You are on page 1of 11

IDENTITAS PERGURUAN TINGGI MUHAMMADIYAH DALAM

GERAKAN MUHAMMADIYAH
Memahami Pesan Spiritual KH. Ahmad Dahlan

Oleh: BAEHAQI

Secara terminologis Muhammadiyah berarti gerakan Islam Dakwah Amar

Ma’ruf Nahi Munkar, berakidah Islam dan bersumber pada al-Quran dan al-

Hadits. Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah oleh pendirinya dengan maksud

untuk bertafa’ul (optimis/berpengharapan baik) dapat mencontoh dan meneladani

jejak perjuangan Nabi Muhammad dalam rangka menegakkan dan menjunjung

tinggi agama Islam.

Pembaruan dalam gerakan Muhammadiyah dimulai dengan mengadakan

gerakan amalan, meletakkan ajaran Islam yang murni, menjadikan amaliyah yang

ilmiyah dan ilmiyah yang amaliyah. Jalan tersebut teraksentuasi melalui amal

usaha dan kegiatan yang bersifat amaliah dan pencerahan. Bagi KH. Ahmad

Dahlan, peran dan kehadiran sebuah institusi pendidikan, pelayanan sosial dan

dakwah adalah sangat strategis, terutama dalam rangka sosialisasi nilai-nilai

agama. Pesan spiritual ini menjadi sumber pendorong misi utama Muhammadiyah

sebagai gerakan pembaruan (tajdid) atau reformasi keagamaan.

Gagasan pendidikan KH. Ahmad Dahlan lahir dari cita-citanya yang ingin

mencetak manusia Muslim yang berakhlak mulia, pandai dalam bidang agama,

luas pandangannya dan faham dalam masalah ilmu keduniaan. Dalam

pandangannya, jawaban atas masalah kebodohan umat Islam berada ditangan


Penulis Adalah Sekretaris Pimpinan Cabang Muhammadiyah kecamatan Batuceper-kota
Tangerang. Sekarang aktif sebagai Kepala Bagian Akademik Universitas Muhammadiyah
Tangerang

1
pembaruan atau modernisasi dunia pendidikan. Mereka yang mempelajari ilmu

umum bersedia mempelajari ilmu agama dan yang mempelajari ilmu agama

bersedia mempelajari ilmu umum.

KH. Ahmad Dahlan telah meletakkan landasan bagi kemajuan bangsa

dengan mempelopori gerakan pendidikan, pelayanan kesehatan, kesejahteraan dan

amal kebajikan untuk kemajuan umat dan bangsa, bahkan cara berfikir dan

bersikap hidup maju. Sebuah modal sosial yang sangat besar dan sekaligus

tonggak bangsa yang beradab dan berkemajuan. “Tanpa kualitas akhlak,

pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan yang baik, mana mungkin sebuah bangsa

dapat bebas dari dominasi kekuatan lain dan mampu mengisi kemerdekaan”

(Suara Muhammadiyah : edisi Desember 2005).

Gerakan tersebut merupakan cikal bakal kelahiran modernisasi dalam

pendidikan dan pemikiran keagamaan di Indonesia. Amal usaha Muhammadiyah

mulai tampak terlihat setelah seratus tahun kelahirannya, dari lembaga

pendidikan, usaha kesehatan sampai panti asuhan, gerakan yang memiliki

orientasi praktis untuk penyelamatan dan kesejahteraan hidup masyarakat,

diantara bentuk-bentuk penyelamatan itu antara lain membebaskan manusia dari

kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan

Pada tahun 1918 ia mendirikan sekolah menengah yang diberi nama

Qismul Arqa dan bertempat dirumahnya sendiri dan di tahun 1920, sekolah

tersebut berubah menjadi pondok Muhammadiyah. Selanjutnya tahun 1926

didirikan TK. Bustanul Athfal dan Hollandsch Inlandsche School (HIS) metode

al-Quran yang ada di Jakarta dan Kudus, kemudian diganti namanya menjadi HIS

2
Muhammadiyah, diikuti dengan didirikannya MULO (Meer Uitgebreid Lager

Onderwijs), HIK Muhammadiyah (Hollandsch Inlandsche Kweekschool) dan

Schakel School Muhammadiyah. Untuk pendidikan menengah Muhammadiyah

mendirikan AMS Muhammadiyah (Algamene Meddlebare School). Model

pendidikan tersebut dimaksudkan untuk mempercepat penyebaran gagasan

pembaruan atau modernisasi pendidikan, khususnya untuk para guru. (Yusron

Asrofi: 1983). Dalam masa kemerdekaan Indonesia, pendidikan model Barat ini

kemudian disesuaikan dengan model pemerintah seperti Tk, Bustanul Athfal,

Sekolah Dasar, SMP, SMA, SPG serta beberapa sekolah kejuruan. Sejak tahun

1955 barulah didirikan perguruan tinggi.

Di usianya yang ke 55, perguruan tinggi Muhammadiyah telah banyak

melahirkan kader-kader bangsa potensial. Sungguh membanggakan, jika disetiap

tingkatan institusi pemerintahan dan swasta alumni perguruan tinggi

Muhammadiyah memainkan peranan strategis sebagai penentu kebijakan. Catatan

manis ini tidak datang begitu saja, perguruan tinggi Muhammadiyah telah

mencatatkan tinta sejarah gemilang sebagai penopang peradaban bangsa.

Kesungguhan dan keterbukaan dalam hal; pengelolaan sumber daya dan sumber

dana, akselerasi sistem akademik dan layanan akademis, akselerasi

jaringan/networking, dan kesiapan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi merupakan penentu keberhasilan perguruan tinggi Muhammadiyah

menjawab tantangan zaman..

Rumus dasar keseriusan dan keterbukaan diatas satu dan lainnya

berkelindan seiring seirama, memainkan pola ilmiah menuju gagasan pendidikan

3
yang diusung KH. Ahmad Dahlan, yaitu;

1. Pendidikan moral dan akhlak, yaitu sebagai usaha menanamkan


karakter manusia yang baik berdasarkan al-Quran dan Sunnah
2. Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan
kesadaran individu yang utuh, yang berkesinambungan antara
keyakinan dan intelek, antara perasaan dan akal pikiran, serta antara
dunia dan akherat
3. Pendidikan kemasyarakatan, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan
kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat (Djarnawi
Hadikusumo : 1980).

Gagasan pendidikan tersebut merupakan aspek moral yang menjadi tolak

ukur kepribadian dalam mewujudkan harapan dan motivasi hidup. Secara

akseleratif dan kontekstual lembaga-lembaga pendidikan memiliki tanggungjawab

besar dalam menata peradaban bangsa, mengupayakan perluasan dan pemerataan

kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu, serta meningkatkan kualitas

lembaga pendidikan yang efektif dan efesien. Hal ini sejalan dengan Undang-

undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 20 Tahun 2003 bahwa aspek

agama (moral), aspek teknologi, aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek

kemanusian seutuhnya (humanitas) menjadi standar pendidikan nasional.

Gerakan amalan yang dicita-citakan KH. Ahmad Dahlan1 sebagaimana

diatas, secara langsung bersentuhan dengan ajaran-ajaran sufisme, diantaranya;

1. Sudah menjadi sifat dan watak manusia, bahwa ia selalu berpegang


taguh kepada tradisi, adat peninggalan nenek moyang hyang sukar
sekali diubah atau diperbaharui.

Falsafah ini menunjukkan bahwa kebenaran yang paling haq, diawali


dengan dasar pengetahuan yang kuat sehingga menghindarkan potensi
diri untuk bersikap taklid. Mutasowwifin adalah orang-orang yang
memiliki pengetahuan sangat mendalam, terutama pengetahuan

4
tentang ketuhanan. Sehingga praktik ibadahnya bukan wujud dari
traadisi masyarakat yang cenderung ikut-ikutan, (Al-Furqon : 44).
2. Manusia yang mengikuti hal-hal yang sudah terang baginya, yakin
mengikuti suara hati kecilnya, sudah meyakini kebenaran. Tapi
karena takut mendapat kesukaran dan kesulitan karena mengikuti
hawa nafsunya, maka hatinya sudah rusak, berpenyakit, akhlaknya
hanyut terseret ke dalam kebiasaan di dalamnya

Falasafah ini mengejawantahkan tentang upaya membangun


peradaban Islam di masa mendatang. Isytirakiyah Islamiyah
(Sosialisme Islam) seharusnya dibangun menurut ajaran Islam sesuai
dengan ajaran Abu Dzar al-Ghifari. Mutasowwifin merupakan ulama-
ulama yang sukses dalam membangun peradaban masyarakatnya,
yakni melalui pengajian-pengajian atau masjid-masjid yang dijadikan
sarana dakwah Islamiyah. Konteks sekarang, Isytirakiyah Islamiyah
direduksi oleh amal usaha Muhammadiyah melalui institusi
pendidikan, pelayanan keehatan dan sosial serta dakwah.
3. Kebanyakan pemimpin rakyat jarang yang berani mengorbankan
harta benda dan jiwanya untuk menuntun umat manusia ke jalan yang
benar. Malah biasanya pemimpin-pemimpin itu mempermainkan dan
memperalat manusia yang bodoh dan lemah untuk kepentingan
pribadinya.

Falsafah ini bersesuaian dengan gerakan Muhammadiyah yang tidak


berhenti pada aspek asketik saja (zikir2 yang memabukkan), namun
lebih realistis, dengan memandang realitas sosial yang terjadi.

2
Doa’ dan zikir yang dilakukan KH. A. Dahlan itu sesuai dengan ajaran Islam yang benar.
Membersihkan dari hal-al yang bersifat bid’ah, khurafat, syirik dan sebagainya. KH. A. Dahlan
adalah contoh teladan dalam mengajarkan agama Islam yang hingga sekarang masih relevan.
(Lihat. KH. Hussein Umar, Umat Islam Jangan Terlena, Suara Muhammadiyah No. 01/TH KE-
90/1-15 Januari/2005, Kolom Dialog , hal. 17). Dzikrullah, berarti mengingat Allah baik dengan
ucapan maupun dengan getaran hati atau gabungan keduanya. Dzikir dalam pandangan para sufi
sangat penting untuk mendapatkan ilmu ma’rifah. Ini karena dzikir berhubungan dengan hati.
Dengan dzikir, dalam pandangan para sufi, hati akan terhindar dari gerak gerik setan, tenggelam
hanya kepada Allah, hati akan menjadi jernih, bersih dan suci, karenya berbagai penyakit hati akan
terobati, berbagai kegellisahan dan kewas-wasan akan hilang, alam ghaib akan terbuka, berbagai
ilmu pengetahuan akan diperoleh. Dengan demikian akan sampai kepada ilmu ma’rifah. (Lihat
juga, Drs. HM. Jamil, MA, Cakrawala Tasawuf, Sejarah, Pemikiran dan Kontekstualitas, Ciputat:
GP.Press, 2004).

5
Muasowwifin adalah orang-orang yang sangat rasional dengan
kemampuan mereka memahami pesan-pesan simbolik ayat al-Quran.

Berangkat dari alasan ini, tersirat pesan bahwa gerakan Muhammadiyah

sarat dengan nilai-nilai sufistik. Bisa saja sufisme pada konteks modern berbeda

praktiknya dengan sufisme mutasowwifin abad-abad awal, namun konsepsi dan

sasaran pencapaiannya tetap sama yaitu menuju ketaqwaan serta peningkatan

kualitas diri (insan kamil).

Maka posisi sufisme dalam berbagai bentuknya diharapkan dapat

menghadirkan kembali militansi kader Muhammadiyah. Karena sejak

didirikannya, Muhammadiyah memiliki empat pola perjuangan; Pertama,

menegakkan tauhid murni sesuai dengan ajaran Allah Swt. yang dibawa oleh

seluruh Rasul Allah, sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad; Kedua,

menyeberluaskan Islam yang bersumber pada kitab suci al-Qur’an dan Sunnah

Rasul; Ketiga, mewujudkan amalan-amalan Islam dalam kehidupan perorangan,

keluarga dan masyarakat; Keempat, pemahaman agama dengan menggunakan

rasio

Paling tidak, menurut hemat penulis, pesan sufisme tersebut berguna untuk;

meningkatkan kualitas diri, membentengi dampak negatif modernitas,

mempertajam fungsi bathin dalam membuka tabir misteri Illahi, melanjutkan

pesan-pesan keagamaan yang sempat terputus atau bahkan belum sempat

tersampaikan oleh para sufi, wali, ulama dan cendekiawan Muslim lainnya yang

telah tiada, serta yang tidak kalah pentingnya adalah mengharapkan terbentuknya

6
sebuah masyarakat Qurani, yaitu masyarakat yang baldatun toyyibatun wa rabbun

ghofur.

Sosok kader ideal Muhammadiyah seharusnya adalah manusia religius

yang mampu berfikir dan bertindak secara seimbang, sanggup mengusahakan

tercapainya cita-cita gerakan Muhammadiyah, juga dapat membangkitkan

kesadaran sosial. Sosok ideal tersebut merupakan prototipe kepribadian KH.

Ahmad Dahlan. Seperti yang dikatakannya;

“Saya mesti bekerja keras untuk meletakkan batu pertama dari amal yang
besar ini. Kalau sekiranya saya lambatkan atau hentikan lantaran sakitku
ini, maka tidak ada orang yang sanggup meletakkan dasar itu. Saya sudah
merasa bahwa umur saya tidak akan lama lagi. Maka jika saya kerjakan
selekas mungkin maka umur saya yang tinggal sedikit itu, mudahlah yang
dibelakang nanti untuk menyempurnakannya.”

Perlu kiranya kader Muhamadiyah merefleksikan kembali gerakan

keagamaan dan sosial KH. Ahmad Dahlan, baik secara kelembagaan maupun

secara individu. Ruang transformasi tersebut, lebih konkret lagi misalnya, setiap

kader memainkan peranan penting dalam memunculkan fanatisme dakwah Amar

Ma’ruf Nahyi Munkar sebagaimana termaktub dalam matan, cita-cita dan

pedoman hidup warga Muhammadiyah. Karena bentuk pengabdian yang sebaik-

baiknya adalah mempelopori gerakan pendidikan, pelayanan kesehatan,

kesejahteraan, dan amal kebajikan untuk kemajuan umat dan bangsa. Disinilah

peran kader dari tingkat ranting, cabang, sampai pimpinan pusat sangat perlu

diberdayakan sebagai penyambung misi pesan spiritual KH. Ahmad Dahlan.

7
Puluhan atau bahkan ratusan kader Muhammadiyah berperan aktif dalam

lembaga pemerintahan atau swasta, mereka menjadi penentu lahirnya sebuah

kebijakan institusional. Ironisnya, dalam lingkungan Amal Usaha Muhammadiyah

peran kader harus tenggelam oleh filosofi ikhlas dan militan. Sementara itu,

dengan berbagai dasar argumen, simpatisan Muhammadiyah atau bahkan yang

bukan simpatisan, mengambil peran-peran penting dalam Amal Usaha

Muhammadiyah.

Sudah saatnya pimpinan persyarikatan mengambil kebijakan

strategis dalam hal pemberdayaan kader potensial dilingkungan Amal Usaha

Muhammadiyah. Dengan tujuan, makna tajdid sebagai pemurnian dan

pengembangan bersesuaian dengan misi utama pendirian Muhammadiyah. Antara

lain;.

Pertama, untuk menegaskan kembali kepada masyarakat bahwa

keberislaman yang sempurna adalah perpaduan antara ideologi dan orientasi

praktis, antara iman dan kesejahteraan, (doa dan tindakan). Kedua, membangun

kesejahteraan umum sebagai tolok ukur bagi sikap dan perilaku umat. Ketiga,

kemauan untuk menggali watak Islam sebagai agama pembebasan. Karena

menurut KH. Ahmad Dahlan, keberagamaan yang gagal adalah teologi yang

mandul dan tidak ada gairah menjawab masalah-masalah kemanusiaan kini dan di

sini, seperti masalah kemiskinan dan keterbelakangan.

8
Dahlan adalah seorang aktivis yang menuangkan gagasan-gagasannya

dengan menekankan kepada aksi sosial, dan memandang agama sebagai beramal

shalih yang ditunjukkan kepada Allah. Realisasi gerakan pembaharuan Dahlan

dalam wujud aksi sosial memuncak sekembalinya dari Timur Tengah, seperti;

Dahlan menemukan dan belajar tentang tata kerja organisasi sekuler Budi Utomo

yang teratur dan rasional. Nilai yang diperoleh dari organisasi ini adalah sikap

kerjasama yang saling menguntungkan. Lain halnya ketika Dahlan masuk Sarekat

Islam (SI), Dahlan bertujuan untuk proaktif dalam bidang politik namun tetap

dikonsentrasikan pada masalah keagamaan dan kebudayaan. Nilai yang

diperolehnya adalah pemimpin sebagai tauladan demi perkembangan organisasi.

Ungkapan Dahlan dalam hal ini yaitu: ‘Menjadilah insinyur, guru, master,

dan kembalilah berjuang [sich!]’. Lalu sistem ini diterjemahkan ke dalam sistem,

strategi, program dan kegiatan organisasi”.3 Pola pendidikan dan pengajaran yang

dilakukan oleh Dahlan merupakan hasil pendalamannya terhadap Al-Quran, baik

dalam hal gemar membaca maupun menelaah, membahas dan mengkaji

kandungan isinya. Sehingga ketika beliau menatap surat Ali Imran ayat 104 yang

berbunyi :

‫ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن‬
3
Abdul Munir Mulkhan, Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah,
(Yogya: Percetakan Persatuan, 1990), h. 29

9
(104 ‫المنكر وأولئك هم المفلحون )العمران‬

Artinya : “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang


menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung. (Ali Imran
104)4

Tergerak hatinya untuk membangun sebuah masyarakat yang teratur dan

khidmat dalam melaksanakan ajaran Islam, amar makruf nahi munkar di tengah-

tengah masyarakat luas.

DAFTAR PUSTAKA

Din Syamsudin (Ed.)., Pembaruan Pendidikan Islam, dalam


Muhammadiyah Kini dan Esok, (Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1990), cet.
Ke-1.
Din Syamsudin (ed.), Muhammadiyah Kini dan Esok, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1990)
Djarnawi Hadikusumo, Ilmu Akhlak, (Yogya: Persatuan Yogya, 1980).
H. Thalhas, Alam Pikiran KH. Ahmad Dahlan & KH.M. Hasyim Asy’ari,
Asal Usul Dua Kutub Gerakan Islam di Indonesia, (Jakarta: Galura Pase’, 2002)
HM. Jamil, MA, Cakrawala Tasawuf, Sejarah, Pemikiran dan
Kontekstualitas, Ciputat: GP.Press, 2004).
KH. Hussein Umar, Umat Islam Jangan Terlena, Suara Muhammadiyah
No. 01/TH KE-90/1-15 Januari/2005, Kolom Dialog , hal. 17).
Mutohharun Jinan, Muhammadiyah dan Teologi Kemiskinan, dalam Suara
Muhammadiyah, No. 01 Th. Ke-89, tanggal 1-15 Januari 2003M
Salihin Salam, KH. A. Dahlan; Reformer Islam Indonesia, (Jakarta: Jaya
Murni), 1963
Suara Muhammadiyah edisi Senin, 03 April 2006, Tiga Upaya Mu`alimin
dan Mu`alimat.
Suara Muhammadiyah No. 24/TH KE-90/16-31 Desember/2005M, Kolom
Bingkai.

4
Kementerian Urusan Agama Islam dan Wakaf, Op.Cit., hal. 93

10
Tim Kompas, “Mengatasi Tantangan Zaman” dalam
Muhammadiyah “Digugat”: Reposisi di Tengah Indonesia yang Berubah, Editor:
Nur Achmad dan Pramono U. Tanthowi, (Jakarta: Kompas, 2000), cet.ke-1
Yusron Asrofi, KH. Ahmad Dahlan Pemikiran dan Kepemimpinannya
(Yogyakarta: Yogyakarta Offset, 1983)

Tentang Penulis:

Nama : BAEHAQI, MA
Tempat.Tgl.Lahir : Tangerang, 28 Juli 1971
Alamat : Jl. Abadi No. 20 Kebon Besar RT. 04/01 Batuceper
Kota Tangerang
Pendidikan : > Strata Satu (S1) Universitas Muhammadiyah Malang
lulus tahun 2000
> Strata Dua (S2) Universitas Muhammadiyah Jakarta
Konsentrasi Pemikiran Islam lulus tahun 2008
Riwayat Organisasi : > Sekretaris Pimpinan Cabang Muhammadiyah
Kecamatan Batuceper-kota Tangerang periode 2005/10
> Kepala bagian Akademik Universitas Muhammadiyah
Tangerang 2009 s/d sekarang

11

You might also like