You are on page 1of 7

Bayi Tabung

SOAL :

Banyak pasangan suami istri yang sudah bertahun-tahun menikah tetapi belum dikaruniai anak.
Mereka pun gelisah. Usia sudah semakin tua, tetapi belum mempunyai anak. Lantas, siapakah
yang akan merawat di hari tua? Kegelisahan ini sedikit tertolong dengan munculnya teknologi
bayi tabung. Apakah teknologi ini bisa dibenarkan dari kacamata syariat?

JAWAB :

Proses pembuahan dengan metode bayi tabung antara sel sperma suami dengan sel telur isteri,
sesungguhnya merupakan upaya medis untuk memungkinkan sampainya sel sperma suami ke sel
telur isteri. Sel sperma tersebut kemudian akan membuahi sel telur bukan pada tempatnya yang
alami. Sel telur yang telah dibuahi ini kemudian diletakkan pada rahim isteri dengan suatu cara
tertentu sehingga kehamilan akan terjadi secara alamiah di dalamnya.

Pada dasarnya pembuahan yang alami terjadi dalam rahim melalui cara yang alami pula
(hubungan seksual), sesuai dengan fitrah yang telah ditetapkan Allah untuk manusia. Akan tetapi
pembuahan alami ini terkadang sulit terwujud, misalnya karena rusaknya atau tertutupnya
saluran indung telur (tuba Fallopii) yang membawa sel telur ke rahim, serta tidak dapat diatasi
dengan cara membukanya atau mengobatinya. Atau karena sel sperma suami lemah atau tidak
mampu menjangkau rahim isteri untuk bertemu dengan sel telur, serta tidak dapat diatasi dengan
cara memperkuat sel sperma tersebut, atau mengupayakan sampainya sel sperma ke rahim isteri
agar bertemu dengan sel telur di sana. Semua ini akan meniadakan kelahiran dan menghambat
suami isteri untuk berbanyak anak. Padahal Islam telah menganjurkan dan mendorong hal
tersebut dan kaum muslimin pun telah disunnahkan melakukannya.

Kesulitan tersebut dapat diatasi dengan suatu upaya medis agar pembuahan –antara sel sperma
suami dengan sel telur isteri– dapat terjadi di luar tempatnya yang alami. Setelah sel sperma
suami dapat sampai dan membuahi sel telur isteri dalam suatu wadah yang mempunyai kondisi
mirip dengan kondisi alami rahim, maka sel telur yang telah terbuahi itu lalu diletakkan pada
tempatnya yang alami, yakni rahim isteri. Dengan demikian kehamilan alami diharapkan dapat
terjadi dan selanjutnya akan dapat dilahirkan bayi secara normal.

Proses seperti ini merupakan upaya medis untuk mengatasi kesulitan yang ada, dan hukumnya
boleh (ja’iz) menurut syara’. Sebab upaya tersebut adalah upaya untuk mewujudkan apa yang
disunnahkan oleh Islam, yaitu kelahiran dan berbanyak anak, yang merupakan salah satu tujuan
dasar dari suatu pernikahan. Diriwayatkan dari Anas RA bahwa Nabi SAW telah bersabda :

“Menikahlah kalian dengan perempuan yang penyayang dan subur (peranak), sebab
sesungguhnya aku akan berbangga di hadapan para nabi dengan banyaknya jumlah kalian pada
Hari Kiamat nanti.” (HR. Ahmad)

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA bahwa Rasulullah saw telah bersabda :
“Menikahlah kalian dengan wanita-wanita yang subur (peranak) karena sesungguhnya aku
akan membanggakan (banyaknya) kalian pada Hari Kiamat nanti.”(HR. Ahmad)

Dengan demikian jika upaya pengobatan untuk mengusahakan pembuahan dan kelahiran alami
telah dilakukan dan ternyata tidak berhasil, maka dimungkinkan untuk mengusahakan terjadinya
pembuahan di luar tenpatnya yang alami. Kemudian sel telur yang telah terbuahi oleh sel sperma
suami dikembalikan ke tempatnya yang alami di dalam rahim isteri agar terjadi kehamilan alami.
Proses ini dibolehkan oleh Islam, sebab berobat hukumnya sunnah (mandub) dan di samping itu
proses tersebut akan dapat mewujudkan apa yang disunnahkan oleh Islam, yaitu terjadinya
kelahiran dan berbanyak anak.

Pada dasarnya, upaya untuk mengusahakan terjadinya pembuahan yang tidak alami tersebut
hendaknya tidak ditempuh, kecuali setelah tidak mungkin lagi mengusahakan terjadinya
pembuahan alami dalam rahim isteri, antara sel sperma suami dengan sel telur isterinya.

Dalam proses pembuahan buatan dalam cawan untuk menghasilkan kelahiran tersebut,
disyaratkan sel sperma harus milik suami dan sel telur harus milik isteri. Dan sel telur isteri yang
telah terbuahi oleh sel sperma suami dalam cawan, harus diletakkan pada rahim isteri.

Hukumnya haram bila sel telur isteri yang telah terbuahi diletakkan dalam rahim perempuan lain
yang bukan isteri, atau apa yang disebut sebagai “ibu pengganti” (surrogate mother). Begitu pula
haram hukumnya bila proses dalam pembuahan buatan tersebut terjadi antara sel sperma suami
dengan sel telur bukan isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam
rahim isteri. Demikian pula haram hukumnya bila proses pembuahan tersebut terjadi antara sel
sperma bukan suami dengan sel telur isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya
diletakkan dalam rahim isteri.

Ketiga bentuk proses di atas tidak dibenarkan oleh hukum Islam, sebab akan menimbulkan
pencampuradukan dan penghilangan nasab, yang telah diharamkan oleh ajaran Islam.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa dia telah mendengar Rasulullah SAW bersabda
ketika turun ayat li’an :

“Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum nasab (seseorang) yang bukan
dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan mendapat apa pun dari Allah dan Allah tidak akan
pernah memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa saja laki-laki yang mengingkari anaknya
sendiri padahal dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah akan tertutup darinya dan Allah akan
membeberkan perbuatannya itu di hadapan orang-orang yang terdahulu dan kemudian (pada
Hari Kiamat nanti).” (HR. Ad Darimi)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :

“Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang
budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah,
para malaikat, dan seluruh manusia.” (HR. Ibnu Majah)
Ketiga bentuk proses di atas mirip dengan kehamilan dan kelahiran melalui perzinaan, hanya saja
di dalam prosesnya tidak terjadi penetrasi penis ke dalam vagina. Oleh karena itu laki-laki dan
perempuan yang menjalani proses tersebut tidak dijatuhi sanksi bagi pezina (hadduz zina), akan
tetapi dijatuhi sanksi berupa ta’zir*, yang besarnya diserahkan kepada kebijaksaan hakim
(qadli).

———–

*ta’zir adalah sanksi syar’i terhadap suatu perbuatan maksiat yang tidak ada had (ketentuan jenis
dan kadar sanksi) dan kaffarah (tebusan) padanya.

Jawaban dikutip dari :

Abdul Qadim Zallum

Hukmu Asy Syar’i fi Al Istinsakh, Naqlul A’dlaa’, Al Ijhadl, Athfaalul Anabib, Ajhizatul In’asy
Ath Thibbiyah, Al Hayah wal Maut

Penerbit : Darul Ummah, Beirut, Libanon, Cetakan I, 1418/1997, 48 hal.

Penerjemah : Sigit Purnawan Jati, S.Si.

Penyunting : Muhammad Shiddiq Al Jawi

Inseminasi Buatan ( Bayi


Tabung )
Ditulis Oleh DR. Ahmad Zain An-Najah, M.A
Wednesday, 20 May 2009
Bayi Tabung merupakan salah satu masalah kontemporer dan aktual yang masih banyak
dipertanyakan status hukumnya, sehingga perlu ada penjelasan secukupnya. Bayi tabung ini
mencuat ke permukaan karena adanya keinginan dari banyak pasangan suami istri karena satu hal
dan yang lainnya, tidak bisa mempunyai keturunan, sedang mereka sangat merindukannya, dan
bayi tabung ini adalah salah satu alternatif yang bisa ditempuh untuk mewujdkan impian mereka
tersebut.

Enseminasi buatan adalah : proses yang dilakukan oleh para dokter untuk
mmenggabungkan antara sperma dengan sel telur, seperti dengan cara menaruh keduanya di
dalam sebuah tabung, karena rahim yang dimiliki seorang perempuan tidak bisa berfungsi
sebagaimana biasanya. ( DR. Husen Muhammad Al Malah, Al Fatwa, Nasyatuha wa
Tathowuruha, Ushuluha wa Tadhbiqatuha, Beirut, Al Maktabah Al Ahriyah, 2001, 2/ 868 )

Yang perlu diperhatikan terlebih dahulu bagi yang ingin mempunyai anak lewat bayi
tabung, bahwa cara ini tidak boleh ditempuh kecuali dalam keadaan darurat, yaitu ketika salah
satu atau kedua suami istri telah divonis tidak bisa mempunyai keturunan secara normal. ( Ali bin
Nayif As Syahud, Al Fatwa Al Mu'ashirah fi al Hayah Az Zaujiyah : 10/ 301 )

Menurut sejumlah ahli, inseminasi buatan atau bayi tabung secara garis besar dibagi
menjadi dua : ( al-Majma' al-Fiqhi al- Islami ( Rabitahoh a l'Alam al Islami ) , Daurah ke 7,
tanggal 11-16 Rabi ul Akhir 1404, dan Daurah ke-8 di Mekkah, tanggal 28 Rabi' ul Awal – 7
Jumadal Ula 1405 / 19-27 Januari 1985 )

Pertama : Pembuahan di dalam rahim .

Bagian pertama ini dilakukan dengan dua cara :

Cara pertama : Sperma laki-laki diambil, kemudian disuntikan pada tempat yang sesuai dalam
rahim sang istri sehingga sperma tersebut akan bertemu dengan sel telur istri kemudian terjadi
pembuahan yang akan menyebabkan kehamilan. Cara seperti ini dibolehkan oleh Syare'ah, karena
tidak terjadi pencampuran nasab dan ini seperti kehamilan dari hubungan seks antara suami dan
istri.

Cara kedua : Sperma seorang laki-laki diambi, kemudian disuntikan pada rahim istri orang lain,
atau wanita lain, sehingga terjadi pembuahan dan kehamilan. Cara sperti ini hukum haram,
karena akan terjadi percampuran nasab, halini sebagaimana seorang laki-laki yang berzina
dengan wanita lain yang menyebabkan wanita tersebut hamil.

Kedua : Pembuahan di luar rahim.

Bagian kedua ini dilakukan dengan lima cara :

Cara pertama : Sperma suami dan sel telur istrinya diambil dan dikumpulkan dalam
sebuah tabung agar terjadi pembuahan. Setelah dirasa cukup, maka hasil pembuahan tadi
dipindahkan ke dalam rahim istrinya yang memiliki sel telur tersebut Hasil pembuahan tadi akan
berkembang di dalam rahim istri tersebut, sebagaimana orang yang hamil kemudian melahirkan
ana yang dikandungnya. Bayi tabung dengan proses seperti di atas hukumnya boleh, karena tidak
ada percampuran nasab. ( Dar al Ifta' al Misriyah, Fatawa Islamiyah : 9/ 3213-3228 )

Cara kedua : Sperma seorang laki-laki dicampur dengan sel telur seorang wanita yang
bukan istrinya ke dalam satu tabung dengan tujuan terjadinya pembuahan. Setelah itu, hasil
pembuahan tadi dimasukkan ke dalam rahim istri laki-laki tadi. Bayi tabung dengan cara seperti
ini jelas diharamkan dalam Islam, karena akan menyebabkan tercampurnya nasab.

Cara ketiga : Sperma seorang laki-laki dicampur dengan sel telur seorang wanita yang
bukan istrinya ke dalam satu tabung dengan tujuan terjadinya pembuahan. Setelah itu, hasil
pembuahan tadi dimasukkan ke dalam rahim wanita yang sudah berkeluarga. Ini biasanya
dilakukan oleh pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak, tetapi rahimnya masih bia
berfungsi. Bayi tabung dengan proses seperti ini jelas dilarang dalam Islam.

Cara keempat : Sperma suami dan sel telur istrinya diambil dan dikumpulkan dalam
sebuah tabung agar terjadi pembuahan. Setelah dirasa cukup, maka hasil pembuahan tadi
dipindahkan ke dalam rahim seorang wanita lain. Ini jelas hukumnya haram. Sebagian orang
menamakannya " Menyewa Rahim ".

Cara kelima : Sperma suami dan sel telur istrinya yang pertama diambil dan
dikumpulkan dalam sebuah tabung agar terjadi pembuahan. Setelah dirasa cukup, maka hasil
pembuahan tadi dipindahkan ke dalam rahim istri kedua dari laki-laki pemilik sperma tersebut.
Walaupun istrinya pertama yang mempunyai sel telur telah rela dengan hal tersebut, tetap saja
bayi tabung dengan proses semacam ini haram, ( Majma' al Fiqh Al Islami, Munadhomah al
Mu'tamar al Islami, Mu'tamar ke-3 di Amman tanggal 8-13 Shofar 1407 – Majalah Majma' al
Fiqh al Islami, edisi : 3 : 1/515-516 ) hal itu dikarenakan tiga hal :

1/ Karena bisa saja istri kedua yang dititipi sel telur yang sudah dibuahi tersebut hamil dari hasil
hubungan seks dengan suaminya, sehingga bisa dimungkinkan bayi yang ada di dalam
kandungannya kembar, dan ketika keduanya lahir tidak bisa dibedakan antara keduanya, tentunya
ini akan menyebabkan percampuran nasab yang dilarang dalam Islam.

2/ Seandainya tidak terjadi bayi kembar, tetapi bisa saja sel telur dari istri pertama mati di dalam
rahim istri yang kedua, dan pada saat yang sama istri kedua tersebut hamil dari hubungan seks
dengan suaminya, sehingga ketika lahir, bayi tersebut tidak diketahui apakah dari istri yang
pertama atau istri kedua.

3/ Anggap saja kita mengetahui bahwa sel telur dari istri pertama yang sudah dibuahi tadi
menjadi bayi dan lahir dari rahim istri kedua, maka masih saja hal tersebut meninggalkan
problem, yaitu siapakah sebenarnya ibu dari bayi tersebut, yang mempunyai sel telur yang sudah
dibuahi ataukah yang melahirkannya ? Tentunya pertanyaan ini membutuhkan jawaban. Dalam
hal ini Allah swt berfirman :

" Ibu-ibu mereka tidaklah lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka " ( Qs Al Mujadilah : 2
)

Kalau kita mengikuti bunyi ayat di atas secara lahir, maka kita akan mengatakan bahwa ibu dari
anak yang lahir tersebut adalah istri kedua dari laki-laki tersebut, walaupun pada hakekatnya sel
telurnya berasal dari istrinya yang pertama.

Dari ketiga alasan di atas, bisa disimpulkan bahwa proses pembuatan bayi tabung yang sel
telurnya berasal dari istri pertama dan dikembangkan dalam rahim istri kedua, hukumnya tetap
haram karena akan menyebakan percampuran nasab sebagaimana yang dijelaskan di atas.

Perlu menjadi catatan di sini bahwa bayi tabung telah berkembang pesat di Barat, tetapi bukan
untuk mencari jalan keluar bagi pasangan suami istri yang tidak bisa mempunyai anak secara
normal, tetapi mereka mengembangkannya untuk proyek-proyek maksiat yang diharamkan di
dalam Islam, bahkan mereka benar-benar telah menghidupkan kembali pernikahan yang pernah
dilakukan orang-orang jahiliyah Arab sebelum kedatangan Islam, yaitu para suami menyuruh
para istri untuk datang kepada orang-orang yang mereka anggap cerdas dan pintar atau pemberani
agar mereka mau menggauli para istri tersebut dengan tujuan anak mereka ikut menjadi cerdas
dan pemberani. Hal sama telah dilakukan di Amerika dimana mereka mengumpulkan sperma
orang-orang pintar dalam Bank Sperma, kemudian dijual kepada siapa yang menginginkan
anaknya pintar dengan cara enseminasi buatan dan bayi tabung. ( DR. Muhammad Ali Bar, At
Talqih As Sina'I wa Athfal Al Anabib dalam Majalah al-Majma' al-Fiqh al- Islami, edisi 2 : 1/
269 )

Mudah-mudahan umat Islam dijauhkan dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya
dan memilih cara enseminasi buatan ini hanya dalam keadaan sangat darurat, itupun pada
bagianyang dibolehkan saja sebagaimana yang telah diterangkan di atas. Wallahu A'lam

( Jakarta, 18 Mei 2009 )

Apakah pandangan Islam tentang bayi tabung uji?


Bayi Tabung Uji
Apakah pandangan Islam tentang bayi tabung uji?
Cara-cara yang boleh tergambar dalam penyemaian benih dalam tabung uji pada masa ini ada
tujuh cara:

1. Disemaikan antara benih si suami dengan telur yang diambil dari seorang perempuan yang
bukan isteri kepada lelaki itu kemudian dimasukkan semaian itu ke dalam rahim si isteri.

2. Disemaikan antara benih seorang lelaki (bukan suami) dengan telur si isteri kemudian
dimasukkan semaian itu ke dalam rahim si isteri.

3. Disemaikan benih si suami dengan telur si isteri kemudian dimasukkan semaian itu ke dalam
rahim seorang perempuan lain yang bersetuju untuk mengandung (hamil) dengannya.

4. Disemaikan antara benih seorang lelaki (asing) dengan telur perempuan asing juga kemudian
dimasukkan semaian itu ke dalam rahim si isteri.

5. Disemaikan benih dengan telur dari sepasang suami isteri kemudian dimasukkan ke dalam
rahim isteri keduanya.

6. Diambil benih dari si suami dan telur si isteri dan disemai di tabung uji kemudian dimasukkan
ke dalam rahim isteri.

7. Diambil benih si suami kemudian disuntikkan di tempat yang sesuai dalam rahim isterinya
sebagai semaian dari dalam.

Cara-cara yang pertama sehingga yang kelima adalah HARAM kesemuanya dan terlarang di sisi
agama Islam kerana kesannya boleh merosakkan perhubungan halal serta mencampuradukkan
keutuhan keturunan. Cara yang ke-6 dan yang ke-7 adalah dibolehkan. Seseorang Islam yang
ingin mendapat anak boleh berusaha untuk mendapatkannya tetapi hendaklah ia pastikan dan
berjaga-jaga supaya tidak melakukan sesuatu yang lain daripadanya.
__________________
BloG saya:

You might also like