You are on page 1of 11

TEORI MSYRKT INFORMASI

Saat ini tampaknya tidak ada fenomena yang diakui secara begitu meluas keberadaannya,
seperti masyarakat informasi (information society). Secara kasar, dapat dinyatakan bahwa
masyarakat informasi adalah masyarakat di mana kreasi, distribusi, difusi, penggunaan,
integrasi dan manipulasi informasi merupakan aktivitas ekonomi, politik dan budaya yang
signifikan. Ekonomi pengetahuan (knowledge economy) adalah pengimbang ekonomi di
mana kemakmuran diciptakan melalui eksploitasi ekonomis terhadap pemahaman
(understanding). Orang yang memiliki sarana untuk ikut serta dalam bentuk masyarakat
seperti ini kadang-kadang disebut warganegara digital (digital citizens).

Spesifik bagi masyarakat jenis ini adalah posisi sentral yang dimiliki teknologi informasi bagi
produksi, ekonomi, dan masyarakat luas. Masyarakat informasi dipandang sebagai pengganti
dari masyarakat industrial. Konsep-konsep yang terkait erat dengannya adalah masyarakat
pasca industri (post-industrial society) dari Daniel Bell, post-fordism, masyarakat pasca
modern (post-modern society), Masyarakat Telematika (Telematic Society), Revolusi
Informasi, dan masyarakat jejaring (network society) dari Manuel Castells.

Dimungkinkan untuk membedakan secara analitis sejumlah definisi tentang masyarakat


informasi, yang masing-masing menghadirkan kriteria untuk identifikasi. Yaitu, dari segi:
teknologi, ekonomi, kerja (occupational), ruang (spatial), dan budaya (cultural). Kriteria-
kriteria ini tidak harus eksklusif satu dengan yang lain, namun sejumlah teoretisi tampak
lebih menekankan satu kriteria ketimbang kriteria yang lain.

Dalam aspek teknologi, definisi yang paling umum tentang masyarakat informasi
menekankan pada inovasi teknologi yang spektakuler. Ide kuncinya adalah bahwa terobosan
dalam proses informasi, penyimpanan dan transmisinya tampaknya telah mendorong ke arah
aplikasi teknologi informasi (IT) pada seluruh sudut dan aspek kehidupan masyarakat.

Karena sekarang sangat ekonomis dan layak untuk menaruh komputer di mesin tik, mobil,
alat masak, arloji, mesin-mesin pabrik, televisi, mainan anak, dan seterusnya, maka
masyarakat tentunya akan mengalami gejolak sosial sampai tahapan tertentu yang bisa
disebut manusia memasuki era baru. Banyak buku, majalah dan presentasi TV telah
mendorong cara pandang ini.
Teknologi komputer dianggap berperan signifikan pada zaman informasi, sebagaimana
halnya mekanisasi pada zaman revolusi industri. Pemikir seperti Alvin Toffler dan banyak
lagi yang lain termasuk dalam kelompok pandangan ini.

Sementara itu, dalam aspek ekonomi, ada subdivisi dalam ilmu ekonomi yang
memperhatikan “ekonomi informasi.” Fritz Machlup (1902-1983), misalnya, membuat
penilaian tentang ukuran dan pertumbuhan industri-industri informasi. Ia membedakan lima
kelompok besar industri (yang kemudian dipecah lagi menjadi 50 cabang). Lima kelompok
besar itu adalah: pendidikan (sekolah, perpustakaan, universitas); media komunikasi (radio,
TV, periklanan); mesin-mesin informasi (komputer, alat musik); jasa informasi (hukum,
asuransi, kedokteran); dan aktivitas informasi lainnya (riset dan pengembangan, aktivitas
nirlaba).

Dengan kategori semacam ini, dimungkinkan untuk mengukur nilai ekonomis terhadap
masing-masing kelompok industri informasi dan menjejaki kontribusinya pada pendapatan
nasional bruto (GNP). Jika proporsinya terus meningkat signifikan pada GNP, bisa diklaim
bahwa telah tumbuh suatu “ekonomi informasi.” Guru manajemen Peter Drucker pada 1960-
an bahkan sudah mengatakan, pengetahuan (knowledge) sudah menjadi landasan bagi
ekonomi modern, ketika terjadi pergeseran dari ekonomi barang (economy of goods) ke
ekonomi pengetahuan (knowledge economy).

Di sisi lain, ukuran populer bagi munculnya “masyarakat informasi” adalah yang berfokus
pada perubahan kerja (occupational change). Secara sederhana, dikatakan bahwa kita telah
mencapai “masyarakat informasi” manakala dominasi lapangan kerja ditemukan di sektor
informasi. Misalnya, “masyarakat informasi” sudah tercipta ketika jumlah pekerja kantoran,
guru, pengacara, dan penghibur sudah melebihi jumlah pekerja tambang batubara, pekerja
pabrik baja, dan pekerja galangan kapal. Definisi lapangan kerja juga sering dikombinasikan
dengan ukuran ekonomis.

Daniel Bell, misalnya, melihat adanya pertumbuhan ”masyarakat kerah putih’ (white collar
society) –yang diartikan sebagai kerja di sektor informasi—serta menurunnya perubahan
buruh industrial (sektor yang mengandalkan kekuatan fisik dan keterampilan manual). Hal ini
dianggapnya sebagai akan berakhirnya konflik politik yang berbasis kelas dan meningkatnya
kesadaran komunal.

Sedangkan, konsepsi “masyarakat informasi” –meskipun ditarik dari ilmu sosiologi dan
ekonomi—juga memiliki inti penekanan tertentu pada aspek ruang geografis. Penekanan
utamanya adalah pada jejaring informasi (information networks) yang menghubungkan
lokasi-lokasi dan sebagai konsekuensinya memberi dampak dramatis pada pengorganisasian
ruang dan waktu.

John Goddard (1992) mengidentifikasi empat unsur yang saling berkait dalam transisi ke
“masyarakat informasi.” Pertama, informasi mulai menduduki panggung utama sebagai
“sumberdaya strategis kunci” di mana organisasi ekonomi dunia tergantung padanya. Kedua,
teknologi komputer dan komunikasi menyediakan infrastruktur yang memungkinkan
informasi diproses dan didistribusikan. Teknologi ini memungkinkan informasi ditangani
dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah, memfasilitasi perdagangan
seketika (real-time), serta memantau urusan ekonomi, sosial, dan politik di panggung dunia.

Ketiga, ada pertumbuhan yang sangat cepat pada “sektor informasi yang bisa
diperdagangkan” (tradeable information sector) dalam ekonomi, mencakup pertumbuhan
eksplosif jasa-jasa semacam media baru (siaran lewat satelit, kabel, video) dan basis data on-
line. Keempat, “informasisasi” yang tumbuh pada ekonomi telah memfasilitasi integrasi
ekonomi nasional dan regional.
Terakhir, konsepsi final tentang “masyarakat informasi” yang paling mudah dikenali namun
sulit diukur adalah dalam aspek budaya. Dari kehidupan sehari-hari kita dapat merasakan,
telah terjadi peningkatan yang luar biasa dalam hal informasi pada sirkulasi sosial. Jauh
meningkat dari yang pernah ada sebelumnya. Televisi, misalnya, telah hadir lebih dari 45
tahun di Inggris, namun sekarang TV diprogram untuk siaran 24 jam tiap hari. Di Indonesia
saja, kini setidaknya ada sebelas stasiun TV yang bersiaran secara nasional, belum
menghitung puluhan TV daerah lainnya.

Hal-hal ini menunjukkan fakta, kita kini hidup dalam masyarakat yang sarat-informasi
(media-laden society), namun fitur-fitur informasional dari dunia kita sebenarnya jauh lebih
meresap (penetratif) ketimbang sekadar daftar televisi, radio, dan sistem media lain.
Lingkungan informasi jauh lebih akrab, lebih mengatur kita, ketimbang yang kita duga.
Bayangkan, bagaimana kita mengatur kehidupan sehari-hari tanpa pesawat telepon, yang kini
bahkan bisa digunakan di tengah hutan dengan telepon satelit.

Budaya kontemporer tampaknya lebih sarat informasi ketimbang budaya sebelumnya. Kita
berada dalam lingkungan yang jenuh-media, yang berarti kehidupan pada dasarnya adalah
tentang simbolisasi, tentang pertukaran dan penerimaan –atau upaya untuk menukar dan
menolak menerima—pesan-pesan tentang diri kita sendiri dan orang lain. Dalam pengakuan
tentang lonjakan signifikasi inilah banyak penulis menyebut kita telah memasuki ‘masyarakat
informasi.”

Paradoksnya, mungkin justru lonjakan informasi ini yang mendorong sejumlah penulis lain
mengumumkan telah matinya tanda (sign). Dikepung oleh tanda-tanda di sekitar kita,
mendesain diri sendiri dengan tanda-tanda, dan tak sanggup lepas dari tanda-tanda ke
manapun kita pergi, dan hasilnya adalah runtuhnya makna (meaning). Seperti dikatakan Jean
Baudrillard: “ada banyak dan semakin banyak informasi, namun kurang dan semakin
kurangnya makna.”[1]
Signifikansi informasi pada penghujung abad ke-20 dan awal abad ke-21 adalah sesuatu yang
nyata. Informasi berperan penting dalam urusan-urusan strategis kontemporer. Informasi
berperan dalam segala hal yang kita lakukan, mulai dari transaksi bisnis, mencari hiburan
pribadi, sampai aktivitas pemerintahan.

Namun, berbagai definisi ini bukannya tanpa kelemahan. Jika berbagai definisi ini ditinjau,
banyak yang masih bisa diperdebatkan tentang apa yang membentuk, dan bagaimana
membedakan, sebuah “masyarakat informasi.”

Begitu banyak komentar tentang “masyarakat informasi” bermula dari posisi naif yang
diterima begitu saja (taken-for-granted), bahwa telah terjadi “revolusi teknologi informasi”,
yang akan atau sudah memberi konsekuensi sosial yang mendalam, dan dampak-dampak ini
perlu diantisipasi atau mungkin dampak ini bahkan sudah terbukti. Pandangan ini
menetapkan arah yang tegas dan seolah terbukti dengan sendirinya (self-evidently), mengikuti
logika linear yang rapi –inovasi teknologi menghasilkan perubahan sosial—dan terkesan
deterministik.

Dalam konteks “masyarakat informasi” seperti itulah, posisi manusia dengan kebebasannya
menjadi penting. Yaitu, manusia yang hidupnya bukan semata-mata dikekang oleh masa lalu
atau dipaksa untuk menerima begitu saja hal-hal yang disodorkan padanya oleh pihak luar,
entah itu yang namanya pemerintah atau masyarakat. Ini adalah manusia bebas yang bisa
memilih dan menentukan takdirnya sendiri.

[1] Baudrillard, Jean. 1983. In the Shadow of the Silent Majorities, or, The End of the Social
and Other Essays. Diterjemahkan oleh Paul Foss, John Johnson dan Paul Patton. New York:
Semiotext(e). Hlm. 95.
Jakarta, Januari 2010
Weblog dalam Perspektif Masyarakat Informasi dan Globalisasi
McQuail menjelaskan, istilah masyarakat informasi—information society—dikemukakan
pertama kali oleh Daniel Bell (1973) sehubungan dengan banyak bermunculannya sektor-
sektor ekonomi berbasis informasi pada akhir era masyarakat industri tahun 1960an, yang
mana proses produksi dan distribusi segala bentuk informasi, terutama berbasis teknologi
komputer, telah menjadi sektor utama dalam perekonomian masyarakat. Melody dalam
McQuail mendeskripsikan masyarakat informasi sebagai: Those that have become dependent
upon complex electronic information networks and which allocate a major portion of their
resources to information and communication activities (2000:121).
Van Cuilenburg (1987) menyebutkan karakteristik utama dari masyarakat informasi yaitu
peningkatan yang sangat menonjol dalam proses produksi dan aliran segala bentuk informasi,
terutama sebagai akibat dari murahnya biaya produksi, miniaturisasi dan komputerisasi.
Rendahnya biaya transmisi dan distribusi informasi juga semakin mendorong pesatnya
pertumbuhan industri informasi. Selain itu, sensitivitas terhadap jarak geografis pun terus
mengalami penurunan, dan sekaligus kecepatan, volume dan interaktifitas dalam
berkomunikasi juga terus mengalami peningkatan (McQuail,2000:121).
Oleh karena itu dalam teori masyarakat informasi disebutkan, bahwa tehnologi telah
mendorong terciptanya masyarakat informasi, yaitu dikenali dengan karakteristik:
Predominance of information work, great volume of information flow, interactivity of
relations, integration and convergence of activities, growth and interconnection of networks,
globalizing tendencies and postmodern culture (McQuail,2000:88).
Trend masyarakat informasi ternyata juga telah meningkatkan rasa saling keterikatan—
interconnectedness—masyarakat, yang mana masyarakat semakin terdorong untuk menjalin
hubungan-hubungan sosial melalui jaringan-jaringan media, sehingga secara bertahap
hubungan tersebut akan  menggantikan atau melengkapi jaringan sosial kemasyarakatan
ataupun komunikasi tatap muka. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan McLuhan
sehubungan dengan jaringan sosial yang berkembang melalui media.
McLuhan merumuskan teori global village untuk mengemukakan pandangannya tentang
suatu bentuk baru struktur masyarakat dimana media elektronik akan menghubungkan
seluruh dunia ke dalam suatu sistem sosial, politik dan budaya. Media menjadi perpanjangan
fungsi organ-organ tubuh manusia, yang mana dengan menggunakan media, manusia dapat
memperluas pandangan, pendengaran dan sentuhannya melampaui batas ruang dan waktu.
Media elektronik akan membukakan pemandangan-pemandangan baru bagi masyarakat
kebanyakan dan memungkinkan kita untuk berada di manapun secara cepat. (Baran dan
Davis,2000:287).
Berbagai temuan teknologi bahkan dapat dikatakan telah memfasilitasi globalisasi karena
kapasitasnya dalam mengatasi hambatan jarak dan waktu dalam aspek komunikasi manusia.
Dengan globalisasi, ketergantungan masyarakat terhadap informasi pun menjadi semakin
tinggi. Bagi sebagian orang, informasi bahkan dikonotasikan dengan suatu visi baru tentang
perubahan atau kemajuan, dan juga masa depan dengan horison tak terbatas yang sedikit
banyak merupakan kelanjutan dari model yang sudah ada saat ini. Dalam informasi yang
saling dipertukarkan di masyarakat tersebut terkandung pesan-pesan ideologis yang
cenderung melegitimasi trend-trend yang sedang berkembang atau menjatuhkan pihak lain
yang tidak mainstream (McQuail,2000:123).
Dalam era masyarakat informasi yang global tersebut, kepemilikan—ownership—informasi
dan hak publik untuk dapat mengakses informasi menjadi hal yang sangat diperhatikan oleh
masyarakat. Pertimbangan ekonomi, sosiologi, dan tehnologi senantiasa mendominasi
berbagai aspek berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan terhadap informasi. Hal-hal tersebut
tidak dapat dilepaskan dan terus berpengaruh dalam pertumbuhan media massa saat ini.
Masyarakat modern saat ini semakin tergantung kepada sistem-sistem komunikasi yang mana
media massa merupakan salah satu bagian dari sistem tersebut. Namun, segala bentuk
perubahan yang terjadi pada media massa akan menyentuh berbagai aspek kehidupan
masyarakat karena media massa memainkan suatu peranan yang sangat penting dalam
kehidupan politik, sosial dan perekonomian masyarakat, begitu pula sebaliknya.
Perubahan yang terjadi pada masyarakat belakangan ini membawa pengaruh kepada sistem
media. Ada dorongan yang kuat dari masyarakat untuk menekan dan meminimalisir segala
bentuk pengawasan yang tidak terbuka atau tidak transparan dari pihak-pihak tertentu, dan
juga menolak beberapa regulasi terhadap media yang dirasa menyulitkan akses masyarakat.
Hal tersebut menunjukkan adanya harapan dari masyarakat untuk bisa menuntut kontrol
secara kolektif terhadap bentuk media yang berkembang saat ini dalam rangka melindungi
kepentingan individual yang cenderung lebih lemah dan membatasi kekuatan dari pihak
penguasa kebijakan publik dan pihak-pihak kapitalis dalam industri media.
Disamping itu, muncul tekanan dari masyarakat juga agar bisa mendapatkan akses yang adil
dan bebas untuk menjadi oposisi terhadap golongan ideologi tertentu atau terhadap partai
politik tertentu yang lebih mayoritas, dan untuk memastikan distribusi nilai-nilai sosial
maupun budaya yang memuaskan semua pihak. Masyarakat saat ini lebih peduli dan lebih
mempunyai kekuatan terhadap media massa. Sehingga hal-hal seperti kepuasan yang lebih
merata, keterbukaan, nilai-nilai relatifitas, konsumerisme individual dan kekuatan
perekonomian liberalisme seringkali lebih menjadi fokus perhatian masyarakat dan
mendorong terwujudnya suatu sistem media yang terbuka.Seiring dengan semakin kuatnya
dorongan dan tekanan masyarakat untuk memperjuangkan kebebasan akses terhadap media,
weblog muncul sebagai media baru yang bisa memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat
tersebut. Weblog merupakan media massa yang bisa dipersonalisasi untuk berbagai
kepentingan dan isinya tidak bersifat mainstream. Weblog terbuka bagi siapa saja, baik dari
golongan mayoritas, minoritas, maupun kelompok terpinggirkan, untuk berbagai kebutuhan
mendapatkan dan mempublikasikan informasi apapun. Weblog merupakan media massa yang
lepas dari kontrol berbagai kekuatan pihak-pihak penguasa ekonomi maupun politik,
sehingga memungkinkan adanya nilai-nilai relatifitas karena pikiran dan kepentingan setiap
orang dihargai dalam weblognya.
Weblog sangat mencerminkan karakter masyarakat informasi dewasa ini dengan segala
kompleksitas kehidupan sosial, ekonomi,sosial dan budayanya. Semangat globalisasi juga
menjadi motor dalam merebaknya trend blogging di dunia. Weblog memberi perspektif baru
terhadap arah perkembangan dan kemajuan media massa masa depan.

Teori Media dan Teori Masyarakat Media

Beberapa asumsi dasar yang melatarbelakangi kerangka teori tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, institusi media menyelenggarakan produksi, reproduksi dan distribusi pengetahuan
dalam pengertian serangkaian simbol yang mengandung acuan bermakna tentang pengalaman
dalam kehidupan sosial. Pengetahuan tersebut membuat kita mampu untuk memetik pelajaran
dari pengalaman, membentuk persepsi kita terhadap pengalamanitu, dan memperkaya
khasanah pengetahuan masa lalu, serta menjamin kelangsungan perkembangan pengetahuan
kita. Secara umum, dalam beberapa segi media massa berbeda dengan institusi pengetahuan
lainnya (misalnya seni, agama, pendidikan, dan lain-lain) :
Media massa memiliki fungsi pengantar (pembawa) bagi segenap macam pengetahuan.
Jadi, media massa juga memainkan peran institusi lainnya.

Media massa menyelenggarakan kegiatannya dalam lingkup publik; pada dasarnya media
massa dapat dijangkau oleh segenap anggota masyarakat secara bebas, sukarela, umum
dan murah.

Pada dasarnya hubungan antara pengirim dan penerima seimbang dan sama.

Media menjangkau lebih banyak orang daripada institusi lainnya dan sudah sejak dahulu
”mengambil alih” peran sekolah, orang tua, agama, dan lain-lain.

Menurut asumsi dasar diatas, lingkungan simbolik di sekitar (informasi, gagasan,


keperayaan, dan lain-lain) seringkali kita ketahui melalui media massa, dan media pulalah
yang dapat mengaitkan semua unsur lingkungan simbolik yang berbeda. Lingkungan
simbolik itu semakin kita memiliki bersama jika kita semakin berorientasi pada sumber
media yang sama. Meskipun setiap individu atau kelompok memang memiliki dunia persepsi
dan pengalaman yang unik, namun mereka memerlukan kadar persepsi yang sama terhadap
realitas tertentu sebagai prasyarat kehidupan sosial yang baik. Sehubungan dengan itu,
sumbangan media massa dalam menciptakan persepsi demikian mungkin lebih besar daripada
institusi lainnya.

Asumsi dasar kedua ialah media massa memiliki peran mediasi


(penegah/penghubung) antara realitas sosial yang objektif dengan pengalaman pribadi. Media
massa berperan sebagai penengah dan penguhubung dalam pengertian bahwa: media massa
seringkali berada diantara kita; media massa dapat saja berada diantara kita dengan institusi
lainnya yang ada kaitannya dengan kegiatan kita; media massa dapat menyediakan saluran
penghubung bagi pelbagi institusi yang berbeda; media juga menyalurkan pihak lain untuk
menghubungi kita, dan menyalurkan kita untuk menghubungi pihak lain; media massa
seringkali menyediakan baham bagi kita untuk membentuk persepsi kita terhadap kelompok
dan organisasi lain, serta peristiwa tertentu. Melalui pengalaman langsung kita hanya mampu
memperoleh sedikit pengetahuan.

Media juga menerima sejumlah tanggung jawab untuk ikut aktif melibatkan diri
dalam interaksi sosial dan kadang kala menunjukkan arah atau memimpin, serta berperan
serta dalam menciptkan hubungan dan integrasi. Konsep media sebagai penyaring telah
diakui masyarakat, karena media seringkali melakukan seleksi dan penafsiran terhadap suatu
masalah yang dianggap membingungkan.

Ekonomi Politik VS Politik Ekonomi


Rabu, 02 Juni 2010
Perbedaan antara ekonomi politik dengan politik ekonomi, yang ternyata menandai dua
mahzab besar ilmu ekonomi. Dalam ‘peta’ ilmu sosial (dan ilmu ekonomi) ada dua aliran
besar ideology yaitu yang disebut dengan ‘kanan’ dan ‘kiri.’ Ilmu ekonomi aliran kanan
punya ‘simbah’ yang namanya Adam Smith, dengan ekonomi liberal. Dalam bukunya yang
dikenal dengan An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nation atau yang
lebih dikenal dengan The Wealth of Nation (yang belum pernah kubaca :D ), Adam Smith
menulis tentang satu sistem perekonomian yang bebas, campur tangan negara (state) dibatasi
sehingga akan tercipta pasar yang bebas. Bagi Adam Smith tujuan utama dari sebuah sistem
perekonomian adalah tercapainya kemakmuran (wealth). Kemakmuran bisa dicapai dengan
terciptanya pasar bebas. Setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama dalam pasar,
faktor utamanya adalah kepemilikan kapital.
Kemiskinan muncul karena seseorang ‘lack of capital’ alias tidak memiliki modal, maka
dalam perekonomian ini penyelesaian kemiskinan adalah dengan memberikan kredit kepada
kaum miskin. Mekanisme pasar menjadi hal yang utama, Adam Smith menyebut mekanisme
pasar itu sebagai ‘invisible hands.’ Dalam mekanisme pasar ini harga dicapai melalui
pertemuan antara supply dan demand. Ekonomi liberal berikut turunannya (neo-liberal,
Keynesian) menganut asas laizes faire alias kebebasan bagi setiap individu untuk mengejar
dan memenuhi kepentingannya. Dengan demikian seperti dikatakan di atas, setiap individu
memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan kemakmuran. Dengan
memakmurkan individu maka kemakmuran negara akan tercapai. (versi singkat teori Adam
Smith)

Karl Marxa muncul sebagai orang yang mengkritisi ekonomi liberal Adam Smith. Marx tidak
menjadikan pasar sebagai faktor utama namun justru negara-lah yang seharusnya mengatur
pasar. Ia melihat mekanisme yang seperti ekonomi liberal sangat tidak adil, menimbulkan
kesenjangan dan eksploitasi. Negara harus diberikan peran sentral dalam mengatur
perekonomian. Sistem perekonomian yang demikian disebut sebagai sistem ekonomi sosialis.
Tujuan utama perekonomian ini adalah untuk mencapai keadilan (justice) dan bukan
kemakmuran/wealth. Inilah mahzab kedua ilmu ekonomi yang menelorkan konsep ekonomi
politik bukan sebaliknya politik ekonomi. Pendekatan ekonomi politik melihat ke-
salingterkait-an antar-institusi politik dan ekonomi. Selain itu juga melihat siapakah yang
paling diuntungkan dari sebuah relasi ekonomi dan tindakan ekonomi. (versi singkat teori
Marx)

Ilmu ekonomi pada masa awal pertumbuhannya berusaha diakui sebagai ‘science’ atau ilmu
layaknya ilmu pasti. Pada waktu itu ada perdebatan antara ilmu pasti yang dianggap sebagai
‘hard science’ dan ilmu sosial dianggap (oleh mereka penganut ilmu pasti) sebagai ‘soft
science.’ Karena pada waktu itu ‘regime of significance’ yang berkuasa adalah mereka yang
berada di ilmu pasti. Ilmu pasti berdasarkan pada postulat atau dalil, nah ilmu ekonomi jika
ingin dianggap sebagai ilmu harus memiliki dalil juga. Maka dalil pertama dan utama adalah
hukum pasar (SUPPLY and DEMAND). Namun, ilmu ekonomi tidaklah mempelajari
fenomena alam yang tunduk pada hukum alam. Ilmu ekonomi mempelajari fenomena
humaniora/kemanusiaan yang tidak tunduk pada hukum alam namun tunduk pada interest
individu, artinya tidak dapat diprediksi layaknya cuaca dan sulit untuk dibuat postulat yang
pasti akan berlaku demikian (ceteris paribus). Karena tidak mungkin menjadi sama seperti
ilmu pasti, maka ilmu ekonomi mengadopsi logika dan metode ilmu pasti. Satu hal yang tidak
diperhatikan oleh ilmu ekonomi dengan dalil dan logikanya adalah realitasnya. Contohnya, di
masa krisis ini seharusnya semua orang suspend membeli, namun kenyataanya justru mobil
mewah semakin laris.

Economics (ilmu ekonomi) yang demikian menjadi mahzab mainstream yang diajarkan di
fakultas-fakultas ekonomi, sering dikenal dengan pendekatan politik ekonomi. Sedangkan
perekonomian sosialis yang menelorkan pendekatan ekonomi politik menjadi economics
school of thought sendiri yang tentu saja tidak mainstream.

Paul Ormerod menulis buku berjudul ‘The Death of Economics’ (belum pernah kubaca juga).
Ormerod berpendapat bahwa ilmu ekonomi sudah mati, ilmu ekonomi tidak digunakan untuk
menyejahterakan orang banyak namun justru digunakan untuk memperkaya individu tertentu.
Ilmu ekonomi sangat mendukung perekonomian yang berorientasi pada pertumbuhan,
peningkatan produktivitas dan efisiensi. Dalil-dalil yang dianggap niscaya terjadi dan bisa
diterapkan dalam kondisi apapun ternyata tidak mampu mengatasi realitas yang terjadi di
masyarakat.

Melihat uraian di atas, menurut pemahamanku politik ekonomi adalah bagaimana


menggunakan/mengatur/memanfaatkan ekonomi untuk mendapatkan keuntungan. Sedangkan
ekonomi politik jauh berbeda dari itu. Nampaknya buku yang mendesak untuk dibaca adalah
buku Adam Smith The Wealth of Nation, Paul Ormerod ‘The Death of Economics,’ Karl
Marx ‘Kapital I, II, III’. Membaca Kapital tanpa Adam Smith tidak mungkin, karena buku itu
berisi kritik Marx terhadap Smith, dan disitulah muncul teoretisasi Marx tentang orang-orang
yang melaksanakan perekonomian seperti yang didalilkan oleh Smith, yaitu kaum kapitalis.

Friday, May 14, 2010


KAJIAN EKONOMI POLITIK MEDIA
Label: ILMU KOMUNIKASI

Kajian media massa pada umumnya terkait dengan aspek budaya, politik dan ekonomi sebagai suatu
kesatuan yang saling mempengaruhi. Dari aspek budaya , media massa merupakan institusi social
pembentuk definisi dan citra realitas social, serta ekspresi identitas yang dihayati bersama secara
komunal. (Sunarto,2009:13) . Begitu juga apabila media massa dilihat dari aspek politik. Media
massa memberikan ruang dan arena bagi terjadinya diskusi aneka kepentingan berbagai kelompok
social yang ada di masyarakat dengan tujuan akhir untuk menciptakan pendapat umum
sebagaimana yang diinginkan oleh masih-masing kelompok social tersebut. Dari aspek ekonomi,
media massa merupakan institusi bisnis yang dibentuk dengan tujuan untuk mendapatkan
keuntungan secara material bagi pendirinya. Kajian ekonomi Politik Media berangkat dari konsep
atau pengertian sejumlah ahli seperti Vincent Mosco yang membedakan pengertian ekonomi politik
menjadi dua macam: 1) pengertian sempit dan (2) luas. (Mosco, 1996:25-35). Lewat buku berjudul
The Political Economy Of Communication, Vincent Mosco melihat bahwa dalam pengertian yang
luas, kajian ekonomi politik media berarti kajian mengenai control dan pertahanan kehidupan social ,
Artinya control dipahami sebagai pengaturan individu dan anggota kelompok secara internal dimana
agar bisa bertahan mereka harus mereproduksi diri mereka sendiri. Proses control ini secara luas
bersifat politik karena dalam proses tersebut melibatkan pengorganisasian social hubungan-
hubungan dalam sebuah komunitas. Pengertian sempit dari kajian ini adalah berarti kajian relasi
social, khususnya relasi kekuasaan yang bersama-sama membentuk produksi, distribusi dan
konsumsi sumber daya. Dalam sumber daya ini termasuk di dalamnya produk-produk komunikasi
semacam surat kabar, buku, video, film dan khalayak. (Sunarto,2009:14). Perspektif ekonomi politik
melihat bahwa media tidak lepas dari kepentingan baik kepentingan pemilik modal, negara atau
kelompok lainnya. Dengan kata lain, media menjadi alat dominasi dan hegemoni masyarakat. Proses
dominasi ini menunjukkan adanya penyebaran dan aktivitas komunikasi massa yang sangat
dipengaruhi oleh struktur ekonomi politik masyarakat yang bersangkutan. Implikasi logisnya adalah
realitas yang dihasilkan oleh media bersifat bias dan terdistorsi. Kajian ekonomi politik memiliki
beberapa varian, yakni instrumentalisme, kulturalisme dan strukturalisme. Pada varian
instrumentalisme memberikan penekanan pada determinisme ekonomi, dimana segala sesuatu
pada akhirnya akan dikaitkan secara langsung dengan kekuatan-kekuatan ekonomi. Perspektif ini
cenderung menempatkan agencies pada posisi lebih dominan dalam suatu struktur atau kultur.
Kelas yang mendominasi adalah kapitalis dengan kekuatan ekonominya. Dalam hal ini,
menempatkan media sebagai instrumen dominasi yang dapat digunakan oleh pemilik modal atau
kelompok penguasa lainnya untuk memberikan arus informasi publik sesuai dengan kepentingannya
dalam sistem pasar komersial. Ada tiga ‘jalan’ ontologis sebagaimana diungkap Sunarto (2009) untuk
memahami teori ekonomi politik komunikasi yakni (a) komodifikasi, (b)spasialisasi; dan (c)
strukturasi. Komodifikasi terkait dengan proses transformasi nilai guna menjadi nilai tukar. Sedang
spasialisasi adalah proses untuk mengatasi adanya keterbatasan ruang dan waktu dalam kehidupan
social. Jalan ontologis ini amat terpengaruh pandangan Karl Marx. Menurut Karl Marx, kekayaan
masyarakat dengan menggunakan produksi kapitalis yang berlaku dan terlihat seperti kumpulan
komoditas (barang dagangan) yang banyak sekali; lalu komoditi milik perseorangan terlihat seperti
sebuah bentuk dasar. Maka, komodifikasi diartikan sebagai transformasi penggunaan nilai yang
dirubah ke dalam nilai yang lain. Dalam artian siapa saja yang memulai kapital dengan
mendeskripsikan sebuah komoditi maka ia akan memperoleh keuntungan yang sangat besar.
Spasialisasi adalah sebuah sistem konsentrasi yang memusat. Dijelaskan jika kekuasaan tersebut
memusat, maka akan terjadi hegemoni. Hegemoni itu sendiri dapat diartikan sebagai globalisasi
yang terjadi karena adanya konsentrasi media. Spasialisasi berkaitan dengan bentuk lembaga media,
apakah berbentuk korporasi yang berskala besar atau sebaliknya, apakah berjaringan atau tidak,
apakah bersifat monopoli atau oligopoli, konglomerasi atau tidak. Sedangkan strukturasi merupakan
proses di mana struktur secara bersama-sama terbentuk dengan ‘agen’ manusia. Ini adalah sebuah
proses dimana struktur-struktur saling terkait dengan human agency. Strukturasi dapat digambarkan
sebagai proses dimana struktur sosial saling ditegakkan oleh para agen sosial, dan bahkan masing-
masing bagian dari struktur mampu bertindak melayani bagian yang lain. Hasil akhir dari strukturasi
adalah serangkaian hubungan sosial dan proses kekuasaan diorganisasikan di antara kelas, gender,
ras dan gerakan sosial yang masing-masing berhubungan satu sama lain. Gagasan tentang
strukturasi ini pada mulanya dikembangkan oleh Anthony Giddens. Struktur dibentuk oleh Agen
yang pada saat bersamaan struktur itu juga bertindak sebagai medium yang membentuk agen
tersebut. Hasil dari strukturasi adalah serangkaian relasi social dan proses kekuasaan yang
diorganisasikan di sekitar kelas, jender, ras dan gerakan social yang saling berhubungan dan
berlawanan satu sama lain. Mosco melihat, bahwa ketika ekonomi politik memberikan perhatian
pada agensi, proses dan praktis social, ia cenderung memokuskan perhatian pada kelas social.
Artinya, terdapat alasan baik untuk mempertimbangkan strukturasi kelas menjadi pusat Jalan masuk
untuk menangani kehidupan social, akan tetapi terdapat dimensi lain pada strukturasi yang
melengkapi dan bertentangan dengan analisis kelas Yaitu jender, ras dan gerakan social yang
didasarkan pada persoalan-persoalan publik semacam lingkungan yang bersama-sama kelas
membentuk banyak dari relasi social dari komunikasi. Dari pemahaman semacam itu, masyarakat
bisa dipahami sebagai serangkaian penstrukturan tindakan-tindakan yang dimulai oleh agen-agen
yang secara bersama-sama membentuk relasi-relasi kelas, jender, ras dan gerakan kelas. Proses
strukturasi ini menjadi kian penting ketika pada gilirannya memiliki pengaruh penting pada
terbentuknya hegemoni. Hegemoni dalam hal ini didefinisikan sebagai cara berfikir yang dibuat
natural atau dinaturalisasikan, bisa masuk akal dan akhirnya diterima sebagai sesuatu yang ‘given’
( terberi dari sananya) mengenai dunia yang termasuk di dalamnya segala sesuatu, dimulai dari
kosmologi melalui etika hingga praktik social yang dilekatkan dan dipertarungkan dalam kehidupan
sehari-hari. Pendekatan ekonomi politik komunikasi menekankan bahwa masyarakat kapitalis
terbentuk menurut cara-cara dominan dalam produksi yang menstrukturkan institusi dan praktik
sesuai dengan logika komodifikasi dan akumulasi capital. Produksi dan distribusi budaya dalam
system kapitalis harus berorientasi pada pasar dan profit. Kekuatan produksi seperti teknologi media
dan praktek-praktek kreatif dibentuk menurut relasi produksi dominan ( seperti profit yang
mengesankan) pemeliharaan control hirarkhis dan relasi dominasi. Karena itu system produksi
sangatlah penting dalam menentukan artefak-artefak budaya apa saja yang perlu diproduksi mana
yang tidak dan bagaimana produk-produk budaya itu dikonsumsi. (Sunarto, 2009:15-16). Wajar saja
dengan pola pemahaman macam itu, maka orientasi pendekatan ekonomi politik bukanlah semata-
mata persoalan ekonomi tetapi juga pada relasi antara dimensi-dimensi ekonomi politik, teknologi
dan budaya dari realitas social. Dalam kajian ekonomi politik media varian instrumentalisme, sangat
terasa sekali pengaruh perspektif tindakan social yang menekankan pada aspek determinisme
individual yang melihat bahwa perilaku manusia ternyata bukan dipengaruhi oleh masyarakat, tetapi
masyarakat merupakan produk dari aktivitas manusia melalui tindakan individual dan kelompok.
Artinya, agen individu mempunyai kehendak bebas untuk melakukan tindakan social tanpa
terpengaruh oleh struktur masyarakatnya. Dalam konteks industry televisi misalnya, interaksi antar
agen dipandang berperan penting dalam menentukan isi program televisi untuk memenuhi tujuan-
tujuan personal para agen tersebut. Dalam upayanya untuk melindungi kepentingan personalnya,
secara praktis tujuan personal direpresentasikan melalui kekuasaan pemilik saham. Pemilik media
bisa menjalin kerjasama dengan agen lain di ranah politik, social dan cultural untuk bersama-sama
melindungi kepentingan personal (komunal) mereka. Tampaknya kepentingan komunal itu seolah-
olah lepas dari pengaruh struktur ekonomi ,politik, social dan cultural yang ada. Dalam kajian
ekonomi politik media varian Strukturalisme, tampaknya terpengaruh perspektif structural dimana
isi media seperti televisi ditentukan oleh struktur ekonomi yang berlaku. Sebagai contoh di
Indonesia, struktur kapitalisme sebagai penentu kehidupan industry media televisi dibuat berlapis-
lapis mulai dari local, regional dan global. Struktur kapitalis ini Kemudian secara dominan mengatur
kehidupan industry sehingga ‘agen’ atau pekerja media seolah tak berjiwa. Sunarto (2009) menyebut
mereka sebagai ‘zombie-zombie’ tak berjiwa karena semua langkahnya ditentukan oleh struktur
kapitalisme global. Struktur kapitalis ini dipandang mampu mengatasi aspek voluntaristik agen
individual. Sehingga di sisi yang lain agen tidak mempunyai kehendak bebas atas semua tindakan
social karena semua tindakannya merupakan cerminan dari struktur kapitalisme global tersebut.
Seakan-akan agen telah kehilangan seluruh energy potensialnya untuk melakukan tindakan bebas.

You might also like