You are on page 1of 3

Pak Harto dalam Lintasan Sejarah Prangko di Indonesia

Pak Harto merupakan figur presiden yang sangat intensif tampil menghiasi prangko Indonesia. Tidak
kurang dari 17 kali Administrasi pos di Indonesia menerbitkan prangko seri Presiden Soeharto, belum
termasuk sejumlah prangko yang secara eksplisit memperlihat wajah atau figur Pak Harto. Jenis
prangko yang digunakan untuk menampilkan figur Pak Harto adalah jenis prangko definitif, yakni
prangko yang penerbitannya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pemrangkoan sehari-hari,
tak terkait dengan suatu peristiwa atau peringatan tertentu. Prangko definitif dapat dicetak ulang
berkali-kali sesuai kebutuhan. Masa jual dan masa laku prangko ini juga tak terbatas, sampai ada
instruksi penarikan dari peredaran oleh administrasi pos yang bersangkutan.

Penampilan Pak Harto di atas prangko definitif, selanjutnya disebut Prangko Pak Harto, untuk kali
pertama yakni pada tahun 1974, yakni pada prangko seri Presiden Soeharto yang terbit tepat pada
hari ulang tahun beliau yang ke-59, tanggal 8 Juni 1980. Sesungguhnya, penampilan figur penguasa
suatu pemerintahan atau kepala negara memiliki tradisi yang jauh mengakar sejak zaman kelahiran
prangko sendiri. Prangko pertama, yang populer disebut Penny Black, yang terbit di Inggris tanggal 6
Mei 1840 menampilkan figur silhuet Ratu Victoria, Ratu Inggris. Demikian pula ketika prangko
diadopsi oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 1 April 1864, figur Raja Willem III digunakan
pada prangko yang terbit di Hindia Belanda. Karenanya, ketika Indonesia merdeka praktik
penampilan kepala negara di atas prangko menjadi lazim. Bung Karno adalah kepala negara yang
banyak tampil pada prangko-prangko Indonesia setelah merdeka. Demikian pula ketika Pak Harto
hadir di tampuk pemerintahan negara Republik Indonesia, tradisi menampilkan figur kepala negara
di atas prangko juga dilanjutkan.

Penerbitan terakhir prangko Pak Harto dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1993. Sebagai gantinya,
figur Pak Harto kemudian lebih banyak ditampilkan pada jenis prangko nondefinitif, baik pada
prangko peringatan seperti saat Indonesia merayakan setengah abad Hari Koperasi yang terbit
tanggal 12 Juli 1997 dan prangko istimewa seperti yang terlihat pada prangko seri pengabdian
kepada Nusa dan Bangsa yang terbit tanggal 11 Maret 1995. Prangko definitif terakhir bergambar
Pak Harto ini masih dapat digunakan untuk pemrangkoan beberapa tahun kemudian, sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.

Dalam hal waktu penerbitan, prangko Pak Harto dilakukan pada hari-hari yang istimewa baik bagi
pribadi Pak Harto maupun bagi negara. Tercatat empat kali prangko Pak Harto diterbitkan tepat
pada hari unag tahun kemerdekaan RI yakni pada tahun 1974, 1976, 1988, dan 1990, ada pula yang
diterbitkan tepat pada hari peringatan Supersemar yakni tanggal 11 Maret 1983. Sementara itu
penerbitan yang dilakukan pada hari ulang tahun Pak Harto terjadi pada tahun 1980 dan 1981.

Prangko Pak Harto juga pernah digunakan untuk prangko cetak tindih, yakni pada tanggal 1 Februari
1993. Pada satu kopur prangko Pak Harto yang terbit pada 21 Juni 1987 dengan nilai nominal Rp.55
diberi cetak tindih Rp.50 di atas Rp.50. Cetak tindih biasanya dilakukan untuk keperluan yang
sifatnya darurat, seperti perubahan tarip pos sementara persediaan prangko yang ada masih cukup
banyak, untuk digunakan di wilayah tertentu, perubahan nama negara, dan keperluan khusus yang
tidak cukup waktu untuk menerbitkan prangkonya.
Visualisasi figur Pak Harto secara keseluruhan sangat konvensional, Pak Harto tampil menggunakan
pakaian resmi berupa jas warna gelap berdasi dan mengenakan peci hitam khas Indonesia dengan
posisi menghadap ke muka. Pose seperti ini ditemukan pula pada foto-foto resmi kenegaraan yang
dipasang di ruang-ruang perkanotran di seluruh Indonesia. Hal yang menarik adalah prangko
Indonesia merekam jejak perjalanan usia Pak Harto. Dengan mencermati seluruh penerbitan
prangko Pak Harto maka dapat dikenali raut wajah Pak Harto ketika usia paruh baya, saat mulai
memimpin negeri ini dan mulai diprangkokan, hingga usia lanjut dan terakkhir diprangkokan. Pada
prangko nondefinitf, Pak Harto ditampilkan dalam suasana yang tidak formal dan cenderung santai.

Penampilan fisik prangko-prangko Pak Harto tergolong konvensional. Seluruhnya menggunakan


bentuk persegi empat, namun dengan ukuran yang bervariasi. Ukuran terkecil adalah prangko Pak
Harto yang terbit pada tanggal 8 Juni 1981 yakni 17,80 X 22,31 milimeter, sementara ukuran yang
terbesar diterbitkan pada tanggal 11 Maret 1983.

Banyak nama desainer prangko yang pernah terlibat dalam pengerjaan prangko Pak Harto.
Umumnya mereka adalah para pegawai di lingkungan Perum Peruri Jakarta. Mereka adalah
desainer-desainer yang terkemuka seperti Sudirno yang mengerjakan desain prangko awal Pak Harto
(1974 dan 1976), ada pula Soeroso, Yan Musbar, Soenardi, dan Heri Purnomo. Sementara Triadi
Margono diketahui sebagai desainer prangko Pak Harto yang terakhir (1993). Ada pun untuk prangko
non definitif, administrasi pos juga membuka ruang kepada desainer non peruri untuk terlibat,
mereka biasanya berasal dari seniman terkemuka seperti Rita Widagdo pada prangko seri Setengah
Abad Hari Koperasi pada tahun 1997 dan desainer grafis seperti Yus R. Arwadinata pada prangko
seri Pengabdian Kepada Nusa dan Bangsa pada tahun 1995.

Nilai nominal atau denominasi prangko Pak Harto biasanya merujuk pada bea ongkos kirim surat
pada tingkat berat yang pertama. Dahulu dikenal layanan surat biasa maupun surat kilat, dan
prangko Pak Harto umumnya digunakan untuk pemrangkoan pada layanan surat biasa dan surat
kilat. Tidak mengherankan bila terdapat prangko Pak Harto dengan denominasi Rp.40,- yang terbit
pada tahun 1974 hingga Rp.1000 yang terbit pada tahun 1988. Namun begitu, di lingkungan kolektor
prangko atau filatelis harga prangko Pak Harto ada yang bergerak sangat jauh melampaui nilai
denominasinya, baik karena kelangkaan maupun karena keunikan dari prangko tersebut.

Sebagian besar prangko Pak Harto dicetak seperti halnya prangko Indonesia lainnya yakni teknik
rotogravure, suatu teknik yang memanfaatkan acuan cetak berupa silinder tembaga yang dietsa
secara kimiawi atau terkadang diukir, hasilnya berupa lubang-lubang pori yang sama besar namun
berbeda kedalamannya. Silinder inilah yang kemudian ditempatkan pada mesin cetak untuk diberi
tinta dan ditekankan pada permukaan kertas yang dilewatkan pada mesin. Hasilnya memang agak
khas, yang hanya dapat dicermati menggunakan kaca pembesar dan teknik khusus. Ini terutama
berlangsung sejak awal penerbitan pada tahun 1974 hingga 1988 ketika diperkenalkan teknik
kombinasi rotogravure dengan offset. Dari segi teknik cetak ada stau prangko Pak Harto yang
dikerjakan menggunakan teknik cetak dalam atau Intaglio yakni prangko Pak Harto yang terbit
tanggal 11 Maret 1983. Teknik ini sangat lazim digunakan di dunia seni grafis (Graphic Art) namun
jarang dipergunakan untuk mencetak prangko karena tingkat kesulitannya yang tinggi. Pada cetak
intaglio acuan cetak yang digunakan adalah plat logam yang diukir secara terbalik. Alur ukiran
selanjutnya diisi dengan tinta yang sangat pekat, kemudian plat cetak ditekankan pada permukaan
kertas. Hasilnya memang berbeda dan khas karya seni grafis. Karenanya, prangko ini tergolong unik.
Prangko merupakan barang cetakan yang tergolong materi security printing, karenanya pencetakan
prangko tak bisa dilakukan secara sembarang. Pencetakan prangko diperlakukan sama dengan
pencetakan meterai, uang, dan surat-surat berharga lainnya. Karenanya pada masa pemerintahan
Orde Baru pencetakan Prangko Pak Harto serta prangko-prangko lainnya dilakukan oleh Perusahaan
Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) Jakarta. Kini, prangko tak hanya dicetak oleh
Peruri, tetapi juga perusahaan lainnya yang dinyatakan sebagai perusahaan Security Printing.

Untuk mengamankan prangko dari praktik pemalsuan pihak penerbit juga mengenakan sejumlah
teknik pengamanan pada prangko. Seperti juga prangko-prangko yang lain, pemberian tanda khusus
melalui teknik cetak tertentu diterapkan pada prangko Pak Harto. Tanda khusus adalah logo Perum
Pos dan Giro yang terdapat di atas bidang prangko. Logo Perum Pos dan Giro diterapkan karena
secara teknis operasional pelaksanaan pelayanan jasa perposan dimana prangko ini digunakan saat
itu adalah Perum P0s dan Giro (kini PT Pos Indonesia). Penerbit prangko adalah administrasi pos
yang dalam hal ini adalah Pemerintah Republik Indonesia dan laksanakan dari waktu ke waktu oleh
Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Ditjen Postel). Ini dieksplisitkan pada prangko dengan
selalu mencantumkan administrasi pos/negara penerbit prangko. Pada prangko Pak Harto nama
yang digunakan adalah Republik Indonesia. Namun atas dasar berbagai pertimbangan, tepat sejak
awal tahun 2000 nama administrasi pos/negara pada prangko disederhanakan menjadi : Indonesia.

Pak Harto juga termasuk pemimpin negara yang sangat peduli terhadap penerbitan suatu prangko.
Pada banyak kesempatan kenegaraan, Pak Harto secara khusus menyempatkan waktu untuk
menandatangani Sampul Hari Pertama (SHP) yang sengaja diterbitkan mengiringi penerbitan suatu
prangko seri atau sampul peringatan (SP0 yang menandai suatu peristiwa tertentu. Pada saat
dimulainya pemugaran besar-besaran tanggal 10 Agustus 1975 diterbitkan prangko seri Perbaikan
Candi Borobudur dan dibuatkan SHP yang ditandatangani Pak Harto pada saat acara tersebut
digelar di halaman Candi Borobudur. Satu hal yang lainnya adalah penandatangan sampul
peringatan menandai dimulainya kampanye Gerakan Nasional Gemar berkirim Surat melalui Pos
(GNGBS). Penandatanganan dilakukan oleh Pak Harto bersama-sama Ibu Tien setelah pidato di
depan televisi tepat pada pukul 00.00 memasuki tanggal 1 Januari 1995.

Komitmen paling monumental dari Pak Harto adalah dukungan penuh yang diberikannya kepada Ibu
Tien dalam pembangunan Museum Prangko Indonesia (MUPI) di kompleks Taman Mini Indonesia
Indah (TMII). Pada museum tersimpan berbagai koleksi prangko dan benda-benda filateli lainnya.
MUPI diresmikan oleh Pak Harto pada tanggal 29 September 1983, kini merupakan tempat generasi
muda Indonesia mempelajari makna penting prangko dan pengetahuan yang terkandung di
dalamnya.***

You might also like