You are on page 1of 17

PROGRAM PERCEPATAN BELAJAR ( AKSELERASI)

SEBAGAI SALAH SATU INOVASI LABSCHOOL


DALAM MEMBERIKAN LAYANAN BELAJAR
BAGI SISWA CERDAS ISTIMEWA

oleh :
M. Fakhruddin*

Memberikan pendidikan yang sama rata kepada


peserta didik yang tidak ber -kemampuan sama
tidaklah mencerminkan keadilan dalam layanan
pendidikan .
(Prof. Dr. SC. Utami Munandar)

PENDAHULUAN

Memasuki tahun pelajaran 2008/2009 ini, program percepatan belajar atau


program akselerasi sebagaimana yang dikenal oleh para guru dan penyelenggara
sekolah akan memasuki satu dasa warsa dari awal penyelenggaraannya di tahun 1998
atau sewindu dari saat program ini digagas dan dicobakan pertama kalinya oleh SMP -
SMA Labschool Jakarta. Program yang secara bottom up muncul dari para praktisi di
tingkat sekolah ini dalam perjalanannya kemudian difasilitasi dan dikembangkan oleh
Departemen Pendidikan Nasional menjadi salah satu program dari Direktorat
Pendidikan Luar Biasa Ditje n Dikdasmen (sekarang Direktorat Pembinaan Sekolah
Luar Biasa Mandikdasmen). Bahkan, pada tahun 2000 program ini secara resmi
ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional RI sebagai salah satu program nasional
melalui ujicoba dan diseminasi penyelenggaraan program terhadap beberapa sekolah
di seluruh Indonesia.
Dari saat program ini digulirkan sampai ketika pihak Departemen Pendidikan
Nasional menfasilitasi upaya kajian dan pengembangan lebih lanjut menjadi seperti
yang saat ini banyak dilaksanakan, progr am ini tidak sepi dari berbagai kritik. Namun
demikian, program layanan ini masih tetap berjalan dan bahkan semakin
menunjukkan adanya peningkatan, baik dari segi jumlah sekolah penyelenggara dan
jumlah siswa yang dapat dilayani, maupun berbagai program pe ngembangan yang
dilakukan terutama oleh Departemen Pendidikan Nasional melalui Direktorat
Pembinaan Sekolah Luar Biasa serta telah menghasilkan berbagai kajian yang
dilakukan oleh berbagai kalangan akademisi terutama di berbagai perguruan tinggi.
Hal ini menunjukkan bahwa terlepas dari kekurangannya, program akselerasi muncul
sebagai salah satu alternatif dari model penyelenggaraan layanan belajar bagi siswa
cerdas istimewa.
Tulisan singkat ini sama sekali tidak berpretensi untuk dapat memotret
berbagai hal yang menjadi dinamika penyelenggaraan program akselerasi selama ini.
Tulisan ini hanya dimaksudkan untuk mengupas beberapa perkembangan isu yang
membayangi seputar penyelenggaraan program akselerasi pada akhir -akhir ini. Di
antara isu dimaksud adalah sepu tar pengembangan konsep keberbakatan,
pengembangan alat identifikasi, berdirinya asosiasi CI/BI, dan model penyelenggaran
akselerasi di tengah persiapan pengembangan Sistem Kredit Semester (SKS) untuk
tingkat pendidikan dasar dan menengah.
TINJAUAN HISTORIS
PENYELENGGARAAN PROGRAM AKSELERASI

Upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan khusus bagi


peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa sebenarnya telah
dilakukan sejak tahun 1974 dengan pemberian beasiswa bagi siswa Sekolah Dasar
(SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang berbakat dan berprestasi tinggi tetapi
lemah kemampuan ekonomi dan keluarganya.
Selanjutnya pada tahun 1982, Balitbang Dikbud memben tuk Kelompok Kerja
Pengembangan Pendidikan Anak Berbakat (KKPPAB). Kelompok Kerja ini mewakili
unsur-unsur struktural serta unsur -unsur keahlian seperti Balitbang Dikbud, Ditjen
Dikdasmen, Ditjen Dikti, Perguruan Tinggi, serta unsur keahlian di bidang sain s,
matematika, teknologi (elektronika, otomotif, dan pertanian), bahasa dan humaniora,
serta psikologi. Kelompok Kerja tersebut antara lain bertugas untuk mengembangkan
”Rencana Induk Pengembangan Pendidikan Anak Berbakat”, serta merencanakan,
mengembangkan, menyelengga-rkan, dan menilai kegiatan -kegiatan yang sesuai
dengan rencana induk pengembangan anak berbakat.
Kemudian, pada tahun 1984 Balitbang Dikbud menyelenggarakan perintisan
pelayanan pendidikan anak berbakat dari tingkat SD, SMP, dan SMA di satu daerah
perkotaan (Jakarta) dan satu daerah pedesaan (Kabupaten Cianjur). Program
pelayanan yang diberikan berupa pengayaan (enrichment) dalam bidang sains (Fisika,
Kimia, Biologi, dan Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa), matematika, teknologi
(elektronika, otomotif, dan pertanian), bahasa (Inggris dan Indonesia), humaniora,
serta keterampilan membaca, menulis, dan meneliti. Pelayanan pendidikan dilakukan
di kelas khusus di luar program kelas reguler pada waktu -waktu tertentu. Perintisan
pelayanan pendidikan bagi anak berbakat ini pada tahun 1986 dihentikan seiring
dengan pergantian pimpinan dan kebijakan di jajaran Depdikbud.
Selanjutnya, pada tahun 1994 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
mengembangkan program Sekolah Unggul (Schools of Excellence) di seluruh propinsi
sebagai langkah awal kembali untuk menyediakan program pelayanan khusus bagi
peserta didik dengan cara mengembangkan aneka bakat dan kreativitas yang
dimilikinya. Namun akhirnya, program ini dianggap tidak cukup memberikan dampak
positif pada siswa berbakat untuk mengembangkan potensi intelektualnya yang tinggi.
Keluhan yang muncul di lapangan secara bersamaan didukung oleh temuan studi
terhadap 20 SMA Unggulan di Indonesia yang menunjukkan 21,75 % siswa SMA
Unggulan hanya mempunyai kecerdasan umum yang berfungsi pada taraf di bawah
rata-rata, sedangkan mereka yang tergolong anak memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa hanya 9,7 % (Reni H., dkk., 1998).
Pada tahun 1998/1999, SMP dan SMA Labschool Jakarta serta SMA Al -Azhar
Syifa Budi Cikarang mencoba memberikan pelayanan pendidikan bagi anak yang
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa dalam bentuk program percepatan
belajar (akselerasi). Pada tahun 2000 program dimaksud dicanangkan oleh Menteri
Pendidikan Nasional pada Rakernas Depdiknas menjadi program pendidikan nasional.
Pada kesempatan tersebut Mendiknas melalui Dirjen Dikdasmen menyampaikan Surat
Keputusan (SK) Penetapan Sekolah Penyelenggara Program Percepatan Belajar
kepada 11 (sebelas) sekolah yakni satu SD, l ima SMP, dan lima SMA di DKI Jakarta
dan Jawa Barat. Kemudian pada tahun pelajaran 2001/2002 diputuskan penetapan
kebijakan pendiseminasian program percepatan belajar pada beberapa sekolah di
beberapa propinsi di Indonesia. Sejak itu upaya pendiseminasian program ini
dilakukan oleh Direktorat Pendidikan Luar Biasa bekerjasama dengan Dinas
Pendidikan Propinsi dan Kabupaten/Kota melalui berbagai tahapan seperti pemetaan,
sosialisasi, penetapan program rintisan, serta berbagai program pembinaan. Pada
tahun 2001, seiring perkembangan otonomi daerah maka Direktorat Pendidikan Luar
Biasa membatasi ujicoba penyelenggaraan program akselerasi kepada 56 sekolah
yang telah mendapatkan SK, dan selanjutnya penetapan sekolah penyelenggara
program akselerasi diserahkan ke wenangannya kepada Dinas Pendidikan Propinsi dan
Kabupaten /Kota.
Patut dicatat pula bahwa bagi Labschool model penyelenggaraan akselerasi
yang dilakukan mulai tahun 1998/1999 ini sebenarnya bukan kali yang pertama
karena sebelumnya Labschool pernah mengem bangkan program maju berkelanjutan
atas dasar prinsip belajar tuntas serta model layanan sistim TKR. Program maju
berkelanjutan dengan sistim modul dilakukan pada saat Labschool berstatus sebagai
Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) tahun 1974 -1986 dan sistim Tambahan
Kredit (dikenal dengan sebutan TKR) pada kurun waktu 1986 -1990 tatkala kurikulum
1984 yang diberlakukan kala itu menerapkan Sistem Kredit Semester (SKS). Melalui
model program maju berkelanjutan maupun sistem TKR, Labschool telah melaya ni
siswa yang memiliki keberbakatan intelektual untuk dapat menyelesaikan masa
belajarnya lebih awal dibandingkan dengan siswa lainnya.

PERKEMBANGAN JUMLAH SEKOLAH PENYELENGGARA


PROGRAM AKSELERASI

Merujuk kepada data yang dihimpun oleh Direktorat Pembi naan Sekolah Luar
Biasa, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen
Pendidikan Nasional, perkembangan jumlah sekolah penyelenggara dan peserta didik
yang mengikuti program akselerasi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan
dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 1998/1999 baru dilaksanakan oleh 3 sekolah
dengan jumlah peserta didik kurang dari 45 orang, maka pada tahun 2008 ini jumlah
sekolah penyelenggara program akselerasi di seluruh Indonesia tercatat sejumlah 228
sekolah yang terdiri 53 SD, 80 SMP, dan 95 SMA dengan jumlah peserta didik
sebanyak 5.488 yang terdiri atas 472 peserta didik jenjang SD, 2.399 SMP, dan 2.617
jenjang SMA. Angka ini diprediksikan akan mengalami peningkatan pada tahun 2009
menjadi 242 sekolah penyel enggara dengan jumlah peserta didik sejumlah 5.724
orang. Selengkapnya data dan proyeksi jumlah siswa dan sekolah yang memberikan
layanan program akselerasi dari tahun 2003 -2009 adalah sebagai berikut :

2 ,74 8
2 ,6 17
2 ,4 9 2 2 ,4 9 5
2 ,3 74 2 ,3 9 9
2 ,3 2 9
2 ,2 6 1
2 ,2 19
2 ,14 7 2 ,16 5
2 ,0 3 9
1,9 6 9

1,772

4 52 463 4 72 481
420 430 441

61 62 72 76 90 80 95 88 10 5
40 54 49 58 25 52 36 51 53 59
15 17

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

SISWA SD SEKOLA H SD SISWA SMP SEKOLA H SMP SISWA SMA SEKOLA H SMA

Sumber : Direktorat Pembinaan PLB, 2008.


LANDASAN YURIDIS
Kesungguhan pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi anak
yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa secara tegas telah dinyatakan
sejak Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1983, yang menyebut kan :
"… Demikian pula perhatian khusus perlu diberikan kepada anak -anak yang berbakat
istimewa agar mereka dapat mengembangkan kemampuannya secara maksimal".
Tekad ini berlanjut terus dan dipertahankan dalam Garis -Garis Besar Haluan
Negara berikutnya yaitu GBHN Tahun 1988, yang berbunyi: “Anak didik berbakat
istimewa perlu mendapat perhatian khusus agar mereka dapat mengembangkan
kemampuan sesuai dengan tingkat pertumbuhan pribadinya“; GBHN Tahun 1993
yang menyatakan “Peserta didik yang memiliki tingk at kecerdasan luar biasa perlu
mendapat perhatian khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasi dan
bakatnya"; dan selanjutnya GBHN Tahun 1998 mengamanatkan bahwa : "Peserta
didik yang memiliki tingkat kecerdasan luar biasa mendapat perhatian dan pelaja ran
lebih khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasi dan bakatnya tanpa
mengabaikan potensi peserta didik lainnya. ”
Demikian pula di dalam Undang –Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dalam Pasal 8 ayat (2) menegaskan bahwa:"Warga negara yang
memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa berhak memperoleh perhatian
khusus.” Begitu pula dalam Pasal 24 dinyatakan bahwa "setiap peserta didik pada
suatu satuan pendidikan mempunyai hak –hak sebagai berikut: (1) mendapat
perlakuan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; (2) mengikuti program
pendidikan yang bersangkutan atas dasar pendidikan berkelanjutan, baik untuk
mengembangkan kemampuan diri, maupun untuk memperoleh pengakuan tingkat
pendidikan tertentu yang tela h dibakukan; (6) menyelesaikan program pendidikan
lebih awal dari waktu yang telah ditentukan”.
Kesungguhan untuk mengembangkan pendidikan bagi anak yang memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa ditekankan pula oleh Presiden Republik
Indonesia ketika menerima anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional
(BPPN) tanggal 19 Januari 1991, yang menyatakan bahwa: “ Agar lebih
memperhatikan pelayanan pendidikan terhadap anak –anak yang mempunyai
kemampuan dan kecerdasan luar biasa. ”
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
kembali menegaskan bahwa: “Warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus ” (pasal 5 ayat 4). Begitu pula
dalam pasal 12 ayat 1 dinyatakan bahwa: “setiap peserta didik pada setiap satuan
pendidikan berhak: (b) mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat,
minat, dan kemampuannya; (f) menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan
kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang da ri ketentuan batas waktu
yang ditetapkan”.
Demikian pula dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun
2006 tentang Standar Isi, hal tersebut juga diakomodir pada Bab III yang mengatur
tentang beban belajar yang menggariskan bahwa “program per cepatan belajar dapat
diselenggarakan untuk mengakomodasi peserta didik yang memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa”. Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 34 tahun 2006 tentang Pembinaan Prestasi
Peserta Didik yang memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, yang
secara lebih khusus merupakan payung hukum dan rujukan bagi lebih terbinanya
proses seleksi, pembinaan berkelanjutan, dan pemberian penghargaan bagi peserta
ajang kompetisi / olimpiade.
Sedangkan yang masih dalam proses adalah Rancangan Peraturan Pemerintah
yang akan menjadi dasar pelaksanaan Undang Undang Nomor 20 tahun 2003. Pada
draft yang ada, dapat kita baca di bab VII pasal 109 tentang rumusan ” Pendidikan
khusus merupakan pendidikan ba gi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan
dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual, sosial, serta memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa ”.
Kemudian pada Pasal 117 termaktub rumusan (1) Pendidikan khusus bagi peserta
didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berfungsi
mengembangkan potensi keunggulan peserta didik menjadi prestasi nyata sesuai
dengan karakteristik dan kebutuhannya, dalam rangka mencapai tujuan pendidi kan
nasional (2) Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa bertujuan (a.) membentuk manusia berkualitas yang
memiliki kecerdasan spiritual, emosional, sosial, dan intelektual serta memiliki
ketahanan dan kebugaran fisik; (b) membentuk manusia berkualitas yang kompeten
dalam pengetahuan dan seni, berkeahlian dan berketerampilan, menjadi anggota
masyarakat yang bertanggung jawab, serta untuk mempersiapkan peserta didik
mengikuti pendidikan lebih lanjut dala m rangka mewujudkan tujuan pendidikan
nasional. Selanjutnya pada pasal berikutnya yaitu 118 dinyatakan bahwa (1)
Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau
bakat istimewa dapat diselenggarakan pada satuan pendidikan SD /MI, SMP/MTs,
SMA/MA, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat; (2) Program pendidikan
khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa
dapat berupa program percepatan, program pengayaan; atau gabungan program
percepatan dan program pengayaan (3) Penyeleng -garaan program pendidikan
khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dalam bentuk kelas
inklusif, kelas khusus, satuan pen didikan khusus; atau, satuan pendidikan inklusi.

PERKEMBANGAN KONSEPSI KEBERBAKATAN

Keberbakatan hingga kini masih menjadi wacana yang sangat menarik, baik
bagi yang terlibat langsung dengan persoalan keberbakatan maupun yang tidak.
Bahkan menjadi lebih menarik lagi, karena banyak terjadi miskonsepsi terhadap
keberbakatan. Layanan pendidikan khusus bagi anak berbakat diperlukan setidaknya
atas empat pertimbangan faktor berikut ini :
1. Adanya bakat yang berbeda, perkembangan fisik, mental, dan sosial yang lebih
cepat, juga minat intelektual serta perspektif masa depan yang jauh melampaui
rata-rata orang.
2. Pemenuhan kebutuhan aktualisasi potensi yang dimiliki seoptimal mungkin.
3. Merupakan aset masyarakat dan bangsa, serta peluang sebagai calon pemimpin
4. Mencegah kemubadziran potensi dan harapan kontribusi mereka nantinya
kepada masyarakat, bangsa, dan negara.

Banyak istilah yang dapat dipakai untuk menyebut anak berbakat, di antaranya:
anak unggul, anak berkemampuan istimewa, anak superior, anak genius, anak ce rdas
istimewa, dan masih banyak sebutan lainnya. Secara konseptual pengertian anak
berbakat juga berkembang dari tahun ke tahun. Di antara pendapat yang berkembang
menyatakan bahwa anak berbakat adalah anak yang ditunjukkan dengan kemampuan
tingkat kecerdasan atau kemampuan umum ( g factor) di atas rata-rata. Konsep ini
diperkuat dengan teori faktor, bahwa kemampuan individu dapat dikategorikan
menjadi dua, yaitu kemampuan khusus ( s faktor) dan kemampuan umum ( g faktor).
Berdasarkan konsep ini Komisi Pend idikan AS, Sidney P. Marland (1972)
menetapkan definisi anak berbakat sebagai ” Gifted and talented children are those
identified by professionally qualified persons who by virtue of outstanding abilities
are capable of high performance. These are children who require differentiated
eduacational programs and/or service beyond those normally provided by the regular
school program in order to realize their contribution to self and society” artinya
kurang lebih ”Anak berbakat adalah anak yang diidentifikasi ole h orang-orang yang
berkualifikasi profesional sebagai anak yang memiliki kemampuan luar biasa. Mereka
menghendaki program pendidikan yang sesuai atau layanan melebihi sebagaimana
diberikan secara normal oleh program sekolah reguler, sehingga dapat merealis asikan
kontribusi secara bermakna bagi diri dan masyarakatnya”.
Mengadopsi dari definisi United States Office of Education (USOE), Seminar
Nasional mengenai “Alternatif Program Pendidikan bagi Anak Berbakat “ yang
diselenggarakan oleh Balitbang Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan
Yayasan Pengembangan Kreativitas pada tanggal 12 -14 Nopember 1981 telah
mensepakati batasan pengertian Anak berbakat adalah mereka yang oleh orang -orang
profesional diidentifikasikan sebagai anak yang mampu mencapai presta si yang tinggi
dalam salah satu atau beberapa dari 6 bidang berikut (Utami Munandar, 2002):
1. Kemampuan intelektual umum (kecerdasan atau intelegensi).
2. Kemampuan akademik khusus
3. Kemampuan berpikir kreatif -produktif.
4. Kemampuan memimpin.
5. Kemampuan dalam salah satu bidang seni.
6. Kemampuan psikomotorik, seperti dalam olahraga.

Sementara itu Robert Stenberg dan Robert Wagner (1982) menyatakan


pendapatnya bahwa keberbakatan adalah suatu jenis mental self management.
Manajemen mental kehidupan seseorang dalam suat u cara yang konstruktif dan
bertujuan memiliki tiga elemen dasar: mengadaptasikan dengan lingkungan,
menyeleksi lingkungan baru, dan membentuk lingkungan. Sternberg dan Wagner
menegaskan bahwa dasar psikologis yang sangat penting dari keberbakatan intelekt ual
yang tersisa dalam kecakapan intuitif mencakup tiga proses utama, yaitu (1)
memisahkan informasi yang relevan dan tidak relevan, (2) mengkombinasikan
informasi yang terpisah ke dalam keseluruhan yang utuh, dan (3) mengaitkan
informasi yang diperoleh pa da saat ini dengan informasi yang diperoleh pada masa
lalu.
Selanjutnya ditegaskan oleh Kitano dan Kirby (1985) bahwa anak berbakat
adalah individu yang memiliki kemampuan potensial dan aktual di bidang akademik
tertentu seperti sains, matematika, ilmu pe ngetahuan sosial, dan humaniora.
Keunggulan bidang akademik yang ditunjukkan dapat juga hanya satu bidang atau
dua bidang, bahkan dapat juga semua bidang.
Tannenbaum (1986) memandang keberbakatan dari sisi psikologi sosial dan
aspek keberbakatan ini ditinj au dari empat klasifikasi:

1. Kelangkaan (scarcity) -- menunjukkan sesuatu yang


jarang ditemukan akan tetapi sangat bermanfaat.
2. Keunggulan (surplus) -- mengacu pada sensibilitas serta
sensitivitas yang lebih tinggi dari orang lain pada umumnya.
3. Kuota (quota) -- menunjukkan keterbatasan jumlah
individu yang memiliki ketrampilan khusus pada lapangan
kerja tertentu.
4. Anomali (anomalais) -- mengacu pada berbagai keistimewaan
bahkan keajaiban yang dapat dilakukan seseorang karena kemampuannya
yang luar biasa, akan tetapi seringkali tidak dikenal atau tidak memperoleh
pengakuan.

Konsepsi lain tentang keberbakatan yang banyak digunakan adalah “ three-


Ring Conception” atau Konsepsi Tiga Cincin dari Renzulli (1981, 2005) yang
menyatakan bahwa tiga ciri po kok yang merupakan kriteria (persyaratan)
keberbakatan (giftedness) adalah keterkaitan antara :
1. Kemampuan umum (kapasitas intelektual) dan / atau kemampuan khusus di atas
rata-rata.
2. Kreativitas di atas rata-rata
3. Pengikatan diri terhadap tugas ( task commitment) yang cukup tinggi.

Intelegensi Kreativitas

Keterlekatan
pada tugas

Gambar 1: Konsep Renzulli tentang keberbakatan

Penggunaan model konsepsi Tiga Cincin Keberbakatan Renzulli, jika dalam


identifikasinya lebih berorientasi pada psikotes dan prestasi, masih belum menyentuh
seluruh populasi anak berbakat. Ada beberapa kelompok anak berbakat yang
kemungkinan besar tidak terjaring dengan model identifikasi semacam itu, seperti
mereka yang sebenarnya memi liki potensi kecerdasan istimewa namun tidak mampu
menampilkan kinerja / prestasi yang memuaskan. Mereka itulah yang disebut
underachiever. Padahal penelitian di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat
menunjukkan bahwa sekitar 15 -50 % dari peserta didik yang memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa tergolong underachiever (Marland, dikutip Utama
Munandar, 1999), sementara di Inggris angka underachiever mencapai 25 % (Pringle,
dikutip Utami Munandar, 1999).
Roe (Kitano dan Kirby, 1985) menegaskan bahwa peserta didik yang
menunjukkan prestasi akademik unggul, ternyata tidak selamanya memiliki
kecerdasan tinggi, padahal mereka yang memiliki bakat akademik pada umumnya
berkecerdasan tinggi. Selain dari itu juga ada peserta didik yang memiliki potensi
kecerdasan istimewa yang memiliki kesenjangan tinggi antara domain
kemampuannya berdasarkan tes -tes kecerdasan yang baku, prestasi, maupun bakat
dengan kemampuan kognisi dan kemapuan adaptif serta prestasi di lapangan.
Kategori-kategori ini masih belum m emiliki tempat dalam konsepsi Tiga Cincin
Keberbakatan Renzulli (Adinugroho -Horstman, 2007)
Dalam upaya mengatasi kondisi tersebut, muncullah konsep The Triadich dari
Renzulli-Monks yang merupakan pengembangan dari Konsepsi Tiga Cincin
Keberbakatan dari Renzulli. Model Renzulli -Monks ini disebut model multifaktor
yang melengkapi Konsepsi Tiga Cincin Keberbakatan dari Renzulli. Dalam model
multifaktornya Monks mengatakan bahwa potensi kecerdasan istimewa ( giftedness)
yang dikemukakan oleh Renzulli tidak ak an terwujud jika tidak mendapatkan
dukungan yang baik dari sekolah, keluarga, dan lingkungan dimana anak tinggal
(Monks dan Ypenburg, 1995).

Sekolah Keluarga

Kreativitas
Intelegensi

Keterlekatan
pada tugas

Lingkungan

Gambar 2: The Multi Factors Model


Dengan model multifaktor maka pendidikan anak cerdas istimewa tidak dapat
dilepaskan dari peran orangtua dan lingkungan dalam menangga pi gejala-gejala
kecerdasan istimewa yang dimiliki, toleran terhadap berbagai karakteristik yang
ditampilkannya baik yang positif maupun berbagai gangguan tumbuhkembangnya
yang menjadi penghambat baginya, serta dalam mengupayakan layanan pendidikan
yang terbaik baginya. Lebih lanjut model pendekatan ini menuntut keterlibatan pihak
orangtua dalam pengasuhan di rumah agar berpartisipasi secara penuh dan simultan
dengan layanan pendidikan di sekolah.
Berkaitan dengan konsepsi keberbakatan ini, menarik pula mod el multiple
intelligence dari Gardner. Gardner menjelaskan bahwa intelegensi bukan merupakan
suatu konstruk unit tunggal namun merupakan konstruk sejumlah kemampuan yang
masing-masing dapat berdiri sendiri (Gardner, 1983). Pendapatnya ini seiring dengan
upaya dari sejumlah pakar psikologi yang giat meneliti kembali apa yang dimaksud
dan bagaimana cara mengukur intelegensi dan mereka berpandangan bahwa
intelegensi tidak dapat diukur melalui pengukuran kemampuan skolastik semata.
Gardner berpendapat bahwa man usia memiliki 7 dimensi yang semi otonom, bahkan
akhir-akhir ini berkembang lagi menjadi 9 dan bahkan 10 jenis intelegensi, yaitu :

1. Kecerdasan Matematik-logis (Logical Mathematical Intelligence ), yaitu


kemampuan untuk menjajagi pola -pola, kategori-kategori dan hubungan-
hubungan dengan memanipulasi obyek -obyek atau simbol-simbol.akibat,
menciptakan hipotesis, mencari keteraturan konseptual, pandangan hidupnya
bersifat rasional.
2. Kecerdasan Linguistik (Linguistic Intelligence) adalah kecerdasan dalam hal
mengolah kata. Ciri-cirinya: kemampuan berargumentasi, meyakinkan orang,
menghibur, gemar membaca, dapat menulis dengan jelas, dan dapat mengartikan
bahasa tulisan secara luas.
3. Kecerdasan Musikal (Musical Intelligence) adalah cerdas dalam bernyanyi dan
memainkan alat-alat musik. Ciri-cirinya: menghargai dan menciptakan irama dan
melodi, peka nada, dapat menyanyikan lagu dengan tepat, dapat mengikuti irama
musik, dan juga mendengarkan berbagai karya musik dengan tingkat ketajaman
tertentu.
4. Kecerdasan Visual Spasial (Visual Spatial Intelligence ), yaitu mencakup berpikir
dalam gambar, kemampuan menyerap, mengubah, dan menciptakan kembali
berbagai macam aspek dunia visual. Mempunyai kepekaan yang tajam terhadap
detail visual dan dapat menggambarkan sesuatu denga n begitu hidup, melukis atau
membuat sketsa ide secara jelas dan mudah menyesuaikan orientasi dalam ruang
tiga dimensi.
5. Kecerdasan Kinestetik Jasmani ( Bodily Kinesthetic Intelligence ), yaitu
kemampuan mengendalikan gerak tubuh dan keterampilan dalam menang ani
benda. Kemampuan menari, olahraga, cekatan, indera perabanya sangat peka,
tidak bisa diam.
6. Kecerdasan Antar Pribadi ( Interpersonal Social Intelligence ) yaitu kemampuan
untuk memahami dan bekerjasama dengan orang lain, tanggap terhadap suasana
hati, perangai, niat dan hasrat orang lain, tanggungjawab sosial.
7. Kecerdasan Intra Pribadi (Intra-personal Intelligence) yaitu kecerdasan dalam diri
memahami diri, dapat dengan mudah mengakses perasaannya sendiri,
membedakan berbagai macam keadaan emosi, mandiri, f okus pada tujuan, sangat
disiplin, lebih suka bekerja sendiri.
8. Kecerdasan Natural (Naturalis Intelligence) yaitu kemahiran dalam mengenali dan
mengklasifikasikan banyak species flora dan fauna dalam lingkungannya.
9. Kecerdasan Spiritual (Spiritual Intelligence) merupakan kemampuan seseorang
untuk mengendalikan dirinya dalam kaitannya dengan aspek spiritual (hal ini
sama sekali tidak berarti melakukan ritual keagamaan melainkan peka terhadap
kesejahteraan hidup spiritual seperti kedamaian, ketenteraman, dan la in-lain).
10. Kecerdasan Eksistensialis ( eksistensial Intelligence) terkait dengan kemampuan
menyadari keberadaan subyek tertentu yang bersifat hakiki.

Sementara itu Heller (2004) mengembangkan model multifaktor yang pada


dasarnya merupakan pengembangan dari Triadic Interdependence model Monks serta
Multiple Intellegences dari Howard Gardner. Menurut Heller konsep keberbakatan
dapat ditinjau berdasarkan empat dimensi multifaktor yang saling terkait satu sama
lain: (1) faktor talenta (talent) yang relatif mandiri, (2) faktor kinerja(performance),
(3) faktor kepribadian, dan (4) faktor lingkungan; Dua faktor terakhir menjadi
perantara untuk terjadinya transisi dari talenta menjadi kinerja.
Faktor bakat (talent) sebagai potensi yang ada di dalam individu dapat
meramalkan aktualisasi kinerja ( performance) dalam area yang spesifik. Bakat ini
mencakup tujuh area yang masing -masing berdiri sendiri, yaitu : kemampuan
intelektual, kemampuan kreatif, kompetensi sosial, kecerdasan praktis, kemampuan
artistik, musikalitas, dan keterampilan psikomotor. Sementara itu faktor kinerja
(performance) meliputi delapan area kinerja, yaitu matematika, ilmu pengetahuan
alam, teknologi, komputer, seni (musik, lukis), bahasa, olah raga, serta relasi sosial.
Bakat (talent) dapat berkembang menjadi kinerja dengan dipengaruhi oleh dua
faktor yaitu: (1) karakteristik kepribadian yang mencakup: cara mengatasi stress,
motivasi berprestasi, strategi belajar dan strategi kerja, harapan -harapan akan
pengendalian, harapan akan keberhasilan atau ke gagalan, dan kehausan akan
pengetahuan; serta (2) kondisi -kondisi lingkungan yang mencakup: iklim keluarga,
jumlah saudara dan kedudukan dalam keluarga, tingkat pendidikan orangtua, stimulasi
lingkungan rumah, tuntutan dan kinerja yang ada di rumah, lingku ngan belajar,
kualitas pembelajaran, iklim kelas, dan peristiwa -peristiwa kritis.
Di dalam proses terwujudnya bakat menjadi kinerja, bakat juga dapat
mempengaruhi faktor kepribadian dan kondisi lingkungan. Misalnya, bakat yang ada
pada anak dapat mempenga ruhi bagaimana orangtua atau guru memperlakukan -nya.
Di dalam proses terwujudnya kinerja, bakat juga dapat mempengaruhi faktor
kepribadian dan kondisi lingkungan. Misalnya bakat yang ada pada anak dapat
mempengaruhi bagaimana anak tersebut menjadi semakin ulet dan tekun atau bakat
yang dimiliki juga akan berpengaruh terhadap sikap orangtua dan guru terhadap anak,
sehingga berpengaruh terhadap cara memperlakukan anak.

PERKEMBANGAN
IDENTIFIKASI CALON AKSELERAN

Sebagaimana telah dipahami selama ini, ada du a pendekatan atau acuan yang
bisa digunakan untuk menemukenali peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan
istimewa, yaitu dengan menggunakan acuan unidimensional, yang lebih dikenal
sebagai batasan yang diberikan oleh Lewis Terman (1922), serta acuan
multidimensional, yang disampaikan oleh Renzulli, Reis, dan Smith (1978) dengan
Konsepsi Tiga Cincin (The Three Ring Conception ) beserta pengembangannya yaitu
konsep the Triadich dan Renzulli -Monks (Monks dan Ypenburg, 1985). Untuk
pendekatan unidimensional, kriteria yang digunakan hanya semata -mata skor
kemampuan intelektual umum (IQ) saja. Secara operasional batasan kemampuan
intelektual umum yang digunakan adalah mereka yang mempunyai skor IQ minimal
140 skala Weschler. Sedangkan untuk pendekatan multidimensional, kriteria yang
digunakan lebih dari satu. Dalam hal ini batasan yang digunakan adalah mereka yang
memiliki dimensi kemampuan umum pada taraf cerdas (ditetapkan skor IQ 125
keatas skala Weschler), dimensi kreativitas cukup (ditetapkan skor CQ da lam nilai
baku cukup), dan pengikatan diri terhadap tugas baik (ditetapkan skor TC dalam
kategori nilai baku baik).
Kriteria di atas oleh sementara ahli psikologi dan pakar keberbakatan sudah
dianggap cukup berat untuk dapat menjaring calon akseleran di I ndonesia, lebih-lebih
jika masih dipergunakan kriteria lain seperti seleksi administratif (yang meliputi nilai
LHBS/Rapor, Nilai Ujian Nasional, serta skor tes kemampuan akademis),
pertimbangan informasi data subyektif (nominasi diri, nominasi teman sebaya ,
rekomendasi guru, dan rekomendasi orangtua), serta ketentuan kesehatan fisik dan
kesediaan calon peserta didik dan persetujuan orangtua. Namun dalam berbagai
forum, tidak sedikit pihak yang menganggap kriteria tersebut cukup rendah, terutama
banyak yang mempersoalkan syarat minimal IQ 125 terlalu rendah dan mengusulkan
untuk dapat ditetapkan minimal IQ 130. Namun yang patut disayangkan, berbagai
kritik tersebut seringkali tidak didasari argumentasi akademik yang memadai,
sehingga tidak dapat dijelaskan landasan teoretisnya. Belum lagi didapati
permasalahan tentang tidak adanya kesepakatan batteray tes yang digunakan pada
waktu melakukan pemeriksaan psikologis oleh lembaga / biro yang bekerjasama
dengan pihak sekolah.
Untuk mencari jalan keluar t erhadap masalah tersebut, maka Direktorat
Pembinaan Sekolah Luar Biasa telah melakukan beberapa kali pertemuan yang
melibatkan fakultas psikologi dan pusat -pusat keberbakatan yang dimiliki oleh
beberapa universitas, serta beberapa biro atau lembaga psikol ogi dan para praktisi
pendidikan di sekolah. Dalam satu kegiatan yang dilaksanakan di wisma Handayani
Cipete Jakarta pada tahun 2005, bahkan telah menghasilkan terbentuknya satu wadah
para psikolog yang berhimpun dalam satu organisasi yang disebut dengan A sosiasi
Psikologi Indonesia (API). Namun sayang sampai berakhirnya kegiatan dan sekian
waktu kemudian tidak diperoleh kesepakatan para psikolog tentang ketentuan alat
identifikasi dari perspektif psikologis.
Barulah pada kegiatan workshop penatalaksanaa n di Solo Mei 2007, tim yang
tergabung dalam penatalaksanaan psikologi telah merumuskan draft Prosedur
Operasional Standar (POS) Identifikasi Anak Cerdas Istimewa yang terkemudian
naskah tersebut masuk sebagai bahan dalam buku Pedoman Penyelenggaraan
Pendidikan untuk Peserta Didik Ber -kecerdasan Istimewa (Program Akselerasi) edisi
tahun 2007, khususnya tentang persyaratan psikologis peserta didik.
Untuk aspek psikologis calon peserta didik, ada tiga jenis tes yang dilakukan
yaitu Kemampuan Intelektual (I Q), Kreativitas , dan Keterikatan dengan tugas (task
commitment). Peralatan yang digunakan untuk menjaring calon peserta untuk masing -
masing jenis tes psikologis dapat dilihat pada tabel berikut :

Kemampuan Intelektual

JENJANG PENJARINGAN PENYARINGAN


SD / MI Colour Weschler Intelelegence Scale for
Progressive Children, Stanford Binet atau Culture
Matrix (CPM) Fair Intelegence Test Skala 2A/2B
SMP / MTs Spearmen Weschler Intelelegence Scale for
Progressive Children, atau Culture Fair
Matrix Intelegence Test Skala 2A/2B
SMA / MA Culture Fair Weschler Adult Intelelegence Scale
Intelegence Test atau Intellegence Structure Test
Scale 3A/3B

NO JENIS TES IQ MINIMAL


Culture Fair Intelegence Test Very Superior = 130
Skala 2A/2B (SD/MI)
Very Superior = 130
Culture Fair Intelegence Test
1.
Skala 2A/2B (SMP/MTs) Very Superior = 130

Culture Fair Intelegence Test


Skala 3A/3B (SMA/MA)
Colour Progressive Matrix GRADE I -- Percentil 95
2.
(CPM)
3. Stanford Bidet Test Very Superior = 140
NO JENIS TES IQ MINIMAL
Weschler Intelelegence Scale for Very Superior = 140
Children (SD / MI)

Weschler Intelelegence Scale for Very Superior = 140


4. Children (SMP / MTs)

Weschler Adults Intelelegence Scale Very Superior = 140


(SMA / MA)

5. Intellegence Structure Test ( SMA ) Very Superior = 140

Kreativitas

NO JENJANG TES KREATIVITAS


1 SD / MI Tes Kreativitas Figural (yang disusun oleh Utami
Munandar)
2 SMP / MTs Tes Kreativitas Figural dan Tes Kreativitas
Paralel (yang disusun oleh Utami Munandar)
3 SMA / MA Tes Kreativitas Figural dan Tes Kreativitas
Paralel (yang disusun oleh Utami Munandar)
Kriteria minimal 12 dari skala maksimal 20 atau (CQ = 113)

Skala task commitment, yang mengacu pada indikator :

a. Tangguh dan ulet (tidak mudah menyerah) ;


b. Mandiri dan bertanggungjawab;
c. Menetapkan tujuan aspirasi yang realistis dengan risiko sedang;
d. Suka belajar, dan mempunyai orientasi pada tugas yang tinggi;
e. konsentrasi baik
f. mempunyai hasrat untuk meningkatkan diri ( working improvement)
g. mempunyai hastrat bekerja sebaik -baiknya (working the best they can)
h. Mempunyai hasrat untuk berhasil dalam bidang akademis.

Kriteria: tinggi ( 1 Standar Deviasi di atas mean)

Tes Penunjang ( Tes Proyektif )

NO JENJANG TES KREATIVITAS


1 SD / MI Draw A Person, House Tree Person
2 SMP / MTs Draw A Person, House Tree Person , Baum
3 SMA / MA Draw A Person, Wartegg, Baum

Dengan telah ditetapkannya persyaratan psikologis sebagaimana tersebut di


atas, maka meskipun mungkin belum dapat menjawab seluruh persoalan yang
menyangkut alat identifikasi calon akseleran, namun paling tidak telah ada acuan
yang dapat digunakan oleh sekolah penyelenggara dalam menetapkan alat tes yang
akan digunakan pada seleksi calon akseleran. Sisa permasalahan y ang ada saat ini
adalah menyangkut belum lengkapnya deskripsi alat tes untuk aspek kreativitas dan
task commitment sesuai tahap seleksi (penjaringan dan penyaringan) sebagaimana
deskripsi alat tes untuk aspek kemampuan intelektual, atau permasalahan lain
menyangkut bagaimana seandainya tidak didapati alat tes dimaksud oleh lembaga
psikologi yang diajak kerjasama oleh pihak sekolah di suatu daerah.

Permasalahan lain yang dapat ditemukan pada buku pedoman yang baru (edisi
2007) yang masih terkait dengan id entifikasi calon akseleran selain aspek psikologis
adalah belum memberi perhatian yang memadai tentang bentuk instrumen yang dapat
digunakan untuk memperoleh informasi data subyektif (dalam buku hanya disebut tes
penilaian dari guru, orangtua, atau konselo r) yang meliputi data tentang nominasi diri,
nominasi teman sebaya, rekomendasi guru, orangtua, maupun pihak -pihak lain
(seperti konselor).
Dalam hal ini Labschool telah menunjukkan kepeloporan -nya karena sejak
tahun 2000 telah mengembangkan instrumen nominasi teman sebaya, angket
nominasi/ rekomendasi guru, serta rekomendasi orangtua. Instrumen nominasi teman
sebaya dikembangkan dari 14 ciri -ciri keberbakatan yang dikeluarkan oleh Balitbang
Dikbud (1986). Sedangkan angket rekomendasi guru diadopsi deng an sedikit
pengembangan dari model identifikasi non -tes yang ditawarkan oleh Hawadi (2001).
Adapun instrumen rekomendasi orangtua, Labschool mengadopsi model yang
dikembangkan oleh Niagara Catholic District School Board (2003), serta Ontario
Ministry of Education and Diary (1999).

MKS-PPA dan ASOSIASI CI/BI


Sekolah penyelenggara program akselerasi di Jakarta, pada tahun 2000 telah
membentuk satu forum yang disebut Musyawarah Kepala Sekolah Penyelenggara
Program Akselerasi atau yang disingkat MKS -PPA. Melalui forum ini, sekolah
penyelenggara akselerasi telah melakukan berbagai kegiatan diantaranya menyusun
pedoman penyelenggaraan akselerasi (dalam perkembangannya pedoman ini
kemudian menjadi bahan awal buku pedoman akselerasi yang diterbitkan oleh
Direktorat Pendidikan Luar Biasa tahun 2001), menjadi mitra Direktorat PLB pada
kegiatan diseminasi program akselerasi ke berbagai propinsi, menyelenggarakan
berbagai seminar tentang akselerasi termasuk program gebyar keberbakatan yang
dilaksanakan pada tahun 200 5.
Seiring dengan perjalanan waktu, Direktorat Pembinaan Pendidikan Luar
Biasa telah menfasilitasi terbentuknya Asosiasi Penyelenggara, Pengembang, dan
Pendukung Pendidikan Khusus untuk Siswa Cerdas / Berbakat Istimewa (CI/BI).
Organisasi yang didirikan pada tanggal 11 Desember 2007 di Semarang ini bertujuan
untuk :
1. Meningkatkan kapasitas kelembagaan penyelenggara pendidikan khusus bagi
peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
2. Meningkatkan peluang bagi peserta didik yang mem iliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh akses terhadap layanan pendidikan
yang bermutu dan berkelanjutan.
3. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan pendidikan khusus
bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan d an/atau bakat istimewa.
4. Mengembangkan jaringan informasi dan kerjasama.
Sebagai langkah awal, maka organisasi ini telah menyelenggarakan
Musyawarah Nasional (Munas) CI/BI di Jakarta pada awal April 2007. pada kegiatan
tersebut, disusun Renstra CI/BI serta program kerja dari masing-masing bidang.

AKSELERASI DAN SISTEM SKS

Membaca konsideran draft model pengembangan Sistem Kredit Semester


(SKS) yang sedang dipersiapkan oleh Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas, maka
rencana pemerintah untuk menyelenggarakan Sistem Kredit Semester (SKS)
sebagaimana diatur dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, pada dasarnya adalah sejalan dengan latar belakang penyelenggaraan
program akselerasi. Dalam draft tersebut dinyatakan bahwa latar belakang
penyelenggaraan SKS dimaksudkan untuk memenuhi azas demokratisasi pendidikan,
yaitu memberikan kesempatan kepada “ setiap peserta didik pada setiap satuan
pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat,
dan kemampuannya” serta “Peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak
menyelesaikan pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing -masing dan tidak
menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan” (UU No. 20 tahun 2003
Pasal 12 ayat 1 butir (b) dan butir (f ) ).
Dalam draft tersebut secara eksplisit juga ditegaskan bahwa “Program
percepatan dapat diselenggarakan untuk mengakomodasi peserta didik yang memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa”. Dengan demikian, kekhawatiran bahwa
program akselerasi sebagai model layanan akan hilang pada saat diberlakukannya
Sistem Kredit Semester penyelenggaraan SKS menjadi tidak beralasan. Yang akan
terjadi adalah adanya perubahan strategi dan model layanan penyelenggaraan dari
model yang ada saat ini berlangsung. Model penyelen ggaraan yang dapat dipilih
misalnya adalah model TKR sebagaimana yang pernah diterapkan oleh Labschool
pada era kurun waktu tahun 1986 sampai dengan tahun 1990 -an.

PENUTUP

Demikianlah tulisan singkat tentang perkembangan penyelenggaraan program


akselerasi bagi peserta didik berkecerdasan istimewa ini penulis susun sebagai bagian
dari bunga rampai pendidikan yang disusun dalam rangka memperingati 40 tahun
Labschool. Sebagai bagian penutup dari tulisan ini, penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih dan penghargaan kepada para pakar, pejabat diknas dan praktisi
pendidikan yang telah menjadi rujukan dan telah menfasilitasi upaya -upaya
pengembangan model layanan pendidikan bagi siswa yang memiliki kecerdasan
istimewa melalui program akselerasi. Mereka ad alah Prof. Dr. Conny R. Semiawan,
Prof. Dr. S.C. Utami Munandar, Prof. Dr. H. Arief Rachman, M.Pd., Dr. Reni Akbar
Hawadi, dan Drs. H. Muhsin Lubis, M.Sc. Dari jajaran Diknas, terutama yang patut
penulis sebutkan adalah Dr.Ir.Indrajati Sidi, Drs. Suci Har iyanto, MM., Drs. H.
Darsana Setiawan, M.Si., serta teman -teman dari MKS-PPA propinsi DKI Jakarta
terutama Dra. Ulya Latifah, MM.. Drs. H. Nur Alam, M.Ag., serta Drs. H. Edy
Junaedi Sastradiharja, M.Pd.
DAFTAR BACAAN

Balitbang Depdikbud. Hasil Identifikasi Siswa Berbakat di Sembilan SMP/SMA.


Jakarta : Balitbang Depdikbud Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana
Pendidikan, 1986a.

Balitbang Depdikbud Materi Penataran Lokakarya Pelayanan Pendidikan Untuk


Anak Berbakat . Jakarta : Balitbang De pdikbud Pusat Pengembangan
Kurikulum dan Sarana Pendidikan, 1986b.

Balitbang Depdikbud. Penelitian Alat identifikasi Sederhana Siswa Berbakat. Jakarta


: Balitbang Depdikbud Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana
Pendidikan, 1986c.

Balitbang Depdikbud. Hasil Lokakarya Persiapan Pelaksanaan Program Pendidikan


Untuk Anak Berbakat. Jakarta : Balitbang Depdikbud Pusat Pengembangan
Kurikulum dan Sarana Pendidikan, 1986d.

Balitbang Depdikbud. Penelitian Alat Identifikasi Sederhana Siswa Berbakat. Jakarta


: Balitbang Depdikbud Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana
Pendidikan, 1986e.

Clark, Barbara Growing Up Gifted. Colomvus Ohio: Charles E. Merril Publishing


Company, 1983.

Djaafar, Tengku Zahara. Arah Pelayanan Pendidikan Anak Berbakat . Jakarta:


Universitas Negeri Padang. 2001.

Feldhusen, J. Toward Excellence in Gifted Education . London: Love Publishing


Company, 1985.

Gallagher, JJ. Teaching the Gifted Child. Boston: Allyn & Bacon, 1975.

Hawadi, L.F. Hubungan Antara Ciri-Ciri Keberbakatan Pada Alat Identifikasi Siswa
Berbakat dengan Alat Tes Psikologik dan Prestasi belajar . Tesis. Depok:
Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 1989.

Hawadi, L.F. Melacak Bakat Intelektual Anak. Menurut Konsep Renzulli. Disertasi.
Depok : Fakultas Pasca Sarja na Universitas Indonesia, 1993.

Hawadi, Reni Akbar, R. Sihadi Darmo Wihardjo, dan Mardi Wiyono. Keberbakatan
Intelektual. Jakarta: Penerbit PT. Grasindo, 2001.

Hawadi, Reni Akbar, R. Sihadi Darmo Wihardjo, dan Mardi Wiyono. Kurikulum
Berdiferensiasi. Jakarta: Penerbit PT. Grasindo, 2001.

Hawadi, Reni Akbar. Identifikasi Keberbakatan Intelektual Mellaui Metode Non -Tes
Dengan Pendekatan Konsep Keberbakatan Renzulli . Jakarta: Penerbit PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002.
Hawadi, Reni Akbar (edit or). Akselerasi : A-Z Informasi Program Percepatan
Belajar dan Anak Berbakat Intelektual . Jakarta : Penerbit PT Grasindo, 2004.

Herry Widyastono. Sistem Percepatan Belajar bagi Siswa yang Memiliki Kemampuan
dan Kecerdasan Luar Biasa. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Oktober
2000, Tahun Ke-6, No. 026.

Herry Widyastono, dkk. Profil Peserta Didik yang Memerlukan Perhatian Khusus di
Sekolah Dasar. Jakarta: Balitbang Dikbud, 1997.

Herry Widyastono, dkk. Profil Peserta Didik yang Memerlukan Perhatian Khusus di
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Jakarta: Balitbang Dikbud., 1997.

Jacob, A and Graham, B. Gifted Children : The Challenge Continues . Australia :


NSW Association for Gifted and Talented Children, Inc. , 1996.

Kepmendiknas RI No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.

Kepmendiknas RE No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan

Marland. Education of the Gifted and Talented. Washington: US Government


Printing Office, 1972.

Martinson, R.A. The Identification of the Gifted and Talented. California: Ventura,
1974

Milgram, R.M. Counseling Gifted and Talented Children. New Jersey : Ablex
Publishing Corporation, 1991.

Pedoman Penyelenggaraan Program Percepatan Belajar (SD, SLTP, SMA) : Satu


Model Pelayanan Pendidikan Bagi Peserta Dididk yang Memilik i Potensi
Kecerdasan dan Bakat Istimewa, (2001). Jakarta: Direktorat Pendidikan Luar
Biasa, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen
Pendidikan Nasional.

Pedoman Penyelenggaraan Program Percepatan Belajar SD, SMP, SMA (Satu Model
Pelayanan Pendidikan Bagi Peserta Dididk yang Memiliki Potensi
Kecerdasan dan Bakat Istimewa) (2003). Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional.

Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan untuk Peserta Didik Berkecerdasa n Istimewa


(Program Akselerasi) (2007). Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Luar
Biasa, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah
Departemen Pendidikan Nasional.

Renzulli, JS., SM Reis, LH Smith. The Revolving Door Identification Mo del.


Connecticut: Creative Learning Press, 1981.
Renzulli, J.S. What Makes Giftedness? Los Angeles : National/State Leadership
Training Institute on The Gifted Children. Reston, Virginia, The Councill for
Exceptional Children, 1979.

Semiawan, Conny. R. Pengembangan Kurikulum Berdiferensiasi. Jakarta : Grasindo,


1992.

Terman, LM. The Discovery and Encoragement of Exceptional Talent. Standford


University Press, 1959.

Tirtonegoro, Sutratinah. Anak Supernormal dan Program Pendidikannya . Jakarta: PT


Bumi Aksara, 2000.

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (1990). Jakarta : Dharma Bhakti.

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (2003), Jakarta:

Utami Munandar, SC. Pemanduan Anak Berbakat. Suatu Studi Penjajagan. Jakarta :
CV Rajawali, 1982.

Utami Munandar, SC. Bunga Rampai Anak Berbakat: Pembinaan dan


Pendidikannya. Jakarta: Rajawali, 1989.

Ward, VS. Differential Education for the Gifted. California: Ventura, 1980.

Yaumil A. Achir. Bakat dan Prestasi. Disertasi. Jakarta: Fakultas Pascasa rjana
Universitas Indonesia, 1990.

* Kepala SMA Labschool Jakarta


Makalah pernah dimuat dalam buku “ Bunga Rampai Pendidikan : Memperingati
40 tahun Labschool Kado Persembahan Civitas Akademika (2008) “

You might also like