You are on page 1of 50

Konsep Diri pada Wanita Dewasa Awal yang

Melakukan Hubungan Seksual Pranikah

Di susun oleh:

Mariyana 705070015

Alexandra Gabriella A. 705070020

Alex Nugroho 705070061

Anne Kumala Sari 705070065

Melissa Jane Wisan 705070066

Bobby Hartanto 705070074

Herdina Wulansari Pratiwi 705080076

Fakultas Psikologi

Universitas Tarumangara

Jakarta

2009

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Pada hakekatnya perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh

hasrat, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Menurut Johan (1993), ada

tiga tipe hubungan seksual antara lain hubungan seks yang terjadi antara pria

(homoseksual), hubungan seks antar wanita (lesbian) dan hubungan seks antara

pria dan wanita. Menurut Reuben (Wirawan, 1981) seks mempunyai tiga fungsi.

Pertama, tujuan reproduksi yaitu untuk memperoleh keturunan. Kedua, seks untuk

penyataan cinta yaitu seks yang dilakukan dengan ikatan cinta. Ketiga, seks untuk

mengalami kesenangan yaitu hubungan seks dengan menghayati hubungan yang

lama dan mampu mengalami kenikmatan tanpa merugikan salah satu pihak.

Hubungan seksual adalah salah satu keadaan fisiologis yang menimbulkan

kepuasaan fisik, dan merupakan respon dari bentuk perilaku seksual yang berupa

ciuman, pelukan dan percumbuan (Jersild, 1978). Perilaku seksual merupakan

segala macam tingkah laku yang didorong oleh hasrat baik dengan lawan jenis atau

sesama jenis dari perasaan tertarik sampai tingkah laku kencan, bercumbu dan

bersenggama (Wirawan, 1997).

Pada era globalisasi sekarang ini, semakin banyak timbulnya beragam fenomena

seksual, seperti topik yang akan peneliti gali lebih dalam mengenai gambaran

konsep diri bagi wanita dewasa awal yang telah melakukan hubungan seksual

2
pranikah. Remaja kota kini semakin berani melakukan hubungan seksual pranikah.

Berdasarkan survey yang ada, 63% remaja d Indonesia usia remaja adalah

melakukan hubungan seksual di luar nikah. Menurut dr. Boyke Dian Nugraha,DSOG

ahli kebidanan dan kandungan pada RS.Dharmais, 16-20% dari remaja yang

berkonsultasi kepadanya telah melakukan hubungan seks pranikah. Sementara itu,

Dra.Yulia S.Singgih Gunarsa, psikolog dan konselor di Jakarta juga melihat

banyaknya pasangan muda yang berhubungan dengan calo jasa penggugur

kandungan dan penggunaan obat pencegang kehamilan.

Penyebab-penyebab terjadinya hubungan seks pranikah pada wanita usia muda

antara lain disebabkan empat hal yaitu, (a) oleh pergaulan bebas, (b) rendahnya

pendidikan seks dalam diri anak sejak dini, (c) pola asuh orang tua yang kurang

menerapkan ajaran agama dan moralitas, dan (d) kurangnya kontrol dari orang tua

serta kurangnya kontrol diri pada diri individu itu sendiri. Perilaku seseorang

ditentukan oleh konsep diri yang ada pada dirinya. Konsep diri adalah semua ide,

pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan

mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain (Stuart dan Sudeen,

1992). Apa yang individu pikirkan dan rasakan tentang dirinya berkaitan erat dengan

tingkah laku yang dimunculkan dalam kehidupannya. Sama halnya dengan para

remaja yang kerap kali melakukan hubungan seks di luar nikah.

Sumber konsep diri berasal dari dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal.

Faktor internal adalah konsep diri yang dibangun oleh dirinya sendiri. Faktor

eksternal adalah konsep diri yang dibangun oleh diri sendiri yang berasal dari

keluarga, masyarakat dan lingkungan sosial lainnya. Individu dan konsep diri yang

3
positif dapat berfungsi lebih efektif yang terlihat dari kemampuan interpersonal,

intelektual, dan penguasaan lingkungan (Anna Keliat, 1992). Individu dengan konsep

diri yang sehat akan memiliki keseimbangan dalam kehidupan khususnya perilaku

yang sehat dalam kehidupan pribadi dan sosialnya.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran umum konsep diri pada wanita dewasa awal yang

melakukan hubungan seksual di masa remaja?

1.3 Manfaat Penelitian

1.3.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan pengetahuan kepada

ilmu psikologi khususnya psikologi remaja psikologi sosial, psikologi perkembangan

dan kesehatan mental. Penelitian ini diharapkan dapat membantu penelitian-

penelitian lainnya maupun penelitian dalam bidang yang serupa.

1.3.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya, para psikolog, dan

para praktisi pendidikan untuk memahami gambaran umum konsep diri wanita

dewasa awal yang melakukan hubungan seksual di masa remaja. Penelitian ini

diharapkan bermanfaat bagi pihak yang terkait, khususnya para remaja (wanita)

yang ingin melakukan hubungan seksual pranikah untuk mempertimbangkan

dampak yang akan muncul kemudian hari. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat

4
untuk menambah pengetahuan keluarga, agar pihak keluarga lebih memahami dan

mendukung wanita dewasa awal yang sudah melakukan hubungan seksual pranikah

saat remaja. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadinya pengucilan pada wanita

dewasa awal melainkan memberi nasihat dan mengupayakan pencegahannya pada

para remaja putri lainnya.

5
BAB II

TINJAUAN TEORETIS

2.1 Konsep Diri

Konsep diri ialah gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang

dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan

lingkungan (Agustianti, 2006). Brooks (dikutip Rakhmat, 1991) menambahkan

bahwa konsep diri adalah suatu pandangan dan perasaan seseorang tentang dirinya

serta persepsi tentang dirinya. Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan,

melainkan berkembang dari pengalaman yang terus menerus dan terdiferensiasi.

Dasar dari konsep diri individu ditanamkan pada saat-saat dini kehidupan anak dan

menjadi dasar yang mempengaruhi tingkah lakunya dikemudian hari. Konsep diri

adalah hal-hal yang berkaitan dengan ide, pikiran, kepercayaan serta keyakinan

yang diketahui dan dipahami oleh individu tentang dirinya. Grinder (1978) juga

mengungkapkan bahwa konsep diri adalah persepsi seseorang terhadap dirinya

sendiri, baik secara fisik, psikis, sosial, maupun moral. Menurut Carl Rogers (dikutip

oleh Feist & Feist, 2006), konsep diri adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai

pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang bukan

aku.

Konsep diri ini terbagi menjadi dua yaitu konsep diri riil dan konsep diri ideal.

McCrae dan Costa (dikutip oleh Feist & Feist, 2006 ) juga menambahkan bahwa

konsep diri merupakan sebuah adaptasi karakter. Namun, dia memiliki kotaknya

6
sendiri karena dia adaptasi yang penting. Konsep diri terdiri dari beberapa bagian,

yaitu: (a) gambaran diri (body image), (b) ideal diri, (c) harga diri, (d) peran diri dan,

(e) identitas diri. William H. Fitts (1971, dalam Agustiani 2006) mengemukakan

bahwa konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep

diri seseorang merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi

dalam lingkungan. Konsep diri berpengaruh kuat terhadap tingkah laku seseorang.

Dengan mengetahui konsep diri seseorang maka akan lebih mudah meramalkan

dan memahami tingkah laku orang tersebut.

Menurut Argyle konsep diri dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: (a)

Reaksi dari orang lain; caranya dengan mengamati pencerminan perilaku seseorang

terhadap respon orang lain, dapat dipengaruhi dari diri orang itu sendiri, (b)

perbandingan dengan orang lain; Konsep diri seseorang sangat tergantung pada

cara orang tersebut membandingkan dirinya dengan orang lain, (c) peranan

seseorang; Setiap orang pasti memiliki citra dirinya masing-masing, sebab dari

situlah orang tersebut memainkan perannanya, dan (d) identifikasi terhadap orang

lain. Pada dasarnya seseorang selalu ingin memiliki beberapa sifat dari orang lain

yang dikaguminya (dikutip oleh Handry & Heyes, 1989). Fitts (1971, dalam

Agustiani, 2006) menambahkan bahwa konsep diri dapat juga dipengaruhi oleh (a)

Pengalaman, terutama interpersonal, yang memunculkan perasaan positif dan

perasaan berharga; (b) kompensasi dalam area yang dihargai oleh individu dan

orang lain; (c) aktualisasi diri, atau implementasi dan realisasi dari potensi pribadi

yang sebenarnya. Menurut pandangan Berzonsky aspek-aspek konsep diri terdiri

dari (a) Aspek fisik yang terdiri dari penilaian individu terhadap segala sesuatu yang

7
dimilikinya, (b) aspek sosial yang meliputi bagaimana peranan sosial yang

dimainkan oleh individu dan sejauh mana penilaian terhadap kerjanya, (c) aspek

moral meliputi nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang memberi arti dan arah bagi

kehidupan seseorang dan (d) aspek psikis yang meliputi pikiran, perasaan, dan

sikap individu terhadap dirinya sendiri (dikutip oleh Burns, 1993). Perkembangan

konsep diri merupakan proses yang terus berlanjut di sepanjang kehidupan

manusia.

Selama masa anak pertengahan dan akhir, kelompok teman sebaya mulai

memainkan peran yang dominan, menggantikan orangtua sebagai orang yang turut

berpengaruh pada konsep diri mereka. Selama masa anak akhir konsep diri yang

terbentuk sudah agak stabil tetapi dengan mulainya masa pubertas terjadi

perubahan drastis pada konsep diri. Remaja yang masih muda mempersepsikan

dirinya sebagai orang dewasa dalam banyak cara, namun bagi orangtua tetap masih

seorang anak-anak. Karena perubahan-perubahan yang terjadi mempengaruhi

remaja pada hampir semua area kehidupan, konsep diri juga berada dalam keadaan

terus berubah pada periode ini. Pada usia 25 – 30 tahun biasanya ego orang

dewasa sudah terbentuk dengan lengkap, namun mulai dari sini konsep diri menjadi

semakin sulit berubah (Agustiani, 2006).

8
2.1.1 Pembagian Konsep Diri

Menurut Stuart & Sundeen (1991) konsep diri dibagi menjadi; (a) ideal diri, (b)

harga diri (self-esteem) dan (c) gambaran diri (body image).

Ideal diri

Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku

berdasarkan standar, aspirasi, tujuan atau penilaian personal tertentu (Stuart &

Sundeen, 1991, hal. 375). Ideal diri juga akan menwujudkan cita-cita dan harapan

pribadi berdasarkan norma sosial dan kepada siapa ingin dilakukan.

Menurut Keliat (1998) ada beberapa faktor yang mempengaruhi ideal diri yaitu (a)

Kecenderungan individu menetapkan ideal pada batas kemampuannya, (b)

kebutuhan yang realistis, (c) keinginan untuk menghindari kegagalan, (d) perasaan

cemas dan rendah diri. Agar individu mampu berfungsi dan mendemonstrasikan

kecocokan antara persepsi diri dan ideal diri. Ideal diri ini hendaknya ditetapkan tidak

terlalu tinggi, tetapi masih lebih tinggi dari kemampuan agar tetap menjadi

pendorong dan masih dapat dicapai.

Harga Diri (Self-esteem)

Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan

menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri (Stuard & Sundeen, 1991,

hal. 376). Frekuensi pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah

atau harga diri yang tinggi. Jika individu sering gagal, maka cenderung harga diri

rendah. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Aspek utama adalah di

9
cintai dan menerima penghargaan dari orang lain (Keliat, 1992). Biasanya harga diri

sangat rentan terganggu pada saat remaja dan usia lanjut.

Harga-diri itu adalah bagaimana seseorang merasakan dirinya (how you feel

about yourself). Kata "bagaimana" di situ mengarah pada adanya kualifikasi rendah

dan tinggi atau positif dan negatif (low and high self-esteem). Sedangkan kata

"merasakan" di sini, menurut Dr. Nathaniel Branden (Nase, 2004) dan lain-lain,

mengandung beberapa pengertian yang perlu digaris-bawahi. Pertama, pengertian

"merasakan" di situ bukan merasa yang asal merasa (mere feeling), tetapi lebih

merupakan "experiencing" dan "dealing with". Jadi, orang yang harga-dirinya bagus

itu adalah orang yang mengalami proses hubungan yang positif dengan dirinya,

punya perasaan positif terhadap dirinya, punya penilaian yang bagus terhadap

dirinya (self-concept). Pengalaman dan proses hubungan yang positif inilah yang

kemudian melahirkan sikap dan tindakan yang positif yaitu terpuji atau terhormat

(dikutip dalam Rubino, 2004).

Harga diri tinggi terkait dengan kecemasan yang rendah, efektif dalam kelompok

dan diterima oleh orang lain. Sedangkan harga diri rendah terkait dengan hubungan

interpersonal yang buruk dan resiko terjadi depresi dan skizofrenia. Gangguan harga

diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri termasuk

hilangnya percaya diri dan harga diri. Harga diri rendah dapat terjadi secara

situasional (trauma) atau kronis (negatif self evaluation yang telah berlangsung

lama), dan dapat di ekspresikan secara langsung atau tidak langsung (nyata atau

tidak nyata). Menurut Crocker dan Wolfe (dikutip oleh Myers, 2005), wilayah atau

daerah yang penting terhadap harga diri seseorang yaitu kita harus membuat

10
seseorang merasakan diri mereka menarik, atletis, berpengetahuan luas, dan

selebihnya. Harga diri yang rendah lebih berpotensi terhadap meningkatnya (a)

Depresi, (b) ketergantungan obat-obatan dan, (c) beberapa bentuk penyimpangan

lainnya.

Seseorang dengan harga diri yang tinggi cenderung (a) lebih inisiatif, (b) berdaya

tahan (resilience) , dan (c) mengalami perasaan kenikmatan (Baumeister, et al.,

2003). Sisi gelap dari harga diri yang tinggi ditemukan pada seseorang yang

mengekspresikan harga dirinya yang rendah, dimana mereka cenderung terkait

dengan masalah klinis termasuk kecemasan, kesepian, dan kelainan pola makan.

Ketika merasakan perasaan yang tidak baik atau merasa dipermainkan, mereka

memandang semuanya itu hanya dari sisi gelapnya saja yaitu orang lain menyadari

dan hanya mengingat tingkah laku buruk mereka serta merasa bahwa rekannya

tidak mencintai mereka (Myers, 2005). Tidak seperti harga diri yang mudah sekali

retak atau hancur, harga diri yang aman atau relatif tinggi lebih kondusif terhadap

kesejahteraan yang lebih panjang (Kernis, 2003; Schimel & others, 2001). Menurut

Crocker dan Park (dikutip oleh Myers, 2005), mereka yang mengejar harga diri

dengan menjadi lebih cantik, kaya secara material, terkenal, akan kehilangan

pandangan atau pengetahuan mengenai apa yang membuat hidup menjadi benar-

benar berkualitas. Lebih jauh lagi, jika tujuan kita adalah merasakan perasaan yang

baik terhadap diri kita, maka kita akan menjadi (a) Kurang terbuka terhadap kritikan,

(b) lebih suka menyalahkan daripada berempati terhadap orang lain dan, (c)

penekanan terhadap kesuksesan daripada menikmati aktivitas itu sendiri.

11
Gambaran Diri (Body Image)

Gambaran diri (Feist & Feist, 2006) adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya

secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang

ukuran, bentuk, dan fungsi penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu

yang secara berkesinambungan dimodifikasi dengan pengalaman baru setiap

individu (Stuart & Sundeen, 1991). Sejak lahir individu mengeksplorasi bagian

tubuhnya, menerima stimulus dari orang lain, kemudian mulai memanipulasi

lingkungan dan mulai sadar dirinya terpisah dari lingkungan (Keliat, 1992).

Gambaran diri (Body Image) berhubungan dengan kepribadian. Cara individu

memandang dirinya mempunyai dampak yang penting pada aspek psikologinya.

Pandangan yang realistis terhadap dirinya menerima dan mengukur bagian

tubuhnya akan lebih rasa aman, sehingga terhindar dari rasa cemas dan

meningkatkan harga diri (Keliat, 1992).

Individu yang stabil, realistis, dan konsisten terhadap gambaran dirinya akan

memperlihatkan kemampuan yang mantap terhadap realisasi yang akan memacu

sukses dalam kehidupan. Menurut Rogers (dikutip oleh Feist & Feist, 2006), self-

concept seseorang dapat mempengaruhi hidup seseorang dalam 2 faktor yaitu

bagaimana ia menilai dirinya sendiri atau disebut juga self-image, dan bagaimana ia

menilai lingkungannya. Self-image adalah gambaran mental yang umumnya bersifat

permanen dan mencakup dua faktor yaitu hal yang dapat diobservasi secara

langsung (seperti tinggi badan, berat badan, jenis kelamin, dan sebagainya), dan

pengalaman pribadi, yang dipelajari sendiri maupun menginternalisasi anggapan

12
orang lain tentang dirinya. Self-concept yang dimiliki orang bermental sehat adalah

konsisten dengan pemikirannya, pengalamannya dan perilakunya. Namun,

seseorang bisa memiliki sebuah self-concept yang aneh dan berbeda dengan

perasaan mereka yang sebenarnya agar dapat mendapat pengakuan dari orang

lain, secara sosial maupun profesional. Ini meliputi bagaimana mereka menekan

impuls dan perasaan mereka yang sebenarnya, yang secara tidak disadari dapat

membuat mereka: (a) Terasing dari diri mereka sendiri, (b) mendistorsi pengalaman

mereka di dunia, dan (c) membatasi kemampuan untuk mencapai aktualisasi diri

(Feist & Feist, 2006).

2.2 Definisi Hubungan Seksual Pranikah

Pengertian seksual secara umum adalah sesuatu yang berkaitan dengan alat

kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara hubungan intim

antara laki-laki dengan perempuan. Karakter seksual masing-masing jenis kelamin

memiliki spesifikasi yang berbeda.

Sexual characteristics are divided into two types. Primary sexual

characteristics are directly related to reproduction and include the sex organs

(genitalia). Secondary sexual characteristics are attributes other than the sex

organs that generally distinguish one sex from the other but are not essential

to reproduction, such as the larger breasts characteristic of women and the

facial hair and deeper voices characteristic of men (Microsoft Encarta

Encyclopedia, 2002).

Hurlock (1999) mengemukakan tentang tanda-tanda kelamin sekunder yang

penting pada laki-laki dan perempuan. Pada remaja putra tumbuh rambut kemaluan,

kulit menjadi kasar, otot bertambah besar dan kuat, suara membesar dan lain,lain.

13
Sedangkan pada remaja putri ditandai dengan pinggul melebar, payudara mulai

tumbuh, tumbuh rambut kemaluan, mulai mengalami haid, dan lain-lain. Seiring

dengan pertumbuhan primer dan sekunder pada remaja ke arah kematangan yang

sempurna, muncul juga hasrat dan dorongan untuk menyalurkan keinginan

seksualnya. Hal tersebut merupakan suatu yang wajar karena secara alamiah

dorongan seksual ini memang harus terjadi untuk menyalurkan kasih sayang antara

dua insan, sebagai fungsi pengembangbiakan dan mempertahankan keturunan.

Setiap manusia normal memiliki dan merasakan adanya dorongan seksual atau

gairah seksual. Dorongan seksual mulai dirasakan sejak masa remaja, akibat

pengaruh hormon seks. Pengertian dorongan seksual adalah suatu bentuk

keinginan yang bersifat erotis yang mendorong orang untuk melakukan aktivitas

seksual dan hubungan seksual. Dorongan seksual akan semakin kuat jika ada

rangsangan seksual dari luar, baik berupa rangsangan fisik maupun psikis. Berbagai

macam rangsangan seksual yang bersifat fisik, seperti ciuman dan rabaan, dapat

membangkitkan dorongan seksual. Demikian juga rangsangan yang bersifat psikis,

seperti rangsangan audio visual, dan gambar erotis (Pangkahila, 2001).

Dorongan seksual menyebabkan orang ingin melakukan aktivitas seksual,

bahkan hubungan seksual. Aktivitas seksual adalah segala bentuk perilaku yang

memberikan rangsangan seksual, sehingga dapat menimbulkan reaksi seksual,

kecuali hubungan seksual. Aktivitas itu seperti mulai dari melakukan ciuman,

pelukan, rabaan, sampai oral seks. Aktivitas ini dapat berlanjut sampai ke hubungan

seksual untuk mencapai orgasme. Hubungan seksual yang dilakukan dengan

14
banyak pasangan, cenderung dilakukan dengan siap saja yang disukai dan bersedia

melakukannya disebut dengan hubungan seksual bebas (Pangkahila, 2001).

Sarwono (2006) menambahkan bahwa perilaku seksual ialah perilaku yang

melibatkan sentuhan secara fisik anggota badan antara pria dan wanita yang telah

mencapai pada tahap hubungan intim, yang biasanya dilakukan oleh pasangan

suami-istri. Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat beraneka ragam, mulai dari

perasaan tertarik hingga tingkah laku berkencan, bercumbu dan senggama. Obyek

seksual dapat berupa orang, baik sejenis maupun lawan jenis, orang dalam

khayalan atau diri sendiri. Sedangkan perilaku seks pranikah merupakan perilaku

seks yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum

maupun menurut agama dan kepercayaan masing-masing individu. Dorongan atau

hasrat untuk melakukan hubungan seksual selalu muncul pada remaja, oleh karena

itu bila tidak ada penyaluran yang sesuai (menikah) maka harus dilakukan usaha

untuk memberi pengertian dan pengetahuan mengenai hal tersebut. Adapun faktor-

faktor yang dianggap berperan dalam munculnya permasalahan seksual pada

remaja, menurut Sarwono (1994) adalah (a) Perubahan-perubahan hormonal yang

meningkatkan hasrat seksual remaja. Peningkatan hormon ini menyebabkan remaja

membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu, (b) penyaluran

tersebut tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan,

baik secara hukum karena adanya undang-undang tentang perkawinan, maupun

karena norma sosial yang semakin lama semakin menuntut persyaratan yang terus

meningkat untuk perkawinan dan, (c) norma-norma agama yang berlaku, dimana

seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Untuk

15
remaja yang tidak dapat menahan diri memiliki kecenderungan untuk melanggar hal-

hal tersebut.

Pencegahan perilaku seksual pranikah dapat dilakukan dengan memberikan

pendidikan seksual bagi anak sedini mungkin. Beberapa hal penting dalam

memberikan pendidikan seksual, seperti yang diuraikan oleh Gunarsa (1995) berikut

ini, mungkin patut diperhatikan: (a) Cara menyampaikannya harus wajar dan

sederhana, jangan terlihat ragu-ragu atau malu; (b) isi uraian yang disampaikan

harus obyektif, namun jangan menerangkan yang tidak-tidak, seolah-olah bertujuan

agar anak tidak akan bertanya lagi, boleh mempergunakan contoh atau simbol

seperti misalnya proses pembuahan pada tumbuh-tumbuhan, sejauh diperhatikan

bahwa uraiannya tetap rasional; (c) pendidikan seksual harus diberikan secara

pribadi, karena luas sempitnya pengetahuan dengan cepat lambatnya tahap-tahap

perkembangan tidak sama untuk setiap anak. Dengan pendekatan pribadi maka

cara dan isi uraian dapat disesuaikan dengan keadaan khusus anak dan; (d)

dangkal atau mendalamnya isi uraiannya harus disesuaikan dengan kebutuhan dan

dengan tahap perkembangan anak. Pada anak umur 9 atau 10 tahun belum perlu

menerangkan secara lengkap mengenai perilaku atau tindakan dalam hubungan

kelamin, karena perkembangan dari seluruh aspek kepribadiannya memang belum

mencapai tahap kematangan untuk dapat menyerap uraian yang mendalam

mengenai masalah tersebut.

16
2.3 Dewasa Awal

2.3.1 Perkembangan Dewasa Awal

Menurut Hurlock (1999) pada tahap dewasa awal individu akan mengalami

perubahan, baik secara fisik maupun psikologis. Perubahan yang terjadi seperti

perubahan penampilan, minat, sikap, dan perilaku. Hal ini dikarenakan tekanan-

tekanan lingkungan dalam kebudayaannya dan menimbulkan masalah-masalah

penyesuaian diri yang harus dihadapi diri individu. Menurut Dariyo (2003) individu

dewasa awal (young adulthood) secara fisik menampilkan profil yang sempurna

dalam arti bahwa pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek fisiologis telah

mencapai posisi puncak. Mereka yang tergolong dewasa awal ialah mereka yang

berusia 20 - 40 tahun. Santrock (2000) menambahkan bahwa dewasa awal

termasuk masa transisi, baik transisi secara fisik (physically trantition), transisi

secara intelektual (cognitive trantition), serta transisi peran sosial (social role

trantition).

Dari pertumbuhan fisik, menurut Santrock (dikutip oleh Dariyo, 2003) diketahui

bahwa pada dewasa awal, penampilan fisik benar-benar matang sehingga siap

melakukan tugas-tugas seperti orang dewasa lainnya, misalnya bekerja, menikah,

dan mempunyai anak. Masa perubahan fisik ini ditandai dengan misalnya tumbuh

bulu-bulu halus, perubahan suara, menstruasi, dan kemampuan reproduksi. Transisi

secara intelektual pada dewasa awal yaitu mencapai tahap postformal thought.

Menurut Piaget (dikutip oleh Papalia, Olds, & Feldman, 2001), orang dewasa

mencapai tahap postformal thought merupakan tahap kognisi tertinggi. Postformal

17
thought merupakan tipe yang matang, percaya pada pengalaman subjektif dan

intuisi yang masuk akal dan berguna untuk berhubungan dengan ketidakyakinan,

ketidakkonsistenan, kontradiksi, ketidaksempurnaan, dan kompromi.

Transisi peran sosial menurut Erikson (dikutip oleh Papalia, et al., 2001) ialah

masa untuk membentuk suatu hubungan intimasi yang dalam dengan orang lain

ataupun hubungan sesama yang berarti. Jika individu dewasa awal tidak dapat

membangun komitmen pada sebuah hubungan personal, maka ia akan merasa

terisolasi dan self-absorbed. Hubungan intim tersebut membutuhkan pengorbanan

dan kompromi namun Erikson juga menambahkan bahwa keintiman bukan semata-

mata perasaan orgasme dari hubungan genital heteroseksual. Pada masa ini,

personality traits dan gaya hidup seseorang cenderung stabil, namun perubahan

perilaku dapat terjadi ketika terjadi hal yang benar-benar berpengaruh. Keputusan

akan keintiman dan tipe hubungan personal telah ditentukan (termasuk dalam

kohabitasi). Pada tahap ini, banyak yang sudah memulai membangun keluarganya

sendiri, dan malah ada juga yang telah menjadi orangtua (Papalia, et al., 2001).

Dewasa awal merupakan tahap di mana individu sangat tertarik dalam

mengembangkan hubungan yang dekat dengan orang lain dan mereka juga

merasakan pentingnya kemandirian serta kebebasan. Perkembangan selama masa

dewasa awal mempengaruhi pertentangan antara kebutuhan akan intimasi dan rasa

tanggung jawab dengan kebutuhan akan mandiri dan kebebasan (dikutip oleh Hoyer

& Roodin, 2003).

18
2.3.2 Wanita Dewasa Awal

Kepribadian wanita merupakan suatu kesatuan yang terpadu antara aspek

emosi, rasio dan suasana hati yang berhubungan dengan hakekatnya sebagai

wanita. Logika berpikirnya wanita dikuasai oleh kesatuan tersebut, didasari oleh

aspek emosi, perasaan dan suasana hatinya. Pikiran, perasaan dan kemampuan

yang terpadu pada wanita seringkali menggambarkan tindakannya yang sering

dilandasi emosi. Dengan contoh, cepatnya mengambil keputusan, melakukan

tindakan, memberi kesan perbuatan impulsif, belum didahului pemikiran, dan

pertimbangan yang matang (Gunarsa & Gunarsa, 2004). Biasanya wanita

memberikan respon-respon yang lebih kuat dan lebih emosional terhadap masalah-

masalah yang dihadapi. Sifat wanita lebih emosional dibandingkan dengan pria.

Emosi wanita yang kuat mengakibatkan wanita lebih cepat mereaksi dengan hati

penuh ketegangan, lebih cepat kecil hati, bingung, takut, dan cemas (Kartono,1992).

Kartono (1992) menambahkan bahwa gambaran pribadi wanita dewasa adalah

pribadi yang sudah punya bentuk dan relatif stabil. Dengan adanya kestabilan ini

dimungkinkan usaha untuk memilih apa yang ia kehendaki. Dalam usia dewasa

muda wanita mulai memahami konstitusi diri sendiri. Ia memahami keadaan sendiri,

dan batas-batas kemampuannya. Dengan demikian wanita tersebut mulai

merencanakan satu pola hidup bagi masa depan.

Gilligan (dikutip oleh Dariyo, 2003) menyatakan bahwa pada diri wanita juga

memiliki tahap perkembangan moral tersendiri. Giligan membagi perkembangan

moral wanita menjadi tiga tahap, yaitu (a) Orientation of individual survival (transisi I:

from selfishness to responsibilty), (b) goodness as self-sacrifice (transisi II From

19
goodness to truth), dan (c) morality of nonviolence. Tahap pertama yaitu orientasi

untuk mempertahankan hidup pribadi. Awal mulanya, wanita berupaya bagaimana

memikirkan dan mengusahakan hal-hal yang terbaik untuk hidup diri sendiri. Yang

penting adalah agar dirinya bisa bertahan dalam kehidupannya secara praktis.

Upaya ini ditempuh melalui kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan kualitas

kepribadiannya, misalnya mengikuti pendidikan formal yang mampu mensejajarkan

diri dengan kaum laki-laki agar nantinya dapat menduduki posisi pekerjaan yang

baik (Dariyo, 2003).

Transisi pertama adalah dari diri sendiri menuju rasa tanggung jawab. Wanita

menyadari bahwa dirinya mempunyai relasi dengan orang lain dalam lingkungan

sosial. Bagaimanapun juga, yang dilakukannya harus dapat dipertanggungjawabkan

secara moral kepada orang lain (Dariyo, 2003). Tahap kedua adalah kebaikan

sebagai pengorbanan diri. Pada tahap ini wanita cenderung melakukan kebaikan

dan menjadikannya sebagai prinsip hidup, yaitu bagaimana dirinya berkorban dari

segi waktu, tenaga ataupun materi (biaya) demi kebaikan orang lain. Kenyataannya,

karena faktor gender, sering kali seorang wanita lebih banyak mengorbankan

kepentingannya (Dariyo, 2003).

Transisi kedua adalah dari kebaikan menuju kebenaran. Wanita menilai bahwa

setiap keputusan yang diambil bukanlah bergantung pada orang lain, tetapi karena

berdasarkan keyakinan diri dan hati nurani yang mantap yang berpijak pada

kebenaran. Dengan dasar keyakinan yang benar, seorang wanita mau mengambil

keputusan sebagai langkah konkret guna mewujudkan kebenaran itu sendiri (Dariyo,

2003). Tahap ketiga adalah moralitas yang tidak berdasarkan pada kekerasan. Sifat

20
dasar wanita adalah kelembutan dan kehalusan budi pekerti sebab hal ini

merupakan refleksi dari sifat feminitasnya. Oleh karena itu wanita selalu menentang

segala tindak kekerasan baik yang dilakukan orang lain terhadap orang lain maupun

kekerasan dari orang lain terhadap diri sendiri.

Konsekuensi dari sikap tersebut, wanita tidak akan melakukan kekerasan dalam

mewujudkan kedamaian (Dariyo, 2003).

2.4 Kerangka Berpikir

Kehidupan sosial para remaja identik dengan menjalin persahabatan sebanyak

dan seluas mungkin. Banyak dari perilaku mereka merupakan perilaku menyimpang

seperti melakukan kekerasan pada teman sebaya, menggunakan obat-obatan

terlarang, melakukan hubungan seks bebas, dan lain sebagainya. Di Indonesia

khususnya, sangat sensitif dalam perbincangan tentang seksualitas. Seksualitas

merupakan suatu hal yang tabu dilakukan namun fakta menunjukkan bahwa

kebanyakan dari para remaja telah melakukan hubungan seksual di luar nikah. Pada

masa remaja, individu mengalami perubahan dari segi fisik dan biologis selain itu

juga mengalami perkembangan sosial yaitu adanya ketertarikan yang besar pada

lawan jenis. Perubahan dari segi fisik menimbulkan adanya hasrat atau dorongan

individu untuk melakukan hubungan seksual.

Meski perilaku seksual pranikah masih marak terjadi pada tiap lapis golongan

masyarakat namun kita dapat melakukan pencegahan yaitu dengan melakukan

penyuluhan atau bimbingan pada kehidupan sosial para remaja mengenai

perkembangan seksual mereka serta menginformasikan segala resiko yang akan

21
terjadi. Setiap manusia mempunyai konsep diri yang berbeda satu sama lainnya.

Konsep diri mendasari setiap perilaku yang kita munculkan, baik perilaku yang

sesuai norma maupun perilaku yang tidak sesuai norma hukum dan sosial.

Pengalaman hidup memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan

konsep diri seseorang, termasuk juga pengalaman yang kurang baik. Konsep diri

yang salah dapat mempengaruhi self-esteem, self-image dan ideal-self.

Konsep diri seseorang dapat dibangun oleh diri sendiri maupun lingkungan

sekitarnya. Seseorang yang membangun konsep diri dari dirinya sendiri akan teguh

dan cenderung tidak akan terpengaruh pihak luar. Lain halnya dengan seseorang

yang mempunyai konsep diri yang dibangun berdasarkan lingkungan sosialnya,

mereka cenderung lebih rentan terhadap perubahan konsep diri mereka sendiri.

Seseorang yang melakukan tindakan yang sesuai dengan norma sosial memiliki

konsep diri yang sehat. Sebaliknya terjadi dengan seseorang yang kerap kali

melakukan hal-hal yang diluar pengharapan masyarakat maupun norma hukum

yang berlaku. Konsep diri yang rusak dapat menyebabkan individu menjadi tidak

mengetahui tujuan hidupnya dan tidak mengenal dirinya sendiri sebagai pribadi yang

sehat.

Pada usia dewasa awal, individu akan mengalami perubahan minat, sikap, dan

perilaku. Usia dewasa muda individu akan menginjak fase postformal thought yang

merupakan level kognisi tertinggi, berada dalam tahap yang matang dan percaya

pada pengalaman subjektif. Semakin bertambahnya usia seseorang konsep diri

mereka akan bertumbuh kuat dan memungkinkan adanya pengevaluasian agar

terbentuk konsep diri yang lebih sesuai dengan diri seseorang. Oleh karena itu,

22
peneliti perlu mengetahui bagaimana gambaran konsep diri wanita dewasa awal

yang sudah pernah melakukan hubungan seksual pranikah saat remaja dan faktor-

faktor apa yang menyebakan mereka melakukan hal tersebut.

23
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Subjek Penelitian

3.1.1 Karakteristik Subjek

Subjek yang dipilih adalah mereka yang sudah memasuki usia dewasa awal yaitu

berkisar antara 20-30 tahun. Subjek berjenis kelamin perempuan dan pernah

melakukan hubungan seksual tanpa memiliki ikatan pernikahan dengan

pasangannya.

3.1.2 Teknik Sampel

Peneliti menggunakan purposeful random sampling yaitu pemilihan sekelompok

subjek bedasarkan ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai

sangkut paut yang erat dengan sifat atau ciri-ciri populasi yang sudah diketahui

sebelumnya. Dalam purposive sampling, dilakukan pengambilan sampel dengan

sudah ada tujuannya dan sudah tersedia rencana sebelumnya. Biasanya sudah ada

predefinisi terhadap kelompok-kelompok dan kekhususan khas yang dicari.

24
3.1.3 Jumlah Sampel

Peneliti mendapatkan tiga subjek yang dapat memberikan informasi yang di

butuhkan oleh peneliti berkaitan dengan topik pada penelitian ilmiah yang dilakukan

peneliti. Ketiga subjek tersebut adalah kelompok wanita dewasa awal.

3.2 Setting dan Instrumen penelitian

Penelitian dilakukan di tiga daerah di Jakarta yaitu daerah Tangerang pada

subjek pertama, Tanjung Gedong Raya pada subjek kedua, dan Gading Serpong

pada subjek ketiga. Instrumen dari penelitian ini adalah digital recorder, batu baterai,

alat tulis berupa pensil dan ballpen, informed consent, pedoman wawancara, buku

kosong untuk mencatat, laptop, dan alat telekomunikasi. Digital recorder digunakan

untuk merekam informasi yang diberikan oleh subjek dalam bentuk suara selama

wawancara berlangsung.

Alat tulis dan buku kosong digunakan untuk mencatat hal-hal yang penting dan

hal-hal yang ganjil untuk dipertanyakan kembali kepada subjek yang bersangkutan.

Pedoman wawancara digunakan untuk mempermudah proses wawancara dan

menjadi pedoman bagi peneliti agar pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tidak

melenceng dari topik penelitian yang ada. Laptop digunakan sebagai alat untuk

membuat laporan penelitian secara tertulis. Sedangkan alat telekomunikasi

digunakan untuk mengajukan persetujuan pada subjek atas kesediaannya untuk

diwawancara oleh peneliti dalam rangka pembuatan penelitian ilmiah.

25
3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Persiapan

Kelompok mencari sebuah konsep penelitian yang akan dilaksanakan dan masih

dalam lingkup psikologi. Kelompok memutuskan untuk mengambil judul penelitian

tentang konsep diri wanita dewasa awal yang melakukan hubungan seks di luar

nikah. Ini dikarenakan topik yang dipilih oleh kelompok dianggap masih harus

dilakukan penelitian untuk dapat lebih menjawab fenomena seks di luar nikah.

Konsep penelitian yang sudah jelas dan tetap membantu kelompok untuk dapat

mulai melakukan tahap berikutnya yaitu mencari sumber referensi yang valid seperti

dari jurnal dan buku-buku ilmiah. Sumber referensi yang dipakai oleh kelompok

berasal dari buku-buku milik pribadi dari anggota kelompok maupun dari

perpustakaan psikologi.

Teori yang berhasil kelompok kumpulkan dari berbagai sumber referensi

kemudian disusun menjadi sebuah pedoman wawancara. Pedoman ini yang menjadi

patokan dalam mengajukan pertanyaan ke subjek nantinya, walau pada prakteknya

pewawancara akan melakukan sedikit bahkan banyak perubahan. Ini dilakukan oleh

pewawancara bukan karena melenceng dari topik tetapi fleksibilitas dalam

wawancara akan sangat membantu khususnya mengenai topik penelitian yang

cukup sensitif seperti yang dipilih oleh kelompok.

Kelompok mulai mencari dan menghubungi subjek untuk menanyakan kesediaan

subjek untuk diwawancarai. Dikarenakan kelompok merasa bahwa subjek mungkin

akan membatasi jumlah pewawancara, maka pewawancara yang dipilih oleh

kelompok adalah yang memiliki hubungan pertemanan cukup dekat dengan subjek.

26
Kelompok memutuskan untuk tidak meminta izin secara tertulis seperti proposal

karena status subjek yang masih merupakan teman dekat. Kelompok menjamin

pada para subjek bahwa data yang telah diberikan akan dijaga kerahasiaanya dan

memakai nama samaran.

Sebelum wawancara dilakukan, pewawancara menyiapkan berbagai alat seperti

buku kosong untuk mencatat hal-hal penting, alat tulis, dan digital recorder. Selain

wawancara, pewawancara juga melakukan observasi kepada subjek untuk

memperoleh informasi nonverbal. Transportasi yang dipakai oleh pewawancara

adalah kendaraan pribadi dan kendaraan umum untuk menghemat biaya serta lebih

efisien secara waktu.

3.3.2 Pelaksanaan

Subjek pertama, dengan inisial A, wawancara dilakukan pada tanggal 28

September 2009 pada pukul 16.00 WIB dengan durasi waktu wawancara 17 menit.

Wawancara dilakukan di teras rumah keluarga A di daerah Tangerang.

Subjek kedua, dengan inisial H, wawancara dilakukan pada tanggal 17

September 2009 pada pukul 14.33 WIB dengan durasi waktu wawancara 12 menit

20 detik. Wawancara dilakukan dalam ruang keluarga kediaman H yang berlokasi

di daerah Gading Serpong.

Subjek ketiga, dengan inisial P, wawancara dilakukan di sebuat food court di

salah satu Mall yang berada di kawasan Jakarta Barat, pada pukul 19.00 WIB

dengan durasi waktu wawancara 20 menit.

27
Pewawancara hanya membutuhkan waktu singkat untuk melakukan wawancara,

ini dikarenakan subjek cukup terbuka walau masih dirasa kurang oleh pewawancara.

Proses verbatim sendiri dilakukan dengan mengikutsertakan satu anggota kelompok

untuk membantu setiap pewawancara. Dalam penelitian ini, kelompok memakai tiga

orang pewawancara yang berbeda maka, pengerjaan verbatimnya dilakukan oleh

dua orang. Pewawancara diikutsertakan dalam verbatim untuk mempermudah

pengerjaan verbatim karena merekalah yang paling mengerti isi dan kondisi saat

wawancara dilakukan.

28
BAB IV

TEMUAN PENELITIAN DAN

ANALISIS DATA

4.1 Gambaran Subyek

Subyek I

Subyek pertama berjenis kelamin perempuan dengan berinisial A. Subyek

berumur 20 tahun dan beragama katolik. Subyek berasal dari suku bangsa

Tionghua. Pendidikan terakhir subyek yaitu SMA (Sekolah Menengah Atas) dan saat

ini subyek masih berkuliah di salah satu universitas swasta di Jakarta. Tinggi dan

berat badan subyek yaitu 162 cm dengan berat 48 kg. Pada waktu wawancara

dilakukan subyek memakai kaos bewarna kuning dengan celana jeans panjang

bewarna biru.

Ciri fisik subyek seperti rambut yaitu hitam, lurus, dan panjagnya sebahu. Kulit

subyek bewarna putih. Subyek juga memakai aksesoris pada saat wawancara

berlangsung seperti kacamata, anting-anting, cincin, dan tas berukuran sedang

warna putih. Selama wawancara berlangsung subyek mengikat rambutnya keatas.

Ekspresi wajah : cukup tenang selama wawancara walau subyek sedikit malu-malu

untuk memberikan atau membagi pengalamannya dengan peneliti. Ekspresi wajah

dan pernyataan yang diungkapkan tidak mengandung kerancuan.

Subyek II

Subyek kedua berjenis kelamin perempuan dengan berinisial H. Subyek berusia

22 tahun 8 bulan. Subyek berasal dari suku bangsa Tionghua. Jawa, dan

29
Palembang. Pendidikan terakhir subyek yaitu SMA (Sekolah Menengah Atas) dan

saat ini subyek masih berkuliah di salah satu universitas swasta di Jakarta. Tinggi

dan berat badan subyek yaitu 165 cm dengan berat badan sekitar 50 kg.

Pada saat wawancara, subyek mengenakan kaos putih dan jaket berwarna biru

laut. Ia juga mengenakan celana jeans berwarna biru dan sendal jepit. Subyek juga

mengucir rambutnya seadanya, dan tidak mengenakan make up. AKsesoris yang ia

gunakan hanyalah anting emas. Subyek terlihat santai dan tenang dalam proses

wawancara, hal ini baik karena dapat disimpulkan bahwa subyek sudah mengenal

dan mempercayai pewawancara sehingga subyek akan menjawab setiap

pertanyaan dengan jujur.

Ekspresi wajah subyek terlihat santai (pada awal wawancara) dan mulai terlihat

sedikit murung ketika topik wawancara mulai membicarakan mantan pacarnya.

Perilaku subyek tenang dan tidak banyak menimbulkan gerakan-gerakan tubuh.

Subyek kurang mengerti pada beberapa pertanyaan yang menggunakan istilah

psikologis, namun setelah dijelaskan lebih jauh, akhirnya subyek mengerti dan dapat

menjawab pertanyaan tersebut dengan baik.

Subyek III

Subyek ketiga berjenis kelamin perempuan dengan berinisial P. Subyek berumur

20 tahun dan beragama Kristen protestan. Subyek berasal dari suku bangsa

Tionghua. Pendidikan terakhir subyek yaitu SMA (Sekolah Menengah Atas) dan saat

ini subyek masih berkuliah di salah satu universitas di Jakarta. Tinggi dan berat

badan subyek yaitu 165 cm dan 45 kg. Pada waktu wawancara dilakukan subyek

memakai kaos putih dengan celana pendek berbahan jeans.

30
Ciri fisik subyek seperti rambut yaitu hitam dan panjangnya sebahu. Kulit subyek

bewarna kecoklat-coklatan. Subyek juga memakai aksesoris pada saat wawancara

berlangsung seperti tas berukuran sedang bewarna hitam, memakai kosmetik, jepit

rambut dan anting-anting. Pada saat wawancara subyek tidak mengikat rambutnya

tetapi hanya menggunakan jepit rambut. Ekspresi wajah subyek pada saat

wawancara berlangsung yaitu cukup cerah dalam namun saat ditanya mengenai

anggapan dirinya sendiri terhadap dirinya, subyek menunjukkan wajah yang sedih

namun kembali cerah dan bersemangat setelah ditanya mengenai harapan untuk

masa depannya. Secara umum subyek mengerti apa yang peneliti tanyakan

padanya.

4.2 Konsep diri

4.2.1 Ideal Diri

Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku

berdasarkan standar, aspirasi, tujuan atau penilaian personal tertentu (Stuart dan

Sundeen, 1991).

Subyek I

Subyek I berkata bahwa “...saya lebih mikirin seorang wanita yang ideal tuh wanita

yang setia, jadi ya mereka sama. Kalo emang mau ngelakuin hubungan seksual ya

sama pasangannya saja. Setia lah sama pasangan.”

Subyek II

Subyek II berkata bahwa ”... kalau menurut gua, cewek itu mesti setia, e.. trus, lebih

31
penting lagi kalau dia tuh e.. e.. melakukan hubungan seks itu sama pasangannya

aja.”

Subyek III

Subyek III berkata bahwa “...Ingin jadi cewek yang setia, cewek yang baik, cewek

yang bijaksana, taat pada Tuhan”.

Kesimpulan

Kesamaan tentang bagaimana ideal diri seorang wanita dijawab ketiga subyek

dengan jawaban yang sama, yakni seharusnya seorang wanita yang ideal adalah

wanita yang setia terhadap pasangannya dan tidak berganti-ganti pasangan.

4.2.2 Self esteem (Harga diri)

Harga-diri itu adalah bagaimana seseorang merasakan dirinya (how you feel

about yourself). Kata "bagaimana" tersebut mengarah pada adanya kualifikasi

rendah dan tinggi atau positif dan negatif (low and high self-esteem). Sedangkan

kata "merasakan" di sini, menurut Dr. Nathaniel Branden (Nase, 2004) dan lain-lain,

mengandung beberapa pengertian yang perlu digaris-bawahi. Pertama, pengertian

"merasakan" di situ bukan merasa yang asal merasa (mere feeling), tetapi lebih

merupakan "experiencing" dan "dealing with". Jadi, orang yang harga-dirinya bagus

itu adalah orang yang mengalami proses hubungan yang positif dengan dirinya,

punya perasaan positif terhadap dirinya, punya penilaian yang bagus terhadap

dirinya (self-concept). Pengalaman dan proses hubungan yang positif inilah yang

kemudian melahirkan sikap dan tindakan yang positif (terpuji atau terhormat) (dikutip

oleh Rubino, 2004).

32
Subyek I

Subyek I berkata bahwa “...Kadang- kadang saya ngerasa hancur sih, gimana

ya..ehm, saat kesuciannya diambil bukan oleh satu orang itu terus, tapi bisa aja

ganti.”

Subyek II

Subjek II berkata bahwa :

Pas awal-awal gue lakuin itu, gue nyesel gue sempet nangis juga,

mmmm...kenapa ya gue lakuin ya...tapi gue mikir gue mmmmm....dari

pikiran gue yang lain...gue juga sayang dia gitu lho. Mmmmm....dan

dia juga sayang sama gue dan dia juga sebenernya sih,

mmmmm.....ga begitu maksain juga, cuman..ya gitu deh.

Mmmmm..lama-lama sih ga nyesel...Cuma pas awal-awalnya

mungkin karena tekanan dari diri gue yang agak-agak mmmm....lost

control lah...tapi lama-lama gue berusaha untuk ngerelain karena gue

sayang sama pasangan gue.

Subyek III

Subyek III berkata bahwa “... Pertama sih menyesal, takut ditinggalin, tapi ya sudah

sih karena ternyata banyak juga yang sudah pernah. Biasanya merasa sudah tidak

berharga lagi gitu, kayak gitu sih biasanya hal yang gampang dilepas.”

Kesimpulan

Hasil wawancara dari ketiga subyek mengenai harga dirinya setelah melakukan

hubungan seks di luar nikah menunjukkan bahwa harga diri subyek mengalami

penurunan. Hal ini terlihat jelas dari penuturan ketiga subyek yang merasa menyesal

33
telah melakukan seks di luar nikah dan merasa sudah bukan wanita yang sempurna.

Kesempurnaan yang dimaksud adalah keperawanan mereka yang hilang saat

mereka melakukan seks di luar nikah. Pengalaman mereka melakukan hubungan

seks di luar nikah dirasa sebagai pengalaman yang buruk dan mengakibatkan

timbulnya suatu perasaan negatif terhadap diri mereka seperti perasaan tidak

beharga, penyesalan, dan lainnya. Sesuai dengan teori bahwa perasaan negatif ini

timbul dari adanya pengalaman para subyek dengan lingkunganya yang tidak sesuai

dengan harapan para subyek.

4.2.3 Gambaran Diri

Gambaran diri (Feist & Feist, 2006) adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya

secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang

ukuran, bentuk, dan fungsi penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu

yang secara berkesinambungan dimodifikasi dengan pengalaman baru setiap

individu (Stuart & Sundeen, 1991).

Subyek I

Subyek I berkata bahwa “…. Tapi sekarang saya ngerasa kok saya sedikit binal

ya..kayaknya walaupun saya cuma ngelakuin sama pacar saya, Cuma saya ngerasa

udah gak pure aja seratus persen perempuan yang bisa jaga diri.”

Subyek II

Subjek II berkata bahwa :

Mungkin ada yang berubah...mmmm..berubahnya klo setiap kali cowok gue

minta, gue takut hamil atau gimana gitu...tapi gue selalu nganjurin dia klo

misalnya lu mau berhubungan ma gue, lu musti pake kondom gitu...dan gue

34
juga masih mau. Pada saat gue remaja kan gue masih mau lulus, buat lulus

sekolah lah...kalau misalnya sampai orang tua gue tau ya...emang orang tua

ga tau pada saat gue melakukan hubungan seks itu...ya gue agak-agak takut

aja sama orang tua gue. Klo mereka sampai tahu tiba-tiba gue hamil

gitu...hahahahaha...dan tau klo anaknya melakukan hal-hal yang mereka tidak

inginkan, padahal cukup kasih kebebasan buat gue.

Subyek III

Subjek III berkata bahwa :

Kalo cewek yang belum pernah kan seperti kertas kosong dan ada coretan-

coretan kehidupan, garis kehidupan tapi kertas itu sudah penuh jadi tinggal

sisa sedikit untuk pasangan hidup kita yang berikutnya. Kita memberi orang

yang kita sayangi dengan sepenuhnya, kasian kan kalau cuman setengah-

setengah.

Kesimpulan

Ketiga subyek, yang merupakan seorang wanita dewasa awal yang melakukan

hubungan seksual pranikah. Mereka miliki gambaran diri yang merasa seakan

mereka tidak bisa mengikuti aturan, tidak alim seperti dahulu, menganggap dunia

sudah tidak menganut norma-norma, dan menganggap dirinya sangat membutuhkan

seks.

4.3 Faktor-faktor Penyebab Seksual Pra-Nikah

Faktor-faktor yang muncul dalam permasalahan seksual pada remaja, menurut

Sarwono (1994) adalah (a) Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan

hasrat seksual remaja. Peningkatan hormon ini menyebabkan remaja membutuhkan

35
penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu, (b) penyaluran tersebut tidak dapat

segera dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum

karena adanya undang-undang tentang perkawinan, maupun karena norma sosial

yang semakin lama semakin menuntut persyaratan yang terus meningkat untuk

perkawinan dan, (c) norma-norma agama yang berlaku, dimana seseorang dilarang

untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Untuk remaja yang tidak

dapat menahan diri memiliki kecenderungan untuk melanggar hal-hal tersebut.

Subyek I

Subjek I berkata bahwa :

Ehm.. faktor-faktornya..sebenarnya sih gak kepikiran, cuma ya

semenjak punya pacar, pacar pertama, pacar yang paling serius

pertama ya..dia minta aja, minta trus memang sempet maksa seh,

saya sudah gak kasih. Ya, bisa dibilang setengah diperkosa gitu,

ditindiin trus y gitulah seterusnya. Paling intinya, saya pertama gak

mo kasih tapi pada akhirnya ya udalah karna semua sudah terlanjur

mau gimana lagi.

Subyek II

Subjek II berkata Bahwa :

…Mmm.. tapi karena gue antara terpojok, gue sayang sama pasangan gue

mmm..trus, karena paksaan agak-agak paksaan gitu, jadi gue lakuin …

paksaan itu kayak misalnya mmm cowok gue bilang ah lu kan pacar

gue….mmm…suatu saat lu bakal nikah ma gua kan ... klo gue ga kasih dia

marah, tapi gue pacaran dah lama…lama-lama gue kasih juga”

36
Subyek III

Subyek III berkata bahwa “Hmm..mungkin napsu ya.. trus sayang, dikira bakal

sampai nanti tetapi ternyata ga.”

Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang didapat dari ketiga subyek yang merupakan faktor utama

terjadinya seks pranikah di kalangan remaja ialah karena adanya rasa keterikatan

(rasa kasih sayang) antar kedua pasangan dan didasari nafsu atau hasrat seksual

yang terbentuk akibat perubahan hormonal.

37
BAB V

KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Data penelitian mengenai seks di luar nikah yang didapatkan dari ketiga

subyek yakni subyek I dengan inisial A, subyek II dengan inisial H dan subyek III

dengan inisial P. Data penelitian berhasil kami dapatkan dengan proses wawancara

yang telah kami lakukan beberapa waktu lalu. Berdasarkan hasil penelitian yang

telah dilakukan kepada ketiga subyek, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya

ketiga subyek mempunyai jawaban yang sama mengenai bagaimana seharusnya

diri ideal (ideal self) seorang wanita. Ketiga subyek menyatakan bahwa seharusnya

wanita yang ideal adalah wanita yang setia terhadap pasangannya dan tidak

berganti-ganti pasangan. Harga diri (self esteem) subyek I, II dan III terlihat jelas

mengalami penurunan yang signifikan setelah melakukan hubungan seks di luar

nikah. Orang yang harga dirinya bagus itu adalah orang yang mengalami proses

hubungan yang positif dengan dirinya, punya perasaan positif terhadap dirinya,

punya penilaian yang bagus terhadap dirinya (self-concept).

Subyek H dan P merasa telah tidak berharga, dan menganggap negatif dirinya

sebagai seorang wanita yang sudah tidak sempurna lagi karena telah melakukan

hubungan seks di luar nikah, dan mempunyai rasa takut untuk ditinggalkan oleh

pasangannya. Sedangkan subyek A merasa kesucian seorang wanita dapat

38
terenggut bukan oleh satu pria saja. Ketiga subyek menyatakan tentang gambaran

diri mereka secara sadar maupun tidak sadar, yang mencakup tentang persepsi, dan

perasaan tentang ukuran, bentuk tubuh dan fungsi tubuh. Ketiga subyek merasa

gambaran diri mereka telah berubah yaitu mereka memiliki pandangan yang lebih

luas atau terbuka mengenai alasan seseorang melakukan hubungan seks pranikah,

merasa bahwa dirinya tidak sebaik dulu pada saat belum melakukan hubungan

seksual serta mereka tidak lagi dapat mengikuti aturan dan norma dari orang tua.

Penyebab – penyebab terjadinya hubungan seksual di luar nikah diungkapkan ketiga

subyek karena adanya faktor hormonal yang disebabkan adanya perubahan hormon

yang terjadi saat remaja / masa pubertas sehingga menimbulkan adanya hasrat

untuk melakukan hubungan seksual dan adanya faktor rasa kasih sayang yang

sangat besar terhadap pasangan masing-masing sehingga rela memberikan

keperawanannya yang akhirnya bertentangan dengan aturan dan norma-norma

yang berlaku, termasuk prinsip drinya sendiri.

5.2 Diskusi

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti menemukan self-esteem atau

harga diri dari ke tiga subyek mengalami penurunan setelah melakukan hubungan

seks pranikah pada saat remaja. Penurunan harga diri yang dialami oleh ketiga

subyek terkait dengan pengalaman hubungan seksual pranikah yang membuat para

subyek menyesal akan tindakan tersebut. Bagi wanita keperawanan adalah sesuatu

yang sangat beharga dan patut dijaga, namun ketika hal itu hilang akan

menimbulkan suatu ketidaksempurnaan bagi wanita itu sendiri. Menurut Brande,

39
self esteem yaitu bagaimana seseorang merasakan dirinya (how you feel about

yourself). Kata "bagaimana" di situ mengarah pada adanya kualifikasi rendah dan

tinggi atau positif dan negatif (low and high self-esteem). Sedangkan kata

"merasakan" di sini, menurut Dr. Nathaniel Branden dan lain-lain, mengandung

beberapa pengertian yang perlu digaris-bawahi.

Pertama, pengertian "merasakan" di situ bukan merasa yang asal merasa, tetapi

lebih merupakan "experiencing" dan "dealing with". Jadi, orang yang harga-dirinya

bagus itu adalah orang yang mengalami proses hubungan yang positif dengan

dirinya, punya perasaan positif terhadap dirinya, punya penilaian yang bagus

terhadap dirinya (self-concept). Pengalaman dan proses hubungan yang positif inilah

yang kemudian melahirkan sikap dan tindakan yang positif (terpuji atau terhormat)

( dikutip oleh Rubino, 2004). Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Dr.

Nathaniel, ketiga subyek merasakan dan menilai bahwa dirinya bukan lagi wanita

yang sempurna akibat dari hubungan atau pengalaman negatif yang pernah dialami

ketiga subyek dan pada akhirnya mengakibatkan penurunan harga diri. Seperti yang

dikatakan subyek A bahwa kesucian seorang wanita telah direnggut bukan hanya

oleh satu pria saja melainkan bisa berganti.

Pada awalnya ketiga subyek memang merasakan dan menilai dirinya secara

negatif setelah melakukan hubungan seks pranikah dengan mantan pasangannya.

Para subyek merasa dirinya hancur dan tidak berharga lagi. Tetapi seiring

berjalannya waktu peneliti melihat adanya suatu kekuatan untuk ingin menjadi

wanita yang lebih baik lagi guna mencapai ideal diri pada diri masing-masing

subyek. Hal ini terlihat pada subyek H yang tetap berpikir positif terhadap dirinya

40
walaupun ia menyesal telah melakukan hubungan ini. Menurut Stuard dan Sundeen

self esteem adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan

menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri. Frekuensi pencapaian

tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah atau harga diri yang tinggi (Stuard

& Sundeen, 1991).

Sesuai dengan teori di atas, harga diri para subyek sekarang menjadi lebih baik

karena para subyek berusaha untuk tidak melakukan hubungan seksual pranikah

dengan pasangannya yang sekarang. Para subyek lebih menjaga diri dan tidak ingin

mengulangi rasa penyesalannya serta berusaha mencapai komitmen untuk menjadi

wanita yang lebih baik lagi atau mencapai ideal diri yang ada pada masing-masing

subyek. Hal ini dapat terlihat pada subyek A, H, dan P yang hingga saat ini belum

melakukan hubungan seksual pranikah walau pasangan mereka memintanya. Di

samping itu peneliti menemukan bahwa ketiga subyek yang merupakan wanita usia

dewasa awal menganggap bahwa seorang wanita yang ideal adalah wanita yang

setia, hanya melakukan hubungan seksual dengan pasangannya saja, baik,

bijaksana, dan taat pada Tuhan. Ideal diri adalah persepsi individu tentang

bagaiman ia harus berperilaku berdasarkan standar, aspirasi, tujuan atau penilaian

personal tertentu. Ideal diri akan mewujudkan cita-cita, nilai-nilai yang ingin dicapai

(Stuart & Sundeen, 1991).

Sesuai dengan teori di atas, ketiga subyek mengetahui apa yang harus mereka

lakukan ke depannya seperti berusaha menjaga dan mencegah terjadinya hubungan

seksual pranikah dengan pasangannya yang sekarang. Ini membuktikan bahwa para

subyek berperilaku berdasarkan tujuan personal terentu yang dapat tercermin dari

41
komitmen para subyek mengenai hubungan seksual pranikah. Nilai-nilai yang ingin

dicapai oleh ketiga subyek sebagai wanita adalah nilai kesetiaan terhadap pasangan

dan menjaga diri dengan hanya melakukan hubungan seksual dengan satu orang

saja setelah menikah kelak. Hal ini dapat terlihat pada pasangan subyek H yang

sekarang yang pernah meminta berhubungan seksual dengannya tetapi subyek H

menolaknya. Begitupun dengan subyek P dan A yang hingga saat ini menutup rapat-

rapat kejadian ini pada banyak orang untuk bisa ke jenjang yang lebih serius.

Gambaran diri ketiga subyek yang merupakan wanita usia dewasa awal setelah

melakukan hubungan seksual pra nikah menjadi lebih menilai buruk dirinya, seperti

merasa tidak bisa menunjukkan aturan lagi, merasa bukan wanita yang sempurna,

dan merasa dirinya tidak alim (baik) seperti dahulu. Mereka juga takut akan dampak-

dampak negatif dari hubungan seksual pranikah, seperti hamil. Gambaran diri

adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini

mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, dan fungsi penampilan

dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu yang secara berkesinambungan

dimodifikasi dengan pengalaman baru setiap individu (Feist & Feist, 2006).

Menurut Rogers (dikutip oleh Feist & Feist, 2006), self-concept seseorang dapat

mempengaruhi hidup seseorang dalam 2 faktor yaitu bagaimana ia menilai dirinya

sendiri atau disebut juga self-image, dan bagaimana ia menilai lingkungannya. Self-

image adalah gambaran mental yang umumnya bersifat permanen dan mencakup

dua faktor yaitu hal yang dapat diobservasi secara langsung (seperti tinggi badan,

berat badan, jenis kelamin, dan sebagainya), dan pengalaman pribadi, yang

dipelajari sendiri maupun menginternalisasi anggapan orang lain tentang dirinya.

42
Seperti dikatakan oleh Heiman, Lopiccolo, dan Lopiccolo (1976): Saat kita dewasa,

kita telah belajar untuk mengenali dan mengontrol rasa lapar, sakit, dan letih;

Namun, kadang kita hanya punya sedikit pengetahuan, pengertian, dan

pengontrolan akan fungsi seksual kita. Mungkin pemikiran seksual dan aktivitas

seksual membuat subyek merasa akan dihukum, dan dipercaya bahwa hal tersebut

adalah dosa. Mereka merasa sangat dalam ketika melakukan hubungan seksual dan

merasa sangat bersalah setelahnya seperti takut menjadi hamil.

Mengenai hubungan seksual pranikah, peneliti juga menemukan faktor-faktor

yang menjadi penyebab terjadinya hubungan seks pranikah dari ketiga subyek.

Ketiga subyek mengalami beberapa kejadian identik yang mendorong mereka untuk

melakukan hubungan seksual pada saat remaja. Faktor-faktor tersebut berupa

paksaan secara halus maupun kasar dari pasangan, rasa kasih sayang terhadap

pasangan serta keinginan atau nafsu yang bangkit akibat perubahan hormonal di

masa remaja. Menurut Pangkahila (2001) dorongan seksual akan semakin kuat jika

ada rangsangan seksual dari luar, baik berupa rangsangan fisik maupun psikis.

Berbagai macam rangsangan seksual yang bersifat fisik, seperti ciuman dan rabaan,

dapat membangkitkan dorongan seksual. Hal tersebut dilakuakan oleh ketiga subyek

ketiga hubungan seksual untuk mengawal terjadinya.

Sarwono juga menambahkan faktor-faktor lain yaitu perubahan-perubahan

hormonal yang meningkatkan hasrat seksual remaja. Peningkatan hormon ini

menyebabkan remaja membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu,

penyaluran tersebut tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia

perkawinan, baik secara hukum karena adanya undang-undang tentang perkawinan

43
maupun karena norma sosial yang semakin lama semakin menuntut persyaratan

yang terus meningkat untuk perkawinan dan norma-norma agama yang berlaku,

dimana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah.

Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri memiliki kecenderungan untuk

melanggar hal-hal tersebut. Ketiga subyek cenderung merasa hal yang

mengakibatkan mereka melakukan hubungan seksual pranikah di masa remaja ialah

paksaan dari pasangan mereka. Paksaan tersebut baik secara verbal maupun

nonverbal. Paksaan secara verbal berupa rayuan dari pasangan mereka dan janji-

janji manis seperti tidak akan meninggalkan subyek, sedang paksaan secara

nonverbal berupa aksi menindih secara paksa dan lain sebagainya.

Hambatan

Secara umum kami mampu mengerjakan dengan cukup baik namun terdapat

beberapa hal yang menjadi hambatan selama penelitian berlangsung. Hambatan

yang terjadi di awal penelitian yaitu saat menentukan topik penelitian. Peneliti

mengalami kesulitan saat menemukan karena keinginan peneliti untuk mencari topik

yang lebih spesifik. Peneliti juga memiliki sedikit hambatan dalam mencari subyek

yang sesuai dengan topik penelitian. Awalnya peneliti mendapatkan empat hingga

lima subyek dengan alasan dua subyek yang lain akan di jadikan cadangan

informasi, tetapi setelah selang beberapa waktu kedua subyek cadangan

memutuskan untuk tidak mau diwawancarai.

Di samping itu, kesulitan yang kami jumpai selama proses pembuatan makalah

ini terutama pada proses wawancara, karena ada subyek yang jarak tempat

tinggalnya jauh dari kami yaitu di Tangerang. Hal lain yang menjadi hambatan yaitu

44
faktor waktu yang dimaksud berupa penyususunan jadwal pertemuan dengan antar

subyek juga durasi wawancara karena subyek tidak mempunyai banyak waktu untuk

diwawancarai terus menerus. Jadwal pertemuan yang kami susun sebenarnya

sudah ditentukan jauh sebelumnya namun terdapat beberapa kendala, hal tersebut

dikarenakan subyek kami ada yang bekerja sehingga ia tidak bisa menepati janji

yang sudah di susun sebelumnya sehingga peneliti harus menyamakan kembali

waktu wawancara dengan subyek yang sudah bekerja. Peneliti melihat masih ada

subyek yang tidak terlalu terbuka terhadap peneliti sehingga peneliti harus membuat

atmosfir yang nyaman saat wawancara berlangsung. Hambatan terakhir pada

proses pembuatan makalah ini yaitu, teori-teori yang kami dapatkan awalnya masih

terlalu luas sehingga pada akhirnya kami harus mencari teori baru yang lebih

spesifik untuk menjelaskan topik utama dari makalah ini. Penambahan teori-teori

tersebut mengharuskan kami untuk melakukan wawancara tambahan terhadap

ketiga subyek.

5.3 Saran

5.3.1 Saran yang terkait dengan manfaat teoritis

Untuk penelitian selanjutnya mungkin dapat lebih memfokuskan topik penelitian

pada hal yang lebih spesifik seperti masa lalu subyek dan pengaruh budaya

terhadap pola pikir subyek. Perencanaan yang lebih matang lagi dalam pemilihan,

pendekatan atau membangun hubungan yang baik, serta saat mewawancarai untuk

menghindari respon negatif dari subyek yang bisa menyebabkan subyek menjadi

tertutup ataupun tidak mau diwawancarai untuk kesempatan lainnya. Pemakaian

45
subyek laki-laki juga akan sangat membantu untuk memperluas sudut pandang

dalam memahami fenomena seks di luar nikah. Tidak hanya memandang fenomena

ini melalui kacamata perempuan, namun juga dari sudut pandang laki-laki yang

dianggap sebagai pemicu terjadinya hubungan seks di luar nikah pada masa

remaja. Dengan lebih memahami faktor penyebab terjadinya hubungan seks di luar

nikah yang dilakukan remaja, dapat menjadi sebuah kajian psikologi remaja,

psikologi kepribadian dan perilaku seksual.

5.3.2 Saran yang terkait dengan manfaat praktis

Para remaja perempuan dapat belajar untuk lebih memahami keperawanan

seorang wanita tidak seharusnya diberikan dengan gampang kepada siapapun juga

selain suaminya kelak. Dalam masyarakat yang masih menganggap hilangnya

keperawanan sebagai sebuah aib, maka keperawanan tersebut tidak dapat

dianggap sebagai suatu hal yang sepele. Para remaja juga harus belajar untuk

mengerti bahwa hubungan seks sendiri bukan perwujudan kasih sayang satu-

satunya dalam suatu hubungan pria dengan wanita sehingga dapat lebih berhati-hati

jika ada pasangannya yang berusaha membujuknya untuk melakukan hubungan

seks dengan alasan apapun sebelum mereka menikah.

Para orang tua dari remaja juga dapat belajar untuk menjaga anaknya lebih baik

lagi dalam pergaulan. Pendidikan seks merupakan hal yang penting untuk diberikan

secara dini kepada anak mereka tanpa harus khawatir akan efek negatif dari

pendidikan seks. Jika diberikan dengan benar dan tepat waktunya, maka pendidikan

seks tersebut akan sangat berguna nantinya saat anak mereka mencapai masa

46
remajanya atau ketika mengalami pubertas. Anak-anak yang sudah mendapat

pendidikan seks yang baik dari orangtuanya akan lebih bijak dalam berpikir dan

bertindak ketika mulai bersinggungan dengan hal-hal yang berkaitan dengan seks,

apakah itu dari teman-temannya ataupun dari media. Orang tua yang anaknya telah

melakukan hubungan seks di luar nikah harus belajar untuk dapat menerima

anaknya apa adanya karena sebenarnya sang anak sangat membutuhkan sebuah

penerimaan, kasih sayang dan pengertian dari orang-orang terdekatnya, terutama

keluarga. Dengan adanya penerimaan dari keluarga, sang anak mendapatkan

sebuah kesempatan untuk bangkit kembali dan belajar dari pengalamannya

tersebut.

47
Daftar Pustaka

Agustiani, H. (2006). Psikologi perkembangan: Ppendekatan ekologi kaitannya

dengan konsep diri dan penyesuaian diri pada remaja. Bandung: Refika

Aditama.

Ahmadi, H. A. (1999). Psikologi sosial. Semarang: Rineka Cipta.

Berapakah harga diri anda. Di ambil pada tanggal 28 Agustus 2009, dari

http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel_detail.asp?id=429

Dariyo, A. (2003). Psikologi perkembangan dewasa muda. Jakarta: Gramedia

Widiasarana Indonesia.

Desmita. (2006). Psikologi perkembangan. Bandung: Rosda.

Feist, J., & Feist, G. J. (2006). Theories of Personality (6th ed). New York: McGraw-

Hill.

Gunarsa, S. D. & Gunarsa, Y. S. D. (2004). Psikologi praktis: Anak, remaja dan

keluarga. Jakarta: Gunung Mulia.

Heiman, J., Lopicollo, L., & Lopiccolo, J. (1976). Becoming orgasmic : A sexual

growth program for women. New Jersey : Prentice Hall.

Hoyer, W. J., & Roodin, P. A. (2003). Adult development and aging (5th ed.). New

York: McGraw-Hill.

Hurlock, E. B. (1999). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang

rentang kehidupan (edisi ke-5). Jakarta: Erlangga.

Kartono, K. (1992). Psikologi wanita: Mengenal gadis remaja dan wanita dewasa.

Bandung: Mandar Maju.

48
Keliat, A. (1998). Pembagian konsep diri. Diambil 28 Juli 2009, dari

http://www.masbow .com

Konsep diri. Di ambil pada tanggal 28 Agustus 2009, dari

http://www.damandiri.or.id/file/loetfiadwiunairbab2.pdf

Myers, D.G. (2005). Social psychology (8th ed. ). New York : McGraw-Hill

Pangkahila, W. (2001) Seks yang membahagiakan. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.

Papalia, D. E., Wendkos-olds, S., & Duskin-feldman, R. (2001). Human development

(9th ed.). Boston: McGraw-Hill.

Pengertian seksualitas. Di ambil pada tanggal 27 Agustus 2009, dari

http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2008/12/04/pengertian-seksualitas/

Pendidikan seksual pada remaja. Di ambil pada tanggal 6 September 2009, dari

http://www.ilmupsikologi.com/?p=20=1

Remaja dan hubungan seksual pranikah. Di ambil pada tanggal 26 Agustus

2009, dari http://www.pusatartikel.com/article/pendidikan/remaja-dan-

hubungan-seksual-pranikah.html

Rubino, J. (2004). Restore your magnificence: Panduan mengubah hidup

untuk meraih kembali harga diri. Jakarta: Elex Media Komputindo

Santrock, J. W. (2004). Life-span development (9th ed). Boston: McGraw Hill.

Sarwono, S. W. (2006). Psikologi remaja. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Stuart & Sudeen. (1991). Pembagian konsep diri. Diambil 28 Juli 2009, dari

http://www.masbow.com

49
LAMPIRAN

Pertanyaan

1. Bagaimana hubungan pertemanan anda pada saat remaja dan saat ini?

2. Bagaimana hubungan anda dengan anggota keluarga anda?

3. Bagaimana pola asuh dari orang tua anda?

4. Kapan pertama kali anda melakukan hubungan seksual pranikah?

5. Dengan siapa anda melakukan hubungan tersebut?

6. Apakah pasangan anda meminta langsung kepada anda untuk berhubungan

seksual?

7. Bagaimana perasaan anda setelah melakukan hubungan seksual pranikah?

8. Bagaimana pandangan anda terhadap hubungan seksual pranikah?

9. Apakah wajar menurut anda untuk melakukan hubungan seksual pranikah?

10. Apa yang menyebabkan anda melakukan hubungan seksual pranikah?

11. Bagaimana gambaran diri anda saat ini?

12. Komitmen apa yang dapat anda lakukan untuk diri anda sendiri setelah

melakukan hubungan seksual ini?

50

You might also like