Professional Documents
Culture Documents
A. PRINSIP
B. TUJUAN
1. Mampu menganalisis kualitas fisik dan organoleptik hasil pengalengan hewani
2. Mampu menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas bahan pangan hewani
dalam proses pengalengan
C. TINJAUAN PUSTAKA
Pengalengan didefinisikan sebagai suatu cara pengawetan bahan pangan yang dipak
secara hermetis (kedap terhadap udara, air, mikroba, dan benda asing lainnya) dalam
suatu wadah, yang kemudian disterilkan secara komersial untuk membunuh semua
mikroba patogen (penyebab penyakit) dan pembusuk. Pengalengan secara hermetis
memungkinkan makanan dapat terhindar dan kebusukan, perubahan kadar air, kerusakan
akibat oksidasi, atau perubahan cita rasa.
Pada prinsipnya hampir semua produk asal laut dapat dikalengkan, seperti teripang, cumi-
cumi, kerang, kepiting, ubur-ubur, udang, berbagai jenis ikan, dan sebagainya. Hanya
saja, pada umumnya ikanlah yang paling banyak dikalengkan. Beberapa jenis ikan yang
biasa dikalengkan adalah cakalang, tuna, lemuru, sardin, salmon, kembung, banyar,
kenyar, bengkunis, corengan, tembang, layang, bentong, dan juhi.
a. Kaleng dapat menjaga bahan pangan yang ada di dalamnya. Makanan yang ada di
dalam wadah yang tertutup secara hermetis dapat dijaga terhadap kontaminasi oleh
mikroba, serangga, atau bahan asing lain yang mungkin dapat menyebabkan
kebusukan atau penyimpangan penampakan dan cita rasanya.
b. Kaleng dapat juga menjaga bahan pangan terhadap perubahan kadar air yang tidak
diinginkan.
c. Kaleng dapat menjaga bahan pangan terhadap penyerapan oksigen, gas-gas lain, bau-
bauan, dan partikel-partikel radioaktif yang terdapat di atmosfer.
d. Untuk bahan pangan berwarna yang peka terhadap reaksi fotokimia, kaleng dapat
menjaga terhadap cahaya.
Apabila menginginkan produk yang siap olah, pilihlah yang bermedia saus tomat. Bila
ingin mengolah produk dalam kaleng lebih lanjut, produk berlarutan garam atau minyak
nabati dapat dipilih.
1. Ikan yang digunakan telah melewati tahap seleksi, sehingga mutu dan kesegarannya
dijamin masih baik.
2. Ikan tersebut telah melalui proses penyiangan, sehingga terhindar dari sumber
mikroba kontaminan, yaitu yang terdapat pada isi perut dan insang.
3. Pemanasan telah cukup untuk membunuh mikroba pembusuk dan penyebab penyakit.
4. Ikan termasuk ke dalam makanan golongan berasam rendah, yaitu mempunyai kisaran
pH 5,6 - 6,5. Adanya medium pengalengan dapat meningkatkan derajat keasaman
(menurunkan pH), sehingga produk dalam kaleng menjadi awet. Pada tingkat
keasaman yang tinggi (di bawab pH 4,6), Clostridium botulinum tidak dapat tumbuh.
5. Penutupan kaleng dilakukan secara rapat hermetis, yaitu rapat sempurna sehingga
tidak dapat dilalui oleh gas, mikroba, udara, uap air, dan kontaminan lainnya. Dengan
demikian, produk dalam kaleng menjadi lebih awet.
Satu hal yang harus diingat adalah bahwa pemanasan tidak dapat membunuh semua
mikroba, khususnya thermofilik (tahan terhadap panas). Mikroba tahan panas tersebut
tidak akan tumbuh pada kondisi penyimpanan yang normal. Apabila penyimpanan
dilakukan pada ruang yang bersuhu cukup tinggi atau terkena cahaya matahari langsung,
mikroba tahan panas tersebut akan aktif kembali dan merusak produk.
Penyimpanan produk harus dilakukan pada suhu yang cukup rendah, seperti pada suhu
kamar normal dengan kelembaban rendah. Akan menjadi lebih baik lagi bila disimpan
pada lemari pendingin.
Kondisi penyimpanan sangat berpengaruh terhadap mutu ikan dalam kaleng. Suhu yang
terlalu tinggi dapat meningkatkan kerusakan cita rasa, warna, tekstur, dan vitamin yang
dikandung oleh bahan akibat terjadinya reaksi-reaksi kimia.
Mekanisme Pengalengan
Pengalengan bahan pangan pada prinsipnya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
Penutupan Kaleng
Mesin penutup kaleng memiliki empat bagian penting yang berhubungan langsung
dengan proses penutupan. Keempat bagian itu adalah:
1. Seaming Chuck
Merupakan bagian yang berbentuk lempeng atau piringan bulat yang ukurannya tepat
seperti tutup kaleng (memiliki ukuran yang sama seperti bagian counter sink). Adapun
fungsi seaming chuck ini adalah untuk menahan kaleng body agar tidak meleset pada
operasi penutupan oleh rol pertama dan kedua.
2. Can Lifter Plate
Merupakan lempengan bulat yang menyangga kaleng dari bawah sehingga bagian atas
kaleng menempel pada seaming chuck dan tepat berada pada posisi operasi rol
pertama dan kedua.
3. First Operation Seaming Roll
Pada alat penutup kaleng double seamer, proses penutupan kaleng yang sebenarnya
dilakukan oleh dua pasang rol yang posisinya saling bersilangan. Rol pertama ini ada
dua (sepasang) yang posisinya adalah saling diagonal. Rol pertama memiliki lekukan
yang lebih dalam dan lebar yang berfungsi untuk membentuk keliman awal.
4. Second operation seaming roll
Ini adalah rol kedua yang berfungsi untuk menyempurnakan hasil dari rol pertama.
Rol kedua ini memiliki lekukan yang dangkal dan sempit sehingga menghasilkan
keliman ganda yang lebih rapat.
Kaleng diletakkan tepat ditengah-tengah lifter, pada saat pedal ditekan lifter akan naik
sehingga kaleng melekat pada seaming chuck, yang mana pada seaming chuck telah
terdapat tutup kaleng. Rol pertama mulai bekerja, sambil berputar rol pertama akan
mendekati posisi tutup kaleng. Karena lekukan pada rol pertama, maka tutup kaleng akan
melipat ke bawah. Keliman pertama terbentuk. Setelah rol pertama mengelilingi seluruh
bagian tutup kaleng maka rol pertama akan menjauhi tutup kaleng.
Setelah itu rol kedua yang berputar akan mendekati tutup yang telah dilipat oleh rol
pertama tadi, karena lekukanya lebih sempit dan dangkal maka keliman yang terbentuk
oleh rol kedua ini akan lebih rapat.
Setelah rol kedua menyelesaikan tugasnya maka akan segera menjauhi chuck dan lifter
bersama kaleng yang telah tertutup akan turun, dan selesailah operasi penutupan kaleng
tersebut. Seluruh operasi penutupan kaleng memerlukan waktu sekitar 10 detik.
F. DATA PENGAMATAN
1. Pengamatan Setelah Prosesing
Pengamatan Kaleng Pada Saat Pendinginan
G. PEMBAHASAN
Seperti halnya pengalengan bahan pangan nabati, pengalengan bahan pangan hewani juga
dilakukan dengan prosedur yang sama. Perbedaan yang cukup signifikan tentu saja dari
bahan dasar yang dipergunakan, pada pengalengan bahan pangan hewani ini bahan baku
yang dipergunakan adalah daging yang diolah menjadi rawon, dan ikan yang diolah
menjadi ikan kaleng (lebih dikenal dengan nama “sarden”).
Daging dan ikan yang dipergunakan memiliki kualitas yang baik, untuk daging yang akan
dipergunakan sebaiknya tidak berlemak, sedangkan untuk ikan sebaiknya segar dan utuh.
Dressing dan trimming-nya disesuaikan dengan bahan yang dipersiapkan. Pada persiapan
daging, pemotongan menjadi bagian yang lebih kecil disesuaikan dengan ukuran kaleng.
Untuk bagian tulang, lemak dan sisa potongan daging lainnya dapat dipergunakan untuk
membuat medium pengisi kaleng atau lebih dikenal dengan nama Broth
Untuk bahan ikan yang akan dikalengkan, ikan dibersihkan dan bagian kepala, sisik, isi
perut dan bagian lain yang tak dapat dimakan dibuang. Perendaman dengan air bersih
dapat menghilangkan darah lebih efektif tetapi memiliki kecenderungan melunakkan
daging ikan bila tidak digunakan air garam. Setelah dicuci bersih, ikan kemudian
dipotong sesuai dengan ukuran kaleng.
Komoditas daging dan ikan termasuk bahan pangan low acid. Biasanya perlakuan panas
untuk bahan pangan low acid dirancang untuk menginaktifkan sejumlah besar spora
Clostridium botulinum. Proses sterilisasi komersial dilakukan melalui pemanasan pada
suhu tinggi. Karena tujuan sterilisasi adalah untuk membunuh semua sel vegetatif dan
semua spora bakteri, maka bahan pangan berasam rendah yang disterilisasi komersial
membutuhkan suhu proses yang tinggi.
Daging dan ikan adalah komoditas yang kaya akan nutrisi sehingga merupakan substrat
yang baik bagi pertumbuhan mikroba, oleh karena itu dalam praktikum ini ditekankan
aspek aseptis dalam setiap tahapan pengerjaan. Penilaian keamanan pangan hasil
pengolahan panas pada makanan kaleng secara umum harus memperhatikan hal berikut:
(1) pengetahuan tentang resistensi mikroba paling tahan panas yang mampu
menyebabkan pembusukan, dan (2) pengetahuan tentang kecepatan penetrasi panas ke
dalam titik dalam wadah yang paling lambat menerima panas.
Ketahanan panas mikroba tergantung pada sejumlah faktor yang harus dipertimbangkan
dengan matang. Ada tiga kategori yang berhubungan dengan faktor-faktor ini, yaitu;
3. jenis makanan dimana mikroba yang telah dipanaskan ini dibiarkan tumbuh.
Titik penetrasi panas yang paling lambat dalam kaeng menurut Buckle (1987) adalah
pada titik di atas pusat geometris untuk produk padat. Sedangkan untuk produk cair
terletak pada ± 1/6 hingga 1/3 tinggi kaleng. Kecepatan penetrasi panas dalam makanan
kaleng diitentukan oleh :
Ukuran (rasio luas permukaan dengan volume), sifat asal dan komposisi wadah.
Konsistensi produk (rasio padatan dengan cairan)
Suhu retorr dan suhu awal makanan
Rotasi atau agitasi kaleng
Isi dan ukuran head space
Metode pengisian
Letak kaleng dalam autoclave
Metode operasi autoclave
Proses steriliasi perlu dikendalikan dengan baik karena bila tidak terkontrol dengan baik,
pemanasan yang berlebihan dapat merusak mutu organoleptik dan gizi produk pangan
tersebut. Produk pangan yang telah mengalami sterilisasi seharusnya dikemas dengan
kemasan yang kedap udara untuk mencegah terjadinya rekontaminasi.
Produksi pangan steril komersial mencakup dua operasi yang esensial yaitu:
1. Bahan pangan harus dipanaskan secara cukup (pada suhu yang cukup tinggi dan
waktu yang cukup lama) untuk memastikan bahwa kondisi steril komersial telah
tercapai.
2. Pangan yang telah disterilisasi komersial harus dikemas dan ditutup dengan
menggunakan wadah yang hermetik atau kedap udara (seperti kaleng, gelas,
alumnium foil, retort pouch, dll), sehingga mampu mencegah timbulnya
rekontaminasi setelah produk tersebut disterilkan
Kondisi pengemasan kedap udara ini menyebabkan terbatasnya jumlah udara (oksigen)
yang rendah, sehingga mikroorganisme yang bersifat obligat aerob tidak akan mampu
tumbuh pada produk pangan tersebut. Namun yang perlu diperhatikan adalah
mikroorganisme (terutama spora) yang bersifat fakultatif atau obligat anaerob yang jika
tidak diperhatikan dengan seksama akan mampu menyebabkan terjadinya kebusukan.
Dengan demikian, suatu produk pangan dikatakan sudah steril komersial apabila:
1. produk telah mengalami proses pemanasan lebih dari 100oC
3. bebas mikroba yang dalam kondisi penyimpanan dan penanganan normal dapat
menyebabkan kebusukan
Golongan bahan pangan low acid membutuhkan sterilisasi pada tekanan uap air tertentu.
Hal ini karena sterilisasi pada titik didih tidak pernah berhasil. Suhu yang dibutuhkan
untuk sterilisasi bahan pangan low acid minimal 240oF atau 116oC.
Pada saat praktikum proses sterilisasi untuk daging menggunakan suhu 121 oC dan
tekanan 1,05 bar. Sedangkan ikan menggunakan suhu 116oC tekanan 0,8 bar. Waktu dan
suhu yang diperlukan proses sterilisasi tergantung pada konsistensi atau ukuran
partikelnya, derajat keasaman isi kaleng, ukuran head space, besar dan ukuran kaleng,
kemurnian uap air (steam) yang digunakan, dan kecepatan perambatan panas.
Suhu awal kaleng harus berada di atas 60°C. Hal ini dikarenakan pada suhu di bawah
60°C dikhawatirkan terjadi pertumbuhan mikroba, baik mikroba mesofilik maupun
termofilik yang tumbuh pada kisaran suhu 37-55°C. Dengan demikian jika suhu 60 oC
tidak tercapai maka akan menambah jumlah awal mikroba yang akan berpangaruh
terhadap keberhasilan proses sterilisasi.
Bila kondisi tetap dipertahankan pada standar yang ditetapkan, maka kemungkinan
terjadi under process, yaitu proses tidak cukup membunuh mikroba patogen dan
pembusuk yang ada. Sedangkan bila kondisi dirubah untuk menyesuaikan dengan
jumlah mikroba awal, maka akan terjadi overprocess, yaitu proses berlebihan yang akan
menyebabkan kerusakan bahan yang disterilisasi.
Sebelum sterilisasi dimulai, terdapat udara dalam jumlah yang banyak dalam autoclave.
Autoclave horizontal dengan muatan penuh kaleng masih terdapat sekitar 70 – 80%
ruangan yang masih dipenuhi udara. Sedangkan untuk autoclave vertikal bermuatan
penuh, biasanya lebih dari 60% ruangan terisi oleh udara. Karena itu penting sekali
membuang udara sebelum proses uap berlangsung, karena dengan adanya udara maka
proses penetrasi panas dapat terhambat.
Coming up Time adalah waktu yang diperlukan untuk menaikkan suhu retort sampai
mencapai suhu proses yang dikehendaki. Dengan demikian CUT dihitung dari mulai saat
pertama autoklaf dibuka sampai akhirnya mencapai suhu yang dikehendaki. Dari
pengalaman empiris, diketahui bahwa hanya 40% dari CUT mempunyai efek letal yang
signifikan bagi tercapainya sterilitas. Semakin cepat CUT maka suhu proses akan
semakin tinggi dan waktu proses yang dibutuhkan untuk mencapai suhu tersebut akan
semakin cepat sehingga dapat menghemat energi yang digunakan pada proses pemanasan
tersebut. Waktu CUT yang tercapai pada praktikum ini adalah 19 menit untuk daging.
Semakin lama suhu CUT, maka waktu sterilisasi pun akan berkurang menurut persamaan
berikut
Khusus untuk daging dan ikan waktu sterilisasi akan langsung mempengaruhi mutu
organoleptik produk yang dihasilkan. Waktu sterilisasi yang terlalu pendek menyebabkan
daging masih alot akan tetapi terlalu lama akan menyebabkan daging rapuh. Begitupun
pada ikan. Waktu sterilisasi yang terlalu singkat menyebabkan duri masih keras.
Hasil praktikum menunjukkan bahwa mutu daging dan ikan dalam kaleng belum banyak
berubah selama penyimpanan 1 minggu. Hanya saja diketahui bahwa tekstur daging yang
masih agak alot. Hal ini seperti dijelaskan sebelumnya diakibatkan oleh waktu sterilisasi
yang masih terlalu singkat akibat waktu CUT yang lama. Oleh karena itu sebaiknya
autoclave yang akan digunakan telah dipanaskan terlebih dahulu sebelum proses
steriliasi dimulai. Mutu organoleptik ikan hasil praktikum pun tidak jauh berbeda. Duri
yang terdapat pada ikan belum sepenuhnya lunak.
Terlepas dari mutu organoleptik yang dihasilkan, secara umum praktikum pengalengan
bahan pangan hewani ini lebih baik jika dibandingkan dengan pengalengan bahan
pangan nabati dari praktikum sebelumnya. Hal ini ditandai tidak terdapat kaleng yang
mengambang namun terdapat 9 buah kaleng yeng menggelembung dan dinyatakan rusak.
H. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum diketahui bahwa tahapan kritis dalam pengalengan daging
dan ikan terletak antara pengaturan waktu akibat koreksi waktu CUT. Apabila waktu
terlalu lama maupun terlalu singkat akan mempengaruhi mutu organoleptik produk
secara langsung. Meskipun demikian tidak banyak kaleng yang mengambang setelah
pendinginan. Hal ini menunjukkan bahwa pengaturan head space telah jauh lebih
seragam dibandingkan praktikum sebelumnya.
1. Daftar Pustaka
Buckle, et al. 1987. Ilmu Pangan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Dwiari, S.R. 2008. Teknologi Pangan Jilid 1. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah
Menengah Kejuruan Departemen Pendidikan Nasional.
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Penerbit Gramedia.