You are on page 1of 32

Latar Belakang

Filsafat adalah pikiran yang dilakukan, biasanya berupa pertanyaan kepada diri sendiri, demi
memdapatkan kebijaksanaan, akar dari pemikiran tersebut. Metode kerja filsafat adalah
mengajukan pertanyaan dan mengupasnya secara mendalam. Filsafat manusia merupakan
bagian dari filsafat yang mengupas hakikat manusia. Filsafat manusia mempelajari inti dan
gejala dari manusia itu sendiri. Para filosof semenjak ribuan tahun yang lalu bertanya apakah
manusia itu, darimana datangnya manusia dan apa takdir yang dimiliki manusia.

Filsafat manusia perlu dipelajari karena manusia adalah makhluk yang mempunyai
kemampuan dan hak istimewa yang lebih daripada makhluk hidup lainnya serta memiliki rasa
ingin tahu yang besar untuk mencari tahu sedalam-dalamnya semua hal tentang manusia itu
sendiri. Filsafat manusia menganggap bahwa watak manusia merupakan kumpulan corak
yang khas atau rangkaian bentuk yang dinamis dan khas yang terdapat pada manusia.

Filsafat Manusia secara umum bertujuan menyelidiki, menginterpretasi dan memahami


gejala-gejala atau ekspresi-ekspresi manusia sebagaimana pula halnya dengan ilmu-ilmu
tentang manusia (human studies). Adapun secara spesifik bermaksud memahami hakikat atau
esensi manusia. Jadi, mempelajari filsafat manusia sejatinya adalah upaya untuk mencari dan
menemukan jawaban tentang siapakah sesungguhnya manusia itu.

Obyek kajiannya tidak terbatas pada gejala empiris yang bersifat observasional dan atau
eksperimental, tetapi menerobos lebih jauh hingga kepada gejala apapun tentang manusia
selama bisa atau memungkinkan untuk dipikirkan secara rasional.

Terdapat beberapa aliran dalam filsafat manusia. Beberapa diantaranya adalah materialisme,
idealisme, dualisme, eksistensialisme, dam strukturalisme. Dalam makalah ini, penulis akan
membahas eksistensialisme dimana juga ikut mempengaruhi psikologi. Bagaimana
eksistensialisme dalam memandang kedudukan manusia? Apa peranan eksistensialisme
dalam kehidupan manusia saat ini? Apakah keunggulan eksistensialisme dibandingkan aliran-
aliran lainnya? Apakah ada kelemahannya?

I. PENGERTIAN

Scribd |
feika_5
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, eksistensialisme adalah aliran filsafat yang
pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang
bebas tanpa mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar.

Berdasarkan etimologis, eksistensialisme berarti berdiri atau berada di (ke) luar. “eks” berarti
ke (di) luar dan (s)istens berarti menempatkan atau berdiri. (Sutardjo, 2009, hal 80)

Menurut Wikipedia, eksistensialisme adalah aliran filsafat yg pahamnya berpusat pada


manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan
secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak
mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar
bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan
sesuatu yang menurutnya benar.

Existentialism is a 20th century philosophy concerned with human existence, finding self,
and the meaning of life through free will, choice, and personal responsibility. The belief that
people are searching to find out who and what they are throughout life as they make choices
based on their experiences, beliefs, and outlook without the help of laws, ethnic rules, or
traditions - Eksistensialisme adalah aliran filsafat abad ke-20 berkaitan dengan keberadaan
manusia, menemukan diri sendiri, dan makna hidup melalui kehendak yang bebas, pilihan,
dan tanggung jawab pribadi. Keyakinan orang-orang mencari untuk mengetahui siapa dan
apa mereka sepanjang hidup mereka membuat mereka menentukan pilihan berdasarkan
pengalaman mereka, keyakinan, dan pandangan tanpa bantuan hukum, peraturan etnis, atau
tradisi. (http://www.allaboutphilosophy.org/existentialism-definition-faq.htm)

Menurut Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, Psi. dalam bukunya Pengantar Filsafat (2009),
eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala hal berpangkal pada
eksistensinya. Menurut beliau lebih lanjut, eksistensialisme merupakan cara manusia berada
atau lebih tepat mengada dan eksistensi ini hanya berlaku pada manusia.

Menurut Prof. Dr. Ahmad Tafsir dalam bukunya Filsafat Umum(2000), eksistensialisme
merupakan aliran dalam filsafat yang menunjukkan cara beradanya manusia di bumi yang

Scribd |
feika_5
lahir sebagai reaksi terhadap materialisme, idealisme, dan situasi dunia pada umumnya yang
tidak menentu.

Soren Aabye Kiekeegaard


Inti pemikirannya adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa
menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita
menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk
mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.

Friedrich Nietzsche
Menurutnya masuai yang berkesistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk
berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super
(uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini
hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih
aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.

Karl Jaspers
Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri.
Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan
obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia sadar akan dirinya
sendiri. Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.

Martin Heidegger
Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu
yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda
yang ada diluar manusia baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena
itu benda0benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan
tujuan mereka.

Jean Paul Sartre


Menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan
untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk
yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri

Scribd |
feika_5
Berdasarkan definisi-definisi di atas serta pemahaman saya, saya mengartikan
eksistensialisme sebagai salah satu aliran filsafat yang menekankan cara keberadaan
manusia itu di dunia yang dihadirkan melalui kebebasan manusia yang bertanggung
jawab terhadap kemauan individu yang bebas tanpa memikirkan mana yang benar dan
mana yang salah secara mendalam.

II. SEJARAH EKSISTENSIALISME DAN PERKEMBANGANNYA


SEJARAH KELAHIRAN EKSISTENSIALISME
Istilah eksistensialisme pertama kali digunakan oleh ahli filsafat Jerman yaitu Martin
Heidegger (1889-1976). Akar metodelogi eksistensialisme ini berasal dari fenomenologi yang
dikembangkan oleh Edmund Husserl (1859-1938).

Eksistensialisme lahir karena ketidakpuasan beberapa filosof terhadap filsafat pada masa
Yunani hingga modern, seperti protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan
spekulatif tentang manusia. Intinya adalah penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan
terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak
puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik dan jauh dari kehidupan,
juga pemberontakan terhadap alam yang impersonal yang memandang manusia terbelenggu
dengan aktivitas teknologi yang membuat manusia kehilangan hakekat hidupnya sebagai
manusia yang bereksistensi.

Eksistensialisme merupakan gerakan filosofis yang muncul di Jerman setelah perang dunia I
dan berkembang di Perancis setelah perang dunia II. Bermula dari reaksi terhadap
esensialisme Hegel, yang memandang bahwa konstruksi dipahami sebagai suatu lintasan dari
sesuatu yang tidak eksis (No existence, not being) kepada ‘sesuatu yang eksis’. Kierkegaard
menentang pandangan tersebut dengan menyatakan tentang kebenaran subjektif, yaitu suatu
bentuk penegasan keunikan dan sesuatu yang konkrit dan nyata sebagai sesuatu yang
berlawanan dengan yang abstrak. Konsep tersebut merupakan perlawanan terhadap usaha
untuk mengkonstruksi gambaran tentang dunia dengan memakai konsep kecukupan intelek
pada dirinya sendiri. Apa pun yang eksis menjadi sesuatu yang dihadapi secara yakin sebagai
sesuatu yang lebih aktual dibanding dengan sesuatu yang dipikirkan.

Scribd |
feika_5
Eksistensialisme muncul sebagai reaksi terhadap pandangan materialisme. Paham
materialisme ini memandang bahwa pada akhirnya manusia itu adalah benda, layaknya batu
atau kayu, meski tidak secara eksplisit. Materialisme menganggap hakekat manusia itu
hanyalah sesuatu yang material, betul-betul materi. Materialisme menganggap bahwa dari
segi keberadaannya manusia sama saja dengan benda-benda lainnya, sementara
eksistensialisme yakin bahwa cara berada manusia dengan benda lain itu tidaklah sama.
Manusia dan benda lainnya sama-sama berada di dunia, tapi manusia itu mengalami
beradanya dia di dunia, dengan kata lain manusia menyadari dirinya ada di dunia.
Eksistensialisme menempatkan manusia sebagai subjek, artinya sebagai yang menyadari,
sedangkan benda-benda yang disadarinya adalah objek.

Eksistensialisme juga lahir sebagai reaksi terhadap idealisme. Idealisme dan materialisme
adalah dua pandangan filsafat tentang hakekat yang ekstrim. Materialisme menganggap
manusia hanyalah sesuatu yang ada, tanpa menjadi subjek, dan hal ini dilebih-lebihkan pula
oleh paham idealisme yang menganggap tidak ada benda lain selain pikiran. Idealisme
memandang manusia hanya sebagai subjek, dan materialisme memandangnya sebagai objek.
Maka muncullah eksistensialisme sebagai jalan keluar dari kedua paham tersebut, yang
menempatkan manusia sebagai subjek sekaligus objek. Manusia sebagai tema sentral dalam
pemikiran.

Munculnya eksistensialisme juga didorong oleh situasi dunia secara umum, terutama dunia
Eropa barat. Pada waktu itu kondisi dunia pada umumnya tidak menentu akibat perang. Di
mana-mana terjadi krisis nilai. Manusia menjadi orang yang gelisah, merasa eksistensinya
terancam oleh ulahnya sendiri. Manusia melupakan individualitasnya. Dari sanalah para
filosof berpikir dan mengharap adanya pegangan yang dapat mengeluarkan manusia dari
krisis tersebut. Dari proses itulah lahir eksistensialisme.

Kierkegaard seorang pemikir Denmark yang merupakan filsuf Eksistensialisme yang terkenal
abad 19 berpendapat bahwa manusia dapat menemukan arti hidup sesungguhnya jika ia
menghubungkan dirinya sendiri dengan sesuatu yang tidak terbatas dan merenungkan
hidupnya untuk melakukan hal tersebut, walaupun dirinya memiliki keterbatasan untuk
melakukan itu. Filsafatnya untuk menjawab pertanyaan mengenai “Bagaimanakah aku
menjadi seorang individu?” Ia juga menganut prinsip Socrates yang mengatakan bahwa

Scribd |
feika_5
”pengetahuan akan diri adalah pengetahuan akan Tuhan” . Hal ini terjadi karena pada saat itu
terjadi krisis eksistensialisme (manusia melupakan individualitasnya), sehingga manusia bisa
menjadi manusia yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan dan komitmen pribadi
dalam kehidupan.

Jean-Paul Sartre, filsuf lain dari Eksistensialisme berpendapat eksistensi mendahului esensi,
manusia adalah mahkluk eksistensi, memahami dirinya dan bergumul di dalam dunia. Tidak
ada alam manusia, karena itu tidak ada Tuhan yang memiliki tentang konsepsi itu. Jean-paul
Sartre kemudian menyimpulkan bahwa manusia tidak memiliki suatu apapun, namun dia
dapat membuat sesuatu bagi dirinya sendiri. Neitzche, juga filosof Jerman (1844-1900) yang
tujuan filsafatnya menjawab pertanyaan ” Bagaimana menjadi manusia unggul?” dan
jawabannya adalah manusia bisa menjadi manusia unggul jika mempunyai keberanian untuk
merealisasikan diri secara jujur dan berani.Kedua tokoh diatas muncul karena adanya perang
dunia pertama dan situasi Eropa pada saat itu, sehingga mereka tampil untuk menjawab
pandangan tentang manusia seperti yang sudah dijelaskan diatas.

Disamping itu penyebab munculnya filsafat eksistensialisme ini yaitu adanya reaksi terhadap
filsafat materialisme Marx yang berpedoman bahwa eksistensi manusia bukan sesuatu yang
primer dan idealisme Hegel yang bertolak bahwa eksistensi manusia sebagai yang konkret
dan subjektif karena mereka hanya memandang manusia menurut materi atau ide dalam
rumusan dan system-sistem umum (kolektivitas sosial).

PERKEMBANGAN EKSISTENSIALISME SETELAH TAHUN 1980-AN


Dalam budaya masa lalu, aliran eksistensialisme berkembang dengan sangat baik terutama
setelah perang dunia kedua dimana banyak penulis Amerika termasuk wartawan berbondong-
bondong datang mencari filosof eksistensialisme untuk menganut aliran tersebut. Hal ini
dikarenakan norma baru yang diperkenalkan dalam aliran ini dan keasliannya. Lalu
bagaimana perkembangan eksistensialisme setelah 65 tahun berakhirnya perang dunia kedua?

Kumpulan penganut Filsafat Fenomenologi dan Eksistensialisme dimana mereka juga


mendukung teori Heidegger, Sartre, Merleau-Ponty, Jaspers, Beauvoir, dan para filosof
Eksistensialisme lainnya menyediakan forum baik untuk berbagi sejarah maupun karya

Scribd |
feika_5
ilmiah sering berbagi perkembangan teori baru yang memiliki keterkaitan dengan teori-teori
yang telah ada seperti strukturalisme, dekonstruksi, hermeneutika, dan feminisme.

Dalam studi yang dilakukan Judith Butler (1990) mengenai gender memperlihatkan bahwa
terdapat eksistensial sebagaimana Lewis Gordon (1995) juga temukan dalam teori ras.
Ketertarikan dalam konsep identitas diri, misalnya dalam karya Charles Taylo (1999), Paul
Ricoeur, David Carr (1986), atau Charles Guignon memiliki konsep yang sama dengan
eksistensial menurut Hegelian serta kritik rasionalismenya.

Hubert Dreyfus (1979) mengembangkan suatu kritik berpengaruh dari program Inteligensi
Buatan yang pada dasarnya didasarkan pada ide eksistensialis terutama yang dicetuskan oleh
Heidegger dan Merleau-Ponty bahwa dunia manusia, dunia makna, harus dipahami sebagai
fungsi yang diwujudkan ke dalam bentuk praktik dan tidak dapat dipresentasikan sebagai
sistem logika yang terstruktur.

Disebut sebagai eksistensialisme baru, John Haugeland (1998) telah mengeksplorasi peran
dari eksistensi pada praktik ilmiah sebagai pengecek kebenaran. Sementara itu, Michael
Gelven (1990, 1997) dalam serangkaian bukunya merefleksikan jarak antara eksistensi,
moral, dan epistemologi; menunjukkan bagaimana standar yang sesuai untuk setiap jalin-
menjalin tanpa mengurangi satu apapun. Selain itu kebangkitan minat pada psikologi moral,
membuat banyak penulis menanyakan tentang identitas diri dan tanggung jawab karena
memilikih suatu hal yang merupakan suatu eksistensi dimana Christine Korsgaard (1996)
menarik krusial untuk gagasan tentang " penciptaan diri "dan" praktis identitakal "; Richard
Moran (2001) menekankan hubungan pengakuan diri sendiri dan perspektif orang pertama
kali berkenalan dengan cara yang sebagian berasal dari Sartre, dan Thomas Nagel yang telah
mengikuti garis eksistensialis dalam menghubungkan makna kesadaran kematian.

Setelah bertahun-tahun berada dan berkembang di luar Perancis, eksistensialisme kembali


diingat terkait pekerjaan yang melibatkan lebih banyak pikiran. Misalnya Foucault yang
memiliki konsep kebebasan dan eksplorasi tentang “perawatan diri”, mengadakan debat
tentang eksistensialisme seperti halnya karya baru Derrida tentang agama tanpa Tuhan dan
refleksinya tentang konsep mati, pilihan, dan tanggung jawab.

Scribd |
feika_5
Dalam buku yang dikarang oleh Cooper (1999) dan Alan Schrift (1995) menunjukkan bahwa
menjaga aliran filsafat eksistensialisme merupakan agenda penting yang mesti dilakukan.
Dalam beberapa hal, eksistensialisme terkenal karena adanya perubahan dalam kebudayaan
yang telah ada dan menghambat penerimaan filosofinya. Inilah hal yang menarik tentang
eksistensialisme. Ketika kita menganggap kita sedang belajar filsafat maka sesungguhnya
kita masih harus belajar eksistensialisme yang masih berada di depan.

III. TOKOH-TOKOH EKSISTENSIALISME


1. Soren Aabye Kiekegaard
Kierkegaard lahir di Kopenhagen, Denmark pada 5 Mei 1813, sebagai anak bungsu
dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Michael Pedersen Kierkegaard, merupakan pedagang
grosir yang menjual kain, pakaian, dan makanan. Setelah mengenyam pendidikan di
sekolah putra yang prestisius di Borgerdydskolen, ia melanjutkan pendidikan tingginya di
Universitas Kopenhagen. Di sini pria yang bernama lengkap Soren Aabye Kierkegaard ini
mempelajari filsafat dan teologi. Sejumlah tokoh seperti F.C. Sibbern, Poul Martin
Moller, dan H.L. Martensen menjadi gurunya di sana.
Ada banyak tragedi yang di sekitar pria yang juga menguasai bahasa Latin, bahasa
Yunani, sejarah, matematika, sains, dan filsafat ini. Tragedi pertama menyangkut ayahnya
yang merasa tidak pernah lepas dari dosa mengutuk Tuhan. Hidupnya juga menyimpan
skandal dengan pembantu rumah tangganya yang kemudian menjadi istri keduanya. Lalu,
saudara-saudara Kierkegaard banyak yang meninggal ketika masih begitu muda. Dua
kakaknya, satu lelaki dan satu perempuan, meninggal sebelum ia berusia sembilan tahun.
Tiga kakaknya yang lain, dua perempuan dan satu lelaki, meninggal sebelum ia berusia
21 tahun. Kakak tertuanya, Peter, akhirnya memilih hidup sebagai seorang uskup.
Kierkegaard sendiri tidak pernah menikah seumur hidupnya. Ia membatalkan
pertunangannya dengan Regina Olsen.
Meski demikian, talentanya yang luar biasa sudah muncul ketika menuliskan
Journals, salah satu karya terbaiknya yang pernah diterbitkan. Salah satu karya
Kierkegaard yang tajam dihasilkannya menjelang akhir hayatnya. Peter Vardy, seorang
dosen Filsafat Agama di Heythrope College, University of London, menganggap tulisan-
tulisan Kierkegaard yang dikumpulkan dalam buku Attack upon Christendom merupakan
kecaman paling keras yang pernah ditulis. Setidaknya, sepuluh artikel termuat di
dalamnya sebagai kritik terhadap gereja yang dianggap Kierkegaard sudah melenceng
dari hakikat gereja yang semestinya.
Scribd |
feika_5
Kecaman Kierkegaard tersebut dipicu oleh pernyataan Profesor Martensen dalam
pemakaman Uskup Mynster yang dinilainya sebagai upaya menarik perhatian masyarakat
guna mendapatkan posisi sebagai uskup. Kecamannya ini semula ditujukan bagi
Martensen, namun berkembang menjadi kritik terhadap seluruh gereja.
Dalam kecaman tersebut, Kierkegaard menganggap para imam dan gereja tidak lagi
mewartakan Injil Kristus, tetapi mewartakan pesan kemapanan dan kegembiraan. Gereja
justru memberikan rasa aman, penghargaan, dan kedudukan dalam masyarakat. Ia melihat
gereja sudah mempermainkan Allah dengan memberitakan sesuatu yang menyimpang
dari kekristenan Perjanjian Baru (PB).
Kierkegaard banyak menghasilkan karya tulis di sepanjang hidupnya. Meskipun pada
mulanya berbagai tulisannya tidak terlalu diperhatikan, pada masa-masa berikutnya,
karya-karyanya tersebut memengaruhi banyak tokoh lain. Sebut saja Heidegger, Sartre,
bahkan para teolog abad dua puluh seperti Karl Barth, Rudolf Bultmann, Paul Tillich, dan
Dietriech Bonhoeffer.
Meskipun melancarkan kritik yang sangat keras terhadap gereja, ia tetap berkunjung
ke gereja. Tidak untuk menghadiri ibadah. Ia hanya duduk di luar gereja dengan tenang
pada hari Minggu. Ketika ia hendak pulang ke rumah dengan uang terakhir yang
dimilikinya, Kierkegaard terjatuh tak sadarkan diri. Ia dibawa ke rumah sakit dan
meninggal lima minggu kemudian. Ia meninggal pada tanggal 11 November 1855.
Pemakaman Kierkegaard tidak dihadiri oleh pendeta manapun. Hanya dua orang penting
dalam hidupnya, Kierkegaard, Peter, saudara laki-lakinya yang telah menjadi uskup, dan
dekan dari sebuah katedral.
Pada dasarnya, karya-karya Kierkegaard dapat dikelompokkan dalam dua periode.
Periode pertama ditulis antara 1841 dan 1845. Sebagian besar bernuansa filosofis dan
estetis, beberapa ditulis dalam nama samaran, Johannes Climacus. Karya-karya dalam
periode ini ialah The Concept of Irony with Constant Reference to Socrates (1841),
Either/Or (1843), Fear and Trembling (1842), The Concept of Dread (1844), Stages on
Life's Way (1844), Philosophical Fragments(1844), Concluding Unscientific Postscript to
the Philosophical Fragments (1846), dan sejumlah Edifying Discourses.
Periode kedua dalam kepenulisannya lebih ditekankan pada kekristenan. Pada masa
ini, tulisan-tulisannya banyak ditujukan pada gereja. Karya-karya yang ia hasilkan pada
masa ini ialah Works of Love (1847), Christian Discourses (1848), dan Training in
Christianity (1850). Sementara itu, Journal terus ia tulis sampai akhir hayatnya.

Scribd |
feika_5
Berikut ringkasan sejumlah karyanya.
 Either/Or (Enten/Eller) – 1843
Buku ini terdiri dari dua bagian yang mempertentangkan pandangan hidup yang
estetis dengan yang etis. Karya yang panjang ini menampilkan catatan-catatan
pribadi, esai-esai dan percobaan-percobaan psikologis untuk menggoda ahli
estetika serta serangkaian surat yang ditulis seorang hakim kepada ahli estetika
yang menyanjung sisi positif pernikahan dan kehidupan etis. Struktur dialektis
karya ini tidak memberikan penyelesaian, atau "sintesis" dalam konsep Hegelian,
untuk dua pandangan hidup yang bertentangan. Karya ini berfungsi baik sebagai
kritik maupun parodi terhadap filsafat Hegelian.
 Fear and Trembling (Frygt og Baeven) – 1844
Mengambil contoh pegorbanan Ishak oleh Abraham untuk menyelidiki penundaan
etika teleologi (ajaran atau kepercayaan bahwa segala tindakan disebabkan karena
adanya tujuan yang ingin dicapai). Hal ini merupakan kebutuhan akan ketaatan
mutlak terhadap perintah Allah meskipun perintah itu tidak masuk akal atau tidak
bermoral.
 Philosophical Fragments (Philosophiske Smuler) - 1844
Melalui karya ini, Kierkegaard memerinci elemen subjektif yang diperlukan
dalam mendapatkan pengetahuan dengan menelusuri doktrin inkarnasi dan apakah
kebahagiaan abadi dapat didasarkan pada peristiwa sejarah.
 Concluding Unscientific Postscript (Afsluttende uvidenskabelig Efterskrift) –
1845
Sambungan Philosophical Fragments yang berpendapat bahwa semua kebenaran
harus secara subjektif cocok dan tidak ada jaminan adanya pengetahuan objektif.
Kierkegaard mengangkat Kristus, tokoh yang penuh paradoks, yang adalah
manusia dan Allah. Ia menekankan bahwa hal ini tidak dapat dipahami secara
logis (sebagaimana dalam sintesa Hegel. Seseorang hanya bisa memiliki sebuah
komitmen yang subjektif yang sungguh-sungguh terhadap kepercayaan ini atau
kepercayaan lain.
 Works Of Love (Kjerlighedens Gjerninger) – 1846
Sebuah esei yang meneliti perintah "Kasihilah sesamamu seperti kau mengasihi
dirimu sendiri'. Karya itu menekankan kualitas cinta yang tak terlukiskan, meneliti

Scribd |
feika_5
siapakah 'sesama' dan bagaimana cinta sejati (tidak egois) hanya mungkin didapat
jika kita mengenal Tuhan dan menjadi wujud alami iman.
 Practice in Christianity (Indøvelse I Christendom) – 1850
Karya ini merupakan serangan yang murni dilancarkan Kierkegaard, ditujukan
kepada gereja mapan yang mencoba meminimalisir serangan dalam rangka
melayani dunia. Melalui karya ini, ia hendak memperkenalkan kembali
kekristenan PB kepada dunia Kristen.
 The Changelessness of God: A Discourse (Guds Uforanderlighed. En Tale) -
1855
Karya yang didasarkan pada khotbah tentang Yakobus 1:17 ini memuji ketetapan
Tuhan dan mendorong pembaca untuk mengikut Dia. Tapi pembaca juga
diingatkan untuk berhati-hati dalam bertindak karena mereka akan diadili oleh
Tuhan dengan ketetapan tak tergoyahkan yang sama.
Menurut Kierkegaard, ada 3 tahap eksistenis manusia, yakni:
 Tahap estetis
Tahap dimana orientasi hidup manusia sepenuhnya diarahkan untuk mendapatkan
kesenangan. Pada tahap ini, manusia dikuasai oleh naluri seksual (libido), prinsip
kesenangan yang hedonistik, dan bertindak menurut suasana hati (mood).
 Tahap etis
Tahap dimana manusia bertobat dari pola hidup yang estetis. Pada tahap ini,
manusia mulai menerima kebajikan moral, mengikatkan diri kepadanya,
menerima dan menghayati nilai kemanusian yang bersifat universal, serta
membuang jauh-jauh prinsip hedonisme (kesenangan).
 Tahap religius
Tahap ini merupakan tahap tersulit yang akan dialami oleh manusia yang hendak
melanjutkan dari tahap etis. Hal ini dikarenakan tahap religius didasari pemikiran
yang subjektivitas transeden tanpa rasionalisasi dan tanpa ikatan yang bersifat
duniawi atau mundane. Ada beberapa tantangan yang harus dihadapi, diantaranya
adalah kesulitan untuk lebur dalam kuasa Tuhan dan kecemasan yang mencekam
dan menggetarkan.

2. Karl Jaspers

Scribd |
feika_5
Karl Jaspers lahir di kota Oldenburg, Jerman Utara, pada tahun 1883. Ayahnya
seorang ahli hukum dan direktur bank. Sejak sekolah menengah, ia sudah tertarik pada
filsafat, tetapi baru pada usia 38 tahun ia dapat sepenuhnya memenuhi panggilan
filosofisnya.
Selama tiga semester ia belajar hukum di Universitas Heidelberg dan Munchen, tetapi
ia mengubah haluan dengan memilih studi kedokteran yang dijalankan di Berlin,
Gottingen dan Heidelberg. Di Universitas Heidelberg ia mengambil spesialiasi psikiatri.
Tetapi ia tetap tertarik dengan filsafat, antara lain melalui Max Weber, ahli ekonomi,
sejarawan dan sosiolog terkenal yang dikaguminya.
Jaspers menulis buku Allgemeine Psychopathologie(Psikologi umum) pada tahun
1910. Di buku ini, ia tidak melukiskan penyakit-penyakit, tetapi menyoroti manusia yang
sakit. Ia menggunakan metode deskripsi fenomenologis Husserl. Pada 1916 ia menjadi
profesor psikologi di Heidelberg. Lalu pada 1919 ia menulis buku Psychologie der
Weltanschauungen (Psikologi Tentang Pandangan-Pandangan Dunia). Di buku ini, ia
melukiskan berbagai sikap yang diambil manusia terhadap kehidupan. Dua buku ini
ditulis berdasarkan pengalamannya sebagai psikiater dan menunjukkan betapa kentalnya
ketertarikan Karl Jaspers pada filsafat.
Karl Jaspers mencurahkan seluruh perhatiannya pada filsafat mulai tahun 1921,
setelah ia menerima gelar profesorat filsafat di Heidelberg. Ada yang tak setuju dengan
pemberian gelar ini, sebab ia dianggap bukan filsuf profesional. Namun, setelah
menerima gelar penghargaan itu, ia menulis banyak sekali karya, antara lain karya besar
yang terdiri dari tiga jilid, Philosophie (1932). Jilid I berjudul Weltorientierung
(Orientasi Dalam Dunia), jilid II berjudul Existenzerhellung (Penerangan Eksistensi), dan
jilid III Metaphysik (Metafisika).
Pada tahun 1948, ia pindah ke Swiss dan menjadi profesor di Universitas Basel
sampai 1961. Ia mendapat kewarganegaraan Swiss pada 1967 dan tetap tinggal di sana.
Karl Jaspers meninggal di Basel pada 1969. Beberapa filsuf besar yang mempengaruhi
Karl Jaspers adalah Immanuel Kant, Kierkegaard, Nietzsche dan tentu saja Max Weber.
Filsafat Jasper dikenal sebagai “filsafat eksistensi”, nama yang dipakai Jaspers sendiri
sebagai judul salah satu bukunya: Existenzphilosophie (1938). Banyak orang menilai
buku ini merupakan perkembangan dari gagasan Karl Jaspers yang sudah dituangkan
dalam buku Philosophie. Bagian paling sentral dari buku Philosophie ini adalah Jilid II,
yakni Penerangan Eksistensi. Katanya, dengan menerangi eksistensi, kita mencapai inti

Scribd |
feika_5
“aku”. Dengan menerangi eksistensi, si penanya dapat masuk pada dirinya sendiri. Cara
pengenalan yang lain hanya membuat subyek menjadi obyek belaka dan karena itu tidak
pernah mencapai aku yang sebenarnya.
Bagi Karl Jaspers, eksistensi inilah yang paling berharga dan paling otentik dalam diri
manusia. Eksistensi adalah aku yang sebenarnya, yang bersifat unik dan sama sekali tidak
obyektif. Eksistensi itu terbuka bagi kemungkinan-kemungkinan baru, terbuka bagi
pengalaman-pengalaman baru. Eksistensi dapat dihayati, dapat diterangi melalui refleksi
filsosofis dan dapat dikomunikasikan dengan orang lain.
Dalam hidup konkrit, manusia tidak pernah lepas dari situasi-stuasi tertentu. Hidup
dan bertindak sebagai manusia memang berarti mengubah dan menciptakan situasi-
situasi. Tetapi betapapun besar perubahan yang kita jalankan, selalu tinggal bahwa kita
terikat pada situasi-situasi. Bahwa kita berada dalam situasi-situasi yang tak bisa
ditiadakan. Hal itu merupakan suatu “situasi batas”. Situasi yang tidak bisa dihindari.
“Situasi batas” yang dimaksudkan Karl Jaspers adalah pengalaman seperti kematian,
kesengsaraan, perjuangan, kebersalahan, ketergantungan pada nasib, dan sejenisnya. Di
antara semua situasi batas ini, yang paling dramatis adalah kematian. Situasi batas
kematian ini dialami secara konkrit pada kematian orang yang kita cintai serta kematian
kita sendiri yang semakin mendekat. Kematian mengakibatkan rasa takut, tetapi sekaligus
juga menyempurnakan eksistensi. Sebab keinsyafan akan kematian akan mendesak kita
untuk hidup otentik. Keinsyafan terhadap kematian akan memberi kita keberanian dan
integritas. Oleh karenanya manusia dapat memperoleh suatu pandangan otentik tentang
hal-hal yang paling penting dalam hidup.
Yang juga menarik dari pemikiran Karl Jaspers adalah pandangannya tentang Tuhan
dan agama. Ia menolak teisme, panteisme, agama yang diwahyukan, dan juga ateisme. Ia
menolak agama yang diwahyukan karena baginya tidak mungkin Tuhan berbicara dengan
menggunakan bahasa manusia. Semua pendapat (mungkin maksudnya yang ada di Kitab
Suci) hanya merupakan simbol-simbol (chiffren) yang melambangkan aspek-aspek
ketuhanan, tetapi kita keliru jika kita memahaminya secara harafiah.
Menurut Karl Jasper, terdapat sejumlah keyakinan dasar yang tidak dapat dibuktikan,
tetapi harus diterima begitu saja. Antara lain bahwa di luar dunia ini terdapat
Transendensi. Tetapi hal ini bukanlah kebenaran yang dapat dibuktikan, sebab
pembuktian hanya mungkin di bidang ilmu pengetahuan.

Scribd |
feika_5
3. Martin Heidegger
Martin Hiedegger (lahir di Meßkirch, Jerman, 26 September 1889 – meninggal 26
Mei 1976 pada umur 86 tahun) merupakan pemikir yang ekstrim, hanya beberapa filsuf
saja yang mengerti pemikiran Heidegger. Pemikiran Heidegger selalu tersusun secara
sistematis. Tujuan dari pemikiran Heidegger pada dasarnya berusaha untuk menjawab
pengertian dari “being”. Heidegger berpendapat bahwa “Das Wesen des Daseins liegt in
seiner Existenz”, adanya keberadaan itu terletak pada eksistensinya. Di dalam realitas
nyata being (sein) tidak sama sebagai “being” ada pada umumnya, sesuatu yang
mempunyai ada dan di dalam ada, dan hal tersebut sangat bertolak belakang dengan ada
sebagai pengada. Heidegger menyebut being sebagai eksistensi manusia, dan sejauh ini
analisis tentang “being” biasa disebut sebagai eksistensi manusia (Dasein). Dasein adalah
tersusun dari da dan sein. “Da” disana (there), “sein” berarti berada (to be/being). Artinya
manusia sadar dengan tempatnya.
Ia belajar di Universitas Freiburg di bawah Edmund Husserl, penggagas
fenomenologi, dan kemudian menjadi profesor di sana 1928. Ia mempengaruhi banyak
filsuf lainnya, dan murid-muridnya termasuk Hans-Georg Gadamer, Hans Jonas,
Emmanuel Levinas, Hannah Arendt, Leo Strauss, Xavier Zubiri dan Karl Löwith.
Maurice Merleau-Ponty, Jean-Paul Sartre, Jacques Derrida, Michel Foucault, Jean-Luc
Nancy, dan Philippe Lacoue-Labarthe juga mempelajari tulisan-tulisannya dengan
mendalam. Selain hubungannya dengan fenomenologi, Heidegger dianggap mempunyai
pengaruh yang besar atau tidak dapat diabaikan terhadap eksistentialisme, dekonstruksi,
hermeneutika dan pasca-modernisme. Ia berusaha mengalihkan filsafat Barat dari
pertanyaan-pertanyaan metafisis dan epistemologis ke arah pertanyaan-pertanyaan
ontologis, artinya, pertanyaan-pertanyaan menyangkut makna keberadaan, atau apa
artinya bagi manusia untuk berada. Heidegger juga merupakan anggota akademik yang
penting dari Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei.
Heidegger mulanya adalah seorang pengikut fenomenologi. Secara sederhana, kaum
fenomenolog menghampiri filsafat dengan berusaha memahami pengalaman tanpa
diperantarai oleh pengetahuan sebelumnya dan asumsi-asumsi teoretis abstrak. Edmund
Husserl adalah pendiri dan tokoh utama aliran ini, sementara Heidegger adalah
mahasiswanya dan hal inilah yang meyakinkan Heidegger untuk menjadi seorang
fenomenolog. Heidegger menjadi tertarik akan pertanyaan tentang "Ada" (atau apa
artinya "berada"). Karyanya yang terkenal Being and Time (Ada dan Waktu) dicirikan

Scribd |
feika_5
sebagai sebuah ontologi fenomenologis. Gagasan tentang Ada berasal dari Parmenides
dan secara tradisional merupakan salah satu pemikiran utama dari filsafat Barat.
Persoalan tentang keberadaan dihidupkan kembali oleh Heidegger setelah memudar
karena pengaruh tradisi metafisika dari Plato hingga Descartes, dan belakangan ini pada
Masa Pencerahan. Heidegger berusaha mendasarkan Ada di dalam waktu, dan dengan
demikian menemukan hakikat atau makna yang sesungguhnya dalam artian
kemampuannya untuk kita pahami.
Karya terpenting Heidegger adalah Being and Time (German Sein und Zeit, 1927).
Meskipun karya yang terbit hanyalah sepertiga dari total rencana keseluruhan
sebagaimana tampak dalam pengantarnya namun karya ini menunjukkan satu titik balik
dalam filsafat kontinental. Karya ini berpengaruh besar dan luas serta masih menjadi
salah satu karya yang paling banyak dibicarakan pada abad ke-20. Banyak paham filsafat,
seperti eksistensialisme dan dekonstruksi, yang berhutang banyak pada Being and Time.
Buku Being and Time memiliki dua proyek dasar. Yang pertama adalah proyek untuk
merumuskan cara baru dalam menafsirkan seluruh sejarah filsafat. Yang kedua adalah
klarifikasi konsep ada itu sendiri. Proyek yang kedua memang telah lama menjadi obsesi
pribadi Heidegger. Dalam bahasa teknis Heidegger, kedua proyek itu disebut juga
sebagai Ontological Analytic of Dasein as Laying Bare the Horizon for an Interpretation
of the Meaning of Being in General danDestroying the History of Ontology.
Menurut Heidegger seluruh sejarah metafisika dan ontologi di dalam filsafat barat
mengalami apa yang disebutnya kelupaan akan ada (forgetfulness of being). Para filsuf
berpikir bahwa ada itu tidak memiliki konsep yang konkret, dan juga bahwa ada hanya
bisa dipahami melalui pengada-pengada, seperti manusia, tuhan, konsep-konsep, dan
sebagainya. Cara berpikir ini sebenarnya sudah dimulai sejak Aristoteles. Bagi Aristoteles
segala sesuatu yang tidak memiliki kategori-kategori ada, seperti kualitas, kuantitas,
substansi, dan sebagainya, berarti tidak bisa diketahui. Maka dari itu seperti sudah ditulis
sebelumnya, Ada hanya dapat diketahui melalui benda-benda konkret di dalam realitas.
Heidegger juga tidak setuju dengan pandangan tradisional yang mengatakan bahwa
ada merupakan konsep yang independen dari pikiran manusia. Baginya inilah sebab
kebuntuan berbagai refleksi filsafat tentang ada di dalam sejarah, yakni ketika ada
dipandang sebagai obyek yang keberadaannya dapat dilepaskan dari manusia sebagai
sosok pengamat. Filsafat Descartes dan Kant, yang memang sangat berpusat pada subyek,
juga tidak mengurangi kesulitan di dalam memahami ada tersebut. Manusia seolah adalah

Scribd |
feika_5
subyek yang memandang dunia sebagai obyek secara berjarak. Jika manusia adalah
subyek yang terpisah dari dunia sebagai obyeknya, maka bagaimana ia bisa tahu
mengenai dunianya? Ini adalah salah satu tema penting di dalam epistemologi, yakni
refleksi filsafat pengetahuan.
Pertanyaan yang juga muncul dari argumen ini adalah, bagaimana kita bisa menjamin
kebenaran, jika pengetahuan hanya merupakan impresi dari subyek atas dunia? Kant
dengan filsafatnya hendak menjawab pertanyaan itu. Namun ia sendiri tampaknya masih
terjebak pada konsep benda-pada-dirinya-sendiri. Konsep ini seolah tidak bisa dipahami,
karena berada di luar pemahaman manusia. Jadi walaupun konsep benda-pada-dirinya-
sendiri tidak bisa diketahui, namun di dalam pemikiran Kant, konsep itu menempati peran
yang sangat penting di dalam proses pembentukan realitas itu sendiri. Dengan tidak
jelasnya konsep itu, bagi Heidegger, filsafat Kant belum secara radikal memberikan
terobosan di dalam ontologi dan metafisika.
Heidegger lebih jauh berpendapat, bahwa seluruh problem di dalam filsafat modern
muncul, karena terpisahnya subyek, yakni manusia, dari obyek, yakni dunia yang
dipersepsinya. Inilah yang disebut Heidegger sebagai ‘membelah dan menghancurkan
fenomena’ (splitting asunder of the phenomena). Keterpisahan subyek manusia dan dunia
obyektif yang dipersepsinya adalah penyebab utama dari begitu banyak problem di dalam
filsafat yang tidak terselesaikan secara tuntas. Heidegger juga menyebut sikap ini sebagai
sikap alamiah (natural way) yang mengisolasi obyek dari subyek, dan sebaliknya. Sikap
berjarak memang diperlukan, baik di dalam refleksi filsafat yang mendalam maupun di
dalam ilmu pengetahuan. Namun orang tetap harus ingat, bahwa sikap berjarak itu
sifatnya artifisial, yakni hanya untuk memperoleh pengetahuan dari satu sisi saja, dan
tidak dari keseluruhan aspek.
Menurut Heidegger, tema-tema eksistensi manusia antara lain:
 Eksistensi sebagai “milik pribadi” dan berada dalam waktu
 Ada-Dalam-Dunia
 “orang” (Das Man atau Manusia Impersonal)
 Suasana Hati dan Faktisitas
 Kecemasan dan Ketiadaan
 Kematian dan hati Nurani
 Keprihatinan dan Temporalitas
 Historitas
Scribd |
feika_5
4. Jean Paul Sartre
Jean-Paul Sartre (lahir di Paris, Perancis, 21 Juni 1905 – meninggal di Paris, 15 April
1980 pada umur 74 tahun) adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang
dianggap mengembangkan aliran eksistensialisme.Sartre menyatakan, eksistensi lebih
dulu ada dibanding esensi (L'existence précède l'essence). Manusia tidak memiliki apa-
apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-
komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, satu-satunya landasan
nilai adalah kebebasan manusia (L'homme est condamné à être libre).
Pada tahun 1964 ia diberi Hadiah Nobel Sastra, namun Jean-Paul Sartre menolak
dengan alasan akan mengurangi kebebasannya, dan enggan diidentikkan dengan kaum
borjuis serta kapitalis. Pada sekitar periode itu pula ia menjelma sebagai eksistensialis
nomor wahid, dan juru bicara humanisme yang paling depan. Pemikirannya membentangi
tema-tema susastra, politik, kemanusiaan, kebebasan, dan lainnya.
Ia meninggal dunia pada 15 April 1980 di sebuah rumah sakit di Broussais (Paris).
Upacara pemakamannya dihadiri kurang lebih 50.000 orang. Pasangannya adalah seorang
filsuf wanita bernama Simone de Beauvoir. Sartre banyak meninggalkan karya penulisan
diantaranya berjudul Being and Nothingness atau Ada dan Ketiadaan.
Dekade 60-an abad lalu menjadi milik Sartre. Saat itu dunia dilanda demam yang
membuat hampir tiap orang mengenal namanya, dan berbondong-bondong menahbiskan
diri mengikuti alur pikirannya. Mungkin inilah kali pertama filsafat menjadi sebuah gaya
hidup yang populer.
Masalah “Ada”
“Eksistensi mendahului esensi”, begitulah selalu filosof-filosof eksistensialis berkata,
”dan cara manusia bereksistensi berbeda dengan cara beradanya benda-benda. Karenanya
masalah “Ada” merupakan salah satu tema terpenting dalam tradisi eksistensialisme.
Bagi Sartre, manusia menyadari Ada-nya dengan meniadakan (mengobjekkan) yang
lainnya. Dari Edmund Husserl ia belajar tentang intensionalitas, yakni kesadaran manusia
yang tidak pernah timbul dengan sendirinya, namun selalu merupakan “kesadaran akan
sesuatu”. Baik kita ajukan contoh: Saat ini saya menyadari tengah duduk dalam sebuah
forum diskusi, bersama dengan orang lain, serta benda-benda lain, sekaligus menyadari
bahwa saya berbeda dengan orang lain, dan juga bukan sekedar benda. Saya meniadakan
(mengobjekkan orang dan benda lain). Begitulah kira-kira titik tolak filsafat Sartre.

Scribd |
feika_5
Untuk memperjelas masalah ini filosof bermata juling ini menciptakan dua buah
istilah; être-en-soi, dan être-pour-soi. Dengan ini pula ia membedakan cara ber-Adanya
manusia dengan cara beradanya benda-benda.
Benda-benda hadir di dunia setelah ditentukan lebih dulu identitas (esensi) nya,
sifatnya être-en-soi. Dengan sifatnya yang seperti ini benda-benda tidak mempunyai
potensi di luar konsepsi awalnya. Sebuah komputer sebelum dirakit, telah dikonsepsikan
sebagai alat mempermudah pekerjaan manusia. Karena itu ia tergeletak begitu saja tanpa
kesadaran, tak punya potensi untuk melampui keadaannya yang sekarang; eksistensinya
mampat karena esensinya mendahului eksistensi. Sementara manusia, dengan Ada yang
bersifat être-pour-soi, eksistensi yang mendahului esensi, selalu punya kapasitas untuk
melampaui dirinya saat ini, dan menyadari Ada-nya. Misalnya seorang yang esensinya
kita identifikasi sebagai pelajar, ketika ia lulus, maka esensinya sebagai pelajar menjadi
tidak relevan lagi. Atau bisa jadi, esok hari ia kedapatan mencuri, maka ia kembali
didefinisikan sebagai pencuri. Begitu seterusnya, sampai ia mati.
Salah satu keinginan manusia adalah meng-Ada sebagaimana keberadaan benda-
benda. Mempunyai identitas dan esensi yang pasti. Celakanya, manusia memiliki
kesadaran yang tak dimiliki benda-benda, karenanya mustahil bagi manusia untuk
mempertahankan esensinya terus menerus. Cara beradanya benda tak punya kaitan
dengan cara ber-Ada manusia. Sementara manusia sebaliknya, karena sifatnya
meniadakan terhadap hal lain, maka ia senantiasa berusaha untuk meniadakan orang dan
benda lain. Dari konsepsi inilah Sartre kemudian mendapatkan pendasaran logis terhadap
ateismenya.
Ateisme Sarte
Sudah kita bahas di atas tentang hubungan antara dua cara meng-Ada. Ada-nya benda,
tidak mempunyai kesadaran, tidak memiliki potensi, dan tak ada hubungannya dengan
Ada manusia yang dihayati lewat kesadaran, dan dengan cara meniadakan, atau
menjadikan yang lain sebagai benda.
Dalam konsepsi agama -misalnya Islam, Adam (manusia) diciptakan Tuhan dengan
mengemban tugas tertentu. Dalam bahasa Sartre sebelum ia bereksistensi, ia lebih dulu
direncanakan esensinya. Tapi pada kenyataannya pola esensi yang dimiliki manusia
adalah yang sifatnya penuh dengan potensi. Ia tak pernah bisa didefinisikan esensinya
hingga kematiannya. Selain itu, karakteristik dasar dari kesadaran manusia adalah
keterarahan kepada sesuatu (intensionalitas), sekaligus egois. Kontradiktif dengan

Scribd |
feika_5
konsepsi Tuhan sebagai penentu esensi manusia, atau dengan kata lain membuat manusia
menjadi benda.
Sebelum Sartre, dunia juga mengenal Friedrich Nietzsche, sang nihilis dari Prussia
yang kondang dengan frasanya; “Gott ist tot! Gott bleibt tot! Und wir haben ihn getotet.”
Bedanya, jika Nietzsche mengumumkan kematian Tuhan dengan tiba-tiba, maka Sartre
melakukannya dengan lebih dulu menunjukkan kerancuan logika mengenai keberadaan
Tuhan.
Kebebasan manusia
Pertanyaannya, eksistensialisme adalah tradisi filsafat antropologis, yang memusatkan
diri pada pertanyaan dan pernyataan tentang manusia. Lalu kenapa dua orang ini perlu
repot-repot untuk membunuh Tuhan?
Nietzsche dan Sartre punya jawaban yang hampir mirip; jika Tuhan telah mati, segala
nilai-nilai menjadi absurd; tak ada artinya. Karena telah kehilangan landasannya yang
suci. Maka manusia bebas untuk berkehendak; merdeka! Kebebasan bagi Sartre adalah
kata kunci dalam filsafatnya. Kebebasan bukanlah rahmat bagi manusia, kebebasan juga
bukanlah sebuah ciri yang membedakan manusia dengan yang lain, tapi manusia adalah
kebebasan itu sendiri. Dengan modus keberadaannya yang bersifat être-pour-soi, manusia
bebas untuk mewujudkan apa yang diinginkannya. Namun kebebasan manusia ini
sifatnya ambigu. Di satu sisi hal itu berarti ia berhak untuk mewujudkan kemanusiaannya
secara penuh, namun di sisi lain ia membuat kita merasakan kegelisahan. Karena itu
filusuf yang juga aktivis kemanusiaan ini pernah berkata dengan sebuah kalimat yang
provokatif; “manusia dikutuk dengan kebebasannya!”
Perasaan gelisah ini bagi Sartre merupakan ciri dari kebebasan. Kegelisahan ini
timbul dari beban tanggung jawab ketika menyadari bahwa Tuhan tak lagi relevan, dan ia
sepenuhnya bebas untuk berkehendak serta berlaku. Dalam merealisasikan kehendak dan
perbuatannya ini tak ada lagi landasan baginya, karena nilai-nilai ditentukan oleh dirinya
sendiri.
Sebuah alegori yang terkenal dari Sartre untuk menggambarkan kebebasan yang
menggelisahkan ini adalah tentang seseorang yang berdiri di tepi jurang yang tinggi dan
terjal. Menoleh ke bawah akan menimbulkan rasa cemas, karena membayangkan apa
yang akan terjadi. Semuanya tergantung pada diri sendiri, apakah akan terjun, atau
mundur untuk menyelamatkan diri. Tak ada orang yang menghalangi untuk terjun, segala

Scribd |
feika_5
yang kita perbuat akan kita pertanggungjawabkan sendiri. Masa depan saya seluruhnya
tergantung keputusan saya.
Orang lain adalah neraka bagi diri sendiri
Satu tema yang paling menarik dalam lika-liku pemikiran Sartre adalah tentang relasi
antar manusia. Karena kontroversinya, tema ini pula yang paling sering menjadi sasaran
dari para kritikusnya.
”Dosa asal saya” kata Sartre, ”adalah adanya orang lain”. Demikian kira-
menyimpulkan pandangan Sartre tentang hal ini. Bagi filusuf yang mengagumi ide-idenya
Karl Marx ini, hubungan antara aku dengan orang lain, senantiasa berdasarkan konflik.
Untuk membahas masalah ini kita harus mengingat kembali dua istilah yang diciptakan
oleh Sartre untuk menggambarkan modus ber-Ada; être-en-soi, dan être-pour-soi, karena
dari sini muasalnya asumsi Sartre. Mengingat doktrin tersebut, hakikat kesadaran manusia
adalah intensionalitas, yakni kesadaran terhadap sesuatu, sekaligus mengobjekkan segala
sesuatu. Sekarang bayangkan jika “Aku”, bertemu dengan “Aku-Aku” yang lain,
kesadaran yang menegasi, bertem dengan jenis yang sama.
Dalam hal ini Sartre mengajukan sebuah contoh yang sangat bagus dan terkenal; saya
sedang mengintip pada lubang kunci, ketika tiba-tiba mendengar langkah-langkah orang
di belakang yang telah memergoki saya. Ketika tengah mengintip, apa yang dilihat adalah
dunia yang berpusat pada saya, orang-orang yang tengah saya intip menjadi objek, dan
sayalah subjeknya. Sementara, ketika seseorang memergoki saya, mendadak sayalah yang
menjadi objek dalam kesadarannya. Mendadak saya didefinisikan (sebagai tukang
ngintip, mau tahu urusan orang, dll).
Bahkan menurutnya hubungan antara orang yang saling mencintai adalah relasi yang
didasarkan atas sikap saling memperdaya. “Aku berpura-pura menjadi objek cinta
pacarku, dan menyerahkan diri sepenuhnya. Padahal, sebenarnya akulah yang
mengobjekkan ia dan akulah subjeknya.”
Ada juga kemungkinan lain, misalnya ketika si A, B, dan C saling berselisih. Bisa jadi
si A, akan melupakan konfliknya dengan B untuk sementara, dan bersama-sama
menjadikan C sebagai objek. Begitulah filusuf ini menjelaskan bagaimana sebuah
perkumpulan atau organisasi bisa terbentuk.

5. Friedrich Nietzsche
Friedrich Nietzshe lahir di Rohen Jerman pada tanggal 15 Oktober tahun 1844, lahir
di Rocken, Prusia, Jerman Timur, di lingkungan keluarga Kristen yang taat. Ayahnya
Scribd |
feika_5
seorang pendeta Lutheran terkemuka dengan garis kependetaan yang terwaris dari turun
temurun dari keluarga ayahnya. Kakeknya adalah pedeta Gereja Lutheran yang
menduduki jabatan cukup tinggi, sementara ibunya juga seorang penganut Kristen yang
taat.
Nietzcshe menjadi anak yatim pada saat usianya 5 tahun, ibu, nenek, kakak-kakaknya
serta tantenya yang memelihara dan mendidiknya. Sehingga dia tumbuh seperti pendeta
cilik yang menghormati keteraturan, kerapihan dan kejujuran. Ia membenci teman-teman
yang nakal, suka mencuri serta merusak milik orang lain. Di Univiersitas ia terkenal
sebagai seorang peminat seni klasik dan mahasiswa filologi.
Usia 18 tahun, ia mulai kehilangan kepercayaannya pada agama Kristen dan mulai
mencari Tuhan dan kepercayaan baru. Sejalan dengan itu gaya hidupnya pun berubah
total, ia mulai hidup bebas, tidak beraturan, pesta pora, mabuk-mabukan dan memuaskan
hasrat seksualnya.
Beberapa waktu kemudian, ia kembali menjadi seorang agamis, yang mengatakan
bahwa orang yang minum bir dan menghisap tembakau tidak memiliki pangan yang
jernih dan pemikiran yang mendalam. Tahun 1865, ia membeli buku Schopenhauer, Die
Welt als Wille und Vorstellung (1818) atau The World as Will and Idea (Dunia sebagai
kehendak dan Ide). Buku ini memberikan semangat dan menghasilkan pemikiran
spektakuler. Usia 23 tahun, ia bergabung dengan tentara untuk ikut perang tapi karena
kesehatannya tidak mendukung ia kembali ke dunia ilmiah dan akademik.
Tahun 1869, usia 25 tahun, ia menjadi guru besar Filologi di Universitas Basel Swiss,
ia sangat mengagumi musikus Richard Wagner. Disini dia bersahabat dengan Richard
Wagner dan istrinya Cosima seorang komponis masyhur. Kemudian Nietzcshe
membencinya karena Wagner dianggap tetap menjunjung tinggi agama. Tahun 1879,
Nietzshe terpaksa pensiun karena sakit-sakitan lalu pindah ke Swiss. Sesudah itu, ia
menggelandang di Swiss, Italia, dan Prancis. Pada tahun 1889 ia sakit jiwa di Torino,
Italia lalu dipelihara oleh ibu dan kakaknya. Pada tahun 1900 ia meninggal setelah 10
tahun menderita sakit.
Filsafat Nietzsche banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh yang ia kagumi dan para
filsuf sebelum dirinya. Selain itu, Filsafatnya juga dipengaruhi oleh unsur filologis yang
berisi tentang Yunani. Hal ini dikarenakan oleh ketertarikannya terhadap filologi yang
bercerita tentang legenda-legenda Yunani. Dan juga Filsafat Nietzsche adalah filsafat cara
memandang 'kebenaran' atau dikenal dengan istilah filsafat perspektivisme. Nietzsche

Scribd |
feika_5
juga dikenal sebagai "sang pembunuh Tuhan" (dalam Also sprach Zarathustra). Ia
memprovokasi dan mengkritik kebudayaan Barat di zaman-nya (dengan peninjauan ulang
semua nilai dan tradisi atau Umwertung aller Werten) yang sebagian besar dipengaruhi
oleh pemikiran Plato dan tradisi kekristenan (keduanya mengacu kepada paradigma
kehidupan setelah kematian, sehingga menurutnya anti dan pesimis terhadap kehidupan).
Walaupun demikian dengan kematian Tuhan berikut paradigma kehidupan setelah
kematian tersebut, filosofi Nietzsche tidak menjadi sebuah filosofi nihilisme. Justru
sebaliknya yaitu sebuah filosofi untuk menaklukan nihilisme (Überwindung der
Nihilismus) dengan mencintai utuh kehidupan (Lebensbejahung), dan memposisikan
manusia sebagai manusia purna Übermensch dengan kehendak untuk berkuasa (der Wille
zur Macht).
Dalam filsafat Nietzsche dijelaskan bahwa hidup adalah penderitaan dan untuk
menghadapinya kita memerlukan seni. Seni yang dimaksud oleh Nietzsche ada dua jenis,
yaitu Apolline dan Dionysian. Sehingga Nitzsche mengagumi Richard Wagner yang ikut
mempengaruhi gaya filsafatnya. Oleh karena itu Nietzsche dikenal sebagai filsuf seniman
(Künstlerphilosoph) dan banyak mengilhami pelukis modern Eropa di awal abad ke-20,
seperti Franz Marc, Francis Bacon,dan Giorgio de Chirico, juga para penulis seperti
Robert Musil, dan Thomas Mann. Menurut Nietzsche kegiatan seni adalah kegiatan
metafisik yang memiliki kemampuan untuk me-transformasi-kan tragedi hidup.

1. Tuhan Sudah Mati (God is Dead)

Gilles Deleuze dalam bukunya, Filsafat Nietzcshe, 2002, mengemukakan bahwa


frasa Nietzcshe yang terkenal Tuhan telah mati dan dianggap sebagai bukti bahwa
Nietzcshe ateisme. Nietzcshe adalah seorang pemikir Jerman yang menyebut dirinya
sendiri sebagai seorang pemikir yang terlalu awal lahir sehingga pemikir-pemikir
tidak terkenal dan tidak dapat dipahami orang-orang dimasa hidupnya. Tuhan mati
dan yang membunuhnya adalah manusia sendiri. Konsep ini sebenanrnya tidak aneh,
karena memiliki persamaan dengan kematian Yesus.
"Gott ist tot! Gott bleib tot! Und wir haben ihn getotet!, lihat Aforisme No. 125:
95-96, Nietzcshe 1990: 181-182) "Tuhan sudah mati, Tuhan terus mati dan kita semua
telah membunuhnya".
Nietzcshe menganggap bahwa kepercayaan manusia Barat pad aTuhanlah yang
merupakan pangkal semua kemunduran dan taglid buta masyarakat. Dengan

Scribd |
feika_5
mematikan Tuhan, Nietzcshe berharap dapat menjadikan manusia sebagai manusia
unggul yang menentukan segalanya berdasarkan kemauannya sendiri. Setelah
membunuh Tuhan akan timbul kekosongan nilai-nilai universal yang berlaku, kondisi
kekosongan inilahyang disebut Nietzcshe dengan nihilisme. Untuk mengubah kondisi
kekosongan nilai-nilai itu diperlukan keberanian untuk menjadikan semua potensi dan
kemauan manusia untuk mengatasi semua keterbatasannya. Potensi dan semua
kemampuan manusia yang ada di dalam dirinya itulah yang disebut Nietzcshe dengan
Ubermensch. Kepercayaan pada Tuhan dalam pandangan Nietzcshe menunjukkan
kelemahan manusia itu.
2. Nihilisme
Nihilisme dapat diartikan sebagai ketiadaan makna serta penolakan pada nilai-
nilai absolut, karena itu yang ada adalah kekosongan nilai-nilai. "Nich ist wahr, alles
ist erlaubt" Tidak ada sesuatu yang benar, segalanya diperbolehkan (Genecollogy,
1996: 121) sehingga pernyataan dan pengakuan akan kebenaran dalam pandangan
Nietzcshe adalah palsu.
Dalam mengatasi nihilisme manusia harus menciptakan nilai-nilainya sendiri
dengan mengadakan pembalikan nilai-nilai (transvaluation of all values), pembalikan
nilai-nilai ini sebagai bukti kekuatan semnagat untuk menjadi manusia unggul.
Pemikiran Nietzsche bisa diringkaskan sebagai eksistensi manusia lama itu
nihilisme, maka mesti diperbaharui. Nihilisme merupakan paham pemikiran yang
menyatakan bahwa makna hidup manusia berakhir dalam ketanpaartian. Dalam
pemikiran Nietzsche paham ini dipuncakkan dengan menunjukkan nihilisme nilai-
nilai yang ada dan ia mewartakan nilai-nilai baru yang harus dihayati secara baru
dengan moral baru yang bertolak pada manusia eksistensial secara baru pula.
Jika ditelusuri, ada dua bentuk pemikiran dalam jalan pemikiran nihilisme
Nietzsche. Di satu pihak, pemikirannya bersifat merombak, mendobrak, dan
menghancurkan (una pars destruens). Di sini yang menonjol adalah pola pemikiran
untuk memusnahkan nilai-nilai kekal, absolut dengan seluruh wujud-wujudnya yang
diketahui terutama moral, agama, dan filsafat yang mendukung sistem nilai absolut
tersebut. Ia menyerangnya dengan sistematis dan garang. Di lain pihak pemikirannya
mempunyai pola membangun (una pars construens) yang meliputi uraian teori baru
tentang nilai-nilai lalu disusul konsepsi baru mengenai realitas (itu berarti konsepsi
vital dan dionisius).

Scribd |
feika_5
Dari empat buku pokoknya, tiga buku ditulis untuk pola yang pertama, yaitu
merombak nilai-nilai absolut dan satu buku untuk pola yang kedua, yaitu untuk
membangun dasar nilai-nilai baru. Seluruh karyanya berjudul Volontadi Potenza
(Kehendak untuk Berkuasa) atau Transvalutasi (Penggantian Semua Nilai). Ia
merencanakan membagi Transvalutasi dalam :
Buku I : Antichrist, sebagai usaha untuk mengritik habis-habisan Kristianisme.
Buku II : Roh yang Merdeka (Lo Spirito Libero), sebagai kritik terhadap filsafat
yang merupakan usaha yang nihil.
Buku III :The Immoralist, sebagai kritik terhadap moral yang merupakan
ketidaktahuan yang paling kekanak-kanakan.
Buku IV: Dionisius, sebagai sebuah filsafat tentang kembalinya keabadian.
3. Kembalinya Segala Sesuatu
Ada 2 konsep penting yang dikemukakan Nietzcshe melalui bukunya Thus Spake
Zarathustra, 1884 yaitu Kembalinya Segala Sesuatu (eternal recurrence of the same)
atau pengulangan abadi serta uberbermensch (overman, superman). Nietzcshe
menyatakan bahwa segala sesuatu pergi segala sesuatu datang kembali berputarlah
roda hakekat itu secara abadi. Konsep ini juga mengemukakan tentang alam yang
tidak berawal dan berakhir.
4. Ubermensch
Ubermensch adalah manusia super yang menentukan sendiri makna dan tujuan
hidupnya, sebagai pengganti manusia yang ditentukan oleh Tuhan yang sudah mati.
Ada istilah lain yang sama maksudnya dengan konsep ubermensch Nietzsche yaitu
der letzte mensch atau the last man atau manusia terakhir. Manusia unggul adalah
upaya untuk mencapai terus menerus keunggulan manusia.
Untuk dapat mencapai manusia super, manusia mesti melewati metamorfosis
ganda, yaitu:
a. metamorfosis pertama, akan mengubah eksistensi unta berbeban dan mudah taat
(yaitu manusia baik, rendah hati, tunduk, religius, moralis) menjadi singa yang
agresif (yaitu roh kebebasan, otonom, tuan pada diri sendiri, penentu mutlak
tindak-tanduk dan perbuatannya sendiri).
b. metamorfosis kedua, akan mengubah manusia dari singa yang ganas tadi menjadi
kanak-kanak murni yang selalu mengagumi dan mencintai realitas dalam semua
ungkapannya dan sisinya. Ia akan berseru gembira dan menyatu dengan hidup.

Scribd |
feika_5
Hidup yang dipunyai manusia super dalam wujudnya yang paling penuh pada saat
yang sama mempunyai pula hukum-hukumnya yang tegas yang oleh Nietzsche
diungkap dengan istilah eterno ritorno (pulang ke keabadian). Artinya semua yang
ada secara abadi kembali dan kita juga kembali. Kita sudah menyatu dengan semua
dan semua ke kita. Hadirlah tahun menjadi yang sama dengan sebuah roda putar.
Semua harus membalik lagi agar selalu dapat habis.
5. Skeptisisme Epistemologis
Nietzcshe berpendapat bahwa kebenaran adalah hasil konstruksi atau ciptaan
manusia sendiri, yang berjiwa bagi mereka untuk melestarikan diri sebagai spesis.
Pengetahuan dan kebearan sebagai perangkat yang efektif untuk mencapai tujuan
bukan entitas yang trasenden dari manusia. Kebenaran ilmiah tidak mungkin efektif
karena hasil konstruksi manusia dan selalau upaya melayani kepentingan dan tujuan
tertentu manusia.
6. Kritik Nietzcshe Terhadap Rasionalitas dan Kebenaran
Nietzsche tidak menghargai rasionalitas, bahkan mendekonstruksi rasionalitas dan
menghargai klaim-klaim dogmatisnya sendiri untuk meruntuhkan dasar-dasar
miliknya dan lebih banyak lebih baik wissenschaft atau kebudayaan.
Untuk mudahnya kita akan memulainya dengan melihat pars construensnya yang
merupakan konsep yang hidup tentang realitas. Dalam visinya, realitas itu muncul
sebagai ledakan dahsyat dari kekuatan hidup. Nietzsche menyebutnya sebagai
"sebuah kekuatan hebat tanpa awal dan tanpa akhir, sang keindahan yang
membebaskan diri dari kekuatan cinta dan kebencian, suka cita dan duka, keberanian
dan ketakutan, kebebasan dan ketundukan yang menyeruak keluar, yang
membebaskan diri secara dahsyat tanpa aturan, tanpa kontrol apa pun.

IV. PEMIKIRAN INTI


1. Realitas tertinggi merupakan suatu perspektif yang dibuat oleh pilihan manusia
2. Dunia diacuhkan, tak bermakna, absurd, tetapi kebebasan, yakni eksistensi manusia,
merupakan suatu probabilitas yang penuh makna dan transenden. Manusia membuat
dirinya sendiri (Sartre).
3. Eksistensi manusia merupakan suatu yang unik dalam dirinya, kontras terhadap
masyarakat dan alam secara umum. Esensi ditentukan oleh pilihan. Esensi tidak
dibangun, ditentukan dan dipastikan sebelumnya.

Scribd |
feika_5
4. Tujuan pendidikan menurut eksistensialisme :
 Memperbaiki keadaan manusia yang tanpa makna, utnuk memiliki tanggungjawab.
 Mendorong terhadap usaha kebebasan
 Menjadi diri sendiri atau kemungkinan untuk menuju keaslian
 Pengalaman terhadap kebenaran identik secara eksistensial
 Penekanan pada kesesuaian personal seseorang dengan tindakannya daripada sekadar
intelektualitas
 Lebih bersifat humanistik daripada sainstifik.
5. Kebenaran bersifat eksistensial daripada proporsional atau faktual. Seperti halnya
pragmatisme, kebenaran itu diciptakan, tidak ditemukan atau hidup (eksis), tidak
dipikirkan, kontekstual dan relatif, tidak universal, tidak absolut, subyektif dan parsial.
Pengetahuan juga tidak bersifat instrumental/praktis. Pengetahuan lebih merupakan
sebuah keadaan dan kecenderungan seseorang.

Jadi, manusia itu bebas dalam menentukan pilihan dalam hidupnya. Pilihan yang dipilihnya
tentu saja ada konsekuensi dan mungkin konsekuensinya itu buruk. Di saat seperti inilah
manusia yang bebas harus berjuang dalam hidupnya dengan disiplin dan tanggung jawab
terhadap apa yang ia lakukan. Eksistensialisme menganggap aturan-aturan tradisional dan di
dalam masyarakat sebagai tindakan yang sewenang-wenang. Begitu juga dengan nilai-nilai
sosial dan kontrol struktur individu. Eksistensialisme juga menganggap kekayaan,
kesenangan ataupun kehormatan tidak menjamin hidup yang baik. Begitu pula dengan ilmu
pengetahuan yang dianggap tidak dapat menjamin semua akan berjalan lebih baik.

V. KAITAN EKSISTENSIALISME DENGAN HAKIKAT MANUSIA

 Kaitan Eksistensialisme dengan hakikat manusia sebagai makhluk individu


Manusia sebagai makhluk individu memiliki hak untuk hidup, merdeka, dan
milik.Menurut Allport, sebagai makhluk individu maka manusia memiliki sifat unik
yang hanya dimiliki oleh dirinya sendiri, berdiri sendiri, dan bersifat otonom. Dari
penjelasan-penjelasan ini dapat terlihat dengan jelas bahwa hakikat manusia sangat
sesuai dengan filsafat eksistensialisme. Eksistensialisme yang mendukung kebebasan
manusia sesuai dengan hak manusia untuk bebas hidup dan tinggal dimana saja sesuai
keinginannya. Sebagai makhluk individu, terkadang manusia berpikir dirinya adalah

Scribd |
feika_5
pusat dunia. Ia adalah subjek dari setiap peristiwa yang terjadi. Pemikiran ini sangat
didukung oleh pendukung eksistensialisme. Jadi dapat terlihat eksistensialisme
mendukung dan berkaitan erat dengan hakikat manusia sebagai makhluk individu.
 Kaitan Eksistensialisme dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial
Manusia sebagai makhluk sosial harus dapat bertoleransi untuk dapat menjalin
kehidupan yang harmoni dengan sesamanya, orang-orang yang berada di sekitarnya.
Hal ini menyebabkan manusia harus belajar untuk dapat menghormati keinginan
orang lain yang berarti manusia harus bisa menekan sifat egonya. Eksistensialisme
masih dapat berlaku dalam hal ini. Manusia dapat menentukan pilihannya secara
bebas, sesuai pemikiran inti eksistensialisme, akan tetapi manusia harus ingat bahwa
setiap pilihan itu ada konsekuensinya. Jika manusia ingin semua keinginannya dituruti
maka ia tidak akan dihormati oleh orang-orang di sekitarnya. Jadi menurut penulis,
eksistensialisme masih dapat berpengaruh pada hakikat manusia sebagai makhluk
sosial, akan tetapi kebebasan yang dimiliki tersebut akan dipengaruhi oleh
konsekuensi-konsekuensinya yang tidak bersifat mengikat hanya saja akan menjadi
faktor pertimbangan dalam menentukan pilihan.
 Kaitan Eksistensialisme dengan hakikat manusia sebagai makhluk ekonomi
Sebagai makhluk ekonomi, manusia akan selalu mencoba mereduksi martabat
manusia yang hanya sekadar alat prosuksi dan hanya bermanfaat demi kepentingan
kaum kapitalis serta mengkapitalisasi segala sumber daya dari sisi ekonomi. Dari hal
ini terlihat bahwa manusia tidak ingin terkekang oleh kaum kapitalis. Manusia ingin
bebas dalam mengelola ekonominya. Hal ini sesuai dengan eksistensialisme yang
tidak mau menurut begitu saja, tetapi harus berjuang untuk mendapatkan
kebebasannya.

VI. KOMENTAR
Berdasarkan apa yang saya pahami di dalam filsafat ada istilah esensia dan eksistensia.
Esensia itu membuat benda, tumbuhan, binatang dan manusia. Oleh esensia, sosok dari segala
yang ada mendapatkan bentuknya. Misalnya, oleh esensia, kursi menjadi kursi, pohon
mangga menjadi pohon mangga, harimau menjadi harimau, dan manusia menjadi manusia.
Namun, dengan esensia saja, segala yang ada belum tentu berada. Kita dapat membayangkan
kursi, pohon mangga, harimau, atau manusia. Namun, belum pasti apakah semua itu

Scribd |
feika_5
sungguh-sungguh ada, sungguh-sungguh tampil, sungguh-sungguh hadir. Di sinilah peran
eksistensia.

Eksistensia membuat yang ada dan bersosok jelas bentuknya, mampu berada atau eksis. Oleh
eksistensia kursi dapat berada di tempat. Pohon mangga dapat tertanam, tumbuh,
berkembang. Harimau dapat hidup dan merajai hutan. Manusia dapat hidup, bekerja,
berbakti, dan membentuk kelompok bersama manusia lain. Selama masih bereksistensia,
segala yang ada dapat ada, hidup, tampil, hadir. Namun, ketika eksistensia meninggalkannya,
segala yang ada menjadi tidak ada, tidak hidup, tidak tampil, tidak hadir. Kursi lenyap. Pohon
mangga menjadi kayu mangga. Harimau menjadi bangkai. Manusia mati. Demikianlah
penting peranan eksistensia. Olehnya, segalanya dapat nyata ada, hidup, tampil, dan berperan.
Tanpa eksistensia, segala sesuatu tidak nyata adanya, apalagi hidup dan berperan.

Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menekankan eksistensia. Para pengamat


eksistensialisme tidak mempersoalkan esensia dari segala yang ada. Karena memang sudah
ada dan tak ada persoalan. Kursi adalah kursi. Pohon mangga adalah pohon mangga. Harimau
adalah harimau. Manusia adalah manusia. Namun, mereka mempersoalkan bagaimana segala
yang ada berada dan untuk apa berada. Oleh karena itu, mereka menyibukkan diri dengan
pemikiran tentang eksistensia. Dengan mencari cara berada dan eksis yang sesuai, esensia
pun akan ikut terpengaruhi. Dengan pengolahan eksistensia secara tepat, segala yang ada
bukan hanya berada, tetapi berada dalam keadaan optimal. Untuk manusia, ini berarti bahwa
dia tidak sekadar berada dan eksis, tetapi berada dan eksis dalam kondisi ideal sesuai dengan
kemungkinaan yang dapat dicapai. Dalam kerangka pemikiran itu, menurut kaum
eksistensialis, hidup ini terbuka. Nilai hidup yang paling tinggi adalah kemerdekaan. Dengan
kemerdekaan itu, keterbukaan hidup dapat ditanggapi secara baik. Segala sesuatu yang
menghambat, mengurangi, atau meniadakan kemerdekaan harus dilawan. Tata tertib,
peraturan, hukum harus disesuaikan atau bila perlu dihapus dan ditiadakan. Karena adanya
tata tertib, peraturan, dan hukum dengan sendirinya sudah tidak sesuai dengan hidup yang
terbuka dan hakikat kemerdekaan. Semua itu membuat orang terlalu melihat ke belakang dan
mengaburkan masa depan, sekaligus membuat praktik kemerdekaan menjadi tidak leluasa
lagi.

Dalam hal etika, karena hidup ini terbuka, kaum eksistensialis memegang kemerdekaan

Scribd |
feika_5
sebagai norma. Bagi mereka, manusia mampu menjadi seoptimal mungkin. Untuk
menyelesaikan proyek hidup itu, kemerdekaan mutlak diperlukan. Berdasarkan dan atas
norma kemerdekaan, mereka berbuat apa saja yang dianggap mendukung penyelesaian
proyek hidup. Sementara itu, segala tata tertib, peraturan, hukum tidak menjadi bahan
pertimbangan. Karena adanya saja sudah mengurangi kemerdekaan dan isinya menghalangi
pencapaian cita-cita proyek hidup. Sebagai ganti tata-tertib, peraturan, dan hukum, mereka
berpegang pada tanggung jawab pribadi. Mereka tak mempedulikan segala peraturan dan
hukum, dan tidak mengambil pusing akan sanksi-sanksinya. Yang mereka pegang adalah
tanggung jawab pribadi dan siap menanggung segala konsekuensi yang datang dari
masyarakat, negara, atau lembaga agama. Satu-satunya hal yang diperhatikan adalah situasi.
Dalam menghadapi perkara untuk menyelesaikan proyek hidup dalam situasi tertentu,
pertanyaan pokok mereka adalah apa yang paling baik yang menurut pertimbangan dan
tanggung jawab pribadi seharusnya dilakukan dalam situasi itu. Yang baik adalah yang baik
menurut pertimbangan norma mereka, bukan berdasarkan perkaranya dan norma masyarakat,
negara, atau agama.

Kelebihan etika eksistensialis adalah pandangan tentang hidup, sikap dalam hidup,
penghargaan atas peran situasi, penglihatannya tentang masa depan. Berbeda dengan orang
lain yang berpikiran bahwa hidup ini sudah selesai, yang harus diterima seperti adanya, dan
tak perlu diubah, etika eksistensialis berpendapat bahwa hidup ini belum selesai, tidak harus
diterima sebagai adanya, dan dapat diubah, bahkan harus diubah. Ini berlaku untuk hidup
manusia sebagai pribadi, masyarakat, bangsa, dan dunia seanteronya. Dalam arti itulah hidup
dimengerti sebagai proyek. Orang yang memandang hidup sebagai sudah selesai, mempunyai
sikap pasrah dan "menerima", sementara kaum eksistensialis yang memahami hidup sebagai
belum selesai mempunyai sikap berusaha dan berjuang. Hidup ini perlu dan harus diperbaiki.
Faktor penting untuk perbaikan hidup itu adalah tanggung jawab. Setiap orang harus
bertanggungjawab atas hidupnya dan dengan sungguh-sungguh berupaya untuk
mengembangkannya. Bagi orang yang merasa hidup sudah jadi, situasi hidup menjadi sama
saja. Tidak ada situasi penting, mendesak, atau genting. Karena hidup selalu berjalan normal.
Namun, bagi kaum eksistensialis yang memahami hidup belum selesai, setiap situasi
membawa akibat untuk kemajuan kehidupan. Oleh karena itu, setiap situasi perlu
dikendalikan, dimanfaatkan, diarahkan sehingga menjadi keuntungan bagi kemajuan hidup.
Akhirnya, bagi orang yang menerima hidup sudah sampai titik dan puncak kesempurnaannya,

Scribd |
feika_5
masa depan tidak amat berperan karena masa depan pun keadaannya akan sama saja dengan
masa yang ada sekarang. Namun, bagi kaum eksistensialis yang belum puas dengan hidup
yang ada dan yang merasa perlu untuk mengubahnya, masa depan merupakan faktor yang
penting. Karena hanya dengan adanya masa depan itu, perbaikan hidup dimungkinkan dan
pada masa depan pula hidup baik itu terwujud. Dengan demikian, gaya hidup kaum
eksistensialis menjadi serius, dinamis, penuh usaha, dan optimis menuju ke masa depan.

Ada beberapa kelemahan etika eksistensialis. Pertama, etika eksistensialis terperosok ke


dalam pendirian yang individualistis. Dengan pendirian itu, dibawah nama melaksanakan
proyek hidup, bisa-bisa para pengikut aliran eksistensialis hanya mencari dan mengejar
kepentingan diri. Karena yang baik ditentukan sendiri, bukan berdasarkan norma, maka yang
dianggap baik bukanlah kebaikan sejati, melainkan baik menurut dan bagi diri mereka
sendiri. Cara memandang kebaikan yang individualistis itu dapat merugikan sesama,
masyarakat dan dunia.

Kedua, dengan mengabaikan tata tertib, peraturan, hukum, kaum eksistensialis menjadi
manusia yang anti-sosial. Tidak dapat disangkal bahwa ada norma masyarakat yang sudah
usang. Namun, menyatakan segala norma tak berlaku sungguh melawan akal sehat. Karena
norma masyarakat merupakan hasil perjalanan pencarian yang tidak begitu saja mudah
ditiadakan. Jika tidak dapat dipergunakan sepenuhnya, paling sedikit masih dapat bermanfaat
sebagai bahan pertimbangan dan titik tolak pencarian nilai hidup lebih lanjut. Kecuali itu,
sikap para penganut aliran eksistensialis yang asosial merugikan usaha perbaikan hidup dan
dunia. Karena usaha itu merupakan usaha raksasa sehingga tidak dapat diselesaikan secara
perorangan, melainkan harus digarap bersama seluruh masyarakat.

Ketiga, dengan mengambil sikap bebas merdeka, kaum eksistensialis memandang


kemerdekaan sebagai tidak terbatas. Padahal, dalam hidup ini tidak ada kemerdekaan yang
tanpa batas. Karena dalam perwujudannya selalu akan dibatasi. Pembatasan itu berasal dari si
pelaksana sendiri dan masyarakat. Seberapa "hebat"-nya manusia, tidak mungkinlah dia
mampu mewujudkan kemerdekaannya secara penuh. Pembatasan juga datang dari
masyarakat. Selama orang hidup dakam masyarakat, pelaksanaan kemerdekaan akan selalu
dibatasi oleh pelaksanaan kebebasan orang lain. Mau tidak mau, dalam hidup masyarakat
orang harus mau "memberi" dan "menerima", alias berkompromi.

Scribd |
feika_5
Keempat, kaum eksistensialis amat memperhitungkan situasi. Namun, situasi itu mudah
goyah. Kelemahan ini masih diperkuat oleh sikap individualistis yang dipegang kaum
eksistensialis. Bila orang bersandar pada situasi dan diri sendiri saja, pandangannya menjadi
terbatas, lingkup perbuatannya dipersempit, dan pendiriannya rapuh. Begitulah, etika
eksistensialis memiliki unsur-unsur kebaikan yang positif. Namun, bila tak mengurangi dan
melepaskan kelemahan-kelemahannya, eksistensialisme akan melemahkan arti dan
sumbangan-sumbangannya yang memang berharga.

Kekurangan-kekurangan yang ada membuat filsafat eksistensialisme memiliki banyak celah


untuk dipertanyakan. Salah satu akibatnya adalah berkembangnya aliran strukturalisme.
Berdasarkan pemahaman saya strukturalisme adalah aliran filsafat dimana tingkah laku
manusianya dilihat berdasarkan struktur. Dengan kata lain, manusia itu tidak bebas.

SUMBER PUSTAKA

Abidin, Zainal. 2000. “Filsafat Manusia”. Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Tafsir, Ahmad. 2000. “Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra”. Bandung :
PT Remaja Rosdakarya

Wiramihardja, Sutardjo A. 2006. “Pengantar Filsafat”. Bandung : PT Refika Aditama

----------------.2002. “Analisis Eksistensial Untuk Psikologi dan Psikiatri”. Penyunting: Drs.


Zainal Abidin, M.Si. Bandung : PT Refika Aditama

http://www.allaboutphilosophy.org/existentialism-definition-faq.htm diakses tanggal 4 Juni 2010


pukul 20.05

http://biokristi.sabda.org/soren_kierkegaard_filsuf_eksistensialis_yang_menantang_gereja diakses
tanggal 4 Juni 2010 pukul 21.35

http://id.wikipedia.org/wiki/Eksistensialisme diakses tanggal 4 Juni 2010 pukul 19.40

http://kacajendela.wordpress.com/2008/11/12/risalah-%E2%80%9Cada%E2%80%9D-kebebasan-
manusia-dan-ateisme-jean-paul-sartre/ diakses tanggal 4 Juni 2010 pukul 22.20

http://koleksikemalaatmojo.blogspot.com/2008/07/philosophy-of-karl-jasper.html diakses tanggal 4


Juni 2010 pukul 22.30

Scribd |
feika_5
http://leuwiliang-bogor.blogspot.com/2009/10/friedrich-nietzsche.html diakses tanggal 4 Juni 2010
pukul 23.05

http://plato.stanford.edu/entries/existentialism/ diakses tanggal 4 Juni 2010 pukul 20.05

http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php diakses tanggal 5 Juni 2010 pukul 15.30

http://qym7882.blogspot.com/2009/04/hakikat-manusia-dan-pengembangannya.html diakses tanggal


5 Juni 2010 pukul 17.20

http://rezaantonius.multiply.com/journal/item/239 diakses tanggal 4 Juni 2010 pukul 22.50

http://www.scribd.com/doc/19676208/EKSISTENSIALISME-DALAM-FILSAFAT diunduh tanggal


4 Juni 2010 pukul 20.10

http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/07/01/eksistensialisme/ diakses tanggal 4 Juni 2010 pukul 19.45

Scribd |
feika_5

You might also like