Professional Documents
Culture Documents
BAB I
HAKIKAT PENDIDIKAN 1
A. Pendahuluan
Tujuan:
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami pendidikan
sebagai bagian dari proses kehidupan manusia serta mampu memberikan penafsiran
dan analisis terhadap kondisi pendidikan sesuai dengan pengalaman yang dimiliki.
Sasaran:
Setelah proses belajar mengajar, mahasiswa diharapkan mampu:
1) menjelaskan hakikat pendidikan yang dikaitkan dengan eksistensi manusia
2) menjelaskan definisi pendidikan
3) menjelaskan tujuan dan fungsi pendidikan
4) menyebutkan unsure-unsur dalam penyelenggaraan pendidikan
5) menjelaskan pendidikan sebagai suatu system
pengembangan ke arah yang lebih sesuai dengan kondisi zaman, tentunya dilakukan oleh
2
sebuah kelompok atau lembaga yang bernama pendidikan.
Sosok pendidikan sebagaimana juga manusia dapat dikatakan sangat kompleks,
karena terkait dengan berbagai aspek kehidupan dan kepentingan-kepentingan seperti
ideology, politik, social, budaya, agama, ekonomi, kemanusiaan, dan lain sebagainya. Di
sinilah terkadang kurikulum menjadi ajang berbagai kepentingan, ada sebagian kalangan
yang menginginkan pendidikan itu berbasis kepada agama, sehingga memunculkan
pendidikan yang berbasis atau bercorak agama tertentu, namun ada juga yang
mengharapkan pendidikan itu bersifat profan (keduniaan). Di lain sisi, pemerintah
sebagai manifest organisasi politik juga menginginkan pendidikan atau kurikulum yang
dapat menopang dan mendukung ideology-ideologi politiknya.
Oleh karena itu, karakter pendidikan pada hakikatnya merupakan pencerminan dari
kondisi Negara (karakter-karakter manusia yang ada di dalamnya) yang menggambarkan
ambisi-ambisi para pemimpin dan kekuatan-kekuatan social-politik yang sedang
berkuasa. Dengan sendirinya pendidikan juga merupakan refleksi dari orde penguasa
yang ada. Contohnya, dalam Negara yang bercorak demokratis yang warga negaranya
menghargai sifat-sifat unik dari setiap person, akan Nampak system pendidikannya yang
sangat memperhatikan dan mengembangkan keunikan masing-masing pribadi dan
kebebasannya. Di sisi lain, di Negara totaliter dengan pemerintahan yang menguasai
segala-galanya lewat kekuasaan absolutnya, pemerintah membatasi kebebasan individu
dengan memberikan pendidikan yang uniform bagi semua anak didik. System
pendidikannya Cuma satu, yaitu mencerminkan ide-ide politik untuk mendominir rakyat.
Kartini Kartono (1977:77-82).
Di samping itu, wujud pendidikan dapat dipahami sebagai lembaga atau institusi,
system, administrasi dan birokrasi, perilaku dan proses belajar-mengajar, bangunan
keilmuan, dan lain sebagainya. Ini semua mengindikasikan bahwa pendidikan itu tidak
dapat berdiri sendiri, dan mengandung makna yang bias secara fenomenal.
Pencarian terhadap esensi pendidikan seperti apa, bagaimana dan untuk apa
pendidikan itu sebenarnya diselenggarakan telah dilakukan sejak ribuan tahun yang lalu,
sampai saat ini, para ahli pendidikan memberikan kesimpulan terhadap unsure-unsur
dasar dalam pendidikan yaitu: 1) adanya pemberi, 2) penerima, 3) tujuan baik, 4) cara
yang baik dan 5) konteks yang positif. Dengan adanya lima unsure dasar ini, pendidikan
3
dapat dirumuskan sebagai aktivitas interaktif antara pemberi dan penerima untuk
mencapai tujuan dengan cara yang baik dalam konteks yang positif (Muhadjir, 2000: 1-8)
C. Pengertian Pendidikan
Pendidikan atau pedagogi itu adalah kegiatan membimbing anak manusia menuju
kepada kedewasaan dan kemandirian (Langeveld, dalam Widodo, 2007:15). Sementara
Kingsley mengemukakan bahwa pendidikan adalah proses yang memungkinkan
kekayaan budaya non fisik dipelihara atau dikembangkan dalam mengasuh anak-anak
atau mengajar orang-orang dewasa (Kingsley, 1965:4)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:232), pendidikan berasal dari kata
“didik’, lalu diberikan awalan kata “me” sehinggan menjadi “mendidik” yang artinya
memelihara dan memberi latihan. dalam memeliahara dan memberi latihan diperlukan
adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pemikiran.
Beberapa definisi pendidikan yang lain, diantaranya adalah sebagai berikut.
1. John Dewey.
2. M.J. Longeveled
Pendidikan adalah usaha , pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada
anak agar tertuju kepada kedewasaannya, atau lebih tepatnya membantu anaka agar
cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri.
3. Thompson
4. Frederick J. Mc Donald
Pendidikan adalah suatu proses atau kegiatan yang diarahkan untuk merubah tabiat
(behavior) manusia.
5. H. Horne
6. J.J. Russeau
Pendidikan adalah pembekalan yang tidak ada pada pada saat anak-anak, akan tetapi
dibutuhkan pada saat dewasa.
7. Ki Hajar Dewantara
Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani
anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak
yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.
8. Ahmad D. Marimba
9. Insan Kamil
Pendidikan adalah usaha sadar yang sistematis dalam mengembangkan seluruh potensi
yang ada dalam diri manusia untuk menjadi manusia yang seutuhnya.
Pendidikan adalah pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan
sepanjang hidup.
Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan
pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan, yang berlangsung di
sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar
dapat mempermainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tetap untuk
masa yang akan datang.
12. Hartoto
Pendidikan adalah usaha sadar, terencana, sistematis, dan terus-menerus dalam upaya
memanusiakan manusia.
Pendidikan adalah segala urusan orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak
untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya kearah kedewasaan.
Bahan ajar Pengantar Kependidikan program studi Pendidikan Matematika FKIP-UNIKAL
Oleh: Muhammad Ali Gunawan, M.Pd.
PENGANTAR KEPENDIDIKAN
14. Driakara
5
Pendidikan adalah memanusiakan manusia muda atau pengangkatan manusia.
Pendidikan adalah kegiatan yang secara sadar, teratur, dan terencana dalam tujuan
mengubah tingkah laku ke arah yang diinginkan. Definisi Pendidikan menurut undang-
undang dan GBHN 16. UU No. 2 tahun 1989 Pendidikan adalah usaha sadar untuk
menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan pelatihan bagi
peranannya di masa yang akan datang.
Pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan darinya, masyarakat,
bangsa, dan negara.
18. GBHN
Dari beberapa definisi pendidikan di atas, pada dasarnya pengertian pendidikan yang
dikemukakan memiliki kesamaan yaitu usaha sadar, terencana, sistematis, berlangsung
terus-menerus, dan menuju kedewasaan.
D. Tujuan Pendidikan
Pendidikan, seperti sifat sasarannya yaitu manusia, mengandung banyak aspek dan
sifatnya sangat kompleks. Karena sifatnya yang kompleks itu, maka tidak sebuah
batasanpun yang cukup memadai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap.
Dibawah ini dikemukakan beberapa batasan tentang pendidikan yang bebeda berdasarkan
fungsinya.
transformasi yaitu nilai-nilai yang masih cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran,
6
rasa tanggungjawab dan lain-lain, yang kurang cocok diperbaiki misalnya tata cara
perkawinan, dan tidak cocok diganti misalnya pendidikan seks yang dahulu ditabukan
diganti dengan pendidikan seks melalui pendidikan formal.
Disini tampak bahwa,proses pewarisan budaya tidak semata-mata mengekalkan
budaya secara estafet. Pendidikan justru mempunyai tugas kenyiapkan peserta didik
untuk hari esok.
Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagai sutu kegiatan yang
sistematis dan sitemik dan terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik.
Proses pembentukan pribadi meliputi dua sasaran yaitu pembentukan pribadi bagi
mereka yang belum dewasa oleh mereka yang belum dewasa, dan bagi mereka yang
sudah dewasa atas usaha sendiri. Yang terakhir disebut pendidikan diri sendiri.
Pendidikan sebagai penyiapan warga negara diartikan sebagai suatu kegiatan yang
terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga negara yang baik.
1. Keluarga
Keluarga merupakan lembaga pendidikan tertua, bersifat informal, yang
pertama dan utama dialamai oleh anak serta lembaga pendidikan yang bersifat
2. Sekolah
Tidak semua tugas mendidik dapat dilaksanakan oleh orang tua dalam
keluarga, terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan berbagai macam
keterampilan. Oleh karena itu dikirimkan anak ke sekolah.
3. Masyarakat
Dalam konteks pendidikan, masyarakat merupakan lingkungan lingkungan
keluarga dan sekolah. Pendidikan yang dialami dalam masyarakat ini, telah mulai
ketika anak-anak untuk beberapa waktu setelah lepas dari asuhan keluarga dan
E.2 Komponen dan Saling Hubungan antara Komponen dalam Sistem Pendidikan.
Pendidikan sebagai sebuah sistem terdiri dari sejumlah komponen. Komponen
tersebut antara lain: raw input (sistem baru), output(tamatan), instrumentalinput(guru,
kurikulum), environmental input(budaya, kependudukan, politik dan keamanan).
b. Masalah berjenjang
Semua masalah tersebut satu sama lain saling berkaitan dalam hubungan sebab
akibat, alternatif maslah, dan latar belakang masalah.
BAB II
12
FILSAFAT PENDIDIKAN
A. Pendahuluan
Tujuan:
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan memiliki pemahaman kritis
terhadap berbagai pendekatan dalam memahami dan memecahkan persoalan
pendidikan yang mendasar dalam pendidikan.
Sasaran:
Setelah proses belajar mengajar mahasiswa diharapkan mampu:
1) Menjelaskan definisi filsafat pendidikan
2) Menjelaskan cabang-cabang filsafat dan mengkaitkannya dengan pendidikan
3) Menjelaskan hubungan filsafat dan pendidikan
4) Menjelaskan berbagai macam aliran filsafat pendidikan
5) Menganalisis secara kritis filsafat pendidikan di Indonesia dan penerapannya
B. Filsafat Pendidikan
Bila dirujuk dari akar kata pembentuknya, filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu
Philo yang berarti cinta dan Sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Dengan
demikian, filsafat dapat diartikan sebagai “cinta kepada kebijaksanaan”. Berfilsafat
dengan demikian juga bertujuan hanya untuk mencari, mempertahankan dan
melaksanakan kebenaran/kebijaksanaan atau ditujukan untuk kebenaran itu sendiri,
berfilsafat tidak bertujuan untuk ketenaran, pujian, kekayaan, atau yang lainnya. Inilah
yang kemudian dikenal dengan tradisi pemikiran filosofis Yunani yaitu suatu pemahaman
atas “kebenaran-kebenaran pertama” (first truth), seperti baik, adil dan kebenaran itu
sendiri, serta penerapan dari kebenaran-kebenaran pertama ini dalam problema-problema
kehidupan. Namun dalam perkembangannya, pengertian ini banyak ditolak oleh filosof-
filosof yang lainnya dengan lebih meyakini filsafat sebagai pemikiran “teoretik” secara
keseluruhan daripada sekadar perhatian kepada petunjuk moral atau tingkah laku.
Untuk lebih membenantu memahami filsafat, tentunya dapat dilihat dari tugas
filsafat yang paling mendasar yaitu untuk menemukan konsep-konsep yang biasa kita
gunakan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam ilmu pengetahuan, lalu menganalisisnya
dan menentukan makna-makna yang tepat dan saling berhubungan. Artinya, pengetahuan
yang jelas dan akurat tentang sesuatu didahulukan atas hal-hal yang secara umum masih
Bahan ajar Pengantar Kependidikan program studi Pendidikan Matematika FKIP-UNIKAL
Oleh: Muhammad Ali Gunawan, M.Pd.
PENGANTAR KEPENDIDIKAN
kabur. Ketiadaan pengetahuan yang jelas tentang arti dan hubungan-hubungan dari
13
konsep-konsep yang kita gunakan, akan menjerumuskan kita kepada kekeliruan yang
fatal dalam menghadapi persoalan-persoalan (masalah) tertentu. Selain itu, filsafat juga
bertugas untuk membongkar secara kritis segala bentuk keyakinan-keyakinan yang kita
miliki secara radikal, universal, konseptual, sistematik, bebas dan bertanggung jawab.
Beberapa definisi filsafat yang dikemukakan oleh para filsuf berikut ini, mungkin
akan lebih membantu untuk menafsirkan dan menjelaskan mengapa filsafat pendidikan
dipelajari:
1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam
yang biasanya diterima secara tidak kritis. Definisi ini merupakan arti yang
informal tentang filsafat. Filsafat dianggap sebagai sikap atau kepercayaan yang
ia miliki.
2) Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap
yang sangat kita junjung tinggi. Pengertian filsafat ini merefleksikan bentuk atau
tugas dari filsafat kritik, khususnya dalam mengkritisi keyakinan-keyakinan
dalam kehidupan kita sehari-hari.
3) Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Inilah yang
menjadi tugas dari filsafat spekulatif dalam usahanya mentransendensikan
pengalaman-pengalaman dan ilmu pengetahuan dalam visi atau gambaran yang
komprehensif.
4) Filsafat adalah sebagai analisa logis dari bahasa dan penjelasan tentang arti kata
dan konsep. Pengertian ini termasuk dalam kategori kerja filsafat kritik
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa filsafat mempunyai tugas
menganalisis konsep-konsep seperti substansi, gerak, waktu, dan sebagainya.
5) Filsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsung yang mendapat
perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.
Pengertian ini pada prinsipnya berada dalam pemikiran para filsuf dalam rangka
menjawab berbagai problematika kehidupan dan tentunya terus berlangsung tanpa
mengenal titik lelah (Widodo, 2007: 9)
Cabang-Cabang Filsafat
14
1) Ontologi
Ontologi atau sering juga disebut metafisika (meta = melampaui, fisik = dunia
nyata/fisik) adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat segala sesuatu
yang ada, atau membahas watak yang sangat mendasar (ultimate) dari benda atau realitas
yang berada di belakang pengalaman yang langsung (immediate experience).
Ontology berbicara tentang segala hal yang ada, pertanyaan-pertanyaan yang akan
dibongkarnya tidak terbatas, misalnya apakah hakikat ruang, waktu, gerak, materi, dan
perubahan itu? Apakah yang merupakan asal mula jagad raya ini? Dan lain sebagainya.
Kaitannya dengan pendidikan, ontologi ilmu pendidikan membahas tentang hakikat
substansi dan pola organisasi Ilmu pendidikan
2) Epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-
metode, dan sahnya pengetahuan. Pertanyaan yang mendasar adalah: Apakah mengetahui
itu? Apakah yang merupakan asal mula pengetahuan kita? Bagaimana cara kita
mengetahui bila kita mempunyai pengetahuan? Bagaimanakah cara kita memperoleh
pengetahuan? Dan lain sebagainya. Dengan demikian, epistemologi membahas tentang
hakikat objek formal dan material ilmu pendidikan
3) Aksiologi
Aksiologi berbicara tentang nilai dan kegunaan dari segala sesuatu terkait dengan
kaidah moral pengembangan penggunaan ilmu pengetahuan yang diperoleh. Aksiologi
ilmu pendidikan, membahas tentang hakikat nilai kegunaan teoretis dan praktis ilmu
pendidikan
4) Logika
Logika merupakan cabang filsafat yang membicarakan tentang aturan-aturan
berpikir agar dengan aturan-aturan tersebut dapat diambil kesimpulan yang benar.
Dengan kata lain logika adalah pengkajian yang sistematis tentang aturan-aturan untuk
menguatkan premis-premis atau sebab-sebab mengenai konklusi aturan-aturan itu,
sehingga dapat kita pakai untuk membedakan argument yang baik dan yang tidak baik.
Logika dibagi dalam dua cabang utama, yaitu logika deduktif dan logika induktif.
Logika deduktif berusaha menemukan aturan-aturan yang dapat dipergunakan untuk
menarik kesimpulan-kesimpulan yang bersifat keharusan dari satu premis tertentu atau
15
lebih, sedangkan logika induktif mencoba menarik kesimpulan tidak dari susunan
proposisi-proposisi melainkan dari sifat-sifat seperangkat bahan yang diamati. Logika ini
mencoba untuk bergerak dari suatu perangkat fakta yang diamati secara khusus menuju
kepada pernyataan yang bersifat umum mengenai semua fakta yang bercorak demikian,
atau bergerak dari suatu perangkat akibat tertentu menuju kepada sebab atau sebab-sebab
dari akibat-akibat tersebut
Dari uraian di atas, Widodo (2007:9. Lihat juga Mudyahardjo, 2004:5) kemudian
mendefiniskan filsafat pendidikan sebagai suatu pendekatan dalam memahami dan
Bahan ajar Pengantar Kependidikan program studi Pendidikan Matematika FKIP-UNIKAL
Oleh: Muhammad Ali Gunawan, M.Pd.
PENGANTAR KEPENDIDIKAN
Bagan 01
17
Status Filsafat Ilmu Pendidikan Sebagai Filsafat
Ontologi
Kosmologi
Metafisika
Humanologi
Teologi
Filsafat Umum Epistemologi
Induksi
Logika
Deduksi
Aksiologi Etika
Estetika
Filsafat Proses
Pendidikan
FILSAFAT Filsafat Praktek
Pendidikan
Filsafat Sosial
Pendidikan
Ontologi Ilmu
Filsafat
Pendidikan
Pendidikan
Aksiologi Ilmu
Pendidikan
Sumber: Mudyahardjo (2004:7)
Tabel 01: Perbandingan Konsep Pendidikan dalam arti Maha Luas, Sempit, dan Luas
Terbatas
Tertium
Maha Luas Sempit Luas Terbatas
Komparison
Definisi Pendidikan adalah hidup. Pendidikan adalah Pendidikan adalah usaha
Pendidikan adalah segala persekolahan. Pendidikan sadar yang dilakukan oleh
pengalaman belajar yang adalah pengajaran yang keluarga, masyarakat, dan
berlangsung dalam segala diselenggarakan oleh pemerintah, melalui
lingkungan hidup dan sekolah sebagai lembaga kegiatan bimbingan,
sepanjang hidup. pendidikan formal. pengajaran dan/atau
Pendidikan adalah segala Pendidikan adalah segala latihan, yang berlangsung
situasi hidup yang pengaruh yang diupayakan di sekolah dan di luar
mempengaruhi sekolah terhadap anak atau sekolah untuk
pertumbuhan seseorang remaja yang diserahkan mempersiapkan peserta
kepadanya, agar didik agar dapat
mempunyai kemampuan memainkan peranan secara
yang sempurna dan tepat dalam berbagai
kesadaran penuh lingkungan hidup.
hubungan-hubungan dan
tugas-tugas sosial.
Tujuan Tujuan pendidikan Tujuan pendidikan Tujuan pendidikan
terkandung dalam setiap ditentukan oleh pihak luar. merupakan perpaduan
pengalaman belajar, tidak Tujuan pendidikan terbatas antara perkembangan
ditentukan dari luar. pada pengembangan pribadi secara optimal dan
Tujuan pendidikan adalah kemampuan tertentu. tujuan sosial dapat
pertumbuhan. Tujuan Tujuan pendidikan adalah memainkan peranan sosial
pendidikan tidaklah mempersiapkan peserta secara tepat. Tujuan
terbatas. Tujuan didik untuk dapat hidup di pendidikan mencakup
pendidikan sama dengan masyarakat. tujuan-tujuan setiap bentuk
tujuan hidup kegiatan pendidikan
(bimbingan/pengajaran/
latihan) dan satuan-satuan
pendidikan (sekolah/luar
sekolah).
Tempat Pendidikan berlangsung Pendidikan berlangsung Pendidikan berlangsung
Pendidikan dalam segala bentuk dalam lembaga pendidikan dalam sebagian lingkungan
lingkungan hidup, baik formal atau sekolah dalam hidup. pendidikan tidak
khusus diciptakan untuk segala bentuk berlangsung dalam
kepentingan pendidikan lingkungan hidup yang
maupun lingkungan yang terselenggarakan dengan
ada dengan sendirinya. sendirinya. Pendidikan
berlangsung di sekolah dan
satuan pendidikan luar
sekolah.
Bentuk kegiatan Pendidikan terentang dari Isi pendidikan tersusun Kegiatan pendidikan dapat
pendidikan kegiatan yang mistis atau secara terprogram dalam berbentuk pendidikan
tidak sengaja sampai bentuk kurikulum. formal, non formal dan
dengan kegiatan Kegiatan pendidikan lebih informal. Kegiatan
21
Bagan 02
Klasifikasi Cabang-cabang Ilmu Pendidikan
Ilmu Pendidikan
Administratif
Ilmu Pendidikan
Komparatif
Ilmu Pendidikan
Makro
Ilmu Pendidikan
Historis
Ilmu Pendidikan
Kependudukan
Pedagogik
ILMU Teoretis
PENDIDIKAN
Ilmu Pendidikan
Psikologis
Ilmu Pendidikan
Antropologis
Ilmu Pendidikan
Ilmu Pendidikan Ekonomik
Mikro
Ilmu Persekolah
Ilmu Pendidikan
Luar Biasa
(Orthopedagogik
Mudyahardjo (2004: 87)
Meskipun status ilmiahnya masih belum sejajar dengan ilmu-ilmu yang sudah
22
mapan, ilmu pendidikan dapat memberikan sumbangan teoretis terhadap
perkembangan ilmu-ilmu sosial (Social Sciences) atau ilmu-ilmu tingkah laku
(Behavioral Sciences). Sumbangan tersebut, antara lain berupa memperluas
konsep-konsep ilmiah yang berkenaan dengan kehidupan sosial atau pada tingkah
laku manusia. Ilmu pendidikan menghasilkan konsep-konsep ilmiah tentang pola
tingkah laku dalam proses belajar mengajar yang berlangsung di lingkungan
hidup manusia. Konsep tersebut menambah rekanan konsep-konsep aspek sosial-
budaya dalam kehidupan manusia.
2) Aksiologi Ilmu Pendidikan (Nilai Kegunaan Praktis)
Konsep-konsep yang dihasilkan oleh ilmu pendidikan dapat memberi pedoman
dasar kerja pendidikan/pengelola pendidikan dalam melaksanakan tugasnya.
Konsep-konsep yang dikembangkan ilmu pendidikan, berkenaan dengan
bagaimana proses pengelolaan dan pelaksanaan praktek pendidikan terselenggara.
Dengan demikian konsep-konsep tersebut merupakan prinsip-prinsip tentang
praktek-praktek pengelolaan dan kegiatan pendidikan (mendidik).
Hasil penelitian Arora Kamla sebagaimana dikutip Mudyahardjo (2004:196)
menyatakan bahwa karakteristik profesional yang sangat mempengaruhi
efektivitas guru mengajar adalah berkenaan dengan kemampuan-kemampuan: 1)
menerangkan dengan jelas topik-topik yang menjadi bahan ajaran, 2) menyajikan
dengan jelas tentang mata pelajaran, 3) mengorganisasikan secara sistematis
tentang mata pelajaran, 4) berekspresi, 5) membangkitkan minat dan dorongan
siswa untuk belajar, dan 6) menyusun rencana dan persiapan mengajar.
Penguasaan keenam kemampuan tersebut merupakan awal dan sangat
mempengaruhi efektivitas guru mengajar.
E. Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan
Persoalan bagaimana pendidikan akan diselenggarakan secara ideal/semestinya,
sangat tergantung dari cara pandang masyarakat terhadap nilai-nilai moral dan politik
yang kemudian melahirkan ideologi pendidikannya. Untuk itu perlu dipahami apa yang
melandasi praktek-praktek pendidikan dewasa ini, sehingga kita tidak terjebak ke dalam
penafsiran yang keliru mengenai pendidikan sebagai sebuah sistem dan sebagai manifes
23
dari kehidupan manusia itu sendiri.
Rasionalisme menganggap bahwa kecerdasan yang terlatih adalah penyedia cara
terbaik untuk hidup, pemikiran ini cenderung kearah pemerintahan yang terbuka dan
liberal, serta ke arah corak yang serupa dengan (dan mendukung) system-sistem
pemerintahan yang liberal. Sebaliknya, non-rasional menganggap bahwa kebanyakan
kebenaran yang punya arti penting hanya bisa diakses melalui cara-cara non-rasional;
misalnya lewat wahyu, iman, atau intuisi mistis, atau menganggap bahwa penalaran aktif,
kurang dapat dipercaya ketimbang pola-pola keyakinan dan perilaku social yang
konvensional. Orientasi-orientasi semacam itu hampir pasti memilih pula ‘pendidikan
yang keras’
Konservatisme pendidikan menganggap bahwa nalar adalah baik, namun nalar
mesti tetap menjadi subordinat atau bawahan dari pola-pola keyakinan dan perilaku
social yang lebih dulu dinalar (atau yang memiliki potensi kenalaran), yang muncul dari
penyesuaian-penyesuaian budaya terhadap keadaan-keadaan yang muncul sepanjang
sejarah sebuah masyarakat yang sebelumnya tidak dinalat (namun yang diprakirakan
berkualitas nalar).
Liberalisme, Liberasionisme dan Anarkisme (ketiga-tiganya) menganggap bahwa
kebaikan tertinggi adalah untuk hidup sedemikian rupa hingga memungkinkan
pengungkapan sepenuh-penuhnya dari kecerdasan terlatih, yakni pemikiran kritis yang
dipandang sebagai penerapan praktis dari proses-proses penyelesaian masalah personal
maupun social secara ilmiah. Ketiganya berbeda dalam hal bagaimana mereka
memandang kondisi-kondisi yang diperlukan bagi terjadinya pemikiran kritis semacam
itu.
Liberalisme menekankan pemikiran kritis individu sebagai asal-usul dan landasan
bagi semua perubahan social yang tercerahkan. Seorang liberalis meragukan ideology-
ideologi social yang tidak lahir dari temuan penyelidikan yang berdasarkan objektivitas
ilmiah. Dalam hal ini, ia memprioritaskan yang personal (individu) di atas yang social
(termasuk yang politis). Sementara itu, seorang liberasionis merasa bahwa pemikiran
kritis individual itu mustahil berlangsung dalam ketiadaan sebuah system politik yang
mendorong dan memelihara kondisi-kondisi social dan intelektual yang merupakan
3. Keterkaitan sosial adalah asosiasi yang nampak jelas yang ada di antara posisi
25
moral dan filosofis di dalam budaya tertentu di suatu saat tertentu dalam
sejarah. Posisi-posisi konservatif tertentu (seperti fundamentalisme secular dan
jenis-jenis konservatisme secular) khususnya merumuskan diri sendiri dalam
peristilahan ‘tradisi-tradisi budaya’ atau ‘pola-pola keyakinan dan perilaku yang
lestari’. Keduanya terkenal sulit dirumuskan dengan ketepatan dan ketegasan,
dan keduanya jelas sekali sangat dikondisikan oleh wajah budaya tertentu di
suatu saat tertentu. Sudut pandang semacam itu hanya bias didiskusikan secara
cerdas di dalam kerangka kerja batasan-batasan budaya dan sejarah yang
dirumuskan lebih dulu dengan tegas. Jadi, program tertentu yang diajukan oleh
banyak konservatifis social, dalam kaitannya dengan politik pendidikan,
cenderung untuk jauh berbeda dalam budaya yang berbeda dan dalam era yang
berbeda meski budaya pokoknya sama. Misalnya, seorang Amerika yang
berpandangan politik konservatif di tahun 1783 akan menjadi seorang individu
yang berlainan dengan seorang Amerika yang berpandangan konservatif di
tahun 1876 atau 1978.
Untuk itu kita perlu kembali kepada persoalan mendasar tentang pendidikan dan
manusia. Pendidikan tidak lain (kalau boleh dikatakan demikian) menurut pandangan di
atas, sebenarnya adalah proses perwujudan diri individu manusia untuk mencapai
kebaikan dan kebahagiaan yang hakiki melalui garis intelektualitas dan moralitas yang
dimilikinya.
Ada tiga dalil pokok mengenai nilai sebagai perwujudan diri manusia, yaitu:
1) Petunjuk-petunjuk moral hanya berlaku tentang hal-hal yang bagi manusia
adalah mungkin (untuk dilakukan atau tidak dilakukan, untuk menjadi atau
untuk tidak menjadi);
2) Seluruh kemungkinan merujuk pada potensi-potensi tertentu dalam diri
manusia, yang bisa dikenali, untuk bertindak atau untuk menjadi.
3) Dengan demikian, ‘hidup yang baik’ pada puncaknya bisa dirumuskan (meski
perumusan ini dilakukan pada tingkat generalisasi yang tinggi) sehubungan
dengan potensi-potensi manusia yang ada untuk disempurnakan atau
diwujudkan.
Dari tiga dalil pokok ini, kita dapat membedakan mana perilaku yang termasuk
26
mewujud (bermoral) yang dilakukan oleh seseorang dan mana yang tidak bermoral
(potensi-potensi pada diri individu tidak mewujud-imoral).
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mungkin manusia menjalani hidup yang
baik, atau hidup di mana dirinya mewujud. Secara umum, ada enam sudut pandang
fundamental tentang bagaimana caranya hidup secara baik, dan keenam sudut pandang
ini juga merupakan dasar dari pandangan filosofis bagi munculnya aliran-aliran filsafat
pendidikan (hal ini mendominasi kebudayaan Barat kontemporer), O’neill (2002:94-95):
1. Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari ketaatan terhadap
berbagai tolok ukur (standar) intuitif dan/atau yang terungkap pada keyakinan
dan perilaku.
2. Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari pencerahan filosofis
dan/atau keagamaan yang didasarkan pada penalaran spekulatif serta
kebijaksanaan metafisis.
3. Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari ketaatan terhadap
berbagai tolok ukur yang mapan (konvensional) tentang keyakinan dan perilaku.
4. Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari kecerdasan praktis
(yakni pemecahan masalah secara efektif)
5. Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari pengembangan
lembaga-lembaga sosial yang baru dan lebih manusiawi (humanistik).
6. Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari penghapusan
pembatasan-pembatasan kelembagaan, sebagai sebuah cara untuk memajukan
perwujudan kebebasan personal yang sepenuh-penuhnya.
Keenam filosofi moral di atas, kemudian dibagi lagi ke dalam ranah filosofi politik
dasar, tiga diantaranya merupakan ungkapan politis mendasar dari sudut pandang
Konservatif.
1) Konservatisme reaksioner (otoritarianisme anti-intelektual)
2) Konservatisme filosofis (otoritarianisme intelektual)
3) Konservatisme sosial (konvensionalisme otoritarian)
Di samping itu ada tiga ungkapan politis dari sudut pandang Liberal, yaitu:
1) Liberalisme politis
2) Liberasionisme politis
27
3) Anarkisme politis
Dasar-dasar filosofis bagi landasan pendidikan sebagaimana diungkap di atas, dapat
diringkas ke dalam bentuk bagan sebagaimana berikut.
Kebahagiaan Personal
(perwujudan diri)
Dapat dicapai dengan mengikuti sebuah filosofi moral yang didasarkan pada
FILOSOFI MORAL
Pencerahan filosofis
Ketaatan Terhadap Tolok
dan/atau Religius Ketaatan Terhadap Tolok
Ukur Keyakinan dan
Berdasarkan Penalaran Ukur Keyakinan dan
Perilaku yang Intuitif
Spekulatif dan Perilaku Yang Sudah Mapan
dan/atau Diwahyukan
Kebijaksanaan Metafisis
28
FILOSOFI POLITIK
Konservatisme Reaksioner
Konservatisme Filosofis
(Otoritarianisme Anti- Konservatisme Sosial
(Absolutisme Intelektual)
Intelektual)
Kapitalisme Demokratis
Otoritarianisme Meritokrasi Intelektual (Demokrasi Konstitusional
Nasionalistis atau Religius dan /atau Moral Tak Langsung, menekankan
pemerintahan berdasarkan
hukum, proses yang
ditentukan dan hak milik di
dalam sebuah ekonomi yang
relatif tidak dikendalikan
oleh negara
IDEOLOGI PENDIDIKAN
LANJUTAN…..1
Penghapusan Pembatasan-
Pembangunan Lembaga-
Kecerdasan Praktis Pembatasan Kelembagaan
Lembaga Sosial yang Baru
(Pemecahan Masalah Secara untuk Menumbuh-
dan Lebih Manusiawi
Efektif) kembangkan kebebasan
(Humanistik)
personal
Lanjutan….2
29
LANJUTAN….3
1. Fundamentalisme Pendidikan
Fundamentalisme meliputi semua corak konservatisme politik yang pada dasarnya
anti-intelektual dalam arti bahwa mereka ingin meminimalkan pertimbangan-
pertimbangan filosofis dan/atau intelektual, serta cenderung untuk mendasarkan diri
mereka pada penerimaan yang relatif tanpa kritik terhadap kebenaran yang diwahyukan
atau konsensus sosial yang sudah mapan (yang biasanya diabsahkan sebagai ‘akal sehat’)
Dalam ungkapan politisnya, konservatisme reaksioner gagasan untuk kembali
kepada kebijaksanaan-kebijaksanaan atau kebijakan-kebijakan masa silam, baik yang
benar-benar pernah ada ataupun yang sekadar dikhayalkan. Ada dua variasi dari sudut
pandang semacam itu jika diterapkan dalam pendidikan. Variasi pertama,
fundamentalisme pendidikan religius, yang tampak dalam pondok pesantren. Variasi
kedua fundamentalisme pendidikan sekular, berciri mengembangkan komitmen yang
sama tidak luwesnya dibanding yang disepakati, yang umumnya menjadi pandangan
dunia ‘orang biasa’.
Ideologi mendasar pendidikan fundamentalisme menurut O’neill (2002:249-253)
adalah sebagai berikut.
Bahan ajar Pengantar Kependidikan program studi Pendidikan Matematika FKIP-UNIKAL
Oleh: Muhammad Ali Gunawan, M.Pd.
PENGANTAR KEPENDIDIKAN
3) Yang terbaik adalah pembelajaran yang ditentukan dan diarahkan oleh guru.
33
Sebab, siswa tidak cukup tercerahkan untuk mengarahkan proses
perkembangan intelektualnya sendiri.
4) Sang guru harus dipandang sebagai panutan dalam hal kesempurnaan moral
dan akademik.
5) Tes-tes untuk mengukur keterampilan dan informasi yang dimiliki siswa lebih
baik daripada tes-tes yang menekankan kemampuan analitis dan spekulasi
abstrak siswa.
6) Persaingan antar-personal untuk mendapatkan nilai terbaik (dalam ujian, tes,
kelakuan, dan sebagainya) dan peringkat nilai tertinggi di kelas antara para
siswa adalah hal yang dikehendaki dan perlu diadakan demi memupuk
kesempurnaan.
7) Penekanan harus diberikan pada yang kognitif (khususnya yang
informasional) dengan tekanan kedua pada yang afektif dan interpersonal.
8) Penekanan harus diletakkan pada pemulihan kembali prinsip-prinsip dan
praktik-praktik pendidikan tradisional (nasional dan/atau etnis).
9) Bimbingan dan penyuluhan pribadi serta terapi kejiwaan adalah fungsi-fungsi
keluarga dan/atau gereja, bukan sekolah.
Pengendalian ruang kelas
Para siswa mesti menjadi warganegara yang baik dalam penyesuaian diri dengan
cita-cita masyarakat yang melakukan regenerasi moral.
Para guru secara umum harus bersikap ketat, non-permisif, dalam tatacara-
tatacara pengendalian situasi di ruang kelas, sedangkan para siswa diharapkan
menyesuaikan diri dengan wewenang yang telah ditetapkan.
Pendidikan moral (latihan pembentukan watak) adalah dasar dan tujuan
persekolahan.
2. Intelektualisme Pendidikan
Intelektualisme lahir dari ungkapan-ungkapan konservatisme politik yang didasarkan
pada sistem-sistem pemikiran filosofis atau religius yang pada dasarnya otoritarian.
Secara umum, konservatisme filosofis ingin mengubah praktik-praktik politik yang ada
(termasuk praktik-praktik pendidikan), demi menyesuaikannya secara lebih sempurna
Bahan ajar Pengantar Kependidikan program studi Pendidikan Matematika FKIP-UNIKAL
Oleh: Muhammad Ali Gunawan, M.Pd.
PENGANTAR KEPENDIDIKAN
dengan cita-cita intelektual atau rohaniah yang sudah mapan dan tidak bervariasi. Dalam
34
pendidikan kontemporer, konservatisme filosofis mengungkapkan diri sebagai
intelektualisme pendidikan, di mana ada dua variasi mendasar: intelektualisme
pendidikan, yang pada intinya bersifat sekular dan dapat diamati dalam pemikiran
beberapa orang teoretisi pendidikan kontemporer seperti misalnya Robert Maynard
Hutchins dan Mortimer Adler. Dan Intelektualisme teologis, yang memiliki orientasi
sebagaimana terpantul dalam tulisan-tulisan para filosof pendidikan Katolik Roma
kontemporer seperti William McGucken dan John Donahue.
Ideologi dasar intelektualisme pendidikan dirangkum O’neill (2002:287-290) berikut
ini.
Tujuan Pendidikan Secara Meneyeluruh
Tujuan utama pendidikan adalah untuk mengenali, merumuskan, melestarikan dan
menyalurkan Kebenaran (yakni pengetahuan tentang makna dan nilai penting
kehidupan secara mendasar).
Sasaran-sasaran Sekolah
Sekolah diadakan karena dua alasan mendasar: 1) Untuk mengajar siswa tentang
bagaimana cara menalar (bagaimana cara berpikir secara jernih dan tertata), dan
2) Untuk menyalurkan kebijaksanaan yang tahan lama dari masa silam.
Ciri-ciri Umum Intelektualisme Pendidikan
1) Menganggap bahwa pengetahuan adalah sebuah tujuan dalam dirinya sendiri,
bahwa ‘tahu’ bukanlah sekadar cara meningkatkan keefektifan perilaku praktis
semata.
2) Menekankan manusia sebagai manusia, yakni bahwa manusia memiliki
hakikat universal yang melampaui keadaan-keadaan tertentu di suatu
saat/tempat.
3) Menekankan nilai-nilai intelektualisme tradisional, yakni pemupukan nalar
serta penerusan kebijaksanaan spekulatif (filosofis).
4) Memandang pendidikan sebagai sebuah orientasi ke arah kehidupan secara
umum, bukan sebagai hal penyesuaian situasional.
5) Berpusat pada sejarah intelektual manusia sebagaimana dirumuskan dengan
tradisi intelektual Barat yang dominan (klasikisme).
Bahan ajar Pengantar Kependidikan program studi Pendidikan Matematika FKIP-UNIKAL
Oleh: Muhammad Ali Gunawan, M.Pd.
PENGANTAR KEPENDIDIKAN
3. Konservatisme Pendidikan
Konservatisme pada dasarnya adalah posisi yang mendukung ketaatan terhadap
lembaga-lembaga dan proses-proses budaya yang sudah teruji oleh waktu (sudah cukup
tua atau dan mapan), didampingi dengan rasa hormat mendalam terhadap hukum dan
Bahan ajar Pengantar Kependidikan program studi Pendidikan Matematika FKIP-UNIKAL
Oleh: Muhammad Ali Gunawan, M.Pd.
PENGANTAR KEPENDIDIKAN
tatanan, sebagai landasan perubahan sosial yang konstruktif. Sejalan dengan itu, di
38
tingkat politis, orang-orang konservatif cukup mewakili dalam tulisan-tulisan para tokoh
seperti Edmund Burke, James Madison, dan para penulis The Federalis Paper.
Dalam dunia pendidikan seorang konservatif beranggapan bahwa sasaran utama
sekolah adalah pelestarian dan penerusan pola-pola sosial serta tradisi-tradisi yang sudah
mapan. Ada dua ungkapan dasar konservatif dalam pendidikan. Yang pertama adalah
konservatisme pendidikan religius, yang menekankan peran sentral pelatihan rohaniah
sebagai landasan pembangunan karakter moral yang tepat. Yang kedua adalah
konservatisme pendidikan sekular, yang memusatkan perhatiannya pada perlunya
melestarikan dan meneruskan keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik yang sudah ada,
sebagai cara untuk menjamin pertahanan hidup secara sosial serta efektivitas secara kuat
oleh orientasi pendidikan yang bersifat lebih Al-kitabiah dan Evangelis (mendakwahkan
agama) yang secara teologis jelas-jelas kurang liberal jika dibandingkan dengan berbagai
aliran utama.
Ideologi mendasar konservatisme pendidikan adalah (dengan tanpa membedakan
antara konservatisme sekular dan teologis):
Tujuan Pendidikan Secara Keseluruhan
Tujuan utama pendidikan adalah untuk melestarikan dan menyalurkan pola-pola
perilaku sosial konvensional.
Sasaran-sasaran Sekolah
Sekolah diadakan karena dua alasan:
1) Untuk mendorong tentang pemahaman dan penghargaan terhadap lembaga-
lembaga, tradisi-tradisi, proses-proses budaya yang telah teruji oleh waktu,
termasuk rasa hormat yang mendalam terhadap hukum dan tatanan.
2) Untuk menyalur dan menanamkan informasi serta keperluan informasi yang
diperlukan supaya berhasil di dalam tatanan sosial yang ada.
Ciri-ciri umum Konservatisme Pendidikan
1) Menganggap bahwa nilai dasar pengetahuan ada pada kegunaan sosialnya,
bahwa pengetahuan adalah sebuah cara untuk mengajukan nilai-nilai sosial
yang mapan
4. Liberalisme Pendidikan
Bagi seorang pendidik liberal, tujuan jangka panjang pendidikan adalah untuk
melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar setiap siswa
sebagaimana caranya menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupannya sendiri
secara efektif. Liberalisme pendidikan ini berbeda-beda dalam intensitasnya, dari yang
relatif lunak, yakni liberalisme metodis yang diajukan oleh teoretisi seperti Maria
Montessori, ke liberalisme direktif (liberalisme yang bersifat mengarahkan) yang
barangkali paling sarat dengan muatan filosofi John Dewey hingga ke liberalisme non-
direktif, atau ‘liberalisme laissez faire’ (liberalisme tanpa pengarahan) yang merupakan
sudut pandang A.S. Neill atau Carl Rogers.
Beberapa landasan pendidikan Liberal (O’neill, 2002:352-354) yaitu:
1) Seluruh kegiatan belajar bersifat relatif terhadap sifat-sifat dan isi pengalaman
personal. Pengalaman personal melahirkan pengetahuan personal, dan seluruh
pengetahuan personal dengan demikian merupakan keluaran dari
pengalaman/perilaku personal sehubungan dengan sejumlah kondisi objektif
tertentu. (inilah prinsip dasar relatifisme psikologis)
2) Begitu subjektivitas (yakni sebuah rasa kesadaran personal yang diniatkan, yang
semakin berkembang ke arah sebuah sistem diri yang mekar secara penuh, atau
disebut juga ‘kepribadian’) muncul dari proses-proses perkembangan personal,
seluruh tindakan belajar yang punya arti penting cenderung untuk bersifat
Bahan ajar Pengantar Kependidikan program studi Pendidikan Matematika FKIP-UNIKAL
Oleh: Muhammad Ali Gunawan, M.Pd.
PENGANTAR KEPENDIDIKAN
subjektif, dalam arti bahwa ia sebagian besar diatur oleh yang volisional, dan
43
karenanya merupakan perhatian yang bersifat pilih-pilih atau selektif. (landasan
subjektifisme).
3) Seluruh kegiatan belajar pada puncaknya mengakar pada keterlibatan dalam
pengertian-inderawi yang aktif. (ini adalah landasan berbagai prinsip filosofis
yang terkait dengan empirisme, behaviorisme, materialisme, dan empirisme
biogis).
4) Seluruh kegiatan belajar pada dasarnya merupakan proses pengujian gagasan-
gagasan, dalam situasi-situasi pemecahan masalah secara praktis. (prinsip dasar
pragmatisme dan instrumentalisme).
5) Cara terbaik untuk mempelajari sesuatu – dan, sebagai implikasinya, juga cara
terbaik untuk hidup, karena belajar secara efektif adalah kunci ke kehidupan yang
efektif – adalah dengan cara melakukan penyelidikan kritis yang diatur oleh
pengertian-pengertian eksperimental, yang mencirikan cara berpikir ilmiah.
(Landasan eksperimentalisme filosofis dan eksperimentalisme ilmiah).
6) Pengalaman kejiwaan yang paling dini – pengalaman yang dialami oleh orang
yang belajar (the learner) pada waktu ia masih kanak-kanak, termasuk latihan-
latihan emosional dan kognitif yang pertama-tama diterimanya – sangatlah
penting karena pengalaman itu berlangsung lebih dulu ketimbang pengalaman-
pengalaman logis dan psikologis lanjutannya. Pengalaman paling dini tadi
menjadi landasan pembentukan kemapanan sistem-diri yang kemudian ada (dan
pada gilirannya melahirkan subjektifitas), seperti juga menjadi dasar bagi proses-
proses kepribadian yang lebih jauh lagi, yang muncul di usia yang lebih tua.
(dasar sudut pandang psikologis developmentalisme).
7) Tindakan belajar dikendalikan oleh konsekuensi-konsekuensi emosional dari
perilaku personal – yakni prinsip penguatan (reinforcement). Jika hal-hal lain
setara, individu hanya mempelajari tindakan-tindakan yang menghasilkan
konsekuensi-konsekuensi hedonis (kenikmatan atau ketidaknikmatan), entah itu
yang bersifat fisik ataukah psikologis. Tindakan-tindakan netral yang sifatnya
afektif (hedonis) tidaklah dipelajari (demi segala tujuan praktis), sedangkan
perilaku yang dikuatkan secara negatif (artinya, ditolak) biasanya ditinggalkan
Para guru secara umum harus bersifat demokratis dan objektif dalam menentukan
49
tolok ukur tingkah laku; ia harus meminta nasihat/usulan dan persetujuan siswa
dalam memapankan aturan-aturan tentang perilaku di dalam kelas.
Lantaran tindakan bermoral pada puncaknya adalah tindakan paling cerdas yang
tersedia dalam situasi khusus yang manapun juga, maka pendidikan moral
(pelatihan watak) pastilah merupakan keluaran sampingan dari tindakan guru
membantu siswa untuk mengembangkan kemampuannya untuk memecahkan
masalah secara efektif.
5. Liberasionisme Pendidikan
Liberasionisme adalah sebuah sudut pandang yang menganggap bahwa kita mesti
segera melakukan perombakan berlingkup besar terhadap tatanan politik yang ada
sekarang, sebagai cara untuk memajukan kebebasan-kebebasan individu dan
mempromosikan perujudan potensi-potensi diri semaksimal mungkin. Liberasionisme
pendidikan mencakup sebuah spektrum pandangan yang luas, yang merentang dan
liberasionisme pembaharuan yang relatif bersifat konservatif, yang diajukan
dipertengahan 1960-an dalam berbagai protes menuntut hak-hak warga negara, ke
komitmen yang kuat dan mendesak terhadap liberasionisme revolusioner (seringkali
Marxis) dengan seruannya agar sistem pendidikan segera mengambil peran aktif dalam
menggulingkan tatanan politik yang ada sekarang.
Bagi pendidik liberasionis, sekolah haruslah bersifat obyektif (rasional-ilmiah),
namun tidak sentral. Sekolah memiliki fungsi ideologis: ia ada bukan hanya untuk
mengajarkan kepada siswa bagaimanakah cara berpikir yang efektif (secara rasional dan
ilmiah), melainkan juga untuk membantu siswa mengenai kebijaksanaan tertinggi yang
ada di dalam pemecahan-pemecahan masalah secara intelek yang paling meyakinkan,
yang tersedia sehubungan dengan berbagai problema manusia yang terpenting. Dengan
kata lain, liberasionisme pendidikan dilandasi oleh sebuah sistem kebenaran yang
terbuka, namun ia mencakup komitmen tertentu terhadap rangkaian tindakan apa pun
yang didukung oleh kesepakatan yang sarat pengetahuan dan bersifat obyektif dalam
komunitas intelektual di suatu saat tertentu. Pada puncaknya, liberasionisme pendidikan
adalah sebuah orientasi ‘berpusat pada problem atau tatacara’. Namun ia juga meliputi
komitmen kedua yang kuat terhadap jawaban-jawaban terbaik yang dibuat oleh
kecerdasan yang terlatih. Ia memandang bahwa sekolah secara moral berkewajiban untuk
50
mengenali dan mempromosikan program-program sosial konstruktif dan bukan hanya
melatih pikiran siswa. Sekolah pun harus memajukan pola tindakan yang paling
meyakinkan yang didukung oleh sebuah analisis obyektif berdasarkan fakta-fakta yang
ada.
Ideologi dasar liberasionisme pendidikan adalah sebagai berikut.
Tujuan Pendidikan secara Menyeluruh
Tujuan utama pendidikan adalah untuk mendorong pembaharuan-pembaharuan
sosial yang perlu, dengan cara memaksimalkan kemerdekaan personal di dalam
sekolah, serta dengan cara membela kondisi-kondisi yang lebih manusiawi dan
memanusiakan di dalam masyarakat scara umum.
Sasaran-sasaran Sekolah
Sekolah ada lantaran tiga alasan utama:
1) Untuk membantu para siswa mengenali dan menanggapi kebutuhan akan
pembaharuan/perombakan sosial
2) Untuk menyediakan informasi dan keterampilan-keterampilan yang
diperlukan siswa supaya bisa belajar secara efektif bagi dirinya sendiri.
3) Untuk mengajar para siswa tentang bagaimana caranya memecahkan
masalah-masalah praktis melalui penerapan teknik-teknik penyelesaian
masalah secara individual maupun kelompok yang didasari oleh metode-
metode ilmiah-rasional.
Ciri-ciri Umum Libersionisme Pendidikan
1) Menganggap bahwa pengetahuan adalah alat yang diperlukan untuk
melakukan pembaharuan/perombakan sosial.
2) Menekankan manusia sebagai sebentuk keluaran budaya, budaya merupakan
penentu-sosial kedirian.
3) Menekankan analitis objektif (ilmiah-rasional) serta evaluasi/penilaian
terhadap kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik sosial yang ada.
4) Menganggap pendidikan sebagai perujudan yang paling utuh dari potensi-
potensi khas tiap orang sebagai mahluk manusia.
Kedirian (kepribadian) tumbuh dari pengkondisian sosial, dan dari yang bersifat
52
sosial ini menjadi landasan bagi penentuan ‘diri’ lanjutan, anak hanya bebas di
dalam konteks determinisme sosial dan psikologis.
Administrasi dan Pengendalian
Wewenang pendidikan mesti ditanamkan di tangan minoritas yang tercerahkan,
yang terdiri atas para intelektual yang bertanggung-jawab, yang sepenuhnya
sadar akan kebutuhan objektif bagi perubahan-perubahan sosial yang
konstruktif, dan yang mampu menanamkan perubahan-perubahan semacam itu
melalui sekolah-sekolah.
Wewenang guru mesti terutama didasari ketajaman intelektualnya serta
kesadaran sosialnya yang tercerahkan.
Sifat-sifat Hakiki Kurikulum
1) Sekolah harus menekankan pembaharuan/perombakan sosio-ekonomis
2) Sekolah mesti memusatkan perhatian pada pemahaman diri serta tindakan
sosial sekaligus.
3) Penekanan mesti diletakkan pada tindakan yang cerdas dalam mengejar
keadilan sosial.
4) Mata pelajaran harus bersifat pilihan dalam batas-batas penentuan yang
umum.
5) Penekanan harus diletakkan pada penerapan praktis dari yang sifatnya
intelektual (praksis) melebihi apa yang secara sempit bersifat praktis ataupun
akademis.
6) Sekolah mesti menekankan problema-problema sosial yang kontroversial,
menekankan pengenalan dan analisis terhadap nilai-nilai dan prakiraan-
prakiraan dasar yang menggarisbawahi isu-isu sosial, dan memperagakan
kepedulian khusus terhadap penerapan apa yang dipelajari di dalam ruang
kelas kepada kegiatan-kegiatan yang punya arti penting secara sosial di luar
sekolah; sekolah mesti secara tipikal menampilkan pendekatan-pendekatan
antar-disiplin keilmuan yang berpusat pada problema, yang meliputi wilayah
kajian seperti filosofi, psikologi, kesusasteraan kontemporer, sejarah, dan
ilmu-ilmu behavioral dan sosial.
Bahan ajar Pengantar Kependidikan program studi Pendidikan Matematika FKIP-UNIKAL
Oleh: Muhammad Ali Gunawan, M.Pd.
PENGANTAR KEPENDIDIKAN
siswa pada puncaknya tidak bisa dituntut dalam arti menurut konsep ‘kehendak
54
bebas’ tradisional.
Para guru harus bersifat demokratis dan objektif dalam menentukan tolok ukur
perilaku, dan tolok ukur semacam itu harus ditentukan secara bersama-sama
dengan para siswa, sebagai cara mengembangkan rasa tanggung-jawab moral
mereka.
Lantaran tindakan yang bermoral adalah tindakan yang paling cerdas, dalam
situasi apapun, maka peningkatan kecerdasan praktis adalah corak pendidikan
moral yang paling efektif. Di sisi lain, tindakan yang cerdas, sebagai sebuah
cita-cita atau corak ideal secara sosial yang dianjurkan, memerlukan adanya
masyarakat yang cerdas (yang objektif) di mana setiap orang diberi kesempatan
yang setara untuk membuat pilihan-pilihan tercerahkan berdasarkan
kesempatan-kesempatan pendidikan yang setara.
6. Anarkisme Pendidikan
Penganut anarkisme pada umumnya menerima sistem penyelidikan eksperimental
yang terbuka (pembuktian pengetahuan melalui penalaran ilmiah) sama halnya dengan
pendidik liberal dan liberasionis, atau menerima prakiraan-prakiraan yang dianggap
selaras dengan sistem pendidikan semacam itu. Perbedaannya terletak pada anggapan
pendidik anarkisme yang menganggap bahwa kita harus menekankan perlunya
meminimalkan dan atau menghapuskan pembatasan-pembatasan kelembagaan terhadap
perilaku personal, bahwa kita mesti, sejauh mungkin yang bisa kita lakukan
mendeinstitusinalisasikan masyarakat, membuat masyarakat bebas-lembaga. Bagi
mereka, pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah pendekatan yang mengupayakan
untuk mempercepat perombakan humanistik berskala besar yang mendesak dalam
masyarakat, dengan cara menghapuskan sistem persekolahan. Pemikiran-pemikiran
semacam ini terpancar dalam pemikiran-pemikiran Ivan Illich dan Paul Goodman. Sudut
pandang anarkisme pendidikan meliputi berbagai posisi yang merentang dari anarkisme
taktis, yang ingin melebur sekolah-sekolah sebagai cara untuk membebaskan kekayaan
dan sumberdaya (yang terpakai di sana) untuk keperluan-keperluan sosial yang
59
DAFTAR PUSTAKA
Jalal, Fasli & Dedi Supriadi. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi
Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
O’neil, William F. 2001. Ideologi-Ideologi Pendidikan, Alih Bahasa: Omi Intan Naomi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sidi, Indra Djati, 2001. Menuju Masyarakat Belajar Menggagas Paradigma Baru
Pendidikan. Jakarta: Paramadina.
Thut, I.N & Don Adams, 2005. Pola-Pola Pendidikan Dalam Masyarakat Kontemporer.
Penerjemah: SPA Teamwork. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 60
Tilaar, H.A.R. 1997. Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam Era Globalisasi Visi,
Misi, dan Program Aksi Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020. Jakarta: PT.
Grasindo
-------,2002. Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru 70 Tahun Prof. Dr. H.A.R.
Tilaar, M.Sc.Ed. Jakarta: PT. Grasindo
Tirtahardja, Umar & Lasulo. 1994. Pengantar Pendidikan, Jakarta: Proyek Pembinaan
Tenaga Kependidikan Dirjen Dikti Depdikbud.
Widodo, Sembodo Ardi, 2007. Kajian Filosofis Pendidikan Barat dan Islam. Jakarta: PT.
Nimas Multima