You are on page 1of 3

PEMBERDAYAAN

KECERDASAN SPIRITUALITAS SEJAK BALITA


Oleh : Fitriyati, S.Psi, M.Si1

1. Pendahuluan
Agama diyakini oleh semua orang merupakan solusi yang paling jitu dalam
penyelesaian masalah kehidupan. Agama dapat memperluas horizon dan visi manusia,
menciptakan konteks transcendental untuk memecahkan persoalan baik secara individual
maupun kolektif. Unsur terapeutik agama pun sudah diakui beberapa ahli sejak lama,
seperti Jersild (1999) yang mengatakan bahwa agama dapat meningkatkan rasa aman.
Penelitian Adi (1988) menemukan keteraturan menjalankan shalat berkorelasi negative
dengan kecemasan pada remaja. Namun di sisi lain ditemui berbagai kasus kenakalan
remaja, white colar crime yang justru dilakukan oleh mereka yang hidup dalam lingkungan
agamis. Perzinahan yang dilakukan oleh mahasiswa IAIN, KKN (kolusi, korupsi dan
nepotisme) yang dilakukan para politisi dari wakil organisasi Islam. Hal ini menunjukkan
adanya suatu kesalahan dalam pengajaran agama sehingga agama tidak mampu melakukan
fungsinya sebagai rahmatan lil alamin.

2. Pola Asuh Spiritualistis/ Spiritual Parenting


Secara bahasa spirit artinya roh, jiwa, sukma, batin, semangat atau kehangatan.
Spiritualitas adalah kepercayaan akan adanya kekuatan non fisik yang lebih besar dari
manusia, suatu kesadaran yang menghubungkan manusia langsung dengan Tuhan atau
figure lain yang diyakini sebagai kekuatan supranatural. Dengan pengertian tersebut maka
spiritualitas lebih luas maknanya daripada definisi agama.
Anak-anak adalah spiritualitas alami, oleh karena itu judul di atas menggunakan
istilah pemberdayaan bukan pengajaran atau penanaman. Spiritualitas merupakan potensi
dasar pada diri manusia bahkan inti kepribadian. Agama itu fitrah, sementara selama ini
ditangkap sbg seperangkat aturan dan kepercayaan yang dibebankan secara eksternal.

1
Disampaikan dalam diskusi dosen fakultas Ushuludin IAIN Walisongo Semarang pada tanggal
7 juni 2007 di Laboratorium fakultas Ushuludin IAIN Walisongo Semarang

Di poskan oleh tim kreatif Mahasiswa Tasawuf Psikoterapi IAIN Walisongo Semarang
tasawufpsikoterapi@gmail.com || tasawuf-psikoterapi.blogspot.com
Seharusnya keberagamaan ditumbuhkan dalam jiwa. Agama tidak dipahami segi
spiritualnya. roh manusia adalah agama itu sendiri. Pengetahuan tentang Tuhan diperoleh
manusia melalui fitrah-Nya yaitu dengan itu ma’rifat terhadap diri sendiri dan mengamati
semesta alam (man arofa nafsahu faqod arofa rabbahu). Dengan demikian manusia akan
mendapat manfaat dari bukti dan dalil (ayat kauliah dan kauniah).
Spiritualitas alami pada anak seringkali pudar atau terkikis karena lingkungan yang
tidak kondusif. Kondisi masyarakat yang hampa nilai, system pendidikan yang materialistic,
menempatkan prestasi intelektual secara tidak proporsional. Spiritualitas adalah dasar bagi
tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral dan rasa memiliki. Spiritualitas memberi arah dan
arti pada kehidupan. Apakah pendidikan agama tidak cukup untuk membangun spiritualitas
anak ? Pendidikan agama biasanya telah diformalkan, lebih menekankan pada ritus-ritus,
syariat-syariat dan tradisi yang lebih menekankan pada ibadah social dan kurang
menekankan pada inner-self atau ‘dunia dalam’ anak atau dimensi penghayatan dalam
keberagamaan (Glock & Stark, 1988).
Hal yang terpenting dalam pemberdayaan spiritualitas pada anak adalah membantu
menyadarkan anak sedini mungkin bahwa mereka adalah ciptaan Tuhan dan bagian dari
keseluruhan alam semesta. Pemberdayaan spiritualitas anak adalah pekerjaan yang sangat
mudah dan tidak memerlukan pengetahuan khusus. Tugas ini alami. Orang tua yang penuh
pengertian dan penuh kasih sayang pada anak-anaknya adalah modal yang dibutuhkan
untuk menjadi orang tua yang berjiwa spiritual. Dengan merawat visi, pengalaman, sensasi
dan impian alami anak maka spiritual mereka akan tumbuh dan berkembang.
Pemberdayaan spiritual ini dapat dimulai sedini mungkin bahkan sebelum anak dapat
berbicara. Inti dari pemberdayaan spiritual adalah mengenalkan Tuhan dan merasakan
kehadiran-Nya dalam setiap aspek kehidupan. Ijinkan anak memiliki binatang peliharaan,
ajari mereka menyayangi dan merawatnya, memelihara tanaman, membuang sampah pada
tempatnya, menjaga keseimbangan alam, dan semua bagian dari pembiasaan yang akan
membuat anak menyadari bahwa ia bagian dari alam semesta ini. Penggunaan kata-kata
yang baik, memberikan dorongan dan keyakinan positif dan orang tua juga harus menjadi
cermin positif bagi anak atau suri tauladan dari semua tingkah laku spiritual. Saat anak
bertambah umur, maka perlu dilakukan diskusi tentang konsep Tuhan. Jawaban yang aneh,
polos, unik tetap harus didengarkan dan dihormati. Membiarkan anak mengucapkan doa
dengan versinya sendiri akan melatih anak mengetahui kehendak mereka sehingga anak
terlatih untuk membuat keputusan atas beragam pilihan yang ada.

Di poskan oleh tim kreatif Mahasiswa Tasawuf Psikoterapi IAIN Walisongo Semarang
tasawufpsikoterapi@gmail.com || tasawuf-psikoterapi.blogspot.com
Secara psikologis pola asuh spiritualistis atau spiritual parenting ini akan
membantu menanamkan nilai-nilai luhur seperti kejujuran, keadilan, kasih, kesetiaan,
tanggung jawab, dan toleransi. Anak menjadi lebih peka, halus, peduli dan menghargai
orang. Mereka akan merasakan setiap hari adalah berkah, menikmati hidup dengan
semangat dan gairah karena mereka mempunyai visi yang mereka ciptakan sendiri. Laa
ikraha fid diin, ayat ini mengandung pengertian bahwa gharizah tadayyun itu
kecenderungan inheren yg perlu difasilitasi (pemberdayaan) bukan dikondisioningkan
(pengajaran). Kami (Allah) hendak menguatkan hatimu dg cara jalanilah kefitrahanmu dulu
baru jalankan perintah agama. Berdayakan rasa keagamaan/ ketaqwaan yg berupa ilham
bukan perintah/ pengaruh eksternal yaitu orang mengalami sendiri/ merasakan bukan
membuat/ merekayasa hatinya supaya bergetar jika disebut nama Allah (experience bukan
al amr dan nahyu). Dengan demikian anak akan senantiasa jujur dengan diri sendiri dan
tidak bersikap social desirability dalam berperilaku agamis sehingga pemahaman dan
penghayatan terhadap ajaran agama dapat tercapai. Perlu dicatat bahwa sebuah
pemahaman tidak dapat diukur dengan kemampuan menjelaskan, namun demikian tracer-
nya dapat dilihat dalam bentuk perilaku yang begitu mengakar.

Referensi
Julaihah, E; 2004, Spiritual Parenting. Curiosita. Jakarta
Sangkan, Abu, 2005, Berguru kepada Allah, Patrap. Jakarta

Di poskan oleh tim kreatif Mahasiswa Tasawuf Psikoterapi IAIN Walisongo Semarang
tasawufpsikoterapi@gmail.com || tasawuf-psikoterapi.blogspot.com

You might also like