You are on page 1of 5

PENDAHULUAN

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Kepentingan


adalah suatu tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi.
Setiap manusia adalah pendukung atau penyandang kepentingan. Sejak dilahirkan
manusia membutuhkan makanan, pakaian, tempat tinggal, kasih saying dan
sebagainya. Mengingat akan banyaknya kepentingan tidak mustahil terjadi konflik
atau bentrokan antar kepentingan di dalam dirinya sendiri atau dengan diluar
dirinya.

Para filosof sejak zaman Yunani kuno sampai dewasa ini telah berusaha
merumuskan tujuan hokum untuk melindungi kepentingan manusia. Tujuan hokum,
menurut para filosof yunani kuno, adalah untuk mengatur hidup manusia supaya
mengikuti peraturan-peraturan yang sesuai dengan hakikat1

Syariat tidak menciptakan hukum-hukumnya secara kebetulan saja. Syariat


bermaksud dengan hukum-hukum itu untuk mewujudkan maksud-maksud umum.
Sebenarnya tidak dapat kita memahami nash-nash secara hakikatnya terkecuali jika
kita mengetahui apa yang dimaksud oleh syariat dari menciptakan nash-nash itu.
Tujuan umum syariat dalam mensyari’atkan hukum-hukumnya ialah mewujudkan
kemaslahatan manusia dengan menjamin hal-hal yang dlaruri (kebutuhan pokok)
bagi mereka, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mereka (hajiyyat) dan kebaikan-
kebaikan mereka (tahsiniyyat). Setiap hukum syar’i tidaklah dikehendaki padanya
kecuali salah satu dari tiga hal tersebut yang menjadi penyebab terwujudnya
kemaslahatan manusia.

PEMBAHASAN

1 M. Ibnu Rohman. Hukum Islam Dalam prespektif Filsafat. Philosophy Press ; Yogyakarta, 2001
hlmn 96
Kalau kita bicara masalah konsep Dharuriyah, Hajiyyah dan Tahsiniyah
dalam islam. Maka, pembahasan kita tidak terlepas dari sebuah tujuan hukum islam.
Dimana tujuan hukum Islam bertumpu pada Maslahah manusia.

Maslahah itu muncul dari konsep maqasid asy-syari’ah. Konsep maqasid


asy-syari’ah ini dapat dilihat dari dua dimensi2, yaitu dimensi qasd asy-syari’
(tujuan pembuatan hokum) dan dimensi qasd al-mukallaf (tujuan subyek hokum).

Tujuan hukum islam ditinjau dari segi pembuatan hokum dapat diketahui
melalui penalaran induktif atas sumber-sumber naqli, yaitu wahyu, baik al-qur’an
maupun sunnah dan iitu ada tiga tujuan hukum. Terutama tujuan hokum ta’lifi,
yaitu hokum yang berupa keharusan melakukan suatu perbuatan atau tidak
melakukannya, memilih antara melakukan perbuatan atau tidak melakukan dan
hukum melakukan atau tidak melakukan perbuatan karena ada atau tidak adannya
sesuatu yang mengharuskan keberadaan hokum tersebut.

Para ulama ushul telah mengumpulkan maksud-maksud syara’ yang


umum atau jenis-jenis tujuan umum perundang-undangan dalam
menetapkan hukum, yaitu ada tiga macam :

a. al-Daruriyah

Urusan-urusan yang daruri ialah segala yang diperlukan untuk


hidup manusia, yang apabila dia tidak terdapat cacatlah undang-undang
kehidupan, timbullah kekacauan dan berkembangbiaklah kerusakan. Al-
daruriah (urusan-urusan duniawi) itu ada lima macam, yakni :

1) Urusan agama

2) Urusan jiwa

3) Urusan akal

4) Urusan keturunan

2 M. Khaliid MAs’ud, Filsafat Hukum Islam, studi tentang hidup dan Pemikiran Abu Ishaq asy-
Syathibi. 1996. Hlamn 242
5) Urusan harta milik

Syara’ telah mensyari’atkan untuk tiap daruriyah yang lima ini


berbagai macam hukum yang menjamin berwujudnya daruriyah itu dan
berbagai macam hukum yang menjamin terpeliharanya segala hukum
yang menjamin terwujudnya urusan yang lima itu, atau memeliharanya
dipandang darurat pula. Memelihara kelima maslahat tersebut ke dalam
tingkatan dlaruriyat. Ia merupakan tingkatan maslahat yang paling kuat.
Di antara contoh-contohnya, syara’ menetapkan hukuman mati atas
orang kafir yang berbuat menyesatkan orang lain dan menghukum
penganut bid’ah yang mengajak orang lain kepada bid’ahnya, karena
dengan adanya ancaman hukum ini dapat terpelihara jiwa manusia.

Secara global, menghindarkan setiap perbuatan yang


mengakibatkan tidak terpeliharanya salah satu dari lima hal pokok
(maslahat) tersebut, tergolong sebagai dlarury (prinsip). Syar’i Islami
sangat menekankan pentingnya memelihara hal-hal tersebut, sehingga
demi mempertahankan nyawa (kehidupan) diperbolehkan makan barang
terlarang (haram), bahkan diwajibkan sepanjang tidak merugikan orang
lain. Karena itu, bagi orang yang dalam keadaan dharurat yang khawatir
akan mati kelaparan, diwajibkan memakan bangkai, daging babi dan
meminum arak.

b. al-Hajiyyah

Al-Hajiyyah (sekunder), adalah segala sesuatu yang oleh hukum


syara’ tidak dimaksudkan untuk memelihara lima hal pokok keperluan
manusia di atas, akan tetapi dimaksudkan untuk menghilangkan
kesempitan (musyaqat) atau berhati-hati (ihfiyah) terhadap lima hal
tersebut. Seperti diharamkannya hal-hal berikut : menjual arak agar tidak
mudah memperolehnya, melihat aurat wanita, shalat di bumi yang
ghasab, membanting harga dan menimbun barang. Termasuk kategori
hajiyyat dalam perkara mubah. Perlu ditegaskan di sin, bahwa termasuk
dalam kategori hajiyyat adalah memelihara kebebasan individu dan
kebebasan beragama. Sebab manusia hidup membutuhkan dua
kebebasan ini. Akan tetapi, terkadang seseorang menghadapi kendala /
kesulitan. Termasuk hajiyyat dalam kaitannya dengan keturunan ialah
diharamkannya berpelukan. Sedang hajiyyat dalam kaitannya dengan
harta, seperti diharamkannya ghasab dan merampas. Keduanya tidak
menyebabkan lenyapnya harta, karena masih mungkin untuk diambil
juga atau kembali. Sebab keduanya dilakukan secara terang-terangan.
Begitu juga, peminjam yang mampu, yang tidak mau membayar
hutangnya. Sedangkan hajiyyat berkaitan dengan akal seperti
diharamkannya meminum sedikit minuman keras. Dan hal yang hajiy
adalah sesuatu yang diperlukan oleh manusia untuk kelapangan dan
keleluasaan, menanggung beban taklif, dan beban kehidupan lainnya.
Apabila sesuatu itu tidak ada, maka tidak akan merusak struktur
kehidupan mereka, dan kekacauan tidak akan merajalela, sebagaimana
dlaruri tidak ada. Umpamanya untuk memelihara agama dibolehkan kita
mengqasharkan waktu sembahyang dalam safar dan menjamakkan
sembahyang di waktu uzur. Dan seperti boleh tidak berpuasa bagi orang
yang sedang sakit atau sedang dalam perjalanan.

c. al-Tahsiniyah

Al-tahsiniyah (pelengkap) adalah tindakan dan sifat yang harus


dijauhi oleh akal yang sehat, dipegangi oleh adat kebiasaan yang bagus
dan dihajati oleh kepribadian yang kuat. Itu semua termasuk bagian
akhlaq karimah, sopan santun dan adab untuk menuju ke arah
kesempurnaan. Artinya hal ini tidak dapat dipenuhi, maka kehidupan
manusia tidaklah sekacau sekiranya urusan duniawiyah tidak
diwujudkan dan tidak membawa kesusahan dan kesulitan seperti tidak
dipenuhinya urusan hajiyah manusia. Akan tetapi, hanya di anggap
kurang harmonis oleh pertimbangan nalar sehat dan suatu hati nurani.
Urusan tahsiniyah dalam bidang ibadat, misalnya : kewajiban bersuci
dari najis–hitsi (yang nampak) dan najis maknawi (yang tidak nampak),
kewajiban menutup aurat, berhias bila pergi ke masjid, menjalankan
amalan sunnat dan memberikan sedekah kepada orang yang sangat
membutuhkan. Dalam bidang ‘adat, hendaknya bersopan santun dalam
melakukan makan dan minum, menjauhi yang berlebih-lebihan,
meninggalkan makan dan minum dari sesuatu yang najis serta
menjijikkan.

You might also like