You are on page 1of 43

USULAN PENELITIAN

NILAI PENTING SUMBERDAYA AIR KARST SEBAGAI


PERTIMBANGAN ZONASI TAMAN NASIONAL

ISKA GUSHILMAN

DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Nilai Penting Sumberdaya Air Karst sebagai Pertimbangan


Zonasi Taman Nasional
Nama : Iska Gushilman
NRP : E34052984
Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas : Kehutanan

Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Ketua Anggota

Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc Dr. Rachman Kurniawan, S.Si, M.Si
NIP. 19710215 199512 2 001 NIP. 19700120 199903 1 001

Mengetahui
Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS.


NIP. 19580915 198803 1 003

Tanggal Pengesahan :
i

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................ i
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ ii
DAFTAR TABEL ................................................................................ iii
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Perumusan Masalah ..................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................... 7
2 KONDISI UMUM
2.1 Letak dan Luas ............................................................................ 8
2.2 Kondisi Fisik ............................................................................... 9
2.3 Biologi dan Ekologi ..................................................................... 10
2.4 Kondisi Masyarakat ...................................................................... 12
3 TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Taman Nasional ........................................................................... 13
3.2 Pengelolaan Taman Nasional ....................................................... 14
3.3 Hubungan Masyarakat dengan Taman Nasional ........................... 16
3.4 Karst ............................................................................................ 17
3.5 Sistem Pergoaan .......................................................................... 18
3.6 Potensi Sumberdaya Air Kawasan Karst ...................................... 19
3.7 Ancaman Terhadap Karst ............................................................ 21
3.8 Pengelolaan Kawasan Karst ......................................................... 21
4 METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 24
4.2 Bahan dan Alat ............................................................................ 24
4.3 Jenis Data .................................................................................... 25
4.4 Metode Pengambilan Data ........................................................... 26
4.5 Analisis Data ............................................................................... 28
RENCANA KERJA DAN TATA WAKTU PENELITIAN ............... 31
DAFTAR PUSTAKA
ii

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Karakteristik sebuah bentang alam karst ............................................. 3
2 Letak Taman Nasional Manupeu Tanahdaru ...................................... 8
3 Perbedaan porositas di daerah non-karst dan karst ............................. 18
4 Daerah tangkapan air karst ................................................................ 20
5 Batas kawasan Taman Nasional Manupeu Tanahdaru ........................ 24
6 Teknik pengolahan data spasial ......................................................... 29
iii

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Karakteristik aliran akuifer karst ........................................................ 19
2 Jenis data yang diperlukan ................................................................. 25
3 Rencana kerja dan tata waktu ............................................................ 31
iv
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem
yang masih asli, dikelola dengan sistem zonasi dan dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan
rekreasi (Dephut 1990). Taman nasional berfungsi sebagai wilayah perlindungan
sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman spesies tumbuhan atau
satwa dan pemanfaatan lestari sumberdaya alam hayati beserta ekosistemnya.
Menurut Soekmadi (2003) paradigma baru pengelolaan kawasan konservasi
dititikberatkan pada pertimbangan aspek manfaat dan akomodasi kepentingan
lokal. Oleh karenanya, sebuah taman nasional dikelola sesuai dengan potensi dan
karakteristik sumberdaya alamnya untuk kepentingan perlindungan dan
pelestarian serta pemanfaatan guna memenuhi kebutuhan manusia secara lestari
(Purnama 2005). Sistem pengelolaan ini dikenal dengan istilah sistem zonasi.
Sistem zonasi menurut Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut)
P.56/Menhut-II/2006 mensyaratkan kawasan taman nasional sekurang-kurangnya
terdiri dari zona inti, rimba, dan pemanfaatan. Sesuai dengan penjelasan dalam
Permenhut ini, jika dilihat dari kriteria penetapan setiap zona terutama zona-zona
yang mutlak merupakan zona perlindungan seperti zona inti dan rimba, maka
aspek potensi sumberdaya alam hayati merupakan bahan pertimbangan
penetapannya. Sedangkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan tidak sedikit
yang ditentukan oleh keberadaan jasa lingkungan kawasan tersebut.
Salah satu jasa lingkungan yang penting dari taman nasional adalah sebagai
penyedia sumberdaya air yang merupakan sumberdaya alam non-hayati yang
mutlak diperlukan bagi kehidupan manusia. Pada kebudayaan primitif, air hanya
dapat memuaskan sedikit kebutuhan yang sangat penting seperti untuk kebutuhan
rumah tangga dan pertanian, namun pada dunia yang jauh lebih kontemporer
penggunaannya lebih banyak untuk kebutuhan industri, pertanian yang
bermekanisasi dan kemudahan bagi manusia (Lee 1988).
Beberapa kawasan taman nasional telah terbukti merupakan daerah
tangkapan air yang dapat menyediakan air pada musim hujan dan kemarau.
Pemanfaatan sumberdaya air di taman nasional tidak hanya untuk memenuhi
2

kebutuhan masyarakat sekitar kawasan tetapi juga menjadi sumberdaya yang


dimanfaatkan oleh masyarakat yang berlokasi agak jauh dari kawasan. Menurut
IUCN (2008), masyarakat Jakarta memenuhi kebutuhan air bersihnya dari Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango yang berada di kabupaten Bogor dan Cianjur.
Selain manfaat bagi masyarakat Jakarta, mata air dan sungai bagian hulunya telah
dikelola oleh perusahaan air minum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
Sukabumi, Cianjur, dan Bogor (Widarti 1995). Contoh lain manfaat hidrologis
taman nasional juga dapat dirasakan oleh Taman Nasional Gunung Halimun Salak
yang menurut Herlianto (2005) sumberdaya airnya mengalir sepanjang tahun
dengan debit yang relatif tetap melalui aliran permukaan dan bawah tanah.
Tingginya potensi air taman nasional memberikan peluang untuk dimanfaatkan
dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun sayangnya belum ada sistem
zonasi taman nasional yang didasarkan kepada nilai penting hidrologi kawasannya.

Salah satu bentang alam yang memiliki nilai hidrologi sebagai penyedia
sumberdaya air adalah kawasan karst. Menurut Ford dan Williams (2007) karst
merupakan wilayah dengan hidrologi khusus dan terbentuk dari kombinasi
tingginya pelarutan batuan dengan porositas yang berkembang baik. Istilah karst
diperuntukan bagi suatu kawasan yang memiliki karakteristik relief serta drainase
yang khas dan berkembang secara khusus pada batuan karbonat (Gambar 1).
Kekhasan ekosistem karst sangat dipengaruhi oleh keberadaan dua komponen
lingkungannya, yaitu eksokarst dan endokarst. Eksokarst ditandai dengan dataran
yang luas, bukit-bukit dan cekungan di atas permukaan tanah, sedangkan endokarst
merupakan sebuah ekosistem di bawah permukaan tanah berupa celah-rekah dan
lorong bawah tanah.

Kawasan karst mendapat input air dari infiltrasi dalam tanah dan aliran
permukaan yang mengalir langsung ke dalam endokarst. Sistem permukaan dan
bawah tanah kawasan karst menyatu melalui sistem drainase bawah tanah. Air
karst akan mengalir melewati celah-rekah dan lorong bawah tanah (goa) sebagai
sumber mata air. Aliran bawah tanah seringkali sangat kompleks sehingga air
yang berasal dari satu sumber bisa keluar pada beberapa mata air (Ford dan
Williams 2007).
3

Sumber: http//web.viu.ca (dimodifikasi)


Gambar 1 Karakteristik sebuah bentang alam karst.

Tidak heran jika kawasan karst merupakan tanki air tawar raksasa yang
selayaknya dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Secara
global, mata air terbesar di dunia ini merupakan mata air karst (Jennings 1985,
diacu dalam Sunkar 2009). Di Indonesia, kawasan Karst Maros-Pangkep di
Sulawesi Selatan merupakan tanki air raksasa yang mampu menyalurkan air tawar
untuk kesejahteraan masyarakatnya. Terbukti bahwa Maros merupakan salah satu
wilayah penghasil beras yang cukup besar, dimana keberadaannya sangat
tergantung kepada ketersedian air tawar. Mata air Manavgat di kawasan karst di
Turki memiliki debit sebesar 150-130 m3/dtk dan merupakan mata air terbesar di
dunia. Air dari Fore-Alps di Itali, dengan debit sebesar 40 m3/dtk, merupakan
sumberdaya air yang penting dan menggambarkan salah satu sumberdaya yang
masih alami (Sauro 1993, diacu dalam Sunkar 2009). Mata air Chingsui, salah
satu mata air karst terbesar di Cina memiliki debit rata-rata 33 m3/dtk. Salah satu
mata air yang terkenal di wilayah Eropa dijumpai di wilayah karst, tepatnya di
4

Timavo, dengan debit rata-rata 26,25 m3/dtk (Jennings 1971, diacu dalam Sunkar
2009), sementara mata air Silver dan Blue yang merupakan terbesar di Florida,
memiliki debit sebesar 14-15 m3/dtk. Bahkan, kota-kota besar di Austria seperti
Wina dan Salzburg, sangat tergantung pada air karst, demikian halnya dengan
kota Paris dan London yang sebagian besar airnya berasal dari air karst. Di
Indonesia, batugamping berada pada urutan ketiga sebagai formasi batuan yang
dapat menyimpan air setelah batuan volkanik serta alluvial (Soetrisno 1997, diacu
dalam Sunkar 2009).
Beberapa kawasan karst yang memiliki potensi sumberdaya air yang cukup
besar telah ditetapkan sebagai kawasan taman nasional dan menjadi warisan dunia
(world heritage). Menurut Williams (2008) kawasan karst Taman Nasional
Kahurangi di Selandia Baru adalah salah satu warisan dunia yang memiliki
potensi aliran air bawah tanah. Potensi air tersebut mampu memberikan kontribusi
yang luar biasa dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan sumberdaya air.
Contoh lain adalah adalah Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang
merupakan daerah tangkapan air bagi sungai-sungai penting di Sulawesi Selatan
yang hampir setengah wilayahnya merupakan bagian dari kawasan Karst Maros-
Pangkep (Asrianny 2006).
Walaupun nilai penting kawasan karst sudah semakin diakui oleh
Pemerintah Indonesia, terbukti dengan dimasukkannya karst dalam Undang
Undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang dan Undang Undang No. 32/2009
tentang Lingkungan Hidup serta Peraturan Pemerintah No. 26/2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, namun belum ada satupun kawasan
taman nasional yang memiliki bentang alam karst membagi zonasinya
berdasarkan fungsi serta keberadaan karst. Zonasi yang ada lebih merujuk pada
ekosistem permukaan dan mengabaikan komponen lingkungan karst yang penting
untuk penampung cadangan air. Menurut Sunkar (2007) keberadaan kawasan
karst seharusnya menjadi perhatian karena istilah keanekaragaman geologi
(geodiversity) sejajar dengan keanekaragaman hayati (biodiversity). Oleh karena
itu, diperlukan pertimbangan-pertimbangan dalam penyusunan zonasi di taman
nasional karst yang mengacu pada keberadaan karst terutama fungsinya yang
ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
5

Taman nasional yang memiliki bentang alam karst yang cukup luas dan
sedang dalam tahap penyusunan zonasi adalah Taman Nasional Manupeu
Tanahdaru. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan mampu memberikan
gambaran tentang keberadaan sumberdaya air kawasan karst di Taman Nasional
Manupeu Tanahdaru, yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
penyusunan zonasi kawasan dan dikelola untuk kesejahteraan masyarakat.
Terpenuhinya kebutuhan air masyarakat akan meningkatkan kesadaran masyarakat
terhadap pentingnya keberadaan taman nasional sehingga dalam usaha
perlindungannya akan lebih mudah.

1.2 Perumusan Masalah


Penerapan sistem zonasi untuk pengelolaan taman nasional belum
mengakomodir seluruh kriteria penetapan zonasi yang telah diatur pemerintah.
Penentuan zonasi suatu taman nasional hanya mempertimbangkan aspek
keanekaragaman hayati, terutama untuk zona-zona yang mutlak sebagai wilayah
perlindungan seperti zona inti dan rimba. Sebagai contoh kawasan Taman
Nasional Bali Barat, penetapan zona intinya bertujuan untuk melindungi kawasan
hutan yang menjadi habitat curik bali. Contoh lain adalah zona inti dan rimba di
Taman Nasional Ujung Kulon yang penyusunannya didasarkan pada keberadaan
spesies badak.
Zonasi yang ada membatasi masyarakat untuk mendapatkan manfaat dari
taman nasional. Seperti halnya di Taman Nasional Tesso Nilo, masyarakat harus
kehilangan sumber pendapatan dari pemanenan madu akibat wilayah yang
merupakan habitat gajah ditetapkan sebagai zona inti. Kondisi ini bertolak
belakang dengan tujuan pengelolaan taman nasional dengan sistem zonasi.
Seharusnya, pengelolaan yang dilakukan dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat.
Sumberdaya air merupakan salah satu manfaat kawasan karst yang dapat
dinikmati masyarakat dan perlu dikelola agar terjaga kelestariannya. Menurut
Kurniawan (2010) pengelolaan kawasan karst sebagai kawasan konservasi
menjadi salah satu pilihan sebagian besar masyarakat. Namun, pengelolaan
kawasan karst membutuhkan rancangan khusus yang berbeda dari pengelolaan
taman nasional pada umumnya. Bentuk pengelolaan tersebut belum dapat disusun
6

sebagai pertimbangan zonasi taman nasional karena minimnya informasi dan


belum diketahuinya:
1. Luasan kawasan karst taman nasional secara pasti.
Rancangan pengelolaan dapat disusun dengan memperjelas batas-batas
kawasan karst yang terdapat di wilayah taman nasional. Batasan yang jelas
mempermudah pengelola untuk membagi peruntukan wilayah karst tersebut.
2. Lokasi sungai hilang dan sumber mata air.
Potensi sumberdaya air merupakan pertimbangan utama dalam
mengelompokkan kawasan karst sehingga perlu adanya informasi mengenai
sumber mata air dan daerah tangkapannya. Pengelompokan kawasan karst secara
tepat dapat memberikan jaminan terhadap kelestarian dan pemanfaatannya.
3. Pemanfaatan air oleh masyarakat di dalam dan sekitar kawasan.
Bentuk pemanfaatan dapat memberikan gambaran tingkat kebutuhan air
masyarakat sehingga dapat disusun pengelolaan yang berbasiskan masyarakat.
Manfaat yang diperoleh masyarakat akan membantu pengelola dalam melindungi
kawasan taman nasional.

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memetakan sumberdaya air
karst dan membuat rekomendasi fungsi hidrologi kawasan karst yang terdapat di
dalam Taman Nasional Manupeu Tanahdaru (TNMT) sebagai bahan
pertimbangan penyusunan zonasi. Untuk mencapai tujuan ini, maka tujuan-tujuan
khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Menentukan luas kawasan karst yang terdapat di dalam kawasan TNMT.
2. Mengidentifikasi lokasi sungai hilang dan sumber mata air kawasan karst
di dalam kawasan TNMT.
3. Mengetahui pemanfaatan air oleh masyarakat di dalam dan sekitar TNMT.
4. Membuat peta pengelolaan kawasan karst TNMT
7

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Konservasi


1. Menghasilkan data dan informasi tentang potensi sumberdaya air di taman
nasional.
2. Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang manfaat taman nasional.
3. Meningkatkan peran serta masyarakat dan perguruan tinggi dalam melestarikan
potensi taman nasional.
4. Meningkatkan upaya pelestarian kawasan karst serta pemeliharaan fungsi-
fungsinya.

1.4.2 Manfaat dalam Manajemen Kawasan


Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pedoman pengelolaan
kawasan konservasi yang wilayahnya memiliki bentang alam karst.

1.4.3 Manfaat bagi Masyarakat


Penyusunan rencana pengelolaan yang mempertimbangkan sumberdaya air
kawasan karst dapat memberikan jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan air
masyarakat.
II. KONDISI UMUM

2.1 Letak dan Luas


Taman Nasional Manupeu Tanahdaru secara geografi terletak pada 119º27’-
119º55’ BT dan 09º29`-09º54` LS sedangkan secara administratif terletak di 3
kabupaten yaitu: Sumba Timur, Sumba Tengah, dan Sumba Barat (Gambar 2).
Kawasan Taman Nasional Manupeu Tanahdaru dikelilingi oleh 22 desa yang
terbagi ke dalam 7 kecamatan yaitu: Kecamatan Loli, Wanokaka, Waikabukak
(Kabupaten Sumba Barat), Umbu Ratu Nggay, Umbu Ratu Nggay Barat,
Katikutana (Kabupaten Sumba Tengah), dan Lewa (Kabupaten Sumba Timur)
(Wello 2008).

BATAS
ADMINISTRATIF

TAMAN NASIONAL
MANAPEU
TANAHDARU
SUMBA
NUSA TENGGARA
TIMUR

Pulau Sumba

Sumber: Himakova (2010).


Gambar 2 Letak Taman Nasional Manupeu Tanahdaru.

Menurut Purnama (2005) batas kawasan Taman Nasional Manupeu


Tanahdaru meliputi:
1. Sebelah timur mengarah ke utara, yaitu wilayah Kecamatan Lewa.
2. Sebelah barat mengarah ke selatan, yaitu wilayah Kota Waikabubak,
Kecamatan Loli dan Wanokaka.
3. Sebelah selatan, yaitu mengikuti garis pantai Samudera Hindia.
9

4. Sebelah utara mengarah ke barat, yaitu wilayah Kecamatan Umbu Ratunggay


dan Kakikutana.
Kawasan Taman Nasional Manupeu Tanahdaru ditetapkan melalui
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 576/Kpts-II/1998 dengan luas
wilayah 87.984,09 ha. Kawasan yang ditetapkan merupakan penggabungan
kawasan Hutan Lindung Manupeu (9.500 ha), Cagar Alam Langaliru (24.200 ha),
Hutan Lindung Tanahdaru-Paramamongutidas (43.750 ha), dan Hutan Produksi
Terbatas Praingpalinda-Tanahdaru (10.534 ha) (Dephutbun 1998a).

2.2 Kondisi Fisik


2.2.1 Geologi dan Tanah
Pulau-pulau di Nusa Tenggara memiliki geologi yang seragam yaitu
tersusun atas batuan vulkanik. Kondisi ini berbeda dengan Pulau Sumba yang
dikategorikan sebagai kawasan karst karena penyusun utama wilayahnya adalah
batu gamping atau kapur yang menjadi ciri khas kawasan karst (Purnama 2005).
Taman Nasional Manupeu Tanahdaru mempunyai bentuk lahan yang bervariasi
mulai dari dataran aluvial atau dataran banjir dekat meander sungai hingga daerah
gunung. Batuan penyusunnya secara umum didominasi oleh alluvium, gamping,
pasir, lempung, konglomerat, tuff, dan granit. Batuan tersebut tersebar di seluruh
taman nasional berdasarkan bentuk lahan dan kelerengan dari daerah dataran
hingga daerah pegunungan (Dephut 2007).
Tanah di Pulau Sumba terdiri dari jenis tanah mediteran dengan bentuk
wilayah pegunungan lipatan dan dataran, wilayah volkan, dan latosol dengan
bentuk wilayah plato atau volkan dan grumosol dengan bentuk wilayah
pelembaban. Tanah mediteran merupakan jenis tanah yang paling luas
penyebarannya, yaitu terletak di bagian Pulau Sumba memanjang dari barat ke
timur (Deptan 2006). Berdasarkan Peta Tanah Eksplorasi Provinsi Nusa Tenggara
Timur dan Timor Timur, kawasan Taman Nasional Manupeu Tanahdaru
didominasi oleh jenis tanah renzina, litosol, podsolik, kambisol, dan mediteran
(Purnama 2005).

2.2.2 Topografi
Kawasan Manupeu merupakan dataran perbukitan yang cukup curam
dengan topografi berkisar antara 5%-60% (Wiranansyah 2005). Karakteristik
10

topografi kawasan Taman Nasional Manupeu Tanahdaru yang kasar dan


bergelombang tergolong daerah pegunungan dengan ketinggian yang terlihat sama
memiliki kemiringan 2% hingga kemiringan 40%-60% yang terbentang dari
permukaan laut. Topografi datar antara lain terdapat di Anakalang, Waikabukak,
Waikoko, dan Lewa yang merupakan dataran tinggi sedangkan dataran rendah
terdapat sepanjang pantai antara lain di lokasi Rambangoan, Tanah Linghu,
Ngallu, dan Binong (Vahlevi et al. 2006). Daerah pegunungan membentang pada
lokasi tengah kawasan dari utara sampai pantai selatan dan pada wilayah
Tanahdaru.

2.2.3 Iklim
Pulau Sumba memiliki tipe iklim kering yang terutama dipengaruhi oleh
angin musim yang masing-masing bertiup dari daratan Asia (selama lebih kurang
3 bulan) yang membawa uap air tinggi dan Australia (selama lebih kurang 9
bulan) yang membawa uap air rendah (Wello 2008). Menurut klasifikasi Schmidt
dan Ferguson, iklim di kawasan TNMT termasuk tipe iklim E (agak kering) di
bagian selatan, tipe iklim D (sedang) di bagian utara, dan tipe iklim C (agak
basah) di bagian timur laut. Curah hujan rata-rata 500-2000 mm. Rata-rata hujan
pada bulan basah adalah 400 mm sedangkan pada bulan kering adalah 18 mm
(Purnama 2005).

2.2.4 Hidrologi
Taman Nasional Manupeu Tanahdaru merupakan daerah resapan air utama
yang dialirkan untuk memenuhi kebutuhan air bersih dan pengairan lahan
pertanian (Purnama 2005). Suplai air diperoleh dari mata air dan sungai yang
terdapat dan berhulu di kawasan taman nasional ini. Menurut Monk et al. (2000)
mata air menjadi sumber air utama untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Aliran air bawah tanah yang keluar sebagai mata air melewati goa-goa yang
terdapat di dalam kawasan.

2.3 Biologi dan Ekologi


Tipe ekosistem dominan di kawasan Taman Nasional Manupeu Tanahdaru
adalah hutan musim dengan iklim sangat kering (Purnama 2005). Kawasan Taman
Nasional Manupeu Tanahdaru memiliki tipe vegetasi yang merupakan semua
11

perwakilan tipe hutan mulai dari hutan bakau (mangrove), hutan pantai hingga
hutan hujan tropika kering dan hutan semi awet hijau di dataran rendah. Menurut
Banilodu dan Saka (1993), diacu dalam Purnama (2005) tipe hutan di Pulau
Sumba terbagi atas:
1. Hutan awet hijau atau hutan hujan di daerah dengan kelembaban lebih tinggi
pada 700 mdpl.
2. Hutan musim awet hijau disepanjang daerah aliran sungai dan dataran rendah.
3. Hutan semi awet hijau atau hutan musim semi peluruh daun di daerah
perbukitan dengan kelembaban rendah.
4. Hutan elfin, hutan yang banyak ditumbuhi herba dan berlumut serta memiliki
pohon-pohon yang rapat dan bertajuk rendah (tinggi berkisar 8-20 meter).
5. Hutan semak berduri dipetak-petak pantai di bagian timur.
6. Hutan bakau di mulut-mulut sungai disepanjang pantai utara.
Taman Nasional Manupeu Tanahdaru memiliki keanekaragaman jenis flora
yang bernilai tinggi yaitu sekitar 118 jenis tumbuhan, antara lain Suren (Toona
sureni), Taduk (Sterculia foetida), Kesambi (Schleichera oleosa), Pulai (Alstonia
scholaris), Asam (Tamarindus indica), Kemiri (Aleurites moluccana), Jambu
hutan (Syzygium sp.), Cemara gunung (Casuarina sp.), dan Lantana (Lantana
camara) (Dephut 2007). Hutan primer mencakup areal perbukitan dengan
beberapa spesies antara lain Ficus septica, Casuarium oleosum, dan Palaqium
obovatum. Jenis vegetasi hutan sekunder antara lain Ficus septica, Casuarium
oleosum, Lagerstroemia sp, dan Toona sureni, Merr (Dephut 2007).
Satwa liar yang dapat dijumpai di Taman Nasional Manupeu Tanahdaru
adalah Rusa timor (Cervus timorensis), Babi hutan (Sus vitatus), Biawak (Varanus
salvator), dan Ayam hutan (Gallus varius). Menurut Purnama (2005) jenis burung
endemiknya adalah Sesap madu (Nectaria buettikoferi), Pungguk wengi (Ninox
rudolfi), Pungguk wengi sumba (Ninox sumbaensis), Sikatan sumba (Ficedula
harterti), Punai sumba (Treron teysmanii), Walik rawamamu (Ptiliopus dohertyi),
Gemak sumba (Turnix everetii), dan Julang Sumba (Aceros everetii). Selain itu
juga bisa ditemui tujuh jenis kupu-kupu endemik Pulau Sumba yaitu Papilio
neumoegenii, Ideopsis oberthurii, Delias fasciata, Junonia adulatrix, Athyma
karita, Sumalia chilo, dan Elimnia amoena.
12

2.4 Kondisi Masyarakat


2.4.1 Kependudukan
Kehidupan masyarakat di sekitar Taman Nasional Manupeu Tanahdaru
tergolong miskin dengan tingkat ketergantungan terhadap hutan sangat tinggi.
Kawasan hutan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sumber
pendapatan masyarakat, seperti memperoleh kayu bakar, bahan bangunan, obat-
obatan dan bahan pangan. Keberadaan lahan sangat dibutuhkan masyarakat untuk
kegiatan pertanian dan penggembalaan ternak. Membakar padang rumput adalah
kebiasaan masyarakat di sekitar Taman Nasional Manupeu Tanahdaru. Menurut
Purnama (2005) tujuan utama pembakaran padang rumput pada musim kemarau
adalah untuk menyiapkan lahan bercocok tanam dan memenuhi kebutuhan pakan
ternak gembalaannya. Kebiasaan ini sudah membudidaya, sehingga sangat sulit
untuk dihentikan (Wello 2008).
Secara umum masyarakat di sekitar kawasan ini hanya berpendidikan
sampai Sekolah Dasar dan sangat sedikit sekali yang melanjutkan kejenjang yang
lebih tinggi. Pengaruh utamanya adalah kemampuan ekonomi orang tua dan
animo anak yang rendah (Purnama 2005). Selain itu, lokasi pemukiman yang
saling berjauhan dan memiliki medan yang cukup berat menjadi kendala untuk
menyekolahkan anaknya (Wello 2008).

2.4.2 Kepercayaan
Kepercayaan asli masyarakat sumba adalah “marapu”. Marapu merupakan
suatu konsep tentang adanya Tuhan Yang Maha Kuasa, yang menciptakan langit
dan bumi serta menjadi suatu kekuatan gaib yang melebihi kekuatan manusia serta
tidak disebutkan namanya secara sembarangan. Pada dasarnya kepercayaan
marapu mengutamakan keselarasan hubungan antara Tuhan dan manusia serta
dengan alam. Keselarasan hubungan tersebut diwujudkan dalam aturan-aturan
marapu yang mewajibkan penganutnya melakukan berbagai upacara untuk
memuja Sang Khalik sebagai bentuk ucapan syukur, seperti: ritual sebelum dan
sesudah panen dengan membawa persembahan (Wello 2008).
III. TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Taman Nasional


Taman nasional merupakan suatu kawasan lindung yang luas dan alami atau
mendekati alami, dibentuk untuk melindungi proses-proses ekologi dalam skala
yang luas, termasuk spesies dan karakteristik ekosistem pada area tersebut, yang
juga menyediakan kebutuhan bagi spiritual, ilmu pengetahuan, pendidikan,
rekreasi, dan kesempatan pengunjung yang selaras dengan alam dan budaya
(IUCN 2008). Taman nasional berfungsi sebagai wilayah perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman spesies tumbuhan atau satwa
dan pemanfaatan lestari sumberdaya alam hayati beserta ekosistemnya (Dephut
1990; Dephutbun 1998b). Fungsi taman nasional menurut strategi konservasi dunia
(IUCN 1991) adalah perlindungan proses-proses ekologi, sistem penyangga
kehidupan, keanekaragaman genetik, tipe ekosistem, dan pemanfaatan spesies atau
ekosistem secara lestari.
Kawasan taman nasional memiliki ciri-ciri keaslian sumberdaya dan
keanekaragaman ekosistem yang khas karena tumbuhan, fauna, geomorfologi,
budaya, nilai-nilai keindahan yang merupakan warisan kekayaan nasional atau
internasional (Basuni 1987). Taman nasional ditunjuk pada wilayah hutan yang
luas untuk konservasi flora dan fauna serta keindahan alamnya (Gregory et al.
1979). Penetapan taman nasional bertujuan untuk melindungi kawasan alami dan
berpemandangan indah yang penting, secara nasional atau internasional serta
memiliki nilai bagi pemanfaatan ilmiah, pendidikan, dan rekreasi (IUCN 1994).
Penunjukan suatu kawasan sebagai kawasan taman nasional harus memenuhi
kriteria sebagai berikut (Dephutbun 1998b):
1. Memiliki luasan yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologi.
2. Memiliki sumberdaya alam yang khas dan unik, berupa spesies tumbuhan,
satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami.
3. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh.
4. Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk pengembangan wisata alam
5. Kawasannya dapat dibagi kedalam sistem zonasi.
14

3.2 Pengelolaan Taman Nasional


Konsep pengelolaan taman nasional adalah berwawasan lingkungan,
berorientasi pada kekhasan sumberdaya dan pemakai dan berorientasi pada
pembangunan wilayah, wisata ilmiah serta pendidikan (Basuni 1987). Kawasan
taman nasional dikelola berdasarkan rencana pengelolaan yang disusun menurut
kajian aspek-aspek ekologi, teknis, ekonomis, dan sosial budaya. Rencana
pengelolaan taman nasional sekurang-kurangnya memuat tujuan pengelolaan dan
garis-garis besar kegiatan yang menunjang upaya perlindungan, pengawetan, dan
pemanfaatan kawasan.
Pengelolaan taman nasional dilakukan dengan sistem zonasi. Zonasi adalah
pembagian kawasan lindung dan budaya sesuai dengan potensi dan karakteristik
sumberdaya alam untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian serta
pemanfaatan guna memenuhi kebutuhan manusia secara lestari (Purnama 2005).
Menurut Purnama (2005) manfaat pengelolaan dengan sistem zonasi adalah:
1. Menjamin kelestarian keterwakilan atau kerentanan habitat dengan
manajemen yang tepat.
2. Memisahkan konflik kepentingan manusia dengan lingkungan.
3. Melindungi sumberdaya alam dan budaya tanpa menghalangi pemanfatan
secara rasional.
4. Memungkinkan areal yang rusak untuk pemulihan.
Sistem zonasi mensyaratkan kawasan taman nasional sekurang-kurangnya
terdiri dari zona inti, zona rimba, dan zona pemanfaatan. Menurut Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2006 tentang pedoman zonasi taman
nasional, kriteria penetapannya adalah:
1. Kriteria zona inti
a. Bagian taman nasional yang mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan
dan satwa beserta ekosistemnya.
b. Mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya yang
merupakan ciri khas ekosistem dalam kawasan taman nasional yang kondisi
fisiknya masih asli dan belum diganggu oleh manusia.
c. Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan
tidak atau belum diganggu manusia.
15

d. Mempunyai luasan yang cukup dan bentuk tertentu yang cukup untuk
menjamin kelangsungan hidup jenis-jenis tertentu untuk menunjang
pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis
secara alami.
e. Mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang
keberadaannya memerlukan upaya konservasi.
f. Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa liar beserta ekosistemnya
yang langka yang keberadaannya terancam punah.
g. Merupakan habitat satwa dan atau tumbuhan tertentu yang prioritas dan khas
atau endemik.
h. Merupakan tempat aktivitas satwa migran.

2. Kriteria zona rimba


a. Kawasan yang merupakan habitat atau daerah jelajah untuk melindungi dan
mendukung upaya perkembangbiakan dari jenis satwa liar.
b. Memiliki ekosistem dan atau keanekaragaman jenis yang mampu menyangga
pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan.
c. Merupakan tempat kehidupan bagi jenis satwa migran.

3. Kriteria zona pemanfaatan


a. Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi
ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik.
b. Mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya
tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam.
c. Kondisi lingkungan yang mendukung pemanfaatan jasa lingkungan,
pengembangan pariwisata alam, penelitian, dan pendidikan.
d. Merupakan wilayah yang memungkinkan dibangunnya sarana prasarana bagi
kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan, pariwisata alam, rekreasi, penelitian,
dan pendidikan.
e. Tidak berbatasan langsung dengan zona inti.
Penataan zonasi dilaksanakan agar terwujud sistem pengelolaan taman
nasional yang efektif dan optimal sesuai dengan fungsinya. Menurut Peraturan
Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-II/2006 tentang pedoman zonasi taman
nasional, fungsi masing-masing zona adalah sebagai berikut:
16

1. Zona inti
Perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas beserta
habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber plasma nutfah
dari jenis tumbuhan, dan satwa liar, untuk kepentingan penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya.

2. Zona rimba
Kegiatan pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan
alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat
satwa migran, dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti.

3. Zona pemanfaatan
Pengembangan pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan,
penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan, kegiatan penunjang
budidaya.

3.3 Hubungan Masyarakat dengan Taman Nasional


Keberhasilan pengelolaan taman nasional sangat dipengaruhi oleh kondisi
masyarakat di sekitar kawasan. Masyarakat memanfaatkan potensi taman nasional
untuk memenuhi sebahagian kebutuhan hidupnya. Kegiatan masyarakat di sekitar
kawasan hutan adalah budidaya pertanian, mencari kayu bakar, memetik hasil
hutan non kayu dan pengembalaan ternak (Listyandari 2009). Interaksi masyarakat
dengan kawasan akan menyebabkan gangguan terhadap ekosistem taman nasional.
Menurut Soerianegara (1977) pendayagunaan sumberdaya alam oleh manusia akan
menimbulkan perubahan ekosistem sehingga mempengaruhi sumberdaya alam lain
beserta lingkungannya.
Tekanan terhadap kawasan dapat berkurang dengan meningkatkan kesadaran
masyarakat terhadap pentingnya keberadaan taman nasional. Fungsi taman
nasional tidak hanya sebagai kawasan yang dilindungi tetapi juga dapat
dimanfaatkan secara lestari untuk kesejahteraan masyarakat. International Union
for Conservation of Nature (2003) menggambarkan secara rinci tentang
pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi yang menjadikan aspek
manfaat dan kepentingan lokal sebagai titik berat pertimbangannya. Masyarakat
yang mendapatkan manfaat dari keberadaan taman national akan memiliki
17

kepedulian terhadap kelestarian kawasan. Menurut Basuni (1987) semakin banyak


keuntungan yang didapat maka semakin besar rasa memiliki dan tanggung jawab
akan kewajiban untuk mengawetkan fenonema lingkungan taman nasional.
Salah satu manfaat taman nasional adalah penyedia jasa air, dimana taman
nasional berperan sebagai daerah tangkapan air (IUCN 2008). Ketersedian
sumberdaya air menjadi kebutuhan utama seluruh masyarakat. Air dimanfaatkan
untuk berbagai sektor kehidupan seperti: pertanian, industri, rumah tangga, dan
infrastruktur (Ismanto 2005; Ekaprasetya 2008). Pada sebagian kawasan taman
nasional dengan fungsi hidrologi, manfaat potensi sumberdaya airnya belum dapat
dirasakan oleh masyarakat. Menurut HIMAKOVA (2010) masyarakat yang berada
disekitar kawasan Taman Nasional Manupeu Tanahdaru masih mengalami
kekurangan air pada saat musim kemarau, padahal kawasannya memiliki potensi
sumberdaya air yang tinggi.

3.4 Karst
Karst merupakan suatu bentang alam yang berkembang pada batuan mudah
larut, yaitu batuan karbonat. Jenis batuan karbonat yang paling umum adalah
CaCO3 (kalsit) yaitu komponen utama penyusun batu gamping. Selain kalsit,
mineral karbonat pembentuk batuan adalah CaMg(CO3)2 (dolomit). Batuan
karbonat akan mengalami proses karstifikasi dalam jangka waktu yang lama
sehingga terbentuk kawasan karst. Menurut Sunkar (2007) karst berkembang
dengan baik jika terdapat dalam bentuk batuan karbonat seperti batuan gamping
dan dolomit, gypsum, meskipun tingkatan karstifikasinya berbeda.
Karstifikasi adalah proses pelarutan dan peresapan air pada batuan karbonat
sehingga membentuk bentang alam yang khas di permukaan dan sistem drainase
di bawah permukaan (Field 2002). Pelarutan batuan terjadi secara kimia dan akan
dipercepat oleh CO2 dari aktivitas biota serta pembusukan sisa-sisa tumbuhan atau
humus yang berasal dari atmosfer diatas dan dibawah permukaan tanah. Reaksi
antara CO2 dengan air hujan akan membentuk H2CO3 yang sifatnya sangat reaktif
terhadap terhadap batu gamping (Samodra 2001).
Proses pelarutan batuan yang terjadi sangat intensif dan lebih tinggi dari
daerah lainnya. Menurut Sumardja (1999b) tingginya derajat pelarutan batuan
karst mempengaruhi karakteristik relief dan drainase kawasan karst. Ciri-cirinya
18

adalah bentukan morfologi yang khas, baik eksokarst maupun endokarst.


Topografi karst terdiri dari turunan dan rongga dengan saluran air bawah tanah
dari sungai di permukaan (DoC 1999). Ciri lain topografi karst berupa goa,
dinding bertebing tegak dengan retakan dan kumpulan perbukitan dengan tekstur
kasar (Sumardja 1999a).
Permukaan kawasan karst seringkali terlihat kering disebabkan oleh faktor
batuan penyusunnya karst yang mudah dilewati dan diresapi air. Air merupakan
faktor utama dalam pembentukan gejala eksokarst dan endokarst (Satrio 2005).
Kawasan karst mendapatkan input air dari infiltrasi dalam tanah dan aliran
permukaan yang mengalir langsung kedalam akuifer. Menurut Ko (2003b) akuifer
merupakan sarana penampung dan penyalur air karst sepanjang tahun.

3.5 Sistem Pergoaan


Perbedaan antara kawasan karst dengan kawasan bukan karst adalah
terjadinya proses pelarutan pada kawasan karst yang mengakibatkan adanya
sistem pergoaan dan aliran bawah tanah. Sistem pergoaan dapat diartikan sebagai
jaringan yang saling berhubungan antara satu goa dengan goa lainnya dan masih
dalam satu aliran air (Samodra 2001). Lorong goa yang terisi air akan membentuk
sungai bawah tanah dan keberadaannya tidak terdistribusi merata sedangkan
porositas pada kawasan bukan karst dapat dikatakan seragam kesegala arah
(Gambar 3) (Adji 2006). Menurut Gillieson (1996), diacu dalam Adji (2006)
lorong goa dan sungai bawah tanah disebut sebagai porositas lorong atau secara
hidrogeologis dikenal dengan porositas sekunder.

Sumber: Adji (2006).


Gambar 3 Perbedaan porositas di daerah non-karst (kiri) dan karst (kanan).
19

Porositas di daerah karst menyebabkan sumber air dapat muncul dibanyak


tempat dengan debit yang bervariasi. Porositas sekunder menyebabkan penduduk
di daerah karst pada umumnya terkesan kesulitan untuk menemukan sumber air
untuk mencukupi kehidupan mereka sehari-hari, padahal di bawah mereka
sebenarnya terdapat sungai bawah tanah yang kadang kala debitnya bisa mencapai
ribuan liter/detik (Adji 2006).
Debit sungai bawah tanah sangat ditentukan oleh proses aliran masukan dan
keluaran air di daerah karst. Menurut Domenico dan Schwartz (1990) diacu dalam
Adji (2006) sifat aliran pada kawasan karst terbagi menjadi komponen aliran
diffuse dan aliran conduit. Jenis aliran pada kawasan karst sangat ditentukan oleh
karakteristik perkembangan lorong, kondisi topografi permukaan dan simpanan
air didalam akuifer karst (Tabel 1).
Tabel 1 Karakteristik aliran akuifer karst

Tipe aliran Karakteristik Kondisi daerah tangkapan Simpanan

Saluran 1. Perpipaan Banyak luweng dengan Rendah dan


(Conduit) (streamsink) sinkhole dan ponor hanya pada saat
2. Sangat cepat dan musim hujan
sensitif terhadap
hujan
Dasar 1. Menyebar 1. Rekahan (Fracture) Besar dan
(Diffuse) 2. Respon lambat 2. Intergranular sepanjang tahun
terhadap hujan

Aliran conduit mengimbuh sungai bawah tanah melalui ponor yang ada di
permukaan, melewati ronga-rongga besar dan mengalir cepat. Sedangkan aliran
diffuse masuk ke sungai bawah tanah melalui proses infiltrasi yang terjadi secara
perlahan-lahan melewati epikarst dan kemudian mengimbuh sungai bawah tanah
berupa tetesan atau rembesan kecil. Contohnya adalah tetesan pada ornamen goa
yang mengisi sungai bawah tanah.

3.6 Potensi Sumberdaya Air Kawasan Karst


Aliran air yang mengalir melalui lorong-lorong goa dianggap sebagai aliran
utama dan percabangannya mengalir pada retakan serta celah batuan. Aliran air
yang ada akan keluar sebagai mata air dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan. Data PBB menunjukkan sekitar 25% penduduk dunia memenuhi
20

kebutuhan airnya dari kawasan karst (Samodra 2001). Besarnya jumlah


sumberdaya air yang dijumpai dibawah morfologi karst dianggap sebagai salah
satu potensi utama kawasan karst.
Potensi air kawasan karst dapat dikatakan baik apabila dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat sepanjang tahun. Potensi sungai bawah tanah akan aman
selama aliran diffuse masih cukup mengisi sungai bawah tanah. Proses dan
keberlangsungan sungai bawah tanah tergantung pada monitoring keberadaan
aliran conduit dan perbandingannya dengan aliran diffuse sehingga terlihat
penurunan atau peningkatan persentase aliran diffuse (Adji 2006).
Jumlah air sangat dipengaruhi oleh daerah tangkapan air di kawasan karst,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Sunkar (2003) terdapat dua
sumber air di kawasan karst, autogenic dimana air berasal dari hujan yang jatuh di
permukaan wilayah karst dan allogenic dimana air berasal dari wilayah non-karst
yang berbatasan langsung dengan wilayah karst. Oleh sebab itu, daerah tangkapan
air sangat luas dan tidak hanya dibatasi oleh luas batu gampingnya tetapi juga oleh
kawasan lain yang memiliki hubungan dengan kawasan karst (Gambar 4).

Sumber: http://iah.org (dimodifikasi)


Gambar 4 Daerah tangkapan air karst.
21

3.7 Ancaman terhadap Kawasan Karst


Karst merupakan perpaduan sistem yang dinamis antara bentangan alam,
kehidupan, energi, air, gas, tanah dan batuan (Watson et al. 1997). Sistem karst
terdiri dari lapisan tanah, batuan, bentukan karst, sistem hidrologi, lapisan
atmosfir serta flora dan fauna karst (Yuan 1988 diacu dalam Sunkar 2003).
Gangguan terhadap salah satu sistem yang ada akan memberikan dampak
terhadap keberlangsungan kawasan karst tersebut. Menurut Ko (2003a) keutuhan
kawasan karst tergantung dari terpeliharanya interaksi dinamis antara
komponennya.
Kerusakan kawasan sangat dipengaruhi oleh kegiatan manusia, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Fungsi dan kedudukan manusia di kawasan
karst (man in karst) menjadi penting, karena manusia adalah pelaku utama dalam
mengelola kawasan (Satrio 2005). Bentuk perusakan yang paling nyata adalah
pertambangan, penggalian, pekerjaan pembangunan dan pencemaran.
Pertambangan, penggalian dan pekerjaan pembangunan seringkali menimbulkan
benturan dalam pemanfaatan lahan (Watson et al. 1997). Kawasan karst yang
dimanfaatkan akan mengalami kerusakan secara total sehingga dapat
menghilangkan nilai-nilai strategis yang terdapat didalamnya.
Pencemaran tidak berakibat langsung terhadap kawasan karst namun
mempengaruhi kualitas sumberdaya air karst. Penurunan kualitas air disebabkan
oleh adanya kerentanan alami yang terkait dengan sifat akuifer karst. Ciri-ciri
akuifer karst yang harus diperhatikan adalah penutupan tanah, kondisi infiltrasi,
epikarst dan perkembangan jaringan karst atau goa (Sunkar 2007).
Tanah memiliki kemampuan menyerap bahan pencemar. Pada umumnya
kawasan karst memiliki penutup tanah yang rendah dan lapisan tanah yang tipis,
sehingga curah hujan bisa langsung terinfiltrasi langsung ke saluran bawah tanah
(Sunkar 2003). Tipisnya lapisan tanah mengakibatkan kawasan karst sangat rentan
terhadap pencemaran, karena ketebalan tanah berkaitan dengan lamanya
penyerapan bahan pencemar di tanah.

3.8 Pengelolaan Kawasan Karst


Karst merupakan salah satu bentang alam yang penting disebabkan oleh
nilai strategis yang dimilikinya, seperti nilai ilmiah, nilai ekonomi, dan nilai
22

kemanusiaan yang cenderung unik (Samodra 2001). Keunikan dan potensi yang
dimiliki kawasan karst menunjukkan bahwa kawasan karst perlu dipertimbangan
dalam penetapan kawasan konservasi terutama taman nasional yang memiliki
bentang alam karst.
Beberapa pedoman yang dikeluarkan oleh WCPA (World Commission on
Protected Areas) tentang pemilihan kawasan karst untuk lokasi kawasan lindung
antara lain sebagai berikut (Haryono 2005):
1. Perencanaan yang efektif di kawasan karst menuntut pemahaman yang
menyeluruh terhadap aspek ekonomis, ilmiah, dan nilai-nilai kemanusiaan
dalam kaitannya dengan budaya dan politik setempat.
2. Perlindungan kawasan karst harus diprioritaskan pada daerah atau tempat yang
mempunyai nilai alamiah, sosial dan budaya yang tinggi, memiliki gabungan
nilai atau kekayaan penting dalam satu wilayah; sedikit mengalami kerusakan
lingkungan; dan atau satu tipe yang tidak ada padanannya dalam sistem
kawasan lindung di seluruh wilayah negara atau dalam zona biogeografinya.
3. Jika mungkin daerah lindung harus mencakup keseluruhan daerah tangkapan
dari sistem drainase karst.
4. Jika hal tersebut tidak memungkinkan, kontrol yang ketat (total catchment
management agreement) harus diterapkan.
Namun demikian, sebahagian besar taman nasional ditetapkan berdasarkan
aspek keanekaragam hayati (biodiversity) dan mengabaikan aspek keanekaragaman
geologi (geodiversity). Menurut Sunkar (2006) istilah keanekaragam hayati
(biodiversity) sejajar dengan keanekaragaman geologi (geodiversity) sehingga
fokus pertimbangan kawasan konservasi harus diseimbangkan.
Kerentanan sebuah kawasan karst memerlukan pertimbangan tersendiri
dalam pengelolaannya dan seringkali diabaikan dalam sebuah kawasan konservasi,
termasuk dalam penentuan ruang pemanfaatan sebuah taman nasional. Setiap
taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang menurut MacKinnon J dan
MacKinnon K (1986) merupakan alat yang paling umum bagi pengelolaan
kawasan konservasi untuk memisahkan kawasan yang pemanfaatannya
bertentangan dan untuk pengelolaan kawasan dengan manfaat ganda. Tujuannya
23

adalah membagi kawasan konservasi kedalam unit-unit yang dapat dikelola,


namun lebih terfokus pada pelestarian dan perlindungan ekosistem teresterial.
Sistem zonasi umum sulit diterapkan untuk pengelolaan taman nasional yang
memiliki wilayah karst karena dalam penetapan zonasi memerlukan kajian
terhadap interaksi komponen endokarst dan eksokarst. Kerusakan salah satu
komponen akan memberikan pengaruh terhadap komponen lainnya sehingga data
dan informasi tentang komponen lingkungan karst harus dimiliki sebelum
penetapan zonasi. Salah satu informasi yang harus ada adalah sistem hidrologi
kawasan karst karena akan sangat berpengaruh pada penetapan zonasi di sumber
air karst. Air yang penting untuk proses karstifikasi harus tetap dipertahankan.
Selain itu, kawasan karst pada umumnya sangat peka terhadap gangguan dan
perubahan (terutama goa) sehingga akan menjadi wilayah yang hanya dapat
dikunjungi untuk tujuan tertentu menurut Peraturan Menteri Kehutanan No.
P.56/Menhut-II/ 2006 tentang pedoman zonasi taman nasional.
Kawasan karst perlu dikelola dengan rancangan khusus, terutama untuk
kawasan karst yang terdapat di dalam kawasan taman nasional. Sistem zonasi
yang diterapkan harus memperhatikan nilai-nilai strategis pada setiap kelas
kawasan karst. Zonasinya akan berbeda dengan zonasi dalam pengelolaan taman
nasional karena bisa tersebar secara acak tergantung dari pemenuhan kriteria kelas
kawasan yang telah ditetapkan (Kurniawan 2010).
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilakukan di Taman Nasional Manupeu Tanahdaru yang
terletak di Kabupaten Sumba Barat, Sumba Tengah, dan Sumba Timur Propinsi
Nusa Tenggara Timur (Gambar 5). Penelitian akan dilakukan selama 30 hari pada
bulan April sampai Mei 2010.

Pulau Sumba

Sumber: HIMAKOVA (2010).


Gambar 5 Batas kawasan Taman Nasional Manupeu Tanadaru.

4.2 Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data-data spasial berupa
peta rupa bumi Indonesia, peta sistematik hidrologi Indonesia, peta sebaran karst
atau geologi Pulau Sumba, peta zonasi, sebaran sungai, tutupan lahan, dan sebaran
biodiversity taman nasional. Alat yang digunakan untuk pengolahan data adalah
seperangkat komputer yang dilengkapi paket software ArcView. Peralatan yang
digunakan di lapangan adalah kamera, Global Positioning System (GPS) untuk
penetapan titik, meteran, stopwatch, bejana, pengapung, headlamp, dan alat-alat
tulis.
25

4.3. Jenis Data


Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini dikelompokkan kedalam
lima parameter seperti terlihat pada tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2 Jenis data yang diperlukan

No Parameter Variabel Sumber Metode

1 Kondisi a. Letak dan luas a. Kantor a. Wawancara


umum b. Sejarah dan status pengelola b. Studi
c. Iklim dan curah hujan b. Masyarakat literature
d. Topografi dan ketinggian c. Pengamatan
e. Aksesibilitas
f. Sosial, ekonomi dan budaya
masyarakat

2 Pengelolaan a. Visi dan misi taman nasional Kantor a. Wawancara


taman b. Tujuan pengelolaan pengelola b. Studi
nasional c. Tata cara pengelolaan literatur
d. Kriteria hidrologi dalam penetapan
kawasan
e. Kriteria penetapan zonasi

3 Sumberdaya a. Posisi mata air a. Lapangan a. Studi


air b. Posisi sungai hilang b. Dinas PU literatur
c. Sungai bawah permukaan dan BMKG b. Pengamatan
d. Debit sumber air c. Pengukuran
e. Data curah hujan
f. Data DAS Pulau Sumba

4 Data spasial a. Peta rupa bumi Indonesia a. Kantor a. Studi


b. Peta karst/ geologi Pulau Sumba pengelola literatur
c. Peta hidrologi Pulau Sumba b. Puslitbang
d. Peta zonasi taman nasional geologi
e. Peta sebaran sungai taman nasional c. Puslit
f. Peta tutupan lahan taman nasional sumberdaya
g. Peta biodiversity taman nasional air

5 Masyarakat a. Karakteristik (nama, umur, jenis a. Kantor a. Wawancara


kelamin dan pekerjaan) pengelola b. Studi
b. Kegiatan yang mempengaruhi b. Masyarakat literatur
keberadaan suplai air dari karst c. Pengamatan
c. Tingkat ketergantungan dan bentuk
pemanfaatan masyarakat terhadap
sumber air karst
d. Penilaian masyarakat terhadap
kondisi air
e. Pengaruh keberadaan sumberdaya
air terhadap kehidupan masyarakat
26

4.4 Metode Pengambilan Data


Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode:
1. Studi literatur (pustaka)
Studi literatur bertujuan untuk mengumpulkan data yang berhubungan
dengan Taman Nasional Manupeu Tanahdaru. Data diperoleh dari kantor balai
taman nasional, BPDAS Nusa Tenggara Timur, dinas pekerjaan umum, dan pusat
lingkungan geologi. Data spasial menjadi prioritas utama dalam studi literatur
karena akan digunakan dalam pengolahan untuk membuat peta wilayah penelitian.

2. Metode wawancara
Wawancara dilakukan terhadap pengelola taman nasional dan masyarakat
sekitar kawasan yang memanfaatkan sumberdaya air karst Taman Nasional
Manupeu Tanahdaru. Wawancara dilakukan secara mendalam (in-depth
interview) terhadap tokoh kunci (key person) dari suatu desa yaitu tokoh
masyarakat atau kepala desa, sehingga data yang didapatkan lebih lengkap.
Pelaksanaan wawancara akan mengikuti panduan wawancara (Lampiran).

3. Metode pengamatan (observation)


Pengamatan dilakukan pada lokasi mata air dan sungai hilang yang telah
ditentukan. Penentuan lokasi mata air dan sungai hilang dilakukan pada saat
pembuatan peta sebelum ke lapangan. Cara penentuannya dengan memasukkan data
sebaran sungai kedalam peta sebaran karst Taman Nasional Manupeu Tanahdaru.
Selain itu, informasi dari pengelola pada saat wawancara juga dapat digunakan
untuk mengetahui lokasi mata air dan sungai hilang. Pengamatan yang dilakukan
mencakup kondisi wilayah karst dan vegetasi disekitarnya. Titik mata air dan sungai
hilang akan diambil kembali menggunakan Global Positioning System (GPS) untuk
mendapatkan data yang lebih akurat.

4. Pengukuran
Debit air diukur pada aliran permukaan dari mata air dan aliran bawah tanah.
Menurut Laksmana (2005) diacu dalam Handayani (2009) besarnya debit air yang
mengalir melalui suatu jalur sungai bawah tanah dapat diketahui dengan berbagai
teknik perhitungan debit air yang telah dikembangkan untuk mengukur debit
pada sungai permukaan. Pengukuran dilakukan dengan dua teknik, yaitu:
27

a. Metode Terjunan (Volumetric gauging)


Metode terjunan merupakan cara paling sederhana untuk mengetahui debit
pada suatu aliran air. Pengukuran dilakukan di bagian sungai yang terjal, dimana
perbedaan ketinggian yang cukup besar menyebabkan terbentuknya air terjun
atau pancuran. Air yang terjun di bagian itu ditampung dalam bejana yang
volumenya telah diketahui. Volume bejana diketahui dengan rumus
sebagai berikut:

Ve = 1/8 x P x (D12+D22) x T

Keterangan:
Ve : Volume bejana (m3)
P : 3,14
D : Diameter mulut dan dasar bejana (m)
T : Tinggi bejana (m)
Untuk mengetahui debitnya, maka volume yang didapatkan dibagi dengan waktu
yang dibutuhkan air untuk mengisi bejana tersebut sampai penuh.

b. Teknik kecepatan-luas (Velocity-Area Techniques)


Perhitungan kecepatan-luas menggunakan rumus sebagai berikut:

Q = dn/2 (Vvn) (bn+bn+1)

bn

dn

Keterangan:
Q : Debit air (m3)
Dn : Jeluk vertikal
Vvn : Kecepatan rata-rata (m/dt)
bn : Jarak antara vertikal ke-n
28

Cara penghitungan debit air dengan velocity-area techniques dimulai


dengan menentukan bagian dari sungai dimana pengukuran dapat dilakukan.
Kriteria bagian sungai untuk pengukuran debit dengan velocity-area techniques
adalah (Rahayu et al. 2009):
1. Tidak ada pusaran air.
2. Profil sungai rata tanpa ada penghalang aliran air.
3. Arus sungai terpusat dan tidak melebar saat tinggi muka air naik.
4. Pengukuran pada sungai besar harus ada jembatan yang kuat.
Kecepatan air diukur dengan currentmeter yang memiliki tingkat akurasi
tinggi namun bila alat currentmeter terlalu sulit didapat, pengukuran kecepatan
aliran air dapat dilakukan dengan alat ukur sederhana yang mudah dijumpai,
yaitu pengapung dan alat pengukur waktu, stopwatch atau jam tangan. Kecepatan
rata-rata diperoleh dengan mengukur aliran pada berbagai kedalaman dan sisi
sungai dikalikan faktor korelasinya. Faktor kolerasi yang paling umum digunakan
adalah 0.65 (Rahayu et al. 2009).

4.5 Analisis Data


4.5.1 Analisis Spasial
Peta diolah dengan software ArcView sehingga dapat dihasilkan peta
penunjang proses pengambilan data dan peta hasil akhir yang menjadi sumber
informasi bagi pengelolaan taman nasional. Peta penunjang memuat sebaran
wilayah karst dan sungai yang terdapat di dalam kawasan Taman Nasional
Manupeu Tanahdaru. Informasi tersebut sangat berguna dalam menentukan
kemungkinan posisi mata air dan sungai hilang yang terdapat di dalam kawasan
taman nasional. Sedangkan peta hasil akhir berupa zonasi kawasan karst yang
dapat dimanfaatkan sebagai pertimbangan zonasi Taman Nasional Manupeu
Tanahdaru.
Pengolahan data dilakukan dengan analisis dan manipulasi data spasial
(Gambar 6). Analisis yang digunakan adalah deliniasi (pembuatan polygon),
overlay (tumpang susun) dan buffering. Overlay merupakan penggabungan lokasi
spasial dan atribut satu polygon dengan polygon lainnya untuk membuat coverage
baru (Jaya 2008). Buffering merupakan pembuatan coverage baru berupa zona
penyangga (buffer zone) disekeliling feature dari coverage input (Jaya 2008).
29

Analisis overlay dilaksanakan pada setiap tahapan pembuatan peta sedangkan


buffering hanya untuk menghasilkan peta yang dijadikan sebagai hasil akhir.

Peta sebaran karst/gamping Peta kawasan taman nasional

Overlay (Tumpang susun)

Peta karst
Deliniasi di dalam taman nasional

Posisi mata air Overlay (Tumpang susun)

Peta sebaran potensi air karst taman


nasional
Posisi sungai hilang

Peta biodiversity
taman nasional

Peta sebaran sungai


Overlay (Tumpang susun) taman nasional

Peta hidrologi
Pulau Sumba

Buffering Peta tutupan lahan

Peta pengelolaan kawasan karst taman


nasional

Gambar 6 Teknik pengolahan data spasial.


30

4.5.2 Analisis Deskriptif


Analisis deskriptif merupakan cara yang digunakan untuk memecahkan
masalah yang tidak terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data saja, namun
meliputi analisis data sampai pada kesimpulan dengan berdasarkan penelitian.
Analisis deskriptif dilakukan dengan cara menjelaskan kondisi umun, potensi air
karst, ancaman terhadap kawasan karst, pemanfaatan sumberdaya kawasan karst
dan rencana pengelolaan yang dibuat Taman Nasional Manupeu Tanahdaru. Hasil
analisis disajikan dalam bentuk tabel dan alinea untuk bahan pertimbangan dalam
penyusunan pengelolaan kawasan karst.
31

RENCANA KERJA DAN TATA WAKTU PENELITIAN

Tabel 3 Rencana kerja dan tata waktu


Tahun 2010
No Kegiatan
Februari Maret April Mei Juni Juli
1 Penyusunan proposal
2 Pelaksanaan penelitian
3 Penyusunan skripsi
4 Seminar
5 Ujian komprehensif
6 Wisuda
DAFTAR PUSTAKA

Adji TN. 2006. Kontribusi hidrologi karst dalam monitoring keberlangsungan


ekosistem karst. Di dalam: Biospeleologi dan Ekosistem Karst sebagai
Wahana Upaya Pelestarian dan Penyelamatan Gua Indonesia. Prosiding
Seminar Biospeleologi dan Ekosistem Karst. Yogyakarta, 05-06 Desember
2006. Yogyakarta: Biologi UGM dan LIPI.
Asrianny. 2006. Strategi pelibatan masyarakat dalam pengelolaan Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Bahri S. 1998. Pola tata guna lahan dari hutan lindung sebagai reservoir air secara
alami ditinjau dari keseimbangan air das di kecamatan jonggol dan cariu
Kabupaten Bogor [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.
Basuni S. 1987. Konsep pengaturan sumberdaya taman nasional. Media
Konservasi 1: 1-11.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 1990. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. Jakarta: Dephut.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2006. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 56
tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Jakarta: Dephut.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2007. 50 Taman Nasional di Indonesia. Bogor:
DEPHUT, JICA, LHI.
[Dephutbun] Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1998a. Keputusan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan Nomor 576/Kpts-II/1998 tentang Penetapan
Kawasan Taman Nasional Manupeu Tanahdaru. Jakarta: Dephutbun.
[Dephutbun] Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1998b. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Jakarta: Dephutbun.
[Deptan] Departemen Pertanian . 2006. Buku Rencana RTRW Propinsi Nusa
Tenggara Timur 2006-2009 . http://www.deptan.go.id.
[DESDM] Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral . 2000. Keputusan
Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 1456.K/20/Mem/2000
Tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Kars. Jakarta: DESM.
[DoC] Department of Conservation. 1999. Karst Management Guidelines: Polices
and Actions. Wellington, New Zealand: Crown.
Ekaprasetya DMR. 2008. Nilai ekonomi sumberdaya hutan dalam menghasilkan
air di sub DAS Ciseuseupan, DAS Ciujung Kabupaten Pandeglang Propinsi
Banten [Skripsi]. Bogor: Program Sarjana Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor.
33

Field MS. 2002. A Lexicon of Cave and Karst Terminology with Special
Reference to Environmental Karst Hydrology. Washington, DC: U.S.
Environmental Protection Agency.
Ford DC, Williams PW. 2007. Karst Hydrogeology and Geomorphology.
England: John Wiley and Sons.
Gregory KJ, Walling DE. 1979. Studies in Physical Geografi: Man and
Environmental Processes. England: Dawson Westview Press.
Handayani A. 2009. Analisis potensi sungai bawah tanah di gua seropan dan gua
semuluh untuk pendataan sumberdaya air kawasan karst di Kecamatan
Semanu Kabupaten Gunung Kidul Propinsi Daerah Istimewa Jogyakarta
[Skripsi]. Surakarta: Program Sarjana Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sebelas Maret.
Haryono E. 2005. Konservasi Kawasan Karst. http://www.indocaver.org/.
[HIMAKOVA] Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata. 2010. Laporan Studi Konservasi Lingkungan: Warna Warni
Khasanah Budaya dan Hidupan Liar Langit Sumba. Bogor: Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Ismanto A. 2005. Mekanisme pemanfaatan air Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango [Skripsi]. Bogor: Program Sarjana Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 1991. Caring for the
Earth: Strategi for Suistainable Living. Gland, Switzerland: IUCN.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 1994. Guidelinnes for
Protected Area Management Categories. Gland, Switzerland: IUCN.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2003. Guidelinnes for
Management Planning of Protected Area. Gland, Switzerland: IUCN.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2008. Guidelinnes for
Applying Protected Area Management Categories. Gland, Switzerland:
IUCN.
Jaya INS. 2008. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Kehutanan. Bogor:
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Ko RKT. 2003a. Keanekaragaman Hayati Kawasan Karst. Pemerhati Lingkungan
Karst dan Gua.
_________. 2003b. Strategi Pengelolaan Kawasan Karst. Materi Kuliah Kursus
Introduksi Pengelolaan Kawasan Karst. Bogor: Himpunan Kegiatan
Speleologi Indonesia (HIKESPI).
Kurniawan R. 2010. Sistem pengelolaan kawasan Karst Maros-Pangkep Propinsi
Sulawesi Selatan secara berkelanjutan [Ringkasan Disertasi]. Bogor: Pasca
Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Lee R. 1988. Hidrologi Hutan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
34

Listyandari AK. 2009. Pengelolaan tegakan pinus di Taman Nasional Gunung


Merapi (studi kasus penyadapan getah pinus oleh masyarakat Desa
Ngargomulyo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah) [Skripsi]. Bogor:
Program Sarjana Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
MacKinnon J, MacKinnon K. 1986. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di
Daerah Tropika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Monk KA, Fretes YD, Reksodihardjo-Liley G. 2000. Ekologi Nusa Tenggara dan
Maluku. Jakarta : Prenhanllindo.
Purnama SI. 2005. Penyusunan zonasi Taman Nasional Manupeu Tanadaru sumba
berdasarkan kerentanan kawasan dan aktivitas masyarakat [Tesis]. Bogor:
Program PascaSarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rahayu S, Widodo RH, Nordwijk MV, Suryadi I, Verbist B. 2009. Monitoring Air
di daerah Aliran Sungai. World Agroforestry Centre.
Samodra H. 2001. Nilai Strategis Kawasan Kars di Indonesia. Bandung: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Satrio AE. 2005. Pemanfaatan flora karst Cagar Alam Kakinauwe [Skripsi].
Bogor: Program Sarjana Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Soekmadi, R. 2003. Pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi:
sebuah wacana baru dalam pengelolaan kawasan konservasi. Media
Konservasi 8: 87-93.
Soerianegara I. 1977. Pengelolaan Sumberdaya Alam. Jurusan Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Sumardja EA. 1999a. Kebijakan, strategi dan rencana aksi pengelolaan
lingkungan kawasan karst di Indonesia. Di dalam: Makalah Lokakarya
Kawasan Karst. Jakarta, 29-30 September 1999. Jakarta: Direktorat
Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral, Departemen Pertambangan
dan Energi.
____________. 1999b. Konservasi kawasan karst di Indonesia. Di dalam:
Makalah Lokakarya Kawasan Karst. Jakarta, 29-30 September 1999.
Jakarta: Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral,
Departemen Pertambangan dan Energi.
Sunkar A. 2006. Pertimbangan Biospeologi dalam Konservasi Kawasan Karst Di
dalam: Biospeleologi dan Ekosistem Karst sebagai Wahana Upaya
Pelestarian dan Penyelamatan Gua Indonesia. Prosiding Seminar
Biospeleologi dan Ekosistem Karst. Yogyakarta, 05-06 Desember 2006.
Yogyakarta: Biologi UGM dan LIPI.
________. 2007. Ekosistem subterranean: suatu keindahan alam bawah tanah.
Makalah pada Pelatihan Pemandu Wisata Petualangan dan Eksplorasi.
Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
________. 2009. Sustainability in karst resource management: the case of the
Gunung Sewu in Java [Disertasi]. Auckland: School of Geography,
geology and Environmental Science, The University of Auckland.
35

Vahlevi et al. 2006. Pengelolaan kawasan konservasi di Taman Nasional


Manepeu Tanah Daru, Sumba, Nusa Tenggara Timur[Tugas Akhir].
Bogor: Program Diploma III Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Watson J, Hamilton-Smith E, Gillieson D, Kiernan K (eds). 1997. Guidelinnes
for Cave and Karst Protection. Gland, Switzerland: WPCA (World
Commission on Protected Areas), IUCN (International Union for
Conservation of Nature and Natural Resources.
Wello YE. 2008. Spesies kunci budaya (kultural keystone species) masyarakat
sumba di sekitar Taman Nasional Manupeu Tanadaru Nusa Tenggara
Timur [Skripsi]. Bogor: Program Sarjana Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor.
Williams P. 2008. World Heritage Caves and Karst. Gland, Switzerland: IUCN
Programe on Protected Areas.
Widarti A. 1995. Studi permintaan jasa hidrologi kawasan hutan Taman Nasional
Gede Pangrango [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Wiranansyah H. 2005. Studi interaksi masyarakat terhadap potensi sumberdaya
alam di Taman Nasional Manupeu Tanadaru dan Taman Nasional
Laiwangi Wanggameti berdasarkan kearifan tradisionalnya [Tugas Akhir].
Bogor: Program Diploma III Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
37

Panduan Wawancara

Nama :
Umur :
Pekerjaan :
Alamat :

a. Ancaman terhadap kawasan


- Manfaat taman terhadap masyarakat
- Kegiatan-kegiatan yang dilakukan masyarakat di dalam dan disekitar kawasan
b. Pemanfatan kawasan karst
- Pengetahuan masyarakat tentang kawasan karst
- Kegiatan penambangan batu gamping di sekitar atau di dalam kawasan
- Rencana pemanfaatan yang di sosialisasikan pengelola
c. Tingkat ketergantungan dan bentuk pemanfaatan masyarakat terhadap sumber air karst
- Seberapa penting keberadaan sumber air
- Bentuk penggunaannya (yang terbesar apa)
d. Penilaian masyarakat terhadap kondisi air
1) Ketersediaan Air Musim Penghujan
a. Ketersediaan air pada musim penghujan
b. Tingkat kesulitan mendapatkan air pada musim penghujan
c. Upaya yang dilakukan oleh penduduk dalam mengatasi kekurangn air pada
musim penghujan (pertanyaan ini diajukan apabila jawaban b adalah sulit atau
sangat sulit)
d. Kondisi air dari sumber yang digunakan pada musim penghujan
2) Ketersediaan Air Musim Kemarau
a. Ketersediaan air pada musim kemarau
b. Tingkat kesulitan dalam mendapatkan air pada musim kemarau
c. Upaya yang dilakukan penduduk dalam mengatasi kekurangan air pada musim
kemarau (pertanyaan ini diajukan apabila jawaban b adalah sulit atau sangat sulit)
d. Kondisi air dari sumber yang digunakan pada musim kemarau
e. Pengaruh keberadaan sumber daya air terhadap kehidupan masyarakat
- Apa yang dilakukan masyarakat kalau sumber daya air itu hilang
- Bentuk pemeliharaan yang telah dilakukan (pengelola dan masyarakat)

You might also like