Professional Documents
Culture Documents
20.1065
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Puji syukur kita haturkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya lah, kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tak lupa pula kami ingin
mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing Antropologi Budaya kami
yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Adapun tujuan kami dalam pembuatan makalah ini adalah untuk menambah
wawasan kepada para pembaca mengenai materi yang akan kami sampaikan
selanjutnya.
Kami sadar, bahwa pembuatan makalah kami jauh dari kesempurnaan. Maka
dari itu kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca agar pada pembuatan
makalah selanjutnya jauh lebih baik.
Sekian sepatah kata dari kami. Apabila ada kesalahan kata dari kami mohon
dimaafkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Wassalamualaikum wr.wb
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. PENGANTAR
Barbara F. Grimes (dalam Purwo, 2000) mencatat sebanyak 706 bahasa
daerah yang tersebar dari Sabang sampai Marauke. Di antara 100-an bahasa di
Indonesia itu, hampir separuhnya terdapat di Irian Jaya, yaitu sebanyak 248. Tidak
semua bahasa daerah yang tersebar di nusantara ini memiliki aksara untuk merekam
nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat pemilik bahasa itu. Bahasa daerah yang
memiliki aksara adalah bahasa Jawa, Bali, Sunda, Makassar (Bugis), Batak, dan
Rencong.
Salah satu bahasa daerah yang cukup beruntung adalah bahasa Makassar
(Bugis). Dikatakan cukup beruntung karena bahasa daerah ini memiliki aksara yang
dapat merekam atau mencatat nilai-nilai luhur (indigeneous knowledge) yang disebut
pasang 'pesan-pesan'; panngadakkang (Makassar) atau panngaderreng (Bugis) "adat
istiadat". Hasil catatan atau manuskrip tersebut disebut lontarak. Aksara Makassar
(Bugis) digunakan mencatat manuskrip-manuskrip dikenal dengan sebutan aksara
lontarak. Selain itu, dijumpai pula manuskrip yang ditulis dalam aksara yang dikenal
dengan aksara serang.
Aksara lontarak merupakan lambang identitas daerah dan alat transformasi
nilai-niiai luhur yang sangat berharga (indigenous knowledge). Aksara lontarak
adalah salah satu aset kekayaan budaya yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai
objek wisata budaya daerah. Selain itu, dapat menjadi aset dan sumber
pengembangan budaya nasional.
Selanjutnya, sebagai aset kekayaan budaya, tentu saja, perlu diketahui
mengapa dinamai aksara lontarak; dari mana asal usulnya; dan niiai budaya yang
terkandung di dalam lontarak tersebut. Untuk itu, makalah ini berusaha
mengungkapkan hal tersebut seperti dalam uraian berikut.
BAB II
PEMBAHASAN
2. Arti Lontarak
Dalam perkembangan selanjutnya, kata lontarak dapat mengandung arti
bermacam-macam sesuai dengan konteks kalimatnya. Manyambeang (1996: 32)
merincinya sebagai berikut.
a. Lontarak dapat berarti aksara, seperti dalam kalimat:
Appilajaraki lontarak.
belajar dia lontarak
(dia belajar huruf lontarak)
b. Lontarak dapat berarti naskah, seperti dalam kalimat;
Ciniki ri lontaraka.
'Lihat isi di lontarak' (lihatlah di lontarak)
c. Lontarak dapat berarti buku bacaan, seperti dalam kalimat,
laminne lontarakna I Kukang.
'inilah buku bacaan i Kukang'
(inilah buku bacaan (yang berjudul) i Kukang).
d. Lontarak dapat berarti catatan, seperti dalam kalimat:
Boyai ri lontarak bilanga.
`carilah pada lontarak bilang' (Carilah pada catatan harian)
Artinya:
Bunyi mewujudkan kata
Kata mewujudkan perbuatan
Pperbuatan mewujudkan manusia
Konsep sulapak appak inilah dapat dibentuk aksara lontarak yang
biasa disebut urupu sulapak appak seperti berikut.
(.. dialah raja yang mula-mula membuat peraturan, hukum dalam perang.
Syahbandar raja inilah yang disebut Daeng Pamatte. Dia syahbandar, dia juga
Tumailalang, dia jugalah Daeng Pamatte yang membuat lontarak Makassar)
.
Dalam lontarak di atas terdapat kata ampareki yang dapat berarti
`membuat atau menciptakan', `menjadikan atau menyederhanakan'. Jadi,
apabila kata ampareki diartikan menciptakan/membuat, dapatlah diartikan
membuat sesuatu dari yang belum ada menjadi ada. Dengan demikian, dapat
diasumsikan bahwa aksara Makassar baru itu diciptakan oleh Daeng Pamatte
yang diilhami oleh pandangan hidup orang Makassar (Bugis) sendiri, yaitu
sulapak appak.
Sebaliknya, jika kata ampareki diartikan `menyederhanakan atau
memodifikasi', dapat diasumsikan bahwa Daeng Pamatte menyederhanakan
atau memodifikasi dari bentuk aksara yang sudah ada sebelumnya (aksara
Sanskrit/Dewanagari, huruf Pallawa, dan bentuk aksara yang dikemukakan
Matthes atau Raffles) menjadi aksara lontarak baru yang ada sekarang.
Sejalan dengan penjelasan di atas, Pelras (2006: 230) dan H. Kern
(dalam Manyambeang 1996: 3) beranggapan bahwa lontarak di Sulawesi
Selatan ada persamaan dengan aksara yang ada di Sumatera, seperti aksara
Lampung, Rejang, Batak, dan Pasemah. Berdasarkan informasi ini dapat
diasumsikan bahwa ada kemungkinan aksara Makassar baru merupakan hasil
penyederhanaan atau modifikasi dari aksara tersebut yang dilakukan oleh
Daeng Pamatte. Bila dilihat sepintas lalu, aksara Batak, aksara Makassar, dan
aksara rencong hampir serupa. Bahkan kadang-kadang agak sulit dibedakan
ketiga bentuk aksara tersebut.
Di dalam buku Sejarah Melayu disebutkan tentang peperangan raja
Mangkasara yang bernama Samarluki (Saman Rukka) ke Malaka dan daerah
jajahannya, termasuk Batak. Peristiwa ini diceriterakan berlangsung pada
masa pemerintahan Sultan Mansur Shah sekitar tahun 1440. Walaupun ia
dapat dipukul mundur oleh tentara Melayu, ia berhasil membawa harta
rampasan, baik berupa barang maupun tawanan perang (Brown dalam Reid,
2004: 147; Museum nasional, 10/MP/NAS/76: 24).
Tidak tertutup kemungkinan di antara para tawanan itu terdapat orang-
orang Batak yang terampil menulis dan membaca tulisan Batak. Dari
merekalah orang Makassar belajar tulisan Batak tersebut. Selanjutnya, mereka
meniru atau menyederhanakan huruf Batak itu sehingga berwujud tulisan
Makassar sekarang.
• Rasa Solidaritas
Solidaritas merupakan integrasi sosial yang didasarkan kepada
interdependensi okupansional, persamaan-persamaan, dan bahkan juga
pada perbedaan-perbedaan komplementer (Soekanto dalam Oktavinus,
2006: 119). Integrasi sosial dapat diartikan sebagai kesetiakawanan,
kebersamaan, dan kekompakan dalam menghadapi suka duka.
meaki kismturu maekik kissamaturuk
kiemet bulo sibt kirnmenteng bulo sibatang
nmtumtu nakmatu.-matu
bett aGod del baieta anngondang dallek
Supaya berguna
Cara kita mencari rezki.
inti atau pangkal dalam interaksi sosial sesuai dengan nilai-nilai positif
yang ada dalam budaya Makassar. Konsep sink `harga diri adalah
suasana hati dalam masyarakat, bukan semata-mata sebagai
"pertahanan martabat diri" yang ditimbulkan secara emosional dari
simultan nilai-nilai khusus. Konsep pacce `solidaritas' adalah iba hati
melihat sesama warga yang mengalami penderitaan atau tekanan batin
atas perbuatan orang lain atau sejenisnya.
Kedua konsep ini merupakan sikap moral yang menjaga
stabilitas dan berdimensi harmonis agar tatanan sosial atau adat
istiadat berjalan secara dinamis (Hamid, 2003: xii). Konsep panngalik
'perasaan hormat adalan rasa hormat kepada seseorang atau sesuatu
yang dianggap bersih dalam arti luas. Konsep panngadakkang 'adat-
istiadat adalah himpunan kaidah-kaidah sosial dalam masyarakat yang
bermaksud mengatur tata tertib masyarakat (Wahid, 1992: 89). Jika
seseorang berhasrat akan melakukan sesuatu, segala rencana terpuiang
pada adat.
Adatlah yang merupakan penentu patut tidaknya sesuatu yang
akan dilakukan. Keputusan yang diputuskan sesuai dengan proses adat,
maka semua pihak dapat menerimanya, sebagaimana terungkap dalam
ungkapan "punna panngadakkang taena erokku, taena kulleku" `jika
sudah menyakut ketentuan yang sudah diadatkan, tidak berlaku
kemampuanku'.
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
• Abidin. Zainal. 1983. Persepsi Orang Bugis, Makassar tentang Hukum.
Negata dan Dunia luar. Bandung: Penerbit Alumni.
• Basang, Djirong. 1972. Fonemik Bahasa Makassar. Ujung Pandang: Lembaga
Bahasa Nasional Cabang 111
• Djajasudarma T. Fatimah, dkk. 1997. Nilai Budaya dalam Ungkapan dan
Peribahasa Sunda. Pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, Departemen
Pendidikan dan kebudayaan.
• Duranti, Aessaridro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge
University Press.
• Foley, Wilham A. 1997. Anthropology Linguistics: An Introduction. New
York: Blackwell.
• Hamid, Abu. 2003. "Sid' Butuh Revitalisasi'. Dalam Mustafa. dkk.,.(Eu.) Sini
dan Passe: Harga Did Orang Bugis. Makassar, Mandar dan Toraja. Makassar:
Pustaka Refleks.
• Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamaus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
• Maknun, Tadjuddin, 1991. "Beberapa Catatan tentang Perkembangan Aksara
Makassar". Makalah Disajikan pada Seminar Sehari dalam Rangka Dies Natalis
ke-32 Fak. Sastra Unhas, 9-11-1991.
• 2007. "Menyempurnakan Aksara Lontarak untuk Memudahkan Pemahaman
Kandungan Lontarak". Makalah Disajikan pada Kongres Internasional Bahasa-
bahasa Daerah se-Sulawesi Selatan pada 22-25 Juli 2007 di Hotel Clarion
Makassar.
• Manyambeang, Kadir. 1996. "Lontaraq Riwayaqna tuanta salamaka ri Gowa:
Suatu Analisis Linguistik Filologis". Disertasi Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin.