You are on page 1of 22

Dalam dunia pewayangan perang “Bharatayuda” mengandung makna-makna simbolik.

Perang
Bharatayuda adalah bagian dari “wayang kulit” yang mengisahkan perang saudara antara Pendawa
Lima yang terdiri dari lima bersaudara dan Kurawa yang terdiri dari seratus bersaudara. Mereka
adalah sama-sama cucu dari Bhegawan Abiyasa berperang untuk memperebutkan kerajaan
Indraprasta (Amartapura) yang dikuasai oleh Hastinapura dikarenakan Pandawa Lima kalah judi. Salah
satu syarat dari kalah judi dengan pihak Kurawa, Pandawa harus menjalani hukuman dibuang di hutan
selama 12 (duabelas) tahun dan ditambah satu tahun dalam penyamaran yang tidak boleh diketahui
keberadaannya.

Dalam buku Mahabharata diceritakan bahwa Pendawa Lima merasa sudah melunasi hukumannya
dibuang di hutan selama 12 (duabelas) tahun dan satu tahun dalam penyamaran, tetapi Kurawa
mempertahankan dan menuduh Pandawa Lima gagal melaksanakan hukumannya. Dalam "wayang
kulit" agak sedikit ada kerancuan bahwa penyebab peperangan disebabkan Pendawa Lima ingin
mendapatkan hak Hastinapura yang dititipkan oleh Panduwinata (ayah Pendawa Lima) yang pada saat
itu raja Hastinapura kepada kakaknya yang buta Dhestrarata (ayah Kurawa).

Dalam episode Bharatayuda, di dalamnya terdapat kisah "Bhagawatgita" yaitu kisah awal dari
Bharatayuda ketika Arjuna merasa sangat tidak bersemangat untuk berperang melawanKurawa
dikarenakan musuh yang dihadapi masih saudara sendiri bahkan diantara musuh yang harus dihadapi
adalah para sesepuh yang sangat dihormati yaitu Resi Bisma, Pendita Durna dll.

Arjuna merasa kenapa harus berperang untuk memperebutkan kerajaan, kalau perlu biarlah Kurawa
menguasai kerajaan. Sri Kresna memberikan nasihat kepada Arjuna bahkan terpaksa memperlihatkan
wujud Wisnu yang sebenarnya untuk meyakinkan Arjuna bahwa: Peperangan Bharatayuda bukan
sekedar perang melawan saudara sendiri tapi adalah peperangan suci yang harus dilaksanakan oleh
Ksatria Utama sebagai dharmanya atau kewajibannya untuk melenyapkan keangkaramurkaan dan
kebatilan di muka bumi.

Sri Kresna kemudian juga mengajarkan kepada Arjuna makna hidup, asal kehidupan, dan akhir
kehidupan yang mengalir dalam perwujudan Wisnu yang sebenarnya yang dituliskan dalam kisah
Bhagawatgita yang juga menjadi salah satu kitab suci pemeluk agama Hindu.

Dalam interpretasi perang Bharatayuda dalam kisah "wayang kulit" banyak versi sesuai dengan
peresapan masing-masing penggemar ataupun pengamat "wayang kulit" yang pada hakekatnya bisa
dikatagorikan dalam simbolik berupa perubahan yang bersifat mikro (dalam diri manusia sendiri –
jagad cilik - dunia kecil) dan perubahan yang bersikap makro (diluar diri manusia atau dalam
kehidupan bermasyarakat, bernegara, maupun semesta alam – jagad gede – dunia besar).
Arti simbolik Bharatayuda yang bersifat mikro (dalam diri manusia secara individu – jagad cilik –
dunia kecil):

Pengertian simbolik perang Bharatayuda dalam diri manusia adalah peperangan dalam diri manusia
dalam rangka mengatasi dirinya antara perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk. Adalah
peperangan yang tiada henti selama hidup dari seseorang sebagai individu untuk mencari nilai budi
luhur dan melaksanakan dalam tindakan nyata sehari-hari yang melawan pengaruh buruk yang
bersifat kesenangan yang bisa merusak diri dan lingkungannya.

A. Bharatayuda sebagai simbol pertarungan/pergulatan etika baik dan buruk dalam diri manusia:
Peperangan dalam diri manusia adalah hakekatnya perang saudara, karena apabila manusia
menginginkan sifat baik yang terpancar dalam kehidupannya dia harus berani membunuh sifat buruk
dalam dirinya yang berarti membunuh sebagian dari dirinya.

Betapa sakitnya seseorang yang harus membunuh sifat dalam dirinya yang bersifat kesenangan yang
merusak seperti ma-lima (lima M) yaitu (madon, madat, maling, main, mabuk yang artinya: madon
berarti - kesenangan dengan wanita/ sex di luar pernikahan, madat – kesenangan dengan candu /
ganja / ecstacy / heroin / ataupun sejenisnya, maling – kesenangan memiliki hak / kepunyaan orang
lain, main – kesenangan berjudi, mabuk - kesenangan minum minuman keras).

Kalau seseorang sudah terlanjur mempunyai kesenangan seperti tersebut diatas yang merupakan sifat
buruk dalam dirinya, seseorang memerlukan sikap sebagai Arjuna yang harus berani melakukan
perang Bharatayuda, untuk membunuh sebagian dari dirinya yang bersifat buruk, betapa hal itu
sangat berat dan terasa menyakitkan.

Apabila sifat Ksatria Utama yang memenangkan peperangan dalam diri seseorang, dia mampu
mengatasi dirinya untuk tidak berbuat yang kurang terpuji. Dia akan punya sifat berbudi luhur dalam
perbuatan nyata untuk dirinya maupun untuk masyarakat sekelilingnya.

Kemenangan dalam peperangan ini sebetulnya perubahan yang nyata dari sifat manusia tersebut dari
manusia yang kurang terpuji sifat-sifatnya menjadi manusia yang terpuji sifat-sifatnya.

B. Bharatayuda sebagai simbol cara kematian seseorang sesuai dengan karma/akibat perbuatannya:
Dalam kehidupan seseorang selalu diuji keberpihakannya terhadap nilai-nilai budi luhur atau
kecenderungannya terpengaruh oleh perbuatan buruk.

Dalam masyarakat modern yang makin heterogen dan dengan makin terbukanya pengaruh-pengaruh
berbagai silang budaya kadang-kadang agak sulit untuk mengenali dengan cepat dan mengambil garis
lurus ataupun garis pemisah antara perbuatan etika moral yang terpuji maupun yang kebalikannya
yang kadang agak sulit bagi kita menarik garis hitam putih.

Tapi kalau kita mengkaji lebih lanjut kisah / lakon dalam "wayang kulit" hal tersebut bukan sesuatu
yang tidak terdeteksi dalam kisah tokoh-tokohnya yang selalu bergulat dalam perbuatan yang terpuji
maupun kurang terpuji bahkan terhadap tokoh-tokoh yang diidealkan seperti tokoh Pendawa Lima
dan Sri Kresna.

Hal ini adalah suatu indikasi alamiah ketidak sempurnaan manusia. "Wayang kulit" mengajarkan suatu
budaya yang sangat bijaksana berkaitan dengan ketidak sempurnaan manusia dengan menciptakan
tokoh punokawan yaitu Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong (secara lahiriah tokoh-tokoh tersebut
juga digambarkan secara tidak sempurna) yang selalu memberikan peringatan terhadap
penyimpangan yang dilakukan oleh para raja dan ksatria.

Beberapa contoh kisah pewayangan yang menggambarkan ketidak sempurnaan sifat-sifat dari tokoh
yang dianggap sebagai tauladan:
1. Yudhisthira/Puntodewo yang terkenal kejujurannya dan kebijaksanaannya sebagai seorang raja
ternyata dia mempunyai kelemahan yang sangat fatal yaitu kesenangannya dengan judi.

Kelemahan tersebut dimanfaatkan oleh Kurawa dengan arsiteknya Patih Sengkuni sehingga
membawa kesengsaraan keluarganya bahkan sampai dengan negaranya, saudara-saudaranya, bahkan
istrinya – Dewi Drupadi – dipakai sebagai barang taruhan dan sempat sangat dipermalukan didepan
umum oleh Dursasono – salah satu dari Kurawa.

Kelemahannya ini yang akhirnya membawa Pendawa Lima harus menjalani hukuman dibuang
ditengah hutan selama duabelas tahun dan melakukan penyamaran selama satu tahun.

2. Arjuna yang sangat pandai dan sakti ternyata punya kelemahan terhadap wanita yang
membawanya dia terkenal kalau dengan istilah sekarang sebagai Don Yuan (beberapa pakar
pewayangan hal ini diartikan sebagai simbol kegandrungan Arjuna akan ilmu pengetahuan sehingga
dia selalu berguru kepada Bhegawan dan mengawini anak perempuannya yang diartikan /
disimbolkan sebagai menguasai ilmu dari sang Bhegawan).

3. Sri Kresna yang terkenal bijaksana dan dikatakan sebagai titisan Wisnu ternyata kurang mampu
mendidik anaknya dan terlalu memanjakan anaknya yang akhirnya membawa pada karma
kematiannya melalui seorang pemburu yang tanpa sengaja memanah kakinya yang anak panahnya
berasal dari perbuatan / kesombongan anaknya Samba.

Contoh-contoh diatas masih bisa diperpanjang dengan tokoh-tokoh pewayangan seperti Abimanyu
(anak Arjuna) yang membohongi istrinya karena mau menikah lagi, Gatutkaca (anak Werkudoro) yang
membunuh pamannya sendiri, Resi Bisma yang membunuh wanita yang mencintainya, Prabu Salyo
yang membunuh mertuanya, dan yang lain-lainnya yang pada suatu saat dalam kehidupannya pernah
melakukan perbuatan yang kurang terpuji yang balasan karma dari perbuatan buruknya adalah cara
kematian mereka yang terjadi pada perang Bharatayuda.

Hal ini menjadi suatu interpretasi simbolik lainnya dari makna perang Bharatayuda secara mikro (pada
individu – dunia kecil) yaitu: peperangan terakhir dari manusia menghadapi karma hidupnya, yaitu
cara kematiannya adalah cermin dari seluruh cara dan perilaku kehidupannya baik ataupun buruk.

Arti simbolik Bharatayuda yang bersifat perubahan makro kosmos (diluar diri manusia atau dalam
kehidupan bermasyarakat, bernegara, maupun semesta alam – jagad gede – dunia besar)

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, manusia sebagai individu juga selalu diuji
keberpihakkan seseorang terhadap kelompok yang punya nilai-nilai luhur dan kelompok yang
cenderung terpengaruh oleh perbuatan buruk.

Dalam masyarakat modern yang makin heterogen maupun dengan makin terbukanya suatu negara
dari pengaruh-pengaruh berbagai silang budaya sebagai suatu dampak globalisasi. Kadang-kadang
agak sulit untuk mengenali dengan cepat dan mengambil garis lurus ataupun garis pemisah antara
kelompok-kelompok yang memperjuangkan suatu etika moral yang terpuji maupun yang
kebalikannya.

Kalau melihat contoh-contoh tokoh dunia pewayangan seperti Yudhisthira, Arjuna, dan Sri Kresna,
sebagai manusia mereka tetap mempunyai sifat alamiah tentang ketidak sempurnaan manusia.
Walaupun secara umum atau bisa juga dikatakan bahwa sebagian besar perilaku yang diperbuat bisa
dijadikan contoh walaupun tidak lepas dari cacat dan cela.
Dengan segala cacat dan cela sebagai individu, secara kelompok mereka mempunyai suatu ciri utama
yaitu mengemban tugas Pemimpin maupun Ksatria Utama yang harus selalu menegakkan kebenaran
dan memerangi kelompok yang angkaramurka. Dari jaman ke jaman selalu saja akan muncul seorang
Pemimpin yang memimpin kelompoknya untuk memerangi kezaliman yang merugikan masyarakat
(rakyat) banyak ataupun merugikan pihak-pihak yang lemah dan tak berdaya.

Nyata-nyata bahwa setiap Pemimpin akan mengalami dilema seperti Arjuna yang ragu-ragu
menjalankan perannya untuk menegakkan kebenaran apabila yang dihadapi adalah para Pimpinan
bangsanya sendiri, bahkan diantaranya adalah para tokoh yang dihormati seperti Resi Bisma, Adipati
Karno, yang oleh keterikatan sejarah ataupun dengan sejuta alasan lainnya berpihak kepada yang
tidak benar (walaupun mungkin sebetulnya mereka tidak sependapat dengan kelakuan Duryudono
sebagai raja kelompok Kurawa).

Perang Bharatayuda adalah simbol peperangan yang mungkin bisa timbul di dalam masyarakat
apabila muncul kelompok yang menjunjung tinggi etika berbudi luhur yang terpanggil untuk
melaksanakan perang suci menghadapi kelompok yang zalim dan angkaramurka agar terjadi
perubahan yang nyata menuju suatu tata masyarakat yang lebih baik.

Bahwa pada akhirnya Pendawa Lima memutuskan untuk melaksanakan suatu perang Bharatayuda
bukanlah suatu proses atau keputusan yang mudah. Pendawa Lima secara nyata telah menjalankan
usaha mencegah agar perang Bharatayuda jangan terjadi dengan misi perdamaian.Terakhir adalah
cerita Kresno Duto yang mengutus Sri Kresna untuk menyelesaikan masalah secara damai yang
akhirnya malah menimbulkan kemarahan yang sangat dari Sri Kresna yang hampir saja menghancur-
luluhkan seluruh kerajaan Hastinapura.

Secara simbolik bisa diartikan bahwa kezaliman dan keangkara-murkaan itu semacam candu atau
ekstasi. Sekali kita didalamnya sulit kita bisa dengan mudah menjadi sadar dengan sendirinya. Harus
ada pihak-pihak yang berani menyadarkan, kalau diperlukan memerangi dan menghancurkannya.

Diceritakan bahwa perang Bharatayuda adalah perang yang gegirisi atau sangat menakutkan – tidak
ada satupun perang yang tidak menakutkan. Pasti akan banyak korban yang jatuh. Pada akhir perang
Bharatayuda, semua Kurawa seratus bersaudara terbunuh, hampir semua Ksatria yang membantunya
juga habis terbunuh. Sedangkan di sisi Pendawa Lima tidak ada anak-anak Pendawa Lima yang bisa
lolos dari maut juga banyak Ksatria yang membantunya juga terbunuh.

Kemenangan dari Pendawa Lima harus dibayar sangat mahal walaupun akhirnya Hastinapura bisa
menjadi negara yang adil makmur setelah segala keangkamurkaan Kurawa bisa dimusnahkan. Jer
basuki mawa bea adalah suatu pepatah Jawa artinya – untuk mencapai suatu tujuan selalu ada
biayanya.

Simbolik perang Bharatayuda ini juga bisa terjadi dalam dunia nyata pada kondisi masyarakat apabila
kekuasaan penyelenggaraan negara telah sedemikian rupa merugikan kepentingan rakyat banyak.
Kekuasaan apabila berciri angkaramurka sama dengan ketagihan candu atau ekstasi yang punya ciri:
sekali kita di dalamnya sulit kita bisa dengan mudah menjadi sadar dengan sendirinya. Hal ini bisa
menimbulkan suatu situasi radikal para kelompok yang merasa terpanggil untuk melaksanakan
pembaharuan yang bisa mengidentifikasikan sebagai kelompok moralis menghadapi pemerintahan
yang zalim yang telah memiskinkan mayoritas bangsanya.

Sebagai contoh apabila penyelengaraan suatu negara penuh korupsi dan kolusi, para pejabat lebih
mementingkan dirinya sendiri, kelompoknya sendiri, partainya sendiri, keluarganya sendiri.
Kesejahteraan masyarakat luas menjadi prioritas terakhir yang hanyalah berupa kucuran bantuan
yang tidak mengatasi masalah kemiskinan. Bantuan yang mungkin hanyalah sisa-sisa dana yang sudah
lebih dulu menggemukkan para penguasanya dan pengusahanya.

Lambat atau cepat apabila tidak diatasi secara bijaksana bukan sesuatu yang tidak mungkin bisa
terjadi semacam perang Bharatayuda dalam masyarakat. Adalah sangat alami barangkali juga sebagai
hukum alam bahwa selalu akan muncul kelompok moralis yang dengan segala risikonya akan
memerangi pihak-pihak yang dianggap menyimpang dari tindakan yang jujur dan terpuji dari waktu ke
waktu.

Begitu juga apabila cakupan perang bukan hanya terjadi pada suatu masyarakat tertentu, bisa juga
terjadi suatu perang yang punya cakupan global apabila memang secara global bisa terjadi suatu
pengelompokan negara-negara yang menganut faham angkaramurka berhadapan dengan negara-
negara yang menganut faham berbudi luhur (pada saat ini masih agak sulit untuk dilakukan garis
pemisah, masih banyak kondisi abu-abu).

Perang Bharatajuda itu sendiri perang antar kerajaan yang masing-masing baik pihak Pandawa atau
Kurawa dibantu oleh banyak kerajaan-kerajaan lainnya. Perang Dunia ke-2 adalah salah satu contoh
refleksi simbolik perang Bharatayuda dalam cakupan perang antara sesama persaudaraan umat
manusia dengan cakupan antar negara (kalau kita percaya bahwa manusia adalah keturunan Nabi
Adam berarti semua manusia didunia ini adalah bersaudara).

Apakah akan ada Perang Dunia 3? Ini hanya akan terjadi jika negara-negara di dunia terbelah menjadi
dua kekuatan yang secara nyata dapat dipisahkan antara yang batil dan yang luhur. Ini adalah salah
satu arti simbolis Perang Bharatayuda yang bersifat perubahan makro kosmos (jagad gede - dunia luar
yang mengelilingi manusia). Perubahan dari masyarakat yang batil menjadi masyarakat yang lebih
luhur. Perubahan dari ketidakadilan dunia menjadi dunia yang lebih nyaman untuk kehidupan. Untuk
itu semua, seperti kata pepatah Jawa "jer basuki mawa bea", untuk melaksanakan suatu perbaikan
selalu ada biayanya.

Tulisan terdahulu telah membahas refleksi budaya pewayangan yang membahas tentang etika Jawa
berkenaan dengan pimpinan ideal dan kekuasaan, tentang ketidak-sempurnaan manusia, tentang
hakekat perang saudara dalam kerangka menegakkan kebenaran melawan keangkara-murkaan agar
terjadi perubahan yang nyata untuk menuju pada tata masyarakat yang lebih baik.

Kali ini kita akan membahas tokoh yang sangat menarik di dunia pewayangan yang paling banyak
mendapat perhatian dan berbagai intrepretasi simbolik yang sangat bervariasi yaitu tokoh Semar
dengan senjata ampuhnya "Kentut".
Semar adalah tokoh utama punakawan, arti dari punakawan adalah pana (puna) yang berarti
bijaksana dan kawan berarti teman jadi artinya adalah teman yang bijaksana - bersama-sama ketiga
anaknya yang bernama Gareng, Petruk, dan Bagong, secara umum dalam pewayangan digambarkan
sebagai berikut :

1. Semar selalu muncul pada tengah malam pada pagelaran "wayang purwo / kulit" semalam suntuk
yaitu setelah episode yang dinamakan goro-goro yang dalam goro-goro diceritakan terjadi banyaknya
kekacauan di muka bumi ini yang secara simbolik kemunculan Semar dan punakawan meredakan
kekacauan tersebut.

2. Pada saat pemunculannya Semar sang Dalang akan bercerita bahwa: "Semar punika saking basa
"samar", mapan pranyoto Kyai Lurah Semar punika wujudira samar. Yen den wastani jalu wandanira
kadi wanita. Yen sinebat estri, dadapuranira teka pria. Pramila katah ingkang klentu mastani. Yen ta
wonten ingkang hatanya menggahing sasipatanira hirung sunti mrakateni, mripat mrembes
mrakateni, lan sak panunggalnipun sedaya sarwa mrakateni".

Artinya: "Semar berasal dari kata samar. Memang sesungguhnya wujud dari Kyai Lurah Semar juga
samar. Kalau dikatakan laki-laki wajahnya mirip wanita. Kalau disebut wanita perawakannya seperti
laki-laki. Oleh karena itu banyak orang keliru menilai. Jika ada yang mencoba memerinci anggota
badannya akan melihat hidungnya mancung seperti wanita yang mempesonakan, matanya yang
basah juga mempesonakan, dan yang lain-lain-nya juga serba menarik perhatian".

3. Semar dan punakawan lainnya bukan berasal dari epik Ramayana dan Mahabharata sehingga
banyak pakar yang menyimpulkan bahwa tokoh tersebut asli Jawa / asli Indonesia yang sudah ada
sebelum agama Hindu dan Budha datang ke Indonesia.

4. Diceritakan asal usul Semar adalah dari telor yang:

a. Kulitnya menjadi Togog yang menjadi simbol hidup laksana kulit tanpa isi yang mementingkan
duniawi semata oleh karena itu ia mengabdi pada raksasa sebagai simbul angkaramurka.

b. Putihnya menjadi Semar yang menjadi simbol hidup yang penuh kesucian yang mementingkan isi
dari pada kulitnya. Ia selalu memihak kepada kebenaran dan keadilan dan meluruskan segala bentuk
penyelewengan oleh karena itu ia mengabdi kepada raja dan ksatria utama.

c. Kuningnya menjadi Manikmaya yang mencerminkan kekuasaan karena itu ia dinobatkan menjadi
rajanya dewa di Kahyangan "Junggring Salaka" sebagai Bhatara Guru.

5. Biarpun Semar itu manusia atau rakyat biasa yang menjadi punakawan para raja dan ksatria, tapi
dia memiliki kesaktian yang melebihi Bhatara Guru yang rajanya para Dewa. Semar selalu bisa
mengatasi kesaktian dari Bhatara Guru apabila ingin mengganggu Pendawa Lima yang dalam
asuhannya.

Banyak arti simbolik dalam masalah ini yang penulis percayai mungkin mendekati kebenaran adalah:
Bhatara Guru dalam agama Hindu adalah Dewa Shiva yang dipuja oleh pemeluk agama Hindu,
sedangkan Semar adalah tokoh asli Jawa/asli Indonesia yang mungkin juga dipuja saat sebelum
kedatangan agama Hindu.

Secara simbolik bisa diartikan bahwa existensi dari budaya atau nilai-nilai luhur dari Jawa kuno selalu
akan bisa mengatasi dari pengaruh Hindu dan secara simbolik selalu memenangkan tokoh Semar
terhadap tokoh-tokoh dewa Hindu. Dengan menerima keberadaan tokoh Semar agama Hindu bisa
berkembang di Indonesia.
Hal ini sekali lagi dilakukan oleh Sunan Kalijaga yang menggunakan senjata Puntadewa jamus
"Kalimasada" sebagai transisi dari Hindu menjadi Islam yaitu dengan menimbulkan kisah hutan
Glagahwangi yang mengisahkan pertemuannya dengan Puntadewa dan meng-Islamkan dengan
menjabarkan jamus Kalimasada sebagai Kalimat Sahadat.

Peng-Islaman masyarakat Jawa tidak melepas sama sekali tokoh yang sudah ada dari jaman sebelum
Hindu dari sekarang seperti Semar yang perilakunya dijadikan teladan ataupun panutan masyarakat
Jawa. Disadari oleh Sunan Kalijaga bahwa Islam hanya akan bisa diterima oleh masyarakat Jawa
apabila kesenangan orang Jawa akan "wayang kulit" tidak diganggu.

Kesenangan orang Jawa kepada "wayang kulit" bukan sekedar sebagai tontonon tapi suatu upaya
pelestarian dari petuah atau etika atau budaya Jawa yang berumur sangat tua yang masih hidup
sampai sekarang.

Karena itu wajah Islam di Jawa atau mungkin juga di Indonesia mempunyai ciri budaya yang berbeda
dengan Islam di Saudi Arabia tanpa mengurangi makna Islam yang mendasar.

6. Dengan berjalannya waktu tokoh Semar dan punakawan diterjemahkan sebagai simbol
kesederhanaan dari rakyat jelata. Kehidupan Semar sebagai Lurah/Kepala Desa yaitu suatu jabatan
kepemimpinan yang paling dasar/bawah dalam sistem pemerintahan kerajaan yang dipilih secara
demokratis oleh masyarakat pedesaan pada masa lalu.

Tokoh Semar selalu berada di antara rakyat kecil, kesederhanaannya telah membawa kepada sifat
kearifan dan kesucian pandangan yang bisa memberikan pandangan yang lebih murni tanpa bias
terhadap suatu permasalahan sehingga bisa menangkap kebenaran seperti apa adanya.

Diceritakan dalam "wayang kulit" Semar selalu bisa mengatasi permasalahan yang tidak mampu
diatasi oleh asuhannya Pendawa Lima ataupun para raja dan ksatria lainnya.

Contoh-contoh diatas adalah memberikan suatu gambaran bahwa tokoh Semar merupakan tokoh
yang paling banyak mendapat sorotan interpretasi simbolik dikarenakan keunikan, kesamaran dan
ketidak jelasannya.

Lebih lagi karena sebagai tokoh yang asli Jawa atau asli Indonesia yang oleh cendikiawan ataupun
budayawan Jawa di masa lalu disisipkan dalam epik Ramayana dan Mahabharata dalam cerita
"wayang kulit" tanpa harus merusak kisah kepahlawan yang ingin ditonjolkan bahkan memperkaya
nuansa etika yang lebih mendalam. Pada hakekatnya ini adalah ciri budaya sinkretik (pembauran)
yang terjadi hampir diseluruh Indonesia.

Diceritakan dalam pewayangan bahwa Semar mempunyai senjata yang sangat ampuh yaitu berupa
"Kentut" dan hal ini yang penulis ingin bahas kandungan simbolik yang semata-mata adalah menurut
pandangan penulis.

Sebagai suatu kisah kepahlawanan "wayang kulit" tidak lepas dari kisah kesaktian senjata dari para
pahlawannya untuk bisa memenangkan peperangan, seperti Arjuna dengan senjata panahnya
Pasopati, Bima dengan kuku Pancanaka, Sri Kresna dengan senjata Cakra dan sebagainya.

Bahkan dalam “wayang kulit” juga dimasukkan unsur keris yang nyata-nyata bukan senjata dari Hindia
tapi asli dari Jawa. Tradisi memuja senjata ini berlanjut pada budaya maupun sejarah Jawa dengan
pada masa-masa kejayaan kerajaan Hindu dan Islam seperti Ken Arok dengan keris Empu Gandring,
Raja Balambangan dengan gada Besi Kuning, Panembahan Senopati dengan tombak Kyai Plered, dsb.

Senjata sebagai alat memenangkan peperangan akan tetap penting artinya bahkan sampai pada masa
kekinian seperti bagaimana Sekutu menggunakan senjata nuklir untuk memenangkan peperangan
melawan Jepang. Perlombaan kecanggihan persenjataan juga terjadi pada masa perang dingin antara
Rusia dan Amerika beberapa tahun yang lalu. Sampai saat ini supremasi suatu negara tidak bisa lepas
dengan persenjataan yang dipunyai komparatif dengan negara lain. Oleh karena itu pembatasan
terbatas pengembangan persenjataan bukan saja tidak adil tapi juga tidak akan efektif. Kecuali
penghapusan semua jenis senjata atau sebagian jenis senjata tertentu diberlakukan secara global
untuk semua negara.

Apabila senjata itu kita terjemahkan sebagai tools atau peralatan untuk memenangkan suatu
peperangan ataupun persaingan, pengembangan peralatan ini tidak hanya terbatas kepada sesuatu
yang bersifat fisik peralatan peperangan militer. Dalam memenangkan persaingan di bidang bisnis dan
politik juga dikembangkan peralatan atau tools yang bukan secara fisik berupa senjata. Peralatan atau
tools bisa bervariasi dari penguasaan informasi, sistem, strategi, prosedur/peraturan, sumber daya
manusia yang berkualitas dsb.

Kenapa Semar mempunyai senjata "Kentut" bukan senjata yang bersifat fisik seperti panah, pedang,
tombak ataupun sejenisnya?

Beberapa sifat senjata "Kentut" nya Semar:

1. Kentut berasal dari dalam diri Semar sendiri, jadi senjata ini sifatnya adalah kekuatan yang muncul
dari pribadi Semar bukan alat yang diciptakan atau dibuat.

2. Semar menggunakan senjatanya bukan untuk mematikan tapi lebih untuk menyadarkan. Dalam
beberapa lakon atau cerita pewayangan Semar menggunakan senjata "Kentut" nya melawan resi /
raja / ksatria yang tidak bisa dikalahkan oleh Pandawa Lima yang akhirnya "badar" atau sadar kembali
pada perwujudannya yang semula, yang biasanya adalah Bhatara Guru, Bhetari Durga dsb.

3. Semar akan menggunakan senjata "Kentut" nya apabila para raja atau ksatria asuhannya tidak bisa
mengatasi masalah dengan cara yang konvensional atau menggunakan senjata biasa.

Sebagai makna simbolik "Kentut" itu sendiri mempunyai sifat-sifat:

1. Selalu mempunyai nuansa bersuara dan berbau.


2. Biasanya baunya busuk atau tidak enak.
3. Jadi "Kentut" itu juga bisa berarti suara yang berbau atau bernuansa kurang enak didengar maupun
dirasakan.

Jadi kalau kita kombinasikan dengan simbolik Semar sebagai suara "rakyat" kecil yang bercirikan
kesederhanaan, yang membawa kepada sifat kearifan dan kesucian pandangan, yang bisa
memberikan pandangan lebih murni tanpa bias terhadap suatu permasalahan, yang bisa menangkap
kebenaran seperti apa adanya.
Maka senjata "Kentut" nya Semar adalah bisa punya arti simbolik suara "rakyat" yang menyuarakan
kebenaran yang sifatnya memberikan kesadaran kepada para pimpinannya agar kembali pada jalan
yang benar sehingga suaranya bagi sang pimpinan adalah suara-suara yang tajam dan tidak enak
didengar dan kalau dirasakan sangat bau busuk karena keterus terangannya melaksanakan kritik yang
cenderung menyakitkan kalau dirasakan bagi sang pemimpin.

Kenyataannya apabila rakyat sudah mengutarakan isi hatinya, apalagi kalau menyampaikan
kemarahannya akan lebih dahsyat seperti laiknya "Kentut" Kyai Lurah Semar yang mau tidak mau
pemimpin harus sadar untuk memperbaiki diri (atau kepemimpinannya sebetulnya tidak diakui oleh
mayoritas rakyat dan rakyat mengakuinya semata-mata berdasarkan rasa takut, bukan tidak mungkin
bisa terjadi suatu kondisi “People Power” atau kekuatan rakyat).

Dalam kondisi kekinian, suara rakyat yang murni biasanya bukan dari lembaga kenegaraaan yang
formal (seperti lembaga legislatif maupun eksekutif) dikarenakan didalamnya sangat syarat dengan
kepentingan-kepentingan pribadi maupun kelompok. Sebagai akibatnya para pimpinan negara hanya
mendengarkan suara-suara yang merdu dan enak didengar saja yang mungkin jauh dari kenyataan
yang ada.

Rakyat mencari jalannya sendiri untuk menyuarakan hati nuraninya. Bisa melalui dpr jalanan berupa
demo-demo, melalui media massa, yang sangat popular saat ini adalah suara para blogger
(facebooker) didunia maya yang mungkin lebih mendekati realitas. Suara para blogger (facebooker)
ini bisa sangat menyakitkan seperti bau “kentut” bagi yang menerima kritik.

Bisa jadi suara ini adalah suara rakyat yang sebenarnya yang menghendaki keterbukaan dan kearifan
para pimpinan Negara untuk menerima saran dan kritik agar melakukan perbaikan dan "badar" atau
sadar kembali untuk menuju cita-cita masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera bagi semua rakyat
(bukan buat sebagian kecil rakyat yang dengan kedekatannya dengan kekuasaan mendapat
kesempatan yang lebih dari yang lain).

Senjata "Kentut"-nya Semar adalah secara simbolik bisa diartikan senjata pamungkasnya "rakyat"
untuk menyadarkan pemimpinnya agar kembali kepada jalan yang benar yaitu etika berbudi luhur
yang harus dipegang teguh.

Mencapai tujuan yang benar haruslah dengan cara yang benar, adalah sangat disayangkan apabila
suatu negara dipimpin oleh pimpinan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai. Nilai-nilai luhur
etika Jawa pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya selalu mengajarkan mencapai
tujuan yang baik menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera harus dengan sekaligus
mempraktekkan etika budi luhur agar terjadi Negara ideal yang panjang-punjung, panjang berarti
menjadi contoh negara lain, punjung berarti mempunyai kewibawaan yang tinggi.
Cerita “wayang kulit” terutama bersumber dari kisah kepahlawanan Mahabharata dan Ramayana,
oleh karena itu cerita didalamnya adalah kisah para pahlawan sebagai tokoh-tokoh para pimpinan
dalam kerajaan.

Kalau kita berbicara kerajaan, masalah suksesi atau pergantian kekuasaan di suatu negara atau
kerajaan adalah masalah yang sangat rumit. Bahkan kalau kita melihat sejarah perjalanan bangsa
Indonesia, kemunduran kerajaan-kerajaan Islam di masa lalu, suksesi adalah faktor utama yang telah
menyurutkan kekuasaan raja-raja di Indonesia digantikan oleh kekuatan kolonialisme Belanda.

Ada beberapa model suksesi atau pergantian kekuasaan dalam cerita “wayang kulit”. Walaupun
dalam konsep demokrasi pergantian kekuasaan akan terjadi setiap lima tahun sekali, masalah suksesi
masih relevan untuk dibicarakan dikarenakan pengaruh budaya feodal masih sangat besar di
Indonesia. Pimpinan negara kadang-kadang masih menganggap dirinya atau dianggap oleh
masyarakat seperti laiknya seorang raja.

Karena itu model pergantian kekuasaan berdasarkan model yang ada dalam cerita “wayang kulit”
masih relevan dikemukakan. Pada setiap suksesi yang terjadi lima tahunan sekali pada suksesi model
demokrasi, issue-issue budaya suksesi model “wayang kulit” kadang-kadang masih muncul beredar
dalam masyarakat..

Menurut pengamatan penulis, model pergantian kekuasaan berdasarkan model yang ada dalam cerita
“wayang kulit” paling tidak ada tiga model suksesi, yaitu:
1. Legitimasi Titisan Wisnu
2. Legitimasi Wahyu Keraton atau 'Wahyu Kerajaan'
3. Lengser Keprabon, Madeg Pandito.

Mari kita menelaah satu persatu dan mudah-mudah-an kita akan bisa menyingkap model yang mana
yang sering terjadi di Indonesia.

Legitimasi Titisan Wisnu

Dalam agama Hindu, Wisnu adalah dewa pemelihara yang tugasnya adalah memelihara dan menjaga
manusia dari ancaman angkaramurka atau ancaman dari ke-sewenang-wenangan. Dalam “wayang
kulit” diceritakan bahwa titisan (reinkarnasi) Wisnu yang akan memegang kekuasan setelah
mengalahkan raja yang angkaramurka. Wisnu akan menitis kepada raja yang menegakkan kebajikan.

Dalam wayang kulit periode Ramayana, Wisnu secara berurutan menitis (berinkarnasi) pada Arjuna
Sasra Bahu, kemudian Ramabargawa, dan kemudian Ramawijaya. Setiap kali Wisnu akan menitis
kepada seseorang pada periode berikutnya terjadi peperangan diantaranya, artinya Ramabargawa
membunuh Arjuna Sasra Bahu dan Wisnu menitis padanya kemudian Ramawjaya membunuh
Ramabargawa dan Wisnu menitis padanya.

Walaupun dalam naskah asli dari India tidak ada hubungan antara Ramayana dan Mahabharata di
dalam “wayang kulit” ada cerita bahwa Sri Kresna mengalahkan Ramawijaya dalam peperangan dan
Wisnu menitis kepadanya.
Kesimpulannya bahwa suksesi “legitimasi titisan Wisnu” tidak lain adalah model yang paling tua dalam
kepercayaan pra-agama, pada saat manusia masih menganut kepercayaan spiritual kuno seperti
animisme, yaitu:

o Untuk merebut kekuasan seseorang secara harafiah harus memenangkan peperangan yang berarti
membunuh musuhnya yang diharapkan secara spiritual jiwa musuhnya akan masuk dalam tubuhnya
yang menimbulkan kekuatan magis yang lebih agar bisa dipercaya untuk memimpin. Pada masyarakat
yang masih dalam keterbelakangan budaya, kepercayaan semacam ini masih ada sampai dengan saat
ini.

o Kemudian kenapa dewa Wisnu yang dipilih sebagai simbol, dikarenakan ciri atau sifat
kepemimpinan dari dewa Wisnu merupakan ciri ideal untuk seseorang pemimpin yang berkewajiban
memelihara dan melindungi rakyatnya dari sifat-sifat angkaramurka.

Dalam masa kekinian suksesi dengan kekerasan dengan cara membunuh pimpinan yang sedang
berkuasa bukanlah hal yang aneh, masih saja terjadi dalam bentuk pembunuhan bermotif politik.

Legitimasi Wahyu Keraton atau 'Wahyu Kerajaan'

Dalam pewayangan juga diceritakan bahwa agar seseorang bisa jadi raja atau pimpinan negara, dia
harus mendapatkan Wahyu Keraton (Wahyu Kerajaan). Ada beberapa cerita wahyu di dalam
pagelaran “wayang kulit” umpama saja: Wahyu Cakraningrat, Wahyu Purbasejati, Wahyu Makutha
Rama, Wahyu Senapati, dll.

Dalam salah cerita “wayang kulit” Wahyu Cakraningrat, diceritakan bahwa barang siapa mendapatkan
wahyu tersebut akan bisa menurunkan raja sampai dengan akhir jaman. Ada tiga pemuda yang
berambisi untuk mendapatkan wahyu tersebut, yaitu:
o Lesmana Mandrakumoro (putera dari Duryudono - raja Hastinapura) yang pada saat itu bisa
dikatakan sebagai putera mahkota kerajaan Hastinapura.
o Samba (putera dari Sri Kresna - raja Dwarawati) yang saat itu juga sebagai putra mahkota kerajaan
Dwarawati.
o Abimanyu (putera Arjuna - ksatria penengah Pandawa) yang saat itu bukanlah anak raja tapi adalah
anak ksatria.

Pada cerita akhirnya Abimanyu yang bisa mendapatkan Wahyu Cakraningrat yang biarpun dia sendiri
tidak menjadi raja karena gugur dalam peperangan Bharatayuda kemudian anaknya Parikesit yang
akhirnya menjadi raja di Hastinapura.

Kenapa akhirnya Wahyu Cakraningrat lebih senang berada pada Abimanyu sekali lagi ini adalah
kualitas moral dari pemimpin ideal yang dikehendaki adalah sifat-sifat dari Abimanyu yang saat itu
adalah memiliki jiwa ksatria yang tahan dari ujian-ujian moral agar bisa mendapatkan Wahyu
tersebut. Berbeda dengan sifat kedua putra mahkota Lesmana Mandroakumoro dan Samba yang
arogan dan sangat dimanjakan oleh kedua orang tuanya.
Wahyu dalam pengertian agama Islam hanya diterima oleh Nabi Muhammad ketika satu demi satu
ayat Al-Qur'an diturunkan dari Allah SWT kepada beliau. Pengertian Wahyu dalam hal ini adalah
berbeda dengan Wahyu dalam pengertian Islam (biarpun mayoritas manusia Jawa adalah Islam).

Wahyu Keraton oleh kalangan yang mempercayai adalah “cahaya cemerlang” yang apabila masuk
dalam tubuh seseorang, orang tersebut akan mempunyai aura yang bersinar dan penuh pengaruh dan
hanya dipunyai oleh seseorang yang dipastikan akan menjadi pimpinan atau raja.

Legitimasi Wahyu Keraton menurut penulis adalah sekedar sifat-sifat ideal yang dicari agar seseorang
bisa menjadi pimpinan atau raja dalam hal ini seperti sifat Wisnu pada legitimasi titisan Wisnu
sedangkan dalam cerita Wahyu Cakraningrat adalah sifat-sifat Abimanyu.

Bagi orang yang mendalami ilmu kejawen barangkali Wahyu Keraton secara harafiah memang ada
dan semata-mata ini adalah kepercayaan spiritual.

Relevansi pada saat ini: Setiap kali akan ada suksesi pimpinan negara selalu beredar bahwa Wahyu
Cakraningrat (atau nama “wahyu keraton” lainnya) akan turun kepada seseorang yang kemungkinan
akan memenangkan pertarungan dalam pemilihan kepala negara yang baru – ini secara nyata masih
kentalnya pengaruh “wayang kulit” dalam kehidupan manusia Jawa.

Lengser Keprabon, Madeg Pandito

Lengser Keprabon, Madeg Pandito adalah model suksesi secara damai yang terjadi didunia “wayang
kulit” dan sangat jarang terjadi dalam dunia nyata. Dalam dunia “wayang kulit” segmen cerita
Mahabharata sepengetahuan penulis terjadi tiga kali pergantian kekuasaan dengan cara ini, yaitu:

o Kresna Dwipayana atau yang kemudian bernama Resi Abiyasa - yang dipercaya oleh sebagian orang
sebagai pengarang buku Mahabharata - pada saat itu adalah raja Hastinapura yang menyerahkan
kerajaan kepada anaknya Pandudewanata dan menjadi pendeta/resi yang hidup sampai pada masa
Parikesit (cucu dari Arjuna - ksatria penengah dari Pandawa Lima).

o Pandudewanata – ayah dari Pandawa Lima adalah raja Hastinapura pada saat itu, suatu saat
mendapat kutukan – karena salah membunuh dua rusa yang sedang bersenggama yang ternyata
adalah pendeta suami istri yang sedang menyamar – bahwa Pandu akan menemui ajalnya pada saat
pertama bersenggama dengan istrinya. Kemudian Pandu menyerahkan kerajaan kepada kakaknya
yang buta Destrarata dan Pandu membawa kedua istrinya Dewi Kunti dan Dewi Madrim ketengah
hutan untuk menjadi pendeta. Beberapa tahun kemudian, Pandu meninggal dunia pada saat timbul
birahinya terhadap Dewi Madrim.

o Setelah Pandawa Lima memenangkan peperangan Bharatayuda, Puntadewa diangkat menjadi raja
Hastinapura. Pada saat Parikesit sudah dewasa, Puntadewa dan adik-adiknya memutuskan untuk
menyerahkan kekuasaan kepada Parikesit dan Pandawa Lima pergi mengembara untuk mendalami
spirituil sebagai pendeta (dalam cerita Pandawa Seda)

Bagi seorang pimpinan tertinggi menyerahkan kekuasaan kepada seseorang dengan damai dan ikhlas
kepada penggantinya diperlukan kualitas sifat kepemimpinan seperti Kresno Dwipayana,
Pandudewanata maupun Puntadewa yang mempunyai sifat introspeksi yang sangat mendalam
terhadap kemampuan dirinya sendiri dan kepercayaan yang besar pada pihak yang akan
menggantikan.

Hukum Karma adalah hukum sebab akibat yang pada hakekatnya adalah bahwa suatu peristiwa
tidaklah berdiri sendiri tapi adalah akibat dari suatu peristiwa ataupun perbuatan sebelumnya. Ada
peribahasa Jawa yang mengatakan “becik ketitik, ala ketara” yang artinya perbuatan baik ataupun
buruk pada suatu saat akan ketahuan. Bila kita kaji lebih lanjut adalah suatu penjabaran dari hukum
karma yang bisa diartikan apabila kita ingin mendapatkan “akibat” hasil yang baik, kita harus berbuat
“sebab” yang baik. Sebaliknya apabila perbuatan kita yang buruk atau telah melakukan “sebab” yang
buruk akan mendapatkan “akibat” yang tentunya juga buruk.

Hukum Karma buat penulis adalah sesuatu yang sangat logis, biarpun dari sudut pandang “spiritual”
agama bisa menjadi suatu yang sangat komplek. Hal ini disebabkan suatu peristiwa tidak begitu saja
bisa dilihat akar sebab akibatnya dikarenakan keterbatasan analisa kita, ataupun keterbatasan kita
dalam menggali informasi dari perbuatan seseorang di masa yang lalu yang tidak sepenuhnya kita
ketahui, untuk bisa menyimpulkan seseorang tertimpa malapetaka ataupun kebahagian semata-mata
akibat logis dari perbuatan masa lalunya.

Oleh karena itu hukum karma lebih efektif dijadikan sarana introspeksi mendalam dalam diri sendiri,
karena hanya diri kita sendiri yang tahu perbuatan kita di masa yang lalu apakah itu baik atau buruk
yang bisa mengakibatkan malapetaka ataupun kebahagiaan.

Hukum Karma adalah hukum yang berlaku umum baik seseorang sebagai “individu” ataupun sebagai
kelompok suatu “suku” atau “bangsa”. Akibat suatu perbuatan baik atau buruk bisa menimpa
seseorang secara “individu”. Apabila perbuatan baik atau buruk dilakukan oleh kelompok bangsa
secara berjamaah atau bersama-sama akan berakibat buruk pada kelompok “suku” atau “bangsa”
tersebut secara keseluruhan.

Cerita –cerita di “wayang kulit” adalah contoh yang sangat hidup dalam menjelaskan kejadian Hukum
Karma baik secara perorangan ataupun sebagai suatu kelompok bangsa. Penulis akan mengambil
cerita “wayang kulit” perihal kehidupan sebab akibat dari Riwayat Dewi Drupadi sebagai contoh
Hukum Karma secara perorangan dan Riwayat Bangsa Yadawa atau kerajaan Dwarawati dengan
rajanya Sri Kresna – titisan Wisnu – sebagai contoh Hukum Karma kelompok suku atau bangsa.

Riwayat Dewi Drupadi

Dalam Mahabharata Dewi Drupadi diceritakan bersuami lima yaitu kelima Pandawa Lima. Dalam
“wayang kulit”, dikarenakan budaya Jawa tidak mengenal poliandri, pada umumnya dikenal sebagai
istri Puntadewa saja. Dikisahkan Dewi Drupadi mengalami sebab-akibat dalam riwayat kehidupannya
sebagai berikut:

Sebab:
Diceritakan pada suatu saat Pandawa berhasil mendirikan kerajaan Amarta atau Indrapasta dengan
istana yang sangat megah dan dalam peresmiannya mengundang para Kurawa – saudara sepupu
sekaligus seteru dari Pandawa Lima – yang berjumlah seratus untuk melihat-lihat keindahan istana
dan sangat membuat kagum tapi juga rasa iri dari para Kurawa.

Pada saat Duryudana – raja para Kurawa atau raja Hastinapura pada saat itu – sedang melihat-lihat
keindahan taman yang begitu indah, dia tidak menyangka bahwa kaca yang begitu bening ternyata
adalah kolam, sehingga dia menginjak dan terperosok masuk ke dalam air. Dewi Drupadi yang
melihatnya tidak tahan untuk tertawa. Sebagai seorang raja, Duryudana merasa sangat malu
ditertawakan oleh Dewi Drupadi dan dalam hatinya menimbulkan rasa dendam.

Akibat:
Sekembalinya ke Hastinapura, timbul niat jahat dari Duryudana untuk mengakali para Pandawa agar
bisa merebut negara Amartapura dengan bantuan pamannya Patih Sengkuni dengan cara
mengundang Pandawa bermain dadu.

Dikarenakan Puntadewa memang senang main dadu, tanpa menaruh curiga undangan bermain dadu
dipenuhi. Dengan kelicikan Patih Sengkuni akhirnya Puntadewa dikalahkan yang pada akhirnya semua
kekayaannya, istananya, kerajaannya, bahkan adik-adoknya, sampai akhirnya bahkan istrinya Dewi
Drupadi ikut dipertaruhkan dan dikalahkan dimeja judi.

Pada saat Pandawa sudah tidak punya apa-apa, karena sudah dikalahkan di meja judi, para Kurawa
menjadi sangat gembira dan lupa diri. Pada saat itu Duryudana teringat pada saat dipermalukan oleh
Dewi Drupadi ketika berkunjung keistana Amarta. Dia meminta adiknya Dursasana mengambil Dewi
Drupadi dengan maksud akan dipermalukan didepan umum karena sudah menjadi milik mereka.
Tentu saja Dewi Drupadi tidak mau datang ketempat perjudian, tapi diseret oleh Dursasana dengan
cara menyeret rambutnya yang terurai karena sedang haid.

Sesampainya di tempat perjudian Durjudana mengundang Dewi Drupadi untuk duduk dipangkuannya.
Tentu saja Dewi Drupadi tidak mau menuruti kehendak Duryudana, oleh karena itu Duryudana
memerintahkan Dursasana menelanjangi Dewi Drupadi.

Dewi Drupadi kemudian berdoa memohon pertolongan dewa Wisnu, dan atas pertolongannya setiap
kali kain Dewi Drupadi tertanggal di dalamnya selalu ada lapisannya, sampai kain-nya bertumpuk-
tumpuk. Dursasana kelelahan tanpa berhasil menelanjangi Dewi Drupadi yang akhirnya sadarlah
semuanya bahwa Dewi Drupadi mendapat perlindungan dewata.

Peristiwa ini menyebabkan, sebab yang lain:


o Bhima bersumpah akan meremukkan paha Duryudana karena lancang meminta Dewi Drupadi
duduk dipangkuannya.
o Bima juga bersumpah akan menghirup darah Dursasana karena perlakuan yang tidak senonoh dari
Dursasana terhadap Dewi Drupadi.
o Dewi Drupadi bersumpah tetap akan menguraikan rambutnya dan tidak akan menyanggulnya
sampai dengan dicuci dengan darah Dursasana karena perlakuan yang di luar batas kesopanan dari
Dursasana.

Sumpah tersebut terlaksana pada saat terjadi perang Bharatayuda (Note: Cerita Mahabharata sendiri
ditulis beberapa abad sebelum Masehi, jadi nilai-nilai yang bersifat “barbarian” masih ada di
dalamnya seperti apa yang dilakukan oleh Bima terhadap Dursasana dalam peperangan – tentunya
tidak bisa diterima sebagai nilai-nilai kemanusiaan pada saat ini).

Riwayat Bangsa Yadawa

Diceritakan bahwa Sri Kresna – penasehat Pandawa – adalah juga raja Dwarawati yang juga titisan
Wisnu, telah berhasil memerintah negaranya menjadi negara yang adil dan makmur. Cuma sayangnya
kemakmuran yang telah dihasilkan menyebabkan rakyatnya menyukai pesta-pora, berolok-olok,
menghirup minuman keras, manja, dan cenderung meremehkan pihak lain.
Note:
1. Kecenderungan seperti tersebut diatas saat ini juga terjadi di negara Barat, yang kemakmuran
negaranya menjadikan rakyatnya mengidap penyakit sombong, senang pesta pora dengan minuman
keras, cenderung dekaden yang pada saatnya bisa membawa kepada kehancuran masyarakatnya
sendiri.
2. Kalau untuk kondisi di Indonesia: yang adigang, adigung, adiguna adalah para pemimpinnya yang
secara berjamaah melakukan tindakan korupsi dengan bangga dan tanpa rasa malu yang telah
menyengsarakan lebih dari 100 juta rakyat Indonesia berada dalam kondisi dibawah garis kemiskinan.
Pada akhirnya kalau tidak ada perubahan yang nyata, bisa terjadi hukuman terhadap bangsa
Indonesia secara keseluruhan. Rakyat juga ikut andil menciptakan pemimpin yang seperti ini dengan
melakukan pilihan yang salah dan melakukan pembiaran terhadap penyimpangan yang terjadi.
Malahan kalangan rakyat biasapun juga ikut-ikutan korupsi secara kecil-kecilan (kecil atau besar yang
dikatakan mencuri tetap saja mencuri).

Sebab:
Pada suatu saat ada seorang pendeta pendatang yang konon sangat sakti berkunjung ke Ibukota
negara Dwarawati. Samba – sang putra mahkota – yang memang terkenal manja dan sombong
mengajak kawan-kawannya untuk memperolok-olok sang pendeta dengan Samba pura-pura berperan
sebagai wanita yang sedang hamil besar, dan menemui sang pendeta dan minta diramal anak yang
sedang dikandungnya apakah akan lahir pria atau wanita.

Sang pendeta tahu sedang diperolokkan dan menjawab: "Anak yang akan lahir adalah sebuah gada
yang akan menjadi sebab kehancuran bangsamu yang senang memperolok-olok orang lain dan pesta
pora".

Akibat:
Samba dan kawan-kawannya sangat terkejut dengan jawaban sang pendeta dan ternyata setelah
dibuka, hamil buatan Samba terdapat sebuah gada besi. Nasi sudah menjadi bubur dan ayahnya – Sri
Kresna – menasehatkan agar gada besi tersebut dihancurkan, dibuang dan disebarkan dipantai.

Konon pada saat dihancurkan ada kepingan kecil yang tertinggal, yang dipungut oleh seorang
pemburu untuk dijadikan ujung anak panah, yang pada saatnya akan jadi penyebab terbunuhnya Sri
Kresna yang secara tidak sengaja sang pemburu memanah telapak kaki Sri Kresna dengan anak panah
tersebut.

Akibat:
Besi yang disebarkan dipantai secara perlahan menjadi tanaman rumput. Pada suatu saat bangsa
Yadawa melakukan pesta pora dengan memimum minuman keras – di lokasi pantai tersebut –
sehingga timbul perkelahian diantara mereka sendiri yang apabila mencabut rumput, rumput tersebut
berubah menjadi gada yang di pergunakan mereka untuk saling bunuh membunuh, sehingga tidak
satupun prajurit Yadawa yang hidup. Bahkan diceritakan lautan telah meluap (tsunami) dan
menenggelamkan negara Dwarawati dengan isi-isinya.
Dari contoh riwajat Dewi Drupadi dan bangsa Yadawa, penulis ingin mengemukakan bahwa Hukum
Karma bisa menimpa manusia secara individu maupun secara kelompok karena telah berbuat
kesalahan-kesalahan.

Dalam “wayang kulit” sebagai simbolisasi kehidupan, tidak ada satupun perbuatan kita yang lolos dari
hukum karma, “becik ketitik, ala ketara”, baik atau buruk akan ada akibatnya yang pada puncaknya
adalah menjadi penyebab kematian kita bahkan juga menentukan cara kematian kita apakah dengan
cara yang mudah/tenang atau cara yang sulit, tersiksa, dan menyakitkan ataupun kemusnahan suatu
bangsa.

Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan dalam kitab suci Al-Qur’an, Surat Az Zalzalah ayat (7) Barang
siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. (8) Dan
barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya
pula.

Sebagai penutup dan kesimpulan, tulisan panjang (sepuluh sesi) tentang arti “etika dan simbolik
dibalik wayang kulit” bahwa relevansi cerita wayang kulit punya cakupan yang sangat luas, bisa
diterjemahkan sesuai dengan jamannya. Hal ini hanya bisa terjadi apabila kita betul-betul mendalami
dan meresapi isi cerita.

Seperti yang dikemukakan dalam Serat Centhini Jilid 10 bahwa nonton wayang harus mengetahui
cerma (kulit dan tulang yaitu bahan yang dipakai untuk membuat wayang kulit) dan cermin (kaca).
Bukan hanya cerma (kulit dan tulang) sebagai simbul harafiah fisiknya saja atau yang kasat mata saja
tapi juga harus bisa melihat cermin (kaca) dari sari cerita ki dalang atau makna simbolik dibaliknya
yang berusaha mengungkap seluk beluk kehidupan yang ajaib ciptaan Allah SWT.
Wayang Kulit - Mitos atau Realitas?

Tulisan Etika dan Simbolik Dibalik Wayang Kulit sebetulnya sudah selesai pada tulisan ke 10. Pada sesi
11 ini rencananya hanya akan berisi Daftar Pustaka yang mendasari tulisan saya. Tapi karena saya
membaca buku “Atlantis The Lost Continent Finally Found” karangan Prof. Arysio Santos (Geolog &
Fisikawan Nuklir Brazil), saya ingin mengupas sedikit tentang mitos dan realitas dari keberadaan
wayang kulit di Indonesia sehubungan dengan pendapat bahwa benua Atlantis adalah Indonesia.
Disamping tentunya juga Daftar Pustaka yang mendasari keseluruhan tulisan perihal wayang kulit ini.

Dalam bukunya Prof. Arysio Santos meyakini bahwa Atlantis yang hilang adalah Indonesia pada saat
sebelum jaman es, ketika pulau-pulau di Indonesia masih bersatu dengan Asia yang merupakan pusat
peradaban manusia (note: lihat peta). Dengan teori geologi yang dibuktikan dengan pengamatan
satelit, suatu peradaban yang maju yang mungkin terjadi pada masa sebelum jaman es hanya bisa
terjadi di daerah tropis. Sedangkan pada masa itu daerah subtropis seperti Eropa masih ditutupi es,
tidak memungkinkan suatu kehidupan apalagi suatu peradaban yang maju. Dari segi logika masuk
akal, tentu saja teorinya masih harus mendapatkan dukungan bukti-bukti arkeologi yang lebih nyata.

Note:
1). Atlantis sendiri adalah cerita dari Plato (427SM – 347SM) tentang keberadaan benua Atlantis yang
sudah punya peradaban tinggi yang tengelam didasar laut, kemudian para pahlawan berhati luhur
yang selamat menyebar membawa peradaban keseluruh dunia.
2) Benua Amerika adalah “invisible” bagi peradaban kuno yang berada di Asia maupun Eropa, sampai
ditemukan oleh Christopher Columbus pada tahun 1492. Oleh karena itu Samudra Atlantik oleh
peradaban kuno termasuk didalamnya Samudra Pacific. Samudra Pacific baru ada setelah ditemukan
Benua Amerika.

Yang menarik buat saya di dalam bukunya, Prof. Arysio Santos becerita banyak tentang sumber cerita
pewayangan yaitu Ramayana, Mahabharata, dan Pustaka Raja Purwa. Tiga sumber utama cerita
pewayangan di Jawa. Bahkan menterjemahkan kerajaan Alengkadireja di Ramayana terletak di
Sumatera sebelum gunung Toba meletus bukan Sri Langka yang sering disebut oleh sumber di India.

Note:
a. Pustaka Raja Purwa karangan R. Ng. Ronggowarsito (1802 – 1873) adalah serat pedalangan versi
Solo, sedangkan versi Jogja adalah Serat Purwakhanda karangan Sri Sultan Hamengkubuwana V (1822
– 1855), sedangkan versi Mangkunegaran adalah Serat Pedhalangan Ringgit Purwa hasil karya KGPAA
Mangkunegara VII (1916 – 1944).
b. Para dalang di Jawa lebih melihat buku Pustaka Raja Purwa, Purwakhanda, atau Pedhalangan
Ringgit Purwa sebagai sumber cerita wayang, dibandingkan dengan buku Ramayana atau
Mahabharata.

Hal ini yang menimbulkan suatu spekulasi bagi saya bahwa ada kemungkinan memang ada kaitannya
antara Pustaka Raja Purwa dengan Ramayana dan Mahabharata. Bukan dalam pengertian saat ini
yang umum berlaku, yaitu Pustaka Raja Purwa adalah cerita yang dikembangkan dari cerita Ramayana
dan Mahabharata. Tapi malahan sebaliknya, sumber ceritanya telah berkembang di Jawa secara turun
temurun dalam bentuk pementasan wayang kulit, kemudian dibukukan menjadi Pustaka Raja Purwa,
Purwakanda dan Pedalangan Ringgit Purwa. Sama sekali proses yang berbeda dengan keberadaan
Ramayana dan Mahabharata yang berasal dari India walaupun menceritakan hal yang sama.

Kalau kita mengamati cerita wayang di Pustaka Raja Purwa / Purwakanda / Pedhalangan Ringgit
Purwa adalah sangat detil, jauh lebih detil dari cerita Ramayana dan Mahabharata. Kalau kita
mengacu pada teori Prof. Arysio Santos bahwa pusat peradaban berasal dari Indonesia, justru orang-
orang India yang berasal dari Indonesia yang selamat dari akibat tsunami dikarenakan meletusnya
gunung Krakatau yang mengakhirinya jaman es, mengembangkan peradaban di India, kemudian
menulis cerita pra-tsunami dalam dua episode cerita yaitu buku Ramayana dan Mahabharata, oleh
karena itu lebih ringkas dibandingkan dengan sumber cerita yang sama di Jawa. Sudah barang tentu
cerita ataupun legenda akan lebih detil apabila lebih dekat dengan sumbernya.

Karena pusat peradaban tengelam, yang selamat adalah mereka yang hidup di dataran tinggi yang
saat ini adalah pulau-pulau di Indonesia saat ini. Sedangkan yang hidup di pulau Jawa tidak mungkin
meneruskan peradaban tulis yang sudah ada dan tenggelam, jadi cerita didalam bentuk legenda dari
mulut ke mulut dari generasi ke genersai maupun lebih diabadikan lagi dalam bentuk pementasan
wayang kulit yang akhirnya menjadi buku Pustaka Raja Purwa maupun yang lain-lainnya.

Baru belakangan sejalan dengan tumbuhnya kerajaan Hindu di Jawa, buku Ramayana dan
Mahabharata datang bersamaan dengan pengaruh penyebar agama Hindu dari India. Keberadaan
buku Ramayana dan Mahabharata di Jawa hanya sebagai pembanding, karena cerita yang sama dan
lebih lengkap sudah ada di Jawa dalam bentuk pementasan wayang kulit.

Teori Prof. Arysio Santos, bisa merupakan suatu cerita baru tentang legenda para pahlawan berbudi
luhur yang bersumber dari peradaban Atlantis yang hilang, yang kemudian menyebar ke seluruh
dunia. Menurut bukunya sudah ada paling tidak tiga siklus peradaban dunia yang hilang dikarenakan
bencana alam yang sangat besar:

1. Bencana tsunami maha besar diakibatkan oleh meletusnya gunung Toba yang terjadi pada kurang
lebih 75.000 tahun sebelum Masehi. Sehingga gunung Toba menyisakan kaldera sangat luas yang
berupa danau Toba saat ini. Peradaban pra tsunami ini kemungkinan adalah yang diceritakan dalam
episode Ramayana.

2. Bencana tsunami maha besar diakibatkan oleh meletusnya gunung Krakatau yang mengakhiri
jaman es pada kurang lebih 11.000 tahun sebelum Masehi. Yang mengakibatkan gunung Krakatau
tenggelam dan hanya kelihatan puncaknya di Selat Sunda saat ini. Peradaban pra tsunami ini
kemungkinan adalah yang diceritakan dalam episode Mahabharata.

3. Bencana tsunami maha besar diakibatnya mencairnya es di puncak gunung Himalaya yang terjadi
sekitar 3.000 tahun sebelum Masehi yang mejadikan peta India dan Indonesia seperti saat ini. Periode
rekonstruksi peradaban yang hilang yang menjadi peradaban yang ada seperti sekarang ini.

Dulunya India dan Indonesia adalah menjadi suatu kesatuan kerajaan maha luas yang berpusat di
Indonesia yang saat ini diperkirakan sebagai Atlantis yang tenggelam di Palung Sunda (Laut China
Selatan dan Laut Jawa) ketika pulau-pulau di Indonesia masih bersatu dengan benua Asia.

Hal ini menimbulkan suatu spekulasi bahwa kisah Ramayana dan Mahabharata adalah memang kisah
sebenarnya yang bukan terjadi di India. Karena sampai saat ini belum diketemukan suatu bukti yang
cukup meyakinkan bahwa cerita ini terjadi di India. Ramayana dan Mahabharata adalah masih
merupakan mitos di India.

Begitu juga sama kondisinya di Jawa, cerita pewayangan begitu hidup di masyarakat Jawa, dan kita
bisa memetakan tempat-tempat di Jawa yang dari cerita turun-temurun merupakan tempat
terjadinya cerita Ramayana dan Mahabharata. Hal ini juga masih mitos yang belum meyakinkan untuk
dijadikan suatu dasar kebenaran sebagai fakta sejarah. Dalam bukunya The History of Java – Thomas
Stamford Rafles memuat peta Jawa berdasarkan mitos Mahabharata (note: lihat peta).
Tentu saja teori Prof. Arysio Santos, bisa jadi akan menjungkirbalikkan cerita asal usul manusia dan
peradaban dunia. Karena teori Prof. Arysio Santos walaupun masih merupakan teori yang harus
dibuktikan dengan penemuan arkeolgi yang lebih meyakinkan. Bagi saya, teori ini bisa menjelaskan
banyak legenda-legenda aneh yang ada di masyarakat Jawa pada khususnya, umpamanya:

1. Buku Babad Tanah Jawi menceritakan silsilah raja-raja Jawa berasal dari Nabi Adam dan seterusnya
termasuk para dewa dan tokoh-tokoh dunia pewayangan sampai dengan raja-raja di Mataram,
mungkin bukan sekedar mitos, didalamnya mengandung realitas, kalau memang peradaban berasal
dari Indonesia.

2. Pustaka Raja Purwa adalah kisah pewayangan versi Jawa, yang ada kemungkinan berupa kisah yang
memang berdasarkan realitas terjadi di bumi Indonesia pada masa sebelum Atlantis tenggelam. Cerita
ini karena diabadikan dalam bentuk budaya wayang kulit secara turun temurun, bisa bercerita jauh
lebih detil dari pada buku Ramayana dan Mahabharata versi India.

3. Kecenderungan bangsa Indonesia yang sinkretis adalah karena sumber peradaban ada di Indonesia
(Ibu Peradaban). Jadi peradaban yang datang kemudian bukan sesuatu yang aneh buat bangsa
Indonesia, pasti bisa diterima, tapi peradadan asli bangsa Indonesia masih tetap lestari. Ini adalah
makna cerita legenda Sangkuriang di daerah Sunda dan legenda cerita Watu Gunung didaerah Jawa
Tengah/Jawa Timur. Anak yang memperistrikan ibunya sendiri, sang anak tidak percaya karena telah
bekeliling dunia, selalu berjalan menuju matahari terbit, sang ibu yang awet muda mengajukan syarat
yang berat buat sang anak kalau mau memperistrikan ibunya yang akhirnya sang anak gagal
memperistrikan ibunya. Buat penulis makna legenda ini adalah kecenderungan budaya sinkretis
bangsa Indonesia. Anak yang hilang setelah keliling dunia kembali pada Ibu Peradaban.

4. Cerita tentang tempat-tempat terjadinya kisah pewayangan memang tejadi di Indonesia, banyak
terdapat didesa-desa di Jawa yang diceritakan secara turun temurun, mungkin bukan mitos belaka
tapi ada unsur realitasnya, walaupun memerlukan pembuktian lebih lanjut.

5. Cerita Sunan Kalijaga ketemu Yudhisthira di hutan Glagahwangi, mungkin bukan cerita bikinan, tapi
memang realitas. Apa seseorang yang sudah menjadi wali berbohong? Karena peradaban sprituil yang
tinggi memungkinkan seseorang hidup abadi atau berumur sangat panjang. Peradaban sprituil yang
semacam ini masih sangat hidup di Jawa, yaitu explorasi roh menuju kepada kesempurnaan, karena
roh bersifat abadi. Agama yang datang belakangan, sudah banyak yang meringankan ibadah kepada
Yang Maha Kuasa, walaupun sudah diringankan masih banyak yang kesulitan untuk menjalankan.
Apalagi ibadah yang bersifat menyempurnakan roh yang sangat jauh lebih berat, yang saat ini
kebanyakan dijalankan oleh para sufi. Pada umumnya agama-agama yang datang belakangan
melarang pembicaraan masalah roh. Sedangkan pengetahuan spiritual di Jawa adalah justru roh harus
diexplorasi menuju kesempurnaan kembali ke pada asal mulanya. Mungkin pengetahuan mengenai
roh pada masa lalu telah banyak disalah gunakan oleh manusia, sehingga terjadi hukuman berupa
hancurnya peradaban manusia seperti gelombang tsunami dengan tenggelamnya peradaban Atlantis.

6. Penduduk Jawa umumnya sangat trumatis pada laut selatan. Ada kemungkinan merupakan sisa
trumatis tsunami pada masa lalu, adat istiadat para penduduk pantai selatan Jawa yang menunjukkan
trauma terhadap laut:
a. Adanya legenda Nyai Loro Kidul penguasa laut selatan yang ditakuti.
b. Ada adat istiadat yang mengharuskan semua rumah di daerah pantai laut selatan bahkan
hampir di seluruh rumah di pedesaan di Yogyakarta harus menghadap ke selatan. Bukan
menghadap ke jalan, tapi harus menghadap ke selatan. Ini adalah suatu bentuk kewaspadaan
terhadap bahaya yang berasal dari laut.
c. Ada larangan adat istiadat mendirikan bangunan terlalu dekat dengan pantai (sekitar 1 km
dari pantai dibiarkan kosong).

Sudah barang tentu larangan adat-istiadat yang masih saya rasakan pada saat saya kecil sudah
tidak digubris lagi saat ini, oleh karena itu jangan disalahkan kalau Pantai Parangtritis dan Pantai
Pangandaran disapu tsunami.

7. Orientasi darat bangsa Indonesia - pada umumnya walaupun hidup dikepulauan bangsa Indonesia
berorientasi ke darat terutama pulau-pulau di Indonesia bagian Barat. Teori Prof. Aryso Santos bisa
menjelaskan, karena masa lalu bangsa Indonesia adalah suatu kerajaan benua yang besar, sampai
saat ini orientasinya adalah negara benua bukan negara laut. Ini terbukti dengan pengembangan
Angkatan Darat yang lebih maju, bukan Angkatan Lautnya. Pembangunanpun berorientsai ke darat
bukan pengembangan pembangunan kelautan. Bahkan menyebut tanah tumpah darah Indonesia
sebagai ibu pertiwi (pertiwi berarti tanah). Walaupun pada masa kerajaan Majapahit berhasil dirubah,
setelah itu kembali ke asal mulanya lagi. Ini sejalan dengan teori psikologi yang mengatakan bahwa
seseorang dibawah tekanan cenderung akan memperlihakan pembawaan aslinya. Tekanan
penjajahan Belanda menyebabkan suatu reaksi otomatis dari bangsa Indonesia berorientasi ke darat
kembali. Kembali pada asal mula kebiasan awal bangsa Indonesia sebagai kerajaan benua. Hal ini
masih sangat sulit dirubah sampai saat ini, sampai bangsa Indonesai bisa menghilangkan trauma
penjajahan, kembali menjadi bangsa merdeka yang mengembangkan orientasinya secara rational
sesuai dengan realitas yang ada.

Buku dari Prof. Arysio Santos ini bisa merupakan titik balik dari persepsi asal mula peradaban manusia
yang selama ini selalu di claim berasal dari Barat dengan para filsuf Yunani sebagai sumbernya. Tapi
Plato sendiri bercerita bahwa sudah ada peradaban jauh sebelum itu yaitu di benua Atlantis yang
tenggelam dua kali. Hal ini yang secara spekulatis bisa diterjemahkan sebagai budaya Ramayana dan
budaya Mahabharata yang memang ada jeda waktu antara keduanya. Sedangkan jeda waktu antara
kisah Ramayana dan kisah Mahabharata ini tidak ada yang tahu persis. Kemungkinan besar adalah
siklus peradaban manusia diantara bencana tiga tsunami besar yang pernah menimpa dunia seperti
yang dikemukakan oleh Prof. Arysio Santos.

Bagi kita di bangsa Indonesia, menurut penulis bisa menyikapi penemuan Prof. Arysio Santos dengan
paling tidak dua hal, yaitu:

1. Mencari bukti yang lebih konkrit bahwa teori ini benar yang bisa dijadikan modal sebagai
kebanggaan nasional. Ini adalah tugas berat dari arkeolog maupun sejarawan Indonesia. Karena apa
yang kita ketahui saat ini tentang Indonesia dimasa lalu lebih banyak bersumber dari literatur Belanda
dan hasil penyelidikan para peneliti Barat yang ada kemungkinan bias dengan superiority bangsa
Barat yang cenderung merendahkan kemampuan bangsa Timur dan menganggap bahwa peradaban
subtropis lebih unggul dibandingkan dengan peradaban tropis.

2. Indonesia pernah tenggelam dalam tiga tsunami super dahsyat. Menurut buku ini pada tsunami
letusan gunung Krakatau yaitu siklus ke-2 gelombang tsunami yang menengelamkan Atlantis, 20 juta
nyawa melayang, jauh lebih dahsyat dari tsunami di Aceh yang merengut 400 ribu nyawa. Peradaban
manusia mulai dari nol kembali, karena sisa-sisa yang hidup tidak cukup mampu merekam semua
peradaban yang ada dan melaksanakan dalam bentuk nyata, oleh karena hanya tersisa legenda-
legenda, yang sudah barang tentu secara terus menerus dari generasi ke genersi mengalami distorsi.
Bisa disimpulkan bahwa kawasan di Indonesia sangat rawan tsunami. Sungguh mengherankan bahwa
kesadaran adanya bahaya tsunami baru terjadi setelah ada tsunami di Aceh yang dalam periode
sangat singkat merenggut 400 ribu nyawa. Ini adalah kurang lebih 5.000 tahun setelah terjadi tsunami
hebat akibat melelehnya gunung es Himalaya (menurut Prof. Arysio Santos).
Sebagai kewaspadaan, bukan tidak mungkin tsunami maha dahsyat akan melanda Indonesia kembali
yang akan menyisakan lebih sedikit pulau lagi yang bernama Indonesia. Ini sangat mungkin terjadi
apabila, manusia Indonesia tidak mau kembali pada tingkahlaku yang lebih baik dari yang saat ini.
Karena yang selamat menurut legenda Atlantis dari Plato adalah para pahlawan berhati luhur yang
menyebarkan perdaban keseluruh dunia. Ini sangat relevan dengan peringatan R. Ng. Ronggowarsito
dalam Serat Kalatida untuk selalu eling dan waspada. Atau lengkapnya:
• Nawung krida, kang menangi jaman gemblung, iya jaman edan, ewuh aya kang pambudi, yen
meluwa edan yekti nora tahan.
Artinya: Untuk dibuktikan, akan mengalami jaman gila, yaitu jaman edan, sulit untuk mengambil
sikap, apabila ikut gila/edan tidak tahan.
• Yen tan melu, anglakoni wus tartamtu, boya keduman, melik kalling donya iki, satemahe kaliren
wekasane.
Artinya: Apabila tidak ikut menjalani, tidak kebagian untuk memiliki harta benda, yang akhirnya bisa
kelaparan.
• Wus dilalah, karsane kang Among tuwuh, kang lali kabegjan, ananging sayektineki, luwih begja
kang eling lawan waspada.
Artinya: Sudah kepastian, atas kehendak Allah SWT, yang lupa untuk mengejar keberuntungan, tapi
yang sebetulnya, lebih beruntung yang tetap ingat dan waspada (tetap berbudi pekerti baik dan
luhur).

Setelah membaca buku ini, mitos-mitos yang saya baca dengan kesenangan saya membaca naskah-
naskah Jawa Kuno yang sudah dilatinkan (Note: Termasuk membaca buku-buku almarhum ayah saya
yang semuanya pakai huruf Jawa), mitos-mitos ini seolah-olah menemukan realitasnya. Banyak mitos-
mitos menjadi masuk akal apabila peradaban manusia memang berasal dari Indonesia. Akan
menemukan realitasnya apabila kita bisa menemukan temuan-temuan arkelologi yang lebih
meyakinkan.

Karena sejarah bangsa Indonesia sebelum tarih Masehi masih sangat gelap, belum ada fakta yang
konkrit. Hanya samar-samar dari berbagai sumber ada negara yang bernama Jawa Dwipa yang
diartikan sebagai pulau Jawa punya peradaban yang sangat maju dan kaya raya di masa lalu.

Daftar Pustaka (Untuk keseluruhan tulisan Etika dan Simbolik Dibalik Wayang Kulit ke 1 s/d ke 11):

1. Dr. Hasim Amir M.A. – 1991. Nilai-Nilai Etis Dalam Wayang, Penerbit Pustaka Sinar Harapan.
2. Nyoman S. Pendit – 1970. Mahabharata. Penerbit Bhratara.
3. Nyoman S. Pendit – 2009. Ramayana, Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
4. R. Rio Sudibyoprono – 1991, Ensiklopedia Wayang Purwo, Penerbit Balai Pustaka.
5. Prof. Danys Lombard – 1996. Nusa Jawa - Silang Budaya Jilid 1,2,3, Penerbit P.T. Gramedia Pustaka
Utama (terjemahan dari Bahasa Perancis ke Indonesia oleh Winarsih Arifin, Rahayu S. Hidayat, Jean
Coutteau – Forum Jakarta Paris).
6. Prof. Drs. Suwadji Bastomi :
a. 1992. Gelis Kenal Wayang. Penerbit IKIP Semarang Press.
b. 1996. Gemar Wayang. Penerbit IKIP Semarang Press.
c. 1996. Gandrung Wayang. Penerbit IKIP Semarang Press.
7. Ir. Sri Mulyono Djojosupadmo, 1975, Apa dan Siapa Semar, Penerbit P.T. Gunung Agung.
8. Sunan Pakubuwono V – 1998, Serat Centini Latin jilid I s/d 12, Penerbit Yayasan Centini, Yogyakarta
(transkripsi dari huruf Jawa ke Latin oleh Kamajaya)
9. Irvine, David – 1996, Leather Gods & Wooden Heroes, Published by Times (Singapore).
10. Prof. Arysio Santos – 2010, Atlantis - The Lost Continent Finally Found, Penerbit Ufuk Press,
Jakarta. (terjemahan dari Bahasa Inggris ke Indonesia oleh Hikmah Ubaidillah)
11. Supriyono dkk. – 2008, E-Book – Pedalangan Jilid 1 dan 2, Penerbit Direktorat Pembinaan Sekolah
Menengah Kejuruan.
12. Raffles, Thomas Stamford – 2008, The History of Java, Penerbit Narasi, Yogyakarta (terjemahan
dari Bahasa Inggris ke Indonesia oleh Eko Prasetyaningrum, Nuryati Agustin, Idda Qoryati Mahbubah).
13. Olthof, W.L. – 2008, Babad Tanah Jawi, Penerbit Narasi, Yogyakarta (terjemahan dari Bahasa
Belanda ke Indonesia oleh HR Sumarsono)

Referensi Website:

1. Search Engine: http://www.google.co.id/


2. Penterjemah dari Bahasa Inggris : http://translate.google.co.id/
3. Penterjemah dari Bahasa Kawi/Jawa: http://www.bausastra.com/
4. Gambar Wayang diambil dari:
a. Koleksi Pribadi (WP-Collection)
b. http://bharatayudha.multiply.com/
c. http://tokohwayangpurwa.blogspot.com/
5. Program untuk modifikasi gambar wayang: Microsoft Office Picture Manager, ACDSee Photo
Manager, Adobe Photoshop CS2.

(Tamat)

You might also like