You are on page 1of 20

Afif Hamka

20.1065

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Puji syukur kita haturkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya lah, kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tak lupa pula kami ingin
mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing Antropologi Budaya kami
yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.

Adapun tujuan kami dalam pembuatan makalah ini adalah untuk menambah
wawasan kepada para pembaca mengenai materi yang akan kami sampaikan
selanjutnya.

Kami sadar, bahwa pembuatan makalah kami jauh dari kesempurnaan. Maka
dari itu kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca agar pada pembuatan
makalah selanjutnya jauh lebih baik.

Sekian sepatah kata dari kami. Apabila ada kesalahan kata dari kami mohon
dimaafkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Wassalamualaikum wr.wb

Makassar, 30 Desember 2009

Penyusun

Aksara Lontara Kebudayaan Asli Sulawesi Selatan 1


Afif Hamka
20.1065

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………… i

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………….. ii

BAB I PENDAHULUAN …...................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………... 2

BAB III PENUTUP ………………………………………………………………... 15

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………… 16

Aksara Lontara Kebudayaan Asli Sulawesi Selatan 2


Afif Hamka
20.1065

BAB I

PENDAHULUAN

A. PENGANTAR
Barbara F. Grimes (dalam Purwo, 2000) mencatat sebanyak 706 bahasa
daerah yang tersebar dari Sabang sampai Marauke. Di antara 100-an bahasa di
Indonesia itu, hampir separuhnya terdapat di Irian Jaya, yaitu sebanyak 248. Tidak
semua bahasa daerah yang tersebar di nusantara ini memiliki aksara untuk merekam
nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat pemilik bahasa itu. Bahasa daerah yang
memiliki aksara adalah bahasa Jawa, Bali, Sunda, Makassar (Bugis), Batak, dan
Rencong.
Salah satu bahasa daerah yang cukup beruntung adalah bahasa Makassar
(Bugis). Dikatakan cukup beruntung karena bahasa daerah ini memiliki aksara yang
dapat merekam atau mencatat nilai-nilai luhur (indigeneous knowledge) yang disebut
pasang 'pesan-pesan'; panngadakkang (Makassar) atau panngaderreng (Bugis) "adat
istiadat". Hasil catatan atau manuskrip tersebut disebut lontarak. Aksara Makassar
(Bugis) digunakan mencatat manuskrip-manuskrip dikenal dengan sebutan aksara
lontarak. Selain itu, dijumpai pula manuskrip yang ditulis dalam aksara yang dikenal
dengan aksara serang.
Aksara lontarak merupakan lambang identitas daerah dan alat transformasi
nilai-niiai luhur yang sangat berharga (indigenous knowledge). Aksara lontarak
adalah salah satu aset kekayaan budaya yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai
objek wisata budaya daerah. Selain itu, dapat menjadi aset dan sumber
pengembangan budaya nasional.
Selanjutnya, sebagai aset kekayaan budaya, tentu saja, perlu diketahui
mengapa dinamai aksara lontarak; dari mana asal usulnya; dan niiai budaya yang
terkandung di dalam lontarak tersebut. Untuk itu, makalah ini berusaha
mengungkapkan hal tersebut seperti dalam uraian berikut.

Aksara Lontara Kebudayaan Asli Sulawesi Selatan 3


Afif Hamka
20.1065

BAB II
PEMBAHASAN

1. Mengapa Dinamai Aksara Lontarak?


Dari hasil kajian pustaka diperoleh informasi bahwa naskah kuno Makassar
(Bugis) ada yang ditulis dengan aksara lontarak dan ada yang ditulis dengan aksara
serang. Dinamai aksara lontarak karena memang dulu peristiwa-peristiwa ditulis pada
daun lontar. Frasa daun lontar sepadan dengan raung = daun dan talak = lontar
menjadi rauttalak atau rontalak dalam bahasa Makassar (dari bahasa Jawa atau bahasa
Melayu). Kata rontalak mengalami proses metatesis menjadi lontarak (Basang, 1972:
10; Abidin, 1983: 109; Pelras, 2006: 232), Dalam bahasa Makassar sehari-hari
dikenal dengan sebutan lekok talak.
Selanjutnya, disebut pula sebagai aksara serang (huruf Arab) karena
kesusasteraan Makassar (Bugis) ditulis dalam aksara Arab sebagai pengaruh dari
agama Islam dan kesusasteraan Islam yang datang ke Sulawesi Selatan pada
permulaan abad ke-17 (Mattulada, 1991b: 69). Beliau menduga kata serang itu
berasal dan kata Seram (Palau Seram). Dahulu orang Makassar (Bugis) selalu
berhubungan dengan orang Seram yang Iebih dulu rnenerima agama Islam.

2. Arti Lontarak
Dalam perkembangan selanjutnya, kata lontarak dapat mengandung arti
bermacam-macam sesuai dengan konteks kalimatnya. Manyambeang (1996: 32)
merincinya sebagai berikut.
a. Lontarak dapat berarti aksara, seperti dalam kalimat:
Appilajaraki lontarak.
belajar dia lontarak
(dia belajar huruf lontarak)
b. Lontarak dapat berarti naskah, seperti dalam kalimat;

Aksara Lontara Kebudayaan Asli Sulawesi Selatan 4


Afif Hamka
20.1065

Ciniki ri lontaraka.
'Lihat isi di lontarak' (lihatlah di lontarak)
c. Lontarak dapat berarti buku bacaan, seperti dalam kalimat,
laminne lontarakna I Kukang.
'inilah buku bacaan i Kukang'
(inilah buku bacaan (yang berjudul) i Kukang).
d. Lontarak dapat berarti catatan, seperti dalam kalimat:
Boyai ri lontarak bilanga.
`carilah pada lontarak bilang' (Carilah pada catatan harian)

3. Asal Usul Aksara Lontarak Makassar (Bugis)


Dari hasil penelusuran pustaka yang tersedia dijumpai beberapa pendapat
tentang perkembangan aksara Makassar (Bugis). Pendapat-pendapat tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Pendapat H. Kern.
H. Kern (1882) berpendapat bahwa aksara Makassar (Bugis) bersumber
dan huruf Sanskrit yang disebut Dewanagari. Aksara Dewanagari dapat dilihat
sebagai berikut:

Aksara Lontara Kebudayaan Asli Sulawesi Selatan 5


Afif Hamka
20.1065

b. Dalam Kamus Linguistik susunan Kridalaksana (1982: xx)


ditunjukkan silsilah aksara yang penting, seperti berikut.

Aksara Lontara Kebudayaan Asli Sulawesi Selatan 6


Afif Hamka
20.1065

Menggambarkan aksara Palawa sebagai berikut

Aksara Lontara Kebudayaan Asli Sulawesi Selatan 7


Afif Hamka
20.1065

c. Pendapat Matthes dan Raffles.


Holle (1882) mengutip bentuk aksara yang dikemukakan oleh Matthes
dan' Raffles, seperti berikut :
i. Bentuk yang dikemukakan Matthes

Aksara Lontara Kebudayaan Asli Sulawesi Selatan 8


Afif Hamka
20.1065

ii. Bentuk yang dikemukakan Raffles

Aksara Lontara Kebudayaan Asli Sulawesi Selatan 9


Afif Hamka
20.1065

Bentuk aksara yang dikemukakan, baik Matthes maupun


Raffles biasa juga disebut lontarak kuno atau het oude
Makassaarche letterschrift (Mangemba dan Tenribali (Ed.), 1966:
49). Bentuk lontarak kuno dan lontarak baru dapat dikatakan jauh
berbeda sehingga perlu dipertanyakan apakah lontarak kuno yang
mengalami proses perubahan menjadi lontarak yang digunakan
sekarang.

d. Pendapat Ahli Kebudayaan Bugis Makassar dari Sulawesi Selatan.


Mattulada (dalam Manyambeang, 1996: 29) merasa yakin bahwa
aksara Bugis Makassar berasal dan aksara Dewanagari yang diperbaharui
oleh Daeng Pamatte (syahbandar kerajaan Gowa). Sejalan dengan
pendapat itu, Basang (1972: 11) mengemukakan beberapa persamaan
aksara Dewanegari dengan aksara Makassar, yaitu keduanya huruf
silabis; keduanya menggunakan alat bantu untuk menyatakan bunyi /i, e,
o, dan u/; keduanya ditulis dari kiri ke kanan. Adapun Yatim (1983: 5)
memperhatikan susunan abjadnya. Dia mengakui bahwa pengaturan
abjad lontarak telah sampai kepada kesadaran linguistik yang amat maju
dan amat mirip dengan pengaturan abjad Sanskerta, yang membedakan
hanya bentuknya.
Selanjutnya, Mattulada (1991a: 68-9) menjelaskan bahwa terdapat
anggapan di kalangan orang Makassar (Bugis) berkaitan dengan
penciptaan tanda-tanda bunyi yang kemudian disebut aksara lontarak
dilatarbelakangi oleh suatu kepercayaan yang berpangkal pada mitologis
orang Makassar (Bugis) yang memandang alam semesta ini sebagai
bolasuji (Bugis) atau "sulapak appak" (Makassar) yang berarti `segi
empat belah ketupat'. Sarwa alam ini merupakan satu kesatuan yang
dinyatakan dalam simbol S = sa yang berarti seua (tunggal atau esa).
Demikian pula segala tanda bunyi dalam aksara lontarak bersumber dari s
= sa (Museum Nasional, 10/MP/NAS/76: 21; Mattulada, 1991: 4-85).

Aksara Lontara Kebudayaan Asli Sulawesi Selatan 10


Afif Hamka
20.1065

Simbol “s” ini menyimbolkan mikrokosmos sulapa eppana taue


"segi empat tubuh manusia'. Bagian puncak terletak kepala, tangan kiri,
tangan kanan; dan bagian ujung bawah adalah kaki. Simbol S itu
merupakan pengejawantahan pada bagian kepala yang disebut sawwang
(SW) berarti mulut. Dari mulutlah segala sesuatu dinyatakan yang disebut
sadda (sd) berarti bunyi. Bunyi-bunyi itu disusun sehingga bermakna
yang disebut ada (ad) berarti kata, sabda atau titah.
Segala sesuatu yang meliputi keseluruhan tertib kosmos/sarwa
alam diatur melalui ada (ad). Dengan penambahan artikel definit E
menjadi ada'e (adea) yang menjadi pangkal kata adek (adEE). Adek
adalah sabda (penertib) yang meliputi sarwa alam (5) sehingga disebut
dalam kata-kata hikmat pasang sebagai berikut.

sd mpbti adE adE mpbti gau gau mpbti tau


sadda mappabbatik ada ada mappabbatik gauk
gauk mappabbatik tau

Artinya:
Bunyi mewujudkan kata
Kata mewujudkan perbuatan
Pperbuatan mewujudkan manusia
Konsep sulapak appak inilah dapat dibentuk aksara lontarak yang
biasa disebut urupu sulapak appak seperti berikut.

Aksara Lontara Kebudayaan Asli Sulawesi Selatan 11


Afif Hamka
20.1065

Pendapat lain yang bersumber dari Lontarak Patturioloanga ri


Tugowaya, seperti yang disinyalir (Manyambaeng, 1996; Basang, 1972) yang
berbunyi sebagai berikut.

aiyp aen krea auru aperki rp bicr timu timu ri buduk.


sbnrn mien kreaG nikn dea pmet. aiy sbnr, ay tumaill, aiytomi dea pmet aperki
Iotr mksr.
...iapa anne karaeng uru apparek rapang bicara, timu-timu ri bunduka.
sabannarakna minne karaenga nikana Daeng Pamatte. la sabannarak, la
Tumailalang, iatommi Daeng Pamatte ampareki lontarak Mangkasarak.

(.. dialah raja yang mula-mula membuat peraturan, hukum dalam perang.
Syahbandar raja inilah yang disebut Daeng Pamatte. Dia syahbandar, dia juga
Tumailalang, dia jugalah Daeng Pamatte yang membuat lontarak Makassar)
.
Dalam lontarak di atas terdapat kata ampareki yang dapat berarti
`membuat atau menciptakan', `menjadikan atau menyederhanakan'. Jadi,
apabila kata ampareki diartikan menciptakan/membuat, dapatlah diartikan
membuat sesuatu dari yang belum ada menjadi ada. Dengan demikian, dapat
diasumsikan bahwa aksara Makassar baru itu diciptakan oleh Daeng Pamatte

Aksara Lontara Kebudayaan Asli Sulawesi Selatan 12


Afif Hamka
20.1065

yang diilhami oleh pandangan hidup orang Makassar (Bugis) sendiri, yaitu
sulapak appak.
Sebaliknya, jika kata ampareki diartikan `menyederhanakan atau
memodifikasi', dapat diasumsikan bahwa Daeng Pamatte menyederhanakan
atau memodifikasi dari bentuk aksara yang sudah ada sebelumnya (aksara
Sanskrit/Dewanagari, huruf Pallawa, dan bentuk aksara yang dikemukakan
Matthes atau Raffles) menjadi aksara lontarak baru yang ada sekarang.
Sejalan dengan penjelasan di atas, Pelras (2006: 230) dan H. Kern
(dalam Manyambeang 1996: 3) beranggapan bahwa lontarak di Sulawesi
Selatan ada persamaan dengan aksara yang ada di Sumatera, seperti aksara
Lampung, Rejang, Batak, dan Pasemah. Berdasarkan informasi ini dapat
diasumsikan bahwa ada kemungkinan aksara Makassar baru merupakan hasil
penyederhanaan atau modifikasi dari aksara tersebut yang dilakukan oleh
Daeng Pamatte. Bila dilihat sepintas lalu, aksara Batak, aksara Makassar, dan
aksara rencong hampir serupa. Bahkan kadang-kadang agak sulit dibedakan
ketiga bentuk aksara tersebut.
Di dalam buku Sejarah Melayu disebutkan tentang peperangan raja
Mangkasara yang bernama Samarluki (Saman Rukka) ke Malaka dan daerah
jajahannya, termasuk Batak. Peristiwa ini diceriterakan berlangsung pada
masa pemerintahan Sultan Mansur Shah sekitar tahun 1440. Walaupun ia
dapat dipukul mundur oleh tentara Melayu, ia berhasil membawa harta
rampasan, baik berupa barang maupun tawanan perang (Brown dalam Reid,
2004: 147; Museum nasional, 10/MP/NAS/76: 24).
Tidak tertutup kemungkinan di antara para tawanan itu terdapat orang-
orang Batak yang terampil menulis dan membaca tulisan Batak. Dari
merekalah orang Makassar belajar tulisan Batak tersebut. Selanjutnya, mereka
meniru atau menyederhanakan huruf Batak itu sehingga berwujud tulisan
Makassar sekarang.

e. Nilai Budaya dalam Lontarak: Perspektif Antropolinguistik

Aksara Lontara Kebudayaan Asli Sulawesi Selatan 13


Afif Hamka
20.1065

Sistem nilai atau nilai-nilai dalam masyarakat merupakan suatu konsep


abstrak mengenai apa yang buruk dan apa yang balk. Pepper (dalam
Djajasudarma 1997: 12) menjelaskan bahwa batasan nilai mengacu pada
minat, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban, agama, kebutuhan, keamanan,
hasrat, keengganan, atraksi, perasaan, dan orientasi seleksinya. Oleh karena
itu, segala sesuatu yang baik dan buruk dapat disebut sebagai nilai. Nilai
budaya ini diasosiasikan secara turun-temurun dari generasi yang satu ke
generasi yang lain. la dianggap sebagai pedoman manusia dalam bertingkah
laku dalam sistem sosialnya. Jadi, sistem nilai dapat dikatakan sebagai norma
standar dalam kehidupan bermasyarakat. Djajasudarma. dkk. (1997: 13)
mengemukakan bahwa sistem nilai begitu kuat, meresap, dan berakar di dalam
jiwa masyarakat sehingga sulit diganti atau diubah dalam waktu singkat.
Berkaitan dengan hal tersebut, Sumardjo (dalam Oktavianus 2006: 117)
menyatakan sebagai berikut:
Filsafat orang Indonesia termasuk nilai budaya tersimpan di batik
pepatah-petitih, di batik rumah-rumah adat, di batik upacara-upacara adat, di
batik mitos-mitos tua, di balik ragam hias pakaian yang mereka kenakan, di
batik tarian mereka, di balik musik yang mereka mainkan, di balik
persenjataan, dan balik sistem pengaturan sosialnya.
Dari pernyataan di atas, bahasa melalui pepatah-petitih merupakan
medium untuk menampilkan makna budaya yang di dalamnya terkandung
nilai (value). Peribahasa merupakan bagian dari komunikasi sistem budaya
(Dundes dan Arewa dalam Oktavianus, 2006: 117). Sepadan dengan pendapat
itu, Duranti (1997: 25; Foley, 1997: 16) menjelaskan bahwa bahasa
mengategorisasi realitas budaya. Bahasa menampakkan sistem klasifikasi
yang dapat digunakan untuk menelusuri praktek-praktek budaya dalam suatu
masyarakat. Model-model budaya yang dimaksud di sini mencakup mentalitas
kerja, sikap, perilaku, etika, dan moral. Berikut ini diberikan beberapa contoh
pepatah atau kelong yang mengandung model budaya yang dimaksud.

Aksara Lontara Kebudayaan Asli Sulawesi Selatan 14


Afif Hamka
20.1065

• Motivasi Berusaha dan Bekerja


Untuk memenuhi kebutuhannya manusia diisyaratkan rajin berusaha.
Kelong berikut mengandung makna yang mencerminkan motivasi
berusaha sebagai salah satu praktek budaya dan paling tidak merupakan
cerminan realitas sebagaimana dijelaskan Duranti di atas.
puun kutuai tauw punna kuttui taua
neta sulu soGon natea suluk songokna
tean todo taena todong
titi soGo Inty titti songok la natayang.

Terjemahan: Kalau orang malas


Tidak mau keluar keringatnya Tidak ada juga
Tetes keringat yang ditunggu.
Kelong di atas mencerminkan bahwa kalau orang malas bekerja,
tentu saja, tidak ada hasil yang akan diperoleh. Kelong ini sepadan dengan
ungkapan dalam bahasa Indonesia "Siapa yang menanam, dia akan
menuai".

• Rasa Solidaritas
Solidaritas merupakan integrasi sosial yang didasarkan kepada
interdependensi okupansional, persamaan-persamaan, dan bahkan juga
pada perbedaan-perbedaan komplementer (Soekanto dalam Oktavinus,
2006: 119). Integrasi sosial dapat diartikan sebagai kesetiakawanan,
kebersamaan, dan kekompakan dalam menghadapi suka duka.
meaki kismturu maekik kissamaturuk
kiemet bulo sibt kirnmenteng bulo sibatang
nmtumtu nakmatu.-matu
bett aGod del baieta anngondang dallek

Terjemahan: Mari kita bersama-sama Berdiri sebatang bamboo

Aksara Lontara Kebudayaan Asli Sulawesi Selatan 15


Afif Hamka
20.1065

Supaya berguna
Cara kita mencari rezki.

Kelong tersebut mencerminkan bahwa dalam mengerjakan


suatu pekerjaan, sebaiknya kita mengadakan kerja sama dengan orang
lain agar pekerjaan itu cepat selesai dan berhasil.

• Etika, Moral, dan Sopan Santun


Etika falsafah atau hukum membedakan hal yang baik dan
yang buruk dalam kelakuan manusia, sedangkan moral adalah ukuran
baik buruknya tingkah laku yang menyangkut pengontrolan diri,
keyakinan diri, dan kedisiplinan tindakan (Dreyer dalam Oktavianus,
2006: 124). Adapun kesopanan yang terkandung dalam bahasa
mencerminkan tingginya peradaban suatu bangsa atau tingginya
martabat seseorang (Poedjosoedarmo, 2001: 186). Hal tersebut dapat
dilihat dalam ungkapan berikut.
nikny sulp apn tauw aiymitu niy sirin niy pecn niy pGlin n niy
pGdkn nikanaya sulapak appakna tau, iamintu niak sirikna,
niak paccena.
niak panngalikna, na niak panngadakkanna.

Terjemahan: Yang disebut kesegiempatan manusia ialah


manusia yang memiliki harga diri, memiliki rasa
kesetiakawanan, menghargai orang lain, dan memiliki sifat
sopan santun.

Dalam ungkapan di atas tercermin konsep sipakatau `sating


menghargai', konsep sirik 'harga diri', konsep pacce 'kesetiakawanan',
konsep panngalik 'perasaan hormat', dan konsep panngadakkang 'adat-
istiadat/sopan santun'. Konsep sipakatau `sating rnenghargai' menjadi

Aksara Lontara Kebudayaan Asli Sulawesi Selatan 16


Afif Hamka
20.1065

inti atau pangkal dalam interaksi sosial sesuai dengan nilai-nilai positif
yang ada dalam budaya Makassar. Konsep sink `harga diri adalah
suasana hati dalam masyarakat, bukan semata-mata sebagai
"pertahanan martabat diri" yang ditimbulkan secara emosional dari
simultan nilai-nilai khusus. Konsep pacce `solidaritas' adalah iba hati
melihat sesama warga yang mengalami penderitaan atau tekanan batin
atas perbuatan orang lain atau sejenisnya.
Kedua konsep ini merupakan sikap moral yang menjaga
stabilitas dan berdimensi harmonis agar tatanan sosial atau adat
istiadat berjalan secara dinamis (Hamid, 2003: xii). Konsep panngalik
'perasaan hormat adalan rasa hormat kepada seseorang atau sesuatu
yang dianggap bersih dalam arti luas. Konsep panngadakkang 'adat-
istiadat adalah himpunan kaidah-kaidah sosial dalam masyarakat yang
bermaksud mengatur tata tertib masyarakat (Wahid, 1992: 89). Jika
seseorang berhasrat akan melakukan sesuatu, segala rencana terpuiang
pada adat.
Adatlah yang merupakan penentu patut tidaknya sesuatu yang
akan dilakukan. Keputusan yang diputuskan sesuai dengan proses adat,
maka semua pihak dapat menerimanya, sebagaimana terungkap dalam
ungkapan "punna panngadakkang taena erokku, taena kulleku" `jika
sudah menyakut ketentuan yang sudah diadatkan, tidak berlaku
kemampuanku'.

Aksara Lontara Kebudayaan Asli Sulawesi Selatan 17


Afif Hamka
20.1065

PENUTUP

Lontarak merupakan lambang identitas daerah, mengandung nilai-nilai luhur


yang sangat berharga. Lontarak merupakan salah satu aset kekayaan budaya daerah
yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek wisata budaya.
Berkaitan dengan asal usul lontarak Makassar terdapat beberapa pendapat
yang berbeda. Oleh krena itu, disarankan perlu kajian yang lebih akurat sehingga
diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif.

Aksara Lontara Kebudayaan Asli Sulawesi Selatan 18


Afif Hamka
20.1065

DAFTAR PUSTAKA
• Abidin. Zainal. 1983. Persepsi Orang Bugis, Makassar tentang Hukum.
Negata dan Dunia luar. Bandung: Penerbit Alumni.
• Basang, Djirong. 1972. Fonemik Bahasa Makassar. Ujung Pandang: Lembaga
Bahasa Nasional Cabang 111
• Djajasudarma T. Fatimah, dkk. 1997. Nilai Budaya dalam Ungkapan dan
Peribahasa Sunda. Pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, Departemen
Pendidikan dan kebudayaan.
• Duranti, Aessaridro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge
University Press.
• Foley, Wilham A. 1997. Anthropology Linguistics: An Introduction. New
York: Blackwell.
• Hamid, Abu. 2003. "Sid' Butuh Revitalisasi'. Dalam Mustafa. dkk.,.(Eu.) Sini
dan Passe: Harga Did Orang Bugis. Makassar, Mandar dan Toraja. Makassar:
Pustaka Refleks.
• Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamaus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
• Maknun, Tadjuddin, 1991. "Beberapa Catatan tentang Perkembangan Aksara
Makassar". Makalah Disajikan pada Seminar Sehari dalam Rangka Dies Natalis
ke-32 Fak. Sastra Unhas, 9-11-1991.
• 2007. "Menyempurnakan Aksara Lontarak untuk Memudahkan Pemahaman
Kandungan Lontarak". Makalah Disajikan pada Kongres Internasional Bahasa-
bahasa Daerah se-Sulawesi Selatan pada 22-25 Juli 2007 di Hotel Clarion
Makassar.
• Manyambeang, Kadir. 1996. "Lontaraq Riwayaqna tuanta salamaka ri Gowa:
Suatu Analisis Linguistik Filologis". Disertasi Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin.

Aksara Lontara Kebudayaan Asli Sulawesi Selatan 19


Afif Hamka
20.1065

• Mattulada. 1991a. "Manusia dan Kebudayaan Bugis-Makassar dan Kaili di


Sulawesi. Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya Indonesia No. 43 Th. XV
Januari-April 1991.
• 1991b. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah. Ujung Pandang:
Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin.
• Museum Nasional. 1976. "Mengenal Aneka Ragam Tulisan Daerah di
Indonesia". Jakarta: Direktorat Museum, Ditjen Kebudayaan Depdikbud No.
10/MP/NAS/76.
• Oktavianus. 2006. "Nilai Budaya dalam ungkapan Minangkabau: Sebuah
Kajian dari Perspektif Antropologi Linguistik". Jurnal Linguistik Indonesia Tahun
ke-24, Nomor 1. Jakarta: MLI bekerja sama dengan Obor Indonesia.
• Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar.
• Poedjosoedarmo, Soepomo. 2001. Filsafat Bahasa. Surakarta: Muhammadiyah
University Press.
• Reid, Anthony. 2004. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
• Wahid, Sugira. 1992. "Metafora Bahasa Makassar". Disertasi Program
Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
• Yatim, Nurdin. 1983. "Subsistem Honorofik Bahasa Makassar: Sebuah
Analisis Sosiolinguistik". Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi,. Direktorat Pembinaan Penelitian, dan
Pengembangan dalam Masyarakat.

Aksara Lontara Kebudayaan Asli Sulawesi Selatan 20

You might also like