Harbiy Pohantun tetapi lebih sering dipanggil Pohantun saja. Harbiy Pohantun
berarti Akademi Militer, sedangkan Pohantun berarti Akademi.
Anak-anak Afghan yang telah tamat pendidikan dan lulus ujian di Harbiy
Sohanjay (Sekolah Menengah Milker) akan melanjutkan pendidikan ke Harbiy
Pohantun (Akademi Militer). Keberadaan orang-orang Indonesia di Harbiy
Sohanjay pada waktu kedatangan saya dan rombongan adalah sebagai tempat
penginapan sementara, sebelum mereka (yang sudah selesai berlatih di Akademi
Militer, Daurah Duwom angkatan kedua) dikirim pulang ke Malaysia atau ke
Indonesia. Tempat itu juga dijadikan penginapan sebelum saya serta rombongan
diberangkatkan dalam kelompok-kelompok kecil ke Harbiy Pohantun (Akademi
Militer), yaitu tempat pendidikan yang sebenarnya bagi orang-orang Indonesia
yang bercampur dengan orang Afghan. Lama waktu pendidikan di Harbiy
Pohantun adalah selama tiga tahun.
Mendengar penjelasan tentang tempat pendidikan itu, jiwa saya menjadi lemah
dan perasaan menjadi tidak bersemangat. Begitu juga Mat Beduh langsung
termenung memikirkan betapa lamanya harus belajar sebelum dapat pergi
bertempur di medan pertempuran. Apalagi Mat Beduh sudah berkeluarga dan
jauh lebih tua, dua kali umur saya. Timbul rasa kekecewaan dalam diri saya dan
ingin menyalahkan orang-orang yang tidak memberi penjelasan dengan sejelas-
jelasnya sebelum berangkat dari Malaysia. Tak heran jika teman-teman
serombongan saya membawa berbagai macam perlengkapan belajar dan alat
tulis, karena mereka sudah mengetahui lebih dulu akan tujuan keberangkatan
mereka sejak dari di Indonesia. Terlebih lagi untuk berlatih di Akademi Militer
Mujahidin Afghanistan.
Saya tidak siap belajar di sebuah kampus pendidikan seperti Akademi, saya
sudah meninggalkan bangku sekolah sejak akhir tahun 1984 dan sekarang akhir
1987 (apalagi Mat Beduh yang sudah berumur) disuruh masuk ke Akademi
untuk belajar selama tiga tahun. Padahal saya juga sudah lama meninggalkan
matematika dan geografi, dua pelajaran yang sangat berat bagi saya sewaktu di
sekolah menengah dulu. Belum lagi bahasa Indonesia yang tidak dipahami
dengan banyaknya istilah-istilah asing. Dan menurut mereka, yang akan
mengajar serta melatih adalah orang Indonesia. Saya dan Mat Beduh merasa
dibohongi, sebab tawaran awal berangkat ke Afghanistan adalah untuk berjihad
membela umat Islam Afghanistan, sedangkan kami berdua tidak dijelaskan
harus belajar dan berlatih untuk jangka waktu yang lama.
Sayangnya teman saya satu-satunya orang Malaysia, Mat Beduh, hanya sempat
berada di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan di Sadda Pakistan, sekitar
sebulan saja. Tidak diketahui dengan jelas alasan dipulangkannya ke Malaysia.
Ada kabar bahwa Mat Beduh tidak tahan dengan sistem yang ada di Akademi
Militer, sebab fisiknya yang tidak mendukung. Namun ada juga kabar bahwa Mat
Beduh tidak cocok (tidak serasi) dan tidak sepaham dengan orang-orang
Indonesia yang berada di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan itu. Kebenaran
alasan kembalinya Mat Beduh ke Malaysia hanya dia sendiri yang lebih tahu.
Memang Mat Beduh ada kalanya mengeluhkan kepada saya rasa tidak
nyamannya terhadap sikap dan perilaku orang-orang Indonesia.
Akademi Militer itu pada asalnya adalah untuk anak-anak Afghan yang dididik
dan dilatih untuk menjadi komandan pasukan dan orang lapangan yang akan
mengendalikan peperangan di medan pertempuran Afghanistan dalam
menghadapi tentara Rusia atau pemerintah Komunis Kabul yang dipimpin oleh
Najibullah, Presiden Afghanistan. Karena situasi di tanah Afghanistan pada waktu
itu dalam kondisi peperangan, maka sangat tidak kondusif untuk diadakan
sebuah kamp pelatihan atau tempat pembelajaran seperti sebuah Akademi
Militer. Maka, Tanzim Ittihad-e-Islamiy mendirikan Akademi Militer di tanah
Pakistan atas izin pemerintah Pakistan waktu itu di tempat yang aman dan tidak
terganggu oleh suasana peperangan.
Tetapi, para instruktur orang-orang Indonesia itu tidak mengajar siswa Afghan.
Mereka hanya mengajar dan melatih orang-orang Indonesia saja. Padahal
orang-orang Indonesia angkatan pertama dan kedua menerima pendidikan dan
pelatihan dari instruktur berketurunan Afghan, hanya saja kelas
pembelajarannya tidak bercampur dengan orang Afghan sebab penggunaan
bahasa yang berbeda ketika mengajar.
Begitu juga jadwal kegiatan 24 jam yang telah diatur di Akademi Militer, secara
umum harus diikuti oleh semua siswa dan tidak terkecuali siswa Indonesia.
Hanya saja kelas belajar yang terpisah dari siswa Afghan, semua siswa
Indonesia yang bertempat tinggal terpisah di berbagai barak fakultas akan
berkumpul di dalam satu kelas menurut tingkatan kelasnya masing masing.
Selain dari kegiatan di dalam kelas belajar mengajar itu, semua siswa Indonesia
mendapat bagian dan melakukan kegiatan yang sama dengan siswa Afghan.
Masa pendidikan di Akademi Militer adalah tiga tahun. Adapun pembagian kelas
adalah, kelas satu (Sinfi Awwal), kelas dua (Sinfi Du atau Sinfi Duwom), kelas
tiga (Sinfi Say atau Sinfi Suwom). Di setiap tingkatan kelas terdapat siswa
orang-orang Indonesia sebab setiap tahun ada pengiriman siswa dari Indonesia
dan terkadang juga terdapat siswa dari Malaysia.
Selain materi pelajaran militer terdapat juga materi pelajaran agama Islam,
seperti Tafsir Al-Quran, Hadis Nabi SAW, Fiqih Sirah, Fiqih Harakiy, Fiqih Ibadah,
Kepimpinan Islamiy, dan Fiqih Jihad.
Angkatan pertama dan kedua dilatih oleh para instruktur orang Afghanistan
dengan menggunakan bahasa Inggris. Sementara untuk pelajaran agama Islam
diajarkan oleh ustadz dari orang Arab yang berlatih atau melatih di kamp latihan
orang arab (Muaskar Kheldan) yang letaknya berdekatan dengan Akademi Militer
itu.
1. Latihan komando.
2. Perbengkelan senjata dan amonisi.
3. Keterampilan menembak dengan pistol.
4. Sniper atau markmanship.
5. Mengendalikan tank tempur Rusia.
6. Memperdalam pengetahuan elektronik untuk kegunaan pemicu
(Firing Devices).
7. Pengolahan bahan-bahan kimia sebagai bahan peledak, racun dan
untuk kegunaan membunuh.
Pada setiap akhir tahun pembelajaran terdapat acara praktik lapangan yang
diprogramkan oleh Akademi Militer Mujahidin Afghanistan. Acara ini disebut
Tathbiqot dalam bahasa Parsi, yaitu praktik menembak dan penerapan taktik
infantery dalam peperangan menurut teori yang telah didapatkan di kelas.
Pelaksanaan praktik lapangan (Tathbiqot) dilakukan di daerah tanah Afghanistan
yang berdekatan dengan lokasi Akademi Militer Mujahidin Afghanistan, yaitu
wilayah Khowst Utara (Shamali Khowst).
Pernah pada awal tahun pembelajaran (akhir tahun 1987) ketika saya berada di
kelas satu, kami semua (hanya kelompok orang-orang Indonesia) baik
instruktur, kelas satu dan kelas dua, disuruh pindah dulu untuk sementara pergi
dari Akademi Militer Mujahidin Afghanistan di Sadda sebab Akademi itu akan
diperiksa oleh pemerintah Pakistan.
Seingat saya semua orang Indonesia dipindahkan ke salah satu tempat yang
dijadikan markaznya Tanzim Ittihad-e-Islamiy yaitu di Khowst Utara (Shamali
Khowst). Dalam masa pelatihan di Khowst ini, ada sejumlah sepuluh orang
Indonesia yang baru datang dan digabungkan dengan angkatan saya yaitu
angkatan kelima (Daurah Phanjum), menjadikan jumlah dalam angkatan saya
yang asalnya 15 orang menjadi 25 orang. Sempat sekitar 2 bulan pendidikan
diadakan di tempat itu yang berlangsung di medan pertempuran, walaupun jarak
ke musuh Mujahidin (kota Khowst) agak jauh tetapi bombardir dari jet pesawat
tempur terkadang jatuh
di kemah-kemah, tempat pendidikan yang baru bagi orang-orang Indonesia ini.
Setelah sekitar dua bulan dan kondisi pemeriksaan yang dilakukan pemerintah
Pakistan terhadap Akademi Militer Mujahidin Afghanistan di Sadda dianggap
selesai, maka semua orang-orang Indonesia kembali ke lokasi akademi tersebut.
Pada waktu masih bertempat tinggal di Khowst Utara ini sempat didatangi oleh
orang-orang yang tergolong sebagai pimpinan Jamaah Darul Islam (NII) pada
awal tahun 1988 yaitu Ustadz Abdul Halim, Ustadz Abdus Somad dan Ajengan
Masduki untuk melihat kegiatan anggota NII di program pendidikan dan
pelatihan Akademi Militer Mujahidin Afghanistan.
Karena itu dalam satu tahun, siswa-siswa Indonesia di Akademi Milker Mujahidin
Afghanistan hanya memiliki peluang sekali selama sekitar sebulan untuk dapat
bergabung dengan Mujahidin Afghanistan di medan pertempuran. Jika melewati
peluang tersebut, maka dia harus menunggu hingga liburan Akademi Militer
pada tahun berikutnya. Sungguh sangat beruntung bagi siswa Akademi Militer
Mujahidin Afghanistan asal Indonesia yang dapat bergabung dengan pasukan
Infantery Mujahidin Afghanistan. Meski itu pernah terjadi tapi sangat jarang
sekali, saya dan beberapa orang (sekitar 8 orang) dari angkatan saya pernah
mendapatkan kesempatan itu bersama instruktur kami yaitu Syawal dan
Mohamad Qital di Samarkhil Jalalabad di Propinsi Nangrahar untuk selama
sebulan, pada liburan di kelas dua.
Setelah lulus dari pendidikan Akademi Militer pada tahun 1990 dan selanjutnya
bertugas sebagai instruktur di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan tersebut,
saya sempat beberapa kali mengikuti pertempuran pada masa liburan sekolah.
Pada tahun 1992 setelah ibukota Afghanistan, Kabul, dapat dikuasai oleh
Mujahidin, saya tidak lagi berangkat ke wilayah-wilayah medan perang di
Afghanistan. Ini disebabkan pertempuran tersebut bukan lagi antara Mujahidin
dengan pasukan pemerintahan Komunis Afghanistan, melainkan perkelahian dari
oknum masing-masing organisasi mujahidin. Begitulah yang pernah saya alami
pada waktu masih berada di sana.
Pengalaman saya sebagai instruktur bermula sekitar tahun 1989 ketika duduk di
kelas 2 (Sinfi Duwom) Akademi Militer Mujahidin Afghanistan. Waktu itu sedang
liburan akhir tahun kelas 2. Pada masa-masa menunggu giliran saya ke medan
pertempuran di Afghanistan, saya ditugaskan untuk mengajar dan melatih
orang-orang yang mengaku dari Bangladesh. Waktu latihannya hanya sekitar 2
minggu, dan materinya berkisar pengenalan senjata api dan penggunaannya.
Saya diminta untuk menggunakan bahasa Inggris yang kemudian oleh salah
seorang dari mereka menterjemahkan ke bahasa yang dipahami oleh mereka.
Walaupun ada instruktur yang berada di Akademi pada waktu itu, namun para
instruktur itu memberikan tugas kepada saya sebagai latihan dan kegiatan
ekstra selama liburan akhir tahun kelas 2. Kegiatan melatih orang Bangladesh
yang berjumlah sekitar 40 orang itu diadakan di wilayah Akademi Militer
Mujahidin Afghanistan.
Pengalaman kedua ketika saya duduk kelas 3 di Akademi Militer tersebut. Saya
ditugaskan untuk merangkap sebagai instruktur bantuan mengajar kelas 1 (Sinfi
Awal) orang-orang Indonesia di Akademi Militer (angkatan ketujuh), di bidang
persenjataan (small arms). Dan kegiatan sebagai instruktur bantuan ini berjalan
sekitar 3 bulan sebab saya merasa terbebani dengan banyaknya pelajaran yang
saya anggap banyak ketinggalan akibat waktu yang diluangkan untuk mengajar
kelas 1. Bukan hanya saya sendiri yang ditugaskan untuk menjadi instruktur
bantuan, tetapi ada dua orang teman seangkatan saya, Nuaim dan Mughirah
(keduanya adalah warga Indonesia) yang ditugaskan untuk mengajar mata
pelajaran yang lain.
Sekali lagi saya diberi tugas untuk melatih bidang persenjataan, meliputi
berbagai jenis senjata api berkaliber ringan dan senjata yang berkaliber besar
(artillery). Sementara Nuaim mengajarkan mata pelajaran 'Map Reading and
Navigation', sedangkan Mughirah mengajarkan 'Field Engineering' atau disebut
juga 'Mine and Destruction'. Mereka adalah orang-orang Kashmir yang sempat
melarikan diri dari kampung halamannya karena diserang oleh tentara
pemerintah India. Mujahidin Kashmir itu bermaksud berlatih kemiliteran dan
ingin memisahkan wilayah Kashmir yang mayoritas beragama Islam untuk
tujuan bergabung dengan Pemerintah Pakistan. Begitulah salah seorang dari
sekitar 100 orang yang mengikuti pelatihan selama 1 bulan itu menjelaskan
kepada saya.
Sebelum Rasmi Ghojas (meminjam istilah orang Afghan yang berarti wisuda),
yaitu setelah angkatan saya selesai program pendidikan di Akademi Militer
Mujahidin Afghanistan (1990), maka saya diperintahkan pulang oleh Zulkarnain
ke Malaysia pada pertengahan Juni 1990 untuk menghadiri acara pernikahan
adik saya dengan Mukhlas yang berlangsung pada 1 Juli 1990.
Tinggal di Johor Bahru Malaysia selama satu bulan, saya harus kembali ke
Akademi Militer Mujahidin Afghanistan untuk menghadiri wisuda angkatan saya
dan selanjutnya mengemban tugas menjadi instruktur tetap di Akademi. Saya
hanya mengajar bidang persenjataan untuk semua tingkat kelas kuliah, yaitu
kelas 1, 2 dan 3 bagi orang-orang NII angkatan keenam, ketujuh, kedelapan,
dan seterusnya hingga angkatan kesepuluh. Begitu juga siswa-siswa selain
Afghan, jika ada yang mengikuti pelatihan di Akademi Militer Mujahidin
Afghanistan.
01. Yazid.
02. Arkam.
03. Muaz.
04. Rofi.
05. Numan.
06. Rifaah.
07. Haris.
08. Sofwan.
09. Robi.
01. Zaid, belakangan diketahui di Indonesia bernama Ali Imran (melalui media)
setelah dinyatakan terlibat dalam peristiwa Bom Bali.
02. Sawad, belakangan diketahui di Indonesia bernama Sarjiyo (melalui media)
setelah dinyatakan terlibat peristiwa Bom Bali.
03. Abu Syekh, belakangan diketahui di Indonesia yang disebut-sebut bernama
Umar Patek dan dicurigai terlibat peristiwa Bom Bali.
04. Qudamah atau Kudama, belakangan diketahui di Indonesia bernama Imam
Samudra atau Abdul Aziz yang mengaku bertanggungjawab dalam peristiwa
Bom Bali 12 Oktober 2002.
05. Syuja.
06. Abu Lubabah.
07. Syuraqah.
08. Sobih alias Aris Munandar.
09. Musab.
10. Masood.
11. Abu Aqil, warga Malaysia.
12. Munzir.
13. Ubadah, warga Malaysia.
14. Abu Ayub.
15. T. Solahudin.
16. T. Hizbullah.
17. T. Huzaifah.
18. T. Abu Kholabah.
19. T. Ziyaudin.
20. T. Anas.
21. T. Tohir.
22. T. Umar.
23. T. Zubair.
01. Abu Ubaidah, belakangan di Indonesia diketahui bernama Toni Togar atau
Indra Warman, yang ditahan oleh pihak Polri karena kasus perampokan di
Medan pada sekitar bulan Mei tahun 2003 dan juga dikatakan terlibat dengan
kasus pemboman Hotel JW Marriott, Jakarta.
02. Muhajir.
03. Ashim.
04. Kaab.
05. Haris.
06. Auf.
Kemudian pada tahun 1995, saya mendengar dari Zulkarnain bahwa kamp
latihan di Towrkham itu ditutup akibat penyerangan yang dilakukan oleh
kelompok Taliban terhadap Mujahidin Afghanistan dan siapa saja di Afghanistan
yang tidak tunduk dan bergabung dengan Taliban. Abu Dujanah sendiri pernah
menceritakan kepada saya bagaimana ia orang yang terakhir ditugaskan di
Kamp Al-Jamaah Al-Islamiyah di Towrkham itu melakukan pemusnahan
dokumen dan perlengkapan supaya tidak dirampas oleh kelompok Taliban yang
misterius dan tidak dikenal itu.
Oleh karena itu, apabila Mujahidin Afghanistan saya sebut dan tulis, itu berarti
adalah orang-orang Afghan yang berjuang untuk memerdekakan negara mereka dari
penguasaan faham komunis sampai berdirinya Negara Islam Mujahidin Afghanistan
pada tahun 1992. Adapun pejuang Taliban dimaksudkan untuk membedakan dengan
kelompok pejuang Afghan yang sebelumnya.
Mujahidin Afghanistan
Afghanistan dahulunya termasuk wilayah yang dipanggil dengan nama Khurasan
yaitu wilayah yang pertama kali didatangi oleh pasukan tentara Muslimin di bawah
pimpinan Sahabat Nabi Muhammad SAW yaitu Saad Bin Abi Waqas r.a untuk
menyerukan agama Islam. Kemudian pada waktu terjadinya konflik, negara
Afghanistan adalah negara yang dipimpin oleh Presiden Najibullah seorang Muslim
yang berfaham komunis. Menurut Mujahidin Afghanistan, awal terjadinya konflik
atau kebangkitan rakyat karena pemerintahan Afghanistan mempunyai program
penerapan faham komunis untuk merubah faham dan keyakinan rakyat Afghanistan
yang mayoritas beragama Islam menjadi rakyat yang berfaham komunis.
Pemerintah Afghanistan mengawali penerapan faham tersebut di sekolah-sekolah
yang kemudian disadari oleh para Mullah atau Maulawi (bahasa Afghan yang
berarti guru agama atau ulama) dan juga para aktivis Muslim dari kalangan
mahasiswa dan dosen di perguruan tinggi. Sekitar akhir tahun tujuh puluhan (1970-
an) terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan dosen universitas yang
kemudian diikuti oleh para maulawi di daerah-daerah pendalaman yang bertujuan
menentang kebijakan-kebijakan pemerintah. Demonstrasi tersebut kemudian
berujung dengan pemberontakan bersenjata yang dimulai dengan senjata-senjata
lama dan senjata-senjata yang dirampas dari aparat.
Mujahidin Afghan terdiri dari tujuh organisasi atau tujuh kelompok yang dalam
bahasa Afghan (Poshtun atau Parsi) disebutkan dengan kata 'Tanzim' yang berarti
organisasi atau ormas. Tanzim-tanzim ini adalah perwakilan dari semua suku yang
ada di seluruh Afghanistan yang majoritas suku bagi belahan Utara Afghanistan
adalah berbangsa Parsi dan di belahan Selatan berbangsa Poshtun. Di antara yang
saya masih ingat nama-nama pimpinan dan Tanzimnya adalah:
Dengan kesungguhan semua pihak dari seluruh Tanzim Mujahidin Afghanistan, maka
sekitar awal atau pertengahan tahun 1992, Kabul ibukota Afghanistan telah dapat
direbut oleh pasukan gabungan Mujahidin Afghanistan. Dan, dengan kesepakatan
pimpinan dari seluruh Tanzim maka dipilihlah salah satu dari pimpinan tujuh Tanzim
untuk menjadi Presiden pertama Pemerintahan Islam Mujahidin Afghanistan. Prof.
Mujaddidiy dipilih untuk menjadi Presiden pertama untuk waktu satu atau dua tahun
(saya tidak ingat pasti). Setelah terbentuknya pemerintahan baru untuk Afghanistan,
pemerintahan Pakistan meminta kepada semua Tanzim Mujahidin Afghanistan untuk
memindahkan semua perlengkapan persenjataan di gudang-gudang dan
mengosongkan kantor administrasi Tanzim yang berada di Pakistan, perbatasan ke
Afghanistan. Pernyataan pemerintah Pakistan ini diceritakan oleh Ust. Abdur Robbir
Rasul Sayyaf kepada saya dan rekan-rekan lain ketika kami bersilaturrahmi ke
kediamannya.
Setelah masa jabatan Prof. Mujaddidiy selesai maka Presiden kedua yang diangkat
oleh pemerintah Islam Mujahidin Afghanistan (bukan dari hasil pemilu) adalah Prof.
Ust. Burhanuddin Robbani untuk waktu empat tahun (jika saya tidak keliru). Tetapi
pada masa pemerintahan Presiden Prof. Ust. Burhanuddin Robbani telah terjadi
penyerangan dan perampasan kekuasaan yang dilakukan kelompok yang
menamakan diri Taliban yang berarti pelajar. Sehinggalah Presiden pemerintahan
Islam Mujahidin Afghanistan harus mundur ke utara Afghanistan.
Pejuang Taliban
Pertama kali nama Taliban saya dengar sekitar akhir tahun 1993. Dan, pada
kesempatan melakukan silaturrahmi ke tempat kediamannya Prof. Ust. Abdur Robbir
Rasul Sayyaf di Towrkham Afghanistan (di dalam gua buatan) bersama teman-teman
yang lain, kami sempat bertanya tentang satu kelompok yang disebut-sebut dengan
nama Taliban yang baru melakukan aksi penyerangan ke beberapa pos-pos
Mujahidin Afghanistan di sekitar propinsi Kandahar, wilayah selatan Afghanistan. Ust.
Abdur Robbir Rasul Sayyaf yang lebih dikenal dengan nama Ust. Sayyaf juga
menyatakan tidak mengerti akan asal usul kelompok yang bernama Taliban
tersebut, dan beliau merasa heran dengan kekuatan kemiliteran yang
dimiliki oleh Taliban. Padahal kelompok yang bernama Taliban itu tidak
pernah muncul sejak awal perjuangan Mujahidin Afghanistan sampailah
Futuh Kabul (Kemenangan menguasai Kabul).
Di antara hal yang saya ketahui dari salah seorang komandan dari Tanzim Ittihad-e-
Islamiy ketika dia menjelaskan tentang Taliban, bahawa Taliban menyesali sikap
pemerintah Islam Mujahidin Afghanistan terutama Presiden Mujaddidiy yang antara
lain:
Maka Taliban meyakini bahawa menurut Islam yang benar dan yang seharusnya
hanya ada satu kelompok saja yang bisa mengatur umat Islam untuk
menghindarkan perpecahan umat. Oleh karena itu pejuang Taliban ingin menjadikan
Afghanistan dipimpin oleh satu organisasi dan satu pimpinan guna terlaksananya
syariat Islam.
Di antara budaya orang awam Afghanistan adalah patuh dan percaya serta sangat
hormat ketika bersikap di hadapan seorang yang dikenal atau mempunyai ciri-ciri
sebagai Mullah atau Maulawi, yaitu guru agama atau ulama. Dengan datangnya
pejuang Taliban yang majoritas adalah para guru agama, yaitu Mullah dan Maulawi,
membuat hati orang Afghan menjadi dilematis jika melakukan perlawanan
menghadapi para guru agama. Oleh karena itu Taliban mendapat simpati dengan
sangat cepat dari kalangan suku Poshtun termasuk para komandan yang pernah ikut
berjuang bersama dengan Mujahidin Afghanistan dari berbagai Tanzim. Kecuali
orang-orang Afghan yang kuat dengan perjuangan Tanzim-nya tidak terpengaruh
dengan ajakan Taliban dan bersedia menghadapi perlawanan dengan pejuang
Taliban.
Peristiwa menguasai Kabul oleh Mujahidin Afghanistan pada tahun 1992 berbeda
dengan apa yang dilakukan oleh pejuang Taliban. Kalau diingat-ingat kepada sejarah
perjuangan Rasulullah SAW dan dibandingkan antara etika Mujahidin Afghanistan
dan Taliban maka saya mendapati bahwa Mujahidin Afghanistan lebih mendekati
kepada Sunnah Rasulullah SAW, dimana seingat saya Mujahidin Afghanistan ketika
memasuki kota Kabul dalam keadaan tenang tanpa pertempuran yang sengit, sebab
kekuatan Kabul telah menyerah diri kepada Mujahidin Afghanistan.
Kembali membuka kisah sirah (perjalanan) Nabi Muhammad SAW, pada waktu
sebelum Fathu Makkah (Kemenangan menguasai Makkah Al-Mukarramah),
Rasulullah Saw memberi perintah dan pemberitahuan:
Pasukan Muslimin tidak membunuh dengan sesuka hati pada waktu menguasai
Makkah al-Mukarramah, jumlah yang menjadi korban tewas kurang dari 40 orang,
itupun karena pihak Quraish Makkah yang memulai. Dan orang-orang yang pernah
diperintahkan oleh Rasulullah SAW untuk dibunuh juga tidak semua yang terbunuh,
hanya Huwairits, Abdullah bin Hilal, Muqis bin Dhahabah dan seorang wanita.
Sementara yang lain telah diberikan ampunan oleh Rasulullah SAW, antara lain
seperti orang-orang yang pernah diperintahkan untuk dibunuh juga mendapatkan
ampunan yaitu Abdullah bin Saad, Ikrimah bin Abi Jahal, Habbar bin al-Aswad dan
Hindun binti 'Utbah.
Saya berfikir bagaimana seandainya kalau Najibullah sudah bertaubat dan menjadi
seorang Muslim yang baik sejak setelah pengampunan yang diberikan kepadanya
oleh Prof. Mujadidiy dan selama masa pemerintahan Islam Mujahidin Afghanistan
sekitar dua tahun lebih. Jadi bagaimanalah pertanggungjawaban Taliban di
hadapan Allah SWT nanti? Bukan hanya itu, Taliban juga harus
mempertanggungjawabkan penyerangannya terhadap umat Islam di Negara
Islam Mujahidin Afghanistan.
Sehingga sekarang saya masih menyimpan beberapa pertanyaan yang masih belum
terjawab yang di antaranya adalah:
Dari dulu saya masih belum dapat menerima kehadiran Taliban dan masih belum
dapat membanggakan apa yang telah dilakukan oleh Taliban di Afghanistan dengan
mewujudkan sebuah 'Pemerintahan Islam Taliban'. Sebab apa yang mereka anggap
sebagai mengikuti sunnah Rasulullah ternyata sebaliknya menurut pengetahuan
saja. Mujahidin Afghanistan yang telah bersusah payah sejak belasan tahun be.rjihad
memperjuangkan keyakinan mereka adalah lebih utama dari Taliban menurut
penilaian kacamata pengetahuan saya. Pemerintahan Islam Mujahidin Afghanistan
lebih mengarah kepada tuntunan Nabi Muhammad SAW dibandingkan dengan
pemerintahan Taliban walaupun mereka terdiri dari para pelajar dan dosen.
Bab 3
Jamaah Negara Islam Indonesia
Di antara kegiatan mingguan selama di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan di
Sadda Pakistan adalah menghadiri Majelis pengajian yang diadakan oleh orang-
orang Indonesia. Semua orang Indonesia di Akademi Militer itu harus mengikuti
kegiatan ini dan tidak ada yang terkecuali. Acara dilaksanakan pada hari Jumaat
setelah solat Asar di masjid Akademi Militer Mujahidin Afghanistan yang dimulai
dengan pembacaan ayat suci Al-Quran pilihan yang kemudian diterjemahkan, lalu
wejangan (nasihat) dan siraman rohani diberikan oleh masul (panggilan untuk
pimpinan) atau orang yang ditunjuk oleh masul. Saya baru mengerti bahwa orang-
orang Indonesia ini adalah kelompok yang bernama Jamaah Negara Islam Indonesia
atau lebih dikenal dengan panggilan Jamaah NII dan terkadang disebut juga dengan
nama Jamaah DI (Darul Islam).
Pada setiap kesempatan di Majelis pengajian itu sering diingatkan kepada setiap
orang yang telah menjadi anggota Jamaah harus selalu bersikap As-Sam'u wat
Tho'ah (mendengar dan taat) kepada pimpinan Jamaah, merujuk kepada baiat yang
telah diucapkan atau telah dilakukan. Dan setiap orang yang telah menjadi anggota
jamaah biasanya dipanggil dengan panggilan A.khi (saudaraku) atau Ikhwan
(saudara).
Saya jadi teringat ketika berjabat tangan dengan Ust. Abdul Halim dan menyatakan
untuk sedia mendengar dan taat, baik dalam waktu susah maupun senang, yang
ternyata pada waktu itu saya telah sah sebagai anggota Jamaah NII. Peristiwa itu
terjadi sewaktu akan berangkat ke Afghanistan, (Baca Bab: Perjalanan ke
Afghanistan) padahal saya tidak pernah tau dan tidak pernah dijelaskan tentang
Jamaah ini dan untuk tujuan apa jamaah ini dibentuk. Mau tidak mau walaupun
belum pernah berniat, saya adalah salah seorang yang sudah sah sebagai anggota
Jamaah NII yang harus melaksanakan kewajiban untuk mendengar dan mentaati
semua program yang telah diatur dan disusun untuk saya dan teman-teman di
Pakistan dan Afghanistan.
Saya difahamkan sekiranya tidak setia dengan baiat maka akan berdosa dan telah
berkhianat kepada Jamaah NII. Ternyata semua orang Indonesia dan Malaysia
(orang-orang Malaysia yang diberangkatkan setelah saya) yang mengikuti
pendidikan di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan itu adalah anggota NII yang
telah dibaiat. Saya tidak mengerti mengapa kelompok yang menisbahkan kelompok
mereka dengan Indonesia merekrut orang-orang selain warga Indonesia seperti
warga Malaysia? Yang pantas untuk menjawab pertanyaan ini adalah orang
Indonesia sendiri yang datang ke Malaysia secara ilegal pada awal tahun 1985
seperti Ust. Abu Bakar Baasyir, Hilmy Bakar Almascaty, Ust. Abu Jibril, Ust. Solihin,
dan lain-lain yang bersama mereka yang melaksanakan dakwah NII di Malaysia.
Tetapi apa yang pernah saya difahamkan bahwa mereka meyakini bahwa Islam tidak
terbatas kepada status kewarganegaraan. Perekrutan tetap dilaksanakan terhadap
siapa saja tanpa merubah misi untuk berjuang di Indonesia. Dan mereka
mengkonsentrasikan kegiatan yang mengarah untuk Indonesia. Begitulah yang
selalu dilaung-laungkan bahwa Negara Islam Indonesia (NII) harus dimerdekakan
lebih duluan pada setiap tausiyah di setiap hari Jumat di Akademi Militer Mujahidin
Afghanistan.
Tidak ada kelompok lain dari orang Indonesia atau Malaysia yang mengikuti
pendidikan di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan itu (Harbiy Pohantun). Saya
tidak tahu mengapa, sepertinya sudah ada kesepakatan antara Jamaah NII dengan
Tanzim Ittihad-e-Islamiy Afghanistan untuk membatasi para calon siswa Akademi
Militer itu yang hanya dari kelompok Jamaah NII dari faksi Ust. Abdul Halim saja.
Orang-orang Indonesia yang datang ke Afghanistan yang bukan melalui jalur Ust.
Abdul Halim (baik ketika masih NII atau Al-Jamaah Al-Islamiyah) akan mengikuti
latihan kemiliteran di bawah kamp-kamp latihan milik orang Arab di Afghanistan dan
berperang bersama-sama orang Arab di medan pertempuran di Afghanistan.
Saya yakin bahwa semua orang Indonesia dan Malaysia yang mengikuti pendidikan
di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan adalah anggota Jamaah NII sebab
semuanya ikut hadir dalam acara Majelis pengajian yang diadakan pada setiap hari
Jumat selepas solat Asar yang memang khusus untuk anggota Jamaah NII yang
pernah dibaiat sebelum berangkat ke Afghanistan.
Seminggu sekali pada kesempatan waktu pengajian hari Jumaat itu, sejarah Negara
Islam Indonesia (NII, DI/TII) diceritakan secara seperingkat-seperingkat sampailah
saya tahu perjalanan sejarah perjuangan NII di Indonesia. Dan kemudian saya juga
memahami akan tujuan NII yang ingin mengembalikan kegemilangan Kartosuwiryo
memproklamirkan Negara Islam Indonesia di sebuah wilayah Jawa Barat pada 7
Agustus 1949. Begitulah yang pernah dijelaskan kepada saya pada waktu itu
sehingga Negara Islam yang telah diproklamir oleh Kartosuwiryo itu diserang oleh
pemerintah Sukarno yang kemudian mengeksekusi Kartosuwiryo dan dikuburkan di
tempat yang tidak diketahui rimbanya.
Negara Islam Indonesia yang dianggap sah itu, diyakini telah dijajah oleh
pemerintahan Sukarno (Presiden RI pertama), oleh karena itu adalah menjadi
kewajiban bagi anggota Jamaah NII untuk memerdekakan tanah yang diyakini
pernah diterapkan Hukum Allah yaitu Syariat Islam. Karena saya adalah warga
Malaysia, maka saya harus membantu untuk melaksanakan tujuan itu walaupun
saya bukan warga Indonesia, sebab saya difahamkan bahwa Islam tidak mengenal
status warganegara dan batas negara. Begitulah alasan anggota NII yang telah
merekrut umat Islam yang bukan berwarganegara Indonesia.
Seringkali diingatkan kepada anggota Jamaah NII untuk tetap menjaga diri dan siap
berjuang di Indonesia. Alasan mengapa tidak mempunyai rencana pelaksanaan Jihad
berjuang di Malaysia pada waktu itu, adalah karena Indonesia lebih banyak anggota,
lebih dulu memulai perjuangan Islam dan lebih utama dimerdekakan, demikian juga
disebabkan sejarah Negara Islam pernah tercatat di Indonesia.
Pada awalnya saya tidak begitu tertarik dengan apa yang diperjuangkan oleh orang-
orang Indonesia ini sebab saya adalah warga Malaysia. Sedangkan apa yang saya
inginkan sudah tercapai, berjihad di bumi Afghanistan dan membantu umat Islam.
Saya tidak pernah berniat untuk pergi ke Indonesia, malah ingin tinggal di
Afghanistan lebih lama untuk berkhidmat dan membantu umat Islam Afghanistan,
berkenaan dengan keinginan mati Syahid, hanya Allah SWT saja yang dapat
menentukan. Dan jika berpeluang untuk berkeluarga maka saya akan mencari
pasangan dari gadis Afghan, pada waktu itu. Tetapi oleh karena semua anggota
berada di bawah pengaturan sebuah Jamaah yaitu Jamaah NII maka saya tidak
boleh berbuat sesuka hati, segala hal yang ingin diperbuat haruslah atas
pengetahuan dan izin dari masul setempat.
Sebagai tanda kesetiaan kepada ucapan baiat maka harus mentaati pimpinan
Jamaah NII di mana pun saya berada. Semakin lama bersama dengan orang-orang
NII membuat saya menjadi simpati dengan perjuangan Jamaah NII di Indonesia
tetapi rasa simpati tersebut sebatas ingin mendidik dan melatih anggota Jamaah NII
yang berada di Akademi Milker Mujahidin Afghanistan pada waktu itu. Saya
difahamkan bahwa Jamaah NII sudah pernah memiliki panduan kenegaraan yang
pernah diterapkan semasa pemerintahan. Pada sekitar tahun 1992, Ust. Abdus
Somad pernah datang bersama Pak Harits ke Kamp Towrkham (NII) memberi
penjelasan tentang NII dan memberikan penjelasan tentang buku panduan
kenegaraan NII yaitu yang berjudul 'Pedoman Dharma Bhakti' dan 'Qanun Asasi'.
Beliau menjelaskan bahwa Indonesia adalah tempat pertama yang harus
dimerdekakan dan diperjuangkan, bukan negara Malaysia atau Singapura.
Sejak itu, awal tahun 1993 orang-orang Indonesia yang berada di kamp latihan
Towrkham, baik yang mengikuti program Akademi Militer ataupun kursus singkat
hanyalah terdiri dari orang-orang yang memilih Ust. Abdul Halim selaku pimpinan
mereka yang baru di bawah organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah, baik siswanya
maupun para instrukturnya.
Bab 4
Al-Jama'ah Al-Islamiyah
4.01 Al Jamaah Al Islamiyah 4.02 PUPJI
4.03 Amir dan Majelis-Majelis Pembantu 4.04 Mekanisme Kerja Al-Jamaah Al-
Amir Islamiyah
4.05 Mempersiapkan Kekuatan Personal
AL-JAMAAH AL-ISLAMIYAH dibentuk pada sekitar Januari 1993, ketika itu saya
sedang bertugas sebagai salah seorang instruktur kemiliteran di kamp latihan milik
jamaah NII dari jalur Ust. Abdul Halim di Towrkham Afghanistan. Setelah jamaah
NII infishol (berpecah) maka saya melanjutkan profesi saya di bawah kepimpinan
jamaah yang baru yaitu Al-Jamaah Al-Islamiyah, dan bertugas melatih di tempat
yang sama di Towrkham yang sudah berpindah milik menjadi kamp latihan milik Al-
Jamaah Al-Islamiyah.
Setelah kembali ke Malaysia pada akhir tahun 1993 atau awal tahun 1994, tiada
tugas yang dibebankan kepada saya, hanya sesekali diminta untuk memberi
tausiyah (nasehat) kepada anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah di Johor Bahru
Malaysia.
Pada sekitar bulan September atau Oktober 1994, saya ditugaskan untuk berangkat
ke Mindanao Filipina Selatan bersama 4 orang anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang
lain. Pemberian tugas itu hanya disampaikan oleh Ust. Mustaqim secara lisan sebagai
pesan dari Ust. Zulkarnain kepada saya. Ust. Mustaqim menyampaikan amanat itu
adalah dengan cara memanggil saya sendirian ke rumahnya di sekitar Madrasah
Luqmanul Hakim tanpa disaksikan oleh orang lain, menurut Ust. Mustaqim bahwa
perintah ini juga dari Ust. Abdul Halim. Tujuan berangkat ke Filipina Selatan itu
adalah untuk melatih kemiliteran anggota-anggota Pejuang Bangsa Moro yang
berlokasi di tengah-tengah pulau Mindanao Filipina Selatan.
Dari awal pelaksanaan tugas melatih Pejuang Bangsa Moro sampai kamp latihan
kemiliteran, kamp Hudaybiyah, dapat dibuka pada sekitar bulan Desember 1994.
Sejak itu saya bertugas selaku ketua kamp Hudaybiyah dan instruktur kemiliteran di
kamp Hudaybiyah itu hingga sekitar akhir tahun 1996. (detilnya akan dijelaskan
pada bab Perjalanan ke Mindanao)
Pada awal tahun 1997, setelah kembali dari Mindanao Filipina Selatan, saya bertugas
mengajar bahasa arab di Madrasah Luqmanul Hakim di Johor Bahru Malaysia. Posisi
saya di dalam organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah adalah selaku anggota staf di
Wakalah Usman Bin Affan (disebut juga Wakalah Johor) yang dipimpin oleh Mukhlas
alias Ali Ghufron. Wakalah itu adalah salah satu Wakalah di Mantiqi I dibawah
pimpinan Hambali yaitu yang meliputi Semenanjung Malaysia dan Singapura.
Awalnya Mukhlas mengatakan bahwa dia perlukan seseorang untuk menduduki
posisi sebagai Ketua Kirdas (pleton) yang membawahi 3 Fiah (regu), yang sebelum
ini belum pernah dijabat oleh siapapun. Oleh karena beliau mengetahui pengalaman
saya, maka beliau mengharapkan saya mampu membentuk satu sistem dalam
sebuah Kirdas.
Di Madrasah Lukmanul Hakim ini, masih sekitar tahun 1997, saya kenal Ismail
Datam yang duduk di Muallimin 1 madrasah tersebut. Ismail Datam kemudian saya
ketahui mengaku terlibat bom Hotel JW Marriott di Jakarta pada 5 Agustus 2003
bersama Tohir yang juga pernah mengajar di Madrasah Lukmanul Hakim sekitar
tahun 2000/2001.
Sekitar bulan Agustus 1997, saya dilantik sebagai Ketua Wakalah dibawah Mantiqi
III. Pelantikan saya ditunjuk oleh Mustapha yang datang ke Madrasah Lukmanul
Hakim untuk menemui saya. Kami duduk berdua di masjid di Madrasah Lukmanul
Hakim, beliau memberitahu saya bahwa beliau telah diangkat selaku Ketua Mantiqi
III yang meliputi Sabah Malaysia, Mindanao Filipina, Tarakan, Nunukan Indonesia
dan Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia. Saya percaya dengan apa yang dikatakannya
itu, sebab tidak pernah ada dari anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang berani
mengaku-ngaku punya jabatan dalam jamaah.
Itulah etika yang ada pada anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yaitu saling percaya.
Beliau langsung mengatakan bahwa beliau perlu orang-orang untuk membantunya
dalam melaksanakan tugas selaku Ketua Mantiqi III, yaitu diperlukan seorang ketua
wakalah yang akan ditempatkan di Sabah Malaysia. Beliau mengambil keputusan
memilih saya karena saya telah bernikah dengan orang Sandakan Sabah yang
diperkirakan tidak akan mendapat kesulitan seandainya saya bertempat tinggal di
Sandakan Sabah Malaysia dan ditambah lagi pengalaman saya yang pernah
melewati Tawi-tawi Filipina Selatan untuk menyeberang ke Mindanao Filipina akan
sangat membantu beliau dalam melaksanakan tugasnya.
Saya menerima tawaran beliau itu (tanpa disaksikan oleh orang lain), kemudian ia
mengatakan bahwa pelantikan adalah wewenangnya setelah calon ketua wakalah itu
menyetujui, karena beliau hanya tinggal menginformasikan kepada Amir Jamaah Al-
Jamaah Al-Islamiyah yaitu Ust. Abdul Halim untuk disetujui. Mustapha juga akan
menginformasikan kepada Mukhlas, Ketua Wakalah Usman Bin Affan di Johor Bahru
(Wakalah Johor), karena saya adalah salah satu anggota Mukhlas pada waktu itu.
Sejak itu saya dianggap sah selaku Ketua Wakalah di Sabah walaupun tanpa surat
pelantikan, dan Mustapha menghendaki saya segera berpindah ke Sandakan, Sabah.
Pada 30 Agustus 1997 saya bersama isteri berpindah ke Sandakan, Sabah, Malaysia,
dengan biaya yang diberikan oleh Mustapha.
Sekitar awal atau pertengahan tahun 1998, sebagai Ketua Wakalah Badar (di Sabah)
saya ditugaskan oleh Mustapha untuk mengurus perjalanan para anggota Al-Jamaah
Al-Islamiyah yang akan berangkat berlatih kemiliteran dan berjihad di Filipina
Selatan bersama para Pejuang Bangsa Moro. Segala urusan keluar masuk anggota
Al-Jamaah Al-Islamiyah tersebut dari Indonesia ke Filipina Selatan diatur baik secara
legal ataupun secara ilegal. Sejak itu kegiatan keluar masuk anggota Al-Jamaah Al-
Islamiyah ke (atau dari) Filipina Selatan berjalan lancar hingga akhir tahun 2002.
Perintah untuk mengurus anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah menyeberang ke Filipina
Selatan adalah dari Mustapha karena beliau-lah yang mempunyai wewenang selaku
Ketua Mantiqi Tsalis (III). Begitu juga setelah Mustapha menjabat sebagai Bidang
Diklat di level Markaziyah, beliau juga lah yang menginstruksikan saya untuk
mengurus penyeberangan. Mustapha selalu berjabatan di atas jabatan saya dalam
struktural Al-Jamaah Al-Islamiyah dan saya selalu berposisi bawahannya.
Akhir tahun 1999 atau awal tahun 2000, saya ditugaskan oleh Mustapha (Ketua
Mantiqi III) sebagai salah satu instruktur untuk semester ketiga dari angkatan
pertama program latihan Akademi Militer Al-Jamaah Al-Islamiyah yang bertempat di
kamp Hudaybiyah, dengan jangka waktu selama 6 bulan saja. Sekitar bulan Mei
2000 saya sudah kembali ke Sabah Malaysia. Perencanaan tugas bagi saya untuk
bertugas sebagai salah seorang instruktur di kamp Hudaybiyah pada semester ketiga
dari angkatan I Akademi Milker Al-Jamaah Al-Islamiyah telah saya ketahui di Manado
pada akhir tahun 1999 dimana Mustapha menunjukkkan daftar nama para instruktur
yang direncanakan untuk setiap semester bagi angkatan I Akademi Militer Al-Jamaah
Al-Islamiyah yang telah dipilihnya. Nama-nama tersebut menurut Mustapha sudah
disetujui oleh Amir Jamaah Al-Jamaah Al-Islamiyah yaitu Ust. Abdul Halim. Sekali
lagi saya harus percaya dengan apa yang dikatakan oleh Mustapha yang memang
begitulah kebiasaan yang terjadi harus selalu percaya kepada pimpinan.
Pada sekitar akhir tahun 2000 saya diberitahu oleh Mustapha bahwa ada
kemungkinan saya akan menggantikannya untuk menjabat sebagai Ketua
Mantiqi III. Pergantian itu disebabkan karena beliau memegang dua tugas sebagai
pimpinan yaitu pimpinan Mantiqi III dan pimpinan projek Uhud (program pembinaan
teritorial di Poso) yang dibentuk pada pertengahan tahun 2000. Kesibukan beliau
dalam mengurusi pengiriman anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah ke Poso membuat
beliau tidak bisa memberi perhatian optimal dalam urusan Mantiqi III. Menurut
beliau, saya diusulkannya ke pihak Markaziyah dan Amir Jamaah Al-Jamaah Al-
Islamiyah yaitu Ust. Abdus Somad untuk menggantikannya menjabat Ketua Mantiqi
III. Menurut Mustapha sesuai dengan ketentuan di PUPJI bahwa yang
berwenang untuk melantik Ketua Mantiqi III adalah Amir Al-Jamaah Al-
Islamiyah maka saya harus bertemu dengan Ust. Abdus Somad yang juga dikenal
dengan nama Ust.Abu Bakar Baasyir.
Sekitar bulan April 2001, saya diundang Mustapha untuk datang ke Indonesia yang
menurutnya bahwa saya akan dibawa bertemu dengan Ust. Abdus Somad. Setibanya
saya dan Mustapha di Solo, bertempat di Maahad 'Ali (Gading Solo), Ust. Abdus
Somad sudah berada di salah satu kantor Maahad Ali. Setelah Ust. Abdus Somad
selesai menghadiri acara rapat, saya dipanggil masuk menemuinya lalu diajak
berbicara di kamar yang hanya saya dan Ust. Abdus Somad saja tanpa kehadiran
Mustapha di kamar itu dan tanpa ada yang lain ikut menyaksikan. Ust. Abdus
Somad langsung mengatakan bahwa saya sekarang menggantikan posisi
Mustapha selaku Ketua Mantiqi III. Saya menerima dengan tanpa bantahan
karena sepengetahuan saya sejak wafatnya Ust. Abdul Halim sekitar akhir 1999 Ust.
Abdus Somad adalah Amir Jamaah yang berikutnya yaitu pimpinan paling tertinggi
dalam organisasi yang saya berada di dalamnya yaitu Al-Jamaah Al-Islamiyah. Dan
saya juga mengetahui bahwa orang yang mempunyai wewenang untuk melantik
ketua Mantiqi adalah Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah. Sementara Mustapha berjabatan
sebagai Bidang Diklat di tingkat Markaziyah.
Kemudian sekitar pertengahan tahun 2003 saya berhenti dari aktif bersama Al-
Jamaah Al-Islamiyah karena sebab-sebab tertentu yang timbul dari sikap dan
tindakan sebahagian dari kalangan pemimpin dan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah,
baik menurut hukum manusiawi maupun menurut hukum syar'ie (akan saya jelaskan
pada bab Keluar dari Al-Jamaah Al-Islamiyah), oleh sebab itulah saya tidak setuju
dan tidak mau bergabung lagi di dalam organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah.
Asal usul pemberian nama ini tidak diketahui, sementara saya mengetahuinya dari
anggota senior dalam jamaah ini seperti Ust. Zulkarnain, Ust. Mukhlas, Ust.
Mustapha, Hambali, Ust. Mustaqim, Ust. Afif dan banyak lagi dari pimpinan atasan
saya. Dan, nama Jamaah Islamiyah singkatan dari Al-Jamaah Al-Islamiyah sudah
menjadi buah mulut (pribahasa melayu) di antara sesama anggota jamaah. Menurut
yang difahamkan kepada saya, bahwa jamaah ini sama seperti kelompok atau
organisasi Islam yang lain yang menggunakan nama Islam atau yang identik dengan
Islam. Sebagai contoh nama sebuah kelompok atau organisasi yang memberi nama
dengan nama Partai Islam, tidak berarti selain anggota Partai Islam bukan Muslim.
Begitu juga sebagai contoh yang lain, kelompok bernama Majelis atau Partai
Mujahidin, dengan pemberian nama tersebut bukan berarti mereka adalah mujahidin
dan bukan berarti selain mereka bukan mujahidin. Tetapi nama itu adalah sebagai
pembeda atau sebagai tanda untuk menunjuk wujudnya sebuah kelompok yaitu
gabungan orang-orang tertentu.
Secara lisan (sebutan) memang agak kesulitan untuk menyebut kata Al-Jamaah Al-
Islamiyah secara berulang kali sehingga menjadi kebiasaan bagi anggota Al-Jamaah
Al-Islamiyah untuk memperpendek sebutannya menjadi 'Jamaah Islamiyah' saja
(kebiasaan memendekkan sebutan adalah merupakan bagian dari budaya orang
Indonesia yang suka memperpendek istilah/nama). Kata Al-Jamaah Al-Islamiyah
telah diperpendek secara lisan dan tulisan menjadi dua macam kata yaitu Jamaah
Islamiyah dan JI. Sementara apabila kata 'JM' dan perkataan 'Tanzim' disebutkan di
antara sesama kalangan anggota maka perkataan itu bukanlah singkatan kata
namun adalah sebuah kode rahsia yang bermaksud Al-Jamaah Al-Islamiyah. Ini
adalah dua contoh kode dari sekian banyak kode yang diperlakukan didalam Al-
Jamaah Al-Islamiyah.
Al-Jamaah Al-Islamiyah adalah salah satu dari sekian banyak jamaah atau organisasi
yang ada di dunia sekarang ini. Itulah sebabnya Al-Jamaah Al-Islamiyah mengakui
akan keberadaan jamaah Islam yang lain yang memiliki Aqidah dan tujuan yang
sama biarpun metode yang digunakan berbeda serta di bawah kepimpinan orang
tertentu dan dengan nama yang tersendiri. Pengakuan itu tentunya sepanjang
perjuangan mereka berlandaskan petunjuk Al-Quran dan As-Sunnah sebagaimana
yang difahami oleh Al-Jamaah Al-Islamiyah.
Ada orang yang mengartikan Al-Jamaah Al-Islamiyah dengan arti Umat Islam dan
selanjutnya mengakui bahawa dirinya juga adalah Al-Jamaah Al-Islamiyah. Bagi saya
silahkan saja mengakui demikian karena sah-sah saja bagi sesiapa yang ingin
membuat pengakuan dengan nama tersebut, karena semua umat Islam baik individu
atau organisasi adalah Jamaah Islamiyah. Mereka punya hak untuk membuat
pengakuan itu tetapi belum tentu mereka adalah merupakan bagian dari kelompok
Al-Jamaah Al-Islamiyah, apabila proses untuk menjadi anggota kelompok Al-Jamaah
Al-Islamiyah tidak dilalui dan tidak memenuhi persyaratan, maka seseorang tersebut
belum dikatakan sebagai salah seorang anggota dari jamaah atau kelompok atau
organisasi yang dimaksud dengan nama Al-Jamaah Al-Islamiyah, walaupun dia telah
mengaku-ngaku sebagai anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah.
Sebenarnya tidak semua umat Islam diperlukan menjadi anggota Al-Jamaah Al-
Islamiyah, oleh karena itu tidak semua orang Islam ditawarkan untuk menjadi
anggota meskipun orang Islam tersebut adalah seorang ustaz, kiyai, pendakwah dan
ulama Islam. Tetapi bukan berarti jamaah Al-Jamaah Al-Islamiyah tidak memerlukan
para ustaz, kiyai, pendakwah dan ulama Islam sebagai anggota namun keterlibatan
mereka akan diseleksi dan dipertimbangkan sesuai penempatan fungsi mereka untuk
gerakan dakwah Al-Jamaah Al-Islamiyah.
Maka jika ada orang yang merasa tidak pernah ditawarkan untuk terlibat menjadi
anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah bukan berarti orang tersebut tidak diperlukan atau
tidak diajak untuk beramal saleh. Namun, orang tersebut jika telah akrab dan dekat
dengan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah maka dengan tanpa disadarinya dia telah
masuk ke dalam lingkungan gerakan dakwah Islam Al-Jamaah Al-Islamiyah, yang
berkedudukan sebagai suporter atau simpatisan bagi organisasi Al-Jamaah Al-
Islamiyah. Secara bahasa kasarnya bahwa mereka telah 'dimanfaatkan' atau
'difungsikan' untuk tujuan dakwah Islam Al-Jamaah Al-Islamiyah.
Jamaah Al-Jamaah Al-Islamiyah tidak pernah menjanjikan orang Islam yang telah
menjadi anggota akan masuk syurga. Masuk atau tidaknya seseorang ke dalam
syurga adalah tergantung dari amal pribadinya yang baik dan saleh yang
dilaksanakan sepanjang hidupnya dan diterima oleh Allah SWT, biarpun orang
tersebut bukan dari kalangan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah. Dan, anggota Al-
Jamaah Al-Islamiyah juga dapat masuk ke Neraka Jahanam jika mereka melakukan
dosa dan melanggar larangan Allah SWT. Tetapi apa yang menyedihkan adalah ada
sebagian anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang telah menggunakan ayat-
ayat Al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad SAW untuk mendorong seseorang
untuk siap mengorbankan dirinya menjadi pelaksana bom bunuh diri di
tengah kerumunan orang awam dengan alasan mati syahid dan masuk
syurga.
Sebagian dari umat Islam yang telah menjadi anggora Al-Jamaah Al-Islamiyah
setelah melalui proses pembinaan dan tarbiyah, diharapkan mampu menjadi tulang
punggung untuk menyebarkan dakwah Islam dan melaksanakan misi Islam yaitu
tertegaknya Syariat Islam. Sementara kebanyakan umat Islam yang lain atau
masyarakat awam (non-Muslim) akan di kategorikan dan dikondisikan menjadi umat
pendukung (supporter), umat simpatisan (simpatizer) dan umat netral (tidak
mengganggu atau memusuhi dan tidak berpihak kepada pihak lawan). Sehingga
masyarakat awam yang terdiri atas umat Islam dan umat non-Muslim dapat
berpotensi melancarkan urusan terlaksananya misi Islam yaitu tertegaknya Syariat
Islam yang selanjutnya otomatis menjadi Negara Islam.
Menentukan persyaratan keanggotaan untuk menjadi anggota adalah hal yang wajar
bagi sesebuah institusi atau organisasi. Organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah
menetapkan persyaratan itu adalah untuk mendapatkan personal yang sudah
terseleksi sesuai dengan sifat organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah. Persyaratan-
persyaratan itu sebagai berikut:
Tholabul 'ilmi (menuntut ilmu) yang dimaksud adalah program pendidikan kepada
masyarakat baik Muslim maupun non-Muslim yang dilaksanakan secara bertahap.
Tahapan-tahapan pendidikan tersebut adalah sbb:
Pertama: Tahapan Tabligh. yaitu pendidikan yang diberikan ini bersifat kepada
masyarakat umum tanpa batas jumlah dan tempat seperti sekolah, pesantren,
universitas, masjid, tabligh akbar dan media cetak/elektronik.
Kedua: Tahapan Taklim. yaitu pemberian materi pendidikan dalam bentuk kursus-
kursus yang terbatas jumlah partisipan. Seperti kursus bahasa Arab, Haji dan Umrah
dan lain-lain.
Partisipan yang telah dinilai lulus pada Tahapan Tamhish akan diberi tawaran untuk
bergabung di dalam jamaah (komunitas) tanpa menyebutkan nama jamaah yang
akan dia bergabung. Orang yang akan menilai seseorang itu lulus untuk diberikan
tawaran iltizam (bergabung) adalah pembinanya yaitu ustaz dalam sebuah
pengajian dan biasanya orang-orang yang telah melewati tahapan-tahapan seperti
yang di atas akan menerima tawaran tersebut. Maka mereka akan menjalankan
praktikal berbai'at untuk bergabung sebagaimana prosedur yang telah ditetapkan di
dalam aturan Al-Jamaah Al-Islamiyah.
Orang yang berwenang menerima pengangkatan bai'at adalah Amir Jamaah Al-
Jamaah Al-Islamiyah, dan boleh juga Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah mewakilkan
kepada orang lain untuk menerima baiat seseorang. Dan lafaz bai'at yang menjadi
akad ijab qabul yang diucapkan sebagai persyaratan keanggotaan adalah seperti
berikut (sambil berjabat tangan):
Kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seseorang yang telah diakui sebagai
anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah adalah sebagai berikut:
Untuk mencapai sasaran terbentuknya sebuah Negara Islam atau Daulah Islam yang
menjadi tujuan akhir, maka Al-Jamaah Al-Islamiyah menentukan cara dan langkah
yang harus ditempuh yaitu:
PUPJI
Jamaah Al-Jamaah Al-Islamiyah memiliki sebuah buku panduan organisasi yang
bernama Pedoman Umum Perjuangan Al-Jamaah Al-Islamiyah atau sebutan
pendeknya adalah PUPJI. Buku PUPJI tidak pernah dicetak, tetapi buku PUPJI disusun
dari hasil ketikan yang kemudian diperbanyak dengan cara di-photocopy.
Salinan atau photocopy buku PUPJI (Pedoman Umum Perjuangan Al-Jamaah Al-
Islamiyah) itu bukanlah buku bacaan biasa yang bisa didapatkan di toko-toko, dan
buku PUPJI itu juga bukanlah buku pedoman ritual, PUPJI adalah buku pedoman
yang disusun secara umum dalam rangka memberikan gambaran sistematik gerak
langkah jamaah yang terpadu antara nilai prinsipil (Islam) dan langkah-langkah
kegiatan yang cermat, terarah dan teratur (kutipan dari PUPJI) yang diperuntukkan
bagi organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah.
Buku PUPJI adalah buku pegangan bagi para pengurus organisasi Al-Jamaah Al-
Islamiyah, seperti: Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah, Pelaksana harian Amir, (orang
yang punya wewenang seperti Amir Jamaah), Anggota Markaziy (Majelis Qiyadah
Markaziyah) atau Badan Pekerja Amir, Pimpinan Mantiqiy dan anggota stafnya
(Majelis Qiyadah Mantiqiyah), dan pimpinan Wakalah serta anggota stafnya (Majelis
Qiyadah Wakalah).
Segala langkah pergerakan dalam organisasi di setiap tingkat pengurus harus
disesuaikan dengan ketentuan yang telah ditetapkan di dalam PUPJI, dengan
harapan supaya prinsip dasar pentadbiran jamaah/organisasi menjadi seragam dan
wujud ketertiban yang sempurna. Disamping itu pelaksanaan PUPJI disesuaikan
menurut keadaan setempat dan kebijakan pimpinan setempat karena PUPJI adalah
pedoman yang bersifat garis besar sehingga kesempatan inisiatif diberikan kepada
pengurus di lapangan.
Dan PUPJI berlaku untuk seluruh jajaran pengurus di dalam Al-Jamaah Al-Islamiyah.
Namun pengetahuan tentang PUPJI ini hanya terbatas di tingkat pimpinan atasan
saja, sementara anggota yang lain dituntun dan diberi pengarahan tanpa
mengetahui bahwa tuntunan dan pengarahan itu bersumber dari buku pedoman
gerakan dakwah Al-Jamaah Al-Islamiyah yaitu PUPJI, malah tidak pernah
mengetahui PUPJI. Begitu juga tidak semua anggota organisasi Al-Jamaah Al-
Islamiyah pernah melihat akan bentuk wujud buku PUPJI ini namun ada juga yang
pernah mengetahuinya atau pernah mendengarnya tetapi tidak pernah melihatnya
sama sekali.
Asas, Sasaran dan Jalan Perjuangan yang ditentukan di dalam PUPJI untuk Al-
Jamaah Al-Islamiyah adalah bersumber dari Al-Quran, As-Sunnah dan sejarah Islam
sejak kenabian Nabi Muhammad SAW, dan dapat dirujuk pada sumber yang berasal
dari buku-buku rujukan.
Isi kandungan atau judul yang ada di dalam buku PUPJI adalah sebagai berikut:
Muqoddimah (pembukaan)
Dalam pembukaan kata buku PUPJI, dijelaskan secara ringkas
bahwa ada 3 poin mendasar yang menjadi ketentuan pokok
hidup umat Islam dan juga menjadi dorongan kepada organisasi
Al-Jamaah Al-Islamiyah untuk menyusun buku PUPJI yaitu;
Prinsip Kedua:
Aqidah kita adalah Aqidah Ahli Sunnah wal Jama'ah 'ala Minhajis
Salafis Solih.
Prinsip Ketiga:
Pemahaman kita tentang Islam adalah Syumul, mengikuti
pemahaman As-Salafis Solih.
Prinsip Keempat:
Sasaran perjuangan kita adalah memperhambakan manusia
kepada Allah saja dengan menegakkan kembali Khilafah di Muka
Bumi.
Prinsip Kelima:
Jalan kita adalah Iman, Hijrah dan Jihad Fie-Sabilillah.
Prinsip Keenam:
Bekal kita adalah :
Ilmu dan Takwa.
Yakin dan Tawakkal.
Syukur dan Sabar.
Hidup Zuhud dan mengutamakan Akhirat,
Cinta Jihad Fie-Sabilillah dan Cinta Mati Syahid.
Prinsip Ketujuh:
Wala' kita kepada Allah SWT, Rasulullah SAW dan Orang-orang
yang beriman.
Prinsip Kedelapan:
Musuh kita adalah Syaitan Jin dan Syaitan Manusia.
Prinsip Kesembilan:
Ikatan Jama'ah kita berdasarkan atas kesamaan Tujuan, Aqidah
dan Pemahaman terhadap Ad-Dien (agama).
Prinsip Kesepuluh:
Pengamalan Islam kita adalah secara murni dan kaffah, dengan
sistem Jama'ah, kemudian Daulah, kemudian Khilafah.
Penegakan Daulah
Penegakan Daulah adalah tahapan setelah suatu wilayah dapat
diterapkan atau dilaksanakan Syariat Islam dan proses
selanjutnya membangun administrasi kenegaraan, yang
kemudian melakukan hubungan diplomatis antar negara.
Sebuah Negara yang berlandaskan Syariat Islam otomatis
menjadi sebuah Daulah Islam atau sebuah Negara Islam yang
selanjutnya dapat melangkah untuk menuju pembentukan
sebuah Khilafah.
Penegakan Khilafah
Penegakan Khilafah dibentuk dari gabungan beberapa negara
Islam yang bersatu dan bersepakat di bawah satu kepimpinan.
Maksud dari Khilafah 'ala Minhajin Nubuwah adalah sebuah
gabungan pemerintahan Islam yang melaksanakan Syariat
Islam sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW. Wallahu 'alam.
An-Nidhom Al-Asasi
Artinya adalah Peraturan Dasar/Asas. Peraturan-peraturan itu
disusun dalam rangka membangun kerapian dan ketertiban
dalam berorganisasi. Peraturan ini harus dipatuhi oleh setiap
anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah dengan cara dibimbing oleh
pimpinan atasannya.
Struktur Organisasi
Setelah Al-Jamaah Al-Islamiyah berpisah dari jamaah Negara
Islam Indonesia (Darul Islam), maka Al-Jamaah Al-Islamiyah
telah membentuk suatu sistem administrasi dan struktur
organiasi yang baru. Anggota Al-Jamaah Al-lslamiyah di
kelompok-kelompokkan sesuai dengan wilayah gerakan aktivitas
dan jumlah personal, dan pembagian tugas juga berdasarkan
peran atau tugas yang diberikan.
a. Amir Jamaah
Amir adalah pimpinan tertinggi dalam organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah yang
mengatur gerakan organisasi. Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah yang pertama adalah
Ust. Abdul Halim (atau dikenal di Indonesia dengan nama Ust.Abdullah Sungkar).
Tawaran dari Ust. Zulkarnain untuk membuat pilihan pimpinan sudah pun saya
kisahkan dalam bab Jamaah NII, yang menjadikan saya mengetahui buat pertama
kali bahawa Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah adalah Ust. Abdul Halim. Berikutnya dari
kegiatan organisasi atau Jamaah yang memperlihatkan posisi beliau selaku Amir Al-
Jamaah Al-Islamiyah.
Kemudian setelah Ust. Abdul Halim wafat pada akhir tahun 1999, lalu jabatan selaku
Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah diganti dengan Ust. Abdus Somad (atau dikenal di
Indonesia dengan nama Ust.Abu Bakar Baasyir). Pertama kali saya mengetahui
beliau menjabat selaku Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah adalah dari Hambali yang telah
menyampaikan kepada saya melalui telfon untuk disampaikan kepada anggota Al-
Jamaah Al-Islamiyah yang lain terutama kepada Ketua Mantiqi III yaitu Mustapha
alias Abu Tolut yang pada ketika itu sedang bertugas selaku ketua Kamp Hudaybiyah
di pulau Mindanao Filipina Selatan. Mustapha tidak dapat dihubungi langsung dari
Indonesia sebab keberadaannya di tengah hutan yang tidak terjangkau talian
komunikasi telfon. Sementara saya yang berkedudukan di Sandakan Sabah Malaysia
diberi tugas oleh Ketua Mantiqi III (yaitu Mustapha) sebagai perantara penghubung
antara ketua Mantiqi III dengan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah sesuai
pengarahannya.
Oleh karena itu setelah saya mendapatkan kabar pergantian Amir Al-jamaah Al-
Islamiyah langsung saya sarnpaikan kepada Mustapha. Maka benarlah apa yang
dikatakan oleh Mustapha di persidangan bahawa pengetahuannya pertama kali yang
mengatakan Ust. Abdus Somad adalah Amir Al-Jamaah Al-[slamiyah berasal dari
saya. Berikutnya dari kegiatan keorganisasian Al-Jamaah Al-Islamiyah
memperlihatkan beliau berposisi selaku Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah. Hanya
anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang menjabat selaku pimpinan mengetahui akan
status beliau selaku Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah.
Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah selama melaksanakan tugas sebagai Amir, dibantu oleh
Majelis Syura, Majelis Fatwa, Majelis Hisbah dan Majelis Qiyadah Markaziyah.
Masa jabatan Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah bisa berakhir dikarenakan wafat, udzur
syar'i (spt tua renta, pikun, cacat, gila), diberhentikan oleh Majelis Syura karena
terbukti mengamalkan kekafiran dan masa jabatannya juga bisa berakhir apabila
mendapat tekanan dari luar (luar organisasi) sehingga lemah untuk mengurus
organisasi, seperti ditangkap atau di penjarakan dalam tempoh waktu yang tertentu
atau tidak tertentu. Maka tidak mustahil jika Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah
mengundurkan diri sebagai Amir apabila dia merasakan dirinya mendapatkan
tekanan sehingga tidak mampu lagi mengurus organisasi. Dengan demikian akan
cepat dapat digantikan dengan pemimpin yang lain sebab Al-Jamaah Al-Islamiyah
mengamalkan praktek flexibility sepertimana yang dijelaskan dalam Al-Manhaj Al-
Amaliy Li-Iqomatid Dien.
b. Majelis Syura
Majelis Syura dilantik oleh Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah dan kalangan anggota yang
memiliki kepakaran dan berpendidikan tinggi. Majelis Syura inilah yang menyusun
peraturan dan mengajukan rancangan perubahan Nidhom Asasi. Dan Majelis Syura
juga mengadakan evaluasi secara global tentang kepengurusan organisasi Al-Jamaah
Al-Islamiyah. Majelis Syura juga bertanggungjawab untuk mengangkat dan
memberhentikan Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah. Dalam kondisi yang dianggap darurat
oleh Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah maka Majelis Syura akan dibubarkan, sementara
fungsinya akan diambil alih oleh Majelis Qiyadah Markaziyah.
c. Majelis Fatwa
Majelis Fatwa dilantik oleh Amir Al-Jamaah Al-lslamiyah dari kalangan anggota yang
berpendidikan tinggi tentang agama Islam dan dipastikan berpegang teguh dengan
Al-Quran dan As-Sunnah. Majelis Fatwa berfungsi menguatkan dan meluruskan
keputusan-keputusan Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah. Dalam kondisi yang dianggap
darurat oleh Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah maka Majelis Fatwa akan dibubarkan,
sementara fungsinya akan diambil alih oleh Majelis Qiyadah Markaziyah.
d. Majelis Hisbah
Majelis Hisbah dilantik oleh Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah dari kalangan anggota yang
berfungsi untuk melakukan kontrol tethadap Amir Jamaah dan seluruh anggota Al-
Jamaah Al-Islamiyah dalam hubungan dengan kepengurusan jamaah ataupun amal-
amal pribadi. Majelis Hisbah bisa memberikan usulan hukuman kepada Amir Al-
Jamaah Al-Islamiyah bagi anggota yang didapati telah melakukan pelanggaran.
Dalam kondisi yang dianggap darurat oleh Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah maka
Majelis Hisbah akan dibubarkan, sementara fungsinya akan diambil alih oleh Majelis
Qiyadah Markaziyah.
Pelaksana tugas Amir = Orang yang melaksanakan tugas Amir di ketika Amir
Jamaah ber-halangan. (tugas ini baru di bentuk pada
bulan April 2002).
Aminul Am = Sekretaris
Khozin = Bendahara
f. Mantiqi/Mantiqiyah.
Mantiqi berarti wilayah, yaitu wilayah gerakan dakwah Islam Al-Jamaah Al-
Islamiyah, bukan bermaksud wilayah kekuasaan. Dan Mantiqi adalah pelaksana
keputusan-keputusan yang telah digariskan oleh Markaziyah secara global. Pihak
Mantiqi akan menterjamahkan keputusan-keputusan Markaziy menurut keadaan
setempat di wilayah gerakan Mantiqi tersebut. Terkadang jika administrasi Mantiqi
dalam keadaan lemah maka pihak Markaziy akan membantu untuk merumuskan
teknis pelaksanaannya.
Mantiqi Ula (I) yang dipimpin oleh Hambali. Wilayah gerak kegiatan dakwahnya
pada waktu itu meliputi Malaysia (termasuk Sabah) dan Singapura.
Mantiqi Tsani (II) yang dipimpin oleh Abu Fateh. Wilayah gerak kegiatan dakwah-
nya pada waktu itu meliputi Indonesia, termasuk Kalimantan dan Sulawesi.
Sedangkan kamp latihan Hudaybiyah yang dibangun pada akhir 1994 di Mindanao
berada di bawah kendali langsung Markaziyah Al-Jamaah Al-Islamiyah di bawah
tanggungjawab Ust. Zulkarnain.
Sekitar tahun 1997, terjadi perubahan wilayah gerak dakwah bagi mantiqi yaitu:
Mantiqi Ula (I) yang dipimpin oleh Hambali. Wilayah gerak kegiatan dakwahnya
meliputi Malaysia Barat (Semenanjung) dan Singapura.
Mantiqi Tsani (II) yang dipimpin oleh Abu Fateh. Wilayah gerak kegiatan
dakwahnya meliputi Indonesia, yaitu Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Bali, NTB
dan NTT.
Mantiqi Tsalis (III) yang dipimpin oleh Mustapha bermula pada sekitar 1997.
Wilayah gerak kegiatan dakwahnya meliputi Sabah Malaysia, Kalimantan Timur
Indonesia, Palu Sulawesi Tengah Indonesia dan Mindanao Filipina Selatan (termasuk
Kamp latihan Hudaybiyah).
Daerah Poso, baru dimasukkan ke dalam wiayah Mantiqi Tsalis (III) pada bulan
Oktober 2002, yang sebelumnya kegiatan dakwah di Poso dikendalikan langsung
oleh Markaziyah Al-Jamaah Al-Islamiyah di bawah tanggungjawab Mustapha sejak
tahun 2000.
Mantiqi Ukhro (yang berarti Mantiqi yang lain, belum sempurna), yang dipimpin oleh
Abdurrahim bermula pada akhir tahun 1997. Wilayah gerak dakwahnya meliputi
sebagian dari Australia saja.
Belum pernah ada wilayah dakwah yang dinamakan Mantiqi (IV), seperti yang selalu
menjadi keliru adalah Australia yang dikatakan Mantiqi (IV). Pernah diusulkan oleh
Mustapha untuk mewujudkan wilayah Mantiqi (IV) pada sebuah rapat Markaziyah
yang diadakan pada tanggal 17 Okt 2002 di Tawangmangu Solo. Dalarn kesempatan
itu, Mustapha mengusulkan wilayah gerak dakwah bagi wilayah itu adalah Sulawesi
keseluruhan yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah (termasuk
Poso) dan Sulawesi Utara. Berarti sebagian dari wilayah Mantiqi Tsalis (III) akan
dikurangi. Tetapi usulan itu tidak mendapat dukungan dari hadirin rapat Markaziyah
tersebut.
Mantiqi-mantiqi yang telah dibentuk ini beserta seluruh wilayah gerakan dakwahnya
bukan berarti pembatasan wilayah yang bakal menjadi Negara Islam. Menurut yang
saya fahami bahawa pembagian Mantiqi bukan memberi arti bahwa gabungan
Malaysia, Singapura, Indonesia, Australia, dan Filipina akan dibentuk menjadi sebuah
Negara Islam. Bukan itu yang dimaksudkan dengan pembahagian wilayah Mantiqi
menurut Al-Jamaah Al-lslamiyah, tetapi pembagian ini adalah untuk kelancaran
administrasi dakwah Islam dan pembinaan teritorial. Oleh karena wilayah dakwah
Islam Al-Jamaah Al-lslamiyah tidak terbatas pada satu negara menjadikan
pembagian wilayah gerak dakwah Mantiqi terhasil dari gabungan dua atau tiga
negara. Maka tidak mustahil jika ada pihak yang keliru memahami pembagian
Mantiqi dengan memberi arti bahwa Al-Jamaah Al-lslamiyah ingin membangun
'Negara Islam Nusantara'. Menurut saya sungguh mustahil....Wallahu 'alam.
g. Wakalah
Wakalah berarti perwakilan, yaitu perwakilan bagi pentadbiran Mantiqi di wilayah
gerakan dakwah. Jumlah wakalah di bawah Mantiqi tidak terbatas tetapi di setiap
pembentukan wakalah baru pada sesebuah mantiqi haruslah mendapatkan
persetujuan dari Markaziy. Penentuan nama untuk wakalah adalah pilihan pihak
Mantiqi yang juga harus dipersetujui oleh pihak Markaziy.
h. Saroyah
Saroyah adalah nama bagi sebuah kesatuan seperti Batalion yang terdiri atas tiga
Katibah.
i. Katibah
Katibah adalah nama bagi sebuah kesatuan seperti Kompi yang terdiri atas tiga
Kirdas.
j. Kirdas
Kirdas adalah nama bagi sebuah kesatuan seperti Platon yang terdiri atas tiga Fiah.
k. Fiah
Fiah adalah nama bagi sebuah kesatuan seperti Regu yang terdiri atas enam hingga
sepuluh orang.
l. Toifah
Toifah adalah nama bagi kesatuan/kelompok yang lebih kecil dari Regu, kelompok ini
dibentuk jika diperlukan.
Mekanisme Kerja Al-Jamaah Al-Islamiyah
pada tahun 2003
Masing-masing dari satuan tersebut dipimpin oleh seorang yang dinamakan Qoid
yang berarti komandan atau ketua, dan memiliki beberapa pembantu (staf). Ketua
dan anggota staf-nya disebut sebagai Majelis Qiyadah (MQ) yang berarti satuan
kepimpinan atau Headquarters, kecuali satuan Fiah yang tidak memiliki Majelis
Qiyadah. Tidak semua wakalah memiliki satuan hingga ketingkat Saroyah (Batalion)
atau Katibah (Kompi), tergantung kepada jumlah anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah
yang berada di dalam wakalah tersebut. Ada sebagian wakalah yang memiliki
beberapa fiah saja, dan ada juga wakalah yang memiliki satuan hingga ke tingkat
Kirdas (Pleton).
Masyarakat awam yang belum menjadi anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah akan dibina
dan ditarbiyah melalui kelas-kelas pengajian atau kursus-kursus pendidikan, maahad
dan sekolah yang diatur oleh bidang Dakwah wal Irsyad Wakalah. Tempoh
pembinaan dan tarbiyah sebelum menjadi anggota adalah sekitar setahun hingga
dua tahun, lalu mereka akan diseleksi (Tamhish} dan ditawarkan untuk ikut
bergabung (iltizam) ke dalam Al-Jamaah Al-Islamiyah. Kemudian akhirnya mereka
di bai'at dan mereka akan digabungkan ke Fiah yang ada atau mereka dibentuk
menjadi satu fiah yang baru. Tujuan dibentuknya struktur organisasi Al-Jamaah Al-
Islamiyah seperti struktur kemiliteran adalah: Kegiatan dan gerakan anggota dapat
dikawal dan dapat dikerahkan dengan satu komando. Terbentuknya sistem sel-sel
yang tidak saling kenal. Supaya sikap dengar dan taat (As-Sam'u wat Thoatu) akan
tetap terjaga. Pembinaan anggota Jama'ah dan Pembinaan Teritori (masyarakat
awam Muslim dan non-Muslim) dapat terlaksana dengan baik.
Maka adalah sangat kondusif untuk mencapai hasrat menegakkan Daulah Islam yang
dibantu/ditopang oleh fungsi dari tiga Mantiqi yang lain, dimana secara sumber dana
keuangan bagi Mantiqi Tsani (II) akan dapat dibantu dari pihak Mantiqi Ula dan
Mantiqi Ukhro, sedangkan secara sumber perekrutan dan pengembangan kemiliteran
akan dapat dibantu dari Mantiqi Tsalis (Wilayah Pendukung Askari).
Teori gerakan menegakkan Daulah Islam ini diperkirakan akan berhasil di Indonesia
karena undang-undang dan sistem yang ada di Indonesia dianggap sangat
mendukung. Sebab kebebasan berdakwah di Indonesia dan kebebasan menganut
faham keagamaan dapat memperlancarkan proses perekrutan dan pelaksanaan
program pembinaan teritori. Ditambah lagi peraturan pembangunan tempat
pendidikan yang dianggap longgar memberi peluang untuk membangun tempat
rnelahirkan kader-kader penerus. Begitulah perencanaan dan harapan jamaah Al-
Jamaah Al-Islamiyah, wallahu alam.
Keterangan:
Sumbagut = Sumatera Bagian Utara
Jabotabek = Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi
Jabar = Jawa Barat
Jateng = Jawa Tengah
Jatim = Jawa Timur
Nusra = Nusa Tenggara
1. Wakalah Salat (singkatan dari Sabah, Labuan dan Tarakan) yang kemudian
dinamakan Wakalah Badar.
2. Wakalah Supal (singkatan dari Sulawesi Utara dan Palu) yang kemudian
dinamakan Wakalah Uhud.
3. Wakalah Hudaybiyah (merujuk kepada Kamp Hudaybiyah pusat kegiatan di
wilayah Mindanao).
Mantiqi Tsalis (III) diarahkan supaya mampu menjadi Wilayah Pendukung Askariy
bagi Al-Jamaah Al-Islamiyah. Maksud dari Wilayah Pendukung Askariy adalah
wilayah yang dapat digunakan untuk Diklat Akademi Militer dan Kursus Kemiliteran
jangka waktu pendek, dan juga sebagai wilayah yang mampu menjadi sumber
kekuatan militer.
Pada bulan Oktober 2002, program Uhud yaitu program pembinaan teritorial di
daerah Poso yang ditangani oleh Markaziyah melalui kepimpinan Mustapha
dihentikan. Namun daerah konflik tersebut dimasukkan ke dalam wilayah Mantiqi III
yang kemudian dibentuk menjadi dua wakalah yaitu:
Sejak Oktober 2002, terdapat lima wakalah di bawah Mantiqi Tsalis (III).
Wilayah Sabah Malaysia, Kalimantan Timur Indonesia dan Sulawesi Utara adalah
berfungsi sebagai jalur penyeberangan. Jalur penyeberangan tradisional menjadi
jalur utama yang digunakan, karena orang-orang tempatan/lokal sangat menguasai
jalur ilegal.
Sedangkan wilayah konflik yang terdapat di Mindanao, Filipina dan Sulawesi Tengah
menjadikan wilayah tersebut berpeluang untuk sebagai tempat latihan dan sekalian
terlibat sama dengan konflik setempat. Dan juga wilayah konflik menjadi sumber
perlengkapan kemiliteran yang diperlukan. Filipina adalah sumber utama
perlengkapan kemiliteran karena sepanjang pengalaman di daerah tersebut begitu
mudah untuk mendapatkan peralatan, amonisi, senjata dan bahan peledak serta
detonatornya, asalkan punya uang yang mencukupi sesuai kesepakatan dengan
penjual dari penduduk lokal. Apalagi penyeberangan di perbatasan antar dua negara
yaitu Indonesia dan Filipina masih relatif aman untuk dilewati secara ilegal.
Mempersiapkan Kekuatan Personal
Perekrutan
Penambahan jumlah anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah bukan hanya ditugaskan
kepada para pendakwah yang diatur di bawah bidang Dakwah wal Irsyad, tetapi
pembinaan personal yang solid dari sudut pemahaman agama dan aqidah dimulai
sejak umur remaja atau umur anak-anak, yaitu melalui maahad-maahad, madrasah
dan pondok pesantren yang diatur di bawah bidang Tarbiyah Rosmiyah (pendidikan)
Markaziyah. Para lulusan dari pondok-pondok pesantren ini akan diajak atau
ditawarkan untuk bergabung di dalam Al-Jamaah Al-Islamiyah dan di-bai'at.
Kemudian bagi yang sudah bergabung akan diberi tugas untuk berdakwah dan tugas
mengajar di pondok-pondok, dan ada juga di antara mereka yang akan diseleksi dari
lulusan yang terbaik untuk dikirim melanjutkan pelajaran keluar negeri yaitu ke
universitas Islam, atau di antara mereka dikirim untuk mengikuti program Diklat
Akademi Milker.
Selain siswa dan pelajar di Pondok Pesantren, para anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah
yang lain diarahkan agar tetap menjaga kesungguhan menuntut pengetahuan
agama, di mana sebelum bergabung ke dalam jamaah, mereka telah diberikan
pengetahuan agama yang patut/harus diketahui dan difahami melalui kelas-kelas
pengajian dan kursus-kursus, ini adalah karena kekuatan pengetahuan agama amat
ditekankan. Begitu juga pengetahuan militer secara teori diatur di bawah program
Tajnid (bidang kemiliteran) tingkat wakalah atau Mantiqi, sebab peluang untuk
berlatih keluar negeri adalah sangat terbatas, maka program Tajnid (kemiliteran)
dilaksanakan di wakalah masing-masing agar anggota yang terpilih dan layak saja
yang boleh memiliki pengetahuan kemiliteran, semua itu dilaksanakan sebatas
kemampuan fasilitas, ruang, tenaga pangajar dan dukungan situasi.
Pada November 1994, Al-Jamaah Al-Islamiyah membuka kem latihan yang diberi
nama kamp Hudaybiyah. Kamp latihan Hudaybiyah berlokasi di Barera Mindanao
selatan Filipina, yang dikuasai oleh Pejuang Bangsa Moro. Mulai sekitar pertengahan
tahun 1997 sudah ada pengiriman personal untuk berlatih kemiliteran di kamp
Hudaybiyah yaitu dari anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah di Mantiqi Ula (I). Lalu pada
sekitar akhir tahun 1998 dimulailah program latihan Diklat AKADEMI MILITER Al-
Jamaah Al-Islamiyah di Kamp Hudaybiyah dan program latihan jangka waktu pendek
atau kursus kemiliteran (Daurah Asasiyah Askariyah) yang kebanyakannya adalah
anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah kiriman dari Mantiqi Tsani (II).
Pada sekitar tahun 1999 anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah dikirim ke Ambon ketika
sedang hangatnya konflik bersenjata yang diyakini pada waktu itu adalah akibat
konflik antara suku beragama. Tujuan keberangkatan ke Ambon adalah untuk
membantu dan membela nasib masyarakat Islam yang menurut informasi yang
beredar di masyarakat bahwa warga Muslim dizalimi dan dibunuh tanpa hak oleh
pihak warga kristen.
Dan sekitar tahun 1999/2000 konflik bersenjata antar suku beragama juga terjadi di
Poso, yang menurut informasi yang beredar pada waktu itu bahwa konflik tersebut
bermula dari pembantaian terhadap masyarakat Muslim yang dilakukan oleh
masyarakat Kristen. Maka sebuah program pengiriman anggota Al-Jamaah Al-
Islamiyah disusun dan diberi nama "Program Uhud" bermula sekitar tahun 2000
yang bertujuan membantu warga Muslim di Poso membangun sikap
mempertahankan diri dari serangan warga kristen dan disamping itu juga
membangun pendidikan Islam dan menyebarkan para pendakwah Islam di kalangan
masyarakat Muslim Poso. Program Uhud ini dipimpin oleh Mustapha sebagai bagian
dari program pembinaan teritorial Al-Jamaah Al-Islamiyah. Tetapi kemudian program
ini dihentikan pada sekitar bulan Oktober 2002.
Para partisipan yang dikirim berlatih ke tempat konflik akan menghabiskan waktunya
dengan mengikuti latihan di dalam kem latihan daripada mengikuti orang tempatan
(seperti orang Afghan dan Bangsa Moro) untuk pergi ikut serta berperan di dalam
jihad atau peperangan, karena waktu yang tersedia untuk berada di tempat latihan
adalah sangat terbatas kecuali jika daerah tempat latihan tersebut mendapat
tekanan dari pihak musuh dan memerlukan tenaga tambahan untuk
mempertahankan wilayah tersebut. Paling tidak, para partisipan/peserta latihan akan
mendapatkan jatah untuk "Ribath" yang artinya berjaga-jaga di perbatasan, untuk
jangka waktu tiga hari atau seminggu sebelum diberangkatkan pulang.
Bagi para partisipan, para senior dan para instruktur yang mernang punya jatah
waktu untuk tinggal lebih lama, maka mereka inilah yang lebih berpeluang untuk
terlibat langsung berperan dalam kontak senjata antara pihak mujahidin dengan
pihak lawannya (pasukan tentara pihak pemerintah).
I. Afghanistan
Untuk strategis jangka panjang dan untuk melabirkan calon-calon pemimpin yang
berkualitas dalam organisasi maka Al-Jamaah Al-Islamiyah membuat pendidikan
kemiliteran pada awal tahun 1993 di Towrkham Afghanistan. Program pendidikan
adalah program Pendidikan dan Latihan Akademi Militer (DikLat AKMIL) tersebut
adalah lanjutan dari kegiatan sebelumnya yang pernah diwujudkan atau diupayakan
oleh Ust. Abdul Halim bagi pihak jamaah NII.
Setelah lulus dari pendidikan Akademi Militer, para lulusan AKMIL tersebut yang
terseleksi diperintahkan untuk bertugas dan memperdalam pengetahuan tambahan,
yang antara lain adalah:
-Mengikuti latihan intensif sebagai juru dakwah di Kamp Latihan Arab, atau di
maahad yang dimiliki oleh orang Arab di kota Peshawar Pakistan, seperti Maahad
Salman dan Universitas Dakwah wal Jihad.
-Dan kursus lainnya yang diatur oleh pimpinan Al-Jamaah Al-Islamiyah di
Afghanistan yang berposisi di Peshawar Pakistan.
II. Mindanao, Filipina Selatan
Setelah pendidikan kemiliteran di Towrkham Afghanistan sudah tidak dapat
dilanjutkan lagi gara-gara serangan yang dilancarkan oleh Pejuang Taliban dan
banyak perlengkapan yang dirampas, maka Al-Jamaah Al-Islamiyah sudah tidak
memiliki tempat latihan kemiliteran.
Pada sekitar bulan Oktober 1994, beberapa tenaga instruktur dari anggota Al-
Jamaah Al-Islamiyah dikirim untuk membantu perjuangan para Pejuang Bangsa
Moro di Mindanao Filipina, yaitu dengan cara memberikan pelatihan kemiliteran.
Pada sekitar akhir tahun 1998, program pendidikan dan pelatihan Akademi Militer
(selama 18 bulan setiap angkatan) itu dilaksanakan di Kamp Hudaybiyah tersebut.
Tujuan diadakan pelatihan tersebut adalah untuk mencipta para pemimpin yang
akan melanjutkan perjuangan Al-Jamaah Al-Islamiyah.
Akademi Militer ini milik organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah yang seratus persen
diurus sendiri oleh anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah hanya saja perlengkapan belajar
mengajarnya tidak selengkap sebagaimana yang pernah dimiliki di Afghanistan,
namun bentuk administrasinya hampir mirip dengan Akademi Militer Mujahidin
Afghanistan. Proses penseleksian calon kadetnya dilakukan dengan harus memenuhi
kualifikasi yang telah ditentukan, karena pengalaman pengiriman siswa ke Akademi
Militer Mujahidin Afghanistan yang dahulu menjadi pelajaran supaya tidak terulang
mengirim siswa yang tidak memenuhi persyaratan pelatihan dan tujuan yang
dikehendaki.
Para lulusan Akademi Militer itu (bujang, rata-rata berumur sekitar 21 hingga 24
tahun) diberi tugas antara lain:
Penetapan area/wilayah garap sebagai Qoidah Aminah sering menjadi tanda tanya
dan tebakan dari kalangan para anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah. Pernah didengar
bahawa lokasi Qoidah Aminah adalah di Malaysia Barat (Semenanjung) sebab kedua
pimpinan tertinggi Al-Jamaah Al-Islamiyah berada disitu yaitu Ust. Abdul Halim dan
Ust. Abdus Somad. Pernah juga diusulkan oleh salah seorang pimpinan agar Qoidah
Aminah itu di wilayah yang dikuasai oleh Pejuang Bangsa Moro di Mindanao Filipina,
tetapi usulan ini tidak ditanggapi. Sebagian besar anggota dan para senior
menginginkan agar Qoidah Aminah itu berada di Indonesia. Sebab anggota Al-
Jamaah Al-Islamiyah yang terbanyak adalah di Indonesia yaitu di Mantiqi Tsani (II),
bersesuaian dengan fungsi strategis wilayah Mantiqi Tsani (II) yaitu Wilayah Garap
Utama. []
Bab 5
Perjalanan ke Mindanao
Pertama kali mendengar perjuangan Bangsa Moro didapatkan dari berita surat kabar
lokal Malaysia sekitar tahun 80-an ketika saya masih di bangku sekolah menengah di
Malaysia, tetapi berita tentang perjuangan Bangsa Moro tidaklah sepopuler berita
tentang perjuangan Mujahidin Afghanistan. Sehingga kurang menarik perhatian saya,
sedangkan berita tentang Afghanistan sangat mendominasi seluruh berita tentang
tempat-tempat konflik yang ada pada waktu itu.
Untuk membela nasib kaum Muslimin yang dizalimi dan timbul rasa tidak percaya serta
tidak aman berada di bawah pemerintahan Republik Filipina maka umat Islam di Filipina
Selatan bangkit menuntut hak mereka untuk merdeka, pisah dari pemerintahan Republik
Filipina. Dukungan dari luar negeri Filipina (Internasional) sangat diutamakan dan
didahulukan sebagai langkah pertama dalam strategis pihak Pejuang Bangsa Moro
daripada tergesa-gesa berusaha untuk menegakkan sebuah negara yang terpisah dari
Republik Filipina. Hal tersebut telah pun mereka laksanakan seperti negara Malaysia
sekitar tahun 1969 sehingga sekitar tahun 1975 yang pertama kali memberikan
dukungan dan bantuan membela nasib umat Islam di Filipina Selatan, kemudian
berikutnya adalah dukungan negara Libya sekitar 1972, yaitu kesan dari pendekatan
yang dilakukan oleh para pelajar Muslim yang mendapatkan pendidikan Islam di luar
negeri.
Pada asalnya perjuangan Bangsa Moro di bawah satu
organisasi yaitu Moro National Liberation Front
(MNLF) di bawah pimpinan Prof. Nur Misuari tetapi
kemudian sekitar tahun 1984 berpecah dan terbentuk
satu organisasi baru dari MNLF yaitu Moro Islamic
Liberation Front (MILF) di bawah pimpinan Ust. Salamat
Hashim yang mayoritas dari Bangsa Moro suku
Maguindanaon, Maranao dan Iranon. Kemudian berpecah
dari MNLF lagi menjadi sebuah kelompok baru yaitu Abu Sayyaf Group (ASG) yang
terdiri dari Bangsa Moro suku Taosug dan Yakan (Basilan) di bawah pimpinan Ust. Abdur
Rozak Janjalani. Sekian tahun perjuangan Pejuang Bangsa Moro telah menghasilkan
berbagai usaha dan kesepakatan dengan pemerintahan
Republik Filipina untuk mencari jalan penyelesaian
masalah mereka.
Menurut yang pernah difahamkan kepada saya bahawa Sabah menjadi bagian dari
Malaysia adalah hasil kesepakatan antara
Sultan Kerajaan Kesultanan Sulu dengan
pemerintah Inggris yang menjajah
Malaysia, sebuah kesepakatan yang tiada
batas waktu. Menurut Bangsa Moro suku
Taosug mengatakan asal usul nama
Sandakan (nama sebuah kota di Sabah
Malaysia Timur) diberi karena tanah itu
telah di 'gadai'. Sandak dalam bahasa
Suluk (Taosug) berarti gadai, maka
Sandakan berarti digadaikan.
Selain mereka itu semua mengetahui dari pengakuan orang-orang NII berasal dari
Filipina. Untuk tujuan apa berselindung di balik nama Mujahidin Filipina tidak diketahui
dengan pasti, dan mengapa pimpinan Pejuang Bangsa Moro membenarkan orang-orang
NII menggunakan nama mereka juga tidak diketahui sebab urusan itu adalah urusan
tingkat pimpinan tertinggi.
Perintah verbal sudah mencukupi bagi anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah tanpa diperlukan
pembuktian, sebab semua itu dilandaskan kepada budaya saling percaya. Dengan
perasaan yang senang menerima tugas tersebut sekaligus menambah pengalaman saya
dalam berjihad di suasana yang baru, sebabnya geografis Filipina berbeda dengan
geografis Afghanistan. Dan saya juga gembira dapat membantu umat Islam Bangsa
Moro yang menurut berita dizalimi dan memperjuangkan hak mereka yang dirampas.
Pada waktu itu saya berada di Johor Bahru Malaysia dan diinformasikan bahwa
keberangkatan nanti akan bersama beberapa orang yang dipimpin oleh Mustapha yaitu
pada sekitar bulan September atau Oktober tahun 1994. Menurut Ust. Mustaqim bahwa
saya harus belajar empat bahasa percakapan untuk perjalanan ke Cotabato ke tempat
Pejuang Bangsa Moro di Pulau Mindanao Filipina Selatan, yaitu:
Namun kemudian setelah terjadinya Infisol (pisah) pada awal tahun 1993 antara pihak
Ust. Abdul Halim dari pimpinan Jamaah NII menyebabkan tiga orang dari lima orang
yang berada di Filipina Selatan mengundurkan diri pulang ke Indonesia yaitu mereka
yang berpihak kepada Ust. Abdul Halim, mereka adalah Hambali, Fahim dan Nasrullah.
Orang yang mengajarkan saya keempat-empat bahasa tersebut adalah Nasrullah yang
mempunyai pengalaman bahasa dengan fasih, dan sekalian memberikan pengarahan
sebagai bekal perjalanan yang akan ditempuh nanti.
Di Sandakan Sabah, Mustapha bersama anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang lain sudah
menunggu kedatangan saya, mereka adalah Nasrullah, Qotadah, Ukasyah dan Husain,
kesemuanya adalah warga Indonesia. Menurut Mustapha bahawa kami semua yaitu
keenam-enam anggota ini akan berangkat ke Cotabato Mindanao Filipina Selatan
bertujuan melatih Pejuang Bangsa Moro yang dikabarkan telah siap menunggu untuk di
latih.
Pada asalnya semua akan berangkat melalui jalur tidak rasmi (ilegal) melalui Kepulauan
Tawi-Tawi dengan bantuan Nasrullah selaku penunjuk jalan yang sudah berpengalaman
melewati jalur ilegal dan tinggal bersama Pejuang Bangsa Moro, tetapi setelah
semalaman berbincang tentang teknis keberangkatan maka Mustapha memutuskan
untuk membagi rombongan kepada dua kelompok, dimana Mustapha dan Nasrullah
berangkat secara rasmi menggunakan pasport ke Filipina Selatan dengan menggunakan
pesawat terbang dari Bandara kota Kota Kinabalu Sabah menuju Manila ibukota Filipina
yang kemudian melanjutkan penerbangan ke kota Cotabato Mindanao Filipina Selatan.
Sementara saya, Qotadah, Ukasyah dan Husain berangkat melalui Kepulauan Tawi-Tawi
secara ilegal. Rencana berubah karena Mustapha mengatakan bahwa dia harus menaiki
pesawat agar kepulangannya ke Indonesia berjalan dengan lancar dan jikapun
diperlukan untuk diperpanjang maka dia akan meminta bantuan pihak pejuang Bangsa
Moro untuk memperpanjangkan visa arrival-nya nanti.
Perjalanan kami berempat secara ilegal dengan menggunakan kapal dagang tradisional
rasmi milik warga Kepulauan Tawi Tawi yang biasanya mengangkut barang-barang
dagangan dari Sabah Malaysia menuju ke Bongao di Kepulauan Tawi-Tawi Filipina.
Nasrullah yang mempunyai pengalaman jalur ilegal dan fasih berbahasa lokal
seharusnya menjadi penunjuk jalan bagi rombongan kami untuk melewati jalur laut yang
ilegal, tetapi dia malah dibawa menemani satu orang menaiki pesawat, sungguh sebuah
kebijakan pimpinan yang harus diterima. Selama perjalanan kami semua mengaku
sebagai tenaga kerja Filipina yang ingin pulang ke kampung halaman, dan saya sebagai
jurubicara di sepanjang perjalanan karena saya telah mempelajari empat bahasa
percakapan setempat. Terasa agak kesulitan karena tidak
didampingi Nasrullah (penunjuk jalan) seperti yang
direncanakan, namun rasa gembira mendapatkan tugas
membantu Pejuang Bangsa Moro menghilangkan segala
macam rasa kesulitan.
Setelah pertemuan, kami langsung berbincang membicarakan tentang situasi yang ada,
hasil keputusan yang dibuat oleh Mustapha adalah beliau pulang kembali ke Indonesia
bersama Nasrullah dengan menggunakan pesawat karena dikhawatirkan Visa arrival-nya
yang 21 hari itu tidak dapat diperpanjang. Saya berfikir kenapakah tidak dibuang saja
paspor itu, bukankah tujuan asal adalah untuk melatih bukan untuk bersiar-siar naik
pesawat terbang? Pastinya kegiatan melatih diperlukan masa yang cukup lama bukan
hanya sehari dua saja. Tetapi oleh karena saya adalah anggota biasa dan Mustapha
adalah orang yang membuat keputusan maka saya hanya bersikap menerima saja.
Keputusan Mustapha mengundang ketidakpuasan dari Husain dan Ukasyah, dimana
Husain juga ingin pulang seandainya Mustapha dan Nasrullah pulang. Husain pulang
melalui jalur yang sama ketika berangkat yaitu melalui Kepulauan Tawi-Tawi, sedangkan
Ukasyah menuntut untuk berada di Mindanao Filipina Selatan hanya sebulan saja dan
pulang melalui jalur ilegal di Kepulauan Tawi-Tawi.
Tinggallah saya dan Qotadah yang masih tetap bersyukur dapat berada di tanah air
Bangsa Moro setelah sekian lama berhasrat untuk membantu umat Islam yang menurut
kabar yang tersebar dizalimi di Pulau Mindanao Filipina. Mustapha menunjuk saya
sebagai pimpinan di antara kami berdua (saya dan Qotadah) dan beliau hanya
meninggalkan bekal pesan lisan untuk kami berdua yaitu supaya harus bertahan hidup
dengan keadaan sekeliling sebagaimana Hambali dan Nasrullah yang pernah bertempat
tinggal di situ dahulu. Alhamdulillah berbekalkan pesan tersebut kami pegang
sehinggalah kami dapat melatih orang-orang pilihan dari Pejuang Bangsa Moro dengan
bantuan material dari pihak Pejuang Bangsa Moro. Qotadah kemudian memperkenalkan
dirinya bernama Baasyir kepada Pejuang Bangsa Moro, sejak itu beliau lebih dikenal
dengan nama Baasyir di kalangan Pejuang Bangsa Moro.
Hubungan antara Al-Jamaah Al-Islamiyah dengan Pejuang Bangsa Moro dijalin atas
dasar kepercayaan tanpa dokumen tertulis, sehingga terjadi saling mengunjungi dan
saling bertukar fasilitas pelatihan. Aset yang ditukarkan kepada Pejuang Bangsa Moro
adalah pengetahuan dan pelatihan kemiliteran kepada anggota Pejuang Bangsa Moro.
Pada bulan pertama ketibaan sempat dijalankan program pelatihan singkat untuk
anggota Pejuang Bangsa Moro selama dua gelombang dalam waktu satu bulan, setiap
satu gelombang berjumlah sekitar 20 orang, tetapi lokasi tempat latihan yang disediakan
oleh pihak setempat adalah berada di tengah-tengah perkampungan simpatisan Pejuang
Bangsa Moro, sehingga menimbulkan gangguan kepada penduduk. Dan begitu juga
kehadiran penduduk kampung yang menyaksikan pelatihan juga mengganggu
kelancaran proses belajar mengajar. Lalu setelah mempertimbangkan akan keefektifan
belajar mengajar maka saya usulkan kepada pimpinan tertinggi Pejuang Bangsa Moro
untuk berpindah lokasi.
Saya memandang bahwa tempat latihan yang sesuai adalah salah satu fasilitas yang
harus disediakan dalam pelatihan maka saya mengambil keputusan bahwa apa yang
saya lakukan tidak menyalahi misi untuk melatih Pejuang Bangsa Moro, dan malah saya
menganggap membuka Kamp latihan yang baru adalah bagian dari latihan kemiliteran
yang tidak kurang pentingnya. Saya berfaham bahwa kamp latihan tidak harus lengkap
dengan fasilitas, tetapi bagaimana fungsinya sebagai sebuah tempat latihan dapat
diwujudkan. Mungkin pihak Pejuang Bangsa Moro tidak mempersiapkan tempat sebelum
kedatangan tim instruktur (dari anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah) karena mereka belum
memahami selera dan bentuk tempat latihan yang dikehendaki oleh para instruktur.
Sekitar bulan Desember 1994, bermodalkan pengetahuan yang ada maka saya dan
Baasyir (alias Qotadah) memohon izin dari pimpinan tertinggi Pejuang Bangsa Moro
untuk berjalan melihat disekeliling hutan yang dikuasai oleh Pejuang Bangsa Moro.
Dengan ditemani oleh seorang penunjuk jalan kami bertiga mendaki gunung dan
meredah ke dalam hutan yang pada dasarnya mencari lokasi yang sesuai dengan
kualifikasi yang dikehendaki, sempat kami tersesat di dalam hutan walaupun didampingi
penunjuk jalan. Antara lain kualifikasi yang diperlukan adalah:
berdekatan dengan sungai yang banyak air dan mudah pengambilan airnya,
berlokasi di tempat tinggi dan dingin, supaya stamina lebih terjaga,
harus area yang agak datar atau memungkinkan untuk didatarkan dengan alat yang
dipegang tangan,
Berjauhan dari penduduk dan pasar.
dan betjauhan dari jalan umum.
Terjangkau sinyal komunikasi wireless Handy Talky dengan pihak Pejuang Bangsa
Moro.
Akhirnya sebuah tempat di tengah hutan yang kemudian dipilih sebagai tempat latihan.
Lokasi tersebut berada di titik ketinggian sekitar 950m dari paras permukaan laut dan di
area perhutanan perbatasan antara propinsi Lanao, propinsi Maguindanaon dan propinsi
Cotabato Utara. Berdekatan sumber mata air dingin yang deras muncul dari celah batu-
batu besar dan berdekatan dengan air terjun setinggi sekitar 30 meter.
Bentuk geografis area dimana Kamp latihan berada telah menjadi tantangan latihan bagi
para siswa yang mengikuti pelatihan di kamp Hudaybiyah. Jarak perjalanan berjalan kaki
mendaki wilayah perhutanan melalui jalan setapak dari rumah warga terakhir di
perkampungan Pejuang Bangsa Moro menuju Kamp Hudaybiyah memakan masa satu
setengah jam (1 jam hingga 2 jam) waktu normal, dan pastinya pakaian orang yang
datang ke Kamp Hudaybiyah akan basah dengan keringat yang banyak.
Area hutan dibuka dan dibersihkan oleh siswa dari anggota Pejuang Bangsa Moro, yang
sudah bersedia untuk berlatih sambil bekerja. Saya membangkitkan semangat untuk
bekerja membabat hutan karena tempat tersebut akan digunakan untuk jangka waktu
yang lama. Waktu kerja adalah dua kali sehari yaitu pagi hari setelah olahraga dan sore
setelah solat Asar. Berbekalkan kapak dan parang sedikit demi sedikit area Kamp latihan
dibuka. Oleh karena Kamp latihan ini dibangun bukan atas perencanaan dari pihak Al-
Jamaah Al-Islamiyah maka persediaan makanan hanya berupa beras yang disediakan
oleh pihak Pejuang Bangsa Moro untuk jatah perorang dua kali sehari. Setiap 3 hari
sekali para siswa yang berlatih turun mengambil jatah logistik berupa beras, kegiatan
tersebut sekaligus latihan naik turun gunung, begitu juga kegiatan bersih membersih
serta membabat hutan dijadikan sebagai latihan fisik dan mental.
Kamp latihan itu saya dan Baasyir sepakat untuk menamakannya dengan nama Kamp
Hudaybiyah, dan kami yakin punya wewenang untuk memberikan nama sebab kami
berdua yang membukanya. Hudaybiyah adalah nama sebuah perjanjian pada zaman
Nabi Muhammad SAW yang disebut juga sebagai sebuah Ghozwah (peperangan). Sesuai
dengan cara perjuangan Pejuang Bangsa Moro yang selalu membuat ikatan perjanjian
damai dengan pemerintah Republik Filipina.
Mustapha (alias Abu Tolut) tidak mengetahui siapa yang pertama kali memberikan nama
Kamp latihan tersebut sebab beliau sudah pulang ke Indonesia dan tidak pernah melatih
anggota Pejuang Bangsa Moro, terlebih lagi ketika kedatangannya pada pertama kali itu
tidak pernah merencanakan untuk membuka Kamp latihan sebab itu bukan misi yang
dibawanya. Misi yang dibawa Mustapha pada awal pemberangkatan tim instruktur pada
akhir tahun 1994 termasuk saya bersamanya adalah untuk melatih Pejuang Bangsa
Moro tetapi misi tersebut gagal dilaksanakan Mustapha alias Abu Tolut.
Saya difahamkan oleh pimpinan tertinggi Pejuang Bangsa Moro bahwa di wilayah itu bagi
siapa saja yang telah membuka lahan baru di hutan yang belum pernah dibuka oleh
orang lain maka tanah itu adalah miliknya, dalam arti kata lain saya dan Baasyir
memahami bahwa Kamp Hudaybiyah yang telah dibuka oleh kami berdua adalah milik
Al-Jamaah Al-Islamiyah sebab kami adalah anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah dan
kedatangan kami ke Mindanao Filipina Selatan adalah penugasan dari organisasi Al-
Jamaah Al-Islamiyah. Terlebih lagi ketika kehadiran Ust. Zulkarnain dari pihak
Markaziyah Al-Jamaah Al-Islamiyah yang mendukung dan memberikan dana
pembangunan dua buah barak untuk Kamp Hudaybiyah ketika beliau datang melawat
dan melihat perkembangan kegiatan kami bersama Pejuang Bangsa Moro. Begitu juga
pihak Pejuang Bangsa Moro tidak pernah mengungkit serta mempersoalkan kepemilikan
Kamp latihan Hudaybiyah dan mereka selalu menghormati batas wilayah kamp latihan
Hudaybiyah yang memiliki aturan-aturan bagi tetamu yang datang.
Kegiatan melatih anggota Pejuang Bangsa Moro di Kamp Hudaybiyah bermula dari
sekitar pertengahan bulan Desember 1994 dengan jumlah siswa sebanyak 60 orang.
Kemudian berlanjut hingga sekitar akhir tahun 1996 atau pertengahan tahun 1997
dengan setiap kelompok berjumlah sekitar 40-60 orang untuk selama dua bulan. Sekitar
dua minggu hingga satu bulan harus vacum latihan sebab menunggu kedatangan
anggota Pejuang Bangsa Moro yang baru yang akan dilatih. Bahasa yang digunakan
untuk melatih dan mengajar adalah bahasa Inggeris dan bahasa Arab, lalu kemudian
diterjemahkan oleh kelompok belajar anggota Pejuang Bangsa Moro karena kebanyakan
mereka tidak memahami bahasa Inggeris atau Arab.
Tetapi dalam kesempatan hidup bersama dengan para siswa dari Bangsa Moro, sedikit
demi sedikit bahasa lokal (Maguindanaon) dan bahasa nasional (Tagalog) dapat dikuasai
dengan lancar. Sehingga pada kelompok belajar berikutnya pengarahan dan komunikasi
dengan siswa menggunakan bahasa lokal, walaupun pada saat di kelas bahasa tetap
menggunakan bahasa Inggeris atau Arab terutamanya tulisan, yang diterjemahkan oleh
salah seorang siswa yang punya kemampuan bahasa supaya tidak terjadi
kesalahfahaman dalam menerima dan memberi pelajaran.
Anggota Pejuang Bangsa Moro yang berlatih di kamp Hudaybiyah menyebutkan diri
mereka yang mengikuti program latihan di kamp itu dengan sebutan 'Elite Force'.
Sebutan nama itu adalah dikarenakan tidak semua anggota Pejuang Bangsa Moro dapat
mengikuti pelatihan di Kamp Hudaybiyah, karena mereka diseleksi terlebih dulu sebelum
berangkat ke Kamp Hudaybiyah. Ditambah lagi instruktur yang mengajar mereka adalah
orang asing (Indonesia) lulusan Akademi Militer Mujahidin Afghanistan. Peraturan yang
ketat dikenakan keatas Pejuang Bangsa Moro yang berlatih di Kamp Hudaybiyah
sehingga ada sebagian dari partisipan yang di Drop Out (DO) karena tidak berdisiplin
dan melanggar aturan di Kamp Hudaybiyah.
Pada pertengahan tahun 1995, Ust. Zulkarnain datang melihat perkembangan kegiatan
saya dan Baasyir bersama Pejuang Bangsa Moro dan berikutnya setelah saya keluhkan
kekurangan tenaga pengajar, beliau mulai mengirim anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah
yang ditugaskan sebagai instruktur tambahan untuk membantu kegiatan belajar
mengajar (melatih) Pejuang Bangsa Moro di Kamp Hudaybiyah. Di antara mereka yang
dikirim oleh Ust. Zulkarnain secara berkala dari pertengahan tahun 1995 hingga akhir
1996 adalah:
Faturrahman Al-Ghozi pertama kali masuk ke Mindanao Filipina Selatan pada akhir tahun
1996, melalui jalur Manado ke Pulau Sangihe. Atas perintah Ust. Zulkarnain saya
menjemput Faturrahman Al-Ghozi dengan menggunakan 'pumpboat' istilah orang Filipina
dari General Santos secara ilegal merentasi laut Sulawesi menuju Pulau Sangihe.
Pumpboat itu hanya muat 4 atau 5 orang saja dan perjalanan mengambil masa satu
malam (sekitar 20 jam) untuk tiba di Pulau Sangihe. Sedangkan Faturrahman Al-Ghozi
dihantar oleh Usaid alm yang dikenal juga dengan nama Zainal dari Manado ke Pulau
Sangihe (Sulawesi Utara) untuk bertemu dengan saya.
Pada sekitar akhir tahun 1996, saya diperintahkan pulang oleh Ust. Zulkarnain ke
Malaysia dan pengganti saya yang memimpin Kamp Hudaybiyah adalah Baasyir yang
akan melanjutkan pelatihan melatih anggota Pejuang Bangsa Moro. Menurut Ust.
Zulkarnain yang saya temui di Malaysia mengatakan bahwa masa tugas saya di
Mindanao bersama Pejuang Bangsa Moro sudah selesai. Keputusan yang diberikan
kepada saya tersebut dengan demikian memberikan peluang untuk menamatkan masa
bujang saya. Pada bulan April 1997 saya menikah di Sandakan, Sabah, Malaysia.
1. Hudzaifah (Semester II dan III, angkatan II Akmil): awal 2002 - akhir 2002.
2. Muadz (Semester I - II - III, angkatan III Akmil): awal 2003 - (tidak ada khabar)
Antara sekitar akhir tahun 1996 dan tahun 1997 (saya sudah tidak bertugas di Kamp
Hudaybiyah), saya mengetahui bahwa ada anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah dari Mantiqi
I mulai dikirim untuk berlatih di Kamp Hudaybiyah dan berjihad membantu Pejuang
Bangsa Moro, namun jumlah anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang dikirim hanya sekitar
3-6 orang di setiap angkatan untuk jangka waktu latihan yang sangat pendek yaitu
sekitar dua minggu sampai sebulan. Imam Samudra juga pernah ke Kamp Hudaybiyah
selama seminggu yaitu sekitar akhir tahun 1997, kebetulan saya yang menunjukkan
jalan kepadanya atas permintaan Hambali. Lalu dari Sandakan Sabah Malaysia, Imam
Samudra berangkat ke Filipina dengan cara rasmi menggunakan pasport. Sedangkan
Amran, Muslim, Ali Fauzi, Noordin M.Top dan Azahari juga adalah di antara anggota Al-
Jamaah Al-Islamiyah di Mantiqi Ula (I) yang dikirim Hambali ke Kamp Hudaybiyah untuk
mendapatkan latihan kemiliteran kursus singkat pada akhir tahun 1997 yang dilatih oleh
Abu Saad yang juga dikenal sebagai Faturrahman Al-Ghozi (alm).
Sekitar tahun 1997, Pejuang Bangsa Moro di Barera Cotabato kedatangan tetamu dari
orang-orang Arab berjumlah sekitar 15 orang yang dipimpin oleh Umar Al-Faruq dengan
maksud ingin membantu dan sekaligus membuka tempat latihan bagi orang-orang Arab.
Pejuang Bangsa Moro meminta bantuan instruktur dari Kamp Hudaybiyah untuk melatih
orang-orang Arab tersebut. Faturrahman Al-Ghozi adalah orang yang ditugaskan oleh
pihak Kamp Hudaybiyah untuk melatih orang-orang Arab tersebut di kawasan yang
dinamakan Kamp Vietnam (bekas tempat latihan Pejuang Bangsa Moro) yang
berdekatan dengan kamp Hudaybiyah, sekitar 30 menit waktu yang ditempuh dengan
berjalan kaki. Namun kamp latihan orang Arab itu (di kamp Vietnam) hanya bertahan
sekitar 2 atau 3 bulan saja sebab orang Arab kecewa dengan cara perjuangan Pejuang
Bangsa Moro yang dianggap suka berunding dengan pemerintah Filipina. Mereka datang
ke Filipina dengan harapan mendapatkan suasana yang sama seperti Afghanistan yang
senantiasa ada pertempuran.
Setelah dibentuknya kepimpinan Mantiqi III pada pertengahan tahun 1997 yang diketuai
oleh Mustapha maka barulah pembaharuan bentuk kegiatan latihan di Kamp Hudaybiyah
dilakukan dengan tidak lagi melatih anggota Pejuang Bangsa Moro. Kebijakan itu
diputuskan oleh Ketua Mantiqi III pada tahun 1998 karena adanya rencana program
yang baru dari Markaziyah Al-Jamaah Al-Islamiyah yaitu program Diklat Akademi Militer
selama 3 semester dan Kursus Asas Kemiliteran yaitu program latihan kemiliteran untuk
jangka waktu pendek selama 2 minggu, 1 bulan, 2 bulan, 4 bulan dan 6 bulan. Kursus
Asas Kemiliteran ini pernah diberi nama dengan istilah "Takhasus" pada akhir tahun
1998 ketika Ust. Mustaqim menjabat ketua Kamp Hudaybiyah yang menggunakan nama
Ust.Muslih Ahmad, kemudian berganti nama dengan istilah "Tajnid 'Am" pada
pertengahan tahun 1999 ketika Ust. Mukhlas menjabat ketua Kamp Hudaybiyah yang
menggunakan nama Ust. Faris dan terakhir berganti nama dengan istilah "DAA" yaitu
"Daurah Asasiyah Askariyah" yang berarti Kursus Asas Kemiliteran, istilah ini bermula
pada akhir tahun 1999 ketika Mustapha yang menggunakan nama Hafid Ibrahim
menjabat selaku ketua Kamp Hudaybiyah merangkap ketua Mantiqi Tsalis (III).
Kamp Hudaybiyah telah berubah dengan bertambah fungsinya, kamp latihan tersebut
menjadi semakin sibuk dengan berbagai macam bentuk kelompok training dan kegiatan.
Namun program utama yang menjadi tumpuan dan perhatian pendidikan adalah Diklat
Akademi Militer, dimana pembangunan barak diperbanyak, fasilitas belajar mengajar
ditingkatkan dan bentuk landskap pertamanan (landscaping) diperindah sehingga
terwujud suasana sebuah Akademi Militer, sampai-sampai pintu gerbang masuk ke
Kamp Hudaybiyah bertuliskan "Military Academy of Al-Jamaah Al-Islamiyah" dan di
bawah tulisan itu terdapat khat Arab yang berbunyi "Kuliah Harbiyah A.l-]amaah Al-
Islamiyah". Kuliah Harbiyah berarti Akademi Militer adalah istilah yang dipakai oleh
orang Arab ketika menyebutkan nama Akademi Militer Mujahidin Afghanistan di Sadda.
Di dalam laporan tulisan terkadang disebutkan KHD-1 yang berarti Kuliah Harbiyah
Dauroh-1 (Akademi Militer angkatan pertama).
Begitu juga sistem pentadbiran (administrasi) Kamp Hudaybiyah diatur sedemikian rupa
sehingga dapat menyerupai dengan sistem pentadbiran di Akademi Militer Mujahidin
Afghanistan di Sadda Pakistan. Baik program harian jadwal 24 jam, administrasi,
kedisplinan, sistem pendidikan, materi pelajaran hinggalah pakaian berseragam.
Seragam lengkap yang dipakai adalah pakaian seragam milik ABRI (Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia) yang dibeli di Indonesia atau dibeli di General Santos Filipina buatan
Indonesia, dari baret hingga sepatu lars.
Berbagai fasilitas belajar mengajar yang disediakan oleh kamp Hudaybiyah setelah
terlaksana program Diklat Akademi Militer Al-Jamaah Al-Islamiyah, seperti mesin
generator untuk penerangan di malam hari dan keperluan listrik bagi alat-alat listrik
seperti komputer, televisi, video player, tape player, alat komunikasi dan lain-lain
peralatan listrik yang diperlukan untuk kegiatan pelatihan. Peralatan pembangunan juga
dilengkapi di kamp Hudaybiyah seperti mesin gergaji (chainsaw) dan alat-alat
pertukangan.
Partisipan Akademi Militer Al-Jamaah Al-Islamiyah yang disebut juga dengan istilah KHD
(Kuliah Harbiyah Daurah) di Kamp Hudaybiyah secara berurutan adalah berjumlah
sebagai berikut: (nama yang tertera adalah nama yang dipakai di Kamp Hudaybiyah
Mindanao Filipina, bukan nama asal mereka).
Partisipan Kursus Singkat Kemiliteran Al-Jamaah Al-Islamiyah yang disebut juga dengan
istilah DAA (Daurah Asasiyah Askariyah) di Kamp Hudaybiyah dibagi menjadi beberapa
kelompok sebagai berikut: DAA Yarmuk, nama bagi kelompok training yang dikirim oleh
Mantiqi Tsani (II). Sejak awal tahun 1999 sudah dimulakan program DAA Yarmuk I dan
selanjutnya berkesinambungan hingga DAA Yarmuk IV. Setiap angkatan berjumlah
sekitar 15 hingga 20 orang. Di antara mereka yang mengikuti program DAA Yarmuk
antara lain adalah:
DAA Hithin, nama bagi kelompok training yang dikirim oleh Mantiqi Ula (I)
Hithin II: 5 orang, pendidikan selama 2 bulan bermula tanggal 20 April 1999
hingga 13 Juni 1999 (4 Muharram 1420-29 Safar 1420).
01. Amir
02. Harits
03. Rofi
04. Salim
05. Suhail
Hithin III dan IV: + 1,5 bulan bermula 12 Juni 1999 hingga 22 Juli 1999 (28
Safar 1420-11 KAkhir 1420).
01. Abu Ayub
02. Hatib
03. Khallad
04. MuBaasyir
05. Tamim
06. Ubaid
07. Unais
01. Atho
02. Hasan Basri
03. Ibnu Musayyab
04. Nafi
05. Thowus.
06. Abdurrahman dan Abul Khair, Arab Al-Jazaer. Pelatihan selama 2 minggu bermula 14
November 1999 hingga 28 November 1999 (6 Syaban-20 Syaban 1420).
07. Isa Al-Hindi, keturunan India warga Inggris. Pelatihan selama 2 minggu bermula
sekitar awal bulan Oktober 1999 (Akhir Jumadil Akhirah 1420).
08. Ali, anggota Mantiqi Ukhro warga Australia. Pelatihan selama 1 bulan setengah
bermula tanggal 4 Desember 1999 hingga 21 Januari 2000 (27 Syaban - 15 Syawal
1420).
Latihan gabungan di lapangan juga dilaksanakan bagi semua kelompok pelatihan yang
terdiri atas AKMIL, DAA Yarmuk, DAA Hithin, dan beberapa orang Arab yang ada pada
waktu itu berjalan serentak. Jumlah penghuni kamp Hudaybiyah waktu itu seluruhnya
mencapai sekitar 80 orang.
Acara wisuda itu juga dihadiri oleh 64 orang para tetamu yang terdiri atas kalangan
pimpinan Pejuang Bangsa Moro, orang-orang Indonesia dari kelompok NII dari kamp
latihan Ash-Syabab dan kelompok Wahdah Islamiyah (Sulawesi) dari kamp latihan Al-
Fatah, kedua-duanya berada di sekitar wilayah Pejuang Bangsa Moro tidak jauh dari
kamp Hudaybiyah yaitu sekitar 1,5 jam perjalanan kaki.
Karena lupa saya sempat keliru dalam memberikan tanggal wisuda yaitu pada akhir
Maret atau awal bulan April 2000, tetapi setelah meneliti dan mengkaji buku laporan
semester III Akademi Militer Al-Jamaah Al-Islamiyah Angkatan I, barulah saya
mendapati tanggalnya yang sebenar yaitu 28 February 2000 sesuai jadwal pendidikan
yang dipersiapkan. Buku laporan Diklat di kamp Hudaybiyah dibuat setiap semester, oleh
instruktur yang bertugas seperti sepengetahuan saya untuk semester II angkatan I
disusun oleh Ust. Humam alias. M. Qital yang disetujui oleh Mukhlas alias Ali Ghufron.
Sementara buku laporan untuk semester III angkatan I disusun oleh Ust. Abu Ahmad
abas Ziyad yang disetujui oleh Mustapha alias Abu Tolut.
Pada awal tahun 2001, Kamp latihan milik Al-Jamaah Al-Islamiyah di Mindanao Filipina
Selatan terjadi perpindahan, sebabnya Kamp Hudaybiyah sudah tidak lagi kondusif
untuk dilaksanakan kegiatan pelatihan. Itu adalah akibat dari penyerangan besar-
besaran Operasi "All-Out War" yang dilancarkan oleh pihak Tentara Filipina (AFP) pada
sekitar bulan Juli 2000 hingga akhir tahun 2000 terhadap semua wilayah yang dikuasai
oleh Pejuang Bangsa Moro terutamanya di wilayah Maguindanao dan Lanao del Norte.
Operasi Militer "All Out War" itu diperintahkan oleh Presiden Filipina Joseph Ekstrada
yang membuat posisi pertahanan Pejuang Bangsa Moro mundur hingga ke area
berdekatan dengan Kamp Hudaybiyah. Situasi semakin berbahaya seandainya Kamp
Hudaybiyah tidak mengambil tindakan berpindah tempat karena pihak Tentara Filipina
(AFP) sudah semakin mendekat.
Lokasi baru ditemukan oleh anggota staf Kamp Hudaybiyah di dalam area perhutanan
dan pegunungan di tengah-tengah Pulau Mindanao. Kamp latihan tersebut masih di
dalam wilayah Pejuang Bangsa Moro, lokasinya berada di ketinggian sekitar 1500m dari
paras permukaan laut. Kegiatan program Diklat Akademi Militer Al-Jamaah Al-Islamiyah
dan Kursus Asas Kemiliteran (Daurah Asasiyah Askariyah) dilanjutkan di Kamp latihan
yang baru itu, yaitu yang diberi nama Kamp Jabal Quba.
Sementara saya dan Baasyir pernah mengikuti perlawanan yang terjadi antara Pejuang
Bangsa Moro dengan pasukan militer Filipina (AFP) sekitar tahun 1995 di wilayah Sultan
Sa Barongis dan Pagalungan. Begitu juga sekitar tahun 1996 di sekitar Buldon Propinsi
Maguindanaon.
Pengerahan paling banyak penghuni Kamp Hudaybiyah adalah ketika ikut terlibat dalam
konsentrasi mempertahankan wilayah Pejuang Bangsa Moro dari serangan 'Operasi All-
Out War' yang dilancarkan oleh tentara Filipina (AFP) pada sekitar bulan Juli 2000.
Pengalaman membela nasib Bangsa Moro bersama Pejuang Bangsa Moro memberikan
semangat juang yang baru bagi anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah beserta kelompok
orang-orang Indonesia yang lain.
Tidak sering terjadi pertempuran di bumi Bangsa Moro yaitu Mindanao. Selalunya
Pejuang Bangsa Moro akan membalas serangan setiap kali pasukan tentara Filipina
(AFP) melakukan penyerangan atau memasuki wilayah yang dikuasai oleh Pejuang
Bangsa Moro. Pejuang Bangsa Moro lebih mendahulukan perundingan damai bagi
menyelesaikan masalah daripada mengarnbil sikap bertempur. []
Bab 6
Boleh Berbohong
Sebenarnya tak seorang pun anggota yang mau mengaku sebagai anggota dari
organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah. Ini karena prinsip asas yang menjadi pegangan
organisasi, yaitu organisasi bergerak dalam keadaan rahasia, yang diberikan istilah
Tanzim Sirri (Organisasi Rahasia).
Terlebih lagi sekarang ini, apabila di antara anggota dari organisasi Al-Jamaah Al-
Islamiyah ternyata ada yang terlibat dalam aksi-aksi kekerasan atau terorisme. Dan,
ada juga di antara anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang punya hubungan dengan
kelompok Al-Qaedah pimpinan Usamah Bin Laden. Operasi penangkapan telah
dilancarkan di berbagai negara sebelum dan setelah PBB memasukkan nama Jamaah
Islamiyah ke dalam daftar kelompok teroris. Akibat dari operasi di negara-negara
tersebut, sesuai dengan undang-undang yang berlaku, penangkapan demi
penangkapan dilakukan terhadap orang yang dicurigai sebagai anggota Al-Jamaah
Al-Islamiyah atau orang yang telah melakukan tindak pidana terorisme (istilah
hukum Indonesia).
Tidak ada yang dapat memberi kesadaran kepada mereka yang memberikan
perlindungan kecuali jika target penyerangan dan target pemboman mengenai
keluarga mereka (anak isteri dan keluarga terdekat). Hanya itu yang dapat memberi
kesadaran dan membangkitkan semangat kepada mereka untuk menyerahkan para
pelaku pemboman kepada aparat penegak hukum.
Apakah orang-orang yang melindungi pelaku pemboman itu tidak mengetahui bahwa
orang yang dilindunginya itu adalah orang yang berbuat kerusakan di muka bumi?
Pelaku bom di tempat awam tersebut tidak layak untuk diberikan perlindungan
walaupun di rumahnya sendiri karena pelaku bom yang berbuat kerusakan di muka
bumi dibenci oleh Allah SWT sampai-sampai Allah SWT memberinya syariat
hukuman di dunia dengan hukuman yang menghinakan dan di Akhirat diberikan
siksaan yang besar sebagaimana termaktub dalam Al-Quran surah Al-Maidah
ayat 33;
Artinya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah
dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau
dibuang dart negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang
besar. (Al-Maidah: 33)
Di dalam tafsir Ibnu Katsir juga memberikan penjelasan yang kurang lebih sama
mengenai tafsiran ayat 33 surah Al-Maidah tersebut.
Ada juga anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang terlibat dengan aksi kekerasan
berbentuk operasi pemboman, pembunuhan atau perampokan. Namun mereka
semua tidak mau mengaku sebagai anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah walaupun
teman-teman mereka membenarkan bahwa mereka (para pelaku) adalah anggota
Al-Jamaah Al-Islamiyah. Alasan mereka berbohong adalah karena ingin
menyelamatkan organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah dari tuduhan terlibat dengan
aksi-aksi kekerasan tersebut seperti aksi pemboman, sebagaimana prinsip dasar dari
Al-Jamaah Al-Islamiyah yaitu Tanzim Sirri.
Mereka sebenarnya bukan hanya berbohong kepada polisi, bukan kepada jaksa dan
juga bukan kepada hakim, tetapi mereka berbohong kepada umat Islam. Umat Islam
disesatkan dengan semua kebohongan tersebut, mereka berlindung di balik
kebohongannya karena tidak berani bertanggungjawab dengan apa yang
diperjuangkan. Berjuang membela Islam dengan kebohongan itulah kenyataan yang
diperlihatkan mereka. Apakah mereka tidak ingat dengan ancaman Rasulullah SAW
terhadap orang yang berbohong? Sampai-sampai Rasulullah SAW tidak mengakui
sebagai umatnya jika berbohong. Sebagaimana dalam sebuah hadis Nabi
Muhammad SAW:
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a., bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: arang siapa
yang mengarahkan senjata (mengancam/menyerang) kepada kami, maka ia bukan
termasuk golongan kami. Dan barangsiapa yang menipu kami, maka ia bukan
tertnasuk golongan kami. Hadis riwayat Muslim: 146)
Hal yang sama terjadi di pengadilan sidang untuk kasus-kasus terorisme di mana
para anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah akan tidak ragu-ragu berbohong untuk
menyangkal dan menolak segala tuduhan, termasuk menyangkal mengenali
seseorang atau mengenali terdakwa dan memutarbalikkan serta menyesatkan
keterangan. Dasar mereka untuk berbohong adalah karena melaksanakan kuwajiban
yang dibebankan pada anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah, yaitu wajib saling membela
dan melindungi sesama, dan wajib membela dan melindungi Amir Jamaah.
Buku Imam Samudra itu dibaca oleh banyak orang, dan membuat mereka
terpengaruh. Saya akan berusaha menjelaskan kedudukan perkara yang sebenarnya
berlaku walaupun saya pernah dianggap dan digembar-gemborkan sebagai seorang
pembohong. Strategi yang dilaksanakan terhadap saya dari pihak pengacara
(lawyer) dan salah satu ormas Islam di Indonesia adalah berupa pembentukan opini
publik, sehingga terkesan bahwa pembohong yang sebenarnya adalah saya. Silahkan
saja dan lakukan apa saja yang diinginkan mereka, karena itu adalah hak mereka
untuk percaya dan tidak percaya, tetapi saya punya hak juga untuk menyampaikan
suara saya kepada masyarakat. Dan saya yakin dengan Allah SWT yang senantiasa
akan membuktikan yang Hak adalah Hak dan yang Batil adalah Batil.
Artinya: Dan katakanlah: Beramal-lah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-
Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (At-Taubah: 105)
Seperti buku tulisan Irfan Awwas Pengadilan
Teroris yang dengan lihai menulis tuduhan bohong
terhadap orang-orang yang menjelaskan tentang
keberadaan Al-Jamaah Al-Islamiyah yang
menurutnya, mereka memberikan kesaksian palsu
di depan publik. Padahal, Irfan Awwas tidak pernah
bertabayyun kepada orang-orang tersebut, dan
dia juga mengetahui kakaknya yaitu Mohamad Iqbal
yang lebih dikenali dengan nama Ust. Abu Jibril
adalah anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah. Ust. Abu
Jibril adalah anggota wakalah Selangor bagi Mantiqi Ula (Semenanjung Malaysia dan
Singapura), dia juga bertempat tinggal di kalangan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah
yang lain di Jalan Manggis Banting Selangor bersebelahan dengan rumah Ust. Abu
Bakar Baasyir, Imam Samudra, Hambali dan beberapa anggota Al-Jamaah Al-
Islamiyah yang lain. Pernyataan Irfan Awwas di buku tersebut seolah-olah berusaha
untuk menyesatkan umat.
Begitu juga ketua DPP FPI Hilmy Bakar Almascaty yang menulis sebuah artikel
tuduhan bohong terhadap saya yang kemudian diterima oleh koran harian Republika
dan dimuat pada hari Selasa, 04 Mei 2004. Hilmy Bakar tak menyadari akibat dari
tulisan tersebut yang berlanjut dengan dialog di kantor GATRA Jakarta telah
membuka ketidaktahuannya akan permasalahan yang sebenar. Malah dia sendiri
berbohong memperkenalkan diri kepada orang-orang Malaysia pada awal tahun 1985
itu dengan menggunakan nama Haikal (nama ini tidak disangkal oleh Hilmy ketika
dialog di kantor Majalah Gatra, Jakarta), dan dia juga berbohong tentang tujuan
kedatangannya ke Malaysia pada waktu itu. Padahal dia adalah pelarian yang
melarikan seorang terpidana Ust. Abu Bakar Baasyir masuk secara ilegal ke Malaysia
(pengakuannya sendiri di kantor GATRA pada tanggal 25 Mei 2004).
Astaghfirullah......bohong dilegalkan dengan sewenang-wenang! Apakah harus
berbohong dalam berdakwah dan mencari pengikut?
Begitu juga skenario yang dibuat oleh para penasihat hukum Pengacara Muslim
dengan menghadirkan saksi yang sudah pernah diperiksa untuk diperiksa ulang
bersamaan dengan waktu giliran saya memberikan kesaksian pada salah satu
persidangan seorang tokoh. Di mana fungsi Mustapha yang dikenali dengan nama
Abu Tolut hanya hadir duduk untuk menyangkal semua yang saya ucapkan dengan
berkata iya dan tidak tanpa ada penjelasan lanjutan, kebalikan dari apa yang
saya katakan, seperti robot yang sudah disetel dengan jawaban dari pertanyaan
yang seolah-olah sudah dikemas oleh penasihat hukum Pengacara Muslim?
Saya sangat terkesan dengan sikap agresif dan ekstrim para penasihat hukum
Pengacara Muslim yang hadir di gedung Pertanian Jakarta, pada saat sidang Ust. Abu
Bakar Baasyir sikap belasan orang tersebut seolah-olah ingin menutupi 'orang
mereka' yang berbohong dengan tergesa-gesa menuding saksi berbohong dan
mengondisikan bentuk pertanyaan dan jawaban sehingga terbentuk opini bahwa
saksi yang diperiksa berbuat kebohongan. Seperti pertanyaan pengacara Apakah
Kamp Hudaybiyah di Moro? Saya menjawab Tidak. Langsung saya dituding
berbohong tanpa memberi saya kesempatan untuk menjelaskan perbedaan antara
Moro dan Mindanao. Dengan cepat pengacara Ust. Abu Bakar Baasyir meneriaki
Anda bohong dan berbolak balik dalam menjawab!
Moro adalah nama suku sedangkan Mindanao adalah nama tempat, yaitu salah satu
pulau di Filipina Selatan, lokasi Kamp Hudaybiyah berada. Salahkah saya menjawab
Kamp Hudaybiyah bukan di Moro? Bagaimana mungkin kamp Hudaybiyah di sebuah
nama suku yaitu Moro? Sebagai contoh pertanyaan, Apakah Bandung di Sunda?
Sudah pasti pembaca akan menjawab tidak kecuali pengacara pembela Ust. Abu
Bakar Baasyir yang kemungkinan akan menjawab ya. Bukankah Bandung berlokasi
di Jawa Barat, Indonesia?
Sangat lihai sekali para penasihat hukum Pengacara Muslim menjalankan karirnya
dan memimpin keributan dalam ruang sidang bersama para hadirin yang bagaikan
'penonton pesanan'. Saya kagum dan terkesan sehingga banyak sekali pelajaran
yang dapat diambil dari pengalaman di ruang sidang tersebut.
Saya memahami aturan syariat Islam dalam memberikan kesaksian harus jujur,
karena Rasulullah SAW pernah mengatakan bahwa kesaksian palsu adalah termasuk
dosa besar.
Hadis riwayat Abdurrahman bin Abu Bakrah ra., ia berkata: Kami sedang
berada di dekat Rasulullah SAW ketika beliau bersabda: Tidak inginkah kalian ku
beritahu tentang dosa-dosa besar yang paling besar? (beliau mengulangi pertanyaan
itu tiga kali) yaitu; menyekutukan Allah, mendurhakai kedua orang tua dan
persaksian palsu. Semula Rasulullah SAW bersandar, lalu duduk. Beliau terus
mengulangi sabdanya itu, sehingga kami membatin: Mudah-mudahan beliau diam.
(Hadis Sohih Bukhari dan Muslim).
Hadis riwayat Anas ra.: Dari Nabi SAW tentang dosa-dosa besar, beliau
bersabda: "Menyekutukan Allah, mendurhakai kedua orang tua, membunuh
manusia dan persaksian palsu." (Hadis Sohih Bukhari dan Muslim)
Syukur Alhamdulillah dan Allah yang Maha Mengetahui segalanya. Memang benar
apa yang digembar-gemborkan Imam Samudra dalam bukunya Aku Melawan Teroris
bahwa sekarang sudah mendekati hari kiamat dengan berbagai tanda-tandanya.
Tetapi jangan lupa bahwa salah satu pertanda hari kiamat juga adalah orang yang
berbohong akan dianggap benar oleh orang banyak sedangkan orang yang berkata
benar akan dianggap berbohong, persis sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi
Muhammad SAW.
Saya teringat akan nasihat pada salah satu ceramah Ust. Abdul Halim alm. pernah
berpesan, Musibah yang paling besar adalah apabila seseorang sudah sampai
kepada suatu Maqam (level/posisi), di mana setiap yang diucapkannya dibenarkan
orang. (walaupun yang dikatakan itu adalah bohong). Ucapan dan nasihat ini sangat
terkesan bagi saya sehingga itu selalu menjadi rambu-rambu dalam hidup saya,
dengan berharap tidak termasuk di antara orang yang berada di level tersebut.
Mengenai kisah kecil Imam Samudra, pada awalnya saya tidak menghiraukan kisah
pacarannya dengan ketua OSIS di sekolahnya sejak sekolah dasar (SD) sehinggalah
kemudian menjadi ratu istana dunianya. Hanya saya menjadi bertanya-tanya,
apakah kisah pacarannya itu benar dengan sebenar-benarnya setelah saya membaca
kisah perjalanannya ke Afghanistan lalu mendapati banyak penyelewengan,
kebohongan, dan diada-adakan? Saya kemudian menjadi ragu kemungkinan kisah
pacarannya itu juga diberikan bumbu-bumbu penyedap sehingga terkesan sebuah
novel.
Saya menolak dan tidak setuju jika seandainya ada orang yang berfikiran atau
berpendapat bahwa seandainya ada kekeliruan pada Imam Samudra dalam
menceritakan kisah hidupnya itu adalah karena dia lupa. Bagaimana kita bisa lupa
akan suatu tempat yang kita pernah tinggal di situ untuk sekian tahun? Bagaimana
Imam Samudra bisa mengingat kisah pacaran masa kecilnya dengan sedetil-detilnya
sementara lupa dengan kisah perjalanan jihadnya di Afghanistan yang dianggap
paling istimewa dalam hidupnya?
Menurut saya kita bisa saja terlupa nama seseorang atau nama tempat atau
kemungkinan kita tidak mengingat secara keseluruhan perjalanan apabila kita
mengalaminya dalam waktu yang relatif singkat. Tetapi apabila kita punya niat
dengan sengaja ingin menyelewengkan atau mengelirukan maka kita akan
menggantikannya dengan nama orang lain atau nama tempat lain yang menurut
kebanyakan orang pasti tidak mengerti kecuali orang tertentu saja yang diperkirakan
tidak mungkin protes.
Kekhawatiran saya terbukti setelah saya diberi kesempatan untuk mewawancara dan
berdiskusi dengan sebagian orang yang menjadi tersangka kasus pemboman dan
aksi kekerasan yang lain. Sebagian besar dari mereka tidak memahami fikih jihad
dan malah baru mendengar istilah fikih Jihad, padahal mereka melakukan aksi
pemboman karena ingin berjihad. Dan, di antara mereka ada yang tidak memahami
Islam dengan baik. Sifat taklid buta menjadi penyakit yang menghinggapi sebagian
besar aktivis Muslim sekarang ini sehingga di bodoh-bodohkan oleh aktivis Muslim
lain yang mengikuti hawa nafsu.
Dengan semangat yang berkobar-kobar ingin berjihad melawan orang kafir, bagi
mereka sudah mencukupi syarat untuk melakukan jihad tanpa perlu pengetahuan
atau mengkaji dan mempelajari fikih jihad atau membaca pendapat ulama-ulama
Islam tentang amal yang mulia itu. Bahkan perkara yang lebih menyedihkan lagi
apabila saya mengetahui orang yang dipegang kata-katanya dan diikuti, yaitu
Noordin M.Top, orang yang hanya membaca satu dua buku yang sudah
diterjemahkan oleh orang lain, kemudian malah mencela dan melecehkan ulama-
ulama Islam yang menurut mereka tidak mau berjihad.
Orang yang suka bertaklid buta seperti inilah yang sangat mudah dimanfaatkan
untuk menjadi pelaku bom bunuh diri yang bersedia menewaskan dirinya di tengah-
tengah kerumunan orang awam tanpa mempedulikan hak manusia. Mereka tidak
peduli untuk menambah pengetahuan pada diri mereka, karena bagi mereka yang
penting adalah beramal dengan menyediakan diri untuk siap mati. Beginilah yang
dialami oleh Heri Gulun menurut cerita empat orang temannya yang tertangkap di
Luewiliang, Bogor. Pengalaman yang sama juga dilakukan oleh Asmar Latin Sani
pelaku Bom Hotel JW Marriott Jakarta. Demikian juga Isa dan Iqbal di Bom Bali.
Mereka adalah orang-orang yang tidak banyak ngomong, tidak suka membantah,
orang yang bersifat mentaati (nurut), pendiam dan juga kurang pendidikan.
Saya tidak dapat mengingkari takdir ajal yang sudah ditentukan oleh Allah SWT,
tetapi saya sangat mengasihani kepada orang Islam atau aktivis Muslim yang hanya
dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu yang menuruti hawa nafsu seperti Imam
Samudra, Nordin M. Top, Azahari dan kawan-kawan yang sefaham dengannya, baik
yang sedang diistirahatkan maupun yang masih mempunyai niat membangun
perencanaan baru.
Bab 7
Kebohongan Imam Samudra
Saya merasa perlu membuat sedikit kritikan terhadap apa yang telah dikisahkan
oleh Imam Samudra di dalam bukunya Aku Melawan Teroris. Hal ini karena ketika
membaca buku tersebut saya menjadi ragu dengan apa yang diperjuangkan oleh
Imam Samudra dan orang-orang yang sefaham dengannya. Imam Samudra telah
mencemarkan nama Islam dengan faham Jihad dan aksi-aksi pengeboman yang
dilakukan bersama teman-temannya.
Saya mengambil sikap menegurnya karena saya tidak rela melihat hal-hal yang
menurut pengetahuan saya, di dalam buku tersebut dengan sengaja ada kisah yang
diselewengkan atau diada-adakan oleh Imam Samudra. Silahkan Imam Samudra
tidak mengungkap nama, tempat dan lain-lain, tetapi apabila dia berbohong
menceritakan pengalaman dan menyelewengkan faham Islam maka sama artinya
berbohong kepada para pembaca serta menyesatkan umat manusia umumnya, dan
umat Islam khususnya.
Pertama:
Maehmon khana yang disebutkan oleh Imam Samudra
Sehari semalam kami bermalam di maehmon khana
(ruang tamu) sebuah masjid Karachi (AMT Hal. 46),
adalah berarti rumah tamu (dalam bahasa Parsi,
Maehmon khana) yang disediakan oleh salah satu
organisasi Jihad di Afghanistan yang bernama Tanzim
Ittihad-e-Islamiy Afghanistan pimpinan Ustaz Abdur
Rabbir Rasul Sayyaf atau lebih dikenali dengan nama
Ustaz Sayyaf. Maehmon berarti tamu dan Khana
berarti rumah atau ruang.
Masjid-masjid di Pakistan selalu digunakan sebagai tempat itikaf oleh umat Islam
terutama oleh Jamaah Tabligh di mana mereka bermalam dan beristirahat di dalam
masjid yaitu di ruang yang digunakan untuk shalat. Oleh karena itu tiada ruang
khusus yang disediakan untuk tamu, sebab masjid itu sendiri terbuka untuk semua
macam tamu 24 jam. Bukankah orang yang datang ke Masjid adalah tetamu Allah di
masjid itu? Inilah keyakinan orang Pakistan yang memberikan kebebasan kepada
orang-orang yang ingin bermalam dan menginap untuk sekian waktu yang tidak ada
batasnya. Sampai-sampai para Jamaah Tabligh membawa peralatan memasak yang
lengkap dengan kompor (dapur minyak tanah), panci dan lain-lain ke dalam masjid.
Artinya masjid-masjid di Pakistan tidak perlu menyediakan ruang khusus untuk para
tetamu. Berbeda dengan masjid-masjid di Malaysia ataupun di Indonesia yang
terkadang memberikan peraturan larangan menginap di masjid, sehingga kita biasa
nielihat tersedianya kamar dan ruangan untuk orang-orang yang ingin menginap.
Kedua:
Imam Samudra menyebutkan seorang yang bernama
Jabir, Dia (Jabir) berkata, "Tahun ini ada
pemberangkatan, mau ikut nggak?" (AMT. Hal. 43),
yaitu Jabir yang menawarkannya berangkat ke
Afghanistan. Dan pengakuan Imam Samudra
berangkat dengan menggunakan biayanya pribadi,
padahal semua partisipan yang akan berangkat ke
Afghanistan ditanggung pembiayaannya oleh
organisasi Negara Islam Indonesia (NII/DI).
Nama Jabir yang disebutkan oleh Imam Samudra dalam bukunya (AMT) sudah
langsung dapat difahami oleh orang yang pernah mengenali sosok si Jabir.
Seandainya Imam Samudra hanya menyebutkan nama Jabir saja tanpa menambah
penjelasan dengan perkataan 'almarhum' dan keterangan 'As-Syahid di Antapane'
(AMT hal. 42), sudah pasti orang tidak akan dapat menebak (menerka) siapakah
orang yang bernama Jabir yang dimaksudkan oleh Imam Samudra, sebab seseorang
terkadang memiliki nama lebih dari satu (selain dari yang diberikan oleh
orangtuanya).
Dengan demikian, Jabir yang dimaksudkan oleh Imam Samudra langsung dapat
diidentifikasi berdasarkan ciri-ciri yang diberikan oleh Imam Samudra itu tadi. Dua
ciri itu sudah mencukupi bagi saya dan teman-teman yang pernah mengenali Jabir
serta mengetahui kisah akhir hidupnya. Seandainya Imam Samudra hanya
menyebutkan nama Jabir saja belum tentu saya dapat mengenalinya sebab bisa jadi
Jabir yang disebutkan Imam Samudra adalah orang lain, bukanlah Jabir yang pernah
saya kenal.
Di antara mantan siswa saya yang mengenal Jabir di Akademi Militer Mujahidin
Afghanistan, sempat saya tanya tentang Jabir yang meninggal dunia di Antapane.
Mereka adalah teman-teman seangkatan Imam Samudra di Akademi Militer
Mujahidin Afghanistan seperti Ali Imran, Mubarak dan juga teman yang tinggal di
fakultas Kavalery (Pohanzay Zahridor) yang sama dengan Jabir seperti Farhan. Lihat
kembali nama-nama partisipan yang pernah mengikuti pendidikan di Akademi Militer
Mujahidin Afghanistan dalam bab Perjalanan ke Afghanistan.
Pada waktu Imam Samudra menjadi siswa di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan
itu, saya berprofesi sebagai instruktur untuk materi pelajaran kemahiran menembak
(Hirbak) atau biasa dikenal dengan sebutan Weapon Training bagi orang-orang
Indonesia yang kuliah di situ. Ketika Imam Samudra menduduki kelas satu di
pendidikan Akademi Militer Mujahidin Afghanistan di Sadda Pakistan, si Jabir sedang
menduduki kuliah kelas tiga. Sementara saya bertugas mengajar dan melatih untuk
ketiga tingkatan kelas orang-orang NII di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan.
Ketiga:
Perjalanan Imam Samudra, bukan seperti yang
dikisahkan oleh Imam Samudra yang berangkat
langsung ke Khowst dari Peshawar "Perjalanan
sepenuhnya dipimpin oleh Asy-syahid Jabir dan dua
orang Arab." (AMT Hal. 46.) dan "Kbost, nama tempat
itu" (AMT Hal. 48.), tetapi sebenarnya Imam Samudra
berangkat dari Peshawar langsung menuju ke Akademi
Militer Mujahidin Afghanistan di Sadda, Pakistan.
Seingat saya Imam Samudra tidak datang sendirian ke Akademi Militer Mujahidin
Afghanistan dari Peshawar. Semua pengalaman siswa Indonesia atau Malaysia yang
baru (dari anggota NII) akan diantar oleh seorang guide (yang juga mantan siswa di
Akmil tersebut) yang berangkat dari rumah perwakilan kelompok NII-DI/TII di Pabbi
Peshawar Pakistan menuju Akademi Militer Mujahidin Afghanistan di Sadda Pakistan
yaitu daerah utara Pakistan di perbatasan Afghanistan.
Kebiasaan di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan ketika setiap kali ada siswa yang
baru datang harus dibawa ke barak instruktur orang Indonesia. Setelah itu pasti
siswa senior di Akademi Militer itu akan bersilaturrahmi ke tempat penginapannya
yang sudah ditentukan oleh pihak instruktur Indonesia di Akademi Militer tersebut.
Tujuan silaturrahmi itu tidak lain adalah untuk bertanya kabar 'kampung' yaitu
sebuah istilah untuk nama Indonesia yang digunakan ketika mengobrol (bercakap-
cakap).
Keempat:
Imam Samudra menyebutkan nama tempat yang
didatanginya di Afghanistan yaitu Khowst (AMT Hal.
48. Khost, nama tempat itu), padahal Khowst adalah
nama sebuah kota yang pada sekitar tahun 1990
masih dikuasai oleh pemerintah komunis Afghanistan
dengan pasukannya. Bagaimana mungkin tempat
latihan berada di dalam kota Khowst, mustahil sekali.
Apakah Imam Samudra benar-benar tahu apa itu
Khowst? Tidak ada tempat lain yang bernama Khowst kecuali nama sebuah kota di
Provinsi Paktia, Afghanistan.
Imam Samudra menyebut nama sebuah tempat yang 'didatangi' di Khowst yang
menurutnya bernama Muaskar Khilafah. (AMT Hal.46. 'Muaskar Khilafah'), padahal
tidak ada pada waktu itu tempat latihan yang bernama Muaskar Khilafah di Khowst
Afghanistan. Wilayah yang dikuasai oleh pihak Mujahidin Afghanistan adalah di
wilayah yang orang Afghan menyebutnya Shamali Khowst (Khowst Utara) berada di
Provinsi Paktia, Afghanistan yang berbatasan dengan Sadda, Pakistan. Di Shamali
Khowst terdapat 2 buah kamp latihan milik orang Arab, yaitu Muaskar Abu Turki
yang menampung orang-orang Arab dari berbagai negara dan Muaskar Jihad.
Muaskar Jihad menamakan kelompok mereka yang terdiri atas orang Arab
berwarganegara Mesir dengan nama Jamaah Islamiyah di Mesir. (bhs Arabnya
Jama'ah Islamiyah bi Misr).
Sekali lagi saya katakan bahwa tidak ada kamp latihan yang bernama Muaskar
Khilafah di Khowst Afghanistan. Dan, Imam Samudra juga tidak mendapatkan
pendidikan di kem latihan tersebut. Hanya Imam Samudra pernah sekali pergi ke
Shamali Khowst Afghanistan (yaitu Shamali Khowst yang berarti wilayah Khowst
Utara) dalam rangka mengikuti program latihan perang (Tathbiqot) dan praktek
penembakan ke sasaran musuh di medan konflik, yang disediakan untuk para siswa
Akademi Militer Mujahidin Afghanistan termasuk angkatan Imam Samudra. Siswa
Indonesia (NII) termasuk Imam Samudra mendapatkan tempat untuk membangun
tenda (kemah) selama program praktek (Thatbiqot) di kawasan kem latihan orang
Arab Mesir yaitu Muaskar jihad untuk jangka waktu beberapa hari saja.
Perkataan muaskar adalah satu kata dari bahasa Arab yang berarti Kamp latihan
kemiliteran. Asal kata Muaskar adalah askara-yuaskiru (diambil dari wazan falala-
yufalilu) yang berarti menjadi askar atau menjadi tentara. Kemudian kata muaskar
adalah bentuk dari isim makan yang berarti menunjukkan nama tempat (diambil dari
wazannya, mufa'lalun), jadi kata muaskar berarti tempat menjadi askar atau tempat
menjadi tentara atau bisa juga dinamakan tempat latihan.
Semua kamp, muaskar dan tempat latihan kemiliteran di Afghanistan ada pemiliknya
pada waktu itu. Keterangan Imam Samudra tidak menjelaskan nama pemilik
Muaskar Khilafah itu, apakah milik orang Arab atau Afghan ataupun Indonesia (NII).
Muaskar yang dimiliki oleh orang Arab pada waktu itu juga terdapat di berbagai
belahan negara Arab, begitu juga muaskarnya orang Afghan yang didirikan oleh
berbagai organisasi (Tanzim) Mujahidin Afghanistan. Suasana tersebut berbeda
dengan zamannya Taliban yang hanya ada satu nama saja yaitu Taliban, sedangkan
Muaskar Arab hanya ada satu juga yaitu kem Al-Qaidah milik Osama bin Laden. Dulu
sebelum zaman Taliban, Osama bin Laden memiliki kem latihan yang biasa disebut
dengan nama 'Muaskar Joji' yaitu yang terletak di Joji propinsi Paktia.
Ketika Kabul ibukota Afghanistan telah dapat dikuasai oleh Mujahidin Afghanistan
pada sekitar pertengahan atau akhir tahun 1992, Akademi Militer Mujahidin
Afghanistan ditutup. Akibatnya semua orang-orang NII (warga Indonesia dan
Malaysia) dipindahkan ke kem latihan milik orang Indonesia (NII) yang berlokasi di
Towrkham Afghanistan, kamp latihan tersebut awalnya dibuka sekitar tahun 1991.
Para instruktur Indonesia (NII) itu melanjutkan pendidikan bagi siswa yang belum
selesai dengan rnateri pelajaran yang sama seperti di Akademi Militer Mujahidin
Afghanistan di Sadda, Pakistan, dengan sistem yang sama juga.
Pada Januari tahun 1993, terjadi penawaran kepada orang-orang NII (Indonesia dan
Malaysia) di Pakistan dan Towrkham Afghanistan untuk memilih bergabung dengan
salah seorang dari dua orang pimpinan NII. Saya juga mendapat bagian untuk
memilih sepertimana yang lain. Bagi sesiapa yang memilih Ust. Abdul Halim sebagai
pimpinannya (Amir Jamaah) maka dia masih dapat melanjutkan program latihan dan
jihadnya di Afghanistan, sementara bagi sesiapa yang memilih Ajengan Masduki
sebagai pimpinannya (Amir Jamaah) maka dia akan segera dipulangkan ke Malaysia
atau Indonesia.
Ini disebabkan karena Ust. Abdul Halim adalah pimpinan yang pertama kali merintis
program pengiriman personal ke Afghanistan, maka kem latihan orang Indonesia di
Towrkham, Afghanistan, itu hanya diperuntukkan untuk personal yang memilih Ust.
Abdul Halim sebagai pimpinannya. Saya melihat Imam Samudra adalah di antara
teman-teman yang dipulangkan ke Malaysia pada waktu itu, berarti Imam Samudra
tidak sempat menyelesaikan pendidikan Akademi Militer, dalam arti kata lain adalah
tidak lulus. Maka dengan diberangkatkan pulang sudah cukup sebagai jawaban yang
jelas bahwa Imam Samudra tidak memilih Ust. Abdul Halim sebagai pimpinan
jamaahnya sehingga dia harus dipulangkan.
Berkenaan apakah Imam Samudra memilih Ajengan Masduki atau tidak memilih
kedua-duanya, secara pribadi saya tidak tahu. Benar Imam Samudra pada awalnya
tidak menerima Ust. Abdul Halim sebagai pemimpinnya sewaktu penawaran yang
diberikan ketika masih berada di Peshawar, Pakistan. Tetapi kemudian setelah
bertetangga dengan Hambali yang bersebelahan rumah dengan Ust. Abu Bakar
Baasyir di Jalan Manggis, Banting, Selangor, Malaysia, Imam Samudra sudah
berubah fikiran lalu terlihat mengikuti kegiatan dan acara (aktivitas) anggota Al-
Jamaah Al-Islamiyah di Malaysia, Indonesia, dan di Filipina. Lebih jelasnya lagi
bahwa Imam Samudra pernah berangkat ke Kem latihan Hudaybiyah atas izin
Hambali pada akhir tahun 1997 yang memang hanya diperbolehkan kepada anggota
Al-Jamaah Al-Islamiyah pada waktu itu. Selain ucapan baiat, seseorang itu dapat
diketahui sebagai anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah adalah ikut serta dalam kegiatan
yang khusus untuk organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah.
Bab 08
Bom Bali & Kesesatan Imam Samudra
Kondisi dan Sasaran Perang
Pemahaman dan tindakan Imam Samudra dan teman-
temannya mengantarkan mereka senantiasa dalam
sikap berperang. Mereka meyakini, tahapan gerakan
yang harus dilakukan sekarang adalah tahapan
menyerang (offensive). Mereka juga berpendapat
bahwa sekarang sudah bukan zamannya lagi bagi
orang-orang Islam bersikap bertahan (defensive),
seperti yang dijelaskan di dalam buku Aku Melawan
Teroris.
Adanya lafazh (ayat) tentang perintah berperang dan membunuh yang tertera dalam
Al-Quran, yang telah diwahyukan sejak sekitar 1426 tahun silam, membuat Imam
Samudra dan kawan-kawan menjadikannya sebagai dalil atas tindakan ofensifnya.
Padahal, jika diteliti lebih jauh, ayat-ayat Al-Quran tersebut dipotong-potong sesuai
keinginan Imam Samudra sehingga maknanya tidak sempurna lagi.
QS Al-Anfal: 39 : Artinya: Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan
supaya agama itu semata-mata untuk Allah.
QS. Al-Baqarah:191 : Artinya: Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai.
Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad SAW bersabda: Aku diperintahan untuk
memerangi manusia sampai ia mau mengucapkan dua kalimat syahadah, mendirikan
shalat, dan membayar zakat. Jika mereka melaksanakannya maka darah dan
hartanya terjaga dariku. Kecuali hak-hak Islam yang mana hal itu hitungannya
adalah kepada Allah. (Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Sungguh akan sadis sekali ajaran yang terkandung dalam Al-Quran jika hanya
dibaca secara sepotong-sepotong. Namun, tampaknya dengan dalil-dalil di atas,
Imam Samudra meng-isytihar-kan bahwa kini saatnya untuk melakukan aksi
penyerangan, membalas balik tindakan orang-orang Musyrik dan Kafir (non-Muslim).
Itulah sebabnya, setiap penjelasan dalam buku Aku Melawan Teroris tentang aksi
pemboman yang dilakukannya seringkali diakui sebagai pembalasan terhadap
perbuatan orang-orang Musyrik dan Kafir bagi membela umat Islam di seluruh
belahan bumi.
Keyakinan Imam Samudra untuk memerangi orang-orang Kafir dan Musyrik terlihat
jelas dalam bukunya:
Itulah sebabnya, berbagai operasi yang dilakukan oleh Imam Samudra dan para
pelaku pemboman yang sefaham dengannya, adalah antara lain:
QS. At-Taubah: 5.
Artinya: Kecuali orang-orang Musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian
(dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian) mu
dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka
terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertakwa (4). Apabila sudah habis bulan-bulan Haram
itu, maka bunuhlah orang-orang Musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka,
dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika
mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah
kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang (5). Dan jika seorang di antara orang-orang Musyrikin itu
meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah supaya ia sempat mendengar
firman Allah, kemudian antarkanlah ke tempat yang aman baginya. Demikian itu
disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. (6).
Pemahaman ayat:
Ayat ini diturunkan di Madinah (ayat Madaniyyah).
Ayat 5 surah At-Taubah berhubungan dengan ayat sebelumnya (At-Taubah: 4) dan
sesudahnya (At-Taubah: 6) tentang orang-orang Musyrikin, yaitu mengenai orang
yang melanggar perjanjian damai dan orang yang setia dengan perjanjian damai.
Perintah dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW tersebut adalah untuk
memerangi orang-orang Musyrikin yang melanggar perjanjian damai. Ayat ini
dialamatkan kepada orang-orang Musyrik (animisme), bukan kepada orang-orang
Kafir.
Arti kebalikan dari ayat ini, orang-orang Musyrik yang tetap setia dengan perjanjian
damai dan tidak membantu orang-orang yang memusuhi kaum Muslimin, maka tidak
boleh diperangi dan tidak oleh dibunuh. Orang-orang Musyrikin ini dapat bebas
berjalan ke mana-mana. Dan, Allah SWT memerintahkan kepada Rasulullah SAW
agar memenuhi masa waktu ikatan perjanjian serta hak keamanan sampai batas
waktu tertentu (ayat 4 surah At-Taubah).
Perintah Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslimin untuk
memberikan jaminan keamanan bagi orang-orang Musyrikin yang meminta
perlindungan (ayat 6 surah At-Taubah).
Bulan-bulan haram (kata 'haram' di sini berarti suci) yang dalam tahun Arab adalah
bermula dari tanggal 10 Zulhijjah hingga tanggal 10 Robiul Akhir. Urutan bulan
tersebut adalah Zulhijjah, Muharram, Safar, Robiul Awal, dan Robiul Akhir/Tsani.
Masa waktu 4 bulan yang ditentukan itu tidak boleh berperang karena dikatogerikan
bulan haram. Pasukan Muslimin harus menahan diri dari memerangi orang-orang
Musyrikin (di bulan haram) yang melanggar perjanjian damai dan juga yang punya
maksud serta persiapan memerangi kaum Muslimin. Kecuali jika musuh mulai
menyerang di bulan haram, maka pasukan Muslimin dibolehkan berperang
membalas serangan, meski di bulan Haram (bulan suci).
Orang-orang Musyrikin yang diperangi lalu kalah dan menerima Islam maka mereka
mendapatkan kebebasan dan hak seperti Muslim yang lain. Mereka menjadi Muslim
sesaat setelah mengucap dua kalimah syahadah, tanpa perlu diuji. Wallahu a'alam
bis showab.
Pemahaman ayat:
Ayat ini diturunkan di Madinah (Ayat Madaniyyah).
Asbabun Nuzul (sebab-sebab diwahyukan) ayat ini, hanya diwahyukan ketika
perjanjian Hudaybiyah. Yaitu kaum Quraish telah melanggar perjanjian Hudaybiyah
dengan secara diam-diam membantu Bani Bakar (ketika itu sedang berlangsung
peperangan antara Bani Bakar dengan Bani Khuzaah). Suku Khuzaah adalah sekutu
Rasulullah SAW (Riwayat Abus Syaikh, bersumber dari Qatadah dan Ikrimah).
Demikian juga keterangan di dalam tafsir Ibnu Katsir.
Menurut tafsir Ibnu Katsir, Allah SWT memerintahkan berperang karena untuk
memperoleh hikmah dari pensyariatan jihad, padahal Allah SWT adalah mahakuasa
untuk membinasakan musuh (dari makhluknya) dengan perintah-Nya sendiri. Janji
Allah SWT akan membantu kaum Muslimin memenangkan peperangan jika
Rasulullah SAW bersikap membela kehormatan hak kaum Muslimin. Dan,
memberikan ketenangan dalam hati-hati orang-orang yang beriman dari gangguan
orang yang mernusuhi. Wallahu a'alam bis showab.
Pemahaman ayat:
Ayat ini diturunkan di Madinah (ayat Madaniyyah).
Perintah Allah SWT kepada Rasulullah SAW untuk memerangi orang-orang Kafir
(Ahlul Kitab) karena adanya niat permusuhan dalam diri mereka pada waktu itu
untuk memerangi kaum Muslimin. Mereka adalah di antara Ahlul Kitab (Yahudi dan
Nasrani) yang sejak dahulu sebelum kedatangan Islam telah menyelewengkan
agama.
Jika orang-orang Kafir membayar jizyah maka tidak diperangi, walaupun mereka
tidak menerima Islam. Menurut Imam Syafi'e dan Imam Ahmad bahwa jizyah hanya
diambil dari Ahlul Kitab saja. Sementara menurut Imam Malik bahwa jizyah dipungut
dari seluruh orang Kafir. Wallahu a'alam bis showab.
Pemahaman ayat:
Ayat ini diturunkan di Madinah (ayat Madaniyyah).
Dalam setahun ada 12 bulan, 4 bulan di antaranya adalah bulan Haram (suci) yang
dilarang terjadinya peperangan, sesuai dengan budaya Arab sejak sebelum kenabian
Muhammad SAW.
Allah SWT melarang kaum Muslimin menganiaya diri sendiri dengan berperang di
bulan Haram. Karena keharamannya (kesuciannya) mengakibatkan dosa yang
berlipat ganda dibandingkan dengan bulan yang lain, (lihat tafsir Ibnu Katsir).
Perintah Allah SWT kepada kaum Muslimin untuk berperang melawan orang-orang
Musyrikin di bulan Haram. Karena mereka telah memulai perang di bulan Haram,
yaitu pada bulan Muharram. Praktek yang terjadi, Rasulullah SAW dan pasukan
Muslimin melakukan penyerangan terhadap Bani Hawazin dan Bani Tsaqif (Ghozwah
Hisoru Thaif) yang ketika itu telah memasuki bulan haram yaitu bulan Dzul Qoidah.
(Tafsir Ibnu Katsir). Wallahu a'alam bis showab.
Pemahaman ayat:
Ayat ini diturunkan di Madinah (ayat Madaniyyah).
Ayat ini ada hubungan dengan ayat sebelumnya (Al-Anfal: 38), yaitu ancaman bagi
orang-orang Kafir yang akan kembali mengulangi penyerangan terhadap kaum
Muslimin (di zaman Rasulullah SAW). Perintah Allah SWT untuk memerangi orang-
orang Kafir yang berniat dan mempersiapkan kekuatan untuk mengulangi
penyerangan terhadap kaum Muslimin. Perkataan 'Fitnah' pada ayat ini berarti
ancaman serangan dan gangguan dari musuh (pada zaman Rasulullah SAW)
terhadap umat Islam, Agama Islam dan Negara Islam. Fitnah kemusyrikan
merupakan salah satu bentuk gangguan terhadap mentauhidkan Allah dan Aqidah
Islam.
Menurut tafsir Jalalain, perkataan 'Fitnah' berarti syirik (menyekutukan Allah SWT).
Menurut tafsir Qurtubiy, 'Fitnah' adalah syirik dan yang meyerupainya dengan
menyakiti orang-orang Mukmin. Sementara itu, Ibnu Abbas (dalam tafsir Ibnu
Katsir) menafsirkan 'Fitnah' dalam ayat ini adalah tiada lagi kemusyrikan. Wallahu
aalam bis Showab.
Pemahaman ayat:
Asbabun Nuzul ayat ini adalah berkenaan dengan pelanggaran perjanjian
Hudaybiyah yang dilakukan kaum Quraish dengan memulai penyerangan dan
menghalangi kaum Muslimin melaksanakan ibadah Umrah. (Riwayat al-Wahidi dari
al-Kalbi dari Abu Shalih, bersumber dari ibnu Abbas). Ayat 191 surah Al-Baqarah ini
ada hubungan dengan ayat sebelumnya, yaitu memerangi orang-orang yang lebih
dulu memulai peperangan.
Sasaran perang adalah orang-orang Kafir yang memulai peperangan di mana saja
ditemui.
Perkataan fitnah dalam ayat ini (fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan)
berarti ancaman permusuhan, ancaman penyerangan, ancaman timbulnya
kekacauan, menyakiti, mengganggu kebebasan beragama, ancaman pemaksaan
orang Islam kembali kepada agama yang dulu dan juga ancaman pengusiran. Semua
itu adalah akibat dari emosi kemusyrikan yang ada pada orang-orang yang
memusuhi kaum Muslimin seperti yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW.
Menurut tafsir Ibnu Katsir, perkataan 'fitnah' dalam ayat ini bahwa syirik lebih kejam
dari pembunuhan. Tafsir Jalalain juga menafsirkan perkataan 'fitnah' dengan arti
syirik. Tafsir Qurtubiy menjelaskan, kemusyrikan dan kekufuran mereka lebih besar
dosanya dari dosa pembunuhan. Karena syirik yang terdapat pada waktu itu sangat
membahayakan umat manusia, di mana kezaliman merajalela dengan bertindak
melampaui batas-batas hak manusia dan hak Tuhan.
Pemahaman Hadis:
Pernyataan Rasulullah SAW itu memberitahu bahwa ia diperintahkan untuk
berperang.
Sasaran perang bersifat umum, yaitu manusia, yang berarti siapa saja, Muslim
ataupun non-Muslim. Masih perlu dipertanyakan maksud yang sebenarnya dari hadis
tersebut. Yang jelas hadis tersebut tidak diarahkan khusus untuk memerangi orang-
orang yang bukan Islam (non-Muslim) secara keseluruhan untuk menjadi Muslim,
tetapi juga perintah perang bagi Muslim yang tidak melaksanakan shalat dan tidak
menunaikan Zakat. Alasan memerangi adalah untuk mengarahkan orang tersebut
agar bersyahadat (mengucapkan dua kalimah syahadah), mendirikan shalat dan
membayar zakat.
Penggunaan kata Uqaatila dalam Hadis itu diambil dari kata "Qatala- Yaqtulu-
Qatlan" yang berarti 'dia membunuh'. Sedangkan apabila kata tersebut ditambah
huruf alif sesudah huruf pertama, maka bunyinya akan menjadi lebih panjang
"Qaatala-Yuqaatilu-Qitaalan" yang berarti dia memerangi ataudia berperang.
Maksudnya perbuatan dalam hadis tersebut menunjukkan aksi menindak balas yang
mengakibatkan terjadinya saling berbunuhan atau baku bunuh dari kedua belah
pihak secara berpasukan dan bersenjata. Jika hadis ini digunakan untuk membunuh
orang-orang sipil yang tidak punya kekuatan melawan maka sangat keliru sekali
menggunakan hadis ini sebagai sandaran perbuatannya. Wallahu aalam bis Showab.
Mengapa hadis ini selalu diarahkan atau difahami untuk memerangi orang yang tidak
/belum bersyahadah yaitu orang-orang non Muslim? Mengapa hadis ini tidak
dimaksudkan juga memerangi orang-orang yang tidak shalat yang sekarang ini
sedemikian banyak orang yang tidak shalat bahkan dari kalangan keluarga aktivis
Muslim juga ada yang tidak shalat?
Selain dari maksud bermalas-malasan dalam shalat ada di antara Muslim yang
menganggap shalat menjadi tidak fardhu sekarang ini karena perjuangan jamaah
mereka berada dalam fase Makkiyah, apakah orang-orang Muslim ini tidak
diperangi? Begitu juga ada di antara orang Muslim yang menganggap shalat sudah
bukan kuwajiban bagi dirinya sebab dia sudah mencapai makam hakiki seperti
keyakinannya 'Aku adalah Dia dan Dia adalah Aku salat dianggapnya adalah kulit
sementara dia sudah mencapai ke isi atau inti dari Islam itu. Orang yang
berkuwajiban shalat adalah orang yang baru mencapai tingkat kulit dari Islam.
Apakah orang Muslim ini tidak patut diperangi?
Bahkan orang-orang Muslim yang beranggapan shalat dan zakat tidak wajib
dilaksanakan lebih berhak diperangi dibandingkan memerangi orang non-Muslim
yang belum bersyahadah, dan hal ini telah dilaksanakan oleh Sayyidina Abu Bakar
As-Siddiq r.a ketika beliau melancarkan peperangan terhadap orang yang tidak
membayar zakat, bukan karena mereka kikir atau bermalas-malasan dalam
membayar zakat, tetapi mereka diperangi karena berfaham zakat bukanlah
kuwajiban lagi yang harus dilaksanakan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Begitu juga Sayyidina Abu Bakar r.a memerangi Musailamah Al-Kazzab dan
pengikutnya yang mengaku sebagai Nabi setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW,
maka mengapa orang-orang yang mengaku Nabi seperti Lia Aminuddin (di
Indonesia) dan Ghulam Mirza Ahmad serta pengikut Qadiyani tidak diperangi?
Kalau seandainya ayat-ayat Al-Quran dan sebuah Hadis tersebut (lihat judul
Potongan ayat perang Al-Quran di dalam buku Aku Melawan Teroris) adalah perintah
untuk memerangi dan membunuh seluruh orang-orang non-Muslim tanpa batas dan
memaksa mereka menjadi Muslim, maka akan berlawanan dengan ayat-ayat Al-
Quran yang berisi perintah tidak memaksa serta memberikan jaminan keamanan
kepada orang-orang non-Muslim tanpa memaksa mereka memeluk agama Islam,
sebagaimana berikut;
Tiga poin penting yang dapat diambil dari ayat-ayat yang dikemukakan di atas
adalah:
1. Perang karena terjadi pelanggaran perjanjian damai.
2. Perang karena ada pihak yang mulai menyerang.
3. Perang karena wujudnya 'Fitnah' yaitu ancaman perang.
Sejak sebelum Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi dan Rasulullah, tanah Arab
masih belum berbudaya. Budaya nomaden yang berlaku di tanah Arab tidak
memberikan jaminan hidup bagi individu yang bermukim. Sistem hak kemanusiaan
tergantung kepada adat istiadat atau hukum adat yang terdapat pada setiap kabilah
dan suku beragama. Bahkan terkadang hak hidup anak perempuan tidak ada, dan
malah boleh ditanam secara hidup-hidup pada saat kelahirannya di muka bumi ini.
Pasalnya, hal demikian dibenarkan oleh adat kabilah tersebut yaitu Arab Quraish.
Rasulullah SAW berposisi sebagai pemimpin kaum Muhajirin yang kemudian menjadi
pemimpin Muhajirin dan Anshor. Selaku pemimpin kaum Muslimin di Madinah
(Negara), Nabi SAW memanfaatkan budaya Arab dengan melaksanakan perjanjian
damai terhadap kabilah-kabilah yang berdekatan. Dengan perjanjian damai itu maka
Rasulullah dapat menjamin keamanan Agama Islam, Umat Islam, dan wilayah
(Negara) di mana umat Islam berada, yaitu Madinah. Dengan ikatan perjanjian
damai, kengerian perang antara kabilah dan kesadisan penyiksaan atau
penganiayaan dapat dihindarkan. Dengan demikian, peristiwa pembunuhan,
penyiksaan, dan ketidak-adilan yang pernah terjadi di Makkah sebelum hijrah ketika
kaum Muslimin masih berjumlah sedikit, tidak akan berulang lagi.
Karena tidak ada hukum yang adil mengatur sistem jaminan hak dan keamanan
untuk seluruh kabilah di tanah Arab, maka budaya kesepakatan perjanjian damai
masih tetap diperlukan untuk menghindari terjadinya pertumpahan darah yang
dilakukan dengan sewenang-wenangnya oleh kabilah-kabilah yang bermusuhan.
Sikap serta akhlak karimah Rasulullah SAW dalam menjaga hak perjanjian, hak di
medan pertempuran, dan tidak sewenang-wenang membumi-hanguskan suatu kaum
yang melanggar perjanjian damai itu, membuat seluruh anggota kabilah menerima
Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah dan Islam sebagai agama. Sikap menerima
Islam itu bukan karena tindak kekerasan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan
pasukan Muslimin, tetapi lebih disebabkan oleh akhlak Rasulullah SAW yang
memberikan hak manusia sesuai dengan batas yang telah ditentukan oleh Allah
SWT; inilah bagian dari dakwah Islam.
Apabila seluruh kabilah sudah di bawah satu hukum dan pimpinan, maka tidak
diperlukan lagi perjanjian damai antar kabilah, karena sudah ada aturan yang
menjaga hak-hak individu, yaitu Islam. Kecuali pihak yang masih belum menerima
Islam, maka perjanjian damai masih diperlukan guna menjamin keamanan Agama,
Bangsa, dan Negara.
Apa yang saya fahami adalah bahwa penyerangan yang dilakukan oleh Rasulullah
SAW bersama pasukan Muslimin adalah karena terjadi pelanggaran perjanjian damai
yang dibarengi dengan sikap permusuhan. Akibat dari pelanggaran itu, penyerangan
adalah sebagai hukuman yang diakui dan disetujui oleh hukum yang berlaku di
kalangan bangsa Arab pada masa itu. Begitu juga sikap permusuhan dan persiapan
langkah menyerang terhadap kaum Muslimin, maka langkah yang diambil oleh
Rasulullah adalah menyerang sebelum diserang. Bukankah pertahanan yang baik
adalah menyerang? Jadi tidak ada syariat Islam yang membolehkan menyerang
perorangan atau suatu kaum karena kekufurannya atau kemusyrikannya. Wallahu
a'alam.
Sementara itu, Tragedi Biir Maunah pada tahun keempat Hijriyah mengorbankan 70
pendakwah setelah tiba di Biir Maunah. Pengkhianatan itu dilakukan oleh Kabilah
Najed (Nejd). Padahal para pendakwah tersebut diutus oleh Rasulullah SAW atas
permintaan kabilah atau suku non-Muslim (Bani Amir) yang ingin mengetahui Islam.
Tetapi, sebelum tugas dakwah dapat dilaksanakan di tempat, para pendakwah
tersebut diserang dan dibunuh oleh suku non-Muslim yang lain. Ini terjadi akibat
kebencian mereka yang sangat terhadap Islam, agama baru pada waktu itu.
Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. (Al-Baqarah: 256).
Orang non-Muslim yang mau membayar jizyah disebut sebagai Kafir Dzimmiy, yaitu
orang yang menerima pemerintahan Islam tetapi tidak menerima agama Islam. Kafir
Dzimmiy mendapat hak yang sama seperti warga Muslim yang lain dan diperlakukan
dengan adil sesuai hukum yang berlaku (Syariat Islam), dan dapat melakukan
amalan peribadatan sesuai agama yang dianuti. Tetapi, seandainya orang non-
Muslim tersebut (Kafir Dzimmiy) menggugurkan status dzimmiy-nya dan tidak
menerima pemerintahan Islam, maka dia tidak dibunuh (sebab dia tidak mengangkat
senjata melawan pemerintah), tidak menjadi tawanan dan harta mereka tidak
dirampas. Meski demikian, mereka tidak dibenarkan untuk bertempat tinggal di
dalam negara Islam (artinya diusir dengan aman). Karena orang yang tidak
menerima pemerintahan negara yang ada adalah berbahaya bagi keamanan sebuah
negara (pemerintah) di manapun. Orang-orang yang membahayakan keamanan
negara Islam akan diusir dari negara atau dikurung.
Kemudian jika Kafir Dzimmiy mengangkat senjata melawan kaum Muslimin dan
bergabung dengan Kafir Harbiy (musuh) memerangi pemerintah (negara Islam)
maka status dzimmiy-nya secara otomatis gugur, haknya tidak terlindungi, dan
bahkan dia akan diperangi karena sudah berpihak kepada musuh.
Lain halnya bagi non-Muslim yang mustaman (artinya Orang yang diamankan),
yaitu bukan berwarganegara Negara Islam, mereka adalah orang-orang yang datang
ke negara Islam dan mengakui pemerintahan Islam yang ada. Mereka adalah duta
negara, turis, pedagang, orang yang punya keperluan, bersilaturrahmi (ziarah) dan
lain-lain. Kafir mustaman ini tidak diperangi, tidak diusir dari negara Islam, dan
tidak kena jizyah. Mereka aman di negara Islam setelah mendapat izin tinggal (visa),
selama mereka tidak mengangkat senjata memusuhi Islam dan memata-matai. Dan,
hak-hak mereka terjamin aman hingga kembali ke tempat asal mereka.
Istilah defensive atau offensive, dan tahapan-tahapannya bukanlah hal yang penting
untuk dibicarakan dan dipertentangkan. Pasalnya, setiap peperangan dan
pertempuran terkadang dapat berarti defensive, offensive, dan dapat berarti kedua-
duanya. Istilah defensive dan offensive tidak dapat dielakkan atau dihapus salah
satunya dari kamus perang, selama peperangan sedang berlangsung. Apa yang
penting dalam Islam adalah bahwa perang (jihad) itu dibenarkan karena untuk
membela dakwah Islam yang terancam diserang atau dimusnahkan. Dengan kata
lain, kalimah Allah (Laa ilaha illallah) harus dibela dan dipertahankan.
Ghozwah dan Sariyah yaitu perang yang pernah terjadi selama masa Rasulullah
SAW, pada umumnya adalah sebagai operasi defensive sekaligus offensive: Disebut
sebagai operasi defensive, karena mempertahankan keamanan Agama Islam, Umat
Islam, dan Negara Islam dari ancaman pihak yang memusuhi dan membenci Islam.
Dikatakan operasi offensive, karena pasukan Muslimin-lah yang selalu memulai
penyerangan terhadap pasukan lawan yang telah memulakan mendeklarasi
permusuhan. Jika orang-orang non-Muslim telah melanggar perjanjian damai, maka
itu berarti mereka telah lebih dulu mendeklarasikan permusuhan dan peperangan.
Dengan demikian kaum Muslimin melakukan tindakan pertahanan (defensive)
dengan melaksanakan penyerangan (offensive).
Jadi, tidak ada gunanya mempertahankan istilah fase defensive ataupun fase
offensive. Tidak perlu saling mencela karena kedua-duanya benar dan diperlukan
dalam saat menghadapi peperangan, yang membedakan hanyalah niat. Apakah
berniat membela dakwah Islam dan mempertahankan kalimah Allah SWT sesuai
tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi ataukah untuk menuruti hawa nafsu yang suka
membunuh, menyerang, dan tanpa hati nurani menghantam umat manusia yang
lemah?
Dalam konteks memerangi non-Muslim (Musyrik atau Kafir) yang saya fahami
dilakukan oleh Rasulullah SAW hanya terhadap mereka-mereka yang memusuhi
Islam, kaum Muslimin dan mengkhianati perjanjian damai saja, yaitu yang menjadi
ancaman keamanan kaum Muslimin, inilah yang dikatakan fitnah. Jadi ternyata saya
berbeda faham dengan apa yang dikatakan oleh Imam Samudra berdasarkan ayat-
ayat Al-Quran itu dan menurut yang saya fahami bahwa pemahaman Imam
Samudra untuk membenarkan aksi kekerasannya adalah Tidak Benar
terhadap ayat-ayat perang (Al-Quran itu).
Menurut yang saya fahami berdasarkan dalil-dalil yang dijadikan alasan oleh Imam
Samudra itu semua (di AMT), bahwa kaum Muslimin harus dan wajib mengadakan
perlawanan untuk mempertahankan diri, yaitu mempertahankan agama Islam, umat
Islam, dan kedaulatan negara. Dengan kata lain three in one, satu aksi untuk
mempertahankan tiga kepentingan.
Non-Muslim yaitu orang-orang Kafir dan Musyrik tidak diperintahkan oleh Allah SWT
untuk dimusnahkan seluruhnya dari muka bumi ini jika mereka tidak menginginkan
Islam.
Jika Hadis Nabi; Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai ia mau
mengucapkan kalimat syabadah bermaksud memerangi seluruh non-Muslim
hingga mereka menerima Islam, maka ucapan Nabi Muhammad itu bertentangan
dengan perbuatannya. Sepengetahuan saya, perbuatan Nabi lebih diutamakan
diambil menjadi pegangan hukum daripada ucapannya, jika ditemukan
bertentangan. Wallahu alam.
Contoh praktek perang yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW baik sebelum maupun
sesudah diwahyukan surah At-Taubah ayat 5, tetap sama bagi Rasulullah. Hanya
penundaan waktu empat bulan saja (bulan haram) yang membedakannya. Sebelum
menerima wahyu tersebut, ketika ada kabilah yang melanggar perjanjian damai,
maka dengan segera Rasulullah memimpin pasukan tempur untuk menyerang
kabilah yang berkhianat atau memusuhi tersebut.
Tetapi, pada surah At-Taubah ayat 5, Allah SWT melarang Rasulullah melakukan
penyerangan terhadap kabilah Musyrikin yang telah melanggar perjanjian damai,
karena hampir mendekati bulan Haram dan juga larangan penyerangan terhadap
kabilah yang akan habis masa perjanjian bertepatan pada bulan Haram. Dengan
demikian mereka diberikan waktu empat bulan bebas tidak diganggu (diserang). Jika
masa empat bulan tersebut berakhir, maka barulah Rasulullah boleh memimpin atau
mengirim pasukan melakukan penyerangan terhadap kabilah musyrikin yang
melanggar perjanjian damai dan terhadap kabilah yang telah selesai masa perjanjian
damai (kecuali bagi yang memperpanjang masa perjanjian tersebut).
Menghormati budaya adalah termasuk dari akhlak karimah (perilaku yang mulia).
Apabila Rasulullah tidak melakukan aksi penyerangan di bulan haram, maka itu
berarti ia telah melakukan dakwah Islam dengan akhlak karimah. Maka orang-orang
Musyrik yang melanggar perjanjian damai dibiarkan bebas (tidak diserang walaupun
diketahui mengadakan persiapan menyerang), hingga bulan haram berakhir. Kecuali
jika orang-orang Musyrik yang memulai menyerang kaum Muslimin di bulan haram,
maka kaum Muslimin boleh membalas meski di bulan haram.
Budaya bangsa Arab kuno sangat menghormati bulan haram, maka Allah SWT tidak
menginginkan kaum Muslimin mencemari bulan haram walaupun mereka berhak
menyerang orang-orang Musyrik yang telah berkhianat. Menghormati budaya yang
tidak melanggar syariat Islam adalah lebih utama sekaligus dapat mengedepankan
urusan dakwah Islam bil-hikmah (dengan bijaksana).
Praktek yang dilakukan oleh Rasulullah SAW sebelum dan sesudah turun surah At-
Taubah ayat 5 ini adalah sama: Memerangi kabilah yang berkhianat (mengkhianati
perjanjian damai) yang kemudian menjadi ancaman keamanan Islam, kaum
Muslimin dan wilayah Muslimin. Memberikan jaminan keamanan terhadap orang-
orang Musyrikin yang setia kepada perjanjian damai. Tidak membunuh orang-orang
Musyrik atau Kafir yang tidak memusuhi Islam dan tidak memerangi Islam. Dan
mereka tidak dipaksa untuk menerima Islam. Perlakuan yang baik terhadap musuh
yang mengalami kekalahan, seperti para tawanan yang dibebaskan.
Sunnah filiyah yaitu sebab musabab perbuatan, tindakan, dan sikap Rasulullah
ketika berperang adalah hal yang paling penting untuk diikuti dan dijadikan dasar
pegangan yang kuat dalam memahami ayat-ayat Al-Quran tentang perang.
Penyampaian ajakan perang, kobaran semangat perang, dan kabar gembira bagi
yang berperang termasuk janji syurga, mati syahid, dan ancaman neraka bagi yang
tidak mau berperang adalah apabila status dan sasaran perang sudah jelas, dan
peperangan sedang terjadi. Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW ketika memberi
semangat mati syahid dan janji syurga semuanya diucapkan pada masa-masa
pertempuran, bukan di Madinah atau di dalam masjid.
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Al-Ahzab: 21).
Apa yang dilakukan oleh Rasulullah sebenarnya praktek riil memerangi 'fitnah'
sehingga kaum Musyrikin yang memerangi kaum Muslimin menjadi tunduk dan
menerima Islam sebagai penguasa yang memiliki sistem penjagaan hak-hak
kemanusiaan yang sangat diperlukan pada waktu itu. Menjamin keamanan, keadilan,
dan memberikan hak-hak manusia, baik kepada Muslim maupun yang non-Muslim.
Namun, apa yang dilakukan oleh orang-orang yang berperang setelah zaman Nabi
Muhammad SAW yang memerangi sesama Muslim atau dengan sengaja menyerang
penduduk awam Muslim dengan alasan jihad memerangi 'fitnah' adalah sebenarnya
membawa fitnah kepada umat Islam. Peristiwa ini bukan hanya terjadi pada zaman
sekarang tetapi juga dialami oleh para Sahabat dan zaman-zaman kekhalifahan.
Sebagaimana kisah yang terdapat pada sebuah hadis;
Hadis riwayat Usamah bin Zaid ra., ia berkata: Rasulullah SAW mengirim kami dalam
suatu pasukan. Kami sampai di Huruqat, suatu tempat di daerah Juhainah di pagi
hari. Lalu aku menjumpai seorang kafir. Dia mengucapkan: Laa ilaaha illallah, tetapi
aku tetap menikamnya. Ternyata kejadian itu membekas dalam jiwaku, maka aku
menuturkannya kepada Nabi SAW. Rasulullah bertanya: Apakah ia mengucapkan:
Laa ilaaha illallah dan engkau tetap membunuhnya? Aku menjawab: Wahai
Rasulullah, ia mengucapkan itu hanya karena takut pedang. Rasulullah SAW
bersabda: Apakah engkau sudah membelah dadanya sehingga engkau tahu apakah
hatinya berucap demikian atau tidak? Beliau terus mengulangi perkataan itu
kepadaku, hingga aku berkhayal kalau saja aku baru masuk Islam pada hari itu.
Saad berkata: Demi Allah, aku tidak membunuh seorang Muslim, hingga dibunuh
Dzul Buthain, Usamah. Seseorang berkata: Bukankah Allah telah berfirman: Dan
perangilah mereka, agar tidak ada fitnah dan agar agama itu semata-mata untuk
Allah. Saad berkata: Kami telah berperang, agar tidak ada fitnah. Sedangkan
engkau dan pengikut-pengikutmu ingin berperang, agar timbul fitnah. (Hadis Sahih
Bukhari dan Muslim).
Golongan yang memusuhi dan memerangi kaum Muslimin
pada zaman Nabi Muhammad SAW
Non-Muslim yang boleh diperangi bagi sebuah Negara Islam.
Menghadapi 'Fitnah' dengan niatan dakwah, cara yang adil dan tidak memaksa
memeluk Islam demi menegakkan Kalimah Allah.
Langkah strategis perang defensive atau perang offensive bukanlah fase yang
diatur oleh Rasulullah SAW, tetapi bagaimana setia pada niat untuk berdakwah dan
tercapainya maksud dakwah Islam dengan cara yang benar. Itulah hal terpenting
sehingga Rasulullah SAW mendefinisikan tujuan perang dengan sabdanya:
Hadis riwayat Abu Musa Al-Asyari ra.: Bahwa seorang lelaki Arab badui datang
kepada Nabi SAW dan bertanya: Wahai Rasulullah! Seorang lelaki berperang untuk
memperoleh harta rampasan, seorang lagi berperang untuk dipuji (dikenang) dan
seorang lagi berperang agar bisa diperlihatkan kedudukannya. Siapakah yang berada
di jalan Allah? Rasulullah SAW menjawab: Barang siapa yang berperang demi
tegaknya kalimat Allah, maka ia adalah Fie Sabilillah (berada di jalan Allah). (Hadis
Sohih Bukhari dan Muslim).
Menempatkan Kalimah Allah (Laa ilaha illallah) berada pada posisi tertinggi di mata
manusia, dijunjung dan diagungkan oleh manusia, tentu tidak dapat dipaksakan.
Hati manusia tidak dapat dipaksa dengan kekerasan untuk menerima Kalimah Allah
SWT, dan jika tetap dipaksakan maka penerimaan itu tidak bertahan lama. Tetapi,
Kalimah Allah itu akan dijunjung dan diagungkan serta menjadi tegak disebabkan
orang-orang menerima dengan sukarela dan senang hati karena melihat kemuliaan
akhlak, budi bicara yang sopan dan keadilan yang ditampakkan oleh orang-orang
yang membawa dakwah Islam atau memimpin negara Islam.
Kalimah Allah SWT ditegakkan bukan dengan cara berperang. Sekali-kali tidak. Dan,
hadis di atas tidak mengandung maksud demikian. Perang dan pertempuran yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW dan kaum Muslimin yang bersamanya adalah hak
yang diakui kebenaran untuk melakukannya. Dan, umat manusia juga melihat
bahwa Rasulullah dan kaum Muslimin tidak berbuat kezaliman dalam pertempuran.
Adalah Hak bagi kaum Muslimin di Madinah untuk mempertahankan wilayah yang
telah Allah karuniakan sebagai pemerintahan Islam.
Maksud hadis di atas adalah pemberitahuan dari Rasulullah SAW kepada umat Islam
yang sedang berperang di jalan Allah. Yaitu, harus mempunyai niat dakwah untuk
mempertahankan kalimah Allah. Artinya, dalam perang harus ada misi dakwah
Islam. Berakhlak ketika memerangi musuh, tidak membunuh karena dendam dan
marah. Jika membunuh musuh dalam pertempuran haruslah dengan cara yang baik,
membunuh dengan tidak mencacah-cacah, tidak membunuh wanita, anak-anak,
orang tua, dan berbagai lagi aturan-aturan lain dalam perang yang ditaati oleh
pasukan Muslimin. Semua itu adalah bagian dari sikap berdakwah yang ditunjukkan
kepada musuh betapa Islam memiliki aturan yang sempurna dalam berperang dan
berlaku adil. Begitu juga ketika pasukan Muslimin dapat menawan musuh yang
kalah. Para tawanan diperlakukan dengan baik tanpa tersirat rasa benci hingga
mereka dibebaskan, meski masih belum menerima Islam.
Tidak adanya paksaan dan kekerasan yang ditampakkan oleh pasukan Muslimin
dalam mengajak kepada Islam, membuat mereka (musuh dan non-Muslim)
bertambah yakin betapa sempurnanya agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW, sesuai dengan tuntunan Allah SWT kepada Rasul-Nya.
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran. (An-Nahl: 90)
Perang yang dialami oleh Rasulullah SAW adalah bagian dari dakwah Islam, tetapi
perang bukanlah bagian yang terutama dalam berdakwah menyebarkan Islam. Pada
asalnya perang tidak dinginkan namun perang akan menjadi diperlukan jika
keamanan dakwah Islam, umat Islam, dan Negara Islam terancam.
Dalam kesempatan berperang terdapat misi dakwah Rasulullah SAW dan pasukan
Muslimin, yaitu sikap tidak melampaui batas dan berlaku adil dalam pertempuran.
Dan setiap kali peperangan yang dimenangkan oleh pasukan Muslimin, maka
pasukan musuh yang kalah menjadi kagum dengan perilaku serta akhlak pasukan
Muslimin. Selanjutnya, di antara mereka menerima Islam, bukan karena dipaksa
melainkan perlakuan manusiawi dan adil yang diterima. Bahkan, kebanyakan
tawanan dibebaskan.
Di antara keadilan yang mereka lihat dari kaum Muslimin adalah sikap yang tidak
menyakiti anak-anak, isteri, dan juga kaum kerabat mereka yang tidak ikut
berperang. Kaum Muslimin mempunyai disiplin bahwa seseorang tidak dapat
memikul dosa orang lain. Jika yang bersalah adalah bapaknya, maka anaknya tidak
terkena dosa bapaknya, begitu juga isteri dan yang lain. Pelajaran berharga itu
termaktub di dalam Al-Quran:
Artinya: (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang
lain. (An-Najm: 38)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (Al-Maaidah: 8).
Namun, tidak dapat dipungkiri jika di antara mereka ada juga yang mengucap dua
kalimah syahadah (menerima Islam) karena takut. Tetapi, lambat laun mereka juga
akan memahami Islam setelah mengetahui kandungan Al-Quran, akhlak, dan
perilaku orang-orang di sekelilingnya dari kalangan kaum Muslimin yang benar-benar
berakhlak dengan Akhlakul Karimah.
Jika memang semua non-Muslim di muka bumi ini harus menjadi Muslim dan harus
Islam saja di muka bumi ini, mengapa Nabi SAW melakukan hal di atas? Lantas
bagaimana dengan hukum-hukum yang telah Allah tetapkan untuk bermuamalah
dengan non-Muslim yang akan tetap berlaku hingga hari kiamat?
Sebenarnya, atas dasar Tidak, ada paksaan dalam agama (Islam) (Al-Baqarah:
256), itulah yang membuat Rasulullah berakhlak karimah sepanjang masa hayatnya.
Nabi juga senantiasa berakhlak baik terhadap musuh-musuhnya, baik ketika aman
bersama masyarakat Muslim dan non-Muslim maupun ketika berperang. Dengan
begitu, praktek dakwah Rasulullah SAW terwujud di medan peperangan, antara lain
meliputi: larangan-larangan dalam berperang dan aturan-aturan membunuh, tidak
sewenang-wenang menjatuhkan hukuman kecuali yang sesuai dengan hukum dan
berlaku adil, tawanan diperlakukan dengan baik, tawanan dibebaskan, dengan syarat
dan ada juga yang tanpa syarat, tawanan tidak dipaksa untuk menerima Islam,
memberi kesempatan tawanan untuk membawa harta benda mereka ketika diusir.
Merampas harta kekayaan musuh bukanlah tindak pemaksaan, tetapi adalah hak
bagi pihak yang menang, hamba sahaya milik musuh dimerdekakan.
Selain itu, juga terjadinya perundingan damai (gencatan senjata), tidak menyerang
kecuali apabila diserang dan dimusuhi (karena hak), tidak memulai melanggar
perjanjian damai, ddak melanggar budaya Arab yang dihormati, seperti larangan
berperang pada bulan Haram (suci), memberi hak kafir Dzimmiy yang diperlakukan
sama sebagaimana hak Muslim, walaupun tidak menerima Islam, memberikan
pengampunan kepada orang-orang yang telah masuk daftar wanted (dibunuh),
memberi kesempatan kepada musuh untuk melarikan diri (lari dari terjadi kontak
senjata), sebelum penyerangan, memberi pemberitahuan kepada musuh untuk
berlindung dan tidak mengambil sikap melawan, tidak memiliki niat dan hasrat untuk
membalas dendam terhadap kaum yang pernah memusuhi Islam.
Demikianlah cara dakwah Islam yang ditunjukkan Rasulullah SAW secara filiyah
(sunnah perbuatan ketika berperang) kepada umat manusia yang diterjemahkan dari
ajaran Al-Quran secara riil di muka bumi. Al-Hak (Kebenaran) yang menjadi
pembeda dengan agama-agama yang lain juga sudah Rasulullah SAW tampakkan di
hadapan mata manusia. Maka biarlah manusia itu sendiri memilih yang hak atau
yang batil sesuai pemahaman dan keyakinannya, tanpa unsur paksaan. Apa gunanya
memaksa orang menganut Islam sedangkan orang tersebut belum dapat
membedakan yang hak (kebenaran) dengan yang batil?
Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. (Al-Baqarah: 256).
Dan katakankah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia
kafir. (Al-Kahfi:29).
Dan begitu jugalah praktek Rasulullah SAW serta kaum Muslimin di Madinah (Negara
Islam) yang dimusuhi dan terancam diserang oleh kabilah-kabilah Arab. Keseluruhan
ayat yang memerintahkan memerangi orang-orang kafir dan musyrikin adalah
terbatas kepada mereka yang memusuhi Islam dan diketahui mengadakan rencana
penyerangan terhadap kaum Muslimin. Adalah hak dan kuwajiban kaum Muslimin
untuk mengadakan pembelaan diri dari gangguan.
Jika diserang, maka perlawanan dilakukan tanpa perlu menunggu komando, tetapi
jika akan melakukan penyerangan terhadap musuh maka harus menunggu
keputusan (komando) dari pimpinan negara atau panglima tertinggi pasukan.
Pelaksanaan penyerangan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah hak kaum
Muslimin untuk melakukan demikian karena telah dikhianati atau diserang.
Pelaksanaan bertahan juga hak kaum Muslimin dan malah berstatus harus karena
menghindari, mempertahankan diri, dan menyelamatkan diri dari ancaman serta
gangguan musuh. Kedua hak tersebut dimaksudkan untuk tujuan dakwah Islam,
karena ketika non-Muslim melihat Rasulullah SAW dan pasukan Muslimin berperang
dengan penuh disiplin serta beretika maka pihak non-Muslim melihat kemuliaan
Islam.
Dan ketika pasukan musuh kalah lalu kaum Muslimin melepaskan para tawanan
tanpa berbuat zalim (melampaui batas), menyiksa, dan tidak memaksa mereka
menerima Islam, maka itu juga adalah melaksanakan misi dakwah Islam. Sikap
menyerang adalah hak kaum Muslimin karena dikhianati, yang memang diketahui
dan diakui oleh pihak musuh, tetapi perlakuan baik yang ditunjukkan oleh Rasulullah
SAW ketika berperang dan sesudah perang membuat non-Muslim yakin dengan
Rasulullah SAW sebagai seorang Nabi. Dengan sukarela mereka menerima Islam
yang menghormati hak-hak kemanusiaan dan berlaku adil. Itulah tujuan dakwah
Islam.
Dalam kondisi apapun Rasulullah SAW tetap menjaga prinsip perang yaitu
Maintenance of Object yang berarti 'setia pada tujuan'. Tujuan utama Rasulullah
SAW diutus sebagai Nabi adalah untuk mengajak manusia beribadah kepada Allah
SWT dan mentauhidkan-Nya, dengan bijaksana (hikmah) dan dengan memberi
pelajaran yang baik (mauizoh hasanah).
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah
yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (An-Nahl:l25).
Dalam berperang, baik ketika defensive ataupun offensive adalah juga sebuah
kesempatan untuk mendakwahkan Islam kepada pasukan musuh dengan
menunjukkan atau menonjolkan akhlak karimah dan memberikan hak-hak
kemanusiaan yaitu adil serta tidak memaksa menerima Islam.
Berdasarkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadis yang dikemukakan oleh Imam Samudra
(di buku AMT), bahwa perang yang dimaksudkan akan tetap terus berlangsung
sehingga agama yang menang dan berkuasa hanyalah agama Islam. Yaitu dengan
menggambarkan berulangkalinya Rasulullah SAW melakukan pertempuran untuk
menyebarkan dan memaksa orang lain menerima Islam. Perhatikan kutipan berikut
ini:
agar tidak ada lagi kesyirikan, agar dienullah saja yang menang dan berkuasa atas
dunia ini ... Rasulullah SAW memimpin langsung pertempuran sebanyak 28 kali.
Sedangkan Sariyah (ekspedisi) yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW sebanyak 55
kali. (AMT. Hal. 162).
Imam Samudra berperan laksana seorang Nabi yang mendapat wahyu langsung dari
Allah SWT, dari ayat Al-Quran dengan cepat dia memberi perintah perang kepada
umat Islam dan mengancam Siapa yang berani menyangkal bahwa itu adalah
perintah Allah?...Status perintah Allah adalah wajib. (AMT. Hal. 103). Bukan hanya
memaksa dan mengancam, malah ayat yang dibawanya tidak sempurna dan tidak
seperti yang dimaksudkan oleh Allah SWT ketika menurunkan ayat itu. Ayat tersebut
dicomot dan dipotong-potong sehingga terbentuk sedemikian rupa menjadi dalil
untuk membenarkan perbuatannya yang keji. Bukankah amal harus benar sesuai
tuntunan dalil dan bukannya dalil (dijadikan alat) membenarkan amal? Wallahu
a'alam bis Showab.
Bagi yang tidak menaati perintah Allah, ia bukan hanya mendapat dosa tetapi malah
dicela dan dimaki-maki oleh Imam Samudra. Begitukah akhlak seorang Muslim yang
mengaku sebagai 'Mujahid' dan 'Ustaz' yang dengan begitu mudah mencaci-maki
orang lain setelah habis metode dakwahnya untuk mengajak manusia berjihad
membela Islam? Hanya manusia-manusia yang tolol, bodoh, idiot, dan mati hati
sajalah yang tidak takut akan ancaman Allah. (AMT, hal:103). Dan O, Muslim? Are
you chicken? La haula wa la quwwata illa billah. (AMT, hal:106) Apakah begini
teladan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW sehingga menjadi pegangan
Imam Samudra untuk menyebarkan Islam? Pastinya bukan dan tidak.
Karena itu, saya sangat bersedih ketika membaca setiap kalimat Imam Samudra
yang menggambarkan Rasulullah SAW adalah seorang pemimpin yang aktif
berperang untuk menghancurkan kaum lain yang bukan Islam (AMT, hal:162), dan
seorang yang selalu memaksa orang atau kabilah yang bukan Islam untuk menerima
Islam. Dengan demikian, menurut Imam Samudra, Islam harus disebarkan dengan
perang.
Sungguh Imam Samudra telah menggambarkan Islam adalah faham agama yang
sadis dan tidak manusiawi. Sungguh dia telah menempatkan Rasulullah SAW sebagai
orang yang haus darah sehingga akan memerangi dan membunuh orang-orang yang
tidak mau menerima Islam. Dia membayangkan perbuatan Rasulullah SAW itu sama
seperti langkah awal Pejuang Taliban (yang dibangga-banggakannya) yang
memerangi semua kelompok Mujahidin di Afghanistan, bermula pada sekitar akhir
1993 dan memaksa orang untuk mengikuti Taliban dan harus menghilangkan
keanggotaan pada organisasi yang lain, jika tidak maka akan diperangi dan dibunuh.
Sebab hanya satu organisasi saja yang dibenarkan berada, yaitu Taliban. Sementara
tanzim (organisasi) Jihad Mujahidin Afghanistan yang lain harus musnah.
Bukankah sirah Rasulullah SAW itu (praktek perang) yang saya jelaskan di atas
sesuai dengan definisi yang diberikan oleh Imam Samudra dalam Aku Melawan
Teroris tentang pengertian jihad menurut Syari? jihad berarti berperang melawan
kaum kafir yang memerangi Islam dan kaum Muslimin. (AMT, hal:108).
Dengan kata lain, dari definisi itu bahwa seandainya orang kafir itu (non-Muslim)
tidak memerangi Islam dan kaum Muslimin, maka dilarang melakukan aksi militer
terhadap mereka. Demikianlah yang dipraktekkan oleh Rasulullah SAW selama
hayatnya sebagai seorang Nabi dan Rasul, pemimpin negara dan panglima tertinggi
pasukan tempur.
Saya tidak ragu-ragu dan tidak khawatir untuk mengatakan bahwa Imam Samudra
telah sesat dan menyesatkan umat Islam serta berlaku zalim terhadap
dirinya sendiri serta terhadap sesama umat manusia. Dia telah melampaui
batas-batas hukum Allah SWT, bahwa orang-orang kafir dan musyrik yang tidak
memusuhi dan tidak berencana menyerang Islam maka tidak dibenarkan untuk
dibunuh atau diperangi dengan sewenang-wenang. Inilah peringatan dari Allah SWT
terhadap orang yang bertindak melampaui batas-batas ketentuan hukum Allah SWT:
Tetapi saya khawatir, jangan-jangan jihad yang diserukan oleh Imam Samudra
bukanlah Jihad Fie-Sabilillah, melainkan Jihad gaya Imam Samudra.
Dengan tegas dan bangga, Imam Samudra mengatakan bahwa membalas balik
dengan membunuh wanita, anak-anak, dan warga sipil adalah tindakan yang 'wajar',
'adil' dan 'seimbang'. Karena itu, menurut Imam Samudra, Amerika dan sekutunya
telah melampaui batas-batas perang dengan membunuh banyak warga sipil Muslim,
maka dia berniat membalas dengan cara membunuh warga sipil Amerika dan
sekutunya. Begitulah katanya sipil dibalas sipil! Itulah keseimbangan. Dengan
yakinnya ia mengatakan Dan dengan demikian, jihad Bom Bali tidak dilakukan
secara asal-asalan dan serampangan. (AMT, hal: 116).
Astaghfirullah! Padahal wisatawan asing yang berada di Legian Bali pada waktu itu
terdapat banyak juga orang-orang non-Muslim yang bukan warga Amerika atau
Australia, kalau memang benar Amerika dan Australia adalah musuh Imam
Samudra! Kalaupun wisatawan asing yang berada di Bali itu adalah warga Amerika
ataupun warga Australia dan sekutunya maka belum tentu mereka dari pihak yang
setuju dengan tindakan pemerintah mereka yang menyerang Afghanistan dan Iraq.
Bukankah kebohongan alasan pemerintah Amerika menyerang Iraq dibongkar sendiri
oleh warga Amerika? Bagaimana kalau yang tewas dalam aksi bom Bali itu adalah
dari warga Amerika yang tidak setuju dan anti dengan kebijakan pemerintah
Amerika dalam penyerangan Afghanistan dan Iraq? Sungguh Imam Samudra sendiri
telah mengeneralisir warga Amerika dengan prasangkanya, ini berarti pula mereka
terlibat dalam proses pembiayaan perang. (AMT, hal: 147). Sebuah prasangka dan
tuduhan yang tidak berdasar.
Bagaimana Imam Samudra boleh memahami potongan ayat Qishosh tersebut (Al-
Baqarah: 194) yang ditafsirkannya sendiri menurut arti harfiyah lalu dikaitkan
dengan peristiwa yang terjadi sekarang ini di luar Indonesia yang kemudian dibalas
di Indonesia?
Jika diperhatikan kedua ayat tersebut dalam bahasa Arab, akan didapati perkataan
bi mitsli ma yang artinya secara harfiyah dengan seumpama apa (benda) yang.
Bermakna ada sesuatu yang digunakan serupa dengan yang terdahulu, baik itu
berbentuk perkataan maupun material. Dan menurut para mufasirrin (Ulama
penafsir Al-Quran) bahwa ayat tersebut menjelaskan tentang hukum Qishosh yaitu
hukum membalas kejahatan. Di dalam syariat Islam diatur tentang cara-cara
pelaksanaan hukum Qishosh.
Dalam tafsir Qurtubiy, penjelasan terhadap ayat ini adalah bahwa Rasulullah
memerintahkan dalam pelaksanaan hukum Qishosh harus menggunakan alat yang
sama terhadap pelaku seperti yang digunakan oleh pelaku kepada korban. Tidak
boleh melakukan tindakan yang melampaui batas dengan membalas kepada selain
pelaku, seperti terhadap kedua orangtuanya, anaknya dan kerabatnya. Begitu juga
tidak boleh berbohong kepada pelaku seandainya pelaku berbohong kepadanya.
Sebab, kemaksiatan tidak boleh dibalas dengan kemaksiatan. Sekarang, hukum
pelaksanaan Qishosh tidak boleh dilakukan secara pribadi tetapi harus atas izin
pemerintah (artinya Mahkamah Islam).
Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini bahwa Allah SWT memerintahkan untuk
berlaku adil dalam melaksanakan hukum Qishosh walaupun terhadap kaum yang
bukan Islam (non-Muslim). Untuk membalas kejahatan orang lain, maka sikap sabar
si korban adalah lebih baik bagi orang-orang yang mau bersabar.
Terdapat empat hal dan satu catatan penting yang perlu diperhatikan dari ayat
tersebut (Al-Baqarah: 194 dan An-Nahl: 126), yaitu:
Jika Imam Samudra salah satu pengagum Ustadz Abdullah Azzam (alm), maka saya
ingin menceritakan sebuah tafsir dari salah satu ceramah Ustadz Abdullah Azzam
yang pernah saya dengar langsung pada majlis talim beliau di Afghanistan. Ketika
itu ia menjelaskan penggunaan senjata api menurut syariat Islam. Senjata api yang
digunakan oleh pasukan bersenjata mujahidin Afghanistan dan pasukan bersenjata
di seluruh dunia mempunyai efek api dan panas. Padahal di dalam Islam terdapat
larangan membunuh dengan api. Sabda Rasulullah SAW: Tidak boleh menyiksa
(membunuh) dengan (menggunakan) api kecuali pemilik api (yaitu Allah SWT).
(Hadis Riwayat Abu Daud).
Kemudian Ust-Abdullah Azzam menyebutkan sebuah ayat Al-Quran :
Artinya: Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati,
berlaku hukum qishosh. Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka
seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah
dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah: 194)
Artinya: Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang
sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar,
sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. (An-Nahl:126).
Selanjutnya Ust. Abdullah Azzam (alm) menjelaskan bahwa dengan ayat ini maka
dibolehkan menggunakan senjata api yang sama seperti yang digunakan musuh
ketika memerangi mujahidin. Jika musuh menggunakan api untuk membunuh maka
dibolehkan menggunakan api untuk membunuh musuh (pasukan bersenjata musuh).
Begitu juga seandainya musuh menggunakan senjata api (dari berbagai jenis) maka
dibolehkan juga menggunakan peralatan yang sama. Sebab bagaimana mungkin
pedang dan tombak menghadapi senjata api dalam perang zaman modern ini? Maka
keterangan Ust. Abdulah Azzam bersesuaian dengan maksud ayat Al-Quran
tersebut. Demikian lah yang saya dengar langsung dari beliau.
Tetapi perintah Rasulullah SAW itu adalah siasat perang untuk melumpuhkan
pasukan lawan, yang tiada cara lain kecuali dengan cara itu dapat melemahkan
mental pasukan lawan yaitu Bani Nadhir. Dan tindakan Rasulullah SAW itu
dibenarkan oleh Allah SWT.
Asal kisah peristiwa itu adalah bermula ketika Ghozwah Bani Nadhir (kaum Yahudi)
yang melarikan diri dari pengejaran pasukan Muslimin pimpinan Rasulullah SAW.
Mereka melakukan persekongkolan jahat (makar) untuk membunuh Nabi
Muhammad SAW dan siap melakukan perlawanan. Bani Nadhir menjadikan
perkampungan mereka sebagai kubu pertahanan yang lengkap dengan benteng
yang kuat. Mereka menyediakan logistik yang cukup untuk sekitar setahun,
termasuk air bersih jika dikepung hingga datang bantuan pihak yang memusuhi
kaum Muslimin datang membantu mereka.
Artinya: Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir)
atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu)
adalah dengan izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada
orang-orang fasik. (Al-Hasyr: 5).
Motif asal terjadi pertempuran dengan Bani Nadhir disebabkan karena mereka-lah
yang sebenarnya telah bertindak melampaui batas dengan melanggar perjanjian
damai dan mengancam keamanan kaum Muslimin. Dengan demikian Rasulullah SAW
melakukan penyerangan terhadap mereka karena mereka telah berkhianat terhadap
perjanjian yang telah disepakati bersama. Wahyu Allah SWT kepada Rasulullah SAW:
Artinya: Mereka tidak memelihara (hubungan) kerabat terhadap orang-orang
mumin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Dan mereka itulah orang-orang
yang melampaui batas. (At-Taubah: 10).
Dalam Ghozwah Hunain, Bani Hawazun sengaja membawa serta anak-anak dan
isteri-isteri mereka ke medan pertempuran untuk meningkatkan moral mereka
ketika berperang. Maka tidak mustahil dan tidak dapat dielakkan ketika panah-panah
yang diluncurkan oleh pasukan Muslimin akan mengenai warga sipil yang bersama-
sama di dalam pasukan bersenjata musuh.
Ketika Bani Hawazun dan kabilah yang lain dapat dikalahkan di lembah Nakhlah dan
Authas, kota Thaif tempat kubu pertahanan Bani Tsaqif masih tetap belum dapat
dikuasai oleh pasukan Muslimin disebabkan kuatnya perlawanan dari dalam benteng
Thaif.
Dan, dengan menggunakan Manjanik (seperti ketapel berskala besar) yang berfungsi
untuk melempar batu besar. Pasukan Muslimin mengarahkan incaran ke dalam
benteng pertahanan pasukan musuh, dan memang tidak dapat dielakkan seandainya
batu besar itu akan menimpa penduduk sipil yang berada di dalam kota Thaif.
Sekali lagi penyerangan keatas warga sipil bukan atas rencana dan kesengajaan
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Tetapi kejadian itu terjadi karena Bani Tsaqif
telah menjadikan kota Thaif yang penuh dengan warga sipil sebagai tempat
pertempuran. Warga sipil bukanlah sasaran pasukan Muslimin, namun ada
kemungkinan mereka (sipil seperti anak-anak dan wanita Bani Tsaqif) akan menjadi
korban perang karena keberadaan mereka di dalam benteng pertahanan musuh
yang diserang. Walaupun begitu, teknis Manjanik tidak terus-menerus digunakan,
karena Rasulullah menggunakan taktik perang atau siasat perang dengan
memberikan penawaran dan jaminan kepada setiap hamba sahaya (budak) yang
mau lari dari Bani Tsaqif akan dimerdekakan. Pengepungan berlangsung selama
sebulan saja setelah sedikit demi sedikit orang-orang dari Bani Tsaqif menyerah diri
dan menerima Islam.
Motif asal terjadinya pertempuran Ghozwah Hunain adalah dikarenakan kabilah Bani
Hawazun, Bani Tsaqif dan kabilah yang lain telah berkumpul ingin melakukan
penyerangan keatas kaum Muslimin. Akibat ancaman serangan itu Rasulullah SAAW
memimpin pasukan untuk menghadapi kabilah-kabilah tersebut.
Ketika Ghozwah Fathu Makkah di mana terdapat empat orang wanita (Hindun binti
Utbah, Sarah mantan budak Amer bin Hisyam, Fartanai dan Qarinah) yang
diperintahkan Rasulullah untuk dibunuh. Ini adalah karena wanita-wanita itu telah
mengobarkan semangat permusuhan terhadap Rasulullah dan Muslimin, serta
mencaci maki Islam. Tetapi ternyata pelaksanaannya hanya satu wanita saja yang
terbunuh ketika pertempuran, selain itu (tiga wanita yang lain) mendapatkan
pengampunan dari Rasulullah SAW, Hindun termasuk yang mendapatkan
pengampunan. Seandainya Rasulullah adalah seorang yang suka membunuh dan
berniat membalas dendam, sudah pasti Hindun binti Utbah tidak diberikan
pengampunan karena mengingat perbuatannya membelah-belah mayat paman
Rasulullah, Saiyidina Hamzah, yang kemudian memakan hatinya.
Tiada rasa kebencian pada diri Rasulullah terhadap orang-orang yang memusuhinya.
Selama orang tersebut tidak menampakkan permusuhan yang dilanjutkan dengan
langkah-langkah yang nyata, maka selama itu Rasulullah akan membiarkannya
bebas dan aman walaupun orang itu bukan beragama Islam. Dan, sekiranya
Rasulullah memberikan perintah membunuh musuh Islam, maka dia akan
menyebutkan namanya dan keterlibatannya dengan jelas, tidak secara membabi-
buta sehingga siapa saja boleh dibunuh serta dianggap sama. Sebagai pemimpin
negara dan panglima perang, Rasulullah berkuwajiban menjaga keamanan rakyatnya
dengan penuh bijaksana.
Jika benar apa yang dikatakan oleh Imam Samudra bahwa Rasulullah SAW hanya
melakukan tindakan melampaui batas karena membalas musuh yang melampaui
batas, maka bagaimana pula halnya dengan pohon-pohon kurma Bani Nadhir,
mereka tidak pernah merusak tanaman kaum Muslimin, demikian juga warga sipil
Bani Hawazun dan warga sipil Bani Tsaqif, mereka tidak pernah membunuh warga
sipil kaum Muslimin?
Di halaman yang sama (AMT, hal: 119) Imam Samudra mengatakan bahwa alasan
Rasulullah SAW melakukan itu karena berdasarkan ayat Al-Quran;
(Terjamahan di AMT) Artinya: barang siapa yang melampaui batas terhadap kamu,
maka balaslah serangan mereka, sebanding dengan yang mereka lakukan terhadap
kamu. (Al-Baqarah: 194).
Saya yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa bukan berdasarkan ayat ini terjadinya
pertempuran dengan Bani Hawazun. Menurut buku sirah yang saya baca dan pelajari
ternyata Imam Samudra menyalahi kata-katanya sendiri yaitu bagaimana mungkin
Rasulullah membalas tindakan melampaui batas Bani Hawazun padahal Bani
Hawazun tidak melakukan tindakan melampaui batas keatas kaum Muslimin.
Tetapi yang benar adalah perbuatan yang sepadan dilakukan terhadap pelaku
kejahatan tersebut sebagai hukuman kepada pelaku. Itupun yang melaksanakan
hukum itu adalah korban atau walinya, dan jika korban memaafkan pelaku, maka
hukum Qishosh otomatis gugur dilaksanakan. Hukuman atas kejahatan hanya
diperlakukan terhadap pelaku kejahatan, jika hukuman tersebut dijatuhkan kepada
selain pelaku maka itu berarti telah melampaui batas hukum Allah SWT yang adil.
Tetapi Imam Samudra dengan tegasnya menyatakan, bahwa korban tewas dari
kalangan sipil di Bali adalah 'reaksi seimbang', sebagai balasan (Qishosh) untuk
korban sipil Muslim di seluruh dunia, sesuai dengan ayat Al-Quran. (AMT, hal. 143).
Astaghfirullah! Mahasuci Allah dari apa yang mereka (Imam Samudra) sifatkan!!!
Seumpama keluarga kita dibunuh dengan tanpa hak, maka kita tidak boleh
membalas terhadap keluarga pelaku, tetapi kita menuntut hukum pembalasan
(Qishosh) dilaksanakan hanya terhadap pelaku saja. Karena, jika kita membalas
membunuh keluarga pelaku maka itu berarti kita telah membunuh tanpa hak
(menghakimi sendiri) dan masuk ke dalam kategori melampaui batas ketentuan
(hukum) Allah SWT. Yang salah adalah si pelaku, bukan keluarganya. Dosa pelaku
tidak turun kepada keluarganya atau bangsanya. Inilah keadilan yang dituntunkan
dalam Islam. Jika kita telah berlaku adil terhadap sesama umat manusia, maka
berarti kita telah melaksanakan dakwah Islam dan bertakwa.
Artinya: (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang
lain. (An-Najm: 38).
Sungguh Imam Samudra adalah orang yang telah melampaui batas dengan
melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang tidak melakukan kezaliman. Aksi
pembomannya itu telah melampaui batas hukum Allah SWT terhadap hamba-hamba-
Nya, makhluk ciptaaan-Nya di muka bumi ini. Pemboman di Bali telah
mengorbankan sekian banyak jiwa yang tidak mengerti akan apa yang dilakukan
oleh Amerika dan sekutunya di Afghanistan, Iraq dan tempat-tempat lain. Patutkah
mereka (orang-orang sipil) yang bukan pelaku menerima hukuman Qishosh atas
kesalahan orang lain ????
Inilah peringatan dari Allah SWT terhadap orang yang bertindak melampaui batas
ketentuan hukum Allah SWT :
Artinya: Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-
orang yang zalim. (Al-Baqarah: 229).
Seperti yang diakui oleh Imam Samudra serta teman-teman yang sefaham
dengannya bahwa Bom Bali memang dirancang dan dipersiapkan bertujuan
memerangi Amerika dan sekutunya. Ust. Mukhlas sendiri pada sekitar antara tanggal
20 dan 23 Oktober 2002 mengaku kepada saya bahwa dia dan adik-adiknya yang
melakukan aksi Bom di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002. ketika itu saya sedang
bersilaturrahmi menemui adik saya (istrinya) di rumah kontrakannya di Gresik
Surabaya. Saya sempat bingung memikirkan nasib dan keselamatan adik saya,
tetapi Ust. Mukhlas minta saya tidak usah berfikir tentang dirinya walaupun saya
menawarkan bantuan tempat untuk adik saya.
Malah Imam Samudra mensyukuri hasil bom yang mereka ledakkan di Bali sesuai
efek kerusakan yang diinginkan. Seperti katanya, Maka terjadilah apa yang telah
terjadi (AMT, hal: 120). Banyak kata-kata Imam Samudra yang mengarah kepada
pengakuannya atas peristiwa Bom Bali yang terencana, tetapi di sini hanya beberapa
patah kata yang saya kutip dari bukunya (AMT), antara lain:
Bom Bali adalah satu di antara perlawanan yang ditujukan terhadap penjajah
Amerika dan sekutunya. (AMT, hal: 115).
12 Oktober 2002, Alhamdulillah, terjadi serangan berikutnya terhadap Uncle
SAM dan gerombolannya di Bali. (AMT, hal: 94).
Coretan-coretan berikut barangkali dapat membantu memahami konsep
jihad yang kuyakini sehingga terlahirlah peristiwa jihad di Bali. (AMT, hal:
107).
nyatalah bahwa target homogen terbesar didapati di Bali, tepatnya di Sari
Club dan Paddy's Pub. Maka terjadilah apa yang telah terjadi. (AMT, hal:
120).
Jawaban yang sama akan diperoleh dariku jika seseorang atau banyak orang
bertanya kepadaku tentang peperangan yang telah aku dan kawan-kawanku
lakukan di Sari Club dan Paddys Pub. (AMT, hal: 196).
Orang yang tidak mengetahui cara pembuatan bom dan tidak tahu sifat-sifat bahan
yang digunakan, apalagi kadar kekuatan bahan peledak asli atau bahan kimia yang
telah diracik, dan tidak tahu latar belakang Imam Samudra dan kawan-kawannya,
maka pasti akan timbul berbagai kecurigaan dan rasa tidak percaya bahwa Bom Bali
telah direncanakan, dipersiapkan, dan dilaksanakan di Bali oleh 'aktivis masjid',
pendakwah Islam dan para guru pondok pesantren, yaitu Imam Samudra dan
kawan-kawannya yang juga sudah diadili (Ust. Mukhlas alias Ali Ghufran, Ust. Alek
alias Ali Imran, Ust. Bara alias Mubarak, Ust. Idris alias Gembrot, Ust. Sawad, Abdul
Ghoni dan Ust. Hernianto). Kata Imam Samudra Berhentilah memanggilku Ustaz.
(AMT, hal: 202).
Wajar saja bagi orang yang tidak percaya ustaz atau guru pondok mampu buat bom
yang biasanya diketahui hanya memegang Al-Quran, kitab, dan mengajar mengaji.
Ternyata mereka adalah ustaz yang berusaha untuk mengamalkan keyakinan
mereka tentang makna dari perintah ayat Al-Quran. Padahal mereka mengamalkan
ayat tersebut dengan implementasi yang keliru, menuruti hawa nafsu mereka
sendiri. Wajar saja kalau seorang ustaz atau aktivis masjid berbuat salah, karena
mereka juga adalah seorang manusia biasa. Atau apakah mereka tidak mungkin
berbuat salah??
Menurut salah satu media di Indonesia yang memuat pernyataan Imam Samudra
bahwa dia kaget dan tidak menyangka ketika mengetahui akibat dari kekuatan bom
tersebut. Bagaimana Imam Samudra bisa kaget ketika mengetahui begitu
dahsyatnya kerusakan yang terjadi akibat bom yang dibuatnya? Mungkin Imam
Samudra sengaja mengalihkan perhatian dengan menyatakan rasa tidak percaya,
bahwa bom yang dibuatnya dapat memberi efek yang sedemikian rupa. Memang,
Imam Samudra sendiri tidak pernah punya pengalaman tempur di Afghanistan, dan
tidak pernah melihat efek ledakan bom atau rudal yang sekaliber Bom Bali, karena
dia tidak pernah ikut pertempuran di Afghanistan dan tidak dapat menyelesaikan
pendidikannya di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan. Sampai-sampai ada di
antara beberapa orang yang terkenal mengatakan bahwa Bom Bali itu tidak mungkin
dilakukan oleh Imam Samudra dan kawan-kawannya, aktivis masjid, orang yang
tidak berpendidikan tinggi, dan lain-lain lagi analisa yang tidak mungkin, yang
semuanya serba kemungkinan.
Apakah ada kepentingan lain di balik pernyataan itu? Apakah ada maksud di balik
pernyataan itu dengan menganalisa ketidak-mungkinan itu semua? Bahkan, ada
yang mengatakan bahwa itu adalah 'mikro nuklir', intervensi dari pihak luar, tanpa
pembuktian dengan diadakan pengujian bahan kimia di laboratorium, hanyalah
omong kosong bertujuan membentuk opini publik dan menyesatkan umat.
Pengamatan mata bisa salah, tetapi pemeriksaan di laboratorium adalah fakta.
Ada seorang pengacara juga mengatakan bahwa dia masih tidak percaya bahwa
Bom Bali adalah hasil kerja tangan Imam Samudra. Padahal isi buku (Aku Melawan
Teroris) itu sudah cukup jelas memuat pengakuan Imam Samudra. Belum lagi
pengakuan para pelaku Bom Bali yang lain di persidangan yang memiliki latar
belakang pengalaman di medan konflik bersenjata. Kalau pengakuan para pelaku
saja tidak cukup untuk meyakinkan, maka apakah perlu para pelaku itu membuat
bom dan meledakkannya lagi? Mungkin kalau keluarga pengacara itu yang menjadi
korban bom, barulah akan percaya.
Untuk membuat bom tidaklah sulit. Banyak orang yang tidak pernah ke tempat
konflik juga mampu membuat bom. Besar atau kecil bom tergantung kepada
kemampuan fasilitas, dana, personel, tujuan, dan niat. Pasti di antara kita ada yang
pernah mendengar di Indonesia, nelayan membuat bom untuk mencari nafkah
dengan meledakkan sungai atau laut dan ada juga yang mengkomersilkan bom
buatan tangan. Dan, pasti kita pernah membaca atau mendengar berita seorang
anak putus jari atau buntung tangannya karena petasan buatan sendiri. Pernah juga
ada berita di Indonesia, seorang suami mengebom isterinya di rumah yang dituduh
telah berbuat selingkuh, dan macam-macam lagi. Membuat bom dan meraciknya
tidak ada bedanya dengan membuat kue (istilah 'kue' panggilan untuk bom, dipakai
oleh pelaku Bom Kuningan) untuk makan sendiri, jualan, atau menjamu tamu.
Sebelum kue siap terhidang perlu langkah-langkah persiapan bahan, peralatan,
menimbang sukatan (yaitu takaran, sesuai besar atau kecil bentuk yang diinginkan)
dan cara menguli adonan yang benar. Oleh karena itu, membuat bom tidaklah
sesulit yang dibayangkan orang, asal ada keinginan dan kesempatan.
Kekuatan ledakan bom dan efek penghancuran tergantung kepada; jenis bahan
peledak atau bahan kimia yang digunakan (kualitas bahan baku dan atau kualitas
racikan), kuantitas bahan yang digunakan, efek yang dikehendaki (dilengkapi
shrapnel/serpihan terlempar atau tanpa shrapnel seperti efek bakar), sekitar calon
penempatan bom (bangunan atau lapangan).
Sebagai ilustrasi, sebuah granat tangan buatan pabrik yang berbentuk nanas,
kurang lebih sebesar telur bebek, dan berisi bahan peledak (standar TNT). Dengan
berat sekitar 350 gr dan 400 gr, granat memiliki radius bahaya (mematikan) jika
terkena serpihan atau terlempar sekitar 20 hingga 25 meter. Menurut pengakuan
para pelaku Bom Bali, bahan peledak yang dimuat di mobil L300 seberat sekitar 950
kg atau mendekati 1 ton. Dipersiapkan untuk membom, seperti yang diperagakan
salah seorang pelaku Bom Bali, Ust. Ali Imran, teman Imam Samudra sendiri. Hal itu
dibenarkan oleh Imam Samudra, Maka terjadilah apa yang telah terjadi. di Bali
akibat bom yang sebesar itu.
Sepengetahuan saya sebuah warhead (hulu ledak rudal) yang kecil paling minim
berisikan bahan peledak seberat 500 kg yang dibawa oleh sebuah rudal (roket),
sementara bahan peledak (Bom Bali) yang beratnya hampir 1 ton ini dibawa oleh
sebuah mobil L300. Begitu juga bahan peledak untuk Bom di depan kedutaan
Australia sekitar 500 kg. Maka bagi sesiapa yang tidak pernah melihat ledakan bom
atau bahan peledak yang sebesar itu pasti akan terheran-heran dengan gumpalan
asap yang menyerupai gumpalan asal rudal. Mudah-mudahan tidak ada orang atau
pihak yang cuba membodoh-bodohkan masyarakat dengan mengatakan gumpalan
asap yang seperti itu pasti adalah sebuah rudal apalagi nuklir tanpa alasan dan bukti
yang jelas. Tiada beda bentuk ledakan dua buah bom yang sama beratnya (contoh)
yang masing-masing dibawa oleh alat yang berbeda, yaitu yang satu dibawa oleh
rudal sementara yang satu lagi dibawa oleh mobil.
Sekarang mari kita bayangkan, apakah tidak sebanding jumlah bahan peledak yang
digunakan jika melihat radius kerusakan di Sari Club, Paddy's Pub dan sekitarnya di
Legian Bali? Apakah tidak sebanding juga kerusakan yang terjadi di Kuningan
terhadap bangunan-bangunan yang berada di depan kedutaan Australia? Mereka
memahami sifat-sifat serta kekuatan bahan peledak yang dimiliki dan bahkan tahu
cara membuat bom sehingga mereka juga mampu menakar bahan-bahan peledak
yang dibutuhkan untuk efek kerusakan yang dikehendaki. Kata Imam Samudra
Maka terjadilah apa yang telah terjadi. (AMT, hal: 120), sesuai dengan yang
diniyatkan dan direncanakan.
Dengan sekian kali terlibat dalam aksi pemboman di berbagai sasaran di Indonesia,
menunjukkan bahwa Imam Samudra bukan hanya membenci serta memerangi
Amerika dan sekutunya, yang menyerang Afghanistan, Iraq, dan tempat lain,
melainkan juga terbukti sangat membenci umat Kristen dan non-Muslim yang lain.
Alasan saya, setidaknya itu terbukti dengan peristiwa pemboman malam Natal tahun
2000 yang dilakukan oleh Imam Samudra dan teman-temannya di Batam dan Pekan
Baru. Pada hari dan waktu yang sama, di tempat lain di seluruh Indonesia juga
terjadi pemboman serupa dan gereja yang menjadi sasaran. Kejadian Bom malam
Natal secara bersamaan waktunya itu menunjukkan adanya unsur kesepakatan dan
kesengajaan yang direncanakan oleh Imam Samudra dan kawan-kawannya yang
pada waktu itu juga bersama Hambali, dengan keyakinan yang sama pula. Dia
mengetahui persis peristiwa itu dan menamainya Operasi Jihad Natal 2000 (AMT,
hal: 188).
Sekitar tahun 2002, Imam Samudra juga pernah melakukan aksi perampokan di
toko emas milik warga non-Muslim di Serang, Banten, dengan alasan membolehkan
merampas harta milik orang Kafir (non-Muslim). Harta benda hasil rampokan dari
non-Muslim itu mereka sebut Fai yang berarti Harta Rampasan Perang. Padahal Fai
dalam syariat Islam diperoleh bukan dengan cara merampok. Ini tentu merupakan
salah satu bentuk penyelewengan istilah syariat Islam.
Saya tak habis pikir dengan kemampuan Imam Samudra yang mengatakan bahwa
seluruh turis, wartawan, dan lain-lain yang datang ke Indonesia adalah militer
Amerika dan sekutunya. Bagaimana cara dia mengumpulkan informasi sehingga
dengan mudah langsung menetapkan bahwa bule yang ada di Bali adalah militer?
Seperti anak-anak kecil yang hanya mengenali kulit kemudian langsung menganggap
mereka semua sama, orang Barat. Saya juga tidak percaya seandainya ada orang
yang mengatakan kalau Imam Samudra menggunakan bantuan para supranatural
untuk menentukan bule (turis) itu adalah militer. Dan tidak mungkin, sebab Imam
Samudra berfaham salafi.
Imam Samudra barangkali lupa dengan peringatan Allah SWT yang menjelaskan
kedudukan berprasangka dalam Islam, sebagaimana termaktub di dalam Al-Quran:
Sesuatu yang diperoleh dengan persangkaan sama sekali tidak bisa menggantikan
sesuatu yang diperoleh dengan keyakinan.
Bahkan sebenarnya Imam Samudra bukan hanya ceroboh, tetapi dengan sengaja
mengarahkan sasaran pemboman yang dilakukannya bersama teman-temannya di
Bali, yang memang ditujukan kepada orang sipil non-Muslim! Maka memerangi
warga sipil (kalau memang benar sipil) dari bangsa-bangsa penjajah adalah tindakan
yang wajar dilakukan. (AMT, hal: 116).
Jadi, mengapa Imam Samudra berbohong dan tidak langsung saja mengatakan
bahwa dia bersama teman-temannya melakukan pemboman di Bali adalah karena
sedang berperang memerangi orang yang dianggap mereka musuh permanen, yaitu
non-Muslim secara keseluruhan? Dengan demikian, jawabannya menjadi lebih jelas
sebab musabab dilakukan aksi pemboman selama ini, dan tidak perlu berbohong
dengan beralasan bahwa sasaran pembomannya adalah Amerika dan sekutunya.
Apakah alasan Imam Samudra tersebut sekadar ingin meraih simpati umat Islam
setelah melihat penyerangan yang telah Amerika dan sekutunya lakukan terhadap
Afghanistan, Iraq, dan di tempat-tempat lain? Ataukah dia ingin mengalihkan
perhatian umat Islam dan umat manusia secara keseluruhan terhadap kezaliman
yang dilakukannya dengan mengajak umat Islam membenci Amerika dan sekutunya
yang berbuat zalim? Sekecil apapun kezaliman yang dilakukan Imam Samudra tetap
merupakan kezaliman yang dilarang dalam Islam dan berdosa.
Imam Samudra juga tidak perlu beralasan dengan berbagai macam dalil yang
dianggapnya membolehkan membunuh warga sipil, wanita, anak-anak dan orang
tua, dll. Karena menurut faham yang dianut oleh Imam Samudra, siapa saja yang
tidak memeluk agama Islam harus diperangi dan dibunuh tanpa perlu disampaikan
dakwah. Sungguh kebencian dan permusuhan yang ada pada dirinya tanpa dasar
dan alasan.
Hadis riwayat Anas ra.: Dari Nabi SAW tentang dosa-dosa besar, beliau bersabda:
Menyekutukan Allah, mendurhakai kedua orangtua, membunuh manusia dan
persaksian palsu. (Hadis Sohih Bukhari dan Muslim)
Jika saya bertanya kepada pembaca, apakah orang-orang non-Muslim yang berada
di Bali itu memerangi Islam dan kaum Muslimin? Apakah mereka telah melampaui
batas sehingga harus dibalas? Atau, apakah orang-orang non-Muslim di Bali itu
sedang mengadakan persiapan kekuatan kemiliteran di Bali untuk menyerang kaum
Muslimin?
Tentu jawaban pembaca adalah tidak dan tidak tahu karena tidak melihat bukti yang
nyata yang dilakukan oleh orang-orang sipil non-Muslim itu.
Bom Istisyhadah
Kekeliruan Imam Samudra dan teman-temannya dalam menentukan sasaran dan
status 'perang' melawan musuh Islam di Bali tidak bisa disamakan dengan berperang
di medan perang. Karena itu, teman Imam Samudra yang berada di dalam mobil
pengangkut bom dan yang menggunakan bom ransel yang kemudian semuanya juga
menjadi korban tewas, tidak dapat dikatakan melaksanakan praktek isytisyhadah
atau istimaata. Meski niatnya benar untuk mati syahid, namun karena cara
pelaksanaannya salah, maka tetap salah. Mereka juga tidak dapat memenuhi
persyaratan terkabulnya Amal, yaitu ikhlasun niyah (niat yang ikhlas) dan
Mutabaatu rasul (mengikuti contoh Rasulullah). Wallahu a'alam.
Istilah istimaata berasal dari bahasa Arab, diambil dari kata maata - yamuutu yang
berarti dia mati. Apabila kata tersebut ditambah dengan alif, sin dan ta maka akan
berbunyi istamaata yastamiitu - istimaata yang berarti meminta mati atau
menjadikan mati, sementara isytisyhadah berarti menjadi mati syahid. Istimaata
atau isytisyhadah adalah permintaan dari anggota pasukan (perajurit) kepada
pimpinannya untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang muncul dalam
menghadapi musuh. Dengan mengorbankan dirinya, si prajurit memperkirakan akan
memberikan peluang kemenangan bagi pasukannya. Tetapi itupun setelah
dipertimbangkan oleh pimpinan dan menurut hematnya tidak ada cara lain yang
dapat digunakan untuk meminimalisasi risiko pasukannya.
Dua orang yang terlibat dalam Bom Bali itu, menurut Imam Samudra dan kawan-
kawan adalah mati syahid. Tentu, kebenaran hal itu masih dipertanyakan. Bukankah
tak satu orang pun yang dapat menjamin dirinya atau siapa saja yang mati akan
masuk syurga. Dikisahkan, sewaktu Sayyidina Umar Al-Khattab r.a nazak, ia
berbaring menangis menunggu detik-detik ajalnya. Lalu, seseorang yang
mendampinginya menanyakan mengapa beliau menangis. Umar r.a menjawab:
Apakah amalku akan diterima oleh Allah SWT?
Sebagai khalifah dan sahabat Nabi yang termasuk dijanjikan syurga oleh Nabi
Muhammad SAW, Sayyidina Umar masih mempertanyakan tentang amal kebaikan
yang dilakukannya di dunia. Betapa mulianya akhlak Sayyidina Umar r.a yang
meyakini syurga dan neraka ditentukan oleh Allah SWT. Tak ada yang dibawa oleh
seseorang ketika maut menjemput, kecuali amalnya sewaktu hidup. Jika amal
kebaikannya diterima oleh Allah SWT maka berbahagialah dia di syurga dan
seandainya amalnya ditolak oleh Allah SWT maka celakalah dia di dalam neraka.
Sungguh manusia tak sedikit pun memiliki pengetahuan apalagi menjamin seseorang
masuk syurga. Kita hanya diperintahkan untuk berbuat amal kebaikan sebanyak-
banyaknya selama hidup, sedangkan penentuan syurga atau neraka adalah milik
Allah SWT.
Siapakah yang dapat menjamin seseorang yang mati langsung masuk syurga?
Hanya Rasulullah SAW saja yang pernah langsung menyebut nama di antara
kalangan sahabatnya yang akan masuk syurga. Hanya Rasulullah lah yang diberikan
Allah SWT kemampuan serta mukjizat. Sementara sebagai manusia biasa, kita tidak
mampu menjamin diri sendiri masuk syurga. Bagaimana kita dapat menjamin orang
lain masuk syurga? Kita hanya mampu berharap dimasukkan ke dalam syurga dan
berharap amal kebaikan kita diterima oleh-Nya.
Dikisahkan, seorang dari pasukan Muslimin tewas dalam pertempuran. Para sahabat
mengatakan orang tersebut mati syahid dan akan menjadi penghuni syurga. Namun,
Rasulullah SAW mengatakan orang tersebut bakal menghuni neraka karena niatnya
yang tidak benar, meski dia tampak berjihad bersama Nabi Muhammad SAW.
Dilihat dari sisi kacamata kemiliteran, jika memang Imam Samudra menganggap
mereka sedang berperang, maka saya katakan anggapan itu Salah. Begitu juga
kondisi dan kesempatan yang ada pada waktu itu tidak memenuhi kualiflkasi untuk
membenarkan dua orang temannya melaksanakan praktek bom bunuh diri. Imam
Samudra dan kawan-kawannya tega membiarkan kedua temannya, Isa dan Iqbal,
menjadi korban bom yang tak sebanding dengan kemaslahatan yang diperoleh.
Secara teknis, dalam meledakkan bom sebenarnya masih ada cara lain yang lebih
aman bagi anggota timnya sehingga dapat menghindari jatuhnya korban tewas. Jika
itu dilakukan, tak akan ada korban tewas bunuh diri di antara mereka, seperti Iqbal
dan Isa pada Bom Bali, Asmar Latin Sani pada Bom Hotel JW Marriott, dan Heri
Gulun pada Bom Kuningan. Namun, tak perlu saya sampaikan cara-cara
pelaksanaannya sebab saya tidak setuju Bali dijadikan 'medan perang' sehingga
orang-orang sipil menjadi sasaran. Begitu juga dengan pemboman Hotel JW Marriott
dan di depan kedutaan Australia, Jakarta, dan juga aksi bom di tempat umum yang
lain, saya tidak setuju.
Di antara contoh istimaata yang pernah dilakukan oleh para Sahabat adalah Baro'
Bin Malik ra, yaitu pada saat terjadinya pertempuran Yamamah. Melihat pasukan
Muslimin dalam kesulitan, Baro' Bin Malik meminta dilemparkan dengan
menggunakan Manjanik, alat pelempar, ke dalam benteng pertahanan musuh agar
dapat membuka pintu gerbang benteng dari dalam, meski itu sangat membahayakan
keselamatan dirinya.
Keputusan Baro' Bin Malik itu tidak berdasarkan inisiatifnya pribadi, tetapi atas
pertimbangan dari pasukan Muslimin. Setelah mempertimbangkan kemampuan fisik
dan tempur yang dimiliki Baro' Bin Malik dan keuntungan militer yang akan
diperoleh, pimpinan pasukan membolehkan hal itu dilakukan. Dan, ternyata
sesampainya di dalam benteng musuh, ia mampu menghadapi lawan dengan satu
tangan sementara tangan satunya lagi membuka pintu gerbang. Dengan demikian
pasukan Muslimin dapat memasuki benteng pertahanan musuh dan memenangkan
pertempuran.
Dari kisah di atas, setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan sebelum
mengambil keputusan membenarkan anggota pasukan untuk melakukan istimata
terhadap pasukan bersenjata musuh, yaitu: Kemampuan fisik dan keterampilan
anggota pasukan itu. Memperkirakan kemungkinan-kemungkinan akibat yang timbul
dan hasil yang diperoleh setelah dilaksanakan aksi istimata itu. Apakah memberikan
manfaat yang lebih besar kepada pasukan ataupun hanya mendapatkan keuntungan
kecil saja dibandingkan dengan harus kehilangan jiwa anggota pasukannya. Jika
keadaan memang sangat mendesak harus melakukan istimaata dan tidak cara lain.
Ketika terjadi perang Mutah, Kholid Bin Walid adalah seorang Sahabat Nabi yang
pertama kali menjadi komandan perang pasukan tempur Muslimin. Pengangkatan
Kholid Bin Walid bukan dilantik oleh Nabi Muhammad SAW, tetapi diangkat oleh para
Sahabat di medan pertempuran setelah tewasnya ketiga komandan yang dilantik
oleh Rasulullah SAW di Madinah, sebelum berangkat ke medan perang.
Kebijakan pertama dan utama yang diputuskan oleh Kholid Bin Walid setelah
menerima mandat tersebut dari para Sahabat adalah menarik pasukan Muslimin
mundur kembali ke Madinah. Hal ini mengingat telah banyaknya jatuh korban dari
pasukan Muslimin dan juga banyaknya yang terluka. Pasukan berhasil dibawa
kembali ke Madinah dengan selamat tanpa sepengetahuan pasukan musuh.
Setibanya pasukan di Madinah, kaum Muslimin mencela dan menghina mereka yang
dianggap telah melarikan diri dari medan pertempuran. Kecuali Rasulullah SAW yang
membenarkan tindakan Kholid Bin Walid itu dan langsung digelari Saifullah, yang
berarti pedang Allah.
Pelajaran yang bisa kita petik dari kisah tersebut adalah, jika mati menjadi tujuan
perang dan mati syahid menjadi keinginan pasukan Muslimin, mengapa Kholid Bin
Walid membawa pasukan Muslimin mundur ke Madinah dan tidak meneruskan
perang saja sehingga mereka seluruhnya mati syahid? Bukankah para Sahabat
sangat memahami fadhillah syuhada (keistimewaan mati syahid)? Tentu, semuanya
itu karena mati bukanlah tujuan perang, tetapi keberanian dan siap matilah yang
diperlukan dalam berperang.
Contoh peristiwa yang Imam Samudra uraikan dalam bukunya (AMT, hal: 175-179)
adalah kisah pertempuran di medan peperangan, seperti:
1. AMT, hal: 175, tentang kisah Ibnu Syaibah dalam Al Mushannif, yaitu
mengisahkan seorang lelaki yang menerobos masuk berkali-kali ke sejumlah
pasukan lawan yang bersenjata.
2. AMT, hal: 175, tentang kisah Imam Tarmidzi, Abu Daud, Al Hakim, dan Ibnu
Hibban, yaitu mengisahkan bagaimana seorang perajurit pasukan Muslimin
menyerbu sendirian ke pasukan Romawi.
3. AMT, hal: 179, tentang kisah Baro' Bin Malik r.a. yang dilemparkan ke dalam
benteng musuh di perang Yamamah.
4. AMT, hal: 178, tentang Hadis riwayat Ibnu Abi Syaibah yang mengisahkan
Muadz Bin Ufra r.a. yang menanggalkan pakaian perang (baju besi) ketika
menyerbu ke pasukan musuh.
Semua kisah tersebut adalah sebagian dari contoh peristiwa yang dialami para
Sahabat Nabi di medan peperangan. Bagaimana mungkin contoh-contoh itu
digunakan sebagai model yang dapat diikuti di masa kini, bukan di medan
peperangan. Terlebih yang diserang adalah masyarakat awam, lemah, dan tidak
bersenjata.
Perbuatan Imam Samudra telah melampaui batas dan mencemarkan nama baik para
Sahabat Nabi. Padahal para Sahabat r.a adalah orang-orang pemberani di medan
pertempuran menghadapi pasukan bersenjata. Sementara Imam Samudra dan
teman-temannya hanya berani secara sembunyi menyerang di tengah pasar orang
sipil yang lemah dan tak bersenjata. Sungguh malu dan memalukan!! Wallahu
a'alam.
Bangunlah menuju Syurga yang luasnya seluas langit-langit dan bumi. (Hadis
Sohih Riwayat Muslim).
Kamu di Syurga. (Hadis Sohih Riwayat Bukhori dan Muslim dari Jabir), perkataan
Rasulullah SAW itu adalah ketika menjawab seorang yang menanyakan posisinya
jika dia terbunuh di pertempuran.
Di kala Allah SWT melihat tangan hamba menebas (musuh) ke sana ke mari dalam
suatu pertempuran tanpa memakai baju besi. (Riwayat Ibnu Ishaq dalam kitab Al-
Maghaziy dari Ashim bin Umar bin Qotadah).
Cerita ini mengisahkan Auf bin al-Harits ketika Ghozwah Badar bertanya kepada
Rasulullah tentang apa yang membuat Allah SWT tertawa melihat hamba-Nya yang
sedang berperang. Setelah mendengar jawaban Nabi SAW dia membuang baju
besinya dan langsung menyerang musuh hingga mati syahid.
Bab 9
Ghozwah ( Peperangan )
Berikut ini dijelaskan secara ringkas tentang sebab-sebab terjadinya 28 kali
Ghozwah (peperangan) di mana Rasulullah SAW terlibat di dalamnya. Sebuah
pertempuran atau gerakan pasukan Muslimin yang dipimpin oleh Nabi Muhammad
Rasulullah SAW disebut Ghozwah, yang dapat diartikan juga Perang.
20. Ghozwah Bani Lihyan terjadi karena membalas Kabilah Bani Lihyan (Tragedi
Ar-Raji) yang telah melakukan pengkhianatan dengan pembunuhan terhadap 4
orang juru dakwah Islam dan menjual 2 orang juru dakwah Islam kepada
Quraisy yang kemudiannya dibunuh juga. Tidak terjadi pertempuran sebab Bani
Libyan telah melarikan diri.
21. Ghozwah Dzi Qarad dilakukan oleh Rasulullah SAW karena sekelompok
penjarah dari Bani Ghatafan telah membunuh seorang Muslim dan membawa lari
seorang wanita Muslimah bersama onta-onta ternakan. Tidak terjadi
pertempuran, hanya pengejaran yang berhasil menyelamatkan wanita Muslimah
itu dan kawanan onta ternakan. Sementara sekelompok penjarah dapat
melarikan diri.
22. Ghozwah Hudaibiyah direncanakan oleh Rasulullah SAW karena mengambil
kesempatan musim Haji ke Baitul Haram Makkah, di mana bangsa Arab
berkumpul untuk berhaji (budaya Arab). Rasulullah SAW meyakini bahwa tidak
akan terjadi pertempuran sebab budaya Arab melarang (tidak boleh) berperang
pada bulan haji. Misi Hudaybiyah adalah misi dakwah dengan menampakkan
eksistansinya umat Islam yaitu pengikut Rasulullah SAW kepada bangsa Arab,
dengan harapan mereka menerima Islam. Dengan kesempatan ini Rasulullah
SAW mengadakan perjanjian damai dengan kabilah Quraisy, perjanjian ini
dinamakan Hudnah Hudaybiyah yang berarti gencatan senjata Hudaybiyah.
23. Ghozwah Khaibar adalah pertempuran antara pasukan Muslimin dengan kaum
Yahudi Khaibar yang ada di Madinah. Penyebab terjadinya pertempuran ini
adalah karena Kaum Yahudi Khaibar menghasut kabilah-kabilah Arab untuk
memusuhi kaum Muslimin.
Setelah Makkah telah dapat dikuasai oleh Rasulullah SAW dan kaum Muslimin,
maka kaum Quraisy seluruhnya dikumpulkan, lalu beliau SAW membebaskan
mereka yang kemudiannya mereka semua memeluk agama Islam tanpa
dipaksa. Begitu juga pengampunan diberikan kepada orang-orang yang telah
diperintahkan Rasulullah SAW untuk dibunuh sebelum memasuki Makkah, ada
10 orang tetapi hanya 3 lelaki dan seorang wanita saja yang terbunuh. Di antara
yang masih hidup di saat pemberian pengampunan adalah, Abdullah bin Saad,
Ikrimah bin Abi Jahal, Al-Haris bin Hisham, Zuhair bin Abu Umayyah, seorang
hamba sahaya Ibnu Khattal, Sarah maula Bani Abdul Muthalib dan Hindun bin
Utbah.
Bab 10
Jihad Membela Agama, Bangsa & Negara
Suasana peperangan di sebuah medan pertempuran, terbayang di fikiran saya
seperti filem dokumentari tentang perang dunia pertama dan perang dunia kedua.
Dua pasukan yang lengkap bersenjata saling tembak menembak antara satu sama
lain, dan kalau ingin dibandingkan dengan mujahidin Afghanistan terdapat sedikit
perbedaan, yaitu pasukan Mujahidin Afghanistan tidak memakai pakaian seragam.
Pertama kalinya saya melihat mujahidin hanya melalui foto-foto, di mana Mujahidin
Afghanistan (bukan Pejuang Taliban) ketika bertempur dan melakukan tembak
menembak yang dapat saya lihat di majalah dan surat kabar hanya memakai
pakaian kebiasaan sehari-hari seperti pakaian di kampung halaman mereka. Begitu
juga foto-foto Pejuang Bangsa Moro di Filipina Selatan (Mindanao). Pejuang Bangsa
Moro pada kebanyakan mereka hanya memakai sandal jepit dan bercelana jeans
juga berbajukan kaos oblong membawa senjata memerangi pasukan tentera
pemerintah Filipina (AFP).
Ada dua hal yang dapat saya katakan bahwa pelaksanaan Jihad perang yang
dilakukan oleh Mujahidin Afghan di Afghanistan adalah sama seperti Jihad perang
zamannya Rasulullah SAW yaitu yang pertama jika dipandang dari sudut bertemunya
dua pasukan sebagaimana dikisahkan Allah SWT di dalam Al-Quran.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang
yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi
mereka (mundur). (Al-Anfal:15)
Lebih meyakinkan lagi penilaian saya terhadap Mujahidin Afghan ketika berpeluang
melihat langsung di bumi Afghanistan sekitar tahun 1987. Peperangan yang nyata di
hadapan mata di saat melihat pasukan musuh yaitu tentara Rusia bersama dengan
pasukan tentara pemerintah komunis Afghanistan. Begitu juga setelah tentara Rusia
mundur kembali ke negara Rusia, pasukan Mujahidin bertempur menghadapi
pasukan tentara pemerintah komunis Afghanistan di bawah pimpinan Presiden
Najibullah.
Dan begitu pula ketika pengalaman saya bersama Mujahidin Bangsa Moro di Filipina
Selatan sejak akhir tahun 1994 hingga akhir tahun 1996, dan kemudian datang lagi
pada tahun 2000. Dengan demikian bertambah kuat lagi keyakinan saya akan teknis
pelaksanaan Jihad Perang yang benar, yaitu bertemunya dua pasukan dalam
keadaan bersiap siaga dan bertempur lengkap bersenjata. Pasukan Mujahidin
Pejuang Bangsa Moro juga menghadapi pasukan tentara Filipina yang datang
menyerang ke wilayah yang dikuasai oleh Mujahidin Bangsa Moro. Mujahidin Bangsa
Moro menuntut wilayah yang mayoritas penduduk Muslim di Pulau Mindanao Filipina
Selatan supaya dipisahkan dari pemerintah Filipina. Sesuai dengan sejarah Bangsa
Moro, mereka berhak untuk merdeka.
Sekitar tahun 1972 ketika Republik Filipina di bawah pemerintahan presiden Marcos,
pemerintah Filipina membuat kebijakan membumi-hanguskan Bangsa Moro di Pulau
Mindanao melalui kebijakannya yang disebut 'Martial Law'. Bermula dari saat itu
Mujahidin Bangsa Moro dalam sikap bertahan menghadapi pasukan tentara Filipina
yang menyerang ke kawasan pendudukan Mujahidin Pejuang Bangsa Moro. Musuh
Mujahidin Pejuang Bangsa Moro tampak nyata di hadapan mata Mujahidin, dan
diketahui posisi keberadaan musuh sehingga peluru meriam atau roket dapat
diarahkan ke sasaran yang tepat, yaitu ke lokasi pasukan musuh yang bersenjata.
Walaupun di sekitar tempat pertempuran terdapat perkampungan non-Muslim
namun perkampungan itu tidak diganggu oleh pihak Mujahidin Pejuang Bangsa Moro.
Yang demikian itu adalah bentuk Jihad Perang seperti yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad SAW, jika dipandang dari sudut bertemunya dua pasukan.
Sementara hal kedua yang boleh dikatakan Mujahidin Afghanistan dan Pejuang
Bangsa Moro melaksanakan praktek yang sama dengan Jihad perang Rasulullah SAW
adalah sikap mempertahankan Hak. Menurut pengakuan salah seorang pemimpin
Mujahidin Afghanistan yaitu Ustaz Abdur Rabbir Rasul Sayyaf (Pemimpin Tanzim
Ittihad-e-Islamiy) menjelaskan bahwa pertama kali terjadinya konflik adalah ketika
masyarakat menyadari program pemerintah yang menginginkan penerapan unsur-
unsur komunis yang bermula dari pendidikan dan budaya hidup.
(Mujahidin Afghanistan yang saya sebutkan di sini bukanlah Pejuang Taliban yang
pernah menyerang Mujahidin Afghanistan. Pejuang Taliban tidak melakukan sikap
Jihad Defensive pada awal perjuangannya tetapi Taliban langsung melakukan
Offensive ke atas Negara Islam Mujahidin Afghanistan, jelas langkah itu menyalahi
sunnah Rasulullah SAW).
Di antara orang-orang Islam dari kalangan aktivis Muslim, ada yang berkeyakinan
bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang selalu berfikir untuk berperang, melawan
kelompok/bangsa lain yang bukan Islam dan memaksa mereka untuk memeluk
agama Islam. Sebab, menurut mereka, Rasulullah SAW tidak membenarkan adanya
orang bukan Islam (non-Muslim) wujud di muka bumi ini. Dengan alasan dari dalil
Al-Quran dan Hadis yang memerintahkan memerangi orang yang bukan Islam
(seperti keterangan dalam buku Aku Melawan Teroris karya Imam Samudra). Namun
saya katakan bahwa itu tidak benar, dan sekali-kali tidak benar jika seandainya kita
mempelajari dengan detil sirah (perjalanan hidup) Rasulullah SAW dan
memahaminya dengan baik.
Sebagai seorang Nabi yang diutus oleh Allah SWT untuk menyebarkan dakwah
Islam, maka sudah sayogyanya bagi Allah SWT membimbing Rasul-Nya sepanjang
yang dilakukan sejak pengangkatan sebagai seorang Nabi. Dan Nabi Muhammad
SAW pula selaku utusan Allah senantiasa bersikap, berakhlak dan bertindak sesuai
dengan apa yang dituntun oleh wahyu Ilahi yang diturunkan kepadanya. Sampai-
sampai isteri Rasulullah SAW, Aisyah r.a mengatakan "Akhlak kepribadiannya adalah
Al-Quran. ketika menjawab pertanyaan salah seorang sahabat Nabi tentang akhlak
kepribadian Rasulullah SAW. Oleh karena itu boleh dikatakan jika mau, cukuplah
bagi kita untuk membenarkan segala yang dilakukan oleh Rasulullah SAW tanpa
melihat dalil-dalil yang ada di dalam Al-Quran.
Dan Allah SWT juga dalam Al-Quran mensifatkan Nabi Muhammad SAW yang
memiliki contoh teladan yang baik untuk diikuti,
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Al-Ahzab: 21).
Sebab kita percaya bahwa tidak mungkin Rasulullah SAW akan berbuat sesuatu yang
menyalahi wahyu Allah SWT Tetapi seandainya ada kekeliruan dan kekhilafan yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW (karena beliau adalah manusia) sudah pasti Allah
SWT akan menegurnya dan Beliau SAW langsung dengan cepat akan merubah.
Semua kisah perjalanan hidup Rasulullah SAW sejak lahir hingga wafat terdapat di
dalam buku-buku sirah. Allah SWT menjelaskan di dalam Al-Quran bahwa apa yang
diucapkan dan dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW adalah wahyu, bukan menuruti
hawa nafsunya.
-
Artinya: dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
(An-Najm: 3-4)
Dengan demikian sejak pertama kali saya memahami Jihad perang Rasulullah SAW
bukanlah dari pemahaman dalil-dalil Al-Quran dan Hadis Nabi, tetapi saya
mempelajari sejarah perjalanan hidup Rasulullah SAW, sehingga saya dapat
membandingkan praktek yang dilakukan oleh Mujahidin Afghanistan (bukan Pejuang
Taliban) dan Mujahidin Bangsa Moro (bukan Abu Sayyaf Group), sehingga dapat
saya katakan memenuhi persyaratan jika dipandang dari dua sudut yaitu membela
tanah air/wilayah yang menjadi Hak mereka sebagaimana Rasulullah SAW membela
tanah kurniaan Madinah dan bertemunya dua pasukan bersenjata yaitu pelaksanaan
Jihad perang menghadapi pasukan bersenjata sebagaimana pasukan Rasulullah SAW
juga menghadapi pasukan bersenjata yang menjadi lawannya. Saya berani
mengatakannya karena saya mengalami sendiri langsung bersama Mujahidin
Afghanistan dan Mujahidin Pejuang Bangsa Moro suatu waktu, dahulu.
Saya percaya bahwa wahyu Allah SWT (dalil-dalil Al-Quran) yang diturunkan kepada
Rasulullah SAW ada kaitannya dengan apa yang dilakukan oleh beliau bersama para
sahabat pada waktu itu. Maka oleh yang demikian sepantasnya-lah memahami sirah
Nabi Muhammad SAW sebelum berbicara tentang ayat Jihad Perang dalam Al-
Quran. Saya khawatir, dengan tidak memahami sirah Nabi Muhammad SAW akan
mengakibatkan pemahaman dalil-dalil menurut fikiran sendiri dan mengikuti hawa
nafsu. Dan yang lebih berbahaya lagi apabila mencoba memaksakan dalil-dalil Al-
Quran dan Hadis tersebut supaya bersesuaian dengan apa yang dilakukannya.
Wallahu alam.
Akan timbul bahaya yang sangat membahayakan banyak orang, apabila seseorang
memahami ayat Al-Quran dengan arti zahir saja (terjemahan harfiyah), sehingga dia
menjadikan perintah urusan perang atau menyerang tidak perlu lagi menunggu
keputusan dari hasil kebijakan seorang pemimpin tertinggi sebuah negara seperti
Perdana Menteri, Presiden (dalam bahasa Arab disebut Amir Daulab Islamiyah) atau
seorang Kholifah. Karena dia menganggap Al-Quran itu adalah kitab tuntunan untuk
setiap pribadi Muslim yang punya kuwajiban melaksanakan setiap ayat di dalam Al-
Quran. Akibatnya pelaksanaan perintah Al-Quran itu semua akan dianggap sama
yang dibebankan terhadap setiap individu Muslim, pemahaman ini adalah jelas tidak
benar.
Pemahaman yang muncul sekarang ini dari kalangan sebagian aktivis Muslim adalah
bahwa perintah perang dari dalil Al-Quran tersebut sudah cukup menjadi beban
tanggungjawab kepada setiap individu yang beragama Islam, karena Al-Quran
adalah panduan untuk semua umat Islam. Maka setiap perintah yang ada di dalam
ayat Al-Quran adalah wajib untuk dilaksanakan, sebab perintah itu adalah perintah
yang diberikan langsung oleh Allah SWT Oleh karena itu, jika tidak melaksanakannya
akan berdosa.
Padahal Jihad yang berarti perang yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW tidak
pernah terjadi dengan hanya dilakukan oleh satu orang atau 2-3 orang saja tetapi
Jihad Perang yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW adalah sebuah pasukan yang
terorganisir rapi di bawah satu komando.
Bagaimana dapat dikatakan perang kalau hanya sendirian saja? Dan bagaimana
dapat dikatakan perang kalau tidak terorganisir di bawah satu kepimpinan? Dan
bagaimana dapat berperang jika kepemimpinannya tidak jelas?
Artinya: Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani
melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mu'min
(untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir
itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan (Nya). (An-Nisa: 84).
Menurut tafsir Qurtubiy, asbabun nuzul ayat ini adalah sesaat sebelum terjadinya
Ghozwah Badar pertama. Dan perintah yang ada pada ayat ini adalah kuwajiban
Rasulullah SAW untuk melakukan Jihad Perang secara sendirian jika para sahabatnya
tidak mau ikut mempertahankan wilayah dari serangan musuh. Dan ayat ini juga
perintah kepada setiap mukmin untuk melakukan Jihad Perang biarpun sendirian jika
tiada orang lain yang mau berjuang mempertahankan hak dan membela hak
(setelah berusaha mengajak namun tidak ada satu pun yang menerima).
Menurut tafsir Ibnu Katsir, ayat tersebut sebagai kabar gembira kepada Rasulullah
SAW untuk tetap berperang biarpun sendirian sebab Allah SWT akan membantu
mengalahkan Quraisy yang berniat mengadakan penyerangan. Ayat ini juga berlaku
kepada selain Rasulullah SAW yang berperang biarpun secara sendirian menghadapi
pasukan musuh yang datang menyerang.
Pernah Baro Bin Azib r.a. ditanya tentang seorang sahabat yang menghadapi
sendirian menerobos ke arah sepasukan musuh berjumlah seratus orang. Apakah
tindakan itu tidak menyalahi larangan Allah SWT dalam Al-Quran dari
membinasakan diri sendiri?
Artinya: Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah:195).
Tetapi Baro Bin Azib menjawab bahwa apa yang dilakukan oleh sahabat itu adalah
bersesuaian dengan ayat Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu
dibebani melainkan dengan kuwajiban kamu sendiri. (An-Nisa: 84). Dalam riwayat
yang lain Baro Bin Azib menjelaskan bahwa ayat dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan. (Al-Baqarah:195) itu adalah berkenaan dengan
harta yang diinfakkan. Dalam riwayat lain, Baro Bin Azib menjelaskan ketika ayat
Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan
dengan kuwajiban kamu sendiri." diturunkan, langsung Rasulullah SAW berbicara di
hadapan sahabat-sahabatnya "Sesungguhnya Robbku memerintahkanku untuk
berperang maka berperanglah kamu semua.
Allah SWT memberikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad SAW dengan ayat
itu, yang seandainya Rasulullah SAW hanya melaksanakan perang secara sendirian
pun akan dibantu oleh Allah SWT. Rasulullah SAW melakukan perang itu karena
pertahanan dan pembelaan terhadap apa yang telah Allah karuniakan yaitu Negara
Islam, Agama Islam dan komunitas Muslim. Tetapi sebagai teladan kepada para
sahabat serta umatnya, maka Allah SWT perintahkan Rasulullah SAW untuk
membangkitkan semangat perang para sahabat, sebab dengan ketabahan pasukan,
persatuan yang solid, berdedikasi tinggi serta sabar menghadapi pasukan musuh,
yang akan menjadi sebab-musabab pertolongan Allah SWT. Karena Allah SWT tidak
akan merubah nasib seseorang atau suatu kaum kecuali mereka berusaha merubah
sebab-sebab kemunduran mereka sendiri, sebagaimana termaktub di dalam Al-
Quran.
Artinya: "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Ar-Rad: 11)
Oleh karena hampir mayoritas penduduk Madinah telah mengikuti ajaran Islam yang
dibawa oleh Rasulullah SAW, maka menjadi kuwajiban Rasulullah SAW untuk
menjaga keamanan agama Islam yang dibawanya. Lagi pula masyarakat Muslim di
Madinah adalah masyarakat Muslim yang pertama diorganisir dalam sebuah
kepimpinan kenegaraan setelah hijrah dari Makkah. Sedangkan pemimpin tertinggi
mayoritas penduduk (penganut agama Islam) di Madinah adalah Rasulullah SAW,
yang diatur dalam tatanan kenegaraan.
Kabilah Aus dan kabilah Khazraj di Madinah telah memberikan tempat dan dukungan
untuk membela agama Islam dan muhajirin yang datang dari Makkah, mereka
dipanggil dengan istilah Anshor (artinya Penolong). Hijrahnya Rasulullah SAW dan
para sahabat r.a (muhajirin) ke Madinah adalah karena: ingin menyelamatkan iman
dan keyakinan (aqidah) terhadap agama yang baru mereka anuti yaitu Islam,
menyelamatkan diri mereka dari disiksa dan dibunuh oleh kabilah Quraisy, dan
menyelamatkan diri dari dipaksa kembali kepada agama lama yaitu kesyirikan
(fitnah), sebagaimana yang pernah terjadi di Makkah sebelum berpindah ke Madinah
(Hijrah).
Gabungan antara Rasulullah SAW dan para sahabatnya muhajirin dari Makkah
bersama pihak Anshor yang bertempat tinggal di Madinah adalah sebuah kekuatan
baru bagi Rasulullah SAW untuk menghadapi penghalang dakwah Islam yaitu Kabilah
Quraisy yang kafir.
Kabilah Quraisy adalah suku Arab yang disegani di antara kabilah-kabilah Arab yang
ada di tanah Jazirah karena mereka adalah kabilah terkuat dan penjaga Baitul
Haram di Makkah yaitu tempat semua kabilah Arab berkumpul untuk menunaikan
ibadah haji (haji zaman jahiliyah). Kabilah Quraisy merasa terganggu dengan
pengakuan Nabi Muhammad sebagai utusan Allah yang menyerukan kalimah Tauhid
(Laa ilaha illallah, artinya Tiada Tuhan selain Allah) sehingga sejak awal lagi para
pemuka Quraisy telah melakukan pembunuhan dan penyiksaan terhadap para
penganut Islam yaitu pengikut Nabi Muhammad Rasulullah SAW di Makkah.
Kabilah Quraisy adalah musuh utama yang menghalangi dakwah Islam pada waktu
itu. Rasulullah SAW selaku pimpinan tertinggi di sebuah komunitas yang baru (di
Madinah) bertanggungjawab merencanakan langkah strategis bagi menjaga
keamanan para pengikutnya yang relatif masih sedikit dan juga penerus dakwah
Islam. Misi utama Rasulullah SAW adalah menegakkan kalimat Tauhid (Laa ilaha
illallah) dengan tetap menjaga eksistensinya di muka bumi.
Tempat pertama yang pernah diperintahkan oleh Rasulullah kepada beberapa orang
sahabatnya r.a., adalah ke Habsyah (Abessina atau Eriteria) negeri yang diperintah
oleh seorang penganut agama Nasrani (Kristen) bernama raja Najashi, dengan
mengatakan bahwa di negara itu dipimpin oleh penganut agama Nasrani yang patuh.
Tempat perlindungan yang dipilih oleh Nabi Muhammad SAW adalah negara Kristen
dan memerintahkan kepada beberapa pengikutnya untuk ke negara itu meminta
perlindungan kepada orang Kristen. Dan memang Raja Najashi memberikan
perlindungan dan tidak mahu menyerahkan kepada utusan Quraish yang datang
menyusul meminta kepada Raja Najashi untuk menyerahkan pengikut Nabi
Muhammad SAW itu.
Sementara Rasululah SAW, dan para sahabatnya r.a yang lain berhijrah ke Madinah
setelah diundang dan setelah ada tawaran jaminan keamanan dari penduduk Yatsrib
(Madinah). Mungkin perlu diperhatikan bahwa hijrah ke Madinah bukan pilihan Nabi
Muhammad SAW. Dan hijrah ke Madinah terjadi sekian waktu setelah hijrahnya
sebagian sahabat ke negara Kristen yaitu Habsyah.
Langkah keempat yang dilakukan Rasulullah SAW dan pasukan Muslimin (para
sahabatnya r.a.) bagi menghadapi kemungkinan penyerangan dari pihak kabilah
Quraisy adalah dengan menguasai jalur ekonomi yang dilalui oleh kafilah dagang
milik Quraisy. Dengan demikian kafilah dagang Quraisy dan pasukan pengiringnya
akan mengambil jalur yang menjauh dari Madinah. Dan juga mengadakan perjanjian
damai dengan kabilah-kabilah yang berada di jalur kafilah dagang tersebut.
Langkah keenam. Rasulullah SAW akan mengirim pasukan tempur untuk menyerang
pihak-pihak atau kabilah-kabilah yang melanggar perjanjian damai, baik yang
melakukan (memulai) sikap dan tindakan permusuhan maupun yang mempersiapkan
kekuatan untuk menyerang Madinah dan kaum Muslimin. Tindakan Rasulullah SAW
itu adalah karena mempertahankan kedaulatan negara, menjaga keamanan
pengikutnya dan keberlangsungan dakwah Islam (Demi Negara, Bangsa dan
Agama).
Dan jika dipelajari kisah peperangan Rasulullah SAW, maka akan didapatkan bahwa
tidak semestinya pada setiap kali Ghozwah akan terjadi pertempuran (kontak
senjata) dan pertumpahan darah, tetapi kebanyakan yang terjadi adalah Rasulullah
SAW dan pasukan Muslimin membiarkan lawannya lari menyelamatkan diri,
menyuruh pergi atau menyerahkan diri sebelum pasukan tempur Muslimin datang.
Pertempuran yang boleh dianggap besar yang terjadi ketika Rasulullah SAW sebagai
pemimpin pasukan Muslimin (Ghozwah) hanya sebanyak 6 kali saja dari 28 kali yang
dipimpin langsung.
Saya tidak menyangkal keterlibatan Allah SWT dalam setiap langkah dan kebijakan
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, sebab Nabi Muhammad adalah utusan-Nya
yang diperintahkan untuk menyebarkan kalimat Tauhid (Laa ilaha illallah) serta
menjaganya. Tetapi aspek manusia yang tampak pada diri Rasulullah SAW itulah
yang menjadi panduan untuk umatnya. Segala keberhasilan dan langkah-langkah
yang diambil, menjadi contoh kepada manusia yang lain karena Nabi Muhammad
SAW adalah seorang manusia. Rasulullah SAW melaksanakan perintah Allah SWT
(wahyu/Al-Quran), seperti halnya umat Islam semua melaksanakan perintah Al-
Quran sesuai dengan fiqih-fiqihnya. Akhlak Rasulullah SAW dan kepribadiannya
adalah Al-Quran sebagaimana yang diakui oleh isteri beliau Aisyah r.a, yang
pastinya apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW tidak bercanggah dengan Al-
Quran.
Rasulullah SAW melaksanakan semua wahyu Allah SWT tanpa wujud saling
berlawanan, maksud saya antara ayat perintah dakwah dan ayat perintah perang
dapat dilaksanakan sesuai tempat dan masanya.
Dalam kondisi aman. Rasulullah SAW mengikat perjanjian damai tanpa memaksa
suatu kaum menerima Islam yang di dakwahkannya. Perjanjian damai atau jaminan
keamanan hak tersebut sama artinya membiarkan seseorang atau kaum itu tetap
dengan agama yang dianuti (bukan Islam).
Dalam konteks Ghozwah yang dibicarakan maka saya lebih setuju untuk
memandang Rasulullah SAW sebagai sosok seorang pemimpin tertinggi dalam
pasukan yang sedang beroperasional. Segala perintah, kebijakan dan segala
tindakan yang dilakukan oleh Rasulullah adalah karena beliau seorang Pemimpin
Tertinggi Negara dan Panglima Tertinggi pasukan bersenjata.
Kesimpulan
Rasulullah SAW tidak pernah mempersiapkan kekuatan pasukan untuk merebut atau
menguasai suatu wilayah bagi mendirikan Negara Islam. Rasulullah SAW
mendapatkan negara (Madinah) adalah karena diundang oleh penduduk Madinah
yang telah beriman dengannya yang mengajak berpindah (hijrah) ke Madinah. Lalu
kemudian dengan dakwah Rasulullah SAW menjadikan mayoritas penduduk Madinah
menganut agama Islam, terutama, kabilah suku Aus dan Khazraj.
Setelah Allah SWT memberi karunia sebuah wilayah (Madinah) dan ternyata
mendapat tantangan dari pihak yang tidak menyukainya, barulah Allah SWT
mensyariatkan jihad perang kepada kaum Muslimin untuk mempertahankan apa
yang telah Allah karuniakan kepada mereka yaitu Negara Islam Madinah
Munawwarah.
Jika sebuah wilayah yang menjadi hak kaum Muslimin belum diperoleh maka Allah
SWT belum mensyariatkan Jihad Perang, dan jika memang jihad perang adalah
untuk mendapatkan sebuah wilayah yang dikuasai kaum Muslimin maka mengapa
Allah SWT tidak mensyariatkan jihad Perang ketika masih di Makkah (sebelum
terjadinya peristiwa hijrah)?? Semua perjalanan kehidupan Rasulullah SAW
mempunyai hikmah yang menjadi perkara yang harus dikaji dan dipelajari sehingga
penerapan nilai-nilai Islam dan juga memperjuangkan dakwah Islam sesuai dengan
ketentuan syariat.
Pada 28 kali ghozwah yang dipimpin oleh Rasulullah SAW bukanlah untuk
menghancurkan agama lain, sekali lagi bukan itu tujuan Rasulullah SAW. Akan tetapi
28 kali ghozwah itu adalah langkah pengamanan bersiri yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW bersama pasukan Muslimin untuk membela Agama Islam dan
Negara dari ancaman musuh.
Di antara sela-sela 28 kali ghozwah itu, Rasulullah SAW juga ada melakukan
perjanjian damai terhadap kabilah-kabilah yang bukan Islam. Kalau memang misi
utama Rasulullah SAW memimpin langsung pasukan tempur adalah untuk
menyerang kaum kafir dan musyrik (non Muslim) yang tidak memeluk agama Islam,
lalu mengapa Rasulullah SAW mengadakan kesepakatan mengikat perjanjian damai
dengan kabilah-kabilah yang non-Muslim? Mengapa Rasulullah SAW membiarkan
pasukan musuh pergi meninggalkan Madinah setelah musuh menyerahkan diri dan
mengakui kekalahan? Mengapa Rasulullah SAW menerima tebusan dari kabilah
musuh yang datang untuk membebaskan para tawanan? Dalam keadaan mereka
masih tetap menganut agamanya yang bukan Islam !!! Maka jika demikian sangat
berlawanan sekali, dan sangat tidak benar jika ada yang menjadikan dalil 28
Ghazwah (pertempuran) yang dipimpin oleh Rasulullah SAW adalah bertujuan
memerangi orang-orang musyrik atau non-Muslim !
Biarpun sesudah turun surah At-Taubah (Al-Baraah), masih juga terdapat orang-
orang musyrikin yang tetap dalam agama asal mereka, tetapi tidak dibunuh oleh
Rasulullah SAW. Itu adalah disebabkan karena ketika sesudah habis tempo 4 bulan
yang diberikan, masa perjanjian damai yang ada padanya masih berlaku dan
dibenarkan di dalam syariat untuk memperpanjangkan tempo perjanjian damai
tersebut pada praktek di waktu itu.
Begitu juga selama tenggang waktu 28 kali ghozwah terdapat beberapa kaum Yahudi
di Madinah, namun Rasulullah SAW membiarkan sehinggalah mereka melanggar
perjanjian damai yang diketahui berniat memerangi kaum Muslimin. Maka Rasulullah
SAW memerangi kaum Yahudi itu bukan karena mereka beragama Yahudi, tetapi
karena mereka sudah bersiap sedia untuk memerangi kaum Muslimin.
Bab 11
Keluar dari Al-Jamaah Al-Islamiyah
MULANYA, saya merasa tabu untuk tidak aktif dari jamaah Al-Jamaah Al-Islamiyah
(JI) ini dan bahkan saya adalah orang yang selalu memberikan motivasi kepada
anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah untuk tetap istiqomah di dalam jamaah. Walaupun
berbagai konflik dan perselisihan yang terjadi di tingkat pimpinan, namun saya tetap
menjaga keutuhan kesatuan di antara anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah khususnya
yang berada di dalam lingkungan wilayah Mantiqi Tsalis (III). Terlebih lagi posisi
saya selaku ketua Mantiqi Tsalis (III) yang bertanggungjawab untuk menjaga
kelestarian organisasi.
Setiap informasi yang saya dapatkan dari senior seperti Ust. Mustapha, Ust. Abu
Rusdan, Ust. Abu Fateh dan beberapa senior lain tentang keadaan dan
perkembangan dalam Al-Jamaah Al-Islamiyah saya tampung dan berusaha
menetralkan di tingkat bawahan di Mantiqi Tsalis (III). Ini semua saya lakukan agar
para anggota tidak bingung dengan apa yang terjadi dalam kepengurusan Al-Jamaah
Al-Islamiyah di tingkat pimpinan.
Usaha saya itu ada batasnya, sebagaimana usaha para senior saya yang mencoba
tetap istiqomah namun di antara mereka ada yang telah meninggalkan Al-Jamaah
Al-Islamiyah dengan cara mengasingkan diri. Artinya, mereka non aktif walaupun
lidahnya tidak pernah mengatakan keluar dari Al-Jamaah Al-Islamiyah.
Fenomena non-aktif ini bermula sejak wafatnya Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah yang
pertama yaitu Ust. Abdul Halim atau dikenal dengan nama Ust. Abdullah Sungkar
sekitar akhir tahun 1999. Menurut seorang senior yang menceritakan kepada saya
bahwa Ust. Abdul Halim wafat dalam keadaan sedang tidur di sela-sela waktu
istirahat menunggu sesi rapat Markaziyah pada jam berikutnya. Setelah mengurusi
proses pemakaman beliau lalu para senior mulai membicarakan tentang Amir yang
berikut, sebagai penggantinya.
Dalam proses pemilihan calon Amir terjadi perbedaan pendapat yang akhirnya
memilih Ust. Abdus Somad (Ust.Abu Bakar Baasyir). Senior yang menceritakan
kepada saya itu tidak menceritakan bagaimana proses pengangkatan Ust.Abu Bakar
Baasyir.
Sementara dari sisi lain ada di antara senior dan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah di
tingkat pimpinan pada waktu itu yang kurang setuju dengan pengangkatan Ust. Abu
Bakar Baasyir selaku Amir, sehingga terjadi keluhan dan pembicaraan di belakang
yang kurang enak didengar.
Apa yang ingin saya sampaikan di sini adalah bahwa inilah pertama kali saya sangat
terkesan ketika mendengar perselisihan di kalangan pimpinan, padahal pada waktu
itu sekitar akhir tahun 1999 saya berada di Sandakan Sabah Malaysia. Secara
pribadi saya tidak setuju dengan sikap anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah baik anggota
biasa ataupun pimpinan yang tidak setuju dan mempergunjingkan atas
pengangkatan Ust. Abu Bakar Baasyir selaku Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah.
Hal tersebut menjadi pertanyaan saya, yang seharusnya bagi anggota Al-Jamaah Al-
Islamiyah siapapun dia harus menerima keputusan tersebut, dengar dan taat dalam
keadaan suka atau tidak, dan harus membantu menjalankan tugasnya. Karena
jabatan Amir tersebut bukan keinginan Ust. Abdus Somad serta bukan ambisinya.
Saya menyesali dengan perselisihan ini karena saya teringat akan firman Allah SWT
di dalam Al-Quran:
Artinya: Daan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-
bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan
bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Al-Anfal: 46)
Peristiwa yang lain ketika Ust.Abu Bakar Baasyir diangkat menjadi Amir yaitu
pimpinan tertinggi bagi organisasi Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) pada bulan
Agustus 2000. Di sini dari kalangan tingkat pimpinan Al-Jamaah Al-Islamiyah
terpecah menjadi dua yaitu kepada yang setuju dengan keterlibatan Ust. Abu Bakar
Baasyir di dalam MMI dan pihak yang tidak setuju. Pihak yang tidak setuju meminta
Ust. Abu Bakar Baasyir untuk segera menarik balik kesediaannya menjabat selaku
Amir Majlis Mujahidin Indonesia, sementara Ust. Abu Bakar Baasyir tidak ingin
melakukan demikian.
Terjadilah perselisihan tentang status Amir beliau selaku Amir Al-Jamaah Al-
Islamiyah atau Amir Majlis Mujahidin Indonesia. Pada asalnya beliau bersedia
mundur dari jabatan Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah tetapi di antara pimpinan dan
senior tidak menginginkan Ust. Abu Bakar Baasyir meletakkan jabatannya tersebut,
sehingga sempat mengancam akan keluar dan tidak aktif di dalam Al-Jamaah Al-
Islamiyah seandainya Ust.Abu Bakar Baasyir dihentikan jabatannya. Untuk menjaga
keutuhan organisasi maka Ust. Abu Bakar Baasyir mengambil keputusan untuk tetap
sebagai Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah dan dalam waktu yang sama juga ia adalah
Amir Majlis Mujahidin Indonesia.
Posisi Ust. Abu Bakar Baasyir selaku Amir Majlis Mujahidin Indonesia adalah bibit
bencana di dalam tubuh Al-Jamaah Al-Islamiyah. Sebab, pada saat itu loyalitas
anggota kepada pimpinan menjadi hilang lalu mereka keluar dari jamaah (Al-Jamaah
Al-Islamiyah). Ada beberapa senior yang mengundurkan diri karena merasa kecewa
dengan sikap yang diambil oleh Ust. Abu Bakar Baasyir.
Sebagian dari kalangan senior mengikuti langkah Ust. Abu Bakar Baasyir menjadi
anggota Majlis Mujahidin Indonesia, dan bahkan ada di antara mereka yang dengan
tega mengeluarkan pernyataan bohong dengan mengatasnamakan Ust. Abu Bakar
Baasyir memerintah anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah untuk ikut menjadi anggota
Majlis Mujahidin Indonesia, padahal Ust. Abu Bakar Baasyir tidak pernah
mengeluarkan perintah tersebut. Kebingungan terjadi di kalangan anggota bawahan
melihat tingkah laku para pimpinan mereka yang berbeda sikap.
Malah di antara mereka ada yang mengatakan bahwa, Sekarang kita tidak perlu
berjamaah dan berjihad tidak perlu ikut jamaah, siapapun yang ingin berjihad dapat
gabung bersama. Anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang lepas kendali dan
mengambil sikap sendiri ini akan bergabung dengan orang-orang yang mereka
anggap punya faham dan misi yang sama. Maka tidak mustahil seandainya anggota
Al-Jamaah Al-Islamiyah bersama-sama dengan anggota NII atau bersama dengan
anggota-anggota dari kelompok Wahdah Islamiyah, Jundullah, Kompak dan MMI.
Hubungan ini bukan antara kelompok atau.organisasi (Jamaah) tetapi hubungan
antar personal.
Kebingungan dan kemarahan dari anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah baik dari tingkat
pimpinan hingga ke tingkat bawahan kembali terjadi ketika peristiwa bom pada
malam Natal tahun 2000. Karena di antara yang terlibat di dalam aksi pemboman itu
terdiri atas anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah dan anggota NII yang dipengaruhi dan
diajak oleh Hambali. Hambali telah mempengaruhi anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah
di wilayah Mantiqi Tsani (II) dan anggota NII untuk melakukan tindak balas pada
umat Kristen yang diyakininya telah melakukan penyerangan terhadap umat Islam di
Ambon. Hambali berniat membangkitkan konflik nasional antara agama Islam dan
Kristen se Indonesia, sebagai pembalasan dengan apa yang terjadi di Ambon.
Sekali lagi anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah di Mantiqi Tsani (II) menjadi marah
dengan peristiwa tersebut, sebab kejadian besar itu mengulangi peristiwa Bom di
malam Natal tahun 2000. Hanya pelaku Bom Bali saja yang tahu siapa-siapa dari
mereka yang berencana dan melakukan aksi pemboman itu. Sementara kebanyakan
anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang lain tidak mengetahui dan merasa was-was
dan khawatir kalau-kalau di antara mereka menjadi tertuduh karena pernah ke
Afghanistan atau ke Mindanao, Filipina, padahal mereka tidak pernah berniat untuk
mencelakakan orang-orang awam atau sipil.
Ketika para pelaku Bom Bali itu datang meminta perlindungan dari orang-orang yang
mereka kenal yang di antaranya adalah anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah, hanya
sebagian kecil yang menerima untuk melindungi. Sebagian besar justru menolak
untuk membantu melindungi sampai-sampai ada yang mengatakan, Mereka yang
(Maaf..) berak kita yang membersihkan? Ada di antara mereka yang menutup pintu
tidak mau menerima kedatangan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah karena merasa
curiga dengan setiap orang. Ada yang meminta perlindungan tetapi terang-terangan
ditolak dan menyarankan cari yang lain saja.
Akibat dari operasi Polisi Indonesia mengungkap para pelaku pemboman Bali,
terjadilah penangkapan-penangkapan pelaku Bom Bali dan orang-orang yang
melindungi mereka, sampai-sampai disangkakan bahwa Polri ingin menangkap
semua orang yang terlibat di dalam organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah sebagaimana
nama Jamaah Islamiyah telah tercatat masuk di dalam daftar PBB nama-nama
kelompok Teroris.
Termasuk akibat dari peristiwa Bom Bali adalah dapat diketahui Mukhlas (Ali
Ghufran) selaku ketua Mantiqi Ula (I), dana yang diterima dari Wan Min Wan Mat
selaku Ketua Wakalah Johor, Wan Min sendiri menerima perintah tersebut dari
Hambali (mantan Ketua Mantiqi Ula), Imam Samudra anggota wakalah Selangor,
Amrozi anggota wakalah Johor, Azahari anggota wakalah Johor dari informasi Polisi
yang didapatkan dari anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang tertangkap di Malaysia
dan Singapura. Dengan informasi tersebut telah membuat kecurigaan akan
keterlibatan Al-Jamaah Al-Islamiyah di balik Bom Bali.
Kekacauan di dalam Al-Jamaah Al-Islamiyah saya ketahui dari satu peristiwa ke satu
peristiwa yang lain membuat saya ingin mundur sebagai anggota maupun pengurus.
Tetapi saya membatalkan niat saya itu dengan mencoba berusaha untuk menjaga
anggota-anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang ada di dalam wilayah dakwah Mantiqi
Tsalis (III) agar tidak terpengaruh dengan melakukan sesuatu yang mencelakakan
orang awam atau melakukan sesuatu yang dianggap Jihad padahal bukan Jihad.
Namun sebagai manusia biasa saya punya keterbatasan. Singkat cerita, akhirnya
saya tertangkap di Bekasi, Jawa Barat, Indonesia, pada 18 April 2003 dalam sebuah
operasi pencarian pelaku Bom Bali oleh pihak Polisi RI (Polri).
Berdasarkan informasi yang dimiliki Polri, saya tidak terlibat dalam peristiwa
pemboman di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002. Tetapi, oleh karena saya adalah
salah satu anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah maka saya diperiksa sehubungan
pengetahuan saya mengenai peristiwa Bom Bali sebagaimana anggota Al-Jamaah Al-
Islamiyah yang lain. Karena saya adalah warganegara Malaysia yang menggunakan
identitas palsu dan memasuki Indonesia tanpa pasport, maka saya harus ditahan
yang kemudian saya diadili di Pengadilan Negeri Palu dan dijatuhi hukuman 10
bulan. Hukuman itu berakhir pada 18 Februari 2004.
Saya menyadari bahwa saya harus ikut serta dalam menghentikan aksi-aksi
kekerasan yang bertentangan dengan Islam. Dan saya harus jelaskan kepada pihak
kepolisian bahwa tidak semua alumni Afghanistan dan Filipina adalah orang yang
berfikiran seperti pelaku Bom Bali.
Hal yang paling utama dan paling penting yang ingin saya ungkapkan di sini adalah
tidak sependapatnya saya dengan faham yang diyakini oleh beberapa orang dari
anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang telah menyimpang dari tuntunan Islam
dengan melakukan aksi penyerangan dan pemboman atas orang-orang awam. Di
antara mereka terdiri dari kalangan pimpinan Al-Jamaah Al-Islamiyah dan juga dari
kalangan anggota biasa.
Ada hal yang saya tidak setuju tentang pemahaman sebagian anggota Al-Jamaah Al-
Islamiyah yang mencela mereka yang keluar dari Al-Jamaah Al-Islamiyah. Ini karena
mereka sudah pernah menyatakan (membuat pengakuan) baiat, seolah-olah
menakut-nakuti orang yang tidak aktif lagi dalam Al-Jamaah Al-Islamiyah.
Seseorang yang telah berbaiat dan menyatakan kesediaannya untuk mematuhi inti
dari isi baiat (baca baiat bab Al-Jamaah Al-Islamiyah) akan selamanya diminta
pertangungjawaban tentang baiat yang telah diucapkannya. Pertanggungjawaban itu
bukan hanya akan dipertanyakan di dunia tetapi akan ditanya juga dihadapan Allah
SWT. Karena keyakinan yang diberikan dan difahamkan bahwa baiat amal (kesetiaan
beramal) yang diucapkan seseorang itu ketika berbaiat kepada Amir Al-Jamaah Al-
Islamiyah (atau kepada orang yang diwakilkan) adalah baiat yang disaksikan oleh
Allah SWT, seperti yang selalu diingat-ingatkan oleh pimpinan dan para pendakwah
Al-Jamaah Al-Islamiyah dengan dalil dari ayat Al-Quran;
Artinya: Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya
mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka
barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan
menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah
akan memberinya pahala yang besar. (Al-Fatah: 10)
Tiada salahnya pada ayat Al-Quran di surah Al-Fatah itu, maha benarlah apa yang
telah termaktub di dalam Al-Quran yang menegaskan tindakan Rasulullah SAW dan
para sahabat-sahabatnya dalam peristiwa Baiatur Ridwan. Silahkan lihat tafsirnya di
buku-buku tafsir, apa yang ingin saya katakan adalah bahwa ayat ini seringkali
digunakan bagi memperingatkan para anggota organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah
untuk tetap setia mentaati kepimpinan. Yaitu dalam arti kata adalah untuk
kepentingan Al-Jamaah Al-Islamiyah. Padahal tafsir ayat itu bermaksud kepada
kepimpinan tertinggi kaum Muslimin keseluruhan yaitu kepada seorang yang
berstatus Nabi atau Khalifah bukan kepada pimpinan jamaah atau pimpinan
kelompok.
Lebih parahnya lagi ada di antara pimpinan dan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah
yang berfaham bahwa keluar dari Al-Jamaah Al-Islamiyah berarti keluar dari Islam.
Berdasarkan dari hadis yang dipakai untuk mengingatkan anggota jamaah supaya
tetap menjaga ketaatan dan kesetiaan. Padahal hadis ini adalah bermaksud kepada
pimpinan tertinggi kaum Muslimin seperti seorang Nabi atau Khalifah, bukan kepada
pimpinan organisasi atau Al-Jamaah Al-Islamiyah.
Artinya: Barangsiapa yang telah melepaskan ketaatan pasti akan bertemu Allah
SWT (pada hari Akhirat) dalam keadaan berdosa, dan barangsiapa yang tiada ikatan
baiat (pada dirinya) maka matinya nanti dalam keadaan mati jahiliyah. (Hadis
Riwayat Muslim: 1443)
Keyakinan seperti ini, meskipun pada dasarnya keliru, tapi membuat sebagian umat
Islam dapat dirangkul dan direkrut serta dimanfaatkan hanya dengan memberi
peringatan yang mengancam kehidupannya di dunia dan di akhirat berdasarkan
hadis ini. Mereka takut dianggap kafir atau mati dalam keadaan kafir atau jahiliyah.
Maka bagi siapa yang sangat berharap akan kesempurnaan hidup dalam Islam tanpa
mendahulukan ilmu, pasti tertarik untuk melakukan baiat demi mengharap
kesejahteraan hidupnya di Akhirat nanti, karena ia mendahulukan taklid buta setelah
tertegun dengan orang yang menyampaikan hadis tersebut.
Perjuangan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang keliru dalam pemahaman Jihad itu
bukan lagi untuk menghilangkan 'fitnah', tetapi perjuangan mereka adalah
mendatangkan 'fitnah', dan perjuangan mereka menimbulkan 'fitnah' kepada
umat Islam. Perhatikan hadis berikut ini;
Hadis riwayat Usamah bin Zaid ra., ia berkata: Rasulullah SAW mengirim kami
dalam suatu pasukan. Kami sampai di Huruqat, suatu tempat di daerah Juhainah di
pagi hari. Lalu aku menjumpai seorang kafir. Dia mengucapkan: Laa ilaaha illallah,
tetapi aku tetap menikamnya. Ternyata kejadian itu membekas dalam jiwaku, maka
aku menuturkannya kepada Nabi SAW. Rasulullah SAW bertanya: Apakah ia
mengucapkan: Laa ilaaha illallah dan engkau tetap membunuhnya? Aku menjawab:
Wahai Rasulullah, ia mengucapkan itu hanya karena takut pedang. Rasulullah SAW
bersabda: Apakah engkau sudah membelah dadanya sehingga engkau tahu apakah
hatinya berucap demikian atau tidak? Beliau terus mengulangi perkataan itu
kepadaku, hingga aku berkhayal kalau saja aku baru masuk Islam pada hari itu.
Saad berkata: Demi Allah, aku tidak membunuh seorang Muslim, hingga dibunuh
Dzul Buthain, Usamah. Seseorang berkata: Bukankah Allah telah berfirman: "Dan
perangilah mereka, agar tidak ada fitnah dan agar agama itu semata-mata untuk
Allah". Saad berkata: Kami telah berperang, agar tidak ada fitnah. Sedangkan
engkau dan pengikut-pengikutmu ingin berperang. agar timbul fitnah. (Hadis Sohih
Bukhari dan Muslim)
Ya Allah aku berlepas diri dari segala kezaliman yang mereka lakukan terhadap
hamba-hamba-Mu. Ya Allah ampunilah kami, bimbinglah kami dan tunjukilah kami
jalan yang lurus.
Artinya Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-
orang kafir. Dan ampunilah kami ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkau, Engkaulah
Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Mumtahanah: 5)
Marilah kita bersama-sama menjelaskan misi dakwah Islam yang benar dan
membongkar kesesatan faham yang diyakini oleh anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah
seperti Imam Samudra dan kawan-kawannya.
Saya mengimbau dan menyerukan kepada semua teman-teman dan semua orang-
orang yang masih mempunyai niat untuk melakukan aksi pemboman dengan
sasaran apapun dan siapapun, agar dihentikan dan segera bertaubat kepada Allah
SWT.
Seruan saya ini adalah seruan yang mengharapkan keselamatan dan kebersamaan
antara sesama Muslim, agar Islam benar-benar diamalkan sesuai tuntunan
Rasulullah SAW. Dan juga agar martabat Islam segera kembali disegani dan
dimuliakan karena persatuan dan kebersamaan antara sesama umat Islam serta
kesefahaman yang satu terhadap Islam.
Tentang Penulis
NASIR Abas adalah warganegara Malaysia yang lahir di Singapura, pada 06 Mei
1969. Putra keenam dari sembilan bersaudara ini lahir dari Ibu Saemah yang
bersuamikan Abas. Pendidikan dasar sampai kelas 2 ditempuhnya di Singapura, lalu
dilanjutkan di Johor Bahru, Malaysia, hingga kelas tiga Sekolah Menengah. Setelah
itu melanjutkan pendidikan agama di Maahad Ittiba'us Sunnah di Kuala Pilah, sekitar
dua tahun setengah.
Pada akhir tahun 1987, Nasir mendapat pendidikan di Akademi Militer Mujahidin
Afghanistan, milik Mujahidin Afghan, selama tiga tahun. Setelah lulus pendidikan, ia
ditugaskan di Akademi Militer sebagai tenaga pelatih (instruktur) selama tiga tahun.
Selama enam tahun bersama Mujahidin Afghan, di sela-sela pendidikan dan tugas
melatih, ikut terlibat dalam pertempuran menentang tentara Rusia dan tentara
pemerintah komunis Kabul.
Selama dua tahun, akhir 1994 sampai akhir 1996, Nasir ikut berjuang bersama
dengan Pejuang Bangsa Moro, Mindanao, Filipina Selatan. Bahkan ia sempat
membuka tempat latihan yang dinamakan Kamp Hudaybiyah. Kamp tersebut
digunakan untuk melatih Pejuang Bangsa Moro dan para anggota Al-Jamaah Al-
Islamiyah.
Pada tanggal 18 April 2003 Nasir ditangkap di Bekasi, Jawa Barat, oleh pihak Polri
dalam rangka mengejar pelaku Bom Bali. Ia diadili di PN Palu, Sulawesi Tengah, dan
divonis hukuman selama 10 bulan. Hukuman tersebut ia jalani dan berakhir pada 18
Februari 2004.