You are on page 1of 43

Dr.

Hilmy Bakar Almascaty

Konsep

KayaSejati
Meraih Kekayaan Melalui Spiritualitas Islam

Insya Allah terbit dipasaran secepatnya...


Mohon do’a para pembaca
Pendahuluan
Bagian Pertama
Fiqih KayaSejati
(Pengantar Memahami KayaSejati)

”Barangsiapa yang dikehendaki Allah akan kebaikan, maka di-faqih-kannya dalam agama”
(al-Hadits)

1. Kesalahfahaman Terhadap Keutamaan


Miskin
Beberapa waktu lalu di Kuala Lumpur Malaysia saya bertemu dengan
seorang konglomerat Malaysia yang sudah memiliki kekayaan berlimpah
ruah dengan segala kemewahannya. Beliau menunjukkan kekecewaan
mendalamnya pada sebuah latihan motivasi terkenal asal Jakarta yang
menurutnya justru berdampak negatif terhadap kekayaan. ”Saya heran,
setelah mengikuti latihan motivasi yang mahal itu, banyak teman dan anak
buah saya yang membenci dunia, menganggap kekayaan dan uang tidak
penting”. Beliau menilai paradigma tentang dunia dan akhirat yang
ditawarkan pelatihan itu salah kaprah, sehingga orang yang kurang faham
Islam akan menganggap dunia tidak penting, kekayaan dan uang tidak perlu
bahkan mendorong orang lari dari semua itu.
Dengan bersemangat beliau menceritakan, ”Seorang teman saya yang
memiliki rumah besar, mobil besar dan penghasilan besar menyalahkan
semua yang dimiliki dan mencampakkannya setelah mengikuti latihan itu.
Kekayaan yang dimilikinya itu dianggapnya telah menghambat dirinya
menjadi seorang yang baik. Anehnya mereka memungut biaya besar untuk
latihan yang menganggap duit tidak penting, padahal kami memungut biaya
murah untuk mengajarkan pentingnya kaya dan duit bagi kehidupan”
serunya kesal.
Saya pernah mendengar keluhan-keluhan seperti itu akibat dari
kesalah fahaman dalam memahami hakikat dunia dan akhirat serta pola
kehidupan Rasulullah dengan para sahabat. Ironisnya para motivator mahal
itu menyerukan tidak pentingnya kekayaan dan harta dalam kehidupan dunia
ini, namun pada saat yang sama mereka menunjukkan kemewahan atau
tepatnya kemubaziran para pencinta dunia. Tinggal di rumah super mewah
dengan perlengkapan mewahnya, mobil dan kantor yang mentereng serta
menginap di hotel-hotel berpintang lima tempat tinggal para hartawan.
Ironisnya motivator-motivator ini menyerukan tidak pentingnya sebuah
kekayaan, sehingga orang yang tadinya memiliki kekayaan dengan usaha
kerasnya mencampakkan keberhasilannya akibat sebuah pelatihan salah
yang dibayarnya mahal.

2
”Seharusnya dengan biaya mahal itu mereka mendorong para peserta
untuk menjadi orang-orang kaya yang memahami pentingnya kekayaan
untuk beramal saleh dan membantu sesamanya” kata pengusaha yang telah
bergelar Dato’ ini. ”Sudah berkali-kali saya ingatkan motivator itu untuk
merubah paradigmanya tentang dunia akhirat, namun responnya lambat.
Saya mengusulkan agar kekayaan didudukkan sebagaimana mestinya
sebagai jalan untuk menggapai kemenangan akhirat”.
Setelah berdiskusi panjang, kami berdua menyimpulkan bahwa para
motivator itu salah faham dalam menjelaskan urusan pentingnya kekayaan
untuk jalan kebaikan dan kemeanngan akhirat. Sebenarnya para motivator
itupun mengetahui nikmatnya kekayaan, buktinya mereka memiliki segala
kemewahan dari hasil latihan yang mahal ini. Mereka seharusnya lebih tegas
lagi menyampaikan pentingnya kekayaan atau wajibnya kaya bagi kaum
muslimin agar tidak ada yang salah faham dan menganggap kemiskinan
sebagai sebuah pilihan utama hidup, sebagaimana yang telah menimpa
teman Dato’ itu.
Saya juga pernah menghadiri sebuah ceramah seorang ustadz di
pinggiran Jakarta yang sedang membahas masalah ”keutamaan hidup
miskin”. Dengan fasihnya ustadz muda ini membaca ayat-ayat al-Qur’an dan
hadits Nabi yang diperkuat dengan beberapa argumen dari kitab Ihya’ Ulum
al-Dien karya agung Imam al-Ghazali. Dengan seksama saya simak dalil-dalil
yang dibacakannya, sangat menarik. Saya mulai gelisah ketika sang ustadz
menyatakan bahwa ”orang miskin akan cepat masuk surga, karena tidak
terhalang oleh hisab kekayaannya sebagaimana orang kaya, yang akan
dihisab dari mana memperoleh kekayaan dan ke mana mengeluarkannya”.
Mungkin dia berfikir timbangan (mizan) Allah itu seperti alat manual
manusia, sehingga jika jumlahnya banyak akan terkesan sangat lama
dihitung dibandingkan jumlah yang sedikit. Dia berfikir jika orang kaya
banyak harta akan dihitung bertahun-tahun yang menyebabkannya tertahan
masuk surga. Padahal timbangan Allah mampu menghisab segala sesuatu
dalam hitungan cepat, bahkan lebih cepat dari perhitungan komputer
tercanggihpun.
Materi ceramah yang disampaikan tidak asing lagi bagi saya, karena
saya juga pernah menganut pemahaman serupa di pengajian yang
mendoktrinkan mulianya hidup miskin dalam spektrum yang berbeda. Namun
referensi dan pengertiannya hampir sama. Akibat pemahaman ini, ketika
muda dulu saya selalu mencibir orang-orang kaya sebagai kapitalis dan
materialis, bahkan secara tidak sadar saya membenci orang kaya dan
kekayaan yang mereka miliki. Ketika saya menjadi ustadz muda, seperti
penceramah ini, saya juga seringkali membaca ayat-ayat dan hadits yang
dibacakannya, menyerukan pendengar agar tidak mencintai dunia yang
orientasinya menjadi orang yang hidup dalam kesederhanaan, bahkan lebih
menjurus pada kemiskinan. Ironisnya ketika saya akan membangun gedung
untuk lembaga pendidikan yang saya pimpin, saya datang kepada orang-
orang kaya yang saya cerca dan benci untuk meminta-minta bantuan dana.
Jadi saya agak mengerti keadaan ustadz ini yang kurang memahami
atau minimal salah faham terhadap paradigma kemiskinan yang dibolehkan
Islam. Dia terjebak dalam metode pembahasan Imam al-Ghazali yang jika
tidak dicermati secara menyeluruh seakan-akan lebih mengutamakan
kemiskinan dari amalan-amalan lainnya. Padahal di lain tempat beliau juga

3
menyebutkan dalam karyanya tentang keutamaan hidup kaya, yang juga
dipujinya sebagaimana memuji hidup dalam kemiskinan. Pujian-pujian sangat
berlebihan terhadap kemiskinan tanpa memberikan penyeimbang terhadap
keutamaan dan kemulian atas kelebihan kekayaan akan mendorong para
pendengar untuk hidup dalam serta kekurangan. Bahkan akan memberi
semangat kepada kemalasan dalam bekerja dan berkarir.
Jika Anda yang belum faham benar ajaran Islam, lalu mendengar
ceramah ini, maka dengan serta merta dapat menyimpulkan bahwa
kemiskinan adalah sebuah kemuliaan dan keutamaan yang dianjurkan Islam
kepada para pemeluknya. Apalagi yang mendengar adalah orang yang
tengah ditimpa kemiskinan, maka akan menjadi argumennya untuk tetap
menjadi mulia dengan mempertahankan kemiskinannya. Celakanya, jika
orang sudah kaya mendengar argumen ustadz ini, maka dia akan takut
dengan kekayaannya serta memilih hidup miskin dan meninggalkan kerja
yang telah membuatnya kaya. Sebagaimana yang dialami keluarga dekat
teman saya yang telah meninggalkan kehidupan mapannya akibat salah
memahami kemiskinan. Membuang rumah mewahnya, mobil mewahnya dan
karir cemerlangnya, karena anggapan semua itu menjadi penghalangnya
menjadi seorang Islam yang baik.
Mengakhiri bacaan ayat dan haditsnya, sang ustadz memberikan
komentar dengan tambahan, ”maka berbahagialah orang-orang yang fakir
dan miskin, mereka adalah hamba-hamba Allah yang menjadi kekasih-Nya di
dunia dan akhirat”. Kata-kata selanjutnya membuat saya bertambah gelisah.
Rasulullah saw junjungan kita, katanya dengan lantang, ”selalu berdoa, ”Ya
Allah, hidupkanlah aku bersama dengan orang-orang miskin, matikan aku
bersama orang-orang miskin, dan bangkitkan aku bersama orang-orang
miskin pula”. Kesimpulan yang dapat saya ambil, ustadz ini berpendapat
bahwa orang-orang miskin adalah pilihan Allah, kekasihnya di muka bumi.
Saya tercengang dengan kesimpulan ini, karena tanpa disuruhpun memang
kini orang-orang Islam adalah yang termiskin di Republik ini.
Anda bisa membayangkan bagaimana dampaknya jika kaum muslimin
yang mayoritas menjadi fakir miskin semua karena mengejar keutamaan dan
kemuliaan sebagaimana dinyatakan ustadz ini. Bukan hanya lembaga-
lembaga sosial dan pendidikan Islam yang selama ini mendapat bantuan
orang kaya yang akan gulung tikar, tapi juga negara akan bangkrut akibat
hilangnya pendapatan pajak dari umat Islam dan sekaligus mengurusi
kemiskinan mereka yang amat besar melalui Departemen Sosial. Apalagi jika
seluruh umat Islam di dunia berfahaman seperti ini, akan seperti apa jadinya
dunia ini. Jika sebuah masyarakat yang disebut Allah sebagai ummat terbaik
yang bertugas menegakkan kebenaran dan keadilan dan mencegah
kerusakan adalah orang-orang yang hidup melarat, terbelakang dan miskin
apakah akan mampu menjalankan tugasnya dengan baik di muka bumi?
Mana mungkin masyarakat yang hidup dalam kemiskinan akan mampu
memberikan pengarahan kepada masyarakat yang kaya dan maju, seperti
yang kaum muslimin alami saat ini, walaupun jumlahnya besar tapi tidak
mampu mendekte negara Amerika, padahal ada negara-negara muslim yang
juga kaya. Apalagi jika miskin semua.
Di dalam benak saya terbayang kengerian dahsyat bagaimana
seandainya kaum muslimin semuanya berlomba-lomba menjauhi dunia
sebagaimana yang dianjurkan ustadz tersebut lalu menjadi fakir miskin.

4
Tidak ada lagi yang akan mengeluarkan zakat, infak dan shadaqah, kaum
muslimin tidak mampu membayar pajak kepada negara, tidak mampu
menyediakan pendidikan berkualitas kepada generasi mudanya, dan
seterusnya. Dan bagaimana jadinya jika yang kaya raya adalah orang-orang
yang tidak peduli kepada agama dan kepentingan kaum muslimin, apalagi
jika mereka adalah yang disebut al-Qur’an sebagai ”orang-orang yang
hendak memadamkan cahaya (agama) Allah”?
Dengan sabar saya menunggu materi selesai disampaikan. Setelah
habis berceramah, dengan cepat saya mengangkat tangan, ”ustadz, saya
mau bertanya” seru saya. Dengan mimik agak kaget, sang ustadz
mempersilahkan. ”Saya ingin mengoreksi beberapa pendapat ustadz tadi”,
kata saya tegas. Saya mulai menyanggah pemikiran sang ustadz sambil
membaca beberapa ayat-ayat jihad yang semuanya hampir didahulukan
dengan jihad bil mal (harta), sambil berkata: ”bukankah ayat tersebut
memberi keutamaan kepada orang yang beriman kaya yang berjihad dengan
harta”. Selanjutnya saya membacakan beberapa hadits Nabi tentang
keutamaan orang-orang kaya yang banyak bersedekah, berjihad dan
membaca dzikir dari orang-orang miskin yang sabar.
Saya menegaskan ada sebuah hadits yang menyatakan:
”sesungguhnya kefakiran itu hampir-hampir membawa orang kepada
kekufuran” dengan memberikan contoh berapa banyak orang Islam yang
murtad karena miskin dan tidak sabar dengan kemiskinan yang menimpanya.
Terakhir saya bacakan pendapat Sayyidina Ali yang berkata: ”Andaikan
kemiskinan itu berbentuk manusia, maka pasti akan kupenggal lehernya”.
Maknanya sahabat agung ini benar-benar serius ingin memerangi dan
mengeyahkan kemiskinan dari kaum muslimin. Sayapun berujar: ”bagaimana
kita akan mendirikan sekolah terbaik, jika kita semua menjadi miskin. Apakah
kita berharap musuh-musuh Islam akan membangun sekolah yang baik untuk
kegemilangan generasi kita? Justru sebaliknya, mereka mendirikan sekolah
untuk memurtadkan dan melemahkan iman generasi muda kita”.
Dengan pendapat yang panjang lebar, saya meyakinkan bahwa
menjadi orang miskin bukanlah satu-satunya pilihan bagi kaum muslimin,
tapi boleh menjadi salah satu pilihan. ”Jadi menurut saya kemiskinan itu tidak
salah, sebagaimana juga tidak salahnya orang menjadi kaya”. Bahwa Imam
al-Ghazali memuji kemiskinan agar orang miskin tidak putus harapan dan
tetap bersabar atas kemiskinan yang telah menimpanya. Jika seorang sudah
miskin, tapi tidak bersabar atas kemiskinannya, boleh jadi akan membawa
dirinya menjadi pelaku kriminal atau frustasi dan putus asa yang dekat
dengak kekufuran pula. ”Bahkan pada kesempatan yang lain beliau juga
menyanjung kekayaan yang terdapat pada orang-orang saleh, sebagaimana
hadits: ”sebaik-baik kekayaan adalah pada orang saleh”. Atau ada hadits
yang menyatakan bahwa ”tangan di atas (pemberi) lebih baik dari tangan di
bawah (peminta)”. Mafhumnya, tentu orang kaya yang memberikan hartanya
lebih baik dari orang miskin yang meminta-minta.
Mengakhiri sanggahan, saya menekankan bahwa seorang muslim yang
miskin hendaklah bersabar dan berusaha dan terus berusaha pantang
menyerah dengan sungguh-sungguh keluar dari kemiskinannya, agar
hidupnya lebih mulia dengan menjadi pemberi atau tangan di atas. Namun
apabila telah berusaha dengan sungguh-sungguh, namun tetap miskin juga,
maka hendaklah mereka bersabar, karena Allah dan Rasul-Nya tetap

5
mencintai mereka dan akan dimasukkan ke dalam surga atas nasib miskin
serta kesabarannya.
Demikian pula halnya dengan yang kaya, mereka wajib bersyukur
dengan kekayaan yang diperolehnya. Bentuk kesyukuran itu adalah dengan
menafkahkan hartanya di jalan Allah. Kesyukurannya inilah yang akan
mengantarkannya beramal saleh sebanyak-banyaknya dengan kekayaannya,
sehingga diapun layak masuk surga. Nah jika ada orang kaya yang tidak
bersyukur, tentu lebih baik orang miskin yang bersabar.
Setelah termangut-mangut mendengarkan sanggahan saya, sang
ustadz muda menyetujui pendapat saya. Dengan semangat dia
menambahkan: ”saat ini kita sedang membahas masalah keutamaan miskin,
namun di lain waktu kita akan membahas juga tentang keutamaan kaya,
sebagaimana saran tadi”. Setelah selesai acara, beberapa orang pendengar
mendatangi saya, dan memberi salam dan ucapan terima kasihnya atas
sanggahan saya. Sayapun lega dan mendapat kekuatan baru untuk
menerangkan pentingnya kaya, karena masih banyak yang keliru memahami
kemiskinan yang dibenci Islam dengan orang miskin yang wajib disayangi
dan dibela serta ditolong.
Bukan hanya sekali saja saya mengalami peristiwa seperti ini. Sering
sekali saya bertemu dengan para ustadz atau penceramah yang membela
mati-matian keutamaan hidup dalam kemiskinan dan mencerca kekayaan
secara berlebihan. Suatu hari terjadi perdebatan yang panas antara saya
dengan seorang ustadz yang sudah saya kenal lebih 30 tahun di Kuala
Lumpur. Dengan penjelasan yang rinci beliau menyakinkan saya bahwa
kemiskinan adalah lebih utama dari pada kaya. Karena untuk menjadi kaya
sebagaimana yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya amatlah sulit, bahkan
mustahil katanya. Setelah berdiskusi panjang lebar, beliau memberikan saya
kitab terjemahan Ihya Ulum al-Dien, karya Imam al-Ghazali, jilid ke 5 yang
begitu saya buka tertera judul Kitab Tercelanya Dunia yang diikuti dengan
Tercelanya Cinta Harta. Padahal 35 tahun lalu kitab ini menjadi kegemaran
saya.
Halaman demi halaman saya baca dengan penuh pemahaman,
terutama hadits-hasdits yang dinukilkan dalam kitab tersebut. Setelah saya
selesai membaca, saya jadi terguncang, mengingat kuatnya dalil-dalil yang
disampaikan oleh Imam al-Ghazali tentang bagaimana tercelanya harta
termasuk menjadi kaya. Namun saya menenangkah hati. Meminta petunjuk
kepada Allah agar diberikan kebenaran yang sebenar-benarnya, sambil
mencari buku-buku referensi yang lain, dengan harapan mendapatkan
pandangan yang berbeda.
Karena saya tengah mengambil Doktor sejarah di Universitas
Kebangsaan Malaysia, maka saya sedikit banyak dapat memahami sebuah
pendapat yang difatwakan berdasarkan kurun terjadinya peristiwa. Yang saya
fahami adalah Imam al-Ghazali hidup di masa puncak kejayaan Islam,
kejayaan yang paling puncak, sehingga kemakmuran bagi kaum muslimin
sudah terlampau, karena 200 tahun sebelumnya, yaitu pada masa Khalifah
Umar bin Abdul Aziz memerintah, sudah sulit menemui penerima zakat,
karena masyarakat Islam sudah terbebas dari kemiskinan. Kita dapat
membayangkan keadaan pada waktu itu keadaan kaum muslimin yang
menjadi super power dunia dengan menyatukan kekuatan-kekuatan besar
yang belum pernah terjadi sebelumnya. Maka tidak mengherankan telah

6
melahirkan orang-orang kaya dengan kemakmuran yang luar biasa. Keluarga
Imam al-Ghazali sendiri termasuk dari kalangan orang kaya dan beliau juga
awalnya adalah orang kaya, yang memahami hakikat kekayaan.
Setelah mencari-cari rujukan di beberapa perpustakaan pribadi
sahabat dan berkeliling ke beberapa toko buku di sekitar Kuala Lumpur,
akhirnya saya menemukan beberapa buku yang cukup menarik dan dapat
menjadi hujjah saya dalam menguraikan, mana yang lebih utama pada
waktu, antara orang miskin yang bersabar dan orang kaya yang bersyukur.
Aliran Menolak Dunia
Tidak dipungkiri ada aliran di kalangan kaum mislimin, terutama para
pengikut ajaran tasauf atau tarikat tertentu yang berlebihan mengajarkan
hidup zuhud sampai-sampai mewajibkan kemiskinan sebagai jalan mencapai
kesempurnaan peribadahan. Karena menurut aliran ini, hanya dengan
kemiskinanlah jalan yang akan membebaskan manusia dari segala
keterikatan dunia yang fana, hina dan telah dilaknat. Bahkan mereka
mengganggap bahwa dunia adalah penjara bagi kaum muslimin, atau tempat
mendapat kepedihan dan kemiskinan, sementara surga bagi orang-orang
kafir, sehingga mereka boleh meraup kekayaan semaunya. Jika seorang
muslim ingin merdeka, bebas dari penjara dunia, menurut faham ini, mereka
harus membebaskan diri dari segala bentuk dunia, termasuk menghindari diri
dari kekayaan. Hidup dalam kesusahan, kekurangan dan kemiskinan
bagaikan pertapa untuk mendapatkan kehidupan yang sempurna di akhirat
kelak.
Awalnya para pengikut aliran ini hanya menyerukan kemiskinan
kepada para jamaahnya saja, namun lama kelamaan, semakin dalam
fanatismenya terhadap alirannya, merekapun akhirnya membenci kekayaan
dan juga orang-orang kaya yang dianggapnya sebagai hamba dunia. Bahkan
ada yang secara terbuka menyerang orang-orang kaya secara membabi
buta. Akibatnya mereka semakin tersingkir dari dunia dan menjadi komunitas
tersendiri yang apatis terhadap segala bentuk dunia, termasuk kemajuan
peradaban dan pengetahuan yang merupakan bagian dari dunia. Mereka
hidup menjadi ahli kebatinan yang berzikir siang malam, menikmati
eksotisnya dunia mistis, fana dalam dunia ghaib menelantarkan kehidupan
dunianya, perdagangannya dan termasuk anak dan istrinya karena terlalu
nikmat dengan alam rohaninya. Semakin dalam mereka terlibat dalam alirat
ini, sedikit demi sedikit mereka menolak ajaran Islam selain dari kekayaan,
termasuk untuk berkeluarga yang dianggap akan menjadi penghalang dalam
perjalanan kerohaniannya.
Jika ditelusuri sejarahnya, faham keagamaan ini berkembang pesat
terutama di abad ketiga sampai dengan kelima hijriah, di saat Islam dan
kaum muslimin menggapai kegemilangan dan kemegahan tiada taranya di
muka bumi. Pusat-pusat dunia Islam adalah pusat peradaban, pengetahuan
sekaligus kemakmuran sebagai akibat kebangkitan Islam dan
kemenangannya, sehingga mendatangkan kemewahan yang luar biasa
kepada kaum muslimin. Menurut para ahli sejarah, pada saat itulah puncak
pencapaian Islam ditemukan, dengan segala kemakmuran dan kemewahan
yang masih tersisa sampai saat ini. Maka pada saat seperti itulah, di mana
kemewahan dan kekayaan telah menjadi panglima kehidupan dan mengubah
arah kehidupan kaum muslimin, lahir para penyeru perbaikan yang
mendakwahnya pentingnya hidup sederhana dan kemiskinan sebagai jalan

7
kembali (pertobatan) menuju kemuliaan. Ahli sufi terbesar seperti Imam al-
Ghazali lahir dalam kondisi masyarakat muslim seperti ini, yang telah
terlampau hidup dalam kemewahan dan bergelimang kekayaan. Beliau
menyerukan kehidupan yang zuhud agar menjadi seorang muslim yang baik.
Tapi tentu beliau kemudian tidak mengharamkan kaum muslimin menjadi
kaya.
Dampak aliran pemikiran ini terhadap kaum muslimin sangat dahsyat.
Banyak ahli sejarah yang menyebutkan bahwa aliran seperti ini telah
bertanggung jawab atas kemunduran dan keterbelakangan kaum muslimin
yang dimulai sejak abad pertengahan lalu. Akibat terlalu lenanya sebagian
besar kaum muslimin kepada alam kerohanian sebagai pelarian terhadap
budaya hedonisme segelintir penguasa dan bangsawan, telah menimbulkan
kelemahan demi kelemahan yang berakibat fatal kepada peradaban Islam.
Perhatian pada kekuatan ekonomi dan militer yang menjadi poros utama
kekuataan Islam, yang sebelumnya menjadi prioritas utama pemerintahan
Islam terbengkalai. Ketika kaum muslimin di serang pasukan bar-bar
Genggish Khan dari Mongolia, pusat-pusat peradaban, pengetahuan dan
ekonomi dihancurkan tanpa perlawanan berarti. Meninggalkan urusan dunia
termasuk urusan ekonomi telah menyebabkan bencana kemunduran kepada
kaum muslimin yang sampai saat ini masih terasa akibatnya. Kemunduran
ekonomi telah mengakibatkan kemunduran sosial, pendidikan, militer yang
berujung penjajahan kolonilis Barat yang telah merubah jati diri kaum
muslimin.
Pada masa penjajahan Barat terhadap kaum muslimin, para penjajah
sengaja memelihara dan mengembangkan aliran seperti ini, bahkan
memberikan bantuan dana yang tujuannya jelas untuk memperlemah dan
tetap memperbudak kaum muslimin yang hidup dalam kemiskinan.
Bagaimana mungkin masyarakat yang hidup dalam kemiskinan dan tanpa
harga diri akan dapat melawan penjajah yang kaya dan memiliki kekuatan
teknologi. Penjajahan telah menimbulkan keterbelakangan dan utamanya
kemiskinan kepada kaum muslimin. Masyarakat miskin akan melahirkan
sebuah negara yang miskin pula, sebagaimana yang tengah menimpa
sebagian besar negara-negara kaum muslimin yang dikatakan sebagai
negara sedang berkembang saat ini. Negara terbelakang yang penuh dengan
konflik, perebutan kekuasaan dan peperangan yang dipimpin oleh rezim-
rezim diktator.
Walaupun sebahagian besar kaum muslimin didera kemiskinan saat
ini, aliran pemikiran ini masih berkembang pesat, menjadi pembenaran atas
kemiskinan yang tengah menimpa bahkan menjadi tempat berkumpulnya
orang-orang anti dunia dan kemajuan. Seakan-akan memang benar Allah
telah menakdirkan mereka hidup dalam keterbelakangan di muka bumi.
Bagaimana mungkin mereka dapat menjadi khalifah atau wakil Allah di muka
bumi jika mereka dalam keterbelakangan dan kemiskinan. Padahal yang
diwakilinya adalah Allah, Tuhan seru sekalian alam Yang Maha Kaya Raya.
Ironisnya semakin ditimpa kemiskinan dan kekuarangan, semakin dalam pula
mereka menghanyutkan diri ke dalam dunia kerohanian dan meninggalkan
dunia nyata sehingga perekonomian, pengetahuan, teknologi dan kemajuan
peradaban lainnya dikuasai orang lain.
Di Aceh saya menyaksikan bagaimana dampak kemiskinan terhadap
masyarakat luas. Syukurnya masyarakat Aceh adalah di antara masyarakat

8
yang kuat memegang adat dan tradisi yang berdasarkan Islam sehingga
dampaknya tidak terlalu parah jika dibandingkan dengan daerah lainnya.
Namun demikian, kemiskinan telah menjadi pintu efektif untuk setan
menggoda manusia agar tergelincir dari jalan Allah. Setelah mengalami
konflik berkepanjangan, masyarakat Aceh hidup di bawah rata-rata, yang
lebih tepat diidentikkan dengan kemiskinan. Kemiskinan terstruktur ini telah
membunuh bakat-bakat cemerlang generasi muda Aceh, yang seharusnya
dapat menjadi orang sukses, cendekiawan ataupun profesional. Akibat
kemiskinan yang mendera, sebagaian besar generasi berbakat Aceh tidak
dapat mengenyam pendidikan layak apalagi berkualitas. Fasilitas pendidikan
sangat minim sementara guru dibawah standar yang menjadikan kualitas
pendidikan sangat rendah dan tidak mampu bersaing dengan tamatan
daerah lainnya. Rendahnya kualitas pendidikan telah mengakibatkan
rendahnya SDM, yang tentu berdampak langsung terhadap kemiskinan yang
banyak menimpa masyarakat Aceh dengan segala akibat sosialnya, terutama
pengangguran yang akan melahirkan kemiskinan juga. Di daerah lain,
kemiskinan telah mengantarkan sebagian orang menuju kekufuran.
Dampak dari kemiskinan memang hanya dapat dihayati oleh mereka
yang pernah mengalami hidup dalam kemiskinan atau hidup dalam
lingkungan kemiskinan. Di waktu kecil saya memiliki pengalaman tersendiri
tentang kemiskinan ini. Kesimpulan saya hidup dalam kemiskinan adalah
menyakitkan yang menimbulkan trauma mendalam dan tentunya rendah diri
maupun semangat hidup.
Ketika kecil saya tinggal bersama orang tua angkat yang termasuk
orang kurang berada, bekerja sebagai buruh tani, pedagang asongan dan
tinggal di rumah yang tidak layak kesehatan di sebuah kampung pinggiran
kota Mataram, Lombok. Karena saya tidak betah tinggal di rumah sendiri
sejak bayi, maka di boyong ke rumah orang tua angkat dan hidup dalam
keadaan yang serba kurang. Dari kecil saya terbiasa ikut menjadi buruh tani
atau penjual asongan keliling dengan hidup yang pas-pasan dan tentu kurang
gizi. Saya tumbuh di tengah kemiskinan, bersama dengan anak-anak miskin
di kampung. Sesekali saya diajak ke kota naik angkutan umum dan bertemu
dengan anak-anak kota yang serba berkecukupan. Ketika anak-anak kota
menikmati es krim atau coklat, saya hanya menelan liur saja, karena orang
tua angkat tidak akan mampu membelikan. Untuk dapat uang jajan, saya
harus bekerja atau memungut botol bekas. Saya sering menyaksikan ayah
angkat saya dimarah oleh mandor tani, yang menimbulkan rasa minder pada
diri saya.
Kemiskinan akan mendorong orang menjadi lemah mental dan kurang
mendapat kesempatan dalam pendidikan dan hanya sedikit orang yang
mendapatkan kesempatan emas keluar dari permasalahan yang
menghimpitnya. Berbeda dengan orang kaya, kesempatan untuk mendapat
pendidikan terbaik terbuka lebar untuknya, sehingga menjadi sarana untuk
menggapai kesuksesan di masa depan.
Pada masa kehidupan Rasulullah dan sahabatpun telah tumbuh pola
hidup yang dianggap mengutamakan kemiskinan, padahal lebih tepatnya
hidup dalam kesederhanaan. Namun sangat berbeda substansinya dan tidak
seekstrim yang berkembang kemudian sebagaimana digambarkan di atas. Di
dorong oleh pemahaman yang mendalam tentang hakikat keimanan dan
kehidupan dunia fana ini, ada di antara para sahabat terkemuka yang

9
berkonsentrasi penuh memikirkan kehidupan akhirat dan menghindari dunia
serta telah menjadikan kemiskinan menjadi jalan hidup dan pilihan mereka
seperti yang dikenal dengan sahabat ahl al-suffah, yang hidup miskin bahkan
diantaranya sampai tidak mampu memiliki rumah dan keluarga. Para ahli
sejarah menyatakan jumlah mereka sekitar tujuh puluhan orang dari puluhan
ribu jumlah total para sahabat Nabi Muhammad. Artinya tidak semua para
sahabat menjadi seperti kelompok ahl al-suffah. Jika sahabat mayoritas
lainnya sibuk dengan perdagangan, perkebunan atau urusan kehidupan
duniawi, maka mereka menyibukkan diri dengan berdoa dan berzikir di
masjid dan menerima penghidupan dari santunan negara atau pemberian
kaum muslimin.
Ada juga dikalangan sahabat agung ini yang berasal dari orang kaya
raya, karena perjuangan Islam masa itu membutuhkan dana yang besar,
mereka telah menginvestasikan kekayaannya di jalan Allah.
Membelanjakannya untuk perjuangan menegakkan dakwah Islam dan
memilih hidup sederhana untuk mendapat kebahagian sejati di akhirat kelak.
Atau kekayaan mereka dirampas oleh kaum musyrikin Mekkah ketika
berhijrah ke Madinah, kemudian mereka memulai hidup baru dari nol lagi.
Mereka dipuji oleh Allah : di antara manusia ada orang-orang yang membeli
dirinya untuk mendapatkan ridha Allah. Ayat ini berkaitan dengan salah
seorang sahabat yang meninggalkan kekayaannya untuk berhijrah mencari
ridha Allah bersama Rasul-Nya.
Kehidupan sahabat Umar bin Khattab juga menggambarkan hal ini.
Beliau adalah kepala pemerintahan Islam yang telah menaklukkan dua super
power masa itu, Romawi dan Persia, karena dasar keimanan mendalam
memilih hidup sangat sederhana, diriwayatkan rumahnya sangat sempit dan
bajunyapun penuh tambalan. Padahal jika beliau mau, istana Persia yang
megahpun dapat dipindahkan menjadi rumahnya, dan segala kemewahannya
dapat diraupnya sebagai kepala negara kaum muslimin yang terbentang
luas. Sebelumnya sahabat Umar adalah seorang kaya raya dan setelah
memeluk Islam serta menjadi kepala negara justru memilih kesederhanaan
sebagai pola hidupnya. Inilah kemiskinan yang menjadi pilihan hidup,
seorang yang kaya raya dan mampu kaya raya namun memberikan seluruh
kekayaan yang didapatnya dan memilih hidup sederhana karena
pemahamannya yang mendalam tentang keimanan. Tradisi ini diikuti oleh
kepala pemerintahan pengganti beliau bernama sahabat Usman bin Affan,
yang juga kaya raya namun menjadikan kesederhanaan sebagai pola
hidupnya.
Keadaan ini tentu berbeda dengan generasi Islam abad bertengahan.
Setelah mereka mengalami puncak kemakmuran kemudian meninggalkan
urusan dunia dan lari pada alam kerohanian. Tapi generasi Islam angkatan
sahabat menyumbangkan seluruh kekayaan dunianya untuk mendapatkan
ketinggian kerohanian. Para sahabat mencari kekayaan sebanyak-
banyaknya, menjadi kaya raya, kemudian berlomba-lomba
membelanjakannya di jalan Allah adalah cara para sahabat untuk
mendapatkan ketinggian spiritualitas. Mereka sangat faham dengan makna
ayat al-Qur’an: ”engkau tidak akan mencapai kebaikan tertinggi, sehingga
menafkahkan harta yang paling engkau sukai”. Untuk dapat mengeluarkan
kekayaan di jalan Allah, tentu mereka harus memiliki kekayaan.

10
Para sahabat yang terpuji dan mulia memilih pola hidup kaya juga atas
dasar pemahaman dan keimanan, yang akan dijadikan sebagai sarana
menegakkan peribadatan kepada Allah. Dalam sejarah kehidupan sahabat
banyak di antara mereka yang senantiasa dilimpahkan kekayaan yang
berlimpah ruah, seperti yang dialami sahabat Abdurrahman bin ’Auf.
Walaupun beliau telah menyumbangkan kekayaannya di jalan Allah,
kekayaannya bukan habis atau berkurang tapi malah bertambah banyak.
Namun dengan kekayaannya tidak menjadikan beliau lupa daratan. Memilih
hidup kaya seperti sahabat Abdurrahman juga merupakan kemuliaan, bukan
sebuah laknat dan kehinaan sebagaimana yang dituduhkan.
Jika kita telusuri sejarah hidup beberapa Nabi, maka kita akan
mendapati ada kesamaan pola, bahwa ada beberapa Nabi sebelum diangkat
menjadi Nabi adalah orang kaya atau hidup dalam lingkungan kaya. Mereka
telah mengecap kekayaan terlebih dahulu dan diangkat menjadi Nabi.
Hikmahnya tidak lain, karena orang kaya lebih memiliki rasa percaya diri
yang besar dalam menyampaikan ajaran Allah dan terpandang oleh
masyarakatnya dibandingkan dengan orang yang miskin. Karena watak dari
manusia lebih mendengar perkataan orang yang ada diatasnya dari pada
dibawahnya. Kebanyakan para Nabi dan utusan Allah adalah dari keturunan
orang-orang mulia dan terpandang di dalam lingkungan masyarakatnya.
Mereka adalah orang-orang besar yang memiliki sejarah kebesaran keluarga
dan dipersiapkan oleh Sang Pencipta untuk menyampaikan ajarannya.
Bapak para Nabi, Ibrahim as digambarkan sangat kaya raya dengan
kekayaan berupa binatang ternak yang memenuhi padang rumput seluas
mata memandang, sehingga masyarakat memuliakannya dan
mengangkatnya sebagai pemimpin komunitasnya. Nabi Yusuf misalnya,
beliau dibesarkan dalam lingkungan orang kaya dan akhirnya menyandang
bendaharawan negara Mesir yang kaya raya. Nabi Musa as, terlahir dalam
lingkungan Bani Israil yang tengah diperbudak oleh Fir’aun, kemudian beliau
dengan cara yang luar biasa menjadi seorang Pangeran di lingkungan istana
Fir’aun dengan segala kemegahan dan kekayaan tentunya. Ketika tiba
saatnya menjadi Nabi, beliau dikeluarkan dari istana dan menentang Fir’aun
yang pernah menjadi kerabatnya. Yang paling spektakuler adalah Nabi
Sulaiman as yang digambarkan memiliki kekayaan yang luar biasa
banyaknya, memiliki istana yang terbuat dari batu permata yang tiada
tandingannya bahkan dapat memindahkan kemegahan yang dikehendakinya
dalam sekejap mata. Semua kekayaannya digunakan sebagai sarana
menegakkan kekuasaan Allah di muka bumi.
Kehidupan Muhammad Rasulullah saw sebelum dan sesudah diangkat
menjadi Nabi juga perlu menjadi pelajaran buat kita. Sebagaimana yang
ditulis para ahli sejarah, bahwa Rasulullah adalah seorang anak yatim piatu
yang dipelihara oleh pamannya. Digambarkan bahwa kehidupan beliau dalam
keadaan yang sangat sederhana. Namun keadaan ini tidak mematahkan
semangat beliau untuk keluar dari keadaannya. Beliau memulai karir sebagai
pengembala kambing dan seterusnya menjadi seorang pedagang. Karena
strategi perdagangan yang dijalankannya, Nabi Muhammad menjadi salah
seorang pedagang ternama yang terkenal jujur dan amanah. Kesuksesan
demi kesuksesan yang dialaminya dalam berdagang telah mengangkat
kehidupannya dan mensejajarkannya dengan para pedagang ternama
Quraisy di Makkah. Hal inilah yang menarik perhatian pedagang kaya

11
Khadijah untuk menjadikannya sebagai mitra dagang dan selanjutnya
menjadi pasangan hidup.
Untuk mengukur tingkat kekayaan Nabi Muhammad, yang saat itu
berusia 25 tahun, adalah dengan mahar atau mas kawin yang diberikannya
kepada mempelai wanitanya, Khadijah. Manurut riwayat, Nabi Muhammad
yang ketika itu menjadi seorang pedagang telah menyerahkan sebanyak 20
ekor unta muda sebagai mas kawinnya dan belum termasuk berbagai bentuk
hadiah mas dan pakaian mewah. Menurut pakar ekonomi kontemporer, jika
dinilai dengan harga sekarang, kira-kira senilai enam miliar rupiah. Jumlah
yang sangat besar bagi seorang pengusaha muda yang berangkat dari nol
sebagaimana Nabi Muhammad. Namun itulah ukuran kesuksesan dan
kekayaan beliau.
Usaha perdagangan yang dilakukan Nabi Muhammad bersama
Khadijah berkembang pesat, dan tidak diragukan telah mengantarkan
mereka menjadi salah satu jajaran pedagang kaya raya di kota Makkah.
Itulah sebabnya tidak mengherankan apabila diketahui teman-teman dekat
Nabi Muhammad seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Abdurrahman dan
lainnya adalah pengusaha-pengusaha sukses yang kaya raya. Setelah masuk
Islam mereka menjadikan kekayaannya sebagai penunjang perjuangan
dakwah Islam. Maka sebenarnya tidak berlebihan jika dikatakan kehidupan
Nabi Muhammad adalah kehidupan kalangan kelas menengah atau orang
kaya di Makkah. Terutama setelah beliau menjadi seorang pedagang yang
sukses dan terkenal di semenanjung Arabia. Tidak diragukan bahwa
Rasulullah adalah orang kaya yang kemudian menginvestasikan
kekayaannya di jalan Allah.
Setelah diangkat menjadi Nabipun, sebenarnya Muhammad saw
adalah orang yang kaya. Diriwayatkan ketika kembali dari perang Hunain,
Rasulullah mendapat bagian dari rampasan perang yang sangat banyak. Lalu
beliau berkata: ”letakkanlah semua di masjid”. Jumlah rampasan itu adalah
yang terbanyak yang pernah diterimanya. Kemudian beliau salat di masjid,
tanpa menoleh kepada rampasan tadi. Ketika beliau selesai salat, beliau
duduk dekat rampasan tersebut dan memberikannya kepada setiap orang
yang memintanya. Beliau baru berdiri setelah semua rampasan tersebut
habis dibagi, tanpa beliau ambil sedikitpun.
Di lain waktu juga diriwayatkan datang seseorang kepada beliau untuk
meminta sesuatu. Oleh beliau diberikanlah orang itu kambing yang banyak,
saking banyaknya sampai memenuhi jalan antara dua bukit. Lalu orang itu
kembali kepada kaumnya dan berkata, ”Masuk Islamlah kamu sekalian,
sesungguhnya Muhammad bila memberi, dia seperti orang yang tidak takut
miskin.” Dari kedua peristiwa ini saja dapat digambarkan bagaimana kayanya
Rasullah, jika beliau mau menumpuk kekayaan untuk dirinya sendiri. Karena
sebagai seorang Rasul sekaligus kepala negara, beliau mendapat bagian
yang besar.
Kemiskinan yang mulia dan terpuji di sisi Islam hanyalah pola hidup
yang telah dipilih atas dasar pemahaman yang mendalam dan kesadaran
jiwa untuk menggapai kehidupan yang lebih tinggi dan sempurna
sebagaimana yang telah dilalui para sahabat agung. Mereka sangat mampu
menjadi kaya raya karena mereka adalah pengusaha sukses dan kepala
pemerintahan. Mereka tetap bekerja keras bahkan lebih giat mencari
kekayaan sebanyak-banyaknya lebih banyak dari sebelumnya bukan untuk

12
kepentingan pribadi sebagaimana dahulu namun untuk Allah dan Rasul-Nya,
untuk disumbangkan kepada perjuangan menegakkan Islam di muka bumi.
Jika dahulu para sahabat agung hanya berdagang, setelah
kemenangan Islam mereka menjadi pengendali pasar-pasar besar, penguasa
jalur perdagangan dan sumber-sumber ekonomi yang berlimpah ruah,
menyatukan kekayaan dan kemakmuran Romawi, Persia, Mesir dan lainnya
dalam satu poros pemerintahan yang menegakkan keadilan dan kebenaran
Islam. Mereka sangat mampu melampaui kekayaan dan kemakmuran
Romawi, Persia dan Mesir, namun prioritas perjuangan mereka menghendaki
untuk lebih fokus kepada penyebaran Islam daripada berfoya-foya atau
berdagang dan menumpuk kekayaan, sehingga mereka memilih hidup
sederhana atau lebih mendekati kemiskinan, namun mereka bukanlah orang-
orang yang miskin. Mereka adalah manusia-manusia agung yang zahirnya
miskin namun sangat kaya raya, kekayaannya tidak mereka tumpuk dan
pamerkan di dunia, tapi mereka investasikan untuk kehidupan akhirat kelak.
Jika para sahabat agung ingin menjalankan hidup super mewah seperti
masyarakat Romawi, Persia atau Mesir dengan membangun istana-istana
megah di Madinah misalnya, pasti mereka sangat mampu. Seluruh sumber
kemewahan sudah berada di telapak tangan mereka. Karena mereka sangat
memahami hakikat ajaran Islam, kekayaan yang diperolehnya dari
penaklukkan dan kemenangan tidak mereka timbun di Madinah dan tidak
pula menyulap kota Madinah menjadi kota super mewah. Kekayaan dan
kemewahan yang mereka dapatkan, mereka investasikan kembali kepada
Allah untuk perjuangan Islam. Mereka menikmati kekayaan itu hanya sedikit
saja, sekedar untuk mampu bertahan hidup dan menjalankan perjuangan
selanjutnya. Keadaan ini yang menjadikan mereka kelihatan seperti orang-
orang miskin, namun hakikatnya mereka memiliki investasi jangka sangat
panjang yang besar. Mereka diajarkan untuk membangun kemewahan kelak
di akhirat yang kehidupannya kekal abadi. Mereka rela hidup sederhana
bahkan miskin, namun pada hakikatnya mereka adalah orang-orang kaya
raya yang sedang menginvestasikan kekayaannya.
Sejarah mencatat bahwa mayoritas para sahabat agung sangat giat
berjuang mendapatkan kekayaan dunia yang akan diinvestasikannya untuk
kehidupan akhiratnya. Mereka rela berkorban, bepergian juah, melakukan
peperangan, penaklukan besar ataupun perdagangan sampai ke Romawi,
Persia, Mesir, Eropa, Sumatera, China, Afrika dan lainnya, yang dibuktikan
dengan banyaknya sahabat yang wafat di tempat-tempat tersebut. Mereka
sangat giat mengumpulkan kekayaan, dan setiap mendapat kekayaan,
segera mereka investasikan kembali, demikianlah seterusnya, sehingga
hanya sedikit yang tersisa untuk kehidupan dunianya. Seperti itulah
kehidupan mayoritas sahabat, kelihatan miskin dan sederhana tapi sangat
kaya raya.
Kehidupan seperti ini jelas berbeda halnya dengan kemiskinan akibat
dari kemalasan dan kekalahan mental dalam berjuang mencari rizki.
Kemalasan dan kekalahan akan bersatu mencari alasan-alasan yang
membenarkan keadaannya, seperti seorang miskin yang berkata ”ya saya
sudah ditakdirkan miskin, mau apa lagi, biar berusaha tetap juga miskin”.
Padahal dia kalah sebelum bertanding, mentalnya lemah menghadapi
persaingan hidup yang keras dan tidak tahu harus berbuat apa untuk keluar
dari kemiskinan. Keadaan ini biasanya menimpa mereka yang hidup dalam

13
lingkaran setan kemiskinan, hidup miskin, keturunan orang miskin, berada
dalam lingkungan miskin, pasrah dengan kemiskinan, dan yang paling parah
miskin dari agama dan semangat hidup.
Seakan-akan dia menyalahkan Allah Yang Maha Kaya atas kemiskinan
yang menimpanya, padahal pada saat yang sama dia sama sekali tidak
gundah atas kemiskinan yang menimpanya apalagi berusaha semaksimal
kemampuannya menjadi kaya, bercita-cita kayapun tidak berani. Kita tidak
boleh pasrah miskin, karena kita diperintahkan berusaha semaksimal
kemampuan kita, termasuk berusaha untuk kaya. Namun setelah kita
berusaha dengan segala ikhtiar, tetap juga miskin, maka bersabarlah atas
kemiskinan yang menimpa, yang penting sudah ada niat untuk kaya dan
memanfaatkan kekayaan di jalan Allah.
Jika ”kemiskinan dekat dengan kekufuran” maka ”kekayaan bisa dekat
dengan keimanan”. Kemiskinan yang diikuti dengan ketaatan dan kesabaran
adalah kemiskinan yang dianjurkan dan akan mengantarkan mereka menuju
surga. Namun jika kemiskinan yang tidak taat dan juga tidak sabar, maka
akan menjerumuskan pelakunya menuju kemurkaan Allah. Realitasnya
berapa banyak yang ditimpa kemiskinan, namun tidak bersabar, kemudian
akibat kemiskinan yang tidak dapat ditanggungnya mendorongnya
melakukan perkara kriminal, menjual diri, mencuri, korupsi sampai menjual
keimanannya. Itulah yang dimaksud dengan kemiskinan dapat
menghantarkan kepada kekufuran.
Sementara kekayaan yang digunakan untuk tujuan kebaikan, tentu
akan menjadi sarana beribadah yang akan meningkatkan keimanan
pemiliknya. Dengan banyaknya bersedekah, menolong orang susah atau
pergi berhaji dengan kekayaan yang dimilikinya dapat mendekatkan dirinya
kepada Allah dan mendekatkannya kepada keimanan.
Mohd. Nahar Mohd. Arshad dalam bukunya Hidup Kaya Tanpa Riba
menulis: Islam sebenarnya menyuruh kita menjadi kaya. Ibn Qayyim dengan
jelas menyatakan kedudukan berharta dan berpengaruh adalah lebih utama
asalkan seseorang itu menjadi lebih bersyukur kepada Tuhan dan tahu
melaksanakan tanggungjawabnya pada orang lain, yaitu tidak mementingkan
diri sendiri. Ibn Qayyim menyatakan zuhud adalah sikap rohani manusia yang
tidak terpengaruh dengan pesona keduniaan lalu menjadikan seseorang itu
tidak meletakkan kekayaan dan kedudukan dunia sebagai tujuan
kehidupannya. Orang kaya mampu mencapai dan memiliki sikap rohani ini,
tetapi orang miskin sukar mencapainya.
Terhadap kemiskinan ini, sepatutnya kita bersikap seperti yang
dikatakan sahabat besar Sayyidina Ali, ”andaikan kemiskinan itu berbentuk
manusia akan kupenggal lehernya”. Sikap ini adalah sikap seorang yang
sangat faham dengan hakikat terdalam ajaran Islam, karena Sayyidina Ali
dijuluki sebagai pintu ilmu oleh Rasulullah saw. Kebencian beliau kepada
kemiskinan, bukan terhadap orang-orang miskin. Karena kemiskinan adalah
sarana dan pintu yang akan memudahkan syaitan untuk menggelincirkan
manusia menuju kejahatan. Dengan kata lainnya kemiskinan harus kita benci
dan tidak tertarik dengan sebagaimana sikap sahabat nabi tersebut. Jika
kebencian harus ditimpakan kepada kemiskinan, maka lawannya, tentu kita
dianjurkan untuk menjadi kaya yang menjadi lawan dari kemiskinan.
Paradigma mencitai kaya inilah yang sepatutnya dipegang kaum muslimin
agar mereka dapat beribadah dengan sempurna dan terhindar dari perkara-

14
perkara yang menjauhkan dirinya dari Allah akibat kemiskinan yang
mendera.
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa menjadi kaya
menurut tuntunan Islam adalah sebuah kemuliaan. Hidup dalam kekayaan
bahkan lebih baik daripada kemiskinan. Bagi seorang yang beriman,
kekayaan akan memberikan manfaat yang banyak untuk dirinya,
keluarganya dan masyarakatnya. Jika seorang muslim diberikan pilihan maka
jelas menjadi seorang kaya yang bersyukur lebih utama, karena dengan
kekayaan dan kesyukurannya akan memberikan nilai tambah. Dia dapat
beribadah dan berdoa seperti orang miskin yang bersabar, namun
kelebihannya dapat mengeluarkan kekayaannya untuk kebajikan yang tidak
dapat dilakukan oleh orang miskin.

2. Kaya Menurut Islam


Setiap yang saya tanya: “Maukah kaya?”. Hampir semua menjawab
dengan spontan dan bersemangat: “mau”, “pasti maulah”, “hari gini, siapa
yang ngak pingin kaya?”. Tidak diragukan memang, setiap manusia ingin
menjadi kaya, ingin memiliki kekayaan yang berlimpah ruah agar hidupnya
nyaman penuh kemudahan dan kebahagian tentunya. “Siapa sih yang gak
mau kaya?, kan sekarang dunia serba pake duit”, kata teman saya menimpali
pertanyaan sama. “Mau pergi haji atau berdakwah aja perlu dana, mau
bangun pondok pesantren juga perlu dana”, kata Pak Kiyai saya. Saya
menjadi ingat nasihat orang tua, ketika saya masih kecil dulu.”Orang kaya
lebih banyak kesempatannya untuk beramal saleh, termasuk untuk
membahagiakan diri, keluarga dan orang lain”. ”Kaya itu jalan untuk
mencapai kebahagiaan, bukan tujuan hidup”.
Namun jika kembali kita bertanya, apakah arti kaya, maka mereka
akan memberikan jawaban yang beraneka ragam. Ada yang menunjuk
seperti Pak Pengusaha Kaya itu, atau seperti Pak Pejabat sana, atau seperti
para artis glemour itu dan pribadi-pribadi yang terkenal lainnya. Ada juga
yang menjawab lebih spesifik : ”memiliki banyak uang”, ”memiliki rumah
besar”, ”mobil mewah”, ”sawah-ladang luas”, ”binatang ternak yang
banyak”, ”memiliki saham yang banyak”. Anak saya yang masih di sekolah
menengah menceritakan teman-temannya banyak anak-anak orang kaya,
”karena mainannya barang-barang mahal”. Demikian juga ketika di kampung
saya membangun rumah yang lumayan besar, maka orang menganggap
saya orang kaya. Pandangan orang desa dengan orang kota terhadap kaya
tentu berbeda, tapi ada persamaan, yaitu seseorang dianggap kaya apabila
telah dianggap mampu memenuhi segala keperluan hidupnya di atas rata-
rata. Dengan kata lainnya, seseorang yang dapat memenuhi segala
keinginannya, seperti memiliki rumah besar, mobil mewah, sawah-ladang
luas, saham yang banyak dan berbagai kekayaan lainnya dapatlah dianggap
sebagai kaya.
Sementara jika kita menanyakan orang-orang yang sudah kita anggap
kaya, apakah mereka adalah orang kaya, maka mereka akan menghindar
bahkan kurang senang jika dijuluki sebagai orang kaya. Saya beberapa kali
bertemu dengan orang yang sudah saya anggap kaya, memiliki penghasilan
besar, rumah mewah, mobil bagus dan fasilitas lainnya, namun ketika saya
bertanya apakah mereka menganggap dirinya sebagai orang kaya?. Rata-

15
rata dengan tersenyum mereka menjawab dengan rendah hati, mereka
belum merasa dirinya sebagai orang kaya. Orang lain saja yang telah
menganggap mereka kaya. Seorang teman yang sudah saya anggap kaya
pernah berkata, ”jika kamu tanya orang terkayapun di muka bumi ini, tentu
mereka tidak mau mengaku disebut kaya, jika mereka sudah menganggap
dirinya kaya, maka mereka akan berhenti dari mencari kekayaan. Ukuran
kaya adalah ketika mereka sudah mati, berapa kekayaan yang
ditinggalkannya” katanya dengan nada yakin.
Kaya biasanya disandangkan kepada orang yang memiliki kekayaan
berlimpah, yang telah memiliki kebebasan dari masalah kehidupan sehingga
tidak memerlukan bantuan ekonomi dari orang lain. Menurut Kamus
Kontemporer Arab-Indonesia karya Atabik Ali, kaya dapat disepadankan
dalam bahasa Arab sebagai ghina’ sementara jamaknya adalah aghniya’
yang dapat diartikan sebagai kecukupan. Huwa fi ghina anhu, maknanya dia
merasa cukup atau tidak perlu lagi. Dengan pengertian ini, maka dalam
pandangan Islam, seseorang dapat dikategorikan sebagai kaya, apabila telah
terbebas dari keperluan-keperluan asasi manusia, tidak memerlukan bantuan
orang lain dalam kehidupannya, mampu berdiri sendiri memenuhi keperluan
hidupnya, lepas dari jerat kemiskinan dan hutang serta yang paling penting
telah mampu mengeluarkan kekayaannya di jalan Allah, baik untuk zakat,
infaq, sedekah dan seumpamanya. Pada dasarnya seseorang yang telah
mampu mengeluarkan hak-hak Allah dari kekayaannya, maka dapatlah
dikategorikan sebagai kaya.
Kaya adalah naluri kemanusiaan yang telah menjadi sifat bawaannya.
Manusia manapun di muka bumi ini tidak ada yang tidak ingin kaya. Apakah
mereka berkulit putih, merah, hitam kuning ataupun sawo. Manusia kapitalis
di dunia Barat bahkan menciptakan berbagai metode untuk meraup
kekayaan berlimpah ruah dengan semboyan ”dengan modal sekecil-kecilnya
untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya”. Para petinggi Republik
Rakyat Cina (RRC) atau Rusia yang awalnya adalah pemeluk fanatik idiologi
komunisme-sosialisme sejati yang memiliki semboyan ”sama rata sama rasa”
(biar miskin yang penting sama-sama miskin), kini menukar kebijakannya
untuk memberikan peluang kaya raya tanpa batas kepada rakyatnya yang
mampu, sehingga melahirkan banyak orang kaya baru (okb) yang memiliki
kekayaan melimpah ruah, bahkan menjadi deretan orang kaya dunia yang
melampaui kekayaan orang di negara kapitalis. Manusia telah mewariskan
watak mencintai kekayaan bahkan sebagiaannya berbentuk keserakahan
yang telah mendorong peperangan, penjajahan dan eksploitasi berlebihan
terhadap alam. Generasi tua juga menasihatkan kepada generasi mudanya
agar selalu bekerja keras, rajin belajar, meniti karir dengan baik, menjadi
pegawai yang cemerlang dan sebagainya agar dapat hidup kaya.
Kaya bagi masyarakat modern adalah lambang dari sebuah
kesuksesan dalam meniti karir kehidupan. Jika ada yang mengaku sukses tapi
belum menunjukkan dirinya sebagai orang kaya, maka masyarakat belum
menganggapnya sebagai orang yang sukses. Masyarakat yang bersifat
materialistis akan mencemooh orang yang menganggap dirinya sukses,
namun masih menggantungkan keperluan hidup dan kehidupannya pada
belas kasihan orang lain, walaupun telah mencapai kesuksesan pada bidang
lain, pada bidang akademis misalnya. Seorang profesor yang miskin akan
ditertawakan oleh kebanyakan orang, karena ukuran keberhasilannya dinilai

16
dari kekayaan yang dikumpulkannya. Itulah sebabnya, banyak orang saat ini
melambangkan diri dengan kekayaan untuk mendapat penghargaan atau
penghormatan masyarakat. Saya terkejut ketika berkunjung ke rumah
beberapa orang ustadz terkenal, walaupun mereka adalah penceramah
agama dan pejuang Islam, namun rumah mereka besar dan tergolong
mewah. Sebagiannya dibangunkan oleh murid atau pengikutnya yang kaya
tentunya, dengan alasan untuk menjaga kehormatan sang ustadz dengan
menunjukkannya setatusnya sebagai orang kaya.
Kaya bukan hanya mengangkat status dan derajat seseorang di tengah
masyarakat, namun dengan kekayaan yang dimilikinya mereka bisa merebut
kekuasaan, dapat menjadi wakil rakyat di parlemen, mendapat jabatan
empuk seperti Bupati, Gubernur, Menteri bahkan Wakil Presiden. Dalam
masyarakat, orang-orang kaya biasanya mendapat kedudukan terhormat dan
memiliki percaya diri yang tinggi. Kekayaan juga dapat menjadi ladang amal
saleh bagi pemiliknya, dengan hartanya mereka bisa membayar zakat,
mengeluarkan infak dan sedekah, pergi umrah dan naik haji, membangun
masjid, pesantren, panti asuhan dan sarana sosial lainnya. Kekayaan dapat
menjadi sarana untuk mencapai kebahagian bagi pemiliknya di dunia dan di
akhirat. Kekayaan dapat membawa perdamaian, namun juga menjadi
penyebab peperangan di antara umat manusia. Kekayaan juga telah
menimbulkan penjajahan dan penindasan bangsa terhadap bangsa lainnya.
Dalam dunia modern sekarang, tidak mengherankan apabila manusia
berlomba-lomba menjadi kaya. Karena kaya akan memberikan banyak
keistimewaan kepada penyandangnya. Orang yang miskin kurang mendapat
perhatian dari keluarga sendiri, bahkan banyak yang menjauhi mereka,
namun berbeda halnya dengan orang kaya, semua orang akan mengakuinya
sebagai keluarga dan mendekat kepadanya dengan berbagai harapan. Kaya
telah membius sebagian besar manusia modern, bahkan untuk mencapai
tujuannya banyak yang menempuh berbagai cara yang bertentangan dengan
nilai-nilai agama dan negara. Itulah sebabnya, orang akan memandang aneh
terhadap mereka yang tidak mau dan tidak ada keinginan untuk menjadi
kaya.
Ironisnya, kita menyaksikan ada sebagian manusia yang mendapatkan
kekayaan berlimpah ruah dengan fasilitas yang serba lengkap, namun belum
juga mendapat kebahagian yang dirasakannya. Seorang teman menceritakan
bahwa Bapaknya punya seorang teman yang memiliki kekayaan berlimpah
ruah, dari rumah mewah sampai pesawat terbang dengan pengangkat
tuasnya berlapis emas, saking kayanya. Namun setiap ujung minggu dia
menghabiskan hidupnya di apartemen sendirian sambil menyantap mie
instan, jauh dari keluarga dan masyarakatnya. Hidupnya sepi, gundah dan
frustasi. Seperti inilah gambaran masyarakat super metropolis yang
mengalami krisis spiritual sebagaimana digambarkan Danah Zohar, dalam
Spiritual Quatient.
Tentang pentingnya kaya ini akan saya ceritakan pengalaman pribadi
saya ketika memimpin lebih seribu orang relawan kemanusiaan ketika
bencana tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004. Organisasi relawan kami
adalah salah satu organisasi nekat yang berangkat menuju lapangan tanpa
perlengkapan dan logistik yang mencukupi untuk melaksanakan tugas-tugas
kemanusian. Karena kami memang tidak berpengalaman sebagai sebuah
organisasi kemanusian yang menghadapi bencana dahsyat seperti ini. Saya

17
berangkat dari lapangan terbang Halim di Jakarta tanpa membawa bekal
apapun, dengan uang di dompet yang sangat terbatas. Sampai di Banda
Aceh yang porak poranda, saya kebingungan, harus berbuat apa dan
bagaimana. Pada saat yang sama saya melihat organisasi-organisasi
kemanusiaan lainnya datang dengan perlengkapan canggih dan logistik
cukup. Apa yang saya lakukan dengan para relawan adalah perjuangan di
jalan Allah yang mulia, namun tanpa ditopang oleh fasilitas memadai
sehingga hasilnya kurang maksimal. Pada tahap-tahap awal, kami mengalami
kekurangan makanan, minuman dan juga alat. Untuk mengevakuasi mayat
yang membusuk, relawan kami hanya memakai sarung tangan yang
biasanya digunakan untuk mencuci piring. Pada saat tersulit itu saya
berguman “andaikan saya orang kaya, maka keadaan seperti ini tidak akan
terjadi”. Seperti yang dilakukan pengusaha kaya dermawan dari Arab, yang
dengan kekayaannya dia memberikan sumbangan kepada para korban
bencana dengan tangannya sendiri. Pada saat-saat seperti itulah saya
menyadari pentingnya menjadi orang kaya untuk menopang sebuah
pekerjaan mulia, sebagaimana disebutkan Rasulullah: “sebaik-baik kekayaan
adalah pada seorang yang saleh”. Artinya bila kekayaan dimiliki oleh orang
saleh, maka dapat dimanfaatkan untuk keperluan amal saleh.

Hukum Kaya Menurut Fiqih Islam


Adapun hukum kaya bagi seorang muslim menurut fiqih Islam, apakah
termasuk wajib, sunat, haram, boleh (jaiz) atau lainnya. Sebagaimana hukum
umum yang berkaitan dengan mua’amalah, maka para ulama memberikan
patokan, ”al-Aslu fie al-Muamalat al-Ibahah illa maa dalla al-dalil ala
tajrimiha” artinya Hukum pokok dari muamalah adalah boleh, kecuali ada
dalil yang mengharamkannya.
Hukum kaya pada dasarnya adalah dibolehkan (ibahah/jaiz) kepada
mereka yang memiliki kemampuan dan kesempatan untuk meraihnya
dengan cara-cara yang digariskan syari’at. Namun pada waktu keadaan
tertentu dapat jatuh kepada hukum wajib atau haram. Misalnya ada seorang
yang memiliki kemampuan dan kesempatan lalu bercita-cita kaya, dengan
kekayaannya dia akan berbuat maksiat, menentang Islam, berkeinginan
untuk mencelakakan kaum muslimin ataupun dengan kekayaannya akan
melaksanakan yang diharamkan agama, maka kepada orang ini hukumnya
diharamkan kaya atasnya, karena niat dan tujuannya kaya adalah untuk
melakukan yang diharamkan.
Demikian pula sebaliknya, jika seseorang yang memiliki kemampuan
dan kesempatan, memiliki aqidah yang lurus, akhlak mulia lalu bercita-cita
kaya, kemudian bekerja sesuai dengan perintah Allah dan kelak dengan
kekayaannya akan bertujuan untuk menegakkan amal saleh untuk dirinya
dan orang lain, serta menegakkan kewajiban agama, seperti jihad fi sabilillah,
maka jelas hukumnya adalah wajib, merujuk kepada kaidah fiqih: ma la
yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib (segala sesuatu yang dengannya
tidak tertegak yang wajib, maka hukumnya wajib pula). Kaya (mampu)
adalah jalan untuk menegakkan kewajiban agama, maka kaya menjadi wajib
pula hukumnya bagi seseorang yang bercita-cita menegakkan agama Allah.
Menurut pandangan ulama kontemporer seperti Syaikh Yusuf al-
Qardhawy misalnya, bahwa pada zaman modern ini diperlukan sebuah fatwa-
fatwa baru yang berkaitan dengan hukum sosial yang berdasarkan pada fiqh

18
al-Aulawiyah (fiqih prioritas). Jika ditinjau dari fiqih prioritas, maka kaya
adalah sebuah kewajiban yang menjadi prioritas kaum muslimin. Karena
pada saat ini kebanyakan kaum muslimin dalam keadaan terbelakang dan
fakir-miskin yang telah melemahkan keadaan kaum muslimin terhadap
bangsa-bangsa lainnya, yang telah menempatkan posisi kaum muslimin
sebagai ummah yang lemah dari semua sisi. Untuk membangkitkan kembali
kaum muslimin, diperlukan perjuangan yang menyeluruh, baik dalam
perjuangan pendidikan, perjuangan ekonomi, perjuangan sains-teknologi
sampai kepada perjuangan militer yang semuanya memerlukan pendanaan.
Artinya perjuangan akan berjalan apabila ada tersedia banyak dana (mal)
pada kaum muslimin. Tentu dana hanya dimiliki oleh orang-orang yang
memilikinya, yaitu orang kaya. Maka dengan pandangan ini seorang muslim
pada zaman sekarang menurut fiqih prioritas adalah wajib.
Jika kita perhatikan keadaan kaum muslimin secara menyeluruh saat
ini, terutama dari sisi ekonomi atau kekayaan, maka keadaan kaum muslimin
adalah di antara orang-orang yang mengalami kekurangan dan kemiskinan,
walaupun ada sebagian kecil yang kaya, namun tidak mencukupi
kekayaannya untuk menegakkan Islam secara sempurna. Kekayaan
melimpah terkumpul pada orang-orang bukan Islam bahkan ada yang
memusuhi Islam dan kaum muslimin dengan kekayaan yang mereka miliki.
Orang-orang kaya dari musuh Islam telah melancarkan berbagai serangan
terhadap kaum muslimin, baik secara terang-terangan ataupun melalui
kekuatan yang dibiayainya, sementara orang-orang kaya kaum muslimin
tidak menjalankan kewajibannya untuk menegakkan Islam sebagaimana
diperintahakan karena takut ataupun bakhil. Maka mengambil fiqih prioritas,
adalah wajib ada dikalangan kaum muslimin yang bercita-cita kaya dan
berusaha kaya di jalan Allah yang akan menjadikan kekayaannya sebagai
sarana untuk mempertahankan dan menegakkan Islam, sehinggalah kalimat
Allah tegak di muka bumi dan kaum muslimin menjadi sebuah ummat yang
termulia dan teragung.
Adapun kewajiban ini temasuk wajib ’ain (fardhu a’in) atau wajib
kifayah (fardhu kifayah), adalah tergantung pada kondisi dan keadaan kaum
muslimin. Jika kekayaan digunakan untuk mempertahankan kaum muslimin
dari ancaman musuh secara nyata yang telah menguasai kaum muslimin,
maka mayoritas ulama memberikan fatwa bahwa hukum jihad menjadi
fardhu ’ain atau menjadi kewajiban terhadap seluruh kaum muslimin untuk
menggunakan kekayaannya membela Islam. Jika kekayaan akan
dipergunakan untuk perjuangan secara umum, maka hukumnya menjadi
fardhu kifayah, yaitu kewajiban ini terbebani kepada kelompok tertentu yang
mampu melakukannya. Namun apabila tidak ada kelompok tertentu yang
melaksanakannya, maka kewajiban ini menjadi fardhu ’ain sampai ada
sekelompok tertentu yang telah melaksanakannya.
Menurut pemahaman dan tinjauan maqasid al-syari’at, tujuan syar’i
dari jihad ekonomi untuk menjadi kaya adalah sama dengan tujuan jihad fi
sabilillah pada umumnya, yaitu untuk menegakkan kalimah Allah (Islam) di
muka bumi, memberikan rahmat, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh
umat manusia (rahmat lil alamin). Sebagaimana jihad militer (jihad askari),
yang memerlukan pelatihan dan persiapan sempurna, demikian pula halnya
dengan jihad ekonomi ini, diperlukan seperangkat pengetahuan (ulum wa
ma’rifah), strategi, pelatihan, persiapan, kiat-kiat dalam persaingan dalam

19
mencapai kemenangan sesuai dengan keperluannya. Jika kemenangan dalam
jihad militer adalah memenangkan peperangan, maka tujuan dari jihad
ekonomi adalah terkumpulnya sebanyak-banyaknya aset pada orang-orang
beriman yang akan dijadikan sebagai sarana menegakkan kalimah Allah.
Artinya tujuan syar’i dari jihad ekonomi adalah melahirkan sebanyak-banyak
muslim yang kaya raya, yang memiliki aset kekayaan. Maka pengetahuan
(ma’rifah) tentang jihad ekonomi ini adalah sama wajib hukumnya dengan
mempelajari ilmu pengetahuan jihad militer. Pelatihan (tarbiyah) jihad
ekonomi adalah sama wajib hukumnya dengan pelatihan kemiliteran
(tarbiyah jundiyah). Sementara seluruh ulama sepakat dan telah
memutlakkan hukum wajib untuk pelatihan jihad militer ini, sementara
kurang kita dengar fatwa yang mewajibkan pelatihan jihad ekonomi dan
pelatihan yang akan menjadi wasilah kayanya seorang muslim.
Maka dengan dasar pemikiran ini, bagi saya, pelatihan jihad ekonomi
atau segala sesuatu pelatihan yang akan menjadikan seorang muslim
menjadi kaya adalah wajib hukumnya, sebagaimana wajibnya pelatihan
militer dalam hukum Islam. Hal ini sudah saya bahas panjang lebar dalam
buku saya Panduan Jihad. Implikasinya bahwa segala sesuatu pengetahuan
yang berhubungan dengan jihad ekonomi, pelatihan dan metode
memperoleh kekayaan yang halal adalah wajib pula hukumnya, mengambil
kaidah fikih “ma la yatimmu al-wajib illa bihi, fa huwa wajib”.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa “sebaik-baik harta kekayaan
adalah yang dimiliki oleh orang saleh”. Artinya orang-orang yang saleh
diperintahkan untuk mencari harta benda sebanyak-banyaknya untuk
digunakan menegakkan Islam. Karena punya harta atau kaya adalah jalan
untuk memenuhi kewajiban jihad, maka dengan demikian menjadi kaya
adalah sebuah kewajiban pula. Sebagaimana disebutkan di atas, kewajiban
jihad menjadi kaya ini memerlukan sebuah pengetahuan yang membahas
tata cara tentang kaya. Sebuah fiqih atau ajaran-ajaran yang bersumber
pada Islam yang membahas tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan
kaya, baik makrifat, hakikat, syariat, manhaj maupun tariqatnya.
Pengetahuan ini bukan hanya dapat memahamkan tentang kaya dengan
segala seluk beluknya, tapi yang paling penting adalah bagaimana cara
menggapai kaya, sehingga pembacanya diharapkan dapat menemukan jalan
menjadi orang kaya menurut ajaran Islam.

Hujjah Tentang Kewajiban dan Keutamaan Kaya


Untuk memperkuat hujjah tentang kewajiban dan keutamaan kaya,
maka di bawah ini akan disampaiakan beberapa hujjah, di antaranya adalah:

1. Hujjah Dari al-Qur’an


- Surat al-Shaff ayat 10-11
”Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu
perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (Yaitu)
Kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah
dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui”.

- Surat Ali Imran ayat 133-134

20
”Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada
surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-
orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik
di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya
dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan.”

- Surat al-Hadid ayat 7


"Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah
sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.
Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan
(sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.

- Surat al-Baqarah ayat 261


”Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih
yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat
gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas
(karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”.

- Surat al-Nur ayat 33


”Dan berikanlah kepada mereka sebagian harta yang dikaruniakan
kepadamu”

- Surat al-Taubah ayat 103


”Ambillah zakat dari sebahagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka

- Surat al-Baqarah ayat 267


”Wahai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (pada jalan Allah)
sebahagian daripada hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebahagian dari
apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.”

Perintah untuk membelanjakan harta di jalan Allah, baik berupa zakat,


infaq, sadaqah dan sejenisnya pada dasarnya merupakan perintah agar kaum
muslimin memiliki harta kekayaan atau mereka menjadi orang yang kaya.
Jika mereka bukan orang kaya yang memiliki kekayaan, maka mana mungkin
dapat menjalankan perintah Allah ini. Artinya hanya orang-orang kayalah
yang mampu menjalankan perintah Allah untuk membelanjakan harta
kekayaan sesuai dengan yang telah digariskannya. Jika kaum muslimin dalam
keadaan miskin semua, maka tentu ayat ini akan sulit dijalankan, maka itulah
sebabnya secara tidak langsung Allah memerintahkan kepada kaum
muslimin yang mampu untuk kaya agar mencari kekayaan dan menjadi
orang kaya. Pendapat ini diperkuat oleh beberapa ayat di bawah ini:

- Surat al-Qashas ayat 77


”Carilah apa yang diberikan oleh Allah kepada kamu di negeri Akhirat
dan jangan kamu lupa bahagian kamu di dunia ini. Berbuat baiklah
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada kamu dan janganlah kamu

21
membuat kerusakan di atas bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.”

- Surat al-Jumu’ah ayat 10


”Apabila selesai mengerjakan salat (Jum’at) maka bertebaranlah di
atas bumi dan carilah karunia Allah dan banyaklah berzikir kepada Allah,
mudah-mudahan kamu mendapat kejayaan.”

2. Hujjah Dari Hadits Nabi Muhammad saw

- Hadits Riwayat Muslim


”Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertaqwa, yang kaya lagi
menyembunyikan (kekayaannya).”

- Hadits Riwayat Muslim dari Abu Dzar


Bahwasanya orang-orang dari sahabat Rasulullah saw datang
menemui beliau. Mereka berkata: “ Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah
memiliki banyak pahala, mereka salat seperti kami; mereka puasa seperti
kami; dan mereka bersedekah dengan harta mereka”.
Hadits ini menerangkan bahwa para sahabat yang miskin merasa
cemburu dengan para sahabat yang kaya, yang dapat bersedekah dengan
harta yang mereka miliki, sementara mereka tidak memiliki harta untuk
disedekahkan. Demikianlah keutamaan orang yang memiliki kekayaan,
mereka dapat lebih banyak beramal saleh dengan kekayaannya.

- Hadits Riwayat Tabrani dari Ibn Umar


”Sesungguhnya Allah SWT memiliki hamba-hamba yang dikhususkan
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hamba-hamba yang lainnya (orang
kaya). Dan orang-orang (miskin) selalu berdatangan untuk meminta
pertolongan kepada mereka (orang kaya) untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhannya. Mereka itu (orang kaya) adalah orang-orang yang selamat
dari adzab Allah SWT.”

- Hadits Riwayat Bukhari


“Sungguh seandainya salah seorang di antara kalian mengambil
beberapa utus tali, kemudian pergi ke gunung kemudian kembali memikul
seikat kayu baker dan menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allah
mencukupkan kebutuhan hidupmu, itu lebih baik daripada meminta-minta
kepada sesame manusia, baik mereka memberi maupun tidak.”

- Hadits Riwayat Muslim


“Bekerjalah kamu untuk dunia seolah-olah engkau akan hidup selama-
lamanya, dan bekerjalah untuk akhirat, seolah-olah kamu akan mati esok
hari.”

- Hadits Riwayat Tabrani


“Sesungguhnya di antara dosa-dosa terdapat dosa-dosa yang tidak
terhapuskan dengan salat, sedekah dan haji. Dan ia terhapuskan dengan
jerih payah untuk mencari penghidupan (rezeki).”

22
- Hadits Riwayat al-Dailami
“Sesungguhnya Allah Ta’ala senang melihat hamba-Nya letih dan
payah karena bekerja mencari (rezeki) yang halal”.

3.Hujjah Dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra.


’Ala bin Ziyad al-Haritsi adalah konglomerat besar yang hidup pada
masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Ia tinggal di kota Bashrah. Hampir
semua penduduk kota mengenalinya, karena mudah dikenali ciri-cirinya.
Rumahnya mewah, pakaiannya mewah dan kendaraannya luar biasa.
Suatu hari, Ali bin Abi Thalib berkunjung ke Bashrah. ’Ala yang dikenali
kaya raya meminta agar Khalifah berkenan untuk mengunjungi rumahnya. Ia
berfikir bahwa khalifah yang menguasai hampir separuh dunia itu sangat
layak untuk dijamu dirumahnya.
Sesampai di rumah ’Ala, Amirul Mukminin sangat kagum melihat
kemewahan rumahnya. Ia sendiri hanya tinggal di rumah sederhana layaknya
rakyat biasa. Setelah puas memandang perabot rumahnya, Ali bin Abi Thalib
menghampiri tuan rumah, sambil berkata: Wahai ’Ala, apa untungnya
memiliki rumah sebesar ini, padahal engkau memerlukanrumah yang lebih
besar dan lebih mewah kelak di akhirat?
Pertanyaan Ali tidak bisa dijawab oleh ’Ala. Pada mulanya ia brfikir
bahwa khalifah hanya layak dijamu di istananya yang mewah dan megah itu,
tapi ternyata sang khalifah bukanlah ”orang dunia”. Ia tidak memandang
dunia lebih dari sayap nyamuk. Kekuasaan yang digenggamnya tidak lebih
dari sekedar sarana untuk beribadah kepada Allah dengan cara melayani
makhluk-makhluk-Nya, yang bernama manusia. Ia menguasai dunia, tapi
tidak dikuasai dunia.
Melihat perubahan mimik dan perwajahan tuan rumah, Ali bin Abi
Thalib segera dapat menangkapnya. Apalagi sebelumnya ia telah
mengetahui bahwa tuan rumah mendapatkan kekayaannya melalui jerih
payahnya sebagai saudagar, bukan dari hasil nepotisme.
Oleh karenanya, Khalifah Ali segera menyampaikan pesannya: Wahai
’Ala, engkau bisa menjadikan rumahmu yang besar ini sebagai kendaraan
yang akan mengantarkanmu pada rumah yang lebih besar di akhirat kelak.
Betapa gembiranya tua rumah mendengar pernyataan khalifah yang
bijak itu. Ia segera menyambutnya dengan pertanyaan: Bagaimanakah
caranya, wahai Amirul Mukminin?
Ali menjawab : Engkau buka rumahmu ini untuk para tamu yang
menghajatkannya, ikat silaturrahim di antara kaum Muslimin, bela dan
tampakkan hak-hak kaum Muslimin di rumahmu, jadikan rumah ini sebagai
tempat pemenuhan hajat saudara-saudara sesama Islam, dan jangan batasi
hanya untuk kepentingan dan keserakahan dirimu semata-mata.
Puas dengan pernyataan dan jawaban Khalifah, tuan rumah
memanfaatkan kesempatan langka itu untuk mengajukan permasalahannya
yang lain. Ia bertanya: Wahai Amirul Mukminin, aku mempunyai seorang
saudara. Dia telah mngubah total cara hidupnya.
Dia sekarang hanya berkhalwat di tempat-tempat sunyi, berpakaian
kumuh, meninggalkan pekerjaan, bahkan menelantarkan keluarganya.
Saudaraku yang bernama Ashim bin Ziyad al-Haritsi ini selalu mengatakan:

23
”Semua itu aku lakukan semata-mata hanya ingin mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Apakah sikap dan perbuatan saudaraku itu benar?
Ali bin Abi Thalib meminta agar ’Ashim dihadirkan kehadapannya. Di
depan ’Ashim, khalifah berkata agak keras. Wahai Ashim, orang yang telah
memusuhi dirinya sendiri!! Sungguh syaitan telah memperdaya akalmu.
Mengapa engkau telantarkan anak dan istrimu dengan alasan ingin
mendekatkan diri kepada Allah?
Apakah kau kira bahwa Allah yang menciptakan alam semesta beserta
seluruh kenikmatannya itu tidak rela jika kau gunakan kenikmatan itu secara
tepat? Demi Allah, tidak begitu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah!!!
Merasa tersudut, kemudian Ashim menjawab: ”Wahai Amirul
Mukminin, aku lakukan semua ini semata-mata karena ingin meniru
kezuhudan dan kesehajaanmu. Engkau hidup susah, akupun demikian.
Engkau berpakaian kasar, akupun meniru. Engkau cukupkan dengan makan
sekeping roti, akupun mencontohimu. Engkau adalah panutanku, wahai
Amirul Mukminin.”
Menghadapi jawaban Ashim, Ali mencoba untuk mengklarisikasi dan
mendudukkan persoalan pada tempatnya. Ia berkata: ”Wahai Ashim, aku
berbeda dengan kamu. Aku memegang kekuasaan khalifah kaum muslimin,
sedangkan kamu tidak. Di bahuku terpikul amanat yang amat berat,
sedangkan kamu tidak demikian. Aku mengenakan jubah kepemimpinan,
sedangkan kamu adalah rakyat yang aku pimpin.
Tanggungjawab seorang pemimpin di hadapan Allah itu teramat
sangat berat. Allah mewajibkan para pemimpin untuk berbuat adil kepada
setiap rakyatnya, sedangkan rakyat yang paling lemah adalah standar bagi
dirinya. Seorang pemimpin selayaknya hidup seperti rakyatnya yang paling
sederhana agar tercipta solidaritas dan perasaan senasib seperjuangan. Oleh
karena itu, di bahuku ada kewajiban yang harus kutunaikan, sedangkan
dibahumu ada kewajiban lain yang harus engkau laksanakan...
(Dikutip dari: Mencari Rezeki Halal oleh Harun Arrasyid)

Riwayat ini menegaskan bahwa Sayyina Ali ra yang terkenal dengan


julukan sebagai pintu ilmu, telah membenarkan sikap ’Ala untuk menjadi
kaya dan menikmati kekayaannya serta menjadikannya sebagai sarana untuk
menggapai kemenangan akhirat. Pada saat yang sama Sayyidina Ali mencela
sikap Ashim yang meninggalkan dunia walaupun dengan alasan untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan mencontoh kehidupan Sayyidina Ali.

4. Hujjah Dari Imam Ja’far al-Shadiq


Sufyan al-Tsury yang hidup di kota Madinah, datang mengunjungi
Imam Ja’far al-Shadiq ra. Dia melihat Imam memakai pakaian yang rapi dan
sangat elok, bagaikan tabir halus yang memisahkan antara kuning telur
dengan putihnya. Sufyan mengkritik: ”Anda tidak selayaknya menceburkan
diri Anda dalam kemewahan duniawi. Dari andalah diharapkan ketaqwaan,
kezuhudan, dan sifat menghindari dunia”.
Lalu Imam berkata: ”Dengar baik-baik hai Sufyan. Akan aku katakan
sesuatu yang berguna untuk dunia dan akhiratmu. Apabila engkau keliru dan
tidak mengetahui pandangan agama Islam yang sebenarnya tentang perkara
ini, maka ucapanku ini akan betul-betul berguna. Namun, kalau maksudmu
untuk berbuat sesuatu yang bid’ah dan menyelengkan ajaran agama, itu soal

24
lain, dan kata-kataku ini tidak akan ada gunanya. Mungkin engkau
mengamalkan cara hidup Rasulullah dan sahabat-sahabatnya yang faqir dan
bersahaja pada zaman dulu, kemudian engkau mengira bahwa itu
merupakan satu jenis taklif (kewajiban) bagi setiap muslim sampai hari
kiamat.
Namun aku katakan kepadamu, bahwa Nabi hidup di suatu masa dan
keadaan di mana kesengsaraan, kemiskinan, dan kesempitan melanda
mereka. Rata-rata kaum muslimin saat itu tidak memiliki bahan keperluan
pokok untuk hidup. Kehidupan Nabi dan sahabat-sahabatnya pada masa itu
memang disebabkan oleh situasi dan kondisi yang menimpa semua orang.
Tapi kalau hidup di suatu masa di mana keperluan-keperluan hidup
mudah didapatkan dan kondisinya mengizinkan kita untuk menikmati
pemberian-pemberian Ilahi, maka yang paling berhak menikmati karunia dan
nikmat-nikmat Allah tersebut adalah orang-orang saleh dan bertaqwa, bukan
orang-orang fasiq; orang-orang muslim bukan orang-orang kafir.
’Aib apa yang engkau lihat pada diriku? Demi Allah, meskipun –
sebagaimana engkau lihat- aku menikmati pemberian-pemberian dan
nikmat-nikmat Ilahi ini, tapi sejak masa baligh-ku sampai sekarang, tidak
pernah malam dan siang berlalu tanpa aku menyadari apakah hak orang lain
masih ada di tanganku atau tidak. Kalau ada, segera aku lunasi dan
kusampaikan kepadanya.
Sufyan diam dan tidak bisa menjawab penjelasan Imam Ja’far al-
Shadiq. Dia keluar dengan hati yang ”kalah”. Dia pergi ke tempat sahabat-
sahabat sufinya dan menceritakan apa yang terjadi antara dia dengan Imam
Ja’far. Mereka berembuk untuk menemui Imam Ja’far beramai-ramai untuk
mendiskusikan hal tersebut. Setelah sepakat, mereka datang dan berkata:
”Sahabat kami tidak bisa menjawab Anda dengan dalil yang kuat. Kini kami
datang untuk menjelaskan kepada Anda alasan-alasan kami.” ”Katakanlah
dalil-dalil kalian”, kata Imam Ja’far.
”Dalil kami adalah al-Qur’an. Apakah ada dalil lain yang lebih baik dari
al-Qur’an?”. ”Coba sebutkan, aku bersedia mendengarnya”. ”Ada dua ayat
dalam al-Qur’an yang kami ambil sebagai dalil untuk membuktikan
kebenaran kami dan ajaran tarikat kami. Dan ini cukup bagi kami. Allah SWT
memuji sekumpulan sahabat dalam al-Qur’an, yakni firman Allah:
”Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman
(Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang
yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam
hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang-orang
Muhajirin): dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri
mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(al-Hasyr : 9)
Dalam ayat lain Allah berfirman: ”Dan mereka memberikan makanan
yang disukainya kepada orang-orang miskin, anak yatim dan orang-orang
yang ditawan. (al-Insan : 9)
Ketika hujjah para sufi itu sampai di sini, seseorang yang hadir
berkomentar dari kejauhan, ”Sejauh yang aku ketahui, kalian sendiri tidak
mempercayai apa yang kalian ucapkan itu. Kalian hanya ingin agar mereka
menjauhi harta benda mereka, lalu memberikannya kepada kalian, dan pada
gilirannya kalianlah yang menikmati semua itu. Karena itu, tidak pernah

25
tampak kalian menghindari makanan-makanan yang lezat!!”. ”Tidak ada
gunanya engkau terburu-buru mengucapkan kata-kata itu..” Imam Ja’far
menegur orang yang berkata tadi.
Lalu beliau menghadap para sufi dan berkata: ”Pertama-tama, apakah
kalian bisa membedakan antara muhkan dan mutasyabih, nasakh dan
mansukh yang ada dalam al-Qur’an ketika kalian berargumentasi dengan
ayat-ayat suci al-Qur’an? Kesesatan yang menimpa umat Islam ini adalah
karena mereka berpegang pada suatu ayat, tanpa mengetahui pengertian
yang benar dari al-Qur’an? ”Sebenarnya kami hanya tahu secara garis besar
tentang ilmu al-Qur’an ini, tidak terlalu sempurna”. Mereka menjawab.
”Itulah letak kesalahan kalian.” Kata Imam Ja’far.
”Hadits-hadits Nabi adalah sama juga seperti ayat-ayat al-Qur’an.
Untuknya diperlukan pengetahuan dan pengertian yang sempurna. Ayat-ayat
al-Qur’an yang kalian baca tadi, bukan merupakan dalil yang mengharamkan
kita menikmati pemberian-pemberian Ilahi ’Azza Wa Jalla. Ayat itu berkenaan
dengan pengorbanan dan pemberian infaq. Ayat itu memuji suatu kaum pada
suatu masa tertentu, karena mementingkan orang lain lebih dari pada diri
mereka sendiri, dan memberikan hartanya yang halal kepada mereka.
Namun kalau mereka tidak melakukan semua itu, bukan berarti mereka telah
berbuat ingkar dan dosa. Allah tidak mewajibkan mereka berbuat demikian,
dan pada waktu yang sama tidak juga melarang mereka. Kaum Anshar
berkorban dan mementingkan kaum Muhajirin berdasarkan rasa ihsan dan
panggilan hati nurani mereka, karenanya Allah SWT akan memberikan
ganjaran kepada mereka.”
”Dengan demikian, ayat itu tidak membuktikan kebenaran dakwaan
kalian, karena kalian melarang dan mencela orang-orang yang menikmati
pemberian-pemberian dan harta-harta yang Allah telah anugrahkan kepada
mereka. Sahabat Nabi pada waktu itu terlalu banyak menginfakkan dan
mengorbankan hak milik mereka, sampai turun wahyu Allah yang membatasi
perbuatan mereka tadi. Wahyu yang datang kemudian me-mansukh-kan
amal perbuatan mereka. Seharusnya kita mengikuti wahyu yang datang
belakangan, bukan asal mengikuti perbuatan mereka sebelumnya.”
”Allah, berdasarkan rahmat-Nya yang tersendiri dan demi kepentingan
orang-orang Mukmin, melarang seseorang menyengsarakan diri dan
keluarganya dengan memberi apa yang ada di tangannya kepada orang lain,
karena dalam keluarganya terdapat orang-orang yang lemah, anak-anak
kecil, dan orang-orang tua yang tidak dapat memikul semua itu. Seandainya
aku memiliki beberapa keping roti, dan ku-infakkan semuanya, sedangkan
keluargakulah yang berhak menerimanya, maka mereka akan mati
kelaparan.”..........
”Ketika Nabi mendengar seorang Anshar wafat, meninggalkan anak-
anak yang masih kecil, sedangkan hartanya yang tidak seberapa itu
diinfakkan di jalan Allah, beliau bersabda: ”Kalau sebelum ini kalian beritahu
aku, maka aku tidak akan memperkenankan dia dikebumikan di pekuburan
orang-orang Muslim. Dia meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil-kecil,
lalu ia buka tangannya untuk orang lain.”
”Selain itu, nash al-Qur’an melarang cara dan infaq kalian. Allah
berfirman: ” (orang-orang Mukmin) adalah orang-orang yang apabila
menginfakkan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir,
dan adalah infak itu di tengah-tengah antara yang demikian”. Banyak ayat-

26
ayat al-Qur’an yang melarang berinfak secara berlebihan sebagaimana
melarang sifat bakhil dan kikir. Al-Qur’an telah menentukan batas tengah
dan kesederhanaan dalam amal ini. Ia tidak membenarkan seseorang
memberikan setiap yang dimilikinya kepada orang lain, dan membiarkan
dirinya sendiri hidup dalam keadaan sengsara; kemudian mengangkat
tangannya dan berdo’a: ”Ya Allah, limpahkanlah rezeki-Mu kepada hamba-Mu
ini”, Allah tidak akan mengabulkan doa seperti ini. ”Rasulullah saw bersabda:
” Allah tidak akan mengabulkan doa beberapa golongan, yakni:......... 5).
Seseorang yang telah mendapatkan harta yang banyak dari Allah, lalu habis
disebabkan oleh infak dan pemberiannya yang berlebih-lebihan, kemudian
dia mengangkat tangannya dan berdoa: ”Ya Allah, limpahkanlah rizki-Mu
padaku” Dalam jawabannya Allah akan berkata: ”Bukankah Aku telah
berikan kepadamu rizki yang banyak? Kenapa kau tidak bersahaja?
Bukankah telah Kuperintahkan kepadamu agar bersahaja dalam infak?
Bukankah telah Kularang berinfak tanpa perhitungan dan berlebihan?.”
”Di dalam al-Qur’an, Allah SWT mengajarkan cara berinfak yang benar,
khususnya kepada Nabi saw. Suatu hari, Nabi saw memegang beberapa
keping uang emas. Beliau mau menginfakkan semuanya untuk fakir miskin
karena tidak mau memilikinya walau untuk satu malam. Kemudian beliau
infakkan semuanya dan diberikannya ke kanan dan ke kiri dalam satu hari.
Besoknya, ada seseorang datang dan mendesak meminta pertolongan Nabi.
Beliau tidak memiliki apa-apa untuk diberikan kepada peminta ini. Karenanya
beliau merasa sangat sedih hati. Lalu turunlah ayat al-Qur’an yang
berkenanaan dengan cara berinfak: ”Dan janganlah kamu jadikan tanganmu
terbelenggu pada lehermu, dan janganlah kamu terlalu menghulurkannya;
karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (al-Isra’ : 29)
.........................
”Aku ingin mengingatkan kalian pada suatu hadits yang diriwayatkan
ayahku, beliau meriwayatkan dari ayahnya sampai kepada Nabi saw,
bahwasanya Nabi saw bersabda: ”Sesuatu yang paling menakjubkan adalah
keteguhan iman seseorang Mukmin dalam keadaan yang jika badannya
diputus sepotong-potong dengan pisau, maka semua itu merupakan
kebaikan dan kebahagiaan baginya. Dan jika kekuasaan Barat dan Timur
diberikan kepadanya, inipun merupakan kebaikan dan kebahagiaan
baginya.”
”Kebaikan seorang Mukmin tidak seharusnya ada dalam
lingkaran kefakiran dan kemiskinan. Kebaikannya berangkat dari
hakikat iman dan aqidahnya dalam segala keadaan, apakah jatuh
fakir dan miskin, atau kaya dan berkecukupan. Semua itu tidak
mengubahnya untuk menjalankan kewajibannya dengan cara yang
terbaik. Inilah yang dikatakan sebagai keadaan paling menakjubkan
dari seorang Mukmin di mana setiap kejadian, kesusahan atau
kesenangan, baginya adalah baik dan membahagiakan”.
.......................
”Ada beberapa perkara di mana kaum muslim wajib atau tidak
mengeluarkan infaknya, seperti zakat atau kaffarah (denda). Andaikan kita
difinisikan zuhud sebagai menghindar dari kehidupan dan keperluan-
keperluan hidup, dan andainya semua orang –mengikuti kemauan kalian-
menjadi zuhud dan berpaling dari kehidupannya sehari-hari, maka
bagaimanakah nasib infak-infak wajib seperti zakat dan kaffarah? Bagaimana

27
pula nasib zakat-zakat wajib seperti emas, perak, kambing, unta, sapi,
kurma, kismis, dan lain sebagainya? Bukankah maksud yang tersirat dari
pemberian infak adalah agar orang-orang yang tidak mampu bisa hidup
lebih baik, dan mereka bisa menikmati anugrah-anugrah Ilahi itu.”
”Inilah sebenarnya maksud yang tersirat di balik penentuan hukum-
hukum tersebut. Kalau motivasi agama adalah menjadi fakir, dan
hidup dalam kesengsaraan adalah puncak tertinggi dari tarbiyah
diniyah (pendidikan agama), itu berarti bahwa orang-orang fakir
telah berhasil mencapai puncak tersebut dan mereka tidak boleh
diberi apapun agar tetap dapat dalam keadaan yang baik dan
berbahagia. Pada gilirannya merekapun tidak boleh menerima
setiap pemberian agar tetap dalam suasana mereka yang selalu
berbahagia.”
”Kalau apa yang kalian ucapkan itu benar, maka selayaknya setiap
orang tidak menyimpan harta. Apa yang ia peroleh harus diinfakkan. Dengan
demikian kewajiban membayar zakat tidak perlu ada lagi. Maka jelas bahwa
apa yang kalian anut dan sebarkan, adalah satu ajaran dan tarikat yang
salah dan berbahaya. Dan ajaran ini berasal dari kejahilan dan
ketidakfahaman kalian akan al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi saw.”
”Coba kalian jawab argumenku berikut ini mengenai kisah Nabi
Sulaiman bin Daud as. Beliau memohon sesuatu kekuasaan dari Allah SWT
yang tidak akan diperoleh siapapun sepeninggalnya: ”Dan anugrahkanlah
kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku”.
(Shaad : 35). Dan Allahpun memberikan kepadanya.”
”Nabi Sulaiman tidak menginginkan sesuatu kecuali yang haq. Dalam
hal ini, baik Allah SWT atau orang-orang mukmin, tidak mencela Nabi
Sulaiman karena memohon kekuasaan yang begitu besar dari Allah. Begitu
juga halnya dengan Nabi Daud as yang datang sebelumnya.”
”Dalam kisah Nabi Yusuf, beliau berkata kepada Raja: ” Jadikanlah aku
bendaharawan negara (Mesir) sesungguhnya aku adalah orang yang pandai
menjaga lagi berpengetahuan. (Yusuf : 55). Akhirnya beliau menangani
semua urusan negara yang terbentang luas dari Mesir sampai Yaman....., Ini
tidak menyebabkan Yusuf lupa pada yang haq, dan Allah pun tidak
mencelanya di dalam al-Qur’an. Begitu juga dengan kisah Dzul Qarnain,
seorang hamba yang cinta kepada Allah dan dicintai oleh-Nya. Kepada Dzul
Qarnain, Allah memberikan kemudahan-kemudahan dan kekuasaan dunia,
dari Barat sampai ke Timur.”
”Hai orang-orang sufi..!!, Tinggalkanlah jalan yang tidak benar itu.
Tunjukkanlah adab Islam yang sebenarnya. Jangan melampaui perintah dan
larangan Allah, dan jangan pula mengurangi perintah-perintah-Nya. Jangan
kalian ceburkan diri kalian ke dalam masalah-masalah yang kalian tidak
ketahui. Tuntutlah ilmu-ilmu itu dari ahlinya. Kenalilah perbedaan antara
naskh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, serta halal dan haram.
Semua itu akan lebih baik dan mudah bagi kalian, serta dapat menjauhkan
kalian dari kejahilan.......” Demikianlah petikan ucapan Imam Ja’far al-Shadiq.
(Dikutip dari : Mencari Rezeki Halal, Harun Arrasyid)
Ucapan Imam Ja’far yang jelas dan terang benderang ini tidak perlu
dikomentari lagi.

5. Hujjah Dari Imam Ahmad dan Imam Qurthubi

28
Pada suatu ketika, Imam Ahmad pernah ditanya mengenai laki-laki
yang duduk saja di rumah atau di masjid dan berkata, “Aku tidak akan
bekerja apapun sehingga rezeki datang kepadaku.” Maka Imam Ahmad
berkata, “Sungguh, orang ini tidak memiliki pengetahuan. Sebenarnya,
Rasulullah saw. telah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menjadikan
rezekiku berada di bawah bayangan panahku.” Beliau juga bersabda, “Jika
kamu bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, tentu Dia
akan memberimu rezeki sebagaimana Dia telah memberi rezeki kepada
burung yang pada pagi hari dalam keadaan lapar dan pada sore hari telah
kenyang.” Lalu Imam Ahmad menyimpulkan, “Para sahabat juga bekerja di
kebun-kebun mereka, dan sudah seharusnya apabila kita mencontoh
mereka.”

“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian


karunia Allah, dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah.”
(Al-Muzammil : 20)
Imam Qurthubi berkata; “Dalam ayat-ayat tersebut Allah menyamakan
derajat pejuang di jalan Allah dengan orang yang mencari harta yang halal
untuk menafkahi dirinya dan keluarganya, berbuat kebaikan dan keutamaan.
Karena itulah Ibnu Umar berkata; “Tidaklah Allah menciptakan kematian
setelah kematianku di jalan Allah yang mana kematian tersebut lebih aku
cintai daripada mati di antara tempat duduk untaku yang di sana aku
bepergian mencari keutamaan (rezeki) dari Allah.” (Tafsir al-Qurthubi, jil 19,
hal. 49)

6. Hujjah Dari Ibn Qayyim al-Jauzi dan Imam al-Ghazali


Abdul Azim dalam Economic Thought of Ibn al-Qayyim menukilkan:
”Islam sebenarnya menyuruh kita kaya. Ibn al-Qayyim dengan jelas
menyatakan kedudukan berharta dan berpengaruh adalah lebih utama
asalkan seseorang itu menjadi lebih bersyukur kepada Tuhan dan tahu
melaksanakan tanggungjawabnya pada orang lain yaitu tidak mementingkan
diri sendiri. Ibn Qayyim menyatakan zuhud adalah sikap kerohanian manusia
yang tidak terpesona keduniaan, kemudian menjadikan seseorang itu tidak
menempatkan kekayaan dan kedudukan dunia sebagai tujuan kehidupannya.
Orang kaya mampu mencapai dan memiliki sikap kerohanian ini, tetapi orang
miskin mungkin sukar mencapainya.”
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ menukilkan: “Diriwayatkan bahwa Nabi
Isa AS melihat seorang laki-laki dan berkata; “Apa yang kau kerjakan?” Laki-
laki itu menjawab; “Aku sedang beribadah.” Nabi Isa bertanya ; “Siapa yang
memberimu nafkah?” ia berkata; “Saudara lelakiku” kemudian Nabi Isa
berkata; “Saudara lelakimu lebih beribadah dibandingkan denganmu.”

7. Hujjah Dari Kisah Sufi Kaya


Dikisahkan suatu ketika, seorang guru merekomendasikan kepada
muridnya untuk berguru kepada seorang sufi ternama. Setelah melewati
perjalanan yang amat panjang, sang murid akhirnya bisa bertemu dengan
guru yang dimaksud.
Betapa kagetnya setelah ia mengetahui rumahnya yang mewah
bagaikan istana raja. Ia bertanya kepada para tetangganya, apakah betul

29
bahwa istana itu tempat tinggal sang Sufi sebagaimana direkomendasikan
oleh gurunya. Semuanya menjawab ”ya”.
Lebih kagum lagi setelah si pemilik istana itu datang dengan pakaian
yang mewah dan kendaraan yang luar biasa bagusnya. Sang murid bertanya-
tanya dalam hatinya, apakah benar yang dimaksudkan oleh gurunya. Akan
tetapi karena terlanjur sudah menempuh perjalanan jauh yang sangat
melelahkan, iapun menjumpai Sufi yang kaya raya tersebut. Setelah
menyampaikan salam dari gurunya, iapun menyampaikan maksud dan
tujuannya.
Betapa kagetnya sang murid setelah mendengar kata-kata yang keluar
dari lisan Sufi yang kaya raya itu. Ia berkata, ”Tolong sampaikan salam saya
kembali kepada gurumu. Aku berpesan agar dia tidak selalu sibuk dengan
urusan dunia.”
Bagaikan disambar petir di siang hari. Bagaimana mungkin orang kaya
raya itu memeberikan nasihat kepada gurunya yang jauh dari kehidupan
dunia agar tidak sibuk dengan urusan dunia. Bukankah yang lebih sibuk
mengurus dunia adalah orang kaya tersebut? Ia pamit pulang, tidak jadi
berguru kepada orang yang direkomendasikan oleh gurunya.
Sesampai di padepokan gurunya, ia melaporkan semua kejadian yang
dialaminya, termasuk nasihat orang kaya itu kepada gurunya. Sang murid
lebih tidak mengerti lagi setelah sang guru yang sangat dihormati itu
ternyata menangis dan membenarkan nasihat orang kaya raya tersebut.
Sang guru akhirnya menjelaskan bahwa orang kaya raya yang
dijumpai oleh muridnya itu memang memiliki istana yang mewah, kendaraan
yang bagus, dan selalu berpakaian indah. Tanah perkebunannya luas serta
memiliki pabrik yang mempekerjakan banyak karyawaan. Namun demikian,
harta yang melimpah itu tidak menyebabkannya lalai dan lupa kepada Allah.
Hartanya tidak mengganggu dzikirnya kepada Allah. Ia tidak sombong
karena hartanya dan jika sewaktu-waktu hartanya diambil oleh pemiliknya,
Allah, iapun tidak merasa terhina karenanya. Ia memandang harta biasa-
biasa saja.
Sementara saya, kata sang guru, biar tidak punya harta yang
melimpah, tapi hari-hari masih disibukkan untuk memikirkan harta. Bahkan
boleh jadi saya, kata sang guru, lebih sibuk memikirkan urusan harta dari
pada sufi yang kaya raya tersebut.
Sufi kaya raya inilah yang dimaksudkan oleh Allah dalam al-Qur’an:
”Bertasbih kepada Allah di rumah-rumah yang diperintahkan untuk
dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalanya, pada waktu pagi dan waktu
petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh
jual beli dari mengingat Allah, dan dari mendirikan salat, dan dari membayar
zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang di hari itu hati dan penglihatan
menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah
memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa
yang mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada
mereka. Dan Allah memberi rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa
batas.” (al-Nur : 36-38)

Maka dengan demikian, jelaslah hujjah bahwa kaya raya adalah


dibolehkan kepada kaum muslimin menurut dalil-dalil syar’i sebagaimana
dijelaskan di atas. Bahkan pada keadaan seperti sekarang ini, dimana

30
kebanyakan kaum muslimin adalah fakir-miskin dan dalam keadaan tertndas
oleh musuh-musuhnya, maka menjadi kaya raya adalah kewajiban (fardhu
kifayah) dibebankan kepada sekelompok orang yang ingin berjihad dengan
hartanya.

3. Jenis Kaya Yang Wajibkan


Sebagai seorang muslim yang bercita-cita menegakkan Islam dalam
kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat, menjadi kaya adalah sebuah
kewajiban. Karena dengan kekayaan yang dimiliki akan digunakan untuk
menegakkan Islam sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
Walaupun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama Islam, mana yang
lebih utama antara miskin yang bersabar dengan kaya yang bersyukur, maka
menjadi hak masing-masing individu muslim untuk memilih pola kehidupan
yang akan dijalankannya masing-masing dengan penuh pengetahuan dan
kesadaran. Jika ada yang memilih untuk menjadi miskin yang bersabar, maka
janganlah ia menghina atau melecehkan saudaranya yang bercita-cita
menjadi seorang kaya yang bersyukur. Untuk menjadi miskin jalan amatlah
mudah, cukup dengan malas bekerja, berleha-leha, pasrah dengan yang ada
maka kemiskinan akan datang. Perjuangan menjadi miskin tidaklah sesusah
perjuangan menjadi kaya yang memerlukan strategi sampai kehati-hatian
dalam memilih yang halal. Menjadi kaya bukanlah hambatan untuk
melakukan amal saleh sebagaimana amal saleh kaum miskin, bahkan
kekayaan akan menambah banyak lagi amal saleh yang diperintahkan
agama. Bagi mereka yang telah berazam untuk menjadi kaya dalam
kemunduran kaum muslimin saat ini, adalah sebuah kewajiban yang tidak
perlu diperdebatkan keutamaannya.
Kaya seperti apakah yang ingin Anda dapatkan dalam kehidupan ini.
Apakah seperti kayanya orang-orang yang telah menghalalkan segala cara
untuk mendapatkan kekayaan pribadi dengan merugikan orang lain seperti
para pengedar narkoba? Apakah kaya raya seperti para koruptor yang
mengambil milik rakyat untuk kepentingan pribadinya? Apakah seperti orang-
orang yang kaya karena serakah mengeksploitasi alam, menggunduli hutan
sehingga menimbulkan bencana kepada masyarakat? Apakah kaya seperti
para bintang dan artis yang hidupnya gemerlap? Apakah semua pekerjaan
akan Anda jalankan, asalkan Anda dapat kaya? Tentu tidak. Bukan seperti itu
yang Anda inginkan, karena bertentangan tengan hati nurani Anda,
bertentangan dengan kebiasaan masyarakat Anda dan pasti bertentangan
dengan agama yang Anda yakini. Menjadi seorang kaya yang merugikan
orang lain, merugikan masyarakat dan Negara, tidak mungkin akan Anda
tempuh jika Anda mengharapkan kebahagian, keagungan dan kemuliaan.
Kenyataannya menjadi kaya saja tidak cukup untuk mendapatkan
kebahagian, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Itulah sebabnya, jika
orang kaya ingin mendapatkan kebahagian, maka dia juga harus menjadi
orang yang mengikuti jalan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya,

31
jalan yang penuh dengan keagungan dan kemuliaan. Jika orang yang agung
dan mulia di jalan-Nya ingin mendapatkan kesempurnaan harus juga
ditopang oleh kekayaan yang akan mempermudah amalannya. Kaya yang
tidak mengikuti jalan petunjuk keagungan dan kemulian dari-Nya akan
mengantarkan kepada krisis spiritual yang digambarkan diatas, sementara
keagungan dan kemuliaan di jalan-Nya tanpa didukung kekayaan akan
menghambat datangnya keagungan dan kemulian yang lebih besar
sebagaimana yang saya alami. Bahkan ada pekerjaan-pekerjaan yang pada
awalnya agung dan mulia, karena tidak didukung oleh kekayaan yang
mencukupi, menimbulkan frustasi dan penyimpangan para pelakunya.
Sebagai contoh ada sekelompok orang yang mendakwa dirinya sebagai
pejuang yang akan menegakkan Islam, namun karena kekurangan dana
dalam perjuangannya, apakah karena masyarakat tidak simpati, tidak
percaya atau apatis, akhirnya mereka melakukan pekerjaan yang
menyimpang, seperti mencuri dan merampok milik orang lain, bahkan milik
saudara seagamanya dengan mengkafirkan mereka. Ironisnya kekayaan
yang didapatnya itu digunakan untuk membunuh saudara seimannya pula.
Perbuatan yang tidak pernah dilakukan dan diperintahkan Rasulullah ini,
mereka lakukan jelas karena terdesak dan mengambil jalan pintas akibat
keputusasaan mereka dalam mencari kekayaan yang halal.
Menurut kajian saya, ada beberapa bentuk kaya, diantara secara garis
besar adalah:
1. Kaya Jahil
2. Kaya Palsu
3. Kaya Hutang
4. Kaya Semu
5. Kaya Mulia
6. Kaya Tercela
7. KayaSejati

1. Kaya Jahil
Adalah kaya yang didapatkan dari jalan yang tidak jelas, boleh jadi
hasil korupsi, penipuan ataupun menjual barang-barang yang diharamkan.
Kekayaan yang diperoleh dari cara haram ini tidak akan mendatangkan
kebaikan bagi pemiliknya walaupun dia menyumbangkan untuk
kepentingan sosial dan agama. Kekayaan yang diperoleh secara haram,
lebih cendrung untuk membawa pemiliknya untuk melakukan perkara-
perkara yang haram pula. Maka tidak mengherankan apabila ada orang
kaya, namun kekayaannya telah menjerumuskan dirinya ke lembah
kemaksiatan yang membinasakan dirinya.
Kayanya kaum kapitalis dan kaum kafir yang hanya mementingkan
kenikmatan nafsu dan syahwat, termasuk dalam kategori ini. Mereka tidak
percaya kepada hari akhirat dan pembalasannya, sehingga memuaskan
kehidupannya pada hari sekarang. Dengan kekayaan yang diperolehnya,
walaupun mungkin dengan cara benar, digunakannya untuk berfoya-foya
memuaskan nafsu syahwatnya, seperti kehidupan para hartawan-
hartawan di dunia maju dengan segala gloumournya. Mereka bekerja
keras mencari kekayaan siang malam, kemudian dinikmatinya kekayaan
itu, sebagaimana halnya binatang yang pergi pagi mencari makanan
tanpa menghiraukan lingkungannya. Orang yang mengaku muslim,

32
namun kelakuan tidak ubah seperti kaum kapitalis kufur ini, maka
kelompok ini termasuk dalam kaya jahil. ”Barangsiapa yang menyerupai
suatu kaum, maka dia termasuk dalam kelompoknya”.
Ada juga dari kelompok ini yang menjadi kaya raya karena warisan
atau harga tanahnya melambung tinggi, sehingga menjadi kaya
mendadak. Karena tidak terbiasa mengelola keuangan dengan baik, maka
dalam tempo singkat kekayaannya habis akibat keborosan hidupnya.
Kekayaan yang diperolehnya digunakan untuk menyenangkan dirinya dan
mereka menjadi miskin kembali setelah menjadi kaya yang bodoh.
Miskinnya kembali orang seperti ini sangat berbahaya, karena boleh jadi
akan menjadi kufur nikmat, sebagaimana disebutkan : kemiskinan akan
membawa kepada kekufuran.

2. Kaya Palsu
Kaya palsu adalah kaya yang pura-pura kaya, dengan menampilkan
diri sebagai orang kaya, padahal mereka adalah para penipu untuk
mendapatkan kekayaan dengan cara curang. Orang-orang kaya palsu ini
biasanya adalah orang-orang miskin yang ingin mendapatkan kehormatan
dengan berpura-pura menjadi orang kaya, dengan menyewa atau
meminjam mobil mewah, rumah mewah dan segala yang menjadi
lambang orang kaya dengan tujuan untuk mendapatkan sesuatu. Mereka
adalah orang-orang yang telah menipu dirinya sendiri dan mengharapkan
penghargaan dengan cara penipu. Di kota-kota besar seperti Jakarta
orang-orang ini berkeliaran bagaikan orang kaya, kemudian mencari cara
untuk menipu orang lain dengan berbagai proyek, yang tujuannya adalah
untuk memperdaya dan mereka mendapat keuntungan darinya.
Saya sering melihat manusia seperti ini yang berpura-pura menjadi
orang kaya yang memilki segala macam fasilitas, namun tujuannya jelas
untuk memperdaya orang lain. Jika mereka berhasil memperdaya dan
menjadi kaya dengan caranya itu, maka mereka tetaplah termasuk orang
kaya penipu atau palsu yang kekayaannya tidak akan membawa kebaikan
dan berkah kepada dirinya. Suatu saat topengnya akan terbongkar dan
penipuannya akan ketahuan juga.
Seorang teman menceritakan kepada saya kisah tentang konglomerat
yang telah menjadi kaya raya karena menipu mitranya. Walaupun
sekarang dia sudah menjadi konglomerat terkenal, maka tetaplah dia
sebagai orang Kaya Penipu, yang kekayaannya diperolehnya dari
penipuan yang telah dilakukannya. Walaupun dia telah memiliki kekayaan
berlimpah, dia tetaplah kaya palsu.

3. Kaya Hutang
Kaya jenis ini adalah kayanya orang-orang yang berhutang, biasanya
pada bank atau lembaga keuangan dan juga pribadi. Walaupun mereka
memiliki kekayaan yang melimpah ruah dengan aset yang banyak, rumah
besar, mobil mewah dan segala fasilitas yang dimilikinya menandakannya
sebagai orang kaya, namun jika ditotal seluruh aset dan hutangnnya,
maka hutangnya lebih banyak daripada asetnya, maka inilah orang kaya
hutang. Menjadi kaya karena hutangnya. Pada suatu saat, jika hutangnya
telah jatuh tempo dan diputuskan kekayaannya harus disita untuk
menutup hutangnya, maka dia akan jatuh miskin. Biasanya orang kaya

33
hutang ini adalah orang yang sulit melunasi hutangnya dengan berbagai
alasan, bahkan mereka akan memperdaya bank tempatnya mengutang
untuk memberikan keringan kepadanya. Kita banyak mendengar
beberapa pengusaha yang masih memiliki hutang besar, namun masih
juga hidup sebagai orang kaya, maka merekalah yang disebut sebagai
Orang Kaya Hutang.

4. Kaya Semu
Kaya jenis ini adalah seperti kebanyakan orang kaya yang tidak
mendapat kebahagian dari kekayaan yang dimilikinya, bahkan dengan
kekayaan yang ada padanya, hidup dan kehidupannya tidak bahagia.
Mereka mencari kekayaan dengan kuatnya, namun karena tidak
mengetahui dengan pasti untuk apa kekayaan itu, selain daripada untuk
bersenang-senang dan memuaskan diri, akibatnya mereka mengalami
krisis spiritual, kehilangan makna dalam menjalankan kehidupan
sebagaimana yang diderita masyarakat modern.
Hidupnya selalu dihatui was-was dan rasa takut untuk kehilangan
kekayaannya, atau dia takut mati meninggalkan kekayaan yang sangat
disayanginya, perasaannya dihinggapi rasa takut kekayaannya akan
menimbulkan perpecahan atau permusuhan kepada ahli warisnya akibat
memperebutkannya. Namun pada saat yang sama dia sangat kikir dan
bakhil untuk membelanjakan hartanya kepada kebaikan. Sebenarnya
kesemuan dan ketidakbahagiaan hidupnya ini bersumber dari
kekikirannya dalam membelanjakan kekayaannya. Hidupnya bagaikan
fatamorgana, yang terlihat indah dalam bayangan, namun tiada
bentuknya dalam kenyataan. Hidup kaya yang semu bagaikan
fatamorgana.
Kaya seperti ini adalah kaya orang yang bekerja keras menjadi orang
kaya, baik dikenal atau tidak, tapi memiliki kekayaan yang menjadikannya
layak disebut sebagai orang kaya. Memiliki rumah besar, fasilitas hidup di
atas rata-rata dan memiliki kemampuan untuk memenuhi kehidupannya.
Mereka bekerja keras, lalu mendapat kekayaan berlimpah, menikmatinya
lalu ajalpun menjempunya tanpa membuat prestasi yang berari untuk
lingkungan dan agamanya.
Jumlah mereka sangat banyak, terutama di kota-kota besar seperti
Jakarta, namun orang hanya tau dari rumah dan fasilitas yang dimilikinya.
Kehadirannya tidak menggenapkan dan kehilangannya tidak
mengganjilkan. Kehidupannya sebagai orang kaya, datar-datar saja,
terkadang tidak merasa kaya, sehingga menjadi kikir dan menjaga
kekayaannya jangan berkurang. Di antara mereka terkena penyakit yang
senantiasa merasa kurang dengan apa yang dimilikinya. Kekayaannya
tidak bermanfaat untuk dirinya dan orang lain. Jika diminta bantuannya,
mereka hanya memberi ala kadarnya agar jangan dikatakan kikir dan
bakhil.
Menurut para ulama sufi, orang kaya seperti ini adalah orang kaya
yang lalai dan celaka, yang tidak selamat dari azab Allah.

5. Kaya Mulia
Kaya mulia adalah orang kaya yang mendapatkan kekayaannya secara
mulia, legal dan tidak merugikan orang lain, lalu memanfaatkan

34
kekayaannya untuk tujuan-tujuan yang mulia pula. Kita mengenal Bill
Gates pendiri Microsoft yang telah mendirikan Yayasan Gates dan
menyalurkan 95 % kekayaannya yang berjumlah lebih dari $US 50 Milyar
untuk memberikan kebaikan kepada umat manusia, memerangi
kemiskinan dan memperbaiki kesehatan serta membangun pendidikan
berkualitas. Kita juga mengenal Warren Buffet, yang juga menjadi
penyumbang Yayasan Gates yang mencapai $US 30 Milyar yang
merupakan 85 % dari kekayaannya. Dan masih banyak lagi orang-orang
kaya mulia yang telah memberikan bantuan berharga kepada umat
manusia.
Dalam pandangan Islam mereka adalah orang kaya mulia, orang kaya
dan mulia di dunia saja, dan apa-apa yang disumbangkannya tidak akan
membawa kebahagiannya sampai akhirat. Segala amal kebajikan akan
dinilai pertama kali faktor keimanannya, apabila keimanan telah benar,
barulah akan dinilai amal salehnya. Sebagaimana yang disebutkan al-
Qur’an:
”Dan orang-orang yang kafir, amal-amal mereka adalah laksana
fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang
dahaga, tetapi bila didatanginya air itu, dia tidak mendapati sesuatu
apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah
memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah
adalah sangat cepat perhitungan-Nya. (al-Nur : 39)
Ada juga orang kaya dari kalangan kaum muslimin yang termasuk
kelompok ini, mereka mendapatkan kekayaan dengan cara yang halal
namun masi bercampur baur dengan cara-cara syubhat, kemudian
membelanjakan hartanya sesuai dengan perintah agama untuk kebajikan
dan kemajuan Islam dan kaum muslimin. Mereka juga menikmati
kekayaannya sebagaimana orang lain menikmatinya, dan membangun
rumah-rumah besar bagaikan istana namun pada saat yang sama juga
membangun masjid indah, panti asuhan, sarana pendidikan dan
melakukan kebajikan-kebajikan besar lainnya. Mereka adalah orang kaya
yang mulia di dunia, dan mudah-mudahan Allah membalas amalan
mereka di akhirat. Mereka akan dihisab, jika kekayaannya dapat
dipertanggungjawabkan sumbernya dan pengeluarnya lebih banyak untuk
amal soleh, mudah-mudahan mereka mendapat rahmat Allah dan
ditempatkan pada surganya. Pola hidup mereka tidak sampai kepada pola
hidup Muhammad Rasulullah, Sahabat dan jalan para Nabi dan Rasul dari
golongan orang kaya yang telah menginvestasikan seluruh kekayaannya
di jalan Allah dan menikmati ala kadar untuk sekedar hidup dan
melanjutkan perjuangan.

6. Kaya Tercela
Kaya tercela adalah kedudukan orang kaya yang beriman dan muslim,
namun mereka menjadi tercela karena telah menjadi budak dari kekayaan
yang dimilikinya. Mereka mendapatkan kekayaan dengan cara yang halal
dan legal, namun kekayaannya tidak dipergunakan secara maksimal
sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Kekayaan yang
dimilikinya dinikmatinya dengan berlebihan, membangun rumah-rumah
super mewah yang kadangkala tidak ditempatinya atau memiliki
kendaraan-kendaraan mahal yang tidak mampu dikendarainya,

35
sementara pada saat yang sama masih banyak dikalangan kaum
muslimin yang memerlukan kekayaannya untuk membangun sarana
ibadah ataupun pendidikan Islam.
Pada zaman kegemilangan Islam, yang disebutkan sangat sulit untuk
mencari muslim yang berhak menerima zakat karena tingginya tingkat
kemakmuran zaman itu, telah melahirkan orang-orang kaya muslim
dengan kemewahannya di antara kota-kota Bagdad dan sekitarnya. Kaum
kaya ini tetap menjalankan perintah agamanya dan menyedekahkan
kekayaannya sebagaimana diperintah Allah, namun mereka bergelimang
dengan kemewahan. Maka muncullah para ulama, diantaranya yang
utama adalah Imam al-Ghazaly yang dijuluki hujjatul Islam, yang
mengingatkan mereka dan menyatakan mereka sebagai orang kaya
muslim tercela, sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-
Dien dalam bab Tercelanya Dunia.
Menurut Imam Ghazaly, tercelanya orang-orang kaya ini karena
mereka tidak mengikuti pola kehidupan yang telah dicontohkan oleh
Rasulullah, para sahabat dan para Nabi sebelumnya, yang hidup
sederhana dan banyak menyedekahkan hartanya untuk kebaikan. Mereka
bahkan lebih condong mengikuti pola kehidupan bangsa-bangsa yang
telah ditaklukkan Islam, hidup dalam kemewahan yang berlebih-lebihan,
menjadi budak dunia yang menjadikan mereka jauh dari jalan Islam.
Jika pada zaman kegemilangan Islam yang tidak ada orang berhak
menerima zakatpun, perilaku bermewah-mewah kaum kaya muslim telah
dianggap tercela oleh ulama, maka bagaimana halnya apabila itu terjadi
pada zaman kita yang keadaan kaum muslimin adalah mayoritas miskin,
terbelakang dan bodoh tidak terpelajar.
Orang kaya tercela inilah yang banyak disebutkan oleh Rasulullah akan
masuk surga dengan cara yang lambat, akan diperhitungkan segala
amalannya, darimanakah mereka mendapatkan hartanya, jika sudah
bersih sumber pemasukannya, maka akan diperhitungkan pula
kemanakah dialokasikan kekayaannya. Berapa yang mereka peruntukkan
untuk Allah dan rasul-Nya serta berapa yang mereka nikmati untuk
kemewahan dunianya.
Maka orang kaya yang masih terjangkit penyakit-penyakit kerohanian
seperti bakhil, kikir, riya’, sombong, berfoya-foya dan sejenisnya adalah
dimasukkan dalam kalangan kaya tercela, yang kurang disenangi Allah
dan Rasul-Nya. Mereka diharapkan sadar dan segera menaikkan derajat
mereka lebih tinggi lagi menjadi orang kaya sebagaimana diperintahkan
Allah dan Rasul-Nya.

7. KayaSejati
Kaya Sejati (selanjutnya akan ditulis KayaSejati, sebagai kesatuan
yang tidak terpisahkan), adalah kaya yang telah didapatkan oleh orang-
orang kaya yang telah dipilih Allah sebagai contoh kebajikan teragung di
muka bumi. Jalan ini adalah jalan para Nabi dan Rasul yang dianugrahkan
kekayaan untuk mempermudah perjuangannya menebarkan kebenaran
dan keadilan. Jalan yang ditempuh oleh Nabi Ibrahim yang kaya raya
dengan binatang ternak, jalan Nabi Yusuf yang kaya raya dan terhormat,
jalan Nabi Sulaiman yang kekayaannya tiada tertanding dan dijadikan
sarana untuk menegakkan kekuasaan Allah di muka bumi. Inilah jalan

36
yang ditempuh oleh Nabi Muhammad saw dengan para sahabatnya, yang
menjadikan sebagai orang KayaSejati, menjadikan kekayaan sebagai
sarana untuk mendapatkan kebahagian dalam kehidupan kekal abadi
kelak di akhirat. Kaya seperti yang digambarkan al-Qur’an:
”Bertasbih kepada Allah di rumah-rumah yang diperintahkan untuk
dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalanya, pada waktu pagi dan waktu
petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak
pula oleh jual beli dari mengingat Allah, dan dari mendirikan salat,
dan dari membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang di hari itu
hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang
demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan
balasan) yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan, dan supaya Allah
menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rizki kepada
siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (al-Nur : 36-38)
Untuk menjadi KayaSejati, seseorang harus mengikuti jalan yang telah
ditempuh para Nabi dan Rasul, jalan yang mengutamakan keimanan dan
kebenaran sebagai landasan hidupnya. Kekayaan yang diperoleh semata-
mata untuk mempermudah peribadatan menuju Allah, yang menjadikan
kekayaannya sebagai budak yang akan mengantarkannya menuju
keridhaan Allah, dan bukan sebaliknya diperbudak oleh kekayaannya
sehingga jauh dari jalan dan keridhaan Allah. Kekayaan yang diperolehnya
adalah sebuah keutamaan dari Allah sebagai ujian kepada, apakah
menjadi orang yang bersyukur atau orang yang ingkar, sebagaimana
dinyatakan Nabi Sulaiman as.
Tanpa keimanan yang mendalam terhadap Allah, malaikat, Rasul,
Kitab dan hari akhir, seseorang tidak dapat dimasukkan kedalam
kelompok KayaSejati. Karena keimanan yang mendalam inilah menjadi
tonggak utama jalan KayaSejati. Yang selanjutnya diikuti oleh kepasrahan
untuk mengakui Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul Allah,
mengerjakan salat, melaksanakan puasa, menunaikan zakat dan
menunaikan haji serta menjalankan perintah yang telah disebutkan al-
Qur’an. Jalan KayaSejati adalah jalan orang yang berimana dan berislam
dengan penuh kesadaran untuk mendapatkan kebahagian di dunia dan di
akhirat.

Gambaran Pribadi KayaSejati


Dengan demikian KayaSejati adalah sebuah pola kehidupan yang
berangkat dari kayakinan mendalam tentang pentingnya arti sebuah
kekayaan dan keagungan dalam kehidupan. Kekayaan berapapun besarnya,
jika didapat, dipakai dan disebarkan bukan dalam batas-batas keagungan,
akan mendatangkan kemudaratan bagi pemiliknya. Seorang yang beriman
akan diminta pertanggungjawaban oleh Sang Pemilik kekayaan tersebut, dari
manakah datangnya, apakah berasal dari sumber yang halal dan baik, bukan
dari hasil korupsi, penipuan, perampokan dan sejenisnya. Setelah
didapatkan, kekayaan tersebut akan ditanyakan peredarannya, apakah
digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat sebagaimana diperintahkan agama
atau untuk menambah maksiat dan dosa pemiliknya. Idialnya adalah
kekayaan yang baik akan dikeluarkan pada jalan kebaikan, inilah sebuah
kemuliaan. Namun kadangkala kekayaan yang bersumber dari yang baik
dapat pula dikeluarkan ke jalan yang tidak baik, maka ini bukanlah sebuah

37
kemuliaan. Atau ada kekayaan dari sumber yang tidak baik seperti dari hasil
korupsi misalnya, kemudian dikeluarkan pada jalan yang baik, untuk
membangun masjid misalnya, maka tentu ini bukanlah sebuah kemuliaan
yang diajarkan Islam.
KayaSejati yang dimaksud adalah sebuah model kehidupan yang
berusaha mendapatkan kekayaan dengan jalan-jalan yang mulia, mulia
menurut agama dan masyarakat, kemudian dimanfaatkannya kekayaan
tersebut untuk hal-hal yang mulia pula. Seperti seorang pengusaha yang
ulet, yang menjalankan usahanya dengan jujur, usaha yang halal dengan
cara-cara yang ditentukan syariat. Dengan usahanya tersebut, dia
mendapatkan keuntungan yang besar dan mengantarkannya menjadi orang
yang kaya. Tidak berhenti sampai di sini, setelah menjadi orang kaya, dia
mengeluarkan zakat, infak dan sadaqah yang diwajibkan atasnya, dan
membelanjakan hartanya di jalan Allah dengan membangun sarana ibadah,
pendidikan dan sosial misalnya. Seperti inilah gambaran kehidupan Kaya
dalam Islam.
Pola KayaSejati yang diajarkan Islam, bukanlah sebuah kehidupan
idialis atau angan-angan yang tidak pernah terjadi di muka bumi. Dalam
sejarah kehidupan manusia, banyak sekali contoh-contoh manusia yang telah
menggambarkan kehidupan Kaya yang mulia ini. Di zaman Rasulullah
misalnya, telah tampil pengusaha-pengusaha kaya raya yang masuk Islam
kemudian kekayaannya dijadikan sebagai sarana menegakkan keadilan dan
kebenaran untuk mendapatkan kehidupan yang mulia. Di antara mereka
adalah sahabat Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan,
Abdurrahman bin ‘Auf dan banyak lagi. Mereka adalah komunitas Kaya yang
telah mengeluarkan kekayaannya di jalan keagungan dan kemuliaan.
Inilah contoh karakteristik pribadi KayaSejati yang digambarkan salah
seorang sahabat utama Abdurrahman bin ’Auf, seorang konglomerat muslim
sejati di zaman kegemilangan Islam, sebagaimana dikutip Khalid M. Khalid
dalam bukunya Rijal Haula al-Rasul:
“Pada suatu hari, bumi kota Madinah seolah-olah bergetar, terdengar
suara gemuruh dan hiruk pikuk. Ummul Mukminin Aisyah bertanya, “Suara
apakah yang hiruk pikuk. Apa yang telah terjadi di kota Madinah?”. Orang-
orang menjawab, “Kafilah Abdurrahman bin Auf baru datang dari Syam
membawa barang-barang dagangannya, dengan iring-iringan tujuh ratus
unta bermuatan penuh membawa sandang pangan dan keperluan-
keperluan penduduk.” Ummul Mukminin berkata, “Semoga Allah
melimpahkan keberkahan-Nya bagi Abdurrahman bin Auf dengan baktinya di
dunia serta pahala yang besar di Akhirat.” Selanjutnya, beliau berkata, “Aku
pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Kulihat Abdurrahman bin Auf
masuk surga dengan perlahan-lahan merangkak.” Sebelum iring-
iringan unta berhenti dan tali temali perniagaan belum dilepaskan, berita dari
Ummul Mukminin itu telah sampai kepadanya. Secepat kilat, Abdurrahman
bin Auf datang menemui Aisyah dan berkata, “Anda telah mengingatkan aku
dengan sebuah hadits yang tidak pernah kulupakan.” Dia kemudian berkata,
“Kini, saksikanlah bahwa kafilah ini dengan seluruh muatannya berikut
kendaraan dan perlengkapannya, kupersembahkan di jalan Allah Azza wa
Jalla.” Maka, dibagikanlah muatan tujuh ratus unta itu kepada seluruh
penduduk Madinah dan sekitarnya sebagai suatu amal yang mulia di jalan
Allah.”

38
Sejarah Abdurrahman bin Auf, seorang sahabat dekat Nabi yang
menjadi konglomerat muslim yang kaya raya, mujahid sejati, mujahid
entrepreneur, yang sangat indah ini tidak perlu dikomentari.
Apakah kemudian dengan menyedekahkan hartanya di jalan Allah,
Abdurrahman bin ’Auf menjadi miskin? Ternyata tidak, Abdurrahman tidak
pernah jatuh miskin dan papa, bahkan dia menjadi konglomerat terbesar
dunia yang tiada tertandingi, yang telah menaklukkan konglomerat-
konglomerat terbesar di zamannya bersamaan dengan perkembangan Islam
yang telah menguasai 2/3 dunia di zaman Khalifah Umar Ibn Khattab. Karena
orang KayaSejati seperti Abdurrahman sangat yakin dengan janji Allah dalam
al-Qur’an: “Perumpamaan orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah
seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai
ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan
Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.” (al-Baqarah : 261)
Perilaku bisnis yang dijalankan Abdurrahman bin ’Auf sebagaimana
yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya telah mengantarkannya kepada taraf
seorang KayaSejati yang tidak dapat disaingi atau dikalahkan oleh
pengusaha-pengusaha non-muslim di zamannya. Islam yang agung dan
sempurna telah mencetak pribadi Abdurrahman menjadi manusia unggul
yang terunggul dalam bidangnya, sebagai seorang pengusaha muslim
terbesar.
Mengenai kebesarannya sebagai seorang entrepreneur KayaSejati,
Khalid M. Khalid menukilkan: “Keberuntungannya dalam perniagaan sampai
suatu batas yang membangkitkan dirinya pribadi ketakjuban dan keheranan,
hingga dia berkata: ”Sungguh, kulihat diriku, seandainya aku
mengangkat batu niscaya kutemukan di bawahnya emas dan
perak…..!”.
Tidak diragukan bahwa Abdurrahman bin ’Auf adalah sebaik-baik dan
seagung-agung manusia kaya raya sepanjang sejarah kemanusiaan. Tindak
tanduk dalam kehidupannya adalah sumber inpirasi dan motivasi bagi siapa
yang mengenalnya. Yang dihadirkan Sang Pencipta sebagai teladan
sepanjang masa, karena dia dibina oleh manusia teragung, Muhammad saw,
dari sumber Yang Maha Agung, dan tumbuh berkembang dilingkungan dan
masyarakat agung yang berhubungan langsung dengan langit melalui
perantaraan wahyu yang diturunkan kepada malaikat Jibril. Seluruh
kesempurnaan seorang KayaSejati ada padanya, secara personalitas,
karakter, mental, moral dan spiritual yang berkembang berdasarkan ajaran
Islam.
Untuk menjadi seorang KayaSejati, Mujahid Kaya, tentara Allah
yang menjalankan syariatnya secara kaffah, namun pada saat yang
sama kaya raya, bukanlah perkara yang terlalu mudah, bahkan mungkin
orang akan menganggap pemikiran ini ketinggalan zaman dan tidak masuk
akal. Namun tidak ada yang sukar bagi ajaran Allah dan Rasul-Nya, karena
memang ajaran-ajaran Islam yang agung, mulia dan sempurna ini diturunkan
untuk membimbing manusia menuju kemenangan hidup di dunia dan akhirat,
sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat Nabi.
Islamlah yang telah melahirkan manusia-manusia agung seperti konglomerat
muslim sejati seperti Abdurrahman bin ’Auf, dan Islam pasti dapat melahirkan
kembali para konglomerat agung sepanjang masa, karena Islam diturunkan
sebagai petunjuk umat manusia sepanjang masa.

39
Mereka yang menganggap menjadi seorang yang kaya raya sekaligus
sebagai seorang muslim yang taat adalah tidak masuk akal atau ketinggalan
zaman adalah orang yang lari dari keyataan sejarah, bahkan mereka telah
berprasangka buruk pada ajaran Allah dan Rasul-Nya. Bahwa kegagalan demi
kegagalan atau keterbelakangan demi keterbelakangan yang dialami oleh
kaum muslimin, termasuk para pengusaha dan konglomeratnya, pasti dan
sangat pasti bukan disebabkan oleh ajaran Islam yang sempurna…!!!
Saya pernah bertemu dengan para pengusaha yang berfikiran seperti
itu. Mereka beranggapan untuk sukses dalam dunia bisnis dan kaya raya
harus meniru pengetahuan dan perilaku para pengusaha kafir kapitalis-
sekuler yang kenyataannya memang berhasil menguasai dunia bisnis.
Bahkan ada yang dengan lantang menyatakan “kalau kita ikuti ajaran Islam
secara ketat, mana mungkin kita dapat menjadi konglomerat seperti orang-
orang non muslim, jadi kita harus ikuti cara bermain mereka agar kita dapat
menyamai mereka…”.
Inilah penyebab utama kekalahan para pengusaha muslim. Mereka
mengakui Islam sebagai agamanya, melaksanakan solat, naik haji, namun
ketika berbisnis menggunakan cara-cara orang kafir, dan mereka
mengganggap dirinya berhasil. Walaupun kenyataannya memang ada
sebagian mereka yang berhasil menjadi konglomerat yang kaya raya. Tapi
ketahuilah bahwa seandainya mereka, pengusaha muslim yang sudah dapat
menjadi konglomerat itu menerapkan ajaran Allah dan Rasul-Nya dalam
dunia bisnis, maka pastilah pencapaian mereka akan jauh lebih dahsyat dan
hebat lagi. Mereka pasti akan dapat mengalahkan semua bentuk permainan
dan trik kaum kafir kapitalis-sekuler itu, mereka pasti akan menjadi
konglomerat kaya raya terbesar yang tak tertandingi. Ini bukan hayalan dan
utopia, karena Abdurrahman bin ’Auf telah membuktikannya.
Ketika Abdurrahman bin ’Auf baru tiba hijrah di Madinah dari Makkah,
dia mulai menjalankan bisnisnya. Seorang pelarian seperti Abdurrahman
tentu tidak memiliki modal kuat seperti yang dimiliki para pengusaha
Madinah, seperti kaum Yahudi yang tengah menguasai pasar Madinah pada
saat itu. Walaupun Abdurrahman dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Rabi’
seorang pengusaha terkemuka Madinah oleh Nabi saw, namun beliau tidak
memanfaatkan kekayaan saudaranya, atau menikmatinya dengan nganggur
dan ongkang-ongkang.
Dari Anas ra, telah berkata:…. “dan berkatalah Sa’ad kepada
Abdurrahman: “Saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang kaya raya,
silahkan pilih separoh hartaku dan ambillah! Dan aku mempunyai dua orang
isteri, coba perhatikan yang lebih menarik perhatian anda, akan kuceraikan
ia hingga anda dapat memperistrinya….!” Jawab Abdurrahman bin Auf:
“Semoga Allah memberkati anda, isteri dan harta anda!, tapi tunjukkan
letaknya pasar agar aku dapat berbisnis…..!”
Ya, itulah karakteristik mujahid bisnis sejati. Ketika ditanya tentang
kebutuhannya, Abdurrahman hanya berkata: “Tunjukkan aku pasar”.
Saudara pengusahanyapun menunjukkan pasar Madinah yang didominasi
pedagang Yahudi dengan segala hiruk pikuknya dan beliau menganalisis
keadaan pasar dengan segala seluk beluknya. Hasil analisis Abdurrahman
ditindaklanjuti dengan pengajuan rekomendasi kepada Rasulullah sebagai
Pemimpin komunitasnya. “Pisahkan pasar Yahudi dengan pasar Kaum

40
Muslimin”, rekomendasinya kepada Rasulullah yang diterima dan ditaati
oleh komunitas muslim Madinah.
Dengan adanya dua pasar, pasar Yahudi dan pasar Islam, maka
Abdurrahman telah menciptakan persaingan sehat antara kedua pasar
dengan dua sistem, infrastuktur dan kualitas SDM-nya. Apa yang terjadi
kemudian? Hanya dalam hitungan hari, pasar Yahudi yang penuh tipu daya,
trik-rtik busuk dan kebohongan itu sepi yang akhirnya tutup akibat dijauhi
konsumennya yang berpindah kepada pasar Islam yang mengutamakan
kejujuran, keterbukaan, persaingan sehat, penuh persaudaraan yang
dikomandoi mujahid bisnis Abdurrahman bin Auf dengan beberapa kolega
usahanya dari kalangan Muhajirin dan Anshor.
Itulah sebabnya, ketika Abdurrahman bin ’Auf, orang KayaSejati ini
ditanya tentang kisah sukses bisnisnya, beliau mengatakan bahwa kunci
keberhasilannya sebagai seorang konglomerat muslim adalah “kejujuran”.
“Jika barang itu rusak katakanlah rusak, jangan engkau sembunyikan.” “Jika
barang itu murah, jangan engkau katakan mahal.” “Jika barang ini jelek
katakanlah jelek, jangan engkau katakan bagus”. Hanya dengan kejujuran
(as-sidqu wa al-amien) pasar Yahudi yang telah mendominasi Madinah
terkalahkan. Itulah sebabnya Rasulullah bersabda: “Pengusaha yang jujur
lagi amanah akan bersama para Nabi, orang-orang yang Syahid dan
orang-orang Soleh.” (HR. Tirmidzi).

Kesimpulan Bagian Pertama :


1. Tidak semua kemiskinan adalah mulia dan utama. Kemiskinan yang
mulia dan utama adalah kemiskinan yang dijadikan pilihan hidup oleh
orang-orang yang memiliki kemampuan untuk kaya raya, namun
memilih kemiskinan sebagai jalan kehidupan, karena

41
menginvestasikan kekayaannya untuk kebahagian akhirat sebagimana
dilakukan oleh para sahabat agung Rasulullah. Adapun kemiskinan
yang disebabkan oleh kemiskinan natural atau kemiskinan
struktutural, adalah kemiskinan yang perlu dibasmi dan diperangi
sebagaimana perkataan Sayyidina Ali ra: ”Andaikan kemiskinan itu
berupa manusia, maka akan kupenggal lehernya”. Karena kemiskinan
jenis terakhir ini sangat berbahaya, kemiskinan yang dapat membawa
kepada kekufuran, ”adalah kemiskinan itu dapat menjadikan
kekufuran”.
2. Kaya adalah naluri kemanusian yang dianugrahkan Allah kepada
hamba-hamba-Nya, yang sama sekali tidak dilarang oleh Allah. Bahkan
jika difahami perintah Allah dan Rasul-Nya mengenai jihad, zakat,
sahaqah, infak dan lainnya, secara tidak langsung diperintahkan agar
kaum muslimin menjadi kaya agar dapat melaksanakan kewajinbannya
tersebut. Kekayaan adalah milik Allah yang akan
dipertanggungjawabkan kelak di akhirat.
3. Bagi orang Islam yang memiliki kemampuan dan kesempatan, baik
secara material maupun spiritual untuk menjadi kaya, maka
kepadanya dibebankan kewajiban untuk menjadi kaya. Dengan adanya
pribadi Islam yang ta’at dan kaya, maka diharapkan menjadi batul mal
bagi perjuangan Islam dan masyarakat. Bahkan jika ditinjau dari fiqh
al-Aulawiyah (fiqih prioritas) dan maqasid al-Syar’iat (tujuan syar’i),
maka dalam keadaan seperti sekarang ini, dimana mayoritas kaum
muslimin dalam keadaan lemah dan menderita kemiskinan, maka
wajib hukumnya bagi sekelompok muslim untuk menjadi kaya secara
berjama’ah, agar kepentingan Islam dan umatnya terjaga.
4. Tidak diragukan pada saat ini perjuangan menegakkan Islam dalam
segala lapangan sedang memerlukan dana yang sangat besar,
terutama untuk mengembalikan kejayaan dan keagungan Islam dalam
semua aspek kehidupan. Seluruh ulama sepakat bahwa perjuangan
menegakkan Islam, terutama mempertahan Islam dan kaum muslimin
dari invansi musuh adalah sebuah fardhi ’ain (dhifa’ an aradhil
mu’min, ahamma min furud al-a’yan). Bagaimana kita dapat
menjalankan kewajiban ini jika tidak ada orang-orang Muslim kaya
yang mengeluarkan kekayaannya. Maka berlakulah kaidah fiqih ma la
yatimmu al-wajib illa bihi, fa huwa wajib, (sebuah kewajiban tidak akan
tegak dengan suatu perkara, maka perkara itu wajib pula hukumnya).
5. Di dalam al-Qur’an, al-Sunnah, riwayat para sahabat dan tabi’in serta
ulama salaf dan khalaf, banyak sekali terdapat ajaran dan fatwa yang
memberikan keutamaan hidup kaya bagi seorang muslim. Kekayaan
yang diperolehnya dapat menjadi sarana untuk mendapatkan
kebahagian akhirat.
6. Kaya yang diperintahkan oleh Islam, adalah kaya yang sesuai dengan
petunjuk Allah dan rasul-Nya, yaitu kaya yang berdasarkan kepada
keimanan yang mendalam serta keyakinan yang teguh dalam
melaksanakan perintah-Nya, yaitu KayaSejati.
7. Dalam perjalanan sejarah Islam telah tampil orang-orang KayaSejati
yang dapat dijadikan teladan, diantaranya adalah sahabat
Abdurrahman bin ’Auf. Para penerus orang KayaSejati telah menghiasi

42
tinta mas perjuangan umat Islam, melalui pengorbanan dan
perjuangannya dengan kekayaan halal yang dimilikinya.

Perhatian :
Jika Anda belum sampai pada kesimpulan di atas, saya mengharapkan
agar Anda membaca kembali dengan seksama bagian ini dengan fikiran
terbuka dan hati yang lapang, sambil berdo’a kepada Allah agar ditunjukkan
kebenaran yang hakiki. Jika belum puas, maka carilah dalil-dalil pembantu
atau refernsi tambahan untuk menguatkan Anda mengenai masalah yang
dibahas. Saya mengharapkan, setelah Anda membaca bagian pertama ini
memiliki kesimpulan : KAYA YANG BERSYUKUR ADALAH LEBIH UTAMA DARI
MISKIN YANG BERSABAR.
Jika kesimpulan ini belum Anda dapatkan, berarti Anda belum faham
benar masalah yang dibahas pada bagian ini. Karena tujuan utama dari
bagian ini, dengan segala dalil dan hujjah yang telah disampaikan adalah
untuk memberikan keyakianan bahwa kaya itu adalah perintah Allah dan
Rasul-Nya yang merupakan kewajiban bagi muslim yang memiliki
kemampuan mencapainya.

43

You might also like