You are on page 1of 7

SANGIHE, TANAH AIR YANG TERSERAK DAN KEBUDAYAN YANG TERBUNGKAM

OLEH : ALFFIAN WALUKOW

Sangihe negeri kepulauan, merupakan gerbang utara Indonesia adalah tanah air yang
punya Identitas. Sangihe adalah negeri berdaulat sejak kerajaan pertama berdiri sampai matinya
Raja Santiago akhir tahun 1800-an. Adalah sesuatu yang mengherankan apabilah seorang
petinggi Sulut pernah mengatakan dalam sebuah media, bahwa pulau-pulau yang belum dinamai
secepatnya diberikan nama. Ternyata petinggi tersebut asal ngomong, karena mereka tidak
mengenal Sangihe,dan tidak mau peduli siapa Sangihe. Asal tahu saja, ada kurang lebih seratusan
batu di atas perairan laut Sangihe, semua memiliki nama. Puluhan pulau kecil tanpa penghunipun
memiliki nama apalagi yang berpenghuni. Nama yang diberikan oleh leluhur sangihe ratusan tahun
sebelum lahirnya NKRI. Hal ini menampik usul dari sang petinggi tentang pemberian nama atas
pulau – pulau diSangihe yang katanya ada beberapa pulau yang belum memiliki nama.

Kurangnya rasa ingin tahu public Sulut tentang sangihe membuat mereka mengira-ngira
bahwa sangihe hanyalah segumpal tanah yang tak berarti. Misalkan Pulau Miangas. Pada tgl, 7 Mei
1929 Miangas resmi menjadi milik Belanda, tahun 1938 penduduk Pulau Miangas berjumlah 800
orang, yang kini adalah wilayah teritorial Kabupaten kepulauan Talaud, telah menjadi milik
Indonesia atas perjuangan kaum Sangihe sendiri. Perjuangan tersebut dimulai sejak Kemenangan
Amerika atas Spanyol, Amerika beranggapan bahwa Miangas bagian dari Philiphina yang dikuasai
Spanyol sejak tahun 1560 karena semua daerah bekas jajahan Spanyol harus diserahkan kepada
Amerika. Pemerintah Hindia Belanda yang merasa berhak penuh atas Miangas tidak mau
menyerahkannya pada Amerika. Maka diadakanlah kesepakatan tahun 1930 antara Amerika dan
Belanda atas kepemilikan Miangas. Belanda yang diwakili oleh Raja Kerajaan Tabukan Wellem
Sarapil memenangkan hak kepemilikan atas Miangas. Miangas menjadi bagian NKRI sekarang
adalah jasa dari kaum Sangihe, tetapi kalau jasa tersebut dibalas dengan Tuba oleh Republik
Indonesia apakah salah jika nanti Miangas menjadi bagian dari Philiphina. Dari latar belakang
sejarah dan kebudayaan Sangihe, menunjukan dengan benar bahwa nenek moyang kaum Sangihe
bukanlah Nusantara tetapi dari Philiphina bagian Selatan. Sejak masa lalu, kaum Sangihe sudah
menempati sebagian besar pulau di bagian Selatan Philliphina hal ini disebabkan keterikatan masa
lalu antara Philiphina dan Sangihe. Salah satu contoh yang dapat memperjelas yaitu : bahasa
Sangihe adalah salah satu bahasa pengantar di daerah pesisir pantai dan pulau-pulau Selatan
Philliphina disamping bahasa Besaya dan Taghalok. Sudah saatnya mengambil hatinya untuk lebih
mencintai NKRI.

Masyarakat Sangihe diperbatasan dapat pergi ke Philliphina selama dua kali sehari. Mereka
adalah bagian tak terpisahkan dari NKRI, tetapi salahkah bila mereka mencintai Tanah leluhurnya?
Pulau Balut, Saranggani, Lajanggas, General Santos adalah daerah yang selalu mereka pijak tetapi
hanya mengenal Manado dari cerita Famili mereka yang terserak. Bahkan mungkin mereka tidak
tahu siapa S.H. Sarundayang apalagi SBY. Beberapa diantara mereka menjadi bagian dari muslim
Moro, Mindanao Selatan Itu wajar karena Sangihe pertama kali mengenal Islam bukan dari Wali
Songo tetapi dari Mindanao. Ajaran Islam Mindanao pertama kali masuk di Sangihe abad ke 13
yang beraliran Suni kemudian Ajaran Islam dari Maluku yang beraliran Syiah sampai tahun 1500-
an.

Persebaran kaum Sangihe kebeberapa penjuru terjadi beberapa tahap. Persebaran tertua
adalah persebaran kaum Sangihe ke Madagaskar atas peran pelaut-pelaut Sangihe. Terdapat 46
keluarga yang ikut dalam pembuangan Raja Don Lazaru, Raja kerajaan Manganitu oleh pemerintah
Kolonial Belanda ke Afrika. Pembuangan raja Siau ke Cirebon dan ke Luwuk Banggai, diungsikannya
penduduk sangihe dari pulau pulau kecil atas munculnya api dari gunung api bawah laut
Mahengetang tahun 1904,pada tanggal 17 April 1919 oleh peneliti bernama Dr. G.L.L. Kemerling
mengatakan terlihat gejala letusan gunung Mahengetang. Atas inisiatif pemerintahan colonial,
dipindahkanlah penduduk ke Mongondow . Sebagian diantara mereka juga menempati pulau-pulau
dekat Belang dan Bentenan (Bentenan berasal dari kata Bentengang, bahasa sangihe yang berarti
“angkat bersama, perjuangan bersama,membawah beban berat oleh beberapa orang) hal ini
dijelaskan oleh Budayawan dan pemerhati bahasa Sangihe Drs G. Makamea dan J. Karaeng, S.Pd. Salah
satu bentuk kebudayaan sangihe didaerah sekitaran Belang yang masih tersisa adalah Tenun kain
dari serat batang pisang abaka, kenapa harus budaya sangihe karena teknik tenun tersebut tidak
pernah ada di Minahasa yang ada hanyalah pembuatan kain dari serat bambu. Kebudayaan
tersebut adalah Tradisi Tenun asli sangihe, dalam bahasa Sangihe dinamakan tradisi Megahiuang.
Persebaran lainnya adalah : pengungsian letusan Gunung api Karangetang 16 januari 1712 dan
Gunung Duang / Tsunami tahun 1892 yang menempati daerah Likupang, Bitung, Pesisir utara
Bolmong, dan pesisir pantai Gorontalo. Sejak diberlakukannnya UU Agraria tahun 1870 oleh
Pemerintah Hindia Belanda yang membuka kesempatan kerja kepada penduduk Indonesia,
terutama menjadi buruh perkebunan, mereka yang direkrut pada masa itu ditempatkan di Lolak.
Persebaran terakhir secara kolektif terjadi pada awal tahun 1900-an tepatnya tahun 1902 sampai
awal kemerdekaan di perkebunan kelapa Lalou.

Banyaknya penduduk Sangihe di daerah kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore


disebabkan beberapa hal yaitu : Pertama : Kerajaan Siau dan kerajaan bawahan Tamako juga
Kerajaan Tabukan pernah menjadi bagian dari kesultanan Tidore di era 1500-1600 bersamaan
dengan penguasaan Portugis-Spanyol atas Ternate dan Tidore. Kedua : Telah terjadi hubungan
dagang rempah antara Eropa, Philliphina, Ternate/Tidore dan Sangihe sejak masa penjelajahan
Samudera.Ketiga : perasaan sama, seperti persamaan kultur dan warna kulit. Keempat: perkawinann
antar anak Raja. Diantaranya perkawinan Maimuna seorang putri raja dari Kerajaan Tabukan dengan
seorang Pangeran dari keraajaan Ternate.Dari perkawinan tersebut melahirkan kesepakatan bahwa
apa yang ditanam orang Sangihe akan ditanam di Ternate sebagai symbol persaudaraan. Tanda
persahabatan lain juga berupa pemberian hadiah oleh salah satu raja sangihe berupa Batok kelapa
kembar. Kelima : Kerajaan Siau pernah mengirim 2000 tentara untuk membantu perang Portugis
melawan Spanyol.

Keberadaan kaum Sangihe di Pante Tondano tidak diketahui jelas, tetapi pemberian nama
Kora-kora terhadap Pante Kora-kora berlatar belakang sejarah sejak dikirimnya 1500 Tentara dari
kerajaan Siau membantu Portugis melawan VOC dalam peristiwa Benteng Moraya. Para perajurit
mendarat dipante tondano dengan menggunakan Perahu Kora – kora atau dalam bahasa sangihe
disebut perahu Konteng. Sejak saat itu prajurit perang sangihe sudah meggunakan bendera
berwarna merah dan bendera berwarna putih dalam setiap peperangan.

Pada masa kolonialisme pula telah terjadi kesepakatan, bahwa semua pulau yang
ada disekitar (pesisir pantai) jazirah Minahasa adalah milik kerajaan Bowontehu. Kerajaan
Bowontehu adalah salah satu kerajaan tertua sangihe yang berpusat di Pulau Manado Tua.
Salah satu kesepakatan tertua antara Dotu Minahasa dan Kerajaan Sangihe yang menjadi legenda
disangihe adalah keberadaan pulau Lembe. Pulau Lembe adalah pulau yang tersisa setelah semua
tanah di Minahasa sudah habis dibahagi kepada anak Cucu Toar – Lumimuut. Lembe berarti Sisa
( bahasa Sangihe ) Diperkirakan legenda ini muncul pada tahun 1428 setelah Deklarasi Maesa II
yang ditandai dengan Musyawarah Watu Pinawetengan. Sebagian orang Siau juga beranggapan
bahwa mereka adalah keturunan Toar dan Lumimuut dari anak-cucu Makarua Siou dan Pasiouan
Telu. Kata Siau berasal dari kata Siou yang berarti sembilan. Bukti lain juga mengemukakan bahwa
sampai saat ini ada banyak orang Siau yang tidak mau disebut sebagai orang Sangihe.

Sehubungan dengan terseraknya kaum Sangihe kebeberapa penjuru, tidak terkecuali


Minahasa. Diperkirakan 14 % wajib pilih di SULUT adalah kaum sangihe dan keturunan Sangihe,
( Wawancara : Adrian Mailite,Pebruari - 2009). Kenapa demikian karena kaum Sangihe telah
menempati SULUT “ Minahasa,Menado,Bitung,Likupang,Bolmong dan Gorontalo “ bersamaan
dengan berkembangnya SULUT. Sekecil apapun, sangihe juga menjadi bagian dari SULUT dan
berperan dalam lingkup pembangunan.

Gejala yang terjadi saat ini adalah terdapat dua komunitas baru kaum Sangihe
yaitu ; kaum Sangihe asli yang patuh pada Tradisi dan kaum Sangihe yang Minahasaisme. Baik
mereka yang berdomisili di Tanah Sangihe maupun yang berdomisili di Tanah Minahasa memiliki
dua perilaku social tersebut. Akar dari semua itu adalah Bayangan Kapitalisme masa lalu yang
masuk dalam sistim kehidupan social masyarakat yang dibawah dari masa lalu atau mungkin tidak
hilangnya strata kehidupan social masyarakat sangihe dimasa lalu yang terbentuk pada masa
kerajaan.

Tingkatan kehidupan social masyarakat sangihe dimasa kerajaan adalah :

Tingkatan Teratas adalah : Datu (Raja) dan kerabat datu.

Semua hal yang termasuk dalam kerabat datu ditransfer secara temurun melalui tutur lisan
oleh para ahli tutur silsilah keluarga.Disetiap kerajaan terdapat ahli tutur silsilah keluarga. Dimasa
kini keturunan dari ahli tutur kebanyakan menekuni pekerjaan dibidang hukum disamping termasuk
juga para keturunan Raja yang dibentuk oleh pemerintah colonial. Diyakini bahwa praktisi hukum
wanita pertama di Sulut adalah kaum Sangihe bernama Yolande Mokodompis, menyelesaikan studi
hukum di Belanda akhir tahun 1800. Yolande Mokodompis adalah anak semata wayang dari Raja
Willem Manuel Pandensolang Mokodompis. Beberapa pejabat kaum Sangihe ditingkat Propinsi yang
kita kenal saat ini adalah keluarga dan kerabat raja seperti Mantan Walikota Bitung M. Kancil adalah
keturunan Raja Siau, Wakil Wali kota bitung sekarang adalah keluarga Bahaning (pemberani
sangihe) dari Kuma, kerajaan Tabukan.

Tingkatan kedua, Kulano,Bahaning ( pemberani ) Joghugu,Kapiten Laut (kepala desa)

Kulano dan Bahaning adalah bagian yang terlepas dari kalangan Istana, tetapi orang -
orang yang berada pada tingkatan ini dihormati dan disegani layaknya sang Raja. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal : Para Kulano dan Bahaning dikenal karena keberaniannya di medan
pertempuran,baik itu perang antar kerajaan di sangihe maupun perang melawan Bajak Laut Sulu
dan kesultanan Mindanao. Bahaning yang dikenal disangihe antara lain : Makaampo, Lumanu,
Lantemona, Hengkeng, dll. Mereka adalah perwakilan rakyat dalam menyampaikan keluhan kepada
Raja, kerena tidak ada rakyat yang dapat masuk ke Istana dengan alasan apapun kecuali :
melakukan kesalahan. Dengan pengkultusan para Bahaning inilah melahirkan komunitas baru yang
kemudian membentuk Dinasti baru pada setiap kerajaan. Diantara para bahaning ada yang
sempat menjadi Raja karena keberanian atau karenah menikah dengan putri raja.

Tingkatan ketiga, Bobato (pengawal raja dan panglima perang kerajaan), penasehat kerajaan,
juru tulis kerajaan, Rakyat kaya yang memiliki hubungan dekat dengan kerajaan.

Bobato terangkat atas hasil seleksi alamiah, biasanya mereka menjadi bagian dari
tingkatan ini atas keberaniannya menyusun strategi peperangan atau termasuk dalam jaring kroni
keluarga kerajaan. Para penasehat Kerajaan biasanya diangkat dari kalangan adat yang mengerti
banyak tentang peraturan adat sangihe. Juru tulis kerajaan bertindak mengagendakan semua
kejadian yang terjadi berhubungan dengan aktifitas raja. Mulanya tugas ini dilakukan dengan cara
dihafal dan ditutur dalam setiap pertemuan kerajaan. Sejak masuknya bangsa Eropa tugas ini
mulai ditulis. Salah satu bukti adalah ditemukannya sebuah buku di kerajaan Tabukan yang
ditulis oleh sekretaris kerajaan yang isinya berupa Perjanjian antara Raja dan pihak Eropa yang
disampaikan oleh Raja melalui pidato diistana. Buku ini dinamakan Perjanjian Salurang,
sekarang disimpan di Museum Negeri Prop. Sulut. Pada masa pemerintahan raja W.M.P.
Mokodompis di Kerajaan Manganitu tidak ditemukan tugas-tugas Juru Tulis kerajaan. Karena Raja
W.M.P. Mokodompis termasuk salah satu raja yang paling pintar diantara raja-raja sangir pada
samannya. Raja W.M.P. Mokodompis sempat menjadi raja atas tiga kerajaan disangihe yaitu
Kerajaan Manganitu,Kerajaan Tahuna – Kendahe, Kerajaan Manganitu - Tamako. Bukti
peninggalannya adalah Istana kerajaan dan perabotan rumah juga dua buah lemari buku yang
berisi kurang lebih 1000 judul buku dalam bahasa Belanda.

Tingkatan keempat : Rakyat jelata (rakyat msikin), dan Budak yang dibebaskan.

Tingkatan ini tidak memiliki akses langsung kekalangan istana, hidup terisolir di
tanjung,diteluk, ditepian pantai, dipulau-pulau kecil dan di Gunung. Mereka hidup patuh pada
peraturan raja tetapi lebih patuh pada aturan adat dan agama. Masyarakat dikalangan ini
masih menganut agama asli Sangihe yaitu agama Sundeng sampai akhir tahun 1800.Pada masa
berkembangnya Islam disangihe tahun 1300 sampai 1500 kalangan ini hidup bebas. Setelah masuknya
ajaran Kristen di Sangihe, kalangan ini mulai dibenci oleh sesamanya sendiri. Mereka hidup
semakin terisolir, terpisahkan dari dunia lain. Berdasarkan data penulis dari beberapa saksi sejarah
mengatakan bahwa orang-orang Kristen dilarang berada dilokasi sekitar tempat ritual agama
sundeng karena pengikut agama sundeng dianggap sebagai pengikut setan. Pada akhirnya aktifitas
agama ini hilang dikisaran tahun 1920-an. Aktifitas penganut agama Sundeng menerapkan
sebagian besar Budaya, adat dan tradisi asli Sangihe, yang tidak terkontaminasi dengan Budaya
impor. Dari lingkungan yang terhimpit inilah lahir komunitas baru yaitu para budak. Klasifikasi
budak yang di merdekakan adalah: pertama, apabila budak tersebut sudah dihapus statusnya
sebagai budak oleh tuannya.Kedua, apabilah budak tersebut dinikahi oleh orang yang bukan
budak dengan sendirinya statusnya sebagai budak terhapus.

Tingkatan kelima : Budak dan keturunan Budak

Berdasarkan catatan dari seorang jurnalis Belanda, Daniel Brillman dalam bukunya “Kabar
Baik dari Bibir Pasifik “ (terjemahan GMIST). Sudah terjadi eksploitasi budak secara besar-besaran
di kalangan rakyat kecil Sangihe dan Talaud. Tahun 1860, harga budak adalah 30 sampai 40
gulden. Bahkan seorang budak terkadang dihargai dengan ikan sejumlah 1.500 ekor. Dimasa lalu,
jika seseorang sudah dibayar sebagai budak maka anak cucunya juga adalah budak selama
status budak belum dihapuskan oleh Tuan dan anak cucu temurun Tuannya. Perbudakan disangihe
dihapuskan oleh Belanda tahun 1889 oleh pemerintah colonial Belanda, jauh sebelum Ratulangi
menghapus budak di tanah Minahasa.

Tingkatan kehidupan social masyarakat sangihe dimasa kini yang dipengaruhi oleh masa lalu :

Tingkatan teratas Bupati : Masih melekat dalam pikiran sebagian masyarakat terutama
kaum tua bahwa Bupati adalah titisan Datu dan dianggap sebagai Datu. Memang pada
kenyataannya, sebagian besar orang yang pernah menjadi Bupati di Sangihe adalah keturunan
raja masa lalu diantaranya Bupati pertama sangihe adalah Sarapil keturunan dari Raja Wellem
Sarapil,Raja dari kerajaan Tabukan. Ada kemungkinan Bupati sekarang Winsulangi Salindeho adalah
keturunan dari Raja Siau bernama Raja Winsulangi.

Siapa yang dapat memungkiri kalau keberadaan masa lalu Sangihe masih melekat pada
sistim pemerintahan dan birokrasi pemerintahan masa kini. Apapun yang melandasinya, kenyataan
itu mulai tebukti dengan terpisahnya Talaud dari Sangihe, karena dimasa lalu Talaud bukanlah
Sangihe. Terpisahnya Siau,Taghulandang,Biaro dari Sangihe karena dimasa lalu Siau adalah salah
satu kerajaan berdaulat diantara kerajaan sangihe lainnya, demikian juga Taghulandang adalah
kerajaan berdaulat diantara kerajaan Sangihe lainnya. Fenomena baru menunjukan hal-hal
tersebut akan semakin terealisasi dangan dipersiapkannya Kabupaten baru yaitu kabupaten
Tabukan, wilayahnya meliputi semua daerah bekas kerajaan Tabukan. Kabupaten Sangihe Selatan
yang nanti akan berpusat di Tamako, wilayahnya meliputi daerah bekas Kerajaan Manganitu
Tamako. Sisanya adalah Tahuna dan Kendahe,yang dimasa lalu adalah bekas kerajaan Tahuna –
Kendahe dengan raja terakhir Raja Adriaan.

Komunitas keluarga kerajan akan bermunculan mengambil posisi terdepan sebagai


pemimpinn daerah baru di Sangihe. Raja akan tetap menjadi raja rakyat tetap menjadi rakyat.
Tingkatan status social masyarakat sudah nyata di mata, tapi rakyat tak mau melihat. Hal itu
dikarenakan ada budaya tenggang rasa yang berakar disangihe dan melekat sampai sekarang,
diantaranya, “rasa kerene”. Mereka tetap menghormati Raja dan keturunannya sebagai
pemimpin. Membiarkan diri hidup seperti budak karena dari “sono” nya sudah seperti itu.
Contoh sederhana, banyak ungke dan momo yang kerja ditoko (toko orang china) sampai ke
anak cucu. “ Mulai dari bos’ belum kawin sampai bos’ so ada cucu” Hampir semua toko dan usaha
di kota Manado mempekerjakan orang sangihe sebagai tenaga kasar tapi dipercaya. Ada yang
menjadi kuli bangunan dibayar murah. Ada yang jadi tukang jaga kebun,tukang jaga rumah.
Ironisnya banyak keluarga kaya di Manado lebih menginginkan pembantu rumah tangga (babu)
orang sangihe ketimbang orang Minahasa.
Apakah ini kebanggaan orang sangihe, anggap saja demikian. Tetapi banyak hal yang
kurang adil diperlakukan terhadap sangihe. Didunia pendidikan misalnya, banyak orang sangihe
berkuliah di Minahasa tetapi sampai saat ini belum ada satupun asrama yang dibangun oleh
pemda Sangihe dengan dana Pemda untuk tempat tinggal para mahasiswa. Dibandingkan
dengan Gorontalo,Poso,Manokwari, Jayapura, mereka telah membangunn asrama untuk anak –
anak mereka yang kuliah di Minahasa.
Keberadaan kaum sangihe di Philiphina kira-kira 10.000 orang yang terdata. Mereka
hidup terkatung-katung, Bukan orang Philiphina, bukan orang Indonesia. Mereka hidup sebagai
petani peminjam tanah bukan petani pemilik tanah. Ada juga diantara mereka yang menjadi
tentara tanpa identitas.Sekolah tanpa ijazah. Kaum sangihe yang hidup diluar sangihe
khususnya di Manado,Minahasa,Bitung,Bolmong,Gorontalo,Sulteng, Makasar dan Halmahera empat
kali lebih banyak dari penduduk sangihe sekarang.
“Pirua” begitu Indah dan kayanya sangihe, indah alamnya, kaya budayanya tapi penduduk
sangihe tak punya apa-apa. Sebagian besar harkat hidup masyarakat sangihe terutama hasil
bumi dikuasai oleh kaum tionghoa yang sering disebut China Sangir. Mereka menambang
disangihe tapi menimbunnya di Manado. Akan tetapi tanpa mereka, sangihe tidak berdaya.
Banyak tanah digadaikan kepada mereka karena hanya mereka yang punya uang.
“Pirua” begitu Indah dan kayanya sangihe tapi banyak kaum sangihe lari keluar dari sangihe
dan tak mau pulang lagi ke sangihe apapun yang terjadi. Hal ini membalikkan fakta, “ lebih
baik hujan batu dinegeri orang dari pada hujan emas dinegeri sendiri”.
Kalaupun ada yang kembali biasanya karena kepentingan “ lain “ diantaranya “mobacaleg” atau
“mobacabup” hal itu wajar dan dapat diterima.
Seandainya yang “mobacaleg” dan “mobacabup” tahu persis tradisi dan budaya, angkat dan
perbesarlah tradisi dan budaya sangihe. Supaya nilai-nilai dan filosofi sangihe tetap terjaga
dan menjadi warisan keanak cucu. Contoh sederhana, sepanjang sejarah tidak pernah ada
Upacara Adat Tulude yang menggunakan kembang api, tapi kini Upacara Adat Tulude sudah
menggunakan Kembang api. Kalau memang ini adalah bentuk dari elastisisme budaya katakan
“ia” berarti budaya sedang berubah. Sudah saatnya kebudayaan sangihe berubah berdasarkan
saman.

Beberapa contoh sederhana dapat menjadi acuan para pemimpin dan calon pemimpin
terhadap keberadaan kaum sangihe yang terpaksa terpuruk. Hal lain yang mendorong semakin
punahnya kebudayaan asli sangihe yaitu Terpisahnya Kebudayaan dari Kantor DIKNAS ke Dinas
Pariwisata. Selama ini, pembinaan dan penggalian Budaya Sangihe yang hampir punah adalah
hasil dari perjalanan panjang usaha para pendidik mulai dari TK sampai ke Perguruan tinggi.
Bukan soal ragu, apakah Pariwisata dan Budaya mampu mengangkat dan menghidupkan kembali
budaya yang ada maupun budaya yang sedang hilang ataupun yang sudah mati. Tapi pada
kenyataannya Dinas Pariwisata dan Budaya hanya mampu mengangkat budaya yang dapat laku
terjual, dan yang tidak laku ditinggalkan. Disadari memang bahwa semua itu berhubungan
dengan pembiayaan. Budaya yang sering dijual adalah : Masamper, Upacara adat Tulude, Upacara
adat Mane’e di Talaud, Musik Oli dan Musik tradisional Bambu, Ampa wayer dan tari Gunde. Jika
memang pengembangan dan pemasaran budaya sering terhambat buatlah pengembangan ke
dalam. Sekurang - kurangnya anak negeri sangihe kenal dan mengetahui budayanya sendiri.
Sebab berdasarkan temuan sementara banyak anak sekolahan ditingkat SD sampai SMA tidak
mengenal budaya disekitarnya.
Kebudayaan Sangihe yang sudah mati diantaranya adalah : Medenden (berbalas pantun atau
berpantun), Mebawalase sambo / mesambo ( berbalas kata dengan diiringi musik tagongong ), Tari
Lide (tari ini dilaksanakan pada upacara Sundeng dalam ritual pengurbanan / sembelih manusia
kepada sang pencipta) budaya ini mirip dengan upacara Paragesan atau Parageyan di Minahasa.
Tari Rangsang Sahabe, Tari ini diciptakan oleh Raja Kerajaan Sahabe, dan bercerita tentang suara
rakyat yang tidak mau lagi didengar pemerintah di saman colonial Belanda, rakyat lalu
menyuarakan langsung keluhan kepada sang pencipta. Tahlilan orang Kristen tradisi ini adalah
tradisi islam yang diadaptasi ke-kristen dengan cara mangadakan tahlilan dalam bentuk lagu
disetiap upacara kematian. Tradisi Menahulending Banua Tradisi ini mirip tradisi Larung di Jawa,
tradisi ini adalah prosesi mengantar penyakit dan segala kotor (dosa) manusia melalui sebuah
miniature perahu yang dilengkapi dengan peralatan manusia termasuk model manusia kemudian
diluncurkan kelaut lepas. Tradisi Menondo Sakaeng (peluncuran perahu) termasuk diantaranya
Tradisi membersihkan Perahu yang digunakan memuat jenasah, Tradisi membuat perahu
adat,Upacara kematian dan Upacara Perkawinan.
Kebudayaan sangihe yang masih dipertahankan diantaranya adalah: Susunan anak dalam
lingkungan keluarga adat sangihe yang menyerupai tradisi Bali yaitu. Empat tingkatan anak dalam
keluarga adat sangihe mulai dari Akang (anak sulung),Ara (anak kedua),Ari (anak ke tiga),Embo (anak
bungsu) jika sebuah rumah tangga hanya memiliki satu anak maka anak itu akan berstatus Mbau
atau anak semata wayang. Dari susunan anak tersebut muncullah filosofi keluarga sangihe “ Akang
ganting gagurang “ Kakak adalah pengganti amanat dan tanggungjawab orang tua. Rasa Kerene
atau dalam bahasa melayu manado “ Rasa bagitu” dalam bahasa pelajaran Pkn, Tenggang rasa
atau Tepo Seliro. Dibidang lain yaitu : Upacara adat Tulude, Pembuatan Kue adat
Tamo,Masamper,Musik Oli, Pemotongan kue adat Tamo, Sasalamate (puisi sangihe),Musik
Tagonggong, Tari Gunde, Tari Salai (jelmaan dari tari Lide), Tari Sese Madunde, Tari Ala Badiri, Tari
Upase, Tari Salo,Musik Tradisional Bambu, Musik Orkes tradisional,Tari Ampa Wayer,Hadrah Mangut
(kesenian Islam Sangihe), Upacara Melahungduitan (penobatan pangeran diatas pangeran),Upacara
penobatan raja (melanise tembonang). Kebudayaan piring besar (Dulang) kegiatan ini biasanya
dilakukan dalam upacara penyembahan atau uji keperawanan calon pengantin wanita. Ada banyak
kebudayaan yang tidak dapat disebutkan tapi masih menjadi bagian dalam kehidupan adat
sangihe sampai saat ini.
Tulisan ini dibuat sebagai bentuk kepedulian terhadap kekayaan budaya Sangihe yang
tersembunyi dimata saudaranya di SULUT, dengan harapan, mereka yang terserak dan tercerai
berai mau bersatu. Pulang, Bangun dan Bangunkanlah Sangihe yang tidur atau menjelang……..mati.
Karena sebentar lagi Sangihe akan menjadi Nusa Utara. Sesudah itu cerita tentang sangihe akan
terkubur.
Penulis : Alffian W.P. Walukow, S.Pd - Guru SMP Negeri 5 Tabukan Utara.
Untuk kepedulian, dapat menghubungi Sanggar Seni Skan-B, 081340422006

You might also like