You are on page 1of 17

ASAS PROPORSIONALITAS

DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL


Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Hukum Humaniter

Disusun Oleh :
Oktagape Lukas
B2A004179

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2007
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1

1.1.Latar Belakang...........................................................................................1

1.2.Pokok Permasalahan..................................................................................3

BAB II ASAS PROPORSIONALITAS DAN DISTINCTION PRINCIPLE

DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL………...............................4

2.1.Distinction Principle Sebagai Bagian Dari Hukum Humaniter

Internasional.....................................................................................................4

2.2. Pengertian dan Pembatasan Asas Proporsionalitas..............................8


BAB III PENERAPAN :ASAS PROPORSIONALITAS KEDUDUKAN

FASILITAS SIPIL UNTUK TUJUAN MILITER….…………………………….11

BAB IV PENUTUP....................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pada dasarnya, tujuan utama perang adalah mengalahkan musuh secepatnya
dengan cara seefisien mungkin melalui aksi militer. Namun peperangan tidak boleh
dilakukan secara serampangan oleh para pihak yang terlibat didalamnya. Peperangan
mesti dilakukan dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan prinsip-prinsip
kelayakan lain yang berlaku. Inilah yang diatur lewat hukum humaniter. Pada
dasarnya hukum humaniter mengatur mengenai dua hal paling mendasar. Yaitu
pertama tentang tentang Ius ad bellum atau hukum tentang perang dan kedua tentang
ius ad bello atau hukum yang berlaku dalam perang.
Lebih jauh, dalam US Army Field Manual of Law of Landwarfare disebutkan
tujuan utama hukum humaniter yaitu1:
1. Melindungi baik kombatan maupun non-kombatan dari penderitaan yang
tak perlu.
2. Menjamin hak asasi tertentu dari orang yang jatuh ke tangan musuh.
3. Memungkinkan dikembalikannya perdamaian.
4. Membatasi kekuasaan pihak yang berperang
Untuk melaksanakan tujuannya ini maka salah satu hal paling penting yang mesti
ditentukan adalah mengariskan pembedaan antara kombatan yang aktif dalam
pertempuran dan non-kombatan yang wajib dilindungi. Pembagian ini harus
dilakukan karena dua kelompok besar ini masing-masing memiliki priviliges-duties-
disabilities yang berbeda. Prinsip pembagian ini kemudian disebut sebagai distinction
principle.
Pada prakteknya sendiri, distinction principle tidak dapat diberlakukan secara
mudah. Banyak faktor dalam peperangan yang menyulitkan kita untuk menentukan
secara tepat yang mana yang termasuk dalam kelompok kombatan dan mana yang
termasuk dalam kelompok non-kombatan. Segala sesuatu tidak hitam putih. Selalu
ada wilayah abu-abu dimana batas antara kombatan dan non-kombatan menjadi semu.
Inilah yang kemudian memunculkan asas proporsionalitas yang dalam praktiknya
merupakan satu bagian dengan distinction principle.

1
Prof. KGPH Haryo mataram; Pengantar Hukum Humaniter; Penerbit RajaGrafindo Persada-
Jakarta
Salah satu isu yang hangat berkenaan mengenai hal ini adalah invasi Israel ke
Libanon dan Jalur Gaza pada pada awal 2006.2 Kasus serangan ini diawali oleh
penculikan 2 tentara Israel oleh Milisi Hamas dan Fatah yang bermarkas di Libanon.
Aksi ini kemudian dilanjutkan dengan serangan roket membabi buta oleh Milisi
Hamas yang bermarkas di Libanon Selatan ke wilayah utara Israel. Aksi Militan
palestina ini kemudian dianggap sebagai act of war dan menyebabkan Israel
melakukan ofensif besar-besaran terhadap Milisi Hamas dan Fatah. Namun yang
menjadi masalah, para Milisi Fatah dan Hamas memiliki basis yang berintegrasi
dengan penduduk sipil. Markas komando mereka sering kali ditempatkan di tengah
pemukiman padat, bahkan serangan roket pun dilakukan dari tengah komplek
pemukiman sipil.
Akibatnya serangan Israel terhadap Kelompok Militan Palestina ini sering kali
berdampak pada masyarakat sipil dan non-kombatan yang semestinya dilindungi.
Aksi Israel melakukan pemboman terhadap kompleks perumahan dan pemukiman
padat yang menjadi basis peluncuran roket Hamas memakan banyak korban jiwa tidak
hanya dari milisi hamas sendiri, tapi juga dari penduduk sipil tak berdosa. Selain itu,
tindakan Israel memutus jalur listrik dan air ke pemukiman serta melakukan blockade
dengan menyerang pelabuhan, jembatan dan berbagai fasilitas sipil lainnya untuk
mengisolasi kelompok militant Hamas dan Fatah malah juga berdampak buruk pada
penduduk sipil dan menimbulkan kecaman internasional.
Sekjen PBB Kofi Annan mengutuk serangan Israel itu yang dianggap sebagai
pengunaan kekuatan militer secara serampangan (disproportionate use of force). Aksi
Israel dianggap sebagai penyimpangan terhadap Konvensi Jenewa 1949. Memang
dalam perang wajib dibedakan antara kombatan dan non-kombatan, fasilitas sipil dan
fasilitas militer sesuai distinction principle.
Masalahnya Ofensif Israel pada tahun 2006 ini bukan perang konvensional.
Banyak fasilitas public yang diserang Israel juga digunakan oleh Hamas dan fatah
untuk menyerang Israel. Akibatnya distinction principle menjadi kabur. Israel sendiri
menganggap bahwa tindakannya sebagai suatu bentuk act of self preservation dan
tidak menyalahi asas proporsionalitas. Sebab walaupun target serangan adalah
fasilitas sipil dan menimbulkan korban jiwa sipil, namun fasilitas sipil itu dianggap

2
Lionel Beehner; Israel and the Doctrine of Proportionality
memiliki nilai militer yang membahayakan bagi Israel, dan korban sipil sulit dihindari
dan dianggap sebagai kerusakan sampingan (collateral damage).

1.2. Pokok Permasalahan


Tulisan ini tidak akan secara khusus membahas tentang Ofensif Israel ke
Libanon pada thaun 2006. Tulisan ini akan membahas secara umum mengenai
distinction principle, dan secara khusus tentang asas proporsionalitas. Kita mesti
menyadari bahwa dua hal ini sulit dipisahkan dalam prakteknya.
Inilah yang akan menjadi topik pembahasan kita. Pokok permasalahan yang
akan dibahas dalam masalah ini meliputi:
1. Apa yang dimaksud dengan asas proporsionalitas?
2. Bagaimana menentukan apakah satu aksi militer merupakan pelanggaran
terhadap asas proporsionalitas atau tidak?
3. Bagaimana kedudukan fasilitas sipil yang digunakan untuk tujuan militer
dalam perang?
Dari pembahasan mengenai pokok permasalahan akan dapat kita tarik kesimpulan dan
saran yang akan berguna sebagai salah satu dasar bagi pembelajaran Hukum
Humaniter.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Distinction Principle Sebagai Bagian Dari Hukum Humaniter Internasional


Dalam praktik memang kita ketahui bahwa Distinction principle secara jelas
membedakan antara kombatan dan non-kombatan. Antara fasilitas yang digunakan
untuk tujuan sipil dan fasilitas yang digunakan untuk tujuan militer. Siapa yang boleh
menjadi obyek kekerasan dan siapa yang wajib dilindungi, sesuai definisi masing
masing yang diatur dalam Konvensi-Konvensi Hukum Humaniter serta Protokol-
Protokol yang menyertainya.
Dalam penjelasan Palang Merah Internasional (ICRC) atas Konvensi Jenewa
1949 Tentang Perlindungan Orang-Orang Sipil Pada Waktu Perang pada pasal 4 ayat
4 menegaskan bahwa:
“[e]very person in enemy hands must have some status under international
law: he is either a prisoner of war and, as such, covered by the Third
Convention, a civilian covered by the Fourth Convention, or again, a member
of the medical personnel of the armed forces who is covered by the First
Convention. There is no intermediate status; nobody in enemy hands can be
outside the law. We feel that this is a satisfactory solution – not only satisfying
to the mind, but also, and above all, satisfactory from the humanitarian point
of view."3
Disini kita ketahui bahwa dalam perang semua pihak harus memiliki status yang jelas.
Dalam penjelasan selanjutnya, Palang Merah Internasional menegaskan bahwa
penduduk sipil yang bukan anggota militer, namun terlibat aktif dalam permusuhan,
maka mereka tidak dapat dianggap sebagai non-kombatan.
Pengertian kombatan sendiri telah diatur pada Pasal 4 Konvensi Jenewa 1949
yang menyebutkan bahwa seseorang sudah dapat dikategorikan sebagai kombatan dan
terikat pada hukum dan kebiasaan perang (lawful combatant) yang terdiri atas4:

3
The relevance of IHL in the context of terrorism official statement by the ICRC 21 July 2005
4
Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War;—
http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/91.htm
A. Prisoners of war, in the sense of the present Convention, are persons
belonging to one of the following categories, who have fallen into the power of
the enemy:
1. Members of the armed forces of a Party to the conflict as well as members
of militias or volunteer corps forming part of such armed forces.
2. Members of other militias and members of other volunteer corps, including
those of organized resistance movements, belonging to a Party to the conflict
and operating in or outside their own territory, even if this territory is
occupied, provided that such militias or volunteer corps, including such
organized resistance movements, fulfil the following conditions:
(a) That of being commanded by a person responsible for his subordinates;
(b) That of having a fixed distinctive sign recognizable at a distance;
(c) That of carrying arms openly;
(d) That of conducting their operations in accordance with the laws and
customs of war.
3. Members of regular armed forces who profess allegiance to a government
or an authority not recognized by the Detaining Power.
4. Persons who accompany the armed forces without actually being members
thereof, such as civilian members of military aircraft crews, war
correspondents, supply contractors, members of labour units or of services
responsible for the welfare of the armed forces, provided that they have
received authorization from the armed forces which they accompany, who
shall provide them for that purpose with an identity card similar to the
annexed model.
5. Members of crews, including masters, pilots and apprentices, of the
merchant marine and the crews of civil aircraft of the Parties to the conflict,
who do not benefit by more favourable treatment under any other provisions
of international law.
6. Inhabitants of a non-occupied territory, who on the approach of the enemy
spontaneously take up arms to resist the invading forces, without having had
time to form themselves into regular armed units, provided they carry arms
openly and respect the laws and customs of war.
(pasal 4(A) Konvensi Jenewa 1949)
Dari sini kita dapat ketahui bahwa kombatan adalah orang yang memnuhi
kriteria sebagai berikut:
1. Anggota angkatan bersenjata regular yang aktif dalam dinas kemiliteran
negara yang terlibat dalam konflik.
2. Anggota milisi, sukarelawan dan gerakan perlawanan yang teroganisir, yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) Dipimpin oleh komandan yang bertanggung jawab pada bawahannya.
b) Memiliki simbol tetap yang dapat dikenali
c) Secara terbuka mengunakan senjata
d) Beroperasi dan tunduk pada hukum dan kebiasaan perang.
3. Orang sipil yang mendampingi anggota angkatan bersenjata dalam bertugas.
Termasuk didalamnya orang sipil yang bertugas untuk kepentingan militer,
contohnya wartawan perang, kru sipil dalam kapal perang, dsb.
4. Kru dari kapal dan pesawat sipil dari negara yang terlibat dalam konflik,
bilamana tidak ada hukum lain yang melindungi mereka.
5. Massa/penduduk suatu wilayah yang mengangkat senjata untuk membela diri
dari serbuan musuh tanpa sempat membentuk unit militer yang teroganisir.
Dalam praktiknya di lapangan, sangat sulit membedakan antara penduduk sipil
dan milisi. Seringkali dalam konflik bersenjata, karena sifat khusus dari situasi dan
strategi yang digunakan tidak memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 4
Konvensi Jenewa 1949. Contohnya adalah gerilyawan HAMAS yang mengunakan
pakaian sipil dan membaur dengan kerumunan sipil dalam beraksi. Pertanyaannya
apakah mereka dapat digolongkan sebagai kombatan atau mereka tetap digolongkan
sebagai penduduk sipil?
Dalam kasus seperti ini, diatur bahwa selain dalam Pasal 4 Konvensi Jenewa
1949, kriteria kombatan juga diatur dalam Protokol I Konvensi Jenewa 1949 atau
"Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to
the Protection of Victims of International Armed Conflicts", dimana kriteria
Kombatan meliputi5:
44.3. In order to promote the protection of the civilian population from the
effects of hostilities, combatants are obliged to distinguish themselves from the
civilian population while they are engaged in an attack or in a military
operation preparatory to an attack. Recognizing, however, that there are
situations in armed conflicts where, owing to the nature of the hostilities an
armed combatant cannot so distinguish himself, he shall retain his status as a
combatant, provided that, in such situations, he carries his arms openly:
( a ) During each military engagement, and
( b ) During such time as he is visible to the adversary while he is engaged in
a military deployment preceding the launching of an attack in which he is to
participate.

5
Wikipedia; Unlawful combatant— http://en.wikipedia.org/wiki/Unlawful_combatant
(Pasal 44 Ayat 3 Protokol I Konvensi Jenewa 1949)
Dari sini kita ketahui bahwa seseorang dapat dikategorikan sebagai kombatan apabila
ia secara terang-terangan memegang senjata dalam pertempuran.
Lebih lanjut mengenai kombatan yang tidak jelas statusnya, diatur dalam Pasal
5 Konvensi Jenewa 1949 yang mengariskan6:
...
Should any doubt arise as to whether persons, having committed a belligerent
act and having fallen into the hands of the enemy, belong to any of the
categories enumerated in Article 4, such persons shall enjoy the protection of
the present Convention until such time as their status has been determined by
a competent tribunal.
(Pasal 5 Konvensi Jenewa1949)
Dengan adanya pasal ini, maka digariskan bahwa jika seseorang tidak dapat
dipastikan statusnya sebagai kombatan atau bukan, maka ia wajib diperlakukan
sebagai tawanan perang hingga adanya kejelasan status yang diputuskan lewat
Peradilan yang kompeten.
Maka dari sini dapat kita jabarkan bahwa orang yang dikategorikan sebagai
non-kombatan adalah orang yang tidak termasuk dalam kategori kombatan yang
dijelaskan diatas. Termasuk didalamnya warga sipil yang wajib dilindungi dalam
perang.
Selanjutnya juga diatur mengenai obyek militer yang dapat dijadikan target
serangan. Pengaturannya dapat ditemui dalam Protokol tambahan I Konvensi Jenewa
Pasal 52 ayat 2 yang menyatakan bahwa
“Attacks shall be strictly limited to those objects which by their nature,
location, purpose or use make an effective contribution to military action and
whose total or partial destruction, capture or neutralization, in the
circumstances ruling at the time, offers a definite military advantage.”
Disini dinyatakan jelas bahwa obyek militer adalah obyek yang digunakan untuk
kepentingan militer dan memiliki fungsi militer efektif, hingga segala usaha
menghancurkan, menawan atau menetralkannya akan memberi keunggulan militer.
Dari penjelasan tentang distinction principle diatas muncul masalah.
Bagaimana dengan korban jiwa sipil dan non-kombatan yang jatuh dalam serangan
militer. Bagaimana dengan obyek sipil yang hancur. Kita memang tahu bahwa
tindakan itu dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum humaniter. Namun
bagaimana bila hal itu tidak dapat dihindari dalam prakteknya di medan perang?

6
Wikipedia; Unlawful combatant— http://en.wikipedia.org/wiki/Unlawful_combatant
2.2. Pengertian dan Pembatasan Asas Proporsionalitas
Asas proporsionalitas ditujukan agar perang atau penggunaan senjata tidak
menimbulkan korban, kerusakan dan penderitaan yang berlebihan yang tidak
berkaitan dengan tujuan-tujuan militer (the unnecessary suffering principles).
Terutama dalam hal ini kerusakan-kerusakan fisik yang berlebihan dan tidak perlu
terhadap obyek-obyek non-militer dan non-kombatan.
Untuk menentukan apakah suatu “unnecessary sufferings” muncul atau tidak
dalam suatu perang, terutama dalam hal ini terhadap fasilitas sipil dan non-kombatan,
maka dapat kita kaitkan dengan konsep Military Necessity yang menentukan bahwa
suatu tindakan militer layak dilakukan atau tidak. Militery Necessity meliputi7:
1. Lawful combatants can only use such force as is reasonably necessary to
achieve a military objective.
2. The use of such force cannot be prohibited by LOAC
3. The use of such force must result in the least expenditure of life and
damage to property, as is possible under the prevailing circumstances
4. The force used is regulated by the user.
Dari sini dapat kita ketahui bahwa Military Necessity memberi batas tentang adanya
unnecessary sufferings atau tidak.
Dalam Protokol 1 Konvensi Jenewa Pasal 51 ayat 5 huruf (b) dijelaskan
bahwa dalam konteks perlindungan terhadap non-kombatan, serangan yang dilarang
adalah termasuk segala jenis serangan yang: ”...which may be expected to cause
incidental loss of civilian life ...which would be excessive in relation to the concrete
and direct military advantage anticipated”. Dari sini kita ketahui bahwa military
necessity telah dilanggar dan terjadi unnecessary sufferings yang bertentangan dengan
asas proporsionalitas apa bila keunggulan militer yang dicapai tidak berimbang
(proporsional) dengan korban dan kerusakan yang ditimbulkan, terutama dalam hal ini
terhadap obyek sipil.
Maka asas proporsionalitas dapat didefinisikan sebagai prinsip bahwa
serangan militer dapat yang menimbulkan korban non-kombatan dan non-militer
dapat dilegalkan apabila keunggulan militer yang diperoleh keunggulan militer yang

7
Royal Australian Air Force; Operations Law For RAAF Commanders
diperoleh lebih besar dan signifikan dibanding kerugian yang timbul. Tidak ada
korban dan kerusakan berlebihan yang melanggar military necessity.
Selanjutnya mengenai asas proporsionalitas dalam prakteknya ditengah
peperangan, ditegaskan kembali dalam Legal Opinion dari Luis Moreno-Ocampo,
Jaksa Penuntut International Criminal Court mengenai kasus sangkaan kejahatan
perang dalam serangan militer Amerika ke Irak pada tahun 2003. Dalam Legal
Opinion-nya, Moreno-Ocampo menyatakan bahwa:
Under international humanitarian law and the Rome Statute, the death of
civilians during an armed conflict, no matter how grave and regrettable, does
not in itself constitute a war crime. International humanitarian law and the
Rome Statute permit belligerents to carry out proportionate attacks against
military objectives,[1] even when it is known that some civilian deaths or
injuries will occur. A crime occurs if there is an intentional attack directed
against civilians (principle of distinction) (Article 8(2)(b)(i)) or an attack is
launched on a military objective in the knowledge that the incidental civilian
injuries would be clearly excessive in relation to the anticipated military
advantage (principle of proportionality) (Article 8(2)(b)(iv).

Article 8(2)(b)(iv) criminalizes:


Intentionally launching an attack in the knowledge that such attack will cause
incidental loss of life or injury to civilians or damage to civilian objects or
widespread, long-term and severe damage to the natural environment which
would be clearly excessive in relation to the concrete and direct overall
military advantage anticipated;

Article 8(2)(b)(iv) draws on the principles in Article 51(5)(b) of the 1977


Additional Protocol I to the 1949 Geneva Conventions, but restricts the
criminal prohibition to cases that are "clearly" excessive. The application of
Article 8(2)(b)(iv) requires, inter alia, an assessment of:
(a) the anticipated civilian damage or injury;
(b) the anticipated military advantage;
(c) and whether (a) was "clearly excessive" in relation to (b).

– Luis Moreno-Ocampo8
Dari sini kita ketahui bahwa dalam prakteknya, serangan terhadap obyek sipil
dan non-kombatan dapat diijinkan apabila memang tak dapat dihindari. Kejahatan
perang baru terjadi apabila serangan itu secara sengaja diarahkan ke target sipil tanpa

8
Luis Moreno-Ocampo; OTP letter to senders re Iraq 9 February 2006 dapat diperoleh pada
http://www.icc cpi.int/library/organs/otp/OTP_letter_to_senders_re_Iraq_9_February_2006.pdf
ada keuntungan militer atau serangan itu tetap dilakukan walaupun sebelumnya telah
diketahui akan timbul dampak kerusakan yang berlebihan dan tak perlu.
Menurut studi yang dilakukan oleh ahli dari ICRC, dalam praktek
penerapannya, ada beberapa aturan tak tertulis yang berlaku saat dilakukan serangan
atas obyek sipil. Pelaksanaan aturan ini menjadi barometer apakah serangan itu
bersifat serampangan atau tidak, yang kemudian dapat menjadi patokan apakah asas
proporsionalitas dipatuhi. Aturan itu meliputi antara lain9:
Rule 7. The parties to the conflict must at all times distinguish between civilian
objects and military objectives. Attacks may only be directed against military
objectives.
Rule 8. Insofar as objects are concerned, military objectives are limited to
those objects which by their nature, location, purpose or use make an effective
contribution to military action and whose partial or total destruction, capture
or neutralisation, in the circumstances ruling at the time, offers a definite
military advantage.
* * *
Rule 11. Indiscriminate attacks are prohibited.
Rule 12. Indiscriminate attacks are those [which] . . . are of a nature to strike
military objectives and civilians or civilian objects without distinction.
Rule 13. Attacks by bombardment by any method or means which treats as a
single military objective a number of clearly separated and distinct military
objectives located in a city, town, village or other area containing a similar
concentration of civilians or civilian objects are prohibited.
Rule 14. Launching an attack which may be expected to cause incidental loss
of civilian life, injury to civilians, damage to civilian objects, or a combination
thereof, which would be excessive in relation to the concrete and direct
military advantage anticipated, is prohibited.

2.3.Penerapan Asas Proporsionalitas dalam Kedudukan Fasilitas Sipil Untuk


Tujuan Militer
Telah dijelaskan dalam pendahuluan bahwa pada ofensif Israel ke Libanon
pada awal 2006, Militan Hamas dan Fatah mengunakan obyek-obyek sipil sebagai
basis serangan mereka ke Israel. Obyek sipil ini termasuk fasilitas umum seperti
perumahan, rumah sakit, sekolah dan tempat umum lainnya. Padahal dalam
prakteknya berdasar hukum humaniter baik yang tertulis maupun kebiasaan, serangan

9
Jean-Marie Henckaerts & Louise Doswald-Beck, Customary International Humanitarian Law,
Vol. 1: Rules (2005).
terhadap obyek sipil jelas dilarang. Namun hal ini mesti dilakukan sebagai tindakan
untuk mencapai keunggulan militer. Maka bagaimana cara penyelesaiannya?
Dalam kasus seperti ini, maka serangan tersebut dapat dilakukan dengan
tunduk pada asas proporsionalitas. Memang, pada dasarnya bangunan pemukiman dan
fasilitas umum lainnya merupakan obyek sipil. Namun jika kita lihat definisi obyek
militer pada Protokol I Konvensi Jenewa Pasal 52 ayat 2, dijelaskan bahwa segala
bentuk bangunan yang memiliki fungsi militer secara efektif dan digunakan untuk
tujuan militer merupakan obyek militer dan dapat diserang.
Dalam penjelasan palang Merah Internasional atas Protokol I Konvensi
Jenewa ini dijelaskan bahwa: “[M]ost civilian objects can become useful objects to
the armed forces. Thus, for example, a school or a hotel is a civilian object, but if they
are used to accommodate troops or headquarters staff, they become military
objectives.” Namun dalam pasal 52 ayat 3 ada pengecualian bahwa jika suatu
bangunan atau fasilitas diragukan fungsinya apakah ia merupakan obyek sipil atau
digunakan sebagai maka haruslah diasumsikan bahwa bangunan tersebut adalah
obyek sipil dan tidak boleh diserang. Suatu fasilitas sipil hanya boleh diserang apabila
telah jelas dan tegas bahwa fasilitas itu digunakan untuk kepentingan militer hingga
dapat dianggap bukan lagi obyek sipil.
Diluar itu semua, rumah sakit merupakan obyek sipil yang memperoleh
perlindungan khusus berdasar Pasal 18 Ayat 1 Konvensi Jenewa 1949 mengenai
Perlindungan Orang Sipil Pada Masa Perang menyatakan bahwa “[hospital]... may in
no circumstances be the object of attack, but shall at all times be respected and
protected by the Parties to the Conflict.”
Selanjutnya dalam Pasal 19 dijelaskan bahwa Rumah sakit dapat kehilangan
status istimewanya jika mereka “…used to commit, outside their humanitarian duties,
acts harmful to the enemy.” Rumah sakit yang dilindungi adalah rumah sakit yang
berdasar ketentuan Pasal 18 ayat 1 memenuhi syarat tertentu yaitu: “must have the
staff (including the administrative staff) and the equipment required to fulfill its
purpose. It must be organized to give hospital care… The capacity of the
establishment cannot be used as a criterion for deciding whether or not it is a civilian
hospital.”
Berdasar pasal 19, perlindungan istimewa itu musnah setelah:
1. Peringatan langsung untuk menghentikan segala bentuk kekerasan telah
diberikan pada rumah sakit
2. Tenggat waktu yg diberikan untuk menanggapi peringatan dan menghentikan
serangan telah habis
3. Peringatan tidak ditanggapi.
Apabila serangan terhadap obyek sipil dilakukan maka serangan itu haruslah sesuai
dengan asas proporsionalitas yang mengariskan bahwa serangan itu tidak dilakukan
berlebihan dan serampangan serta berimbang dengan keunggulan militer yang
diperoleh. Apabila serangan itu dianggap melanggar atau dapat melanggar ketentuan
Pasal 51 Protokol I Konvensi Jenewa yang menyatakan bahwa:
“attack which may be expected to cause incidental loss of civilian life, injury
to civilians, damage to civilian objects, or a combination thereof, which would
be excessive in relation to the concrete and direct military advantage
anticipated.”
Maka serangan itu tidak boleh dilakukan karena dianggap serampangan dan tidak
berimbang dengan hasil yang diperoleh.10

10
Humanitarian Law Research Initiative; What is the status of hospitals, schools or places of
worship if militants or insurgents are operating from within them?
BAB IV
KESIMPULAN

Dalam prakteknya, memang jatuhnya korban sipil sulit dihindari dalam


peperangan, terutama ketika perang itu bukan lagi melibatkan antara Negara melawan
Negara namun Negara melawan kelompok bukan Negara (Non-State Party) seperti
Israel melawan milisi Hamas dan Fatah pada tahun 2006. Namun bukan pula berarti
jatuhnya korban sipil dibiarkan begitu saja. Disinilah asas proporsionalitas berlaku.
Tujuan utama asas proporsionalitas adalah agar perang atau penggunaan senjata tidak
menimbulkan korban, kerusakan dan penderitaan yang berlebihan yang tidak
berkaitan dengan tujuan-tujuan militer (the unnecessary suffering principles).
Terutama dalam hal ini kerusakan-kerusakan fisik yang berlebihan dan tidak perlu
terhadap obyek-obyek non-militer dan non-kombatan.
Asas proporsionalitas didasarkan pada Pasal Pasal 51 Protokol I Konvensi
Jenewa yang menyatakan bahwa:
“attack which may be expected to cause incidental loss of civilian life, injury
to civilians, damage to civilian objects, or a combination thereof, which would
be excessive in relation to the concrete and direct military advantage
anticipated.”
Dari sini asas proporsionalitas dapat didefinisikan sebagai prinsip bahwa serangan
militer dapat yang menimbulkan korban non-kombatan dan non-militer dapat
dilegalkan apabila keunggulan militer yang diperoleh lebih besar dan signifikan
dibanding kerugian yang timbul. Tidak ada korban dan kerusakan berlebihan yang
melanggar military necessity.
Dari pasal tersebut pula dapat kita ketahui bahwa serangan itu tidak boleh
bersifat serampangan serta secara sengaja diarahkan ke target sipil tanpa ada
keuntungan militer dilakukan walaupun sebelumnya telah diketahui akan timbul
dampak kerusakan yang berlebihan dan tak perlu. Dalam pelaksanaannya didasarkan
pada hukum kebiasaan perang tak tertulis dan bergantung pada keputusan komando.
Asas proporsionalitas ini kemudian dapat diterapkan dalam kasus seperti
pengunaan obyek sipil seperti fasilitas umum untuk tujuan militer. Apakah hal itu
dapat dilakukan? Jawabnya hal itu dapat dilakukan sebab apabila kita menilik kembali
pengertian obyek militer yang dapat diserang, maka kita mengacu pada Protokol
tambahan I Konvensi Jenewa Pasal 52 ayat 2 yang menyatakan bahwa:
“Attacks shall be strictly limited to those objects which by their nature,
location, purpose or use make an effective contribution to military action and
whose total or partial destruction, capture or neutralization, in the
circumstances ruling at the time, offers a definite military advantage.”
Dari situ dapat kita ketahui bahwa obyek sipil yang digunakan untuk tujuan militer
dapat diserang. Namun penyerang terhadap obyek sipil dibatasi, antara lain dengan
mengharuskan bahwa obyek sipil yang akan diserang itu benar-benar secara tegas dan
nyata digunakan untuk kepentingan militer. Apabila ada keraguan mengenai status
obyek sipil itu, maka serangan tidak boleh dilakukan.
Penyerangan itu sendiri harus secara tegas memperhatikan asas
proporsionalitas dengan artian korban dan kerusakan yang ditimbulkan harus
proporsional dengan keunggulan militer yang diperoleh. Proporsional dalam artian
bahwa keunggulan militer lebih signifikan dibanding kerugian yang timbul.
DAFTAR PUSTAKA

1. Prof. KGPH Haryo mataram; Pengantar Hukum Humaniter--Penerbit


RajaGrafindo Persada-Jakarta
2. Lionel Beehner; Israel and the Doctrine of Proportionality—diambil dari
CFR.org
3. ICRC; The relevance of IHL in the context of terrorism 21 July 2005
4. Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War;— dapat
diperoleh dari http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/91.htm
5. Wikipedia; Unlawful combatant— artikel ini dapat diperoleh dari
http://en.wikipedia.org/wiki/Unlawful_combatant
6. Royal Australian Air Force; Operations Law For RAAF Commanders
7. Luis Moreno-Ocampo; OTP letter to senders re Iraq 9 February 2006 -- dapat
diperoleh pada
http://www.icccpi.int/library/organs/otp/OTP_letter_to_senders_re_Iraq_9_Fe
bruary_2006.pdf
8. Jean-Marie Henckaerts & Louise Doswald-Beck, Customary International
Humanitarian Law, Vol. 1: Rules (2005).
9. Humanitarian Law Research Initiative; What is the status of hospitals, schools
or places of worship if militants or insurgents are operating from within them?
--Harvard Program on Humanitarian Policy and Conflict Research
International

You might also like