You are on page 1of 20

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembangunan kesehatan adalah bagian dari pembangunan nasional yang
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat
bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat setinggi – tingginya.
Pembangunan kesehatan tersebut merupakan upaya seluruh potensi bangsa
Indonesia, baik masyarakat, swasta maupun pemerintah.
Keadaan gizi yang tidak seimbang dapat mempengaruhi status gizi dan pada
akhirnya menimbulkan masalah gizi. Sampai saat ini ada 4 masalah gizi utama yang
berkaitan dengan kesehatan masyarakat yaitu kurang energy protein (KEP), anemia
gizi besi, kurang vitamin A (KVA), dan gangguan akibat kekurangan yodium
(GAKY).
Masalah gizi terbagi menjadi masalah gizi makro dan mikro. Masalah gizi
makro adalah masalah yang utamanya disebabkan kekurangan atau
ketidakseimbangan asupan energi dan protein. Manifestasi dari masalah gizi makro
bila terjadi pada wanita usia subur dan ibu hamil yang Kurang Energi Kronis (KEK)
adalah berat badan bayi baru lahir yang rendah (BBLR). Bila terjadi pada anak balita
akan mengakibatkan marasmus, kwashiorkor atau marasmic-kwashiorkor dan
selanjutnya akan terjadi gangguan pertumbuhan pada anak usia sekolah.
Dalam hal ini seorang manajer program kesehatan masyarakat dituntut untuk
memiliki keterampilan mengkaji dan merumuskan masalah kesehatan masyarakat
dan masalah program yang berkaitan dengan kejadian kekurangan gizi. Untuk
menghadapi tuntunan perkembangan program di era otonomi daerah, petugas
kesehatan yang bekerja di Dinas Kesehatan dan Propinsi harus meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan manajerialnya agar tugas-tugas pokoknya dapat
dilaksanakan lebih efisien, lebih efektif, dan produktif.
Upaya untuk mencegah semakin memburuknya keadaan gizi masyarakat di
masa datang perlu dilakukan dengan segera dan direncanakan sesuai masalah daerah
2

sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan desentralisasi. Keadaan ini


diharapkan dapat semakin mempercepat sasaran nasional dan global dalam
menetapkan program yang sistematis mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan
pemantauan.

1.2 Tujuan
1.2.1. Tujuan Pendidikan Tahap I

a) Pemahaman dasar-dasar pengetahuan ilmu gizi yang berkaitan dalam


menunjang upaya perbaikan gizi.
b) Pemahaman manusia sebagai subyek dan makhluk bio-psikososial dan
spiritual (dalam upaya pendidikan), merupakan insan yang mempunyai potensi untuk
tumbuh dan berkembang serta berupaya memajukan masyarakat serta
lingkungannya.
Pada akhir pendidikan tahap I peserta didik diharapkan mampu :

a) Mensintesa dan menerapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip ilmu perilaku,


ilmu sosial budaya dan ilmu anatomi fisiologi dalam rangka memahami manusia
sebagai makhluk bio-psikoso-kultural dan spiritual dengan seluruh kebutuhannnya
dan sebagai anggota keluarga, kelompok dan masyarakat.
b) Memahami dan menghayati bidang gizi sebagai ilmu dan peran ahli gizi sebagai
anggota tim kesehatan dalam sistem pelayanan kesehatan nasional.
c) Menghubungkan dan mengkaitkan aspek-aspek dan nilai-nilai sosio budaya
masyarakat terhadap peran dan fungsi ahli gizi.
d) Berkomunikasi secara verbal dan tertulis sehingga mampu memanfaatkan
sumber-sumber pendidikan dalam menulis makalah atau laporan.

1.2.2. Tujuan Pendidikan Tahap II

a) Pengenalan masalah-masalah yang berhubungan dengan gizi dan kesehatan, baik


individu, keluarga maupun masyarakat.
3

b) Mengkaji kebutuhan gizi individu, keluarga dan masyarakat dalam menanggulangi


masalah kesehatannya dengan menggunakan sumber-sumber yang ada dan potensial
dari pada individu dan masyarakat.
Pada akhir pendidikan tahap II peserta diharapkan mampu :

a) Mengkaji fungsi faali zat-zat gizi dalam bahan makanan untuk mempertahankan
mutu makanan dalam hubungannya dengan keadaan gizi dan kesehatan.
b) Memahami permasalahan gizi dengan pendekatan sistem dan pengaruhnya pada
keadaan gizi masyarakat
c) Menelaah berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat produksi/persediaan
pangan dan konsumsi pangan penduduk
d) Menerapkan prinsip-prinsip penyuluhan, latihan dan konsultasi dalam program
dan pelayanan gizi
e) Menerapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip epidemiologi untuk mengkaji,
merencana, melaksanakan, dan mengevaluasi keadaan masalah gizi dalam
hubungannya dengan kesehatan keluarga dan masyarakat
f) Mengkaji sumber-sumber daya dan dana potensial, serta mengikutsertakan
keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan kesehatan/gizi.
g) Mengkaji kebutuhan dan status gizi individu, keluarga dan masyarakat.

1.2.3. Tujuan Pendidikan Tahap III

a) Pengenalan pelayanan gizi melalui pengembangan data dasar untuk menetapkan


analisa gizi, strategi dan tujuan perbaikan gizi dalam mengatasi masalah gizi yang
terjadi pada semua tingkatan usia.
b) Pengkajian pelayanan gizi secara menyeluruh, konsep kepemimpinan dan
penggunaan hasil penelitian dalam pembuatan rencana pelayanan gizi
Pada akhir pendidikan tahap III :

a) Mengenal alternatif pemecahan masalah gizi yang timbul baik pada tingkat
perorangan maupun masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.
4

b) Mengenal sumber-sumber daya yang ada dan potensial dalam pengembangan


rencana pelayanan gizi
c) Merancang rencana pelayanan gizi dengan menggunakan data dasar, sesuai
dengan kebutuhan setempat
d) Merancang penyuluhan/konsultasi gizi/kesehatan yang tepat pada individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat yang berhubungan dengan masalah gizi.
e) Mengenal anggota tim kesehatan sebagai bagian integral dari pelayanan
kesehatan

1.2.4. Tujuan Pendidikan Tahap IV

a) Penerapan pelayanan gizi melalui pengembangan data dasar untuk menetapkan


analisa gizi, strategi dan tujuan perbaikan gizi dalam mengatasi masalah gizi yang
terjadi pada semua tingkatan usia.
b) Pengelolaan pelayanan gizi secara menyeluruh, menampilkan kepemimpinan
menggunakan hasil penelitian dalam pembuatan rencana pelayanan gizi
Pada akhir pendidikan tahap IV :

a) Menetapkan alternatif pemecahan masalah gizi yang timbul baik pada tingkat
perorangan maupun masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.
b) Mengkaji sumber-sumber daya yang ada dan potensial dalam pengembangan
rencana pelayanan gizi
c) Mengembangkan dan melaksanakan rencana pelayanan gizi dengan menggunakan
data dasar, sesuai dengan kebutuhan setempat
d) Memberikan penyuluhan/konsultasi gizi/kesehatan yang tepat pada individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat yang berhubungan dengan masalah gizi.
e) Berperan dan menghayati peranannya sebagai anggota tim kesehatan yang
profesional dan kerja sama secara efektif dengan anggota tim lainnya

1.3 Manfaat
5

1. Mengerti dan memahami masalah kesehatan masyarakat secara nyata di


institusi kerja sebagai kesiapan mahasiswa dalam memasuki dunia kerja.
2. Mampu mengaplikasikan ilmu dan teori yang diperoleh selama kuliah.
3. Menambah wawasan dan mampu mengembangkan kompetensi diri serta
adaptasi dalam dunia kerja.
4. Memperoleh pengalaman bekerja dalam sebuah tim (team work) untuk
memecahkan berbagai masalah kesehatan sesuai bidang institusi kerja tempat
magang.
5. Terlaksananya salah satu dari upaya untuk megimplementasikan Tri
Dharma Perguruan Tinggi yaitu: akademik, penelitian, pengabdian masyarakat
dengan aplikasi nilai-nilai islam di tempat kerja.
6. Terbinanya suatu jaringan kerja sama yang berkelanjutan dengan institusi
magang dalam upaya meningkatkan keterkaitan dan kesepadanan antara substansi
akademik dengan kompetensi sumber daya manusia yang kompetitif dan
dibutuhkan dalam pembangunan kesehatan masyarakat.
7. Meningkatkan kapasitas dan kualitas pendidikan dengan melibatkan
tenaga terampil dari lapangan dalam kegiatan magang.
8. Memberikan masukan, khususnya dalam mencari solusi masalah
kesehatan masyarakat secara proporsional agar dapat memecahkan di Institusi
magang.
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Upaya perbaikan gizi masyarakat


Upaya perbaikan gizi masyarakat bertujuan untuk meningkatkan status gizi
dalam rangka menunjang peningkatan derajat kesehatan masyarakat salah satu
kegiatannya adalah melakukan pemantauan pertumbuhan balita, pelayanan gizi di
posyandu.

2.2 Program Perbaikan Gizi


Program pada dasarnya merupakan kumpulan kegiatan yang dihimpun dalam
satu kelompok yang sama secara sendiri-sendiri atau bersama-sama untuk mencapai
tujuan dan sasaran. Program yang baik akan menuntun pada hasil-hasil yang diinginkan.
Oleh karena itu, penetapan program dilakukan dengan melihat kebijakan yang telah
ditetapkan, tujuan dan sasaran serta visi dan misi.
Dalam mewujudkan pembangunan kesehatan di era desentralisasi kesehatan
yaitu dengan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan sumber daya kesehatan/
tenaga kesehatan, maka diperlukan dukungan dari berbagai program diantaranya
program perbaikan gizi masyarakat.
Program perbaikan gizi dilaksanakan untuk meningkatkan status gizi masyarakat
terutama ditujukan kepada kelompok rentan ibu hamil, ibu nifas dan menyusui serta
balita. Empat program utama yang dilaksanakan yaitu :
1. Program penanggulangan Kurang Energi Protein
(KEP) dan Kurang Energi Kronik (KEK) serta kegemukan.
2. Program penanggulangan Kurang Vitamin A (KVA)
3. Program Penanggulangan Anemia Gizi Besi (AGB)
dan kekurangan zat gizi mikro lain.
4. Program Penanggulangan Gangguan Akibat Kurang
Yodium (GAKY).
7

Tujuan khusus dari program diatas adalah menurunkan prevalensi masalah


kekurangan gizi dengan meningkatkan penganekaragaman konsumsi pangan
berdasarkan menu seimbang (Depkes RI, 1999)

2.3 Evaluasi Program


Evaluasi merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk menilai hasil dari
program yang dilaksanakan, karena dengan evaluasi akan diperoleh umpan balik (feed
back) terhadap program atau pelaksanaan kegiatan. Tanpa adanya evaluasi sulit rasanya
untuk mengetahui sejauh mana tujuan – tujuan yang direncanakan itu telah mencapai
tujuan atau belum (Notoatmojo, 2003).
Evaluasi Program gizi dilakukan untuk menilai kemajuan kegiatan dan hasil
yang dicapai dalam upaya peningkatan gizi masyarakat yang dilakukan oleh masing-
masing wilayah/ daerah (Depkes RI, 2008).
Tujuan evaluasi secara umum untuk mengetahui dengan pasti apakah pencapaian
hasil, kemajuan dan kendala yang dijumpai dalam pelaksanaan program/ kegiatan dapat
dinilai dan dipelajari guna perbaikan pelaksanaan program/kegiatan di masa yang akan
datang.
Dalam buku panduan pengelolaan program perbaikan gizi kabupaten/ kota,
tujuan dari evaluasi yaitu:
1) Memperbaiki rancangan kebijakan, program dan proyek.
2) Menentukan suatu bentuk kegiatan yang tepat.
3) Memperoleh masukan untuk digunakan didalam proses perencanaan yang akan
datang.
4) Mengukur keberhasilan suatu program (Depkes RI, 2000).
Evaluasi mempunyai beberapa fungsi antara lain:
a) Memberikan informasi yang valid mengenai program dan kegiatan yaitu
seberapa jauh kebutuhan, nilai dan desempatan telah dicapai. Dengan evaluasi dapat
diungkapkan mengenai pencapaian statu tujuan, sasaran dan target tertentu,
b) Memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang
mendasari tujuan dan target,
8

c) Memberi sumbangan pada aplikasi metode analisis kebijakan termasuk


perumusan masalah yang direkomendasikan,
d) Evaluasi memiliki tujuan pokok melihat seberapa besar kesenjangan antara
pencapaian hasil kegiatan dan program dengan harapan atau renacana yang sudah
ditetapkan.
Evaluasi merupakan bagian integral dari proses manajemen. Dalam evaluasi itu
sendiri ada siklusnya yang bisa dilihat berikut ini.

Menentukan Mengembangkan Merancang


apa yang akan kerangka dan desain
dievaluasi batasan (metode)

Membuat Melakukan Menyusun


Bagan 2.1
Pengamatan,
kesimpulan dan rencana dan
pelaporan Pengukuran
Daur Evaluasi instrumen
dan analisis
Dari gambar daur evaluasi diatas, tampak bahwa evaluasi secara umum meliputi
langkah-langkah berikut ini:
1. Menentukan apa yang akan
dievaluasi. Ini karena apa saja bisa dievaluasi, apakah itu rencananya, sumber daya,
proses pelaksanaan, keluaran, efek atau bahkan dampak suatu kegiatan serta
pengaruh terhadap lingkungan yang luas.
2. Mengembangkan kerangka dan
batasan. Di tahap ini dilakukan asumsi-asumsi mengenai hasil evaluasi serta
pembatasan ruang lingkup evaluasi serta batasan – batasan yang dipakai agar
objektif dan fokus.
3. Merancag desain (metode).
Karena biasanya evaluasi terfokus pada satu atau beberapa aspek, maka dilakukan
perancangan desain.
9

4. Menyusun instrumen dan


rencana pelaksanaan. Selanjutnya ialah mengembangkan instrumen pengamatan atau
pengukuran serta rencana analisis dan membuat rencana pelaksanaan evaluasi.
5. Melakukan pengamatan,
pengukuran, dan analisis. Selanjutnya adalah melakukan pengumpulan data hasil
pengamatan, melakukan pengukuran serta mengolah informasi dan mengkajinya
sesuai tujuan evaluasi.
6. Membuat kesimpulan dan
pelaporan. Informasi yang dihasilkan dari proses evaluasi ini disajikan dalam bentuk
laporan sesuai dengan kebutuhan atau permintaan.
Keenam langkah evaluasi diatas dapat dipadatkan dua langkah terpenting yaitu
menetapkan apa (fokus) yang akan dievaluasi dan merancang metode (cara)
melaksanakannya.
1. Menetapkan apa yang akan dievaluasi. Langkah ini bisa dilakukan dengan
mengkaji secara sistem yaitu dengan menguraikan proses kegiatan menurut unsur-
unsur sistem yaitu: input, proses, output, outcome, impact, feed back serta
environment.
2. Memilih atau merancang desain evaluasi (Notoatmojo, 2005).
Feurstein (1990:h.2-4) menyatakan 10 alasan mengapa suatu evaluasi perlu
dilakukan:
1. Pencapaian
Guna melihat apa yang sudah dicapai.
2. Mengukur kemajuan
Melihat kemajuan dikaitkan dengan objektif program.
3. Meningkatkan pemantauan
Agar tercapai manajemen yang lebih baik.
4. Mengidentifikasi kekurangan dan kelebihan
Agar dapat memperkuat program itu sendiri.
5. Melihat apakah usaha sudah dilakukan secara efektif
Guna melihat perbedaan apa yang telah terjadi setelah diterapkan suatu program.
10

6. Biaya dan manfaat


Melihat apakah biaya yang dikeluarkan cukup masuk akal (reasonable).
7. Mengumpulkan informasi
Guna merencanakan dan mengelola kegiatan program secara lebih baik.
8. Berbagi pengalaman
Guna melindungi pihak lain terjebak dalam kesalahan yang sama, atau untuk
mengajak seseorang untuk ikut melaksanakan metode yang serupa bila metode yang
dijalankan telah berhasil dengan baik.
9. Meningkatkan keefektifan, agar dapat memberikan dampak yang lebih luas.
10. Memunkinkan terciptanya perencanaan yang lebih baik, Karena memberikan
kesempatan untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, komunitas funsionl dan
komunitas lokal.
Meskipun diatas telah diungkapkan adanya sepuluh alasan suatu organisasi
melakukan evaluasi, tetapi tidak semua alasan selalu muncul pada setiap kasus
pengevaluasian. Akan tetapi, ke sepuluh alasan inilah yang paling sering muncul dan
menjadi alasan kenapa suatu evaluasi dilakukan.
Untuk mendapatkan evaluasi yang tepat, adekuat dan sesuai dengan tujuan
evaluasi, dapat digunakan beberapa pendekatan, salah satunya adalah dengan
pendekatan sistem. Pendekatan sistem dapat dilakukan untuk suatu program kesehatan
dimana penilaian secara komprehensif dapat dilakukan dengan menilai input, proses,
dan output.
Menurut Donabedian (Khotimah, 2002) evaluasi dikelompokkan menjadi tiga
kategori yaitu :
1) Evaluasi input adalah evaluasi yang dilakukan pada atribut atau ciri – ciri tempat
pemberian pelayanan, yang meliputi: sumber daya manusia, dana, sarana dan
prasarana. Evaluasi input ini memfokuskan pada berbagai unsure yang masuk dalam
suatu pelaksanaan suatu program
2) Evaluasi proses adalah evaluasi yang dilakukan terhadap berbagai kegiatan yang
dilakukan untuk mencapai tujuan, yang berkaitan dengan penyediaan dan
penerimaan pelayanan. Evaluasi proses ini menilai pelaksanaan kegiatan apakah
11

telah mencapai target yang ditetapkan, mengidentifikasi kendala dan masalah yang
dihadapi serta pemecahannya. Evaluasi ini memfokuskan diri pada aktivitas program
yang melibatkan interaksi langsung antara klien denga staf ‘terdepan’ (line staff)
yang merupakan pusat dari pencapaian tujuan (objektif) program
3) Evaluasi output adalah evaluasi yang dilakukan terhadap hasil pelayanan,
berkaitan dengan hasil yang dicapai dalam pelaksanaan pelayanan tersebut. Evaluasi
ini menilai pencapaian setiap kegiatan penanggulangan gizi.
Dalam suatu perencanaan yang berorientasi pada program, criteria keberhasilan
pada umumnya dikembangkan berdasarkan cakupan ataupun hasil dari suatu program,
misalnya persentasi cakupan program terhadap populasi sasaran. Akan tetapi,
perencanaan ini tidak berkonsentrasi pada perubahan perilaku klien. Sebaliknya,evaluasi
yang berorientasi pada klien akan melakukan pengukuran ataupun pengkajian
berdasarkan perubahan perilaku klien. Misalnya saja, pada kasus penanganan anak
jalanan kriteria dikembangkan berdasarkan indeks perkembangan anak (child
development indeks)

2.4 Indikator Keberhasilan Program


Dalam hubungan dengan kriteria keberhasilan yang digunakan untuk suatu
proses evaluasi,feurstein (1990:h.25-27) mengajukan beberapa indikator yang perlu
untuk dipertimbangkan. Indikator dibawah ini adalah sembilan indikator yang paling
sering digunakan untuk mengevaluasi suatu kegiatan:

2.4.1. Indikator keberhasilan (indicators of availability)


Indikator ini melihat apakah unsur yang seharusnya ada dalam suatu proses itu
benar-benar ada. misalnya, dalam suatu program pembangunan social yang menyatakan
bahwa diperlukan satu tenaga kader local yang terlatih untuk menangani 10 rumah
tangga maka perlu dicek apakah tenaga kader yang terlatih tersebut benar-benar ada.

2.4.2. Indikator relevansi (indicator of relevance)


12

Indikator ini menunjukan seberapa relevan ataupun tepatnya sesuatu yang


teknologi atau layanan yang ditawarkan. Misalnya, pada suatu program pemberdayaan
perempuan pedesaan di mana diperkenalkan kompor teknologi terbaru, tetapi ternyata
kompor tersebut mengunakan lebih banyak minyak tanah ataupun kayu dibandingkan
dengan kompor yang biasa mereka gunakan. Berdasarkan keadaan tersebut maka
teknologi yang lebih baru ini dapat dikatakan kurang relevan untuk diperkenalkan bila
dibandingkan dengan kompor yang biasa mereka gunakan.

2.4.3. Indikator keterjangkauan (indicators of accessibility)


Indikator ini melihat apakah layanan yang ditawarkan masih berada dalam
‘jangkauan’ pihak-pihak yang membutuhkan. Misalnya saja, apakah puskesmas yang
didirikan untuk melayani suatu masyarakat desa berada pada posisi yang stategis,
dimana sebagian besar warga desa dapat dengan mundah dating ke puskesmas. Atau,
apakah suatu posko becana alam berada dalam jangkauan dari korban bencana tersebut.

2.4.4. Indikator pemanfaatan (indicators of utilisation)


Indikator ini melihat seberapa banyak suatu layanan yang sudah disediakan oleh
pihak pemberi layanan, dipergunakan (dimanfaatkan) oleh kelompok sasaran.misalnya
saja, seberapa banyak PUS (pasangan usia subur) yang memanfaatkan layanan jasa
puskesmas dalam upaya meningkatkan KB mandiri. Atau, brapa banyak anak jalanan
yang belum bisa membaca dan menulis.

2.4.5. Indikator cakupan (indicators of coverage)


Indikator ini mennjukkan proporsi orang-orang yang membutuhkan sesuatu dan
menerima layanan tersebut. Misalnya saja, proporsi orang yang menerima bantuan dana
kemanusiaan untuk mengatasi masalah kemiskinan dari sekian banyak orang-orang
miskin di suatu desa.

2.4.6. Indikator kualitas (indicators of quality)


13

Indikator ini menunjukkan standar kualitas dari layanan yang disampaikan ke


kelompok sasaran. Misalnya saja, apakah layanan yang diberikan oleh suatu Organisasi
Pelayanan Masyarakat (human service organizations) sudah memenuhi syarat dalam hal
keramahan, keresposifan dan sikap empati terhadap klien ataupun kualitas dari tangibles
yang ada dalam proyek tersebut.

2.4.7. Indikator upaya (indicators of efforts)


Indikator ini menggambarkan berapa banyak upaya yang sudah ‘ditanamkan’
dalam rangka mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Misalnya, berapa banyak sumber
daya manusia dan sumber daya material yang dimanfaat guna membangun sarana
transportasi antar desa.

2.4.8. Indikator efisiensi (indicator of effisiency)


Indikator ini menunjukkan apakah sumber daya dan aktivitas yang dilaksanakan
guna mencapai tujuan dimanfaatkan secara tepat guna (efisien), atau tidak memboroskan
sumber daya yang ada dalam upaya mncapai tujuan. Misalnya saja, suatu layanan yang
bisa dijalankan dengan baik dengan hanya memanfaatkan 4 tenaga lapangan, tidak perlu
dipaksakan untuk mempekerjakan 10 tenaga lapangan dengan alsan untuk menghindari
terjadinya pengangguran. Bila hal ini yang dilakukan maka yang akan terjadi adalah
underemployment (pengangguran terselubung).

2.4.9. Indikator dampak (indicator of impact)


Indikator ini melihat apakah sesuatu yang kita lakukan benar-benar memberikan
sutau perubahan di masyarakat. Misalnya, apakah setelah dikembangkan layanan untuk
mengatasi kemiskinan selama tiga tahun di suatu desa, maka angka penduduk yang
berada dibawah garis kemiskinan sudah menurun.
14

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Perbaikan Kualitas Gizi


Peningkatan SDM ini untuk masa yang akan datang perlu dilakukan dengan
memperbaiki atau memperkuat intervensi yang ada menjadi lebih efektif, bermanfaat
untuk kelompok sasaran terutama penduduk rawan dan miskin. Perbaikan kualitas
pelayanan kesehatan dan gizi pada penduduk menjadi prioritas, selain meningkatkan
pendidikan dan mengurangi kemiskinan, terutama pada kabupaten/kota yang tingkat
keparahannya sangat berat.

Pelayanan kesehatan dan gizi untuk yang akan datang juga harus memperhatikan
pertumbuhan penduduk perkotaan yang akan membawa berbagai masalah lain. Dengan
peningkatan kualitas intervensi kepada masyarakat, diasumsikan penurunan masalah gizi
dan kesehatan masyarakat dapat tercapai.

Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan


sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang
tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima di samping penguasaan terhadap
ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekurangan gizi dapat merusak kualitas SDM.Pada
saat ini, sebagian besar atau 50% penduduk Indonesia dapat dikatakan tidak sakit akan
tetapi juga tidak sehat, umumnya disebut kekurangan gizi. Kejadian kekurangan gizi
sering terluputkan dari penglihatan atau pengamatan biasa, akan tetapi secara perlahan
berdampak pada tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka kematian
balita, serta rendahnya umur harapan hidup.
15

Masa kehamilan merupakan periode yang sangat menentukan kualitas SDM di


masa depan, karena tumbuh kembang anak sangat ditentukan oleh kondisinya saat masa
janin dalam kandungan. Akan tetapi perlu diingat bahwa keadaan kesehatan dan status
gizi ibu hamil ditentukan juga jauh sebelumnya, yaitu pada saat remaja atau usia
sekolah.

Demikian seterusnya status gizi remaja atau usia sekolah ditentukan juga pada
kondisi kesehatan dan gizi pada saat lahir dan balita.

United Nations (Januari, 2000) memfokuskan usaha perbaikan gizi dalam


kaitannya dengan upaya peningkatan SDM pada seluruh kelompok umur, dengan
16

mengikuti siklus kehidupan. Pada bagan 1 dapat dilihat kelompok penduduk yang perlu
mendapat perhatian pada upaya perbaikan gizi. Pada bagan 1 ini diperlihatkan juga
faktor yang mempengaruhi memburuknya keadaan gizi, yaitu pelayanan kesehatan yang
tidak memadai, penyakit infeksi, pola asuh, konsumsi makanan yang kurang, dan lain-
lain yang pada akhirnya berdampak pada kematian.

Untuk lebih jelas mengetahui faktor penyebab masalah gizi, bagan 2 di atas
(Unicef, 1998) menunjukkan secara sistimatis determinan yang berpengaruh pada
masalah gizi yang dapat terjadi pada masyarakat. Sehingga upaya perbaikan gizi akan
lebih efektif dengan selalu mengkaji faktor penyebab tersebut.

3.2 Proyeksi Status Gizi Penduduk 2010


Jika status gizi penduduk dapat diperbaiki, maka status kesehatan dapat tercapai.
Berikut ini hanya memfokuskan proyeksi status gizi, berdasarkan situasi terakhir 2003 di
Indonesia dan dibahas dengan memperhatikan Indonesia Sehat 2010, World Fit for
Children 2002, dan Millenium Development Goal 2015. Penurunan status gizi
tergantung dari banyak faktor.

Berdasarkan uraian sebelumnya dan juga yang tertuang pada bagan 2, penyebab
yang mendasar adalah:

• Ketahanan pangan tingkat rumah tangga yang tidak memadai. Kajian


pemantauan konsumsi makanan tahun 1995 sampai dengan 1998, menyimpulkan
(lihat tabel 10): 40-50% rumah tangga mengkonsumsi energi kurang dari 1500
Kkal dan 25% rumah tangga mengkonsumsi protein 32 gram per orang per hari
atau mengkonsumsi <70% dari kecukupan yang dianjurkan. (Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi/WKNPG, 2000). Berdasarkan SP 2000, diperkirakan
jumlah rumah tangga adalah 51.513.364, berarti masalah ketahanan pangan
melanda 20-25 juta rumah tangga di Indonesia. Walaupun ada perbaikan pada
tahun 2003 terhadap ketahanan pangan rumah tangga, kajian ini masih
menujukkan rasio pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total keluarga yang
17

masih tinggi. Paling tidak Indonesia masih menghadapi 20% kabupaten di


perdesaan dimana rasio ini masih >75%, dan 63% kabupaten dengan rasio
pengeluaran pangan/non pangan antara 65-75%.
• Ketahanan pangan tingkat rumah tangga ini berkaitan erat dengan kemiskinan,
yang berdasarkan kajian Susenas 2002, diketahui proporsi penduduk miskin
adalah 18.2% atau 38,4 juta penduduk (BPS, 2002). Sebaran penduduk miskin
tingkat kabupaten sangat bervariasi, masih ada sekitar 15% kabupaten dengan
persen penduduk miskin > 30%.
• Ketidak seimbangan antar wilayah (kecamatan, kabupaten) yang terlihat dari
variasi prevalensi berat ringannya masalah gizi, masalah kesehatan lainnya, dan
masalah kemiskinan. Seperti diungkapan pada uraian sebelumnya bawah ada
75% kabupaten di Indonesia menanggung beban dengan prevalensi gizi kurang
pada balita >20%.
• Tingginya angka penyakit infeksi yang berkaitan dengan sanitasi, lingkungan,
dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai, disertai dengan cakupan imunisasi
yang masih belum universal. Penyakit infeksi penyebab kurang gizi pada balita
antara lain ISPA dan diare. Hasil SDKI tahun 1991, 1994 dan 1997 prevalensi
ISPA tidak menurun yaitu masing-masing 10%, 10% dan 9%. Bahkan hasil
SKRT 2001 prevalensi ISPA sebesar 17%. Sedangkan prevalensi diare SDKI
1991, 1994 dan 1997 juga tidak banyak berbeda dari tahun ketahun yaitu masing-
masing 11%, 12% and 10%; dan hasil SKRT 2001 adalah sebesar 11%.
• Cakupan program perbaikan gizi pada umumnya rendah, banyak Posyandu yang
tidak berfungsi. Pemantauan pertumbuhan hanya dilakukan pada sekitar 30%
dari jumlah balita yang ada.
• Pemberian ASI saja pada umumnya masih rendah, dan adanya kecenderungan
yang menurun dari tahun 1995 ke tahun 2003. Lebih lanjut pemberian ASI saja
sampai 6 bulan cenderung renda, hanya sekitar 15-17%. Setelah itu pemberian
makanan pendamping ASI menjadi masalah dan berakibat pada penghambatan
pertumbuhan.
18

• Masih tingginya prevalensi anak pendek yang menunjukkan masalah gizi di


Indonesia merupakan masalah kronis.
• Masih tingginya angka kematian ibu, bayi dan balita, rendahnya pendapatan dan
rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan indeks SDM rendah.
• Rendahnya pembiayaan untuk kesehatan baik dari sektor pemerintah dan non-
pemerintah (tahun 2000: Rp 147.0/kapita/tahun), demikian juga pembiayaan
untuk gizi (tahun 2003: Rp 200/kapita/tahun).
19

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KESIMPULAN
Indonesia Sehat 2010 merupakan goal yang akan dicapai. Hal ini tidak mungkin
dicapai jika peningkatan kualitas dan akses masyarakat terhadap kesehatan dan gizi tidak
menjadi perhatian utama. Alokasi kesehatan yang masih sekitar 3% tentunya tidak
berarti untuk mencapai tujuan ini. Goal ini juga mengarahkan kita semua untuk
mendukung upaya berkaitan dengan peningkatan sumber daya manusia melalui
pendidikan dan kualitas hidup.
Diperlukan penjabaran Propenas dan Propeda kedalam bentuk program aksi yang
lebih konkrit. Fokus perhatian diutamakan pada keluarga miskin di wilayah kumuh
perkotaan dan pedesaan. Selain itu peningkatan kesehatan dan gizi masyarakat tidak
akan terlepas juga dari kontribusi “komprehensif dan pelayanan profesional” yang
melibatkan partisipasi aktif masyarakat secara keseluruhan

4.2 SARAN
1. Paradigma sehat yang berlandaskan pada visi dan misi pembangunan kesehatan
nasional;
2. Revitalisasi pada infrastruktur yang berkaitan dengan upaya desentralisasi;
3. Alokasi kesehatan dan gizi yang optimal;
4. Memperkuat aspek teknologi bidang kesehatan dan gizi;
5. Memperkuat aspek pelayanan kesehatan dan gizi secara profesional;
6. Mengembangkan JPKM;
7. Memperkuat sistem pemantauan dan evaluasi program.
20

DAFTAR PUSTAKA

Depkes, RI. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indnesia Sehat 2010. Jakarta:
Depkes RI. 1999.
Depkes, RI. Buku Panduan Pengelolaan Program Perbaikan Gizi Kabupaten/ Kota.
Jakarta: Depkes RI. 2000.
Muninjaya, A. A. Gde. Manajemen Kesehatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2004.
Notoatmodjo, Soekidjo. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta: Penerbit Rineka
Cipta. 2003.
Rukminto, Isbandi. Pemberdayaan, Pengembangan, Masyarakat dan Intervensi
Komunitas. Depok: Penerbit FEUI. 2003
Guhardja, S., Hartoyo., D. Hastuti dan H. Puspitawati. 1989. “Manajemen Sumberdaya
Keluarga”. Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Bogor.

You might also like