You are on page 1of 12

TUGAS UAS SOSIOLOGI KEBUDAYAAN

Fikri Riswandi

Sosiologi Pembangunan (Reguler 2007)

4825072313

Warkop DKI :

Bebas Aturan Main

Pendahuluan

Pengertian film

Film merupakan gambar hidup, secara kolektif film sering disebut sebagai
sinema. Secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie, berasal dari Cinema
+ tho = phytos (cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar = citra), jadi artinya
melukis gerak dengan cahaya. Maka karena itu, untuk memproduksi suatu film
harus menggunakan alat khusus, yaitu kamera. Sedangkan film Menurut UU 8/1992,
adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa
pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada
pita seluloid, pita video, piringan video, dan atau bahan hasil penemuan teknologi
lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses
elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan
dan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, eletronik, dan atau lainnya.1

Kini film termasuk dalam salah satu cabang seni yang dapat dikatakan
memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan modern. Seperti yang seorang
kritikus film pernah katakan “closer to heaven or closer to hell” (lebih dekat ke surga
atau lebih dekat ke neraka), artinya film memiliki pengaruh yang baik bagi kehidupan
manusia, misalnya di bidang pendidikan, penerangan, hiburan yang sehat, dan juga
seni. Film – film yang lebih menonjolkan bidang – bidang tersebut, pengaruhnya lebih
bersifat konstruktif. Akan tetapi, film juga memiliki pengaruh yang buruk, seperti

1 http://bahasfilmbareng.blogspot.com/search?updated-min=2008-01
01T00:00:00%2B07:00&updated-max=2009-01-01T00:00:00%2B07:00&max-results=7
film-film yang menonjolkan porno dan kekerasaan, yang dapat merangsang nafsu –
nafsu kebinatangan, dan yang dapat membawa penontonnya ke jalan yang sesat. Film
– film seperti ini, pengaruhnya lebih bersifat destruktif.2

Dalam kenyataan sekarang, film yang merupakan produk industri budaya


sudah menjadi bagian dari masa kehidupan modern, sehingga tidak dapat dielakkan
dan harus diterima.3 Meskipun memang film memiliki pengaruh positif dan negatif
yang besar terhadap kehidupan manusia. Maka karena itu, hidup di masa modern
seperti sekarang tanpa film, sulit untuk dibayangkan.

Film yang merupakan salah satu cabang seni adalah hasil dari produk budaya.
Definisi seni sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
“keahlian membuat karya yang bermutu (dilihat dari segi kehalusannya,
keindahannya, dan lain sebagainya).4 Produk budaya merupakan gabungan dari dua
konsep, yakni barang budaya dan jasa budaya.5 Film dapat dikategorikan masuk jasa
budaya juga karena secara umum jasa budaya juga mencakup jasa audiovisual
(distribusi film, pertunjukan film, serta kepemilikan dan pengoperasian perfilman).6
Karena dalam pembuatan film terdapat peran dari jasa audiovisual maka karena itu
film juga dikategorikan termasuk ke dalam jasa budaya.

Sejarah perfilman di Indonesia

Setelah Indonesia dinyatakan merdeka pada tahun 1945, memasuki tahun 1950
pemerintah banyak melakukan pembangunan di berbagai sektor (ekonomi,

2 Gayus Siagian. Sejarah Film Indonesia Masa Kelahiran-Pertumbuhan, (Jakarta: Fakultas Film dan
Televisi Institut Kesenian Jakarta, 2010), hlm. 1.
3 Istilah industri budaya berlaku pada industri yang menggabungkan daya cipta, produksi, serta
komersialisasi produk yang bersifat tak kasat mata dan kultural. Ini dilindungi oleh hak cipta dan dapat
berwujud barang atau jasa. Berdasarkan konteksnya, industri budaya disebut sebagai “industri kreatif”,
“matahari terbit”, industri berorientasi masa depan” dalam istilah ekonomi, atau “content industries”
dalam istilah teknik. Industri budaya umumnya meliputi penerbitan, percetakan, produksi multimedia,
audio-visual, fonografi (rekaman suara), sinematografi, dan juga termasuk kerajinan dan desain.
4 Ely Setiadi dkk, 2006. Ilmu Sosial Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana Predana Media Group), hlm.
160.
5 Istilah barang budaya mengacu pada barang – barang konsumen yang dapat menyampaikan gagasan,
simbol, dan pandangan hidup yang memberikan informasi atau hiburan, membantu pembentukan
identitas kelompok, dan mempengaruhi praktek – praktek budaya. Sebagai hasil daya cipta perorangan
atau kelompok, ini memiliki hak cipta, diperbanyak dan ditingkatkan kualitasnya melalui proses
industri dan distribusi global. Istilah jasa budaya dipahami sebagai aktivitas – aktivitas yang bertujuan
memenuhi kepentingan atau kebutuhan budaya. Aktivitas ini khususnya meliputi semua tindakan dan
sarana pendukung praktek – praktek budaya yang disediakan pemerintah, lembaga swasta dan
semipublik, atau perusahaan yang khususnya disediakan untuk masyarakat.
6 Kanisius, 2005. Kebudayaan, perdagangan, dan globalisasi, hlm. 19.
infrastruktur, sosial, dan budaya). Industri perfilman nasional yang termasuk dalam
ranah industri hiburan di masa itu, tidak lepas dari pembangunan yang dilakukan
pemerintah. Produksi film nasional yang dibuat pada awal tahun 1950an, makin
banyak menggunakan artis – artis dari orang indonesia, mempergunakan bahasa
Indonesia, meskipun lebih mirip bahasa Melayu Pasar. Akan tetapi tetap saja
kedudukan orang – orang film Indonesia di masa itu tidak jauh berbeda dengan
keadaan sebelum merdeka. Karena pimpinan, modal produksi, sarana – prasarana,
distribusi, dan eksibisi berada di tangan orang – orang yang non-pribumi (terutama
tionghoa). Sedangkan posisi kedudukan orang – orang Indonesia lebih banyak yang
bekerja di bawah bangsa asing, tidak turut berbicara maupun ikut serta dalam
menentukan kebijakan, dan ini terdapat dalam hampir semua bidang perdagangan.
Berikut adalah kesimpulan umum yang menjadi ciri-ciri sejarah produksi film
nasional pada tahun 1950, yaitu7 :

Film sebagai lapangan baru dengan potensi atau presfektif yang menguntungkan
atau komersial.

Daya tarik barang baru bagi yang berjiwa perintis, maupun sebagai alat objek
spekulasi atau petualangan.

Tahap meniru belum ada gagasan yang jelas mengenai fungsinya, kecuali sebagai
alat hiburan.

Tidak didorong oleh idealisme seni dan corak khas Indonesia belum ada dan belum
dipikirkan.

Tenaga-tenaga belum terdidik non-intelektual, belum menguasai dasar-dasar


simatografis.

Mengarah ke industri barang dagang, bukan seni atau penerangan atau pendidikan.

Film – film cerita, belum memikirkan pembuatan film – film non-theatrical,


kecuali film – film yang dibuat sineas – sineas Belanda secara insidentil dalam
kerja-sama dengan atau atas pesanan atau dukungan Pemerintah Hindia
Belanda.

Produksi di tangan Tionghoa, bersifat kepemilikan keluarga.

Film yang dibuat oleh sineas Tionghoa berorientasi ke negeri Tiongkok, sedangkan
7 Gayus Siagian,. Sejarah Film Indonesia Masa Kelahiran-Pertumbuhan, (Jakarta: Fakultas Film dan
Televisi Institut Kesenian Jakarta, 2010), hlm. 76 – 77.
yang dibuat oleh orang – orang Belanda menggambarkan kehidupan Indonesia.

Orang – orang Indonesia sebagai pemain atau karyawan, tidak turut serta
menentukan kebijaksanaan perusahaan atau pimpinan.

Dimasa era masa peralihan (sekitar tahun 1948 – 1949), sudah ada beberapa
pribumi yang menguasai seluk – beluk produksi film. Orang – orang inilah yang
menjadi pelopor dari lahirnya produksi film nasional. Berdasarkan catatan sejarah,
dimasa ini perfilman nasional mulai berkembang, diawali dengan berdirinya
perusahaan Film Nasional Indonesia (PERFINI) pada tanggal 30 Maret 1950. Karena
awal perkembangan film nasional dimulai dari sini, maka pada tanggal 30 Maret 1950
dijadikan sebagai tonggak penting sejarah film Indonesia, sehingga pada tanggal
tersebut dijadikan sebagai Hari Film Nasioal, yang dijadikan ssebagai tradisi tahunan
mengadakan Festival Film Indonesia (FFI) seperti yang kita ketahui sekarang. Setelah
kelahiran PERFINI muncul organisasi – organisasi film lainnya, seperti PERSARI
(Perseroan Artis Republik Indonesia), Perusahaan Film Negara (PFN), LEKRA
(Lembaga Kebudayaan Rakyat).8 Selain mulai banyak lahirnya organisasi perfilman,
ternyata sudah mulai memproduksi film nasional seperti Darah dan Doa, The Long
March of Siliwangi, Enam Jam di Yogya, Si Pincang, dan lain sebagainya.

Pada masa tersebut memang merupakan masa yang cukup subur bagi
perkebangan film nasional, tetapi ternyata juga terjadi kemunduran perfilman
nasional. Kemuduran ini disebabkan oleh bebarapa faktor, yaitu mulai merambahnya
film – film Indoa yang merupakan saingan berat bagi produksi film nasional,
munculnya film – film bara yang dibuat dalam ukuran standar hitam-putih,
disintegnasi politik dan dislokasi sosial ekonomi selama Orde Lama, dan munculnya
LEKRA sebagai organisasi di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang
memonopoli perfilman nasional. Kemunduran ini mencapai titik terendah pada tahun
1959, lalu kemudian secara berkelanjutan menanjak naik. Namun, dibutuhkan waktu
sepuluh tahun untuk dapat kembali pada harapan memajukan industri perfilman di
Indonesia.

Setelah mencapai titik terendah dengan hasil 17 judul film pada tahun 1959,
industri film nasional mulai memperlihatkan kesegarannya kembali pada awal tahun
1960an. Ini ditandari dengan meningkatnya jumlah produksi film mencapai 36 judul
film, seperti Pisau Surit. Pada tahun 1960-an pun juga diadakan ajang Festival Film
8 Ibid., hlm. 77 – 78.
Indonesia VI, melanjutkan Festival Film Indonesia I yang pernah diadakan pada tahun
1955. Meskipun pada tahun – tahun 1956, 1957, 1958, dan 1959 tidak pernah
diadakan.9

Pada masa 1946 – 1965 dipandang sebagai era kelam dalam perfilman
nasional. Ini dikarenakan Panitia aksi Penggayangan Film film imperialisme Amerika
Serikat (PARFIAS) yang dikendalikan LEKRA dan antek – anteknya menghantam
film – film Indonesia yang tidak bertemakan “Manipol Usdek”. Selain itu ini juga
dikarenakan adanya konflik terbuka antara PKI dengan golongan non-komunis /
ABRI yang puncaknya pada peristiwa G30S/PKI yang berlangsung sampai bulan
Maret 1966.10

Pada era tahun 1970an, perfilman nasional kembali bergairah. Masa ini
ditandai dengan mulai banyaknya muncul film – film dari berbagai jenis, mulai dari
yang bertema budaya lokal, nasionalisme, drama remaja dan dewasa, laga, komedi
dan lain sebagainya. Namun, perkembangan Film Indonesia mencapai puncaknya
pada tahun 1980 – 1990an. Ini dinilai dari mulai bertambah semakin banyaknya jenis
– jenis film yang diproduksi, seperti film pop remaja seperti Lupus dan Catatan si
Boy, komedi dengan Warkop DKI sebagai rajanya, laga dengan Barry Prima dan Eva
Arnaz sebagai raja dan ratunya, horror dan misteri dengan Suzana sebagai ratunya,
musikal dengan Rhoma Irama pada masa kejayaannya, drama percintaan, hingga film
panas (film – film yang berbau sex dan kekerasan).11

Pada era tahun 2000 hingga kini, industri perfilman nasional banyak
mengalami peningkatan. Ini dinilai dari mulai maraknya produksi film nasional yang
bertemakan pendidikan, kritikan terhadap pemerintah, nasionalisme, film anak,
hingga film – film religius dan film animasi. Antara lain seperti Film Laskar Pelangi,
Garuda Di Dada Ku, King, Emak ingin naik Haji, Ketika Cinta Bertasbih, Naga Bonar
jadi Dua, dan lain sebagainya.

Namun, dalam penulisan ini saya bermaksud untuk menganalisis film yang
berjudul “Bebas Aturan Main”. Film ini tentang perteman tiga orang dewasa yang
akan melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya, meskipun harus melawan aturan
yang ada.
9 Ibid., hlm. 112.
10 Ibid., hlm. 115 – 116.
11 http://lapanpuluhan.blogspot.com/2006/02/festival-film-indonesia-era-80.html (diakses pada
tanggal 8 Juni 2010)
Review Film “Bebas Aturan Main”

Film berjudul “Bebas Aturan Main” ini merupakan salah satu film ber-genre
komedi yang dibintangi oleh kelompok lawak “Warkop DKI” yang digawangi oleh
Dono, Kasino, dan Indro. Film “Bebas Aturan Main” juga dibintangi oleh beberapa
artis cantik seperti Diah Permatasari, Gitty Srinita, Lela Anggraini. Film ini
diproduksi oleh P.T. SORAYA INTERCINE FILM pada tahun 1993 dan disutradarai
oleh Tjut Djalil.

Gambar 1.1

Cover VCD Film Warkop DKI

“Bebas Aturan Main”

Sumber:
http://img7.uploadhouse.com/fileuploads/3889/38897476ba9188428c21e475f8b8650626d9309.jpg

Film berjudul “Bebas Aturan Main” menceritakan tentang tiga orang sekawan
yaitu Dono, Kasino, dan Indro yang menjadi salah satu tim penasehat dalam lomba
pemilihan ratu pantai. Seperti kebanyakan film di era itu, banyak yang menonjolkan
sisi pornografi untuk menarik penonton sehingga film ini dapat terjual lebih banyak.
Ini terlihat pada saat adegan melihat penampilan gadis – gadis cantik yang
mengenakan pakaian renang sexy, mereka langsung tertarik pada tiga gadis cantik
yang ketiganya bersaudara. Ketiga gadis ini dalam setiap adegannya selalu
mengenakan pakaian yang sexy dan minim. Sehingga sangat menarik perhatian
selama film diputar. Dalam cerita ini ternyata di luar dugaan Dono, Kasino, Indro,
ketiga gadis itu adalah anak dari orang tua yang telah mereka kerjai waktu mereka
kehilangan celana di WC.

Pada waktu kehilangan celana, mereka merampas celana orang tua itu karena
keadaan sedang kepepet. Sehingga terjadi perebutan celana dan kejar – kejaran
diselingi dengan kejahilan – kejahilan Dono, Kasino, Indro (seperti: melempar
petasan ke dalam WC, memasang bom di celana dalam orang tua tadi, merampas
celana orang diam – diam, dan banyak lainnya).

Dalam film ini selain menceritakan tentang usaha Dono, Kasino, Indro dalam
mengejar wanita pujaannya, ternyata juga disuguhi adegan komedi dewasa yang
memang banyak beredar di era 1980 – 1990an, seperti ketika Kasino mengantarkan
surat ke rumah tetangganya, yang ternyata pemilik rumah tersebut bernama sama
(yakni, Kasino) dan juga memiliki isteri yang cantik dan sexy. Pada adegan ini Kasino
masuk ke kamar mandi tetangganya ketika isterinya sedang mandi, sehingga pas
ketahuan ia langsung di hajar oleh tetangganya itu hingga babak belur. Adegan yang
tidak jauh berbeda adalah ketika Dono kehilangan celananya saat berada di kolam
renang umum. Ia terpaksa pulang berjalan telanjang bulat dengan papan
pemberitahuan sebagai penutup kemaluannya. Pada adegan ketika ia diejek
sekawanan gadis dalam bus, pantatnya betul – betul tampak telanjang bulat.

Lalu, kembali ke cerita utama, dimana tiga sekawan ini berusaha untuk
mengejar gadis pujaannya sehingga membuat mereka melakukan hal – hal yang dalam
keadaan sebenarnya itu dilarang aturan oleh hukum, seperti malam – malam
menyelinap ke rumah tiga gadis itu seperti maling, menipu ayah ketiga gadis itu
dengan alasan sebagai tim pengawas kebersihan dari Dinas DKI, hingga menyamar
jadi patung untuk dapat menyelinap ke dalam rumah tiga gadis tersebut untuk dapat
memeras ayah mereka agar diijinkan ketiga anak gadisnya berhubungan dengan
ketiga sekawan ini.

Diakhir cerita, kebohongan mereka pun terungkap. Sehingga ayah ketiga gadis
itu marah besar. Dan terjadilah kejar – kejaran antara ayah ketiga gadis itu, satpam
mereka dengan ketiga sekawan ini (Dono, Kasino, Indro). Akhir film ini seperti
kebanyakan akhir film mereka di era 1990an lainnya, ditutup dengan adegan mereka
bertiga kecebur di danau atau sungai pinggir jalan.
Analisis Sosiologi Kebudayaan

Produksi Sosial

Menurut Raymond William kebudayaan merupakan suatu konsep yang paling


sulit untuk didefinisikan. Ia membagi empat definisi dari kebudayaan: 12

Kebiasaan individu (individual habit)

Perkembangan pemikiran masyarakat (individual the hole of the society)

Bentuk-bentuk kesenian (art from/ art)

Cara hidup individu atau masyarakat (way of life the individual)

Film sebagai suatu bagian dalam seni sarat akan nilai – nilai kebudayaan. Film
sendiri kini sudah menjadi bagian dari kehidupan modern. Sehingga sesuatu yang
tidak bisa lepas kehadirannya dalam mempengaruhi kehidupan manusia. Dalam suatu
film ada kegiatan komunikasi antara komunikator dengan komunikan. Dialog yang
diucapkan sesama pemain menciptakan sebuah bentuk komunikasi. Komunikasi ini
kemudian disiarkan ke masyarakat dalam bentuk adegan yang memiliki alur cerita
untuk di nikmati penontonnya.

Komunikasi yang ditujukan kepada orang atau kelompok merupakan sebuah


proses pertukaran kebudayaan. Dalam proses tersebut mengandung unsur-unsur
kebudayaan, salah satunya bahasa yang terkandung di dalam suatu film. Maka bahasa
di dalam film dapat dikategorikan sebagai bagian dari kebudayaan.

Film “Bebas Aturan Main” merupakan salah satu produk kebudayaan di era
Orde Baru. Dimana film yang berbau kekerasan dan seksualitas masih banyak
beredar. Namun, dalam film ini yang menjadi poros utamanya adalah perilaku jenaka
dari tiga sekawan Warkop, yakni Dono, Kasino, Indro. Adegan – adegan sexy
kebanyak hanya terdapat di awal sebagai pembuka dan di akhir sebagai penutup. Jadi
terlihat bahwa adegan – adegan yang berbau pornografi dalam film “Bebas Aturan
Main” hanya sebagai selingan untuk menarik penonton seperti yang diinginkan
produsernya, dikarenakan mengikuti pasar pada masa itu.

Menurut Raymond Williams ada tiga komponen pokok kebudayaan, yaitu :

Lembaga-lembaga budaya

12 Handout perkuliahan sosiologi kebudayaan 18 Februari 2010


Isi budaya

Efek budaya atau norma-norma

Pada lembaga budaya dikaji tentang siapa yang menghasilkan budaya, siapa
yang mengkontrol, dan bagaimana control itu dilakukan. Dalam film “Bebas Aturan
Main”, film ini sesungguhnya hanya film untuk menghibur karena tema film ini
adalah murni komedi, tidak ada berbau sex ataupun kekerasan. Namun, dalam film ini
ditampilkan adegan – adegan gadis – gadis sexy dengan berbusana bikini, itu
dikarenakan pada masa itu sedang maraknya film – film yang sarat akan seksualitas
dari kaum wanita, sehingga untuk menarik lebih banyak penonton film “Bebas Aturan
Main” diselipkan beberapa adegan dengan gadis – gadis sexy berpakaian minim. Dari
hal tersebut akan menyebabkan efek budaya dalam perfilman nasional, bahwa film
bukan lagi menjadi seni yang eksklusif tetapi sebagai hasil produksi yang mengikuti
selera pasar.

Menurut Light, Keller, dan Calhoun, media massa yang terdiri dari media
massa cetak (surat kabar, majalah) maupun elektronik (radio, film, televise, internet)
merupakan komunikasi yang menjangkau sejumlah besar orang (1989)13. Film sebagai
hasil Produksi budaya mempengaruhi kehidupan penontonnya. Film “Bebas Aturan
Main” dari dulu hingga kini masih tetap banyak penontonnya, ini dikarenakan film ini
diperankan oleh pelawak – pelawak berkualitas yang legendaris seperti Dono, Kasino,
dan Indro. Akan tetapi beberapa adegan yang menjadi penarik penonton di masa
1990an kurang cocok ditonton oleh anak – anak jika mereka tanpa bimbingan orang
tua. Karena pengaruh perkebangan dari anak lebih besar melalui media komunikasi
seperti film.

Relasi sosial

Film “Bebas Aturan Main” yang digawangi oleh Warkop DKI ini memiliki
relasi sosial dengan budaya masyarakat perkotaan di era 1990an. Terry Eagleton
menungkapkan bahwa kebudayaan (culture) berasal dari bahasa latin yaitu (colere),
artinya adalah In Habiten atau subjek yang menempati tempat tinggal. Untuk itu
masyarakat harus membangun asosiasi tentang sebuah situs atau tempat tinggal14.

13 Sunanto Kamanto, Pengantar Sosiologi Edisi Revisi, (Jakarta :Penerbitan Fakultas Ekonomi
Universitas indonesia,2000), hlm.28
14 Handout perkuliahan sosiologi kebudayaan 18 Februari 2010
Film “Bebas Aturan Main” mengandung nilai – nilai modernisasi pada era
Orde Baru yang sulit dibendung. Dimana kebudayaan barat masuk mempengaruhi
budaya perfilman nasional. Sehingga dalam banyak film di era 1989 – 1990an banyak
film –film yang menyisipkan adegan – adegan panas atau sexy, baik itu film laga,
horor/misteri, drama, maupun komedi. Hal itu dimaksudkan untuk lebih banyak
menarik penonton agar film – film nasional tidak kalah saing dengan film – film barat
yang beredar pada masa itu. Berikut adalah bentuk skema relasi sosial:

In Habiten Colere/kebudayaan Coloni/masyarakat Education/pendidikan

Dalam film “Bebas Aturan Main” juga ditanamkan nilai – nilai hedonisme,
dimana tiga sekawan ini dalam film “Bebas Aturan Main” berperilaku seenaknya dan
sesantai mereka tanpa memikirkan sekitar mereka. Nilai-nilai kebudayaan hedonisme
benar – benar ditayangkan dalam setiap adegan film “Bebas Aturan Main”.

Kontestasi Ideologi

Sosiologi kebudayaan membahas tentang ideologi yang terdapat dalam


kebudayaan, baik konkreat maupun abstrak. Kontestasi ideologi memberikan
deskripsi bagaimana dan apa maksud dari sebuah kebudayaan muncul di masyarakat.
Menurut Karl Marx analisa mengenai kebudayaan melalui proses ekonomi yaitu: 15

produksi distribusi konsumsi

Pada tahapan produksi, kebudayaan dalam film “Bebas Aturan Main” terdapat
campur tangan kaum borjuis yaitu pemilik modal (produser) dalam menentukan isi
film yang akan dibuat. Hal ini tampak dalam bagian film “Bebas Aturan Main”,
bahwa akan ada adegan dimana banyak gadis – gadis cantik berpakaian sexy yang
menari – nari ataupun bermain di pantai yang digunakan untuk menarik penonton
terutama kaum lelaki. Namun dalam film ini adegan tersebut hanya disajikan di awal
dan di akhir karena memang pada dasarnya film ini hanya film untuk komedi saja.
15 Handout perkuliahan sosiologi kebudayaan tanggal 04 Maret 2010
Pada tahapan distribusi, ada peran serta lembaga pemerintah seperti Lembaga
Sensor Film (LSF) yang berhak menentukan suatu film layak disiarkan atau tidak.
Namun pada era ORBA lembaga LSF dengan berani membiarkan film – film yang
sarat akan gadis – gadis cantik dan berpakaian sexy untuk lulus sensor. Ini
dikarenakan ada dukungan modal yang tinggi dari pemilik modal untuk menyokong
filmnya agar lulus sensor dari lembaga tersebut.

Pada tahapan terakhir, masyarakat yang menikmati hiburan komedi dari film
“Bebas Aturan Main”. Disini penonton akan dibuat tertawa dengan banyolan dan
perilaku jenaka dari Dono, Kasino, Indro. Masyarakat bebas untuk menonton film ini,
karena film ini sudah banyak copy-annya, baik dalam bentuk dvd maupun vcd. Jika
masyarakat ingin mendukung produksi film dalam negeri dapat membelinya dvd atau
cd aslinya di toko dengan harga cukup mahal.

Film “Bebas Aturan Main” adalah film komedi yang sarat akan perilaku jahil
dari tiga sekawan Dono, Kasino, dan Indro. Namun dalam film ini terdapat beberapa
adegan yang menyiarkan gadis – gadis sexy. Akan tetapi, adegan tersebut hanya
sebagai faktor penarik yang disisipkan oleh pihak produksi agar dapat lebih banyak
menarik penonton pada masa film ini diputar. Seperti kalimat yang diutarakan Indro
ketika ditanyakan Dono dalam suatu film mereka lainnya, yaitu:

Dono: Kenapa kita ada ke pantai mulu ya?

Indro: yaa.. kalo ngak begini, ngak laku kita..

Daftar pustaka

Handout perkuliahan sosiologi kebudayaan

Kamanto, Sunanto. Pengantar Sosiologi Edisi Revisi, (Jakarta :Penerbitan


Fakultas Ekonomi Universitas indonesia). 2000.

http://lapanpuluhan.blogspot.com/2006/02/festival-film-indonesia-era-80.html
(diakses pada tanggal 8 Juni 2010)

http://img7.uploadhouse.com/fileuploads/3889/38897476ba9188428c21e475f8b8
650626d9309.jpg (diakses pada tanggal 8 Juni 2010)

http://bahasfilmbareng.blogspot.com/search?updated-min=2008-01
01T00:00:00%2B07:00&updated-max=2009-01-
01T00:00:00%2B07:00&max-results=7 (diakses pada tanggal 8 Juni 2010)

Siagian, Gayus. Sejarah Film Indonesia Masa Kelahiran-Pertumbuhan, (Jakarta:


Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta, 2010), hlm. 1.

Setiadi, Ely dkk. Ilmu Sosial Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana Predana Media
Group) , 2006.

Kanisius, Kebudayaan, perdagangan, dan globalisasi. 2005.

You might also like