Professional Documents
Culture Documents
oleh :
M. Fakhruddin*
PENDAHULUAN
Merujuk kepada data yang dihimpun oleh Direktorat Pembi naan Sekolah Luar
Biasa, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen
Pendidikan Nasional, perkembangan jumlah sekolah penyelenggara dan peserta didik
yang mengikuti program akselerasi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan
dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 1998/1999 baru dilaksanakan oleh 3 sekolah
dengan jumlah peserta didik kurang dari 45 orang, maka pada tahun 2008 ini jumlah
sekolah penyelenggara program akselerasi di seluruh Indonesia tercatat sejumlah 228
sekolah yang terdiri 53 SD, 80 SMP, dan 95 SMA dengan jumlah peserta didik
sebanyak 5.488 yang terdiri atas 472 peserta didik jenjang SD, 2.399 SMP, dan 2.617
jenjang SMA. Angka ini diprediksikan akan mengalami peningkatan pada tahun 2009
menjadi 242 sekolah penyel enggara dengan jumlah peserta didik sejumlah 5.724
orang. Selengkapnya data dan proyeksi jumlah siswa dan sekolah yang memberikan
layanan program akselerasi dari tahun 2003 -2009 adalah sebagai berikut :
2 ,74 8
2 ,6 17
2 ,4 9 2 2 ,4 9 5
2 ,3 74 2 ,3 9 9
2 ,3 2 9
2 ,2 6 1
2 ,2 19
2 ,14 7 2 ,16 5
2 ,0 3 9
1,9 6 9
1,772
4 52 463 4 72 481
420 430 441
61 62 72 76 90 80 95 88 10 5
40 54 49 58 25 52 36 51 53 59
15 17
SISWA SD SEKOLA H SD SISWA SMP SEKOLA H SMP SISWA SMA SEKOLA H SMA
Keberbakatan hingga kini masih menjadi wacana yang sangat menarik, baik
bagi yang terlibat langsung dengan persoalan keberbakatan maupun yang tidak.
Bahkan menjadi lebih menarik lagi, karena banyak terjadi miskonsepsi terhadap
keberbakatan. Layanan pendidikan khusus bagi anak berbakat diperlukan setidaknya
atas empat pertimbangan faktor berikut ini :
1. Adanya bakat yang berbeda, perkembangan fisik, mental, dan sosial yang lebih
cepat, juga minat intelektual serta perspektif masa depan yang jauh melampaui
rata-rata orang.
2. Pemenuhan kebutuhan aktualisasi potensi yang dimiliki seoptimal mungkin.
3. Merupakan aset masyarakat dan bangsa, serta peluang sebagai calon pemimpin
4. Mencegah kemubadziran potensi dan harapan kontribusi mereka nantinya
kepada masyarakat, bangsa, dan negara.
Banyak istilah yang dapat dipakai untuk menyebut anak berbakat, di antaranya:
anak unggul, anak berkemampuan istimewa, anak superior, anak genius, anak ce rdas
istimewa, dan masih banyak sebutan lainnya. Secara konseptual pengertian anak
berbakat juga berkembang dari tahun ke tahun. Di antara pendapat yang berkembang
menyatakan bahwa anak berbakat adalah anak yang ditunjukkan dengan kemampuan
tingkat kecerdasan atau kemampuan umum ( g factor) di atas rata-rata. Konsep ini
diperkuat dengan teori faktor, bahwa kemampuan individu dapat dikategorikan
menjadi dua, yaitu kemampuan khusus ( s faktor) dan kemampuan umum ( g faktor).
Berdasarkan konsep ini Komisi Pend idikan AS, Sidney P. Marland (1972)
menetapkan definisi anak berbakat sebagai ” Gifted and talented children are those
identified by professionally qualified persons who by virtue of outstanding abilities
are capable of high performance. These are children who require differentiated
eduacational programs and/or service beyond those normally provided by the regular
school program in order to realize their contribution to self and society” artinya
kurang lebih ”Anak berbakat adalah anak yang diidentifikasi ole h orang-orang yang
berkualifikasi profesional sebagai anak yang memiliki kemampuan luar biasa. Mereka
menghendaki program pendidikan yang sesuai atau layanan melebihi sebagaimana
diberikan secara normal oleh program sekolah reguler, sehingga dapat merealis asikan
kontribusi secara bermakna bagi diri dan masyarakatnya”.
Mengadopsi dari definisi United States Office of Education (USOE), Seminar
Nasional mengenai “Alternatif Program Pendidikan bagi Anak Berbakat “ yang
diselenggarakan oleh Balitbang Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan
Yayasan Pengembangan Kreativitas pada tanggal 12 -14 Nopember 1981 telah
mensepakati batasan pengertian Anak berbakat adalah mereka yang oleh orang -orang
profesional diidentifikasikan sebagai anak yang mampu mencapai presta si yang tinggi
dalam salah satu atau beberapa dari 6 bidang berikut (Utami Munandar, 2002):
1. Kemampuan intelektual umum (kecerdasan atau intelegensi).
2. Kemampuan akademik khusus
3. Kemampuan berpikir kreatif -produktif.
4. Kemampuan memimpin.
5. Kemampuan dalam salah satu bidang seni.
6. Kemampuan psikomotorik, seperti dalam olahraga.
Intelegensi Kreativitas
Keterlekatan
pada tugas
Sekolah Keluarga
Kreativitas
Intelegensi
Keterlekatan
pada tugas
Lingkungan
PERKEMBANGAN
IDENTIFIKASI CALON AKSELERAN
Sebagaimana telah dipahami selama ini, ada du a pendekatan atau acuan yang
bisa digunakan untuk menemukenali peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan
istimewa, yaitu dengan menggunakan acuan unidimensional, yang lebih dikenal
sebagai batasan yang diberikan oleh Lewis Terman (1922), serta acuan
multidimensional, yang disampaikan oleh Renzulli, Reis, dan Smith (1978) dengan
Konsepsi Tiga Cincin (The Three Ring Conception ) beserta pengembangannya yaitu
konsep the Triadich dan Renzulli -Monks (Monks dan Ypenburg, 1985). Untuk
pendekatan unidimensional, kriteria yang digunakan hanya semata -mata skor
kemampuan intelektual umum (IQ) saja. Secara operasional batasan kemampuan
intelektual umum yang digunakan adalah mereka yang mempunyai skor IQ minimal
140 skala Weschler. Sedangkan untuk pendekatan multidimensional, kriteria yang
digunakan lebih dari satu. Dalam hal ini batasan yang digunakan adalah mereka yang
memiliki dimensi kemampuan umum pada taraf cerdas (ditetapkan skor IQ 125
keatas skala Weschler), dimensi kreativitas cukup (ditetapkan skor CQ da lam nilai
baku cukup), dan pengikatan diri terhadap tugas baik (ditetapkan skor TC dalam
kategori nilai baku baik).
Kriteria di atas oleh sementara ahli psikologi dan pakar keberbakatan sudah
dianggap cukup berat untuk dapat menjaring calon akseleran di I ndonesia, lebih-lebih
jika masih dipergunakan kriteria lain seperti seleksi administratif (yang meliputi nilai
LHBS/Rapor, Nilai Ujian Nasional, serta skor tes kemampuan akademis),
pertimbangan informasi data subyektif (nominasi diri, nominasi teman sebaya ,
rekomendasi guru, dan rekomendasi orangtua), serta ketentuan kesehatan fisik dan
kesediaan calon peserta didik dan persetujuan orangtua. Namun dalam berbagai
forum, tidak sedikit pihak yang menganggap kriteria tersebut cukup rendah, terutama
banyak yang mempersoalkan syarat minimal IQ 125 terlalu rendah dan mengusulkan
untuk dapat ditetapkan minimal IQ 130. Namun yang patut disayangkan, berbagai
kritik tersebut seringkali tidak didasari argumentasi akademik yang memadai,
sehingga tidak dapat dijelaskan landasan teoretisnya. Belum lagi didapati
permasalahan tentang tidak adanya kesepakatan batteray tes yang digunakan pada
waktu melakukan pemeriksaan psikologis oleh lembaga / biro yang bekerjasama
dengan pihak sekolah.
Untuk mencari jalan keluar t erhadap masalah tersebut, maka Direktorat
Pembinaan Sekolah Luar Biasa telah melakukan beberapa kali pertemuan yang
melibatkan fakultas psikologi dan pusat -pusat keberbakatan yang dimiliki oleh
beberapa universitas, serta beberapa biro atau lembaga psikol ogi dan para praktisi
pendidikan di sekolah. Dalam satu kegiatan yang dilaksanakan di wisma Handayani
Cipete Jakarta pada tahun 2005, bahkan telah menghasilkan terbentuknya satu wadah
para psikolog yang berhimpun dalam satu organisasi yang disebut dengan A sosiasi
Psikologi Indonesia (API). Namun sayang sampai berakhirnya kegiatan dan sekian
waktu kemudian tidak diperoleh kesepakatan para psikolog tentang ketentuan alat
identifikasi dari perspektif psikologis.
Barulah pada kegiatan workshop penatalaksanaa n di Solo Mei 2007, tim yang
tergabung dalam penatalaksanaan psikologi telah merumuskan draft Prosedur
Operasional Standar (POS) Identifikasi Anak Cerdas Istimewa yang terkemudian
naskah tersebut masuk sebagai bahan dalam buku Pedoman Penyelenggaraan
Pendidikan untuk Peserta Didik Ber -kecerdasan Istimewa (Program Akselerasi) edisi
tahun 2007, khususnya tentang persyaratan psikologis peserta didik.
Untuk aspek psikologis calon peserta didik, ada tiga jenis tes yang dilakukan
yaitu Kemampuan Intelektual (I Q), Kreativitas , dan Keterikatan dengan tugas (task
commitment). Peralatan yang digunakan untuk menjaring calon peserta untuk masing -
masing jenis tes psikologis dapat dilihat pada tabel berikut :
Kemampuan Intelektual
Kreativitas
Permasalahan lain yang dapat ditemukan pada buku pedoman yang baru (edisi
2007) yang masih terkait dengan id entifikasi calon akseleran selain aspek psikologis
adalah belum memberi perhatian yang memadai tentang bentuk instrumen yang dapat
digunakan untuk memperoleh informasi data subyektif (dalam buku hanya disebut tes
penilaian dari guru, orangtua, atau konselo r) yang meliputi data tentang nominasi diri,
nominasi teman sebaya, rekomendasi guru, orangtua, maupun pihak -pihak lain
(seperti konselor).
Dalam hal ini Labschool telah menunjukkan kepeloporan -nya karena sejak
tahun 2000 telah mengembangkan instrumen nominasi teman sebaya, angket
nominasi/ rekomendasi guru, serta rekomendasi orangtua. Instrumen nominasi teman
sebaya dikembangkan dari 14 ciri -ciri keberbakatan yang dikeluarkan oleh Balitbang
Dikbud (1986). Sedangkan angket rekomendasi guru diadopsi deng an sedikit
pengembangan dari model identifikasi non -tes yang ditawarkan oleh Hawadi (2001).
Adapun instrumen rekomendasi orangtua, Labschool mengadopsi model yang
dikembangkan oleh Niagara Catholic District School Board (2003), serta Ontario
Ministry of Education and Diary (1999).
PENUTUP
Gallagher, JJ. Teaching the Gifted Child. Boston: Allyn & Bacon, 1975.
Hawadi, L.F. Hubungan Antara Ciri-Ciri Keberbakatan Pada Alat Identifikasi Siswa
Berbakat dengan Alat Tes Psikologik dan Prestasi belajar . Tesis. Depok:
Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 1989.
Hawadi, L.F. Melacak Bakat Intelektual Anak. Menurut Konsep Renzulli. Disertasi.
Depok : Fakultas Pasca Sarja na Universitas Indonesia, 1993.
Hawadi, Reni Akbar, R. Sihadi Darmo Wihardjo, dan Mardi Wiyono. Keberbakatan
Intelektual. Jakarta: Penerbit PT. Grasindo, 2001.
Hawadi, Reni Akbar, R. Sihadi Darmo Wihardjo, dan Mardi Wiyono. Kurikulum
Berdiferensiasi. Jakarta: Penerbit PT. Grasindo, 2001.
Hawadi, Reni Akbar. Identifikasi Keberbakatan Intelektual Mellaui Metode Non -Tes
Dengan Pendekatan Konsep Keberbakatan Renzulli . Jakarta: Penerbit PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002.
Hawadi, Reni Akbar (edit or). Akselerasi : A-Z Informasi Program Percepatan
Belajar dan Anak Berbakat Intelektual . Jakarta : Penerbit PT Grasindo, 2004.
Herry Widyastono. Sistem Percepatan Belajar bagi Siswa yang Memiliki Kemampuan
dan Kecerdasan Luar Biasa. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Oktober
2000, Tahun Ke-6, No. 026.
Herry Widyastono, dkk. Profil Peserta Didik yang Memerlukan Perhatian Khusus di
Sekolah Dasar. Jakarta: Balitbang Dikbud, 1997.
Herry Widyastono, dkk. Profil Peserta Didik yang Memerlukan Perhatian Khusus di
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Jakarta: Balitbang Dikbud., 1997.
Martinson, R.A. The Identification of the Gifted and Talented. California: Ventura,
1974
Milgram, R.M. Counseling Gifted and Talented Children. New Jersey : Ablex
Publishing Corporation, 1991.
Pedoman Penyelenggaraan Program Percepatan Belajar SD, SMP, SMA (Satu Model
Pelayanan Pendidikan Bagi Peserta Dididk yang Memiliki Potensi
Kecerdasan dan Bakat Istimewa) (2003). Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional.
Utami Munandar, SC. Pemanduan Anak Berbakat. Suatu Studi Penjajagan. Jakarta :
CV Rajawali, 1982.
Ward, VS. Differential Education for the Gifted. California: Ventura, 1980.
Yaumil A. Achir. Bakat dan Prestasi. Disertasi. Jakarta: Fakultas Pascasa rjana
Universitas Indonesia, 1990.