Professional Documents
Culture Documents
SEKOLAHKERANGKA ACUAN
PELATIHAN KKRPS
PUTARAN 1
MATERI 3
MATERI 3
Manajemen Berbasis Sekolah
(Waktu : 90 menit)
A. PENGANTAR
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah Model manajemen yang memberikan
otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan lebih besar
kepada sekolah untuk mengelola sumber daya sekolah meningkatkan partisipasi secara
langsung warga sekolah (guru, siswa, kepsek, karyawan) dan masyarakat (orangtua
siswa, masyarakat, ilmuwan dan pengusaha) untuk meningkatkan mutu sekolah
berdasarkan kebijakan dan perundang-undangan yang berlaku. Melalui MBS
diharapkan terjadi perbaikan tata pengelolaan pendidikan di tingkat sekolah, baik
partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan kemandirian dalam mpengembangan
program dan pembiayaan.
B. TUJUAN
Tujuan Umum:
Peserta pelatihan dapat mengidentifikasi ciri-ciri dan prinsip-prinsip Manajemen Berbasis
Sekolah dan dapat menerapkannya di sekolah masing-masing
Tujuan Khusus:
1. M
engidentifikasi dan merumuskan kunci keberhasilan yang dicapai oleh suatu sekolah;
2. M
engidentifikasi ciri-ciri manajemen berbasis sekolah; dan
3. M
eningkatkan partisipasi orang tua dan masyarakat, serta kerja sama dengan
masyarakat/lembaga/badan di luar sekolah.
2
MODUL 3: MANAJEMEN BERBASIS
SEKOLAHKERANGKA ACUAN
D. LANGKAH KEGIATAN
Brain-
Pengantar Jaring laba- Presentasi
storming
laba
10’
5’ 10’ 15’
Penguatan I
10’
(10
(5)
)
Berdasarkan gambar skema di atas, langkah-langkah kegiatan sesi ini adalah sebagai berikut:
.1 Pengantar (5 menit)
Fasilitator menjelaskan tentang kompetensi dasar dan indokator yang harus dikuasai peserta
dengan sedikit ilustrasi tentang perkembangan pendidikan di Indonesia maupun local. Kemudian
menjelaskan skenario atau tahapan kegiatan yang akan dilakukan dalam sesi ini, termasuk
memberikan kegiatan ice breaker. M emberikan penjelasan pentingnya sesi ini dan kaitannya
antara sesi ini dengan materi Pilar-piar Sekolah Efektif. Dengan harapan, peserta memahami
bahwa konsep manajemen berbasis sekolah sama atau sejalan dengan konsep yang dianut dalam
pilar-pilar sekolah efektif.
3
MODUL 3: MANAJEMEN BERBASIS
SEKOLAHKERANGKA ACUAN
.9 Refleksi (5)
Salah satu atau dua orang peserta menguraikan hikmah setelah melaksanakan kegiatan sesi MBS
ini dan rencana tindak lanjut apa yang akan dilakukan di sekolahnya masing-masing.
4
MODUL 3: MANAJEMEN BERBASIS
SEKOLAHKERANGKA ACUAN
SEKOLAH BER-MBS/EFEKTIF
Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan
sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan keterpurukan
dalam mutu dan keunggulan pendidikan di tanah air. Mengapa demikian?, karena
sistem birokrasi selalu menempatkan “kekuasaan” sebagai faktor yang paling
menentukan dalam proses pengambilan keputusan. Sekolah-sekolah saat ini telah
terkungkung oleh kekuasaan birokrasi yang “menggurita” sejak kekuasaan tingkat
pusat hingga daerah bahkan terkesan semakin buruk dalam era desentralisasi ini.
Ironisnya, kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak yang paling memahami realitas
pendidikan berada pada tempat yang “dikendalikan”. Merekalah seharusnya yang
paling berperan sebagai pengambil keputusan dalam mengatasi berbagai persoalan
sehari-hari yang menghadang upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun, mereka
ada dalam posisi tidak berdaya dan tertekan oleh berbagai pembakuan dalam bentuk
juklak dan juknis yang “pasti” tidak sesuai dengan kenyataan obyektif di masing-
masing sekolah. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kekuasaan
birokrasi persekolahan telah membuat sistem pendidikan kita tak pernah terhenti dari
keterpurukan.
Kekuasaan birokrasi juga-lah yang menjadi faktor sebab dari menurunnya semangat
partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dulu, sekolah
sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat, dan merekalah yang membangun dan
memelihara sekolah, mengadakan sarana pendidikan, serta iuran untuk mengadakan
biaya operasional sekolah. Jika sekolah telah mereka bangun, masyarakat hanya
meminta guru-guru kepada pemerintah untuk diangkat pada sekolah mereka itu. Pada
waktu itu, kita sebenarnya telah mencapai pembangunan pendidikan yang
berkelanjutan (sustainable development), karena sekolah adalah sepenuhnya milik
masyarakat yang senantiasa bertanggungjawab dalam pemeliharan serta operasional
pendidikan sehari-hari. Pada waktu itu, Pemerintah berfungsi sebagai penyeimbang,
melalui pemberian subsidi bantuan bagi sekolah-sekolah pada masyarakat yang benar-
benar kurang mampu.
Namun, keluarnya Inpres SDN No. 10/1973 adalah titik awal dari keterpurukan sistem
pendidikan, terutama sistem persekolahan di tanah air. Pemerintah telah mengambil
alih “kepemilikan” sekolah yang sebelumnya milik masyarakat menjadi milik
pemerintah dan dikelola sepenuhnya secara birokratik bahkan sentralistik. Sejak itu,
secara perlahan “rasa memiliki” dari masyarakat terhadap sekolah menjadi pudar
bahkan akhirnya menghilang. Peran masyarakat yang sebelumnya
“bertanggungjawab”, mulai berubah menjadi hanya “berpartisipasi” terhadap
pendidikan, selanjutnya, masyarakat bahkan menjadi “asing” terhadap sekolah. Semua
sumberdaya pendidikan ditanggung oleh pemerintah dan seolah tidak ada alasan bagi
masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi apalagi bertanggungjawab terhadap
penyelengaraan pendidikan di sekolah.
Manajemen berbasis sekolah (MBS) memang bisa disebut suatu pergeseran paradigma
dalam pengelolaan pendidikan, namun, tidak berarti paradigma ini “baru” sama sekali,
5
MODUL 3: MANAJEMEN BERBASIS
SEKOLAHKERANGKA ACUAN
karena pernah kita miliki sebelum Inpres No. 10/1973. Sekolah-sekolah dikelola secara
mikro dengan sepenuhnya diperankan oleh kepala sekolah dan guru-guru sebagai
pengelola dan pelaksana pendidikan pada setiap sekolah yang juga tidak terpisahkan
dari lingkungan masyarakatnya. MBS bermaksud “mengembalikan” sekolah kepada
pemiliknya yaitu masyarakat, yang diharapkan akan merasa bertanggungjawab kembali
sepenuhnya terhadap pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah.
Sisi moralnya adalah bahwa hanya sekolah dan masyarakatlah yang paling mengetahui
berbagai persoalan pendidikan yang dapat menghambat peningkatan mutu pendidikan.
Dengan demikian merekalah yang seharusnya menjadi pelaku utama dalam
membangun pendidikan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakatnya.
Hanya kepala sekolah yang paling mengetahui apakah guru bekerja baik, apakah buku-
buku kurang, apakah perpustakaan digunakan, apakah sarana pendidikan masih layak
pakai, dan sebagainya. Kepala sekolah dapat “berunding” dengan masyarakat untuk
memecahkan berbagai persoalan pendidikan bersama-sama termasuk mengatasi
kekurangan sarana-prasarana pendidikan.
Di sisi lain, hanya guru-guru-lah yang paling memahami, mengapa prestasi belajar
murid-muridnya menurun, mengapa sebagian murid bolos atau putus sekolah, metoda
mengajar apakah yang efektif, apakah kurikulumnya dapat dilaksanakan, dan
sebagainya. Guru-guru bersama kepala sekolah dapat bekerjasama untuk memecahkan
masalah-masalah yang menyangkut proses pembelajaran tersebut. Untuk itu kepala
sekolah dan guru-guru harus dikembangkan kemampuannya dalam melakukan kajian
serta analisis agar semakin peka terhadap dan memahami dengan cepat cara-cara
pemecahan masalah pendidikan di sekolahnya masing-masing.
Paradigma MBS beranggapan bahwa, satu-satunya jalan masuk yang terdekat menuju
peningkatan mutu dan relevansi adalah demokratisasi, partisipasi, dan akuntabilitas
pendidikan. Kepala sekolah, guru, dan masyarakat adalah pelaku utama dan terdepan
dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sehingga segala keputusan mengenai
penanganan persoalan pendidikan pada tingkatan mikro harus dihasilkan dari interaksi
dari ketiga pihak tersebut. Masyarakat adalah stakeholder pendidikan yang memiliki
kepentingan akan berhasilan pendidikan di sekolah, karena mereka adalah pembayar
pendidikan, baik melalui uang sekolah maupun pajak, sehingga sekolah-sekolah
seharusnya bertanggungjawab terhadap masyarakat.
Namun demikian, entitas yang disebut “masyarakat” itu sangat kompleks dan tak
berbatas (borderless) sehingga sangat sulit bagi sekolah untuk berinteraksi dengan
masyarakat sebagai stakeholder pendidikan. Untuk penyelenggaraan pendidikan di
sekolah, konsep masyarakat itu perlu disederhanakan (simplified) agar menjadi mudah
bagi sekolah melakukan hubungan dengan masyarakat itu.
6
MODUL 3: MANAJEMEN BERBASIS
SEKOLAHKERANGKA ACUAN
Dengan demikian, interaksi antara sekolah dan masyarakat dapat diwujudkan melalui
mekanisme pengambilan keputusan antara sekolah-sekolah dengan Komite Sekolah,
dan interaksi antara para pejabat pendidikan di pemerintah kabupaten/kota dengan
Dewan Pendidikan. Bukti tanggungjawab masyarakat terhadap pendidikan diwujudkan
dalam fungsi yang melekat pada DP dan KS, yaitu fungsi pemberi pertimbangan dalam
pengambilan keputusan, fungsi kontrol dan akuntabilitas publik, fungsi pendukungan
(supports), serta fungsi mediator antara sekolah dengan masyarakat yang diwakilinya.
Keberhasilan pendidikan di sekolah tidak diukur dari pendapat para birokrat, tetapi dari
kepuasan masyarakat atau stakeholder. Fungsi pemerintah adalah fasilitator untuk
mendorong sekolah-sekolah agar berkembang menjadi lembaga profesional dan
otonom sehingga mutu pelayanan mereka memberi kepuasan terhadap komunitas
basisnya, yaitu masyarakat.
Tahap capacity building dilakukan dengan strategi yang berbeda-beda antara kelompok
satuan pendidikan satu dengan satuan pendidikan lainnya. Strategi tersebut adalah
sebagai berikut.
7
MODUL 3: MANAJEMEN BERBASIS
SEKOLAHKERANGKA ACUAN
Model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan
fleksibilitas/keluwesan lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumber daya
sekolah meningkatkan partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepsek,
karyawan) dan masyarakat (orangtua siswa, masyarakat, ilmuwan dan pengusaha)
untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan dan perundang-undangan
yang berlaku.
Karena itu, esensi MBS adalah otonomi sekolah + fleksibilitas + partisipasi untuk
meningkatkan mutu sekolah.
Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan atau kemandirian dalam mengatur dan
mengurus sekolahnya sendiri, tidak tergantung kepada pihak lain. Kemandirian dalam
program sekolah dan pendanaan merupakan tolak ukur utama kemandirian sekolah.
Dengan kemandirian sekolah yang terus menerus diharapkan akan menjamin
keberlanjutan sekolah (sustainabilitas) sekolah.
Fleksibilitas dapat diartikan sebagai keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk
mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumber daya sekolah seoptimal
mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan cara sekolah akan lebih responsif
dan lebih cepat dalam menanggapi tantangan yang dihadapi, namun harus tetap sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
8
MODUL 3: MANAJEMEN BERBASIS
SEKOLAHKERANGKA ACUAN
akan mempunyai rasa memiliki yang tinggi. Hal ini diharapkan akan menciptakan
keterbukaan, akuntabilitas dan kerja tim yang kuat.
2. Pengelolaan kurikulum
Sekolah berwenang mengembangkan (memperdalam, memperkaya,
memodifikasi) agar lebih kontekstual tetapi tidak boleh mengurangi isi kurikulum
yang berlaku secara nasional. Selain itu sekolah juga berwenang mengembangkan
kurikulum muatan lokal.
3. Pengelolaan Ketenagaan
Sekolah dapat mengelola ketenagaan, mulai dari analisis kebutuhan,
perencanaan, hubungan kerja, hadiah dan sanksi, evaluasi. Yang masih menjadi
kewenangan pusat adalah sistem gaji dan rekrutmen.
4. Pengelolaan Fasilitas
Sekolah diberi kewenangan mengadakan, memelihara dan memperbaiki,
serta mengembangkan fasilitas sekolah terutama yang erat kaitannya dengan proses
belajar mengajar.
5. Pengeloaan Keuangan
Sekolah diberi kewenangan mengelola dana terutama pengalokasian dan
melakukan kegiatan yang mendatangkan penghasilan.
6. Pelayanan siswa
Pembinaan dan pembinaan siswa sebenarnya sudah menjadi wewenang sekolah
sejak lama, yang perlu adalah peningkatan kualitasnya.
9
MODUL 3: MANAJEMEN BERBASIS
SEKOLAHKERANGKA ACUAN
Hasil yang diharapkan adalah sekolah yang berprestasi yang dapat diklasifikasikan
menjadi dua yaitu prestasi akademik dan prestasi non-akademik. Prestasi akademik
berupa nilai NUN, UAN yang tinggi, juara karya ilmiah, juara lomba akademik
(Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Kimia, berfikir ilmiah, dll), sedangkan non-
akademik berupa belajar seumur hidup, keingintahuan tinggi, toleransi, disiplin, taat
beragama, kerajinan, kesenian, olah raga dll.
10
MODUL 3: MANAJEMEN BERBASIS
SEKOLAHKERANGKA ACUAN
11