You are on page 1of 36

Modul 2

Masalah Dan Potensi Daerah

Diklat Teknis
Perencanaan Pembangunan Daerah
(Regional Development Planning)
Eselon
IV

I
SAMBUTAN DEPUTI BIDANG PEMBINAAN DIKLAT APARATUR
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

Selaku Instansi Pembina Diklat PNS, Lembaga Administrasi Negara


senantiasa melakukan penyempurnaan berbagai produk kebijakan Diklat yang telah
dikeluarkan sebagai tindak lanjut Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000
tentang Diklat Jabatan PNS. Wujud pembinaan yang dilakukan di bidang diklat
aparatur ini adalah penyusunan pedoman diklat, bimbingan dalam pengembangan
kurikulum diklat, bimbingan dalam penyelenggaraan diklat,
standarisasi, akreditasi Diklat dan Widyaiswara, pengembangan sistem
informasi Diklat, pengawasan terhadap program dan penyelenggaraan Diklat,
pemberian bantuan teknis melalui perkonsultasian, bimbingan di tempat kerja,
kerjasama dalam pengembangan, penyelenggaraan dan evaluasi Diklat.
Sejalan dengan hal tersebut, melalui kerjasama dengan Departemen
Dalam Negeri yang didukung program peningkatan kapasitas berkelanjutan
(SCBDP), telah disusun berbagai kebijakan guna lebih memberdayakan
daerah seperti peningkatan kapasitas institusi, pengelolaan dan peningkatan
SDM melalui penyelenggaraan Diklat teknis, pengembangan sistem keuangan,
perencanaan berkelanjutan dan sebagainya.
Dalam hal kegiatan penyusunan kurikulum diklat teknis dan modul
diklatnya melalui program SCBDP telah disusun sebanyak 24 (dua puluh
empat) modul jenis diklat yang didasarkan kepada prinsip competency based
training. Penyusunan kurikulum dan modul diklat ini telah melewati proses yang
cukup panjang melalui dari penelaahan data dan informasi awal yang diambil
dari berbagai sumber seperti Capacity Building Action Plan (CBAP) daerah
yang menjadi percontohan kegiatan SCBDP, berbagai publikasi dari berbagai
media, bahan training yang telah dikembangkan baik oleh lembaga donor,
perguruan tinggi, NGO maupun saran dan masukan dari berbagai pakar dan
tenaga ahli dari berbagai bidang dan disiplin ilmu, khususnya yang tergabung
dalam anggota Technical Review Panel (TRP).
Disamping itu untuk lebih memantapkan kurikulum dan modul diklat ini
telah pula dilakukan lokakarya dan uji coba/pilot testing yang dihadiri oleh para
pejabat daerah maupun para calon fasilitator/trainer.
Dengan proses penyusunan kurukulum yang cukup panjang ini kami
percaya bahwa kurikulum, modul diklatnya berikut Panduan Fasilitator serta
Pedoman Umum Diklat Teknis ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
pelatihan di daerah masing-masing.
ii
Harapan kami melalui prosedur pembelajaran dengan menggunakan
modul diklat ini dan dibimbing oleh tenaga fasilitator yang berpengalaman dan
bersertifikat dari lembaga Diklat yang terakreditasi para peserta yang
merupakan para pejabat di daerah akan merasakan manfaat langsung dari
diklat yang diikutinya serta pada gilirannya nanti mereka dapat menunaikan
tugas dengan lebih baik lagi, lebih efektif dan efisien dalam mengelola berbagai
sumber daya di daerahnya masing-masing.
Penyempurnaan selalu diperlukan mengingat dinamika yang sedemikian
cepat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Dengan dilakukannya
evaluasi dan saran membangun dari berbagai pihak tentunya akan lebih
menyempurnakan modul dalam program peningkatan kapasitas daerah secara
berkelanjutan.
Semoga dengan adanya modul atau bahan pelatihan ini tujuan
kebijakan nasional utamanya tentang pemberian layanan yang lebih baik
kepada masyarakat dapat terwujud secara nyata.
iii
KATA PENGANTAR
DIREKTUR JENDERAL OTONOMI DAERAH
Setelah diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, yang kemudian diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, telah terjadi
perubahan paradigma dalam pemerintahan daerah, yang semula lebih
berorientasi sentralistik menjadi desentralistik dan menjalankan otonomi
seluas-luasnya. Salah satu aspek penting kebijakan otonomi daerah dan
desentralisasi adalah peningkatan pelayanan umum dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan masyarakat, dan meningkatkan daya saing daerah.
Berdasarkan pengalaman penyelenggaraan pemerintahan di banyak negara,
salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan otonomi daerah
adalah kapasitas atau kemampuan daerah dalam berbagai bidang yang
relevan. Dengan demikian, dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kepada
masyarakat dan peningkatan daya saing daerah diperlukan kemampuan atau
kapasitas Pemerintah Daerah yang memadai.
Dalam rangka peningkatan kapasitas untuk mendukung pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah, pada tahun 2002 Pemerintah telah
menetapkan Kerangka Nasional Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas
Dalam Mendukung Desentralisasi melalui Keputusan Bersama Menteri Dalam
Negeri dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Bappenas. Peningkatan kapasitas tersebut meliputi sistem, kelembagaan, dan
individu, yang dalam pelaksanaannya menganut prinsip-prinsip multi dimensi
dan berorientasi jangka panjang, menengah, dan pendek, serta mencakup
multistakeholder, bersifat demand driven yaitu berorientasi pada kebutuhan
masing-masing daerah, dan mengacu pada kebijakan nasional.
Dalam rangka pelaksanaan peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah,
Departemen Dalam Negeri, dengan Direktorat Jenderal Otonomi Daerah
sebagai Lembaga Pelaksana (Executing Agency) telah menginisiasi program
peningkatan kapasitas melalui Proyek Peningkatan Kapasitas yang
Berkelanjutan untuk Desentralisasi (Sustainable Capacity Building Project for
Decentralization/SCBD Project) bagi 37 daerah di 10 Provinsi dengan
pembiayaan bersama dari Pemerintah Belanda, Bank Pembangunan Asia
(ADB), dan dari Pemerintah RI sendiri melalui Departemen Dalam Negeri dan
kontribusi masing-masing daerah. Proyek SCBD ini secara umum memiliki
tujuan untuk meningkatkan kapasitas Pemerintah Daerah dalam aspek sistem,
kelembagaan dan individu SDM aparatur Pemerintah Daerah melalui
penyusunan dan implementasi Rencana Tindak Peningkatan Kapasitas
(Capacity Building Action Plan/CBAP).
iv
Salah satu komponen peningkatan kapasitas di daerah adalah Pengembangan
SDM atau Diklat bagi pejabat struktural di daerah. Dalam memenuhi kurikulum
serta materi diklat tersebut telah dikembangkan sejumlah modul-modul diklat
oleh Tim Konsultan yang secara khusus direkrut untuk keperluan tersebut yang
dalam pelaksanaannya disupervisi dan ditempatkan di Lembaga Administrasi
Negara (LAN) selaku Pembina Diklat PNS.
Dalam rangka memperoleh kurikulum dan materi diklat yang akuntabel dan
sesuai dengan kebutuhan daerah, dalam tahapan proses pengembangannya
telah memperoleh masukan dari para pejabat daerah dan telah diujicoba (pilot
test), juga melibatkan pejabat daerah, agar diperoleh kesesuaian/ relevansi
dengan kompetensi yang harus dimiliki oleh para pejabat daerah itu sendiri.
Pejabat daerah merupakan narasumber yang penting dan strategis karena
merupakan pemanfaat atau pengguna kurikulum dan materi diklat tersebut
dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Kurikulum dan meteri diklat yang dihasilkan melalui Proyek SCBD ini, selain
untuk digunakan di lingkungan Proyek SCBD sendiri, dapat juga digunakan di
daerah lainnya karena dalam pengembangannya telah memperhatikan aspekaspek
yang berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah.
Selain itu juga dalam setiap tahapan proses pengembangannya telah
melibatkan pejabat daerah sebagai narasumber.
Dengan telah tersedianya kurikulum dan materi diklat, maka pelaksanaan
peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah, khususnya untuk peningkatan
kapasitas individu SDM aparatur daerah, telah siap untuk dilaksanakan.
Diharapkan bahwa dengan terlatihnya para pejabat daerah maka kompetensi
mereka diharapkan semakin meningkat sehingga pelayanan kepada
masyarakat semakin meningkat pula, yang pada akhirnya kesejahteraan
masyarakat dapat segera tercapai dengan lebih baik lagi.
v
DAFTAR ISI
Sambutan Deputy IV - LAN .......................................................................................... i
Kata Pengantar Dirjen Otonomi Daerah - Depdagri ................................................iii
Daftar Isi .................................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A. Deskripsi Singkat...................................................................................... 1
B. Hasil Belajar ............................................................................................. 2
C. Indikator Hasil Belajar.............................................................................. 2
D. Pokok Bahasan ......................................................................................... 2
BAB II MASALAH DAN POTENSI DAERAH ...................................................... 3
A. Pendahuluan.............................................................................................. 3
B. Masalah..................................................................................................... 3
C. Potensi Daerah........................................................................................ 10
D. Latihan .................................................................................................... 11
E. Rangkuman............................................................................................. 12
BAB III MENGATASI PERMASALAHAN PEMBANGUNAN DAERAH........ 13
A. Pendahuluan............................................................................................ 13
B. Apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah? ............................ 14
C. Kebijakan Percepatan Pembangunan Daerah......................................... 27
D. Latihan .................................................................................................... 37
E. Rangkuman............................................................................................. 37
Daftar Pustaka
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Deskripsi Singkat
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan daerah ialah
pemahaman terhadap permasalahan yang dihadapi daerah dan potensi yang
dimiliki daerah tersebut. Untuk itu diperlukan metode atau cara yang tepat untuk
mengidentifikasi masalah dan potensi daerah. Permasalah yang tersusun dengan
baik memudahkan untuk mencari alternatif pemecahan masalah dan resikonya
dapat diperhitungkan secara dini.
Dalam konteks desentralisasi (otonomi daerah) dimana Pemerintah Daerah (Pemda
Kabupaten/Kota) memiliki kewenangan penuh merencanakan dan melaksanakan
pembangunannya. Perubahan dari sistem sentralisasi menjadi desentralisasi
menyebabkan terjadi perubahan kondisi sosial, ekonomi dan politik yang sangat
fundamental menuntut perlunya sistem perencanaan pembangunan daerah yang
komprehensif dan mengarah kepada perwujudan kepemerintahan yang baik (good
governance) yang antara lain adalah transparansi, akuntabilitas, demokrasi, dan
partisipasi masyarakat, yang pada akhirnya dapat menjamin pemanfaatan dan
pengalokasian sumber dana pembangunan yang semakin terbatas menjadi lebih
efisien dan efektif serta berkelanjutan.
Cepatnya dan lambatnya laju pertumbuhan pembangunan daerah dipengaruhi
banyak faktor, antara lain kemampuan untuk menggunakan kekuatan dan peluang
yang dimiliki serta kemampuan mengatasi kelemahan-kelemahan dan/atau
masalah dan ancaman yang dihadapi dalam proses pembangunannya.
Masalah didefinisikan sebagai perbedaan antara harapan dan kenyataan atau
perbedaan antara situasi yang ada sekarang dan yang seharusnya terjadi.
Pertanyaannya kenapa harapan dan kenyataan tidak terjadi? Jawaban singkat dari
pertanyaan ini ada faktor-faktor yang menyebabkan harapan tidak bisa terrealisasi.
Barangkali dapat dikatankan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah
daerah dalam melaksanakan pembangunannya buka semata-semata karena
keterbatasan sumber dana pembangunan atau terbatasnya sumberdaya alam atau
lemahnya sumberdaya manusia yang dimiliki, tetapi yang penting diperhatikan
adalah bagaiman keadaan manajemen pembangunannya. Pada saat kita bicara
manajemen pembangunan tentunya tidak terlepas dari sistem perencanaan dan
kemampuan pemerintah daerah untuk membuat kebijakan pembangunan yang
menstimulasi terjadi pertumbuhan, baik dalam ekonomi, sosial budaya, dan
pelayanan publik.
Modul ini membahas permasalahan dan potensi daerah serta peluang-peluang apa
yang bisa diperbuat oleh daerah untuk meningkatkan pembangunannya.
2
2
B. Hasil Belajar
Setelah mempelajari modul dan mengikuti mata ajar ini, peserta diharapkan
mengerti, memahami dan mampu melakukan identifikasi masalah dan potensi
yang dimiliki daerah serta menyusun program-program yang dapat meningkatkan
laju pembangunan daerahnya.
C. Indikator Hasil Belajar
Setelah mengikuti proses pembelajaran modul ini, para peserta mengerti dan
mampu untuk:
1. Menjelaskan persalahanan daerahnya dan dapat membuat struktur kebijakan
tindak yang lebih tepat dalam menetapkan rencana pembangunan.
2. Menyusun program dan/atau kegiatan yang sesuai dengan potensi daerahnya.
D. Pokok Bahasan
Pokok bahasan dalam modul ini terdiri dari:
1. Permasalah pembangunan daerah.
2. Apa yang harus diperbuat pemerintah daerah.
3. Merangsang Pertumbuhan Usaha Kecil dan Menengah.
4. Mendorong Pendirian Usaha Baru melalui Entrepreneurship.
5. Melakukan Manajemen Asset untuk Merangsang Pertumbuhan Swasta.
6. Melakukan Manajemen Modal untuk Mendorong Sektor Swasta.
7. Menggali Pendapatan Daerah
8. Kebijakan Percapatan Pembangunan Daerah
9. Penciptaan Lapangan kerja
10. Pengembangan Sektor Informal
11. Reformasi Peraturan dan Perundangan.
3
BAB II
MASALAH DAN POTENSI DAERAH
A. Pendahuluan
Masalahan adalah proses untuk memunculkan dan menguji konsepsualisasi
alternatif dari keadaan bermasalah (prolematic situation). Permasalah yang
tersusun dengan baik (well structured) dapat langsung dapat dipecahkan, tetapi
permasalahan yang tidak tersusun dengan baik (ill structured) maka terlebih
dahulu harus didefinisikan. Dengan mendefiniskan permasalahan, analis (analyst)
atau perencana (planner) tidak hanya menempatkan dirinya dalam keadaan
bermasalah yang diamati, tetapi juga menguji pemikiran dan wawasannya secara
kreatif. Permasalah yang tersusun baik pengambil keputusannya adalah satu atau
sedikit serta terjadi konsensus, alternatifnya sedikit, hasilnya jelas, dan risikonya
dapat diperhitungkan (Partowidagdo 1999).
Dalam konteks desentralisasi (otonomi daerah) dimana Pemerintah Daerah (Pemda
Kabupaten/Kota) memiliki wewenang penuh merencanakan dan melaksanakan
pembangunannya yang didasarkan pada kekayaan sumber daya alam dan manusia
yang dimilikinya. Perubahan dari sistem sentralisasi menjadi desentralisasi
menyebabkan terjadi perubahan kondisi sosial, ekonomi dan politik yang sangat
fundamental menuntut perlunya sistem perencanaan pembangunan daerah yang
komprehensif dan mengarah kepada perwujudan kepemerintahan yang baik (good
governance) yang antara lain adalah transparansi, akuntabilitas, demokrasi, dan
partisipasi masyarakat, yang pada akhirnya dapat menjamin pemanfaatan dan
pengalokasian sumber dana pembangunan yang semakin terbatas menjadi lebih
efisien dan efektif serta berkelanjutan.
Dalam dinamika desentralisasi, ada daerah mampu memacu pembangunan secara
cepat, sementara itu ada juga daerah mengalami banyak masalah atau kendala
dalam melaksanakan pembangunannya. Cepatnya dan lambatnya laju
pertumbuhan pembangunan daerah dipengaruhi banyak faktor, antara lain
kemampuan untuk menggunakan kekuatan dan peluang yang dimiliki serta
kemampuan mengatasi kelemahan-kelemahan dan/atau masalah dan ancaman yang
dihadapi dalam proses pembangunannya. Bagian ini membahas identifikasi
masalah dan potensi yang dimiliki suatu daerah.
B. Masalah
Ketika kita membayangkan tentang apa arti pembangunan, maka yang terlintas
dibenak kita ialah usaha-usaha perubahan suatu keadaan menjadi keadaan yang
lebih baik. Keadaan yang lebih baik yang diharapkan adalah: (1) kesejahteraan
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu menggunakan
penstrukturan masalah (Problem Structuring) untuk mengidentifikasi masalah dan
potensi daerah secara jelas.
4
4
yang lebih baik (pendidikan, kesehatan, perumahan, pangan, pendapatan); (2)
kualitas hidup yang lebih baik (sehat, aman, dan lain-lain); (3) perkenomian yang
lebih baik (lapangan kerja, pendapatan, menabung, dan lain-lain). Pertanyaannya
apakah keadaan itu telah dicapai, atau apakah kita sudah puas dengan keadaan
dimana kita berada. Pertanyaan berikutnya adalah dibandingkan dengan negaranegara
maju dan negara sedang berkembang atau negara miskin, dimana posisi riil
kita berada?
Untuk menjawab pertanyaan di atas maka kita harus jujur untuk menilai posisi
dimana kita berada sekarang. Ini penting untuk mengetahui dari titik mana kita
mulai melakukan reformasi pembangunan secara total.
Sejak proklamasi 17 Agustus 1945 sampai saat ini 2007, pembangunan di
Indonesia telah memasuki 62 tahun, suatu periode waktu yang cukup panjang.
Namun demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa baru sebagian kecil citacita
kemerdekaan yang telah dicapai. Masih banyak hal-hal strategis yang belum
diselesaikan, antara lain:
1. Menghapus kemiskinan dan memberantas korupsi;
2. Membangun industri (sektor riil) berbasis Sumber Daya Alam (SDA) yang
sebenarnya Indonesia memiliki kekayaan yang besar untuk rakyat;
3. Membangun karakter bangsa yang mandiri (yang dapat dibanggakan);
4. Membangun institusi untuk ”Good Governance” dan “Good Civil Society”;
5. Merencanakan pembangunan sesuai dengan karakter, berbasis geografis dan
negara kepuluan terbesar di dunia.
Sementara itu ada hal-hal yang semestinya diberi prioritas untuk dikerjakan tapi
terlalaikan, yaitu:
1. Pengembangan sektor mikro, industri/riil berbasis SDA;
2. Usaha-usaha produktif atau ”Directly Productive Activities” (DPA)
3. Sumber-sumber lainnya yang berbasis kekayaan negara.;
4. Kewilayah, desentralistik.
Sebenarnya dimulai pada jaman orde baru tahun 1967, pemerintah Indonesia telah
melakukan pembangunan yang berbasis SDA, persoalannya kebijakan
pembangunan ekonomi pada waktu itu terpaku pada pembangunan sektor primer
(jual bahan baku hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan
tangkap, dan enersi sumber daya mineral/ESDM).
Nilai tambah dari kebijakan ekonomi ini dinikamati oleh negara-negara pembali
hasil-hasil sektor primer kita. Fakta dan fenomena dari kebijakan pembangunan ini
digambarkan seperti berikut:
5
5
Fakta Fenomena
Jutaan Ha hutan telah hilang/rusak:
1. Sebagian dengan izin resmi;
2. Jika di Riau telah hilang 5 juta Ha,
sebaliknya ada yang utung sebesat
Rp 1.500 Trillium (1 Ha Kayu
hutan memberikan keuntungan Rp
300.000,=)
3. Jika keuntungna tersebut di atas
digunakan 50% untuk membangun
Riau, maka Riau akan maju setara
dengan Malaysia;
4. Negara dan rakyat tidak mendapat
bagian yang berarti, faktanya
rakyat tetap miskin.
Ribuan Ha tanah berubah menjadi
perkotaan ...
1. Sebagian konversi ini dengan
izin;
2. Tanah murah dibeli sikaya
berubah jadi kavling sangat
mahal, dan pengembang
untung besar;
3. Kalau saja, keuntungan
berbagi dengan rakyat dan
Pemda, maka akan jadi
makmur dan adil;
4. Tetapi sayangnya, negara dan
rakyat tidak mendapat bagian,
dan tetap miskin.
Keadaan yang diutarakan di atas terjadi karena kita masih terpaku pada pemikiran
bahwa kita adalah bangsa yang kaya dengan SDA. Untuk keluar dari keadaan itu,
maka diperlukan adanya transformasi karakter bangsa, yaitu dari bangsa dengan
karakter kumuh menjadi bangsa bermartabat. Bagaimana proses seharus terjadi.
Gambar berikut ini memberikan ilustrasi proses transformasi tersebut.
MISKIN
LOOSER
KAYA
WINNER
KAYA
SDA
BANGSA KUMUH BANGSA BERMARTABAT
SUB
SISTEM PRIMER
SEKUNDER
TERSIER
EKONOMI BANGSA:
HUT, TAN, OLAH, PERDAG,
IKAN, MANUFAK, JASA2,
TERNAK KONSTRK PARIWISATA
TAMBANG
KAYA
SDA
40% URBAN
60% RURAL
60% URBAN
40% RURAL
PENDIDIKAN RENDAH CERDAS
MUDAH MARAH GENTELMEN
INWARD OUTWARD
INFERIOR BERRDAYA SAING
KARAKTER BANGSA
Gambar 2.1. Desain Transformasi Menjadi Bangsa Bermartabat
Gambar di atas mengilustrasikan bahwa bangsa Indonesia sebenarnya kaya,
memiliki SDA, terletak geografisnya sangat strategis di dunia, tetapi pada
kenyataannya masih miskin. Ciri-ciri ini ditandai dengan distribusi penduduk yang
6
6
60% tinggal dipedesaan, 40% tinggal di perkotaan dengan kegiatan ekonomi masih
pada sektor primer (produksi bahan mentah hasil pertanian, perkebunan,
kehutanan, peternakan, perikanan, dan galian mineral/tambang). Dalam kondisi
yang demikian nilai tambah dari produk yang dijual kecil atau keuntungan yang
diperoleh rendah.
Untuk mendapatkan keuntungan dari kegiatan ekonomi, maka harus bergeser
menjadi sektor sekunder dan tersier yang ditandai dengan kegiatan pengolahan
hasil sektor primer (meningkatkan nilai tambah), manufaktur, konstruksi,
perdagangan, jasa, dan parawisata. Prasyarat yang diperlukan adalah sumberdaya
manusia (SDM) yang berkualitas dengan ciri berpikir berorientasi kemasa depan,
memiliki daya saing, dan cerdas. Dengan mencapai hal itu maka SDA yang
banyak dapat dikelola secara efisien membuat bangsa Indonesia kaya dan
bermartabat. Kondisi yang demikian menyebabkan terjadinya pergeseran
demografis, 60% penduduk tinggal di kota dan 40% tinggal didaerah pedesaan.
Pada bagian berikut dibahas masalah yang berhubungan dengan kebijakan
pembangunan. Masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Lemahnya Struktur Kebijakan Tindak
Untuk mengetahui sejauh mana suatu kebijakan tindak tepat atau tidak maka
biasanya digunakan analisis kebijakan terpusat (Centered Policy Analysis).
Tujuan analisis ini ialah membantu menstrukurisasi kebijakan tindak secara
tepat sebagai dasar menyusun kebijakan lainnya yang diperlukan untuk
merencanakan adan melaksanakan upaya pemecahan masalah (misalnya,
membuat program/proyek dan/atau kegiatan). Gambar 2.2 dibawah
menyajikan diagram Pusat Analisis Kebijakan (Centered Policy Analysis).
POLICY
PERFORMANCE
POLICY
ACTIONS
POLICY
OUTCOMES
POLICY
FUTURES
Evaluation Forcasting
Monitoring Recommendation
Problem
Structuring
Problem
Structuring
POLICY
ACTIONS
Problem
Structuring
Problem
Structuring
Gambar 2.2. Diagram Pusat Analisis Kebijakan
Diagram di atas memperlihatkan siklus proses kebijakan tindak (Policy
Action), dimana sebelum dia menjadi sebagai tampilan kebijakan (policy
performance) dan selanjutnya menjadi kebijakan masa depan (policy
7
7
futures) lalu menjadi kebijakan tindak (policy actions) lagi, lalu
menghasilkan hasil kebijakan (policy outcome) dan kembali ke pelaksanaan
kebijakan (policy performance) lagi, jelas kelihatannya bahawa
penstrukturan masalah (Problem Structruring) merupakan inti dari
penyusunan suatu kebijakan tindak (policy action).
Nilai strategis yang dimiliki oleh penstrukturan masalah (Problem
Structruring) adalah sangat menentukan arah dari kebijakan yang dibuat
sebagai landasan/dasar suatu program/proyek dan/atau kegiatan untuk
menyelesaikan masalah-masalah pembangunan. Kalau dalam suatu proses
perencanaan pembangunan sudah terjadi ketidak tepatan dalam
penstrukturan masalah (Problem Structruring) atau mengidentifikasian
masalah-masalah yang dihadapi dalam pembangunan, maka dapat
dibayangkan apa hasil (outcome) dari kebijakan-kebijakan, program-program
yang dibuat untuk menyelesaikan persoalan.
Untuk itu dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan nasional dan
daerah ”musrembang” menjadi suatu kegiatan strategis yang penting. Bukan
hanya sebagai kegiatan normatif dalam proses perencanaan pembangunan
tetapi seharus menjadi pendekatan pertisipatif dalam penjaringan masalahmasalah
dan kebutuhan –kebutuhan dan/atau tuntutan rakyat atau para
pemangku kepentingan akan pelayanan publik yang lebih baik.
Salah satu contoh penstrukturan masalah yang kurang tepat ialah kebijakan
penanggulangan dampak kenaikan bahan bakar minyak (BBM) pada 1
Oktober 2005 terhadap rakyat miskin melalui program Bantuan Langsung
Tunai (BLT). Dari berbagai hasil evaluasi lembaga-lembaga penelitian
ditemukan bahwa bantuan tersebut tidak tepat sasaran. Banyak penerima BLT
jestru bukan rakyat miskin, sementara rakyat miskin tidak mendapat bantuan
tersebut. Walaupun tidak diragukan bahwa program BLT bertujuan untuk
membantu rakyat miskin yang kena dampak kenaikan BBM.1
2. Lemahnya Iklim Usaha Kondusif
Sudah merupakan pembicaraan umum bahwa salah satu kendala yang
dihadapi banyak dihadapi oleh pengusaha di daerah ialah belum terciptanya
iklim usaha yang kondusif. Hal itu ditandai dengan banyak pungutan dan
panjangnya birokrasi yang ditempuh. Beberapa penelitian melaporkan bahwa
di daerah perkotaan berbagai pungutan yang dihadapi oleh pungusaha kecil,
yaitu: (a) tingginya beban pungutan yang harus dipikul oleh usaha kecil dan
menengah, rata-rata 13,7 juta per unit usaha per tahun; (b) pungutan-pungutan
tersebut berlaku satu setengah tahun lebih cepat daripada pemilikan legalitas
usaha; dan (c) prosedur pengurusan legalitas usaha tidak jelas dan mahal
sehingga hanya sekitar 11,3% usaha kecil dan menengah yang memiliki akte
pendirian perusahaan. Sementara hambatan di daerah kabupaten adalah: (1)
tingginya beban pungutan yang harus dipikul oleh usaha kecil dan menengah,
1 Lihat
Kajian Cepat Pelaksanaan Subsidi Langsung Tunai Tahun 2005 di Indonesia: Studi Kasus di
Lima Kabupaten/Kota. Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta. Januari 2006.
8
8
yaitu 3,7 juta rupiah per unit usaha per tahun; (2) pungutan-pungutan tersebut
berlaku dua setengah tahun lebih cepat dari pemilikan legalitas usaha; dan (3)
prosedur pengurusan legalitas usaha tidak jelas dan mahal sehingga hanya
sekitar 6,8% usaha kecil dan menengah yang memiliki akte pendirian
perusahaan.2
Kalau keadaan tidak diatasi secara cepat, harapan untuk menumbuhkan
ekonomi lokal sebagai penunjang perekonomian daerah akan terhambat.
Untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif, pemerintah daerah perlu
berfikir realistis, yaitu dengan menentukan terlebih dahulu, bagi siapa iklim
yang kondusif itu akan diadakan. Tentu ini akan sangat terkait dengan strategi
pembangunan ekonomi yang telah ditetapkan. Iklim usaha bagi usaha kecil,
misalnya, tidak selalu sama dengan iklim usaha bagi usaha besar. Bila strategi
yang ditetapkan menentukan bahwa yang akan dikembangkan adalah usaha
besar misalnya, dan yang akan ditarik adalah investasi modal asing dan dalam
negeri, pemerintah daerah perlu menentukan apa yang perlu disediakan oleh
pemerintah daerah dalam rangka menciptakan iklim usaha yang kondusif
untuk usaha besar.
3. Belum mebudayakanya Prinsip Tata Kemerintahan Yang Baik (Good
Governance) Sistem Birokrasi Pemerintah Daerah.
Walaupun prinsip tata pemerintahan yang baik telah dterima sebagai suatu
tata nilai dianut oleh sistem pemerintahan daerah dan aparat-aparatnya, tetapi
pada kenyataannya tata nilai tersebut baru sampai batas wacana saja. Masalah
yang diutarankan di atas terjadi adalah fakta yang menunjukkan bahwa Tata
Kepemeritahan yang Baik belum diterapkan secara baik di banyak
pemerintahan daerah.
Tata Kepemetintahan yang baik terdiri dari 14 butir.
a. Prinsip Wawasan ke Depan
b. Prinsip Keterbukaan dan Transparansi
c. Prinsip Partisipasi Masyarakat
d. Prinsip Tanggung Gugat (Accountability)
e. Prinsip Supremasi Hukum (Rule Of Law)
f. Prinsip Demokrasi (Democracy)
g. Prinsip Profesionalisme dan Kompetensi (Profesionalism And
Competency)
h. Prinsip Daya Tanggap (Responsiveness)
i. Prinsip Efisiensi dan Efektifitas (Efficiency And Effectiveness)
j. Prinsip Desentralisasi (Decentralization)
k. Prinsip Kemitraan dengan Dunia Usaha Swasta dan Masyarakat
(Private and Civil Society Partnership)
2 Brahmanito, I "Desentralisasi Fiskal dan Implikasmya Terhadap Kondusifitas Iklim Usaha Daerah
Kota dan Kabupaten di Indonesia", makalah disampaikan dalam National Policy Workshop, TAF, CESS.
CAPS. HUKEI. dan CEMCED_ 2001. hal 7-14
9
9
l. Prinsip Komitmen pada Pengurangan Kesenjangan (Commitment to
Reduce Inequality)
m. Komitmen pada Perlindungan Lingkungan Hidup (Commitment To
Environmental Protection)
n. Prinsip Komitmen pada Pasar yang Fair (Commitment To Fair Market)
4. Lemahnya Manajemen Kewilayahan
Pemahaman desentralisasi sebagai upaya daerah untuk mempercepat
pembangunannya juga belum dilaksanakan secara baik. Dalam banyak hal
desentralisasi diterjemahkan secara sempit, misalnya pemikiran atau ego
sektoral masih masih mendominasi pola pikir perencana dan pengambil
kebijakan di banyak daerah. Padahal dengan pola desentralisasi
memungkinkan daerah memacu pembangunannya lebih melalui peningkatan
kerjasama antar daerah dan wilayah. Dengan kata lain menerapkan manjemen
kewilayahan secara baik. Dengan manajemen kewilayahan yang baik,
kemungkinan pembentukan pusat-pusat pertumbuhan antar provinsi,
kabupaten dan kota dapat dilaksanakan dengan cepat dan sinergi. Gambar 2.3.
memperlihatkan suatu manajemen kewilayahan yang baik.
S1 S2 S3 S4……SN
P1
P2 P3
P4
PROVINSI A PROVINSI B
• SEKTOR DITETAPKAN S/D SATUAN 3
DGN PILIHAN LOKASI KAB/KOTA)
SECARA MASING-MASING
TIDAK SINERGI
S1 S2 S3 S4…… SN
GUB A GUB B
PROVINSI A PROVINSI B
• SEKTOR menetapkan program & alokasi (satuan 2) beserta
arahannya utk tiap-tiap provinsi
• GUBERNUR diberikan kewenangan menetapkan satuan 3
pilihan lokasinya
SINERGI antar sektor, antar daerah, & fokus
MANAJEMEN KEWILAYAHAN
Gambar 2.3. Manajemen Kewilayahan
10
10
C. Potensi Daerah
1. Pendahuluan
Secara umum dapat dikatakan bahwa potensi daerah terdiri dari: (1) sumber
daya alam, (2) sumber daya manusia, (3) Letak geografis.
Kemampuan daerah untuk memanfaatkan ketiga potensi tersebut menentukan
laju pertumbuhan pembangunan suatu daerah. Ketiga potensi ini mempunyai
kontribusi terhadap pembangunan ekonomi, sosial-budaya, sarana-prasarana
(infrastruktur), dan lingkungan. Keterkaitan ketiga potensi menjadi modal
dasar pembanguna daerah disajikan pada gambar 2.3.
Gambar 2.4. Diagram Keterkaitan Potensi Sumber Daya Daerah
11
11
2. Identifikasi Potensi Dengan Analisis Situasi
Analisis situasi merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi secara komprehensif potensi daerah yang gambaran keadaan
sosial, ekonomi, politik, demografi, lingkungan dan keadaan fisik
daerah/wilayah. Analisis situasi menghasilkan suatu Kerangka Situasi (Frame
Conditions) suatu daerah/wilayah.
Sebelum proses perencanaan dimulai, terlebih dahulu keadaan eksisting suatu
daerah/wilayah perlu diketahui. Untuk itu diperlukan pedekatan atau metoda
yang dapat memberikan gambaran komprehensif daerah yang mencakup
keadaan sosial-budaya, ekonomi, politik, demografi, ekologi/lingkungan,
iklim, dan keadaan fisik wilayah (topografi, physiografi, hidrologi).
Pendekatan analisis situasi salah satu metoda yang dapat digunakan untuk
tujuan tersebut di atas. Analisis situasi dilakukan dengan menggunakan
Analisis Masalah, Analisis Potensi, dan Analisis Partisipatif.
Hasil yang diharapkan dari analisis situasi : merupakan “Kerangka Situasi
atau “Frame Conditions” yang memberikan gambaran keadaan
daerah/wilayah sebagai berikut:
a. Masalah-masalah terpenting yang dihadapi masyarakat dan faktor-faktor
penyebabnya, berdasarkan data daerah/regional,
b. Potensi terpenting yang dimiliki wilayah, untuk pemecahan masalah
(kemampuan, penduduk, sumber-sumber alam, potensi sosio-ekonomi,
letak geografis),
c. Deliniasi penduduk/ masyarakat yang akan menjadi cikal bakal kelompok
sasaran program.
d. Definisi awal dari sektor-sektor prioritas atau kluster aktivitas sosioekonomi
yang direncanakan untuk dicapai.
Kerangka Situasi (Frame Conditions) adalah situasi eksisting (sesungguhnya)
dari daerah/wilayah yang dianalisis. Penekanannya terhadap masalah dan
sistem yang memungkinkan terjadinya masalah tersebut. Selain juga dipelajari
kemungkinan adanya potensi yang dapat dikembangkan yang mengarah
kepada kondisi spesifik daerah.
Kerangka Situasi (Frame Conditions) menggambarkan keadaan yang
sesungguhnya terjadi pada saat melakukan pengamatan lapangan, dan dapat
dipakai sebagai titik tolak menentukan langkah-langkah pemecahan masalah
atau mendayagunakan potensi yang ada.
D. Latihan
1. Diskusikan dalam kelompok,faktor-faktor yang merupakan masalah dalam
pembangunan daerah dan rumuskan bagaimana mengatasi masalah tersebut.
Kemudian hasil diskusi tersebut di presentasikan dalam diskusi panel.
12
12
2. Diskusikan dalam kelompok, bagaiman cara terbaik untuk mengidentifikasi
potensi yang dimiliki daerah, dan bagaimana cara untuk memanfaatkan
potensi tersebut? Presentasikan hasil diskusinya dalam diskusi panel.
3. Diskusikan dalam kelompok, faktor-faktor apa saja yang menyebabkan suatu
daerah lambat perkembangannya. Dan dengan cara apa yang dapat dilakukan
agar suatu daerah dapat memanfaatkan potensi menjadi pendukung kemajuan
pembangunannya.
E. Rangkuman
Masalah diartikan sebagai perbedaan antara harapan dan kenyataan atau perbedaan
antara situasi yang ada sekarang dan yang seharusnya terjadi. Pertanyaannya
kenapa harapan dan kenyataan tidak terjadi? Jawaban singkatnya, karena adanya
faktor-faktor yang menyebabkan harapan tidak bisa terealisasi.
Permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan
pembangunannya buka semata-semata karena keterbatasan sumber dana
pembangunan atau terbatasnya sumberdaya alam atau lemahnya sumberdaya
manusia yang dimiliki, tetapi faktor manajemen pembangunan yang diterapkan
turut memberikan kontribusi. Manajemen pembangunan tidak terlepas dari sistem
perencanaan dan kemampuan pemerintah daerah untuk membuat kebijakan
pembangunan yang menstimulasi terjadi pertumbuhan, baik dalam ekonomi, sosial
budaya, dan pelayanan publik.
13
BAB III
MENGATASI PERMASALAHAN PEMBANGUNAN DAERAH
A. Pendahuluan
Dalam sistem desentralisasi atau otonomi daerah, setiap pemerintah daerah
seharusnya mampu memanfatkan peluang-peluang yang ada untuk meningkatkan
pembangunannya agar dapat memenuhi kebutuhan rakyat/masyarakatnya. Dengan
perencanaan pembangunan yang baik dan kemampuan manajemen pembangunan
yang prima suatu daerah tidak selalu harus mengandalkan sumberdaya yang
mendukung pembangunannya berbasis pada ekploitasi sumberdaya alamnya,
khususnya sumberdaya yang tidak terbarukan.
Ada banyak contoh suatu pembangunan daerah yang berhasil tanpa bertumpu pada
ekploitasi sumberdaya alamnya saja. Misalnya, provinsi Gorontalo dari daerah
yang minus dapat berkembang dengan cepat melalui pemberdayaan masyarakat
dalam kegiatan pertanian. Kunci keberhasilannya terletak pada perencanaan
pembangunaan daerah yang rasional, inovatif serta manajemen pembangunan yang
baik.
Contoh lainnya ialah Pemerintah Kabupaten Gianyar di provinsi Bali,
mengembangkan manajemen pembangunan dengan mendorong pertumbuhan
usaha kecil dengan membantu mendapatkan akses kesumber-sumber permodalan.
Inovasi yang dilakukan oleh Kabupaten Gianyar dalam program Gianyar Sejahtera
merupakan contoh yang baik bagi keterlibatan pemerintah daerah dalam
menyediakan modal usaha bagi usaha kecil. Pada prinsipnya program ini bertujuan
untuk meningkatkan ekonomi keluarga agar lebih produktif.
Kesimpulan yang dapat ditarik contoh-contok sukses pembangunan daerah di atas
adalah dengan perencanaan dan manajemen pembangunan yang baik, kemajuan
perekonomian daerah dapat terjadi tanpa hanya semata-mata bergantung pada
eksploitasi sumberdaya alam saja. Bagian berikut membahas hal-hal yang
mungkin dapat dilakukan oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan laju
pembangunannya.
Setelah mengikuti mempelajari bab ini, diharapkan peserta mampu untuk menyusun
rencana yang dapat meningkatkan laju pembangunan daerahnya.
14
14
B. Apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah?3
1. Membuat Rencana Strategi Pengembangan Ekonomi Daerah.
Yang pertama kali perlu dibuat dalam rangka menyusun rencana strategi
adalah membuat visi dan misi daerah dalam upaya untuk mengembangkan
ekonomi daerah dengan menggunakan metoda strength-weaknes-opportunitythreat
atau SWOT. Metoda mi sangat berguna untuk mengetahui kedudukan
sesuatu organisasi atau daerah dalam lingkungan pesaing-pesaingnya dengan
melihat kemampuan dan kelemahannya sendiri. Untuk menggunakannya tentu
diperlukan adanya bantuan dari tenaga ahli.4 Cara yang lebih mutakhir dalam
membuat visi dan misi daerah adalah dengan menggunakan proses demokrasi,
yaitu dengan melibatkan komponen-komponen masyarakat dan swasta atau
pemangku kepentingan (stakeholder).
Contoh-contoh aplikasi perencaraan strategis dalam pembangunan ekonomi
daerah adalah sebagai berikut:
Penyusunan rencana strategis, visi, dan misi daerah berdasarkan partisipasi
masyarakat juga dilaksanakan secara luas di negara-negara Eropa Timur.
Salah satu contohnya adalah di Hongaria, yang dipelopori oleh sebuah kota
kecil Nagyata. Transisi ke arah demokrasi dan ekonomi pasar telah
menyebabkan kota Nagyata mengalami kesulitan. Pada pertengahan 1990an
Nagyata mengalami pengangguran setinggi 25%, berkurangnya dukungan dari
pemerintah pusat, dan ketidak-puasan masyarakat terhadap pelayanan
pemerintah daerah. Walikota yang baru, bekas guru perempuan yang masih
belum berpengalaman, kemudian meminta bantuan The Canadian Urban
Institute yang baru meluncurkan sebuah program untuk membantu pemerintah
daerah merumuskan strategi pengembangan ekonomi daerah berdasarkan
partisipasi masyarakat. Tujuan proyek adalah untuk mendemokratisasikan
manajemen kota dan untuk merealisir visi daerah yang mempersatukan semua
unsur kota. Proyek tersebut dimulai dengan penyusunan sebuah visi rencana
pengembangan ekonomi daerah berdasarkan partisipasi masyarakat Salah satu
bagian dari rencana tersebut adalah sebuah strategi untuk menarik dan
mempertahankan investasi yang ramah lingkungan, yang kemudian
dilaksanakan dengan kampanye promosi yang agresif. Strategi ini terbukti
sukses dalam menarik investasi dari luar, termasuk investasi sebesar 20 juta
dolar AS dari sebuah perusahaan elektronik Jepang yang menciptakan lebih
dari 900 lapangan kerja. Peningkatan investasi tersebut memungkinkan
Nagyata untuk memperoleh sumberdaya yang lebih besar untuk membiayai
aspek-aspek lain dari visi daerah tersebut, antara lain pembangunan kawasan
3 Bagian
ini dikutip dari Ir. Sussongko Suhardjo, MSc, MPA, PhD. Pembangunan Daerah Mendorong
Pemda Berjiwa Bisnis. Panta Rei. 2006. Jakarta. Hal 170-197.
4 Referensi bagi penggunaan SWOT ini banyak sekali, baik untuk diaplikasikan dalam dunia bisnis
swasta maupun di lingkungan pemerintahan. Dalam SCBD Program, disediakan Modul Formulasi
Perencanaan Strategis. Untuk penerapan SWOT di lingkungan pemerintahan dan organisasi publik
lainnya lihat misalnya John M. Brqsoq Strategic Planning For Public and Nonprofit Organizations (San
Francisco & London. lossey Bass. 1988).hal.117-162.
15
15
rekreasi dan fasilitas informasi yang kemudian terbukti mendorong
peningkatan pariwisata dan memicu perkembangan ekonomi lebih lanjut.
Keberhasilan proyek ini telah menjadikan Walikota Nagyata sebagai seorang
politisi terkemuka di Hongaria, dan pendekatan perencanaan strategis
berdasarkan partisipasi masyarakat sekarang telah menjadi proses umum
dilaksanakan oleh semua daerah di Hongaria.
Contoh di Indonesia
Kota Bandung beberapa waktu yang lalu telah dapat merumuskan visi dan
misinya melalui proyek city development strategy (CDS) dengan bantuan
Bank Dunia, yang prosesnya cukup panjang, mulai dari rapat warga di tingkat
lingkungan, wilayah, sampai ke tingkat kota. Keterlibatan lembaga swadaya
masyarakat dalam penyusunan visi dan misi ini sangat kuat, seperti juga
keterlibatan pemerintah daerah. Yang lebih baik lagi mungkin adalah yang
dilakukan di Kendari dengan bantuan UNDP dalam program breakthrough in
urban initiautives in local development (BUILD), di mana sebelum rapat-rapat
untuk menyusun visi dan misi tersebut diselenggarakan, baik lembagalembaga
masyarakat maupun pejabat pemerintah daerah terlebih dahulu
diberikan pelatihan, sehingga peran dari fasilitator dalam menyusun visi dan
misi dapat dikurangi.
2. Berusaha Menciptakan Iklim Usaha yang Kondusif.
Dari berbgai sumber hasil penelitian menunjukkan bahwa kondusifitas iklim
usaha di daerah perkotaan di Indonesia dicirikan dengan: (a) tingginya beban
pungutan yang harus dipikul oleh usaha kecil dan menengah, yaitu rata-rata
13,7 juta per unit usaha per tahun; (b) pungutan-pungutan tersebut berlaku
satu setengah tahun lebih cepat daripada pemilikan legalitas usaha; dan (c)
prosedur pengurusan legalitas usaha tidak jelas dan mahal sehingga hanya
sekitar 11,3% usaha kecil dan menengah yang memiliki akte pendirian
perusahaan.
Adapun kondusifitas usaha di daerah kabupaten dicirikan dengan: (1)
tingginya beban pungutan yang harus dipikul oleh usaha kecil dan menengah,
yaitu 3,7 juta rupiah per unit usaha per tahun; (2) pungutan-pungutan tersebut
berlaku dua setengah tahun lebih cepat dari pemilikan legalitas usaha; dan (3)
prosedur pengurusan legalitas usaha tidak jelas dan mahal sehingga hanya
sekitar 6,8% usaha kecil dan menengah yang memiliki akte pendirian
perusahaan.5 Sebagai perbandingan, kemudahan-kemudahan yang diminta
oleh Asian Development Bank bagi penanaman modal asing, menurut Badan
Koordinasi Penanaman Modal, adalah sebagai berikut:6
a. Menyusun undang-undang penanaman modal yang baru:
5 Brahmanito , I "Desentralisasi Fiskal dan Implikasmya Terhadap Kondusifitas Iklim Usaha Daerah
Kota dan Kabupaten di Indonesia", makalah disampaikan dalam National Policy Workshop, TAF, CESS.
CAPS. HUKEI. dan CEMCED_ 2001. hal 7-14
6 "Hati-hati Menyusun UU Investasi”, Suara Pembaruan, 12 September 2001, hal.5

16
16
1) Tidak membedakan aturan untuk PMA dan PMDN;
2) Memproteksi pengambil-alihan investasi;
3) Memberikan hak untuk merepatriasi atas modal dalam valuta asing
beserta keuntungannya;
4) Sektor dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) dikurangi.
b. Memberikan kebebasan berinvestasi di semua sektor:
1) Sektor dalam DNI dikurangi;
2) Jumlah investasi, asal modal, ataupun tujuan ekspor tidak dibatasi.
c. Perizinan dan prosedur pembentukan perusahaan lebih terbuka,
sederhana, cepat, dan transparan.
d. Perpajakan:
1) Mengurangi dan menyederhanakan peraturan perpajakan;
2) Memberikan insentif perpajakan kepada investor yang berinvestasi
di sektor dan daerah tertentu.
e. Pemerintah menjamin penukaran mata uang asing untuk transaksi impor
serta pelaksanaan pembayaran transaksi bisnis lainnya;
f. Memberikan akses pendanaan dalam negeri kepada perusahaan asing.
g. Memperbolehkan penggunaan tenaga kerja asing pada jabatan tertentu,
sepanjang jabatan itu belum diisi oleh tenaga kerja lokal.
h. Pemerintah menyediakan sarana dan prasarana untuk mendukung
investasi, misalnya transportasi, jaringan listrik, saluran air minum, dan
telekomunikasi, melalui mekanisme kerjasama dengan menarik modal
swasta.
i. Pemerintah menjamin ketersediaan lahan bagi industri dan kegiatan
komersial lainnya.
j. Pemerintah harus melindungi investor asing, didasarkan pada perjanjian
yang sudah disetujui pada perjanjian kerjasama bilateral.
k. Pemerintah menerbitkan peraturan pajak baru agar tidak terjadi pajak
ganda; aturan ini juga didasarkan pada konvensi internasional.
l. Sengketa dengan investor diselesaikan melalui arbitrase.
Ada dua hal yang perlu mendapat perhatian pada daftar tersebut di atas.
Pertama, kondisi-kondisi yang diminta tersebut adalah kebijakan yang biasa
ada di semua negara yang ingin menarik modal asing, dari Cina, Thailand,
sampai Amerika Serikat. Artinya, tidak ada dari permintaan-permintaan
tersebut yang aneh atau hanya berlaku untuk Indonesia saja. Apabila Cina dan
Thailand sudah memenuhi permintaan-permintaan tersebut, sulit bagi
Indonesia untuk menolak apabila tetap ingin bersaing dengan kedua negara
tersebut untuk menarik modal asing. Kedua, sebagian besar permintaan di atas
hanya dapat dipenuhi oleh pemerintah pusat, namun ada beberapa yang
seharusnya dipenuhi oleh pemerintah daerah. Butir 3 (perizinan), 4
(perpajakan), 8 (sarana dan prasarana), dan 9 (persediaan lahan) merupakan
kewenangan pemerintah daerah dan karenanya harus dipenuhi oleh
pemerintah daerah.
Dalam upaya untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif, pemerintah
daerah perlu berfikir realistis, yaitu dengan menentukan terlebih dahulu, bagi
siapa iklim yang kondusif itu akan diadakan. Tentu ini akan sangat terkait
17
17
dengan strategi yang telah ditetapkan. Iklim usaha bagi usaha kecil, misalnya,
tidak selalu sama dengan iklim usaha bagi usaha besar. Bila strategi yang
ditetapkan menentukan bahwa yang akan dikembangkan adalah usaha besar
misalnya, dan yang akan ditarik adalah investasi modal asing dan dalam
negeri, pemerintah daerah perlu menentukan apa yang perlu disediakan oleh
pemerintah daerah dalam rangka menciptakan iklim usaha yang konsusif
untuk usaha besar. Dan unsur-unsur yang membentuk iklim kondusif seperti
yang dituntut oleh ADB di atas, pemerintah daerah mempunyai sebagian
kewenangan dalam perijinan, perpajakan dan retribusi daerah, pengadaan
prasarana dan sarana, serta persediaan lahan.
3. Merangsang Pertumbuhan Usaha Kecil dan Menengah.
Ketua Komite Ekonomi APEC, Mitsuru Takeuchi, memang mengatakan
bahwa tatanan ekonomi baru dunia sangat terkait dengan perkembangan usaha
kecil dan menengah, dan hal itu tidak dapat dilepaskan dari basis teknologi
informasi. la mengatakan bahwa dalam perkembangan teknologi yang sangat
cepat justru perusahaan skala kecil dan menengah yang mampu dengan cepat
menyesuaikan diri daripada perusahaan besar. Menariknya, satu atau dua
dekade terakhir ini telah menunjukkan betapa usaha kecil dan menengah telah
menciptakan begitu banyak kesempatan kerja, sedang perusahaan besar justru
mengurangi pekerja. Studi kasus di Taiwan menunjukkan betapa peran usaha
kecil dan menengah dalam dua dekade ini benar-benar menjadi mesin
pertumbuhan ekonomi. Kuncinya adalah keterkaitan antara usaha besar dan
usaha kecil dan menengah, di mana usaha kecil dan menengah memasok
komponen bagi kegiatan produksi usaha besar yang telah mempunyai pasar
ekspor.7 The Asia Foundation juga menganjurkan agar pola pembinaan usaha
kecil diubah, yang semula dengan model bapak - anak angkat, sekarang harus
diubah menjadi model kemitraan strategis, yaitu keduanya harus mempunyai
kedudukan yang sejajar.8
Kemitraan antara perusahaan besar dengan perusahaan menengah dan kecil
seperti tersebut di atas pada hakekatnya adalah salah satu upaya untuk
membantu pemasaran produk perusahaan kecil dan menengah. Namun
kemitraan tersebut sebenarnya juga membantu perusahaan besar dalam
memperoleh bahan baku yang lebih murah dengan mutu yang tidak
berkurang.
Contoh yang baik tentang upaya pemerintah untuk mendorong keterkaitan
antara usaha besar dan kecil adalah yang diperlihatkan oleh pemerintah
Singapura dalarn melaksanakan program peningkatan industrinya. Economic
Development Board yang dibentuk oleh pemerintah Singapura mempunyai
sebuah program yang bernama Local Industry Upgrading Program (LIUP),
yang dimulai pada tahun 1986. LIUP merupakan suatu sarana untuk
memanfaatkan sumberdaya teknologi dan pelatihan dari perusahaan-
7 ”Usaha Kecil Kini Selayaknya Ditopang Internet”, Bisnis Indonesia, 1 Desember 2000, hal. 17
8 ”Penerapan Otda Hambat Perdagangan Antar daerah", Suara Pembaruan, 18 April 2001. hal. 7
18
18
perusahaan multinasional yang ada di Singapura. Elemen utama dari LIUP
adalah penempatan seorang ahli teknik secara penuh-waktu dari sesuatu
perusahaan multinasional ke sebuah perusahaan lokal yang sudah atau dapat
menjadi pemasok bahan baku atau jasa kepada perusahaan multinasional
tersebut. LIUP menanggung biaya kompensasi (misalnya perbedaan gaji dan
tunjangan lainnya) dari penempatan ahli teknik yang sudah berpengalaman
dari perusahaan multinasional tersebut sebagai manajer di perusahaan lokal,
biasanya untuk selama dua atau tiga tahun. Program LIUP ternyata
memberikan keuntungan kepada kedua pihak: perusahaan lokal memperoleh
teknologi baru yang ditularkan oleh perusahaan multinasional serta
meningkatkan kualitas produknya, sedangkan perusahaan multinasional
memperoleh pemasok lokal yang bisa diandalkan, serta yang memenuhi syarat
kualitas dan waktu pasokan yang standard. Dimulai dengan beberapa
perusahaan dalam industri elektronik, program LIUP dengan cepat
berkembang ke perbaikan kapal, teknologi informasi, dan pelayanan
kesehatan. Pada tahun 1992 LIUP sudah mencakup 32 perusahaan
multinasional yang membantu sebanyak 180 perusahaan lokal kecil dan
sedang. Tugas pertama dari LIUP adalah untuk membuat daftar singkat (short
Ilist), dengan berkonsultasi dengan Economic Development Board, empat
sampai lima perusahaan yang memenuhi syarat untuk dibantu oleh program
tersebut. Kriteria terpenting dalam memilih perusahaan lokal yang akan
dibantu termasuk semangat enterpreneurial, kemampuan managerial, serta
komitmen terhadap rencana pengembangan dan peningkatan mutu.
Kebanyakan perusahaan yang masuk dalam daftar singkat LIUP adalah
perusahaan-perusahaan yang mempunyai niat untuk menjadi pemasok dari
perusahaan multinasional. Perusahaan-perusahaan multinasional dengan tegas
mengakui keuntungan yang mereka peroleh dari program ini: dengan adanya
pemasok lokal yang bisa diandalkan maka mereka tidak perlu lagi mengimpor
kebutuhan-kebutuhannya dari luar negeri.9 Pelajaran yang dapat ditarik dan
kasus mi adalah bahwa pemerintah mempunyai peranan dan dapat mendorong
terbentuknya hubungan antara perusahaan lokal sebagai pemasok dengan
perusahaan multinasional sebagai pemakai pasokan perusahaan lokal, dengan
memberikan jaminan bahwa perusahaan lokal akan dapat memasok komponen
produksi dengan kualitas yang dapat dipertanggung-jawabkan. Dalam kasus
Singapura, jaminan itu diberikan dalam bentuk penempatan tenaga ahli dari
perusahaan multinasional di perusahaan lokal dengan tanggungan pemerintah.
Keterkaitan dan kerjasama juga dapat dilakukan dan didorong pelaksanaannya
di antara perusahaan-perusahaan yang serupa baik dalam hal ukuran maupun
bidang kerjanya. Program kerjasama antar Perusahaan Serupa di Kolombia,
misalnya, menggalang kerjasama antar perusahaan yang sama. Asocalza
adalah sebuah asosiasi antar 16 pengusaha kecil pabrik sepatu, yang dengan
pimpinan salah satu anggotanya bersatu untuk menghemat biaya serta
meningkatkan daya saing mereka dalam pasaran ekspor. Kelompok yang
9 HenryGomez, Carlos Davila, dan Valerie Hammond ”management Innovation in the Developing
World: INTERMAN Management Innovation Prograammes (Geneva- Interman. 1995). hal. 29
19
19
sangat terintegrasi dan kohesif ini menyediakan lapangan kerja bagi 1.000
pegawai.
Perusahaan-perusahaan anggota secara bersama memiliki dan memakai sarana
fisik (pabrik), peralatan, dan bahan baku, tidak berdasarkan aturan ataupun
penata-bukuan yang formal, namun hanya mengandalkan pada nilai-nilai
tradisional saling percaya, saling mendukung, dan persahabatan.10 Ada
banyak keuntungan yang dapat diperoleh dari kerjasama atau kemitraan antar
sesama industri kecil. Pertama, bila produk dari usaha kecil telah menjadi
masukan bagi proses produksi usaha kecil yang lain, maka pasar bagi produk
usaha kecil tersebut sebagian telah terjamin oleh usaha kecil yang
menggunakan produknya sebagai bahan baku, sehingga usaha kecil tersebut
hanya tinggal menggarap potensi pasar lain bagi sisa produksinya, seperti ke
pasar ekspor, atau pemerintah, atau ke konsumen akhir. Kedua, produk yang
ditawarkan oleh setiap usaha kecil menjadi semakin beragam dengan membeli
produk yang dihasilkan oleh usaha kecil yang lain; semakin beragam produk
yang ditawarkan sesuatu perusahaan, semakin besarlah segmen pasar yang
dapat dikuasai oleh sebuah usaha kecil. Ketiga, semua usaha kecil yang
menjadi anggota kemitraan akan memperoleh peningkatan efisiensi yang
dihasilkan oleh upaya pemasaran dan promosi bersama, dibandingkan dengan
upaya sendiri-sendiri.11
Namun untuk dapat berkembang, usaha kecil tetap harus dapat menghadapi
persaingan bebas, dan beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar usaha
kecil dapat berperan dalam menghadapi persaingan bebas adalah:
a. Usaha kecil harus mempunyai sistem manajemen yang balk, dan untuk
itu diperlukan bimbingan dan pelatihan
b. Usaha kecil harus mempunyai produktivitas yang tinggi,
c. Usaha kecil harus mempunyai sitem mutu yang standard, sehingga
diperlukan pembinaan agar mereka bisa mencapai sertifikat IS09000
d. Usaha kecil harus mempunyai akses pasar yang besar, antara lain melalui
kemitraan dan melalui peningkatan mutu sesuai dengan standard
internasional
e. Usaha kecil harus bergerak dalam bidang usaha yang peluang tumbuhnya
relatif tinggi,
f. Usaha kecil harus mempunyai sumberdaya yang besar, terutama dalam
modal kerja yang berkesinambungan, wajar, dan sesuai dengan tingkat
keuntungan usaha yang ditangani.12
Dalam hubungan ini pemerintah daerah dapat membantu, misalnya, dalam
meningkatkan kualitas produk melalui pengkaitan usaha besar dan kecil,
10 Henry Gomez, Carlos Davila, dan Valerie Hammond ”management Innovation in the Developing
World: INTERMAN Management Innovation Prograammes (Geneva- Interman. 1995). hal. 18-19
11 Prasetyo Soepono. "Expecting Growth Despite of Economic Crisis The Case of Production and
Marketing in Small and MediumSized Firms in the Special Region of Yogyakarta", dalam Gajah Mada
International Journal of Business.Vol. 2 No. 2 May 2000 hal 229-30
12 Rustam Effendy. "Pemberdayaan Usaha Kecil Menghadapi Perdagangan Bebas". dalam Usaha Kecil
Indonesia: Tantangan Krisis dan Globalisasi. ha1. 312-3
20
20
melalui pengkaitan antara universitas dengan usaha kecil, dan pemberian
fasilitas konsultansi yang dibiayai oleh pemerintah daerah. Praktek-praktek
yang diperlihatkan oleh Asosiasi Produsen Kerajinan di Nepal merupakan
contoh-contoh yang baik untuk ditiru oleh pemerintah daerah yang
Pemerintah daerah juga dapat membantu mendorong pertumbuhan usaha kecil
dengan membantu akses usaha kecil ke modal. Inovasi yang dilakukan oleh
Kabupaten Gianyar dalam program Gianyar Sejahtera merupakan contoh yang
baik bagi keterlibatan pemerintah daerah dalam menyediakan modal usaha
bagi usaha kecil. Pada prinsipnya program ini bertujuan untuk meningkatkan
ekonomi keluarga agar lebih produktif. Adapun kegiatan yang dilakukan
antara lain adalah: pelatihan ketrampilan, penyediaan modal kerja, dan
pengadaan peralatan produksi bagi keluarga miskin yang membutuhkan.
Dalam penyediaan modal kerja pemerintah Kabupaten Gianyar bekerjasama
dengan Bank Pembangunan Daerah, di mana sebagian dan dana proyek
dialokasikan ke dalam rekening tabungan dari setiap penerima bantuan pada
BPD Bali, dan atas dasar rekening tersebut BPD Bali akan memberi pinjaman
kepada penerima bantuan yang besarnya lima kali lipat dari dana yang
ditabung. Pola penjaminan kredit perbankan oleh pemerintah daerah juga
dianjurkan oleh Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil & Menengah barubaru
ini. Anjuran tersebut ternyata telah disambut baik oleh Asosiasi
Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi). Kabupaten Kutai,
misalnya, telah menyisihkan seratus juta rupiah per desa dan Kabupaten
Kebumen menyediakan seratus juta rupiah sebagai dana
4. Mendorong Pendirian Usaha Baru melalui Entrepreneurship.
Pengalaman menunjukkan bahwa pendirian usaha baru merupakan pencipta
lapangan kerja terbesar. Oleh karena itu maka pendirian usaha baru oleh
masyarakat seharusnya merupakan prioritas yang perlu ditempuh oleh
pemerintah-pemerintah daerah. Namun pendirian usaha baru akan sangat
tergantung pada banyak faktor, antara lain iklim usaha yang kondusif dan
adanya jiwa entrepreneurship di kalangan masyarakat. Tanpa jiwa
entrepreneurship, tidak akan ada anggota masyarakat yang akan berani
mendirikan usaha sendiri.
Banyak ahli yang telah menulis teori-teori tentang entrepreneurship, namun
yang paling praktis justru tulisan yang bukan mengenai entrepreneurship
namun implikasinya terhadap entrepreneurship sangat besar. Robert
Kiyosaki, pengarang buku bestseller diseluruh dunia Rich Dad Poor Dad,
dalam bukunya yang kedua, menggolongkan kegiatan ekonomi manusia
menjadi 4 jenis yang masing-masing menempati satu kuadran seperti berikut
ini,
21
21
Di mana E adalah employee atau pegawai, S adalah self-employed atau orang
yang mempekerjakan diri sendiri, 0 adalah pemilik usaha atau perusahaan,
dan I adalah investor. Argumen dasarnya adalah bahwa orang-orang yang
berada pada kuadran E dan S tidak akan pernah "kaya" atau mempunyai
kebebasan keuangan. Selamanya, orang-orang ini akan bekerja untuk
memperoleh uang. Grafik pendapatannya biasanya meningkat dengan
perlahan sejalan dengan meningkatnya usia dan pengalaman kerja, namun
kemudian langsung anjlok saat memasuki masa pensiun. Padahal dengan
memasuki usia pensiun, kebutuhan pengeluaran tidak berkurang, malahan
mungkin meningkat, karena meningkatnva biaya pemeliharaan kesehatan
akibat usia lanjut.
Untuk bisa memperoleh kebebasan keuangan, maka mereka yang berada pada
kuadran E dan S harus berpindah ke kuadran 0 atau pemilik usaha/perusahaan.
Inilah pada dasarnya proses transformasi dari seorang pegawai menjadi
seorang entrepreneur. Seorang entrepreneur mempunyai atribut-atribut yang
sangat berbeda dengan pegawai pada umumnya. Atribut pertama yang harus
dipunyai oleh seorang entrepreneur adalah bahwa dia harus mempunyai visi
jangkapanjang ke depan. Sebagaimana kita ketahui, visi seorang pegawai
negeri adalah: hari ini bekerja, sore nanti memperoleh upah (pekerja harian);
atau minggu ini bekerja, akhir minggu memperoleh upah (buruh bangunan
misalnya); atau bulan ini bekerja, dia akhir bulan memperoleh gaji.
Atribut kedua dari seorang entrepreneur adalah adanya komitmen untuk
untuk mencurahkan segala pehatian dan kemampuannya untuk
mengembangkan usahanya. Seorang pegawai tentu tidak akan mempunyai
komitmen seperti itu karena orientasinya hanya memperoleh upah atau gaji
pada akhir hari/minggu atau bulan. Atribut ketiga dari seorang entrepreneur
adalah kepercayaan diri bahwa dia akan berhasil. Atribut keempat seorang
entrepreneur adalah kedisiplinan dalam mengejar tujuan dari usaha yang
dilakukannya. Atribut kelima, yang terpenting, adalah keberanian dan
kemauan untuk mengambil risiko. Seorang entrepreneur, misalnya, tidak akan
keberatan untuk berhenti dari pekerjaan yang dipunyainya sekarang yang
membenkan jaminan keamanan masa depan, demi mengejar cita-cita untuk
mempunyai usaha sendiri. Resikonya adalah bahwa mungkin dia akan
kehilangan segalanya. Seorang pegawai, di lain pihak, selalu mementingkan
jaminan keamanan jangka panjang yang diberikan oleh status pegawai tetap,
dan tidak akan bersedia untuk mengorbankannya meskipun dengan prospek
akan mempunyai usaha sendiri. Atribut keenam adalah keperdulian terhadap
22
22
konsumen. Semua organisasi, baik perusahaan swasta maupun aparat
pemerintah, mempunyai konsumen. Tanpa konsumen maka organisasi itu
tidak ada gunanya. Atribut ketujuh dari seorang entrepreneur adalah
kreativitas.
Untuk bisa berhasil dalam mengembangkan usaha, maka seorang
entrepreneur harus mempunyai beberapa keahlian penting. Keahlian pertama
adalah analisis, terutama menganalisis lingkungan usaha yang merupakan
pasar bagi produk perusahaan yang dia pimpin. Misalnya, dia harus
menganalisa apa yang dibutuhkan oleh pasar, dan apa yang bisa dipasok oleh
perusahaannya. Keahlian kedua adalah penciptaan jaringan kerja, terutama
para pemasok dan pemakai produk. Keahlian ketiga adalah penciptaan dan
pembinaan hubungan bisnis, termasuk dengan sektor keuangan dan
permodalan. Keahlian keempat adalah persuasi dan negosiasi. Keahlian
kelima adalah penjualan. Keahlian keenam adalah finansial.
Kyosaki berpendapat bahwa untuk berpindah dari kuadran E dan S ke kuadran
0, ada 3 alternatif jalan yang dapat ditempuh. Pertama, membangun
perusahaan yang cukup besar sekaligus. Pengalaman Kyosaki, diperlukan
minimal 3 kali percobaan jatuh-bangun untuk mendapatkan sebuah
perusahaan yang mapan, stabil, dan menguntungkan. Artinya, orang harus
membentuk perusahaan dan bangkrut dua kali sebelum membuat perusahaan
ketiga yang mapan dan menguntungkan. Dengan jatuh-bangun sebanyak tiga
kah ini, Anda diperkirakan sudah dapat mempunyai atribut-atribut dan
keahliankeahlian yang diperlukan oleh seorang entrepreneur sebagaimana
diuraikan di atas.
Akan tetapi, tentu untuk membuat perusahaan yang cukup besar tidak hanya
diperlukan tekad yang besar, namun juga modal yang cukup besar. Nah, setiap
kali perusahaannya bangkrut, karena sebab apapun (misalnya produknya tidak
diterima konsumen, atau manajemennya buruk sehinga rugi terus, atau jadwal
poduksinya tidak teratur sehinga distributor sulit memperoleh produk untuk
dipasarkan, dan sebagainya), maka tentu sang entrepreneur akan kehilangan
segalanya termasuk modal awal. Ini yang dimaksud dengan risiko, yang
menjadi salah satu unsur penting dari seorang entrepreneur. Berapa banyak
orang di Indonesia yang mau merisikokan hartanya seperti itu untuk
membangun sebuah usaha satu kah? Mungkin tidak lebih dari 5%. Yang
bersedia mengambil risiko membangun usaha 3 kah pasti lebih sedikit lagi.
Keuntungan dari warganegara dan sebuah negara kaya seperti Amerika
Serikat adalah banyaknya alternatif sumber untuk memperoleh modal
pendirian usaha, sehingga kalau sekali seorang entrepreneur bangkrut, masih
ada kemungkinan untuk memperoleh modal pendirian usaha berikutnya. Di
negara seperti negara kita, tentu begitu kita bangkrut, sulit untuk mencari
modal pendirian usaha lagi.
Cara kedua untuk berpindah kuadran dari E dan S ke 0, menurut Kyosaki,
adalah dengan membeli franchise atau waralaba dari pemiliknya. Tentu modal
yang diperlukan cukup besar. Modal awal ini diperlukan untuk pembelian
23
23
franchise atau waralaba. Saat ini, harga waralaba asing seperti MacDonald,
A&W, KFC, dan lain-lain mungkin diperlukan lebih dari satu milyar rupiah,
sedangkan untuk waralaba dalam negeri, seperti rumah makan Sederhana,
Bakmi Japos, dan sebagainya, mungkin diperlukan beberapa ratus juta sampai
mendekati satu milyar rupiah. Selain itu diperlukan modal untuk pengadaan
sarana penjualan atau outlet. Biayanya tentu bervariasi, tergantung di mana
lokasi outlet tersebut, apakah bangunan sendiri atau dalam kompleks
pertokoan/mal, besarnya persil, kualitas bangunannya, dan sebagainya. Selain
itu masih diperlukan juga modal kerja. Apabila itu masih belum cukup, maka
Anda dapat membeli waralaba untuk beberapa lokasi. Meskipun biayanya
cukup besar, namun tingkat keberhasilan waralaba biasanya sangat tinggi.
Artinya, kemungkinan sebuah restoran waralaba untuk gagal sehingga
pemiliknya bangkrut, sangat kecil, karena pasar dari waralaba itu sebenarnya
sudah tersedia. Karena itu maka waralaba adalah sarana yang baik bagi orangorang
dan kuadran E dan S untuk pindah ke kuadran O. Begitu mengeluarkan
modal untuk membeli dan mengoprasikan sebuah waralaba, Anda sudah
menjadi pemilik perusahaan dan masuk ke kuadran O. Gampang kan?
Kelemahannya adalah bahwa dengan cara ini, Anda akan memerlukan waktu
yang lama sekah untuk dapat menguasai atributatribut dan keahlian-keahlian
yang diperlukan oleh seorang entrepreneur. Ini akan diperlukan apabila Anda
ingin melakukan eskpansi ke bidang-bidang usaha lain yang tidak dikuasai
oleh jaringan waralaba. Maksudnya, dengan waralaba saja, Anda baru
menjadi seorang "setengah entrepreneu".
Cara ketiga untuk berpindah dari kuadran E dan S ke kuadran 0 menurut
Robert Kyosaki adalah melalui network marketing. Ini adalah cara yang
paling murah untuk belajar dan berlatih menjadi seorang entrepreneur.
Mengapa? Pertama, network marketing yang baik biasanya mempunyai
prestasi, sistem distribusi, dan program kompensasi yang telah mapan,
sehingga para anggotanya tidak perlu khawatir bahwa usaha mereka tidak
akan jalan. Kedua, network marketing yang baik biasanya mempunyai
peluang bisnis yang meyakinkan. Ketiga, network marketing yang baik
biasanya mempunyai program pendidikan dan pelatihan jangka-panjang, yang
menjamin para anggotanya akan menguasai keahhan-keahlian yang
diperlukan oleh seorang entrepreneur. Keempat, network marketing yang baik
biasanya mempunyai program bimbingan yang kuat, yang menjamin para
anggotanya dapat mempunyai atribut-atribut seorang entrepreneur. Dan
Kelima, network marketing yang baik biasanya mempunyai pemimpinpemimpin
yang terdiri dari orang-orang yang dihormati.
Bila Anda sudah berhasil menjadi seorang entrepreneur dan sudah
mempunyai cukup dana yang dapat diinvestasikan, maka Anda dapat pindah
kuadran lagi, dari 0 ke I, dari pemilik usaha menjadi investor. Di di sini, uang
bekerja untuk Anda, uang menghasilkan uang. Caranya? Banyak. Anda dapat
menyimpan uang Anda di bank dalam tabungan atau deposito, dan
memperoleh bunga tanpa berbuat apa-apa. Kalau keuntungan yang diperoleh
belum memuaskan Anda, Anda dapat menginvestasikan uang Anda dalam
surat berharga: saham, obligasi, dan sebagainya, yang bunganya biasanya
24
24
lebih tinggi daripada bunga bank. Anda tidak perlu menguasai financial
engineering untuk melakukan investasi. Anda cukup mempercavakan uang
Anda pada fund manager Yang dewasa ini bertebaran di kota-kota besar.
Kalau belum puas juga, Anda bisa investasi dalam properti. Punyai beberapa
rumah, atau apartemen, atau ruko, atau bentuk-bentuk properti lainnya,
kemudian sewakan properti-properti tersebut, dan Anda memperoleh
pendapatan rutin tanpa harus bekerja.
Untuk merangsang entrepreneurship di kalangan pemerintah daerah, mungkin
ada baiknya bila pemerintah daerah mengajurkan para pegawainya, terutama
yang sudah mendekati usia pensiun, untuk bergabung dalam sebuah network
marketing yang baik sehingga mereka dapat menjadi entrepreneur pada saat
mereka sudah pensiun, atau dapat menularkan jiwa entrepreneurship kepada
rekan-rekan mereka di kantor kalau mereka masih bekerja, sehingga
pemerintah daerah secara keseluruhan akan menjadi lebih entrepreneurial.
5. Melakukan Manajemen Asset untuk Merangsang Pertumbuhan Swasta.
Pengamatan sementara menunjukkan bahwa pemerintah daerah di Indonesia
memiliki aset dalam jumlah yang sangat besar, baik dalam bentuk gedung,
kendaraan, rumah, sarana pelayanan umum, prasarana, maupun lahan kosong.
Selama ini pemanfaatan dari aset-aset tersebut nampaknya belum optimal
dalam arti hasil dari pemanfaatan itu belum sesuai dengan nilai daripada asetaset
tersebut. Masalah yang selama ini dihadapi adalah: pertama, pemerintah
daerah banyak yang tidak mengetahui secara pasti aset apa saja yang
dimilikinya, dan kedua, kebanyakan pemerintah daerah tidak mengetahui nilai
sebenarnya dari aset yang mereka miliki. Proses ruilslag aset daerah selama
ini banyak disoroti karena dinilai tidak adanya kesesuaian antara nilai aset
yang dikorbankan dengan nilai aset yang diterima sebagai hasil dari proses
tersebut. Untuk mengoptimalkan manajemen aset pemerintah daerah, pada
dasarnya pemerintah daerah perlu melakukan beberapa kegiatan. Pertama,
pemerintah daerah perlu melakukan inventarisasi atas semua aset yang
dimilikinya, termasuk melengkapi dokumen kepemilikan aset-aset tersebut.
Kedua, pemerintah daerah perlu melakukan pengkajian atas nilai yang
sebenamya (appraisal) dan aset-aset yang dimilikinya. Karena banyak cara
yang dapat dipergunakan untuk menentukan nilai aset (misalnya nilai
pembelian, nilai buku, nilai pasar, nilai sewa, dan sebagainya), maka
seyogyanya pemerintah daerah mengandalkan jasa dari ahli dan perusahaan
penilai yang ada. Dewasa ini banyak ahli dan perusahaan appraisal yang
dapat dimanfaatkan jasanya untuk melakukan pengkajian nilai aset tersebut.
Ketiga, pemerintah daerah perlu membuat rencana optimalisasi pemanfaatan
aset-aset yang dimilikinya. Misalnya apabila harga sewa dan aset pemerintah
daerah yang sekarang dipergunakan oleh swasta atau masyarakat atau bahkan
perusahaan ataupun pegawai pemerintah daerah sendiri, terlalu rendah
dibandingkan dengan nilai sebenarnya dari aset tersebut, maka mungkin perlu
dilakukan penyesuaian atas harga sewa. Aset yang menurut rencana
pembangunan daerah tidak akan pernah dipergunakan oleh pemerintah daerah
mungkin lebih baik dijual dengan harga sesuai dengan hasil penilaian.
25
25
Kasus Usaha Ekonomi Pemerintah Daerah, Surigao, Filipina, merupakan
contoh yang baik dan optimalisasi pemanfaatan aset milik pemerintah daerah.
Pemerintah kota dengan berani mengembangkan dan mengelola empat proyek
yaitu pasar kota, bangunan komersial, terminal terpadu, dan Pusat Pelatihan
dan Resor Pantai Maharlika. Pasar kota menyediakan ruang yang lebih luas,
saluran air limbah tertutup, kawasan khusus bongkar muat kargo, dan alat
timbang umum untuk melakukan verifikasi kebenaran berat barang. Bangunan
komersial yang tadinya merupakan asset yang tidak dimanfaatkan telah
diubah menjadi supermarket yang lengkap. Terminal yang dibangun
mensentralisir 5 terminal yang tadinya saling terpisah di tempat yang berbeda
dan mendorong perluasan kota menjauh dan pusat kota. Pusat pelatihan dan
resor pantai menyediakan sarana pelatihan, istirahat, dan rekreasi di dalam
kota. Dengan program ini, dana yang dihasilkan secara lokal terus meningkat
dengan stabil, dari 4 juta peso pada tahun 1992 menjadi 17 juta peso pada
tahun 1998, atau peningkatan sebesar lebih dari 400% selama 6 tahun.
Keberhasilan ini kemudian menyebabkan dibentuknya Kantor Usaha
Ekonomi Kota yang dikelola oleh staf teknis yang mampu dan dilengkapi
dengan anggaran. Program tersebut juga memberi dampak positif terhadap
sektor bisnis yang menarik investasi ke kota ini dan mendorong perbaikan
sarana pelayanan umum.
Yang sebenarnya perlu lebih lanjut dibahas di sini adalah kemungkinan
pemanfaatan atau optimalisasi pemanfaatan aset daerah untuk mendorong
pertumbuhan sektor swasta di daerah. Banyak yang dapat dilakukan oleh
pemerintah daerah dalam hal ini. Misalnya, aset yang masih belum
dipergunakan dapat dimanfaatkan dengan kerjasama dengan perusahaan
swasta untuk melakukan kegiatan-kegiatan komersial. Bangunan atau lahan
milik pemerintah daerah yang selama ini tidak atau kurang dimanfaatkan,
dapat dibangun menjadi gedung komersial, baik oleh sebuah perusahaan
swasta dengan sewa dari pemerintah daerah, oleh sebuah perusahaan swasta
dengan perjanjian bagi hasil atas keuntungan dari komersialisasi penggunaan
gedung atau lahan tersebut, oleh sebuah perusahaan patungan antara
pemerintah daerah dengan sebuah perusahaan swasta, atau dengan pola built--
operate-transfer oleh sebuah perusahaan swasta. Kota Depok di Jawa Barat
misalnya, baru-baru mi menyerahkan seluruh manajemen atas pelayanan
kebersihan di kota tersebut, yang antara lain mencakup pengalihan hak
pengoperasian dari semua aset pemerintah daerah yang selama ini
dipergunakan untuk penyelenggaraan pelayanan kebersihan, dari pemerintah
daerah kepada sebuah perusahaan swasta.
6. Melakukan Manajemen Modal untuk Mendorong Sektor Swasta.
Modal yang dimiliki oleh pemerintah daerah pada dasarnya terdapat dalam
anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Di luar belanja-belanja
yang sudah biasa dilakukan oleh pemerintah daerah selama ini, pada dasarnya
ada kegiatan yang jarang dilakukan oleh pemerintah daerah melalui
APBDnya, yaitu penyertaan modal. Selama ini, penyertaan modal yang
dilakukan pemerintah daerah adalah terbatas pada penyertaan modal daerah
26
26
dalam pembentukan perusahaan daerah atau penyertaan modal pada
perusahaan daerah yang sudah ada. Banyak pemerintah daerah yang setiap
tahun harus melakukan penyertaan modal daerah pada perusahaan daerah air
minum mereka, karena tanpa penyertaan modal tersebut PDAM dimaksud
tidak akan dapat beroperasi akibat biaya operasinya lebih tinggi dari
pendapatannya. Yang jarang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah
menyertakan modal dalam perusahaan swasta, yang bentuknya bisa saja
berupa: (a) pembentukan perusahaan swasta baru berpatungan dengan
perusahaan swasta yang sudah ada, (b) membeli saham perusahaan swasta
yang sudah beroperasi, (c) melakukan manajemen modal dalam surat berharga
perusahaan swasta, (d) melakukan kegiatan seperti modal ventura.
Kegiatan yang ketiga biasanya dilakukan oleh pemerintah daerah yang
mengalami surplus anggaran. Karena keuntungan yang dapat diperoleh dari
perdagangan surat berharga biasanya lebih tinggi daripada bunga deposito,
maka pemerintah daerah dapat menggunakan surplusnya untuk membangun
portfolio surat berharga yang dapat memperbesar surplus tersebut jangkawaktu
yang relatif pendek, dan kemudian menjualnya kembali bila kebutuhan
akan dana sudah ada. Sudah barang tentu akan diperlukan jasa fund manager
untuk menghindarkan kerugian dan memaksimalkan keuntungan.
Adapun kegiatan yang keempat dapat dilaksanakan bila ada usaha kecil yang
bermaksud untuk melaksanakan sebuah proyek investasi kecil yang secara
ekonomis layak namun kekurangan dana investasi. Biasanya proyek-proyek
semacam ini adalah kegiatan ekstraksi dan pengolahan sumberdaya alam atau
pertanian yang menggunakan teknologi tepat guna, dan pasar bagi produknya
telah tersedia baik di daerah setempat, di daerah lain, maupun di negara lain.
Dengan menyertakan modal semacam ini pemerintah daerah dapat
memperoleh sebagian saham dasi proyek investasi tersebut, dan sekaligus
memanfaatkan potensi daerah yang belum dikembangkan. Apabila proyekproyek
investasi semacam ini cukup banyak jumlahnya, maka pemenntah
daerah akan mempunyai penyertaan modal atau saham di banyak usaha kecil
yang mengolah sumberdaya alam daerah dan secara tidak langsung
mengembangkan ekonomi daerah itu. Yang diarah seyogyanya bukan
keuntungan dari usaha tersebut setiap tahun karena mungkin tidak terlalu
besar. Namun bila usaha-usaha tersebut telah berjalan lancar atau bahkan
telah membesar, seyogyanya pemerintah daerah melepaskan saham yang
dimilikinya dengan menjualnya dengan harga yang lebih tinggi kepada mitra
awalnya atau kepada perusahaan dan orang lain. Contoh daripada proyekproyek
semacam ini misalnya adalah pengolahan kelapa menjadi minyak
kelapa, pembuatan pakan ternak, penanaman komoditas komersial,
pengolahan sampah menjadi kompos, dan sebagainya, dengan modal investasi
yang tidak begitu besar (misalnya antara 1 sampai 2 miliar rupiah).
27
27
C. Kebijakan Percepatan Pembangunan Daerah
1. Penciptaan Lapangan kerja
Prioritas utama bagi strategi dan program pembangunan daerah dan
pengembangan ekonomi daerah seharusnya diletakkan pada penciptaan
lapangan kerja. Bila semua orang bekerja dan mempunyai penghasilan
sendiri, maka mereka akan dapat membeli semua kebutuhannya dengan
penghasilan tersebut. Beban pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
pelayanan umum selama ini semakin berat adalah akibat semakin banyak
orang tidak mampu membeli pelayanan tersebut karena tidak mempunyai
pekerjaan dan penghasilan atau penghasilannya kurang. Beberapa
kebijaksanaan yang dapat ditempuh pemerintah daerah untuk mendorong
penciptaan lapangan kerja di daerah adalah sebagai berikut.13 Pertama,
mendorong penerapan kebijaksanaan dan program-program yang padat tenaga
kerja atau labor intensive.
Penyelenggaraan pelayanan umum pada umumnya menciptakan lapangan
kerja, baik pada tahap pembangunan prasarana dan sarananya, maupun pada
tahap operasi dan pemeliharaannya. Oleh karenanya maka kebijaksanaan
pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pelayanan umum dengan
teknologi yang lebih sederhana pada dasarnya akan menciptakan lapangan
kerja lebih banyak. Dalam tahap pembangunan gedung, maka bagi perusahaan
kontraktor penggunaan scafolding dari bambu dan tali-temali, misalnya,
sebenarnya lebih menguntungkan daripada metal: (a) bahan bambu lebih
murah dari metal, (b) struktur bambu lebih ringan dan lebih tahan gempa
daripada besi, (c) teknologinya lebih rendah sehingga tenaga kerja tidak ahli
pun bisa menanganinya, yang akan menyebabkan biaya buruh berkurang.
Selain itu, karena waktu pemasangannya lebih lama, maka penggunaan buruh
juga akan lebih banyak, sehingga bagi ekonomi daerah secara keseluruhan
akan lebih menguntungkan. Namun kebanyakan pemerintah daerah, karena
tidak menyadari akan keuntungan-keuntungan ini, akan memilih perusahaanperusahaan
yang lebih besar dan lebih padat modal, sehingga mengurangi
potensi penciptaan lapangan kerja di daerah. Contoh lain yang sangat
menyolok adalah dalam penyelenggaraan pelayanan kir kendaraan bermotor.
Di kota-kota besar di Indonesia, Dinas LLAJR memiliki dan mengoperasikan
unit pengujian kendaraan bermotor "otomatis", yang dapat memproses
pengujian kendaraan bermotor hanya dalam waktu beberapa menit. Argumen
bagi penerapan teknologi otomatis adalah karena jumlah kendaraan bermotor
yang harus diuji banyak maka waktu pengujian bagi setiap kendaraan harus
singkat, sehingga dalam satuan waktu tertentu dapat diuji jumlah kendaraan
yang besar. Akibat dari kebutuhan akan otomatisasi ini maka investasi yang
diperlukan untuk membangun sarana pengujian menjadi besar, dan oleh
karenanya maka apabila pemerintah atau pemerintah daerah tidak dapat
menyediakan anggarannya, perlu dikerjasamakan dengan perusahaan swasta.
Dalam prakteknya, akibat dari otomatisasi ini maka pelayanan pengujian
13 “The future of Urban Employment”, (Geneva: International Labour Office. May 1996) ha1.33-60
28
28
kendaraan menjadi sangat padat modal dan tidak efisien bagi semua pihak.
Bagi pemilik kendaraan, karena kebutuhan otomatisasi dan sarana pengujian
yang padat modal, maka biaya pengujian menjadi tinggi. Bagi pemerintah,
biaya investasi terlalu tinggi, dan bila dikerjasamakan dengan swasta, potensi
pendapatan daerah berkurang akibat harus dibagi dengan perusahaan swasta
yang menjadi mitranya. Selain itu, karena kapasitas pengujian terbatas (di
DKI Jakarta, misalnya, hanya ada dua unit pengujian kendaraan bermotor bagi
semua kendaraan umum yang ada), tidak semua kendaraan yang seharusnya
diuji dapat teruji.14 Bagi ekonomi secara keseluruhan, unit pengujian
kendaraan bermotor tidak menciptakan lapangan kerja. Karena itu maka
kebijakan pengujian emisi kendaraan bermotor pribadi yang "dikuasakan"
kepada bengkel-bengkel swasta yang akan dilaksanakan oleh pemerintah DKI
Jakarta sudah cukup tepat.
Di negara-negara maju, terutama Amerika Serikat, pengujian kendaraan
bermotor dilakukan secara padat tenaga kerja dan bukan secara padat modal.
Jadi untuk kota sebesar Jakarta, mungkin akan ada 1000 buah bengkel yang
diberi kewenangan (lisensi) untuk menguji dan menerbitkan sertifikat lulus uji
atas nama dinas LLAJR, dan masing-masing bengkel terdapat paling tidak
seorang montir ahli yang telah dilatih, mempunyai sertifikat up kendaraan
bermotor, dan diberi kewenangan untuk menanda-tangani sertifikat lulus uji
atas nama dinas LLAJR. Pengujian dilakukan secara manual: membuka roda,
mengukur ketebalan "kembang" ban, mengukur ketebalan kampas rem,
memeriksa mekanisme rem, mencoba sinyal belok kiri, kanan, dan "hazard",
mencoba klakson, dan sebagainya. Satu-satunya pengujian yang harus
dilakukan secara padat modal adalah menguji emisi atau asap kendaraan
bermotor, yang memang harus menggunakan mesin. Waktu yang diperlukan
untuk melakukan pengujian kira-kira antara 30 menit sampai satu jam,
tergantung pada besarnya kendaraan. Dengan demikian maka kapasitas dari
kota sebesar Jakarta untuk melakukan pengujian kendaraan bermotor per hari,
dengan asumsi 8 jam kerja sehari, adalah 1000 bengkel dikalikan dengan
antara 8 dan 16, yaitu antara 8.000 kendaraan besar sampai 16.000 kendaraan
kecil. Dengan menggunakan mesin otomatis, yang di Jakarta hanya ada,
misalnya 10 buah, dan masing-masing dapat melakukan pengujian sebuah
kendaraan setiap 5 menit atau 12 buah per jam, maka kapasitasnya adalah 10
unit dikalikan dengan 8 jam dikalikan dengan 12 buah per jam, yaitu sekitar
960 buah kendaraan per hari. Keuntungan dan pengujian kendaraan secara
manual jelas sekali. Bagi pemilik kendaraan, biayanya pasti lebih murah
karena pelayanannya padat tenaga kerja, bukan padat modal. Bagi pemerintah,
tidak perlu ada anggaran bagi pengujian, dan pemerintah tetap dapat
memperoleh retribusi pengujian kendaraan bermotor yang merupakan "harga"
dan formulir sertifikat uji. Selain itu, jumlah kendaraan bermotor yang dapat
diuji setiap tahun juga jauh lebih besar, sehingga semua kendaraan, tidak
hanya kendaraan umum, dapat diuji, dan ini akan meningkatkan keselamatan
umum di jalan raya. Bagi ekonomi secara keseluruhan, tercipta sekian banyak
14 MenurutUndang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu-lintas, seharusnya semua kendaraan
bermotor perlu mendapat peneujian kelaikan setiap tahun Karena keterbatasan kapasitas. saat ini hanya
kendaraan umum saja yang harus diuji kelaikannya
29
29
lapangan kerja bagi industri bengkel kendaraan bermotor. Namun bagi unit
pemerintah daerah yang menangani pelayanan ini kerugiannya jelas:
berurusan dengan dua atau tiga buah perusahaan besar (mitra dalam
membangun dan mengoperasikan unit pengujian kendaraan bermotor) jelas
lebih mudah dan lebih menguntungkan daripada berurusan dengan ratusan
bengkel dan montir.
2. Pengembangan Sektor Informal
Kedua, mendorong pengembangan sektor informal menjadi sektor formal.
Salah satu yang bisa dilakukan pemerintah daerah untuk mengembangkan
sektor informal adalah dengan memberikan kepada sektor informal akses ke
sumberdaya yang sama dengan yang diberikan kepada sektor-sektor lain
dalam ekonomi. Sumberdaya-sumberdaya tersebut antara lain adalah:
pelayanan dasar dan prasarana, pasar-pasar tertentu, lahan dan tempat usaha,
dan pemberian kredit. Akhirnya, karena aset utama dan sektor informal pada
dasarnya adalah tenaga kerja yang mereka miliki, maka pemerintah dan
pemerintah daerah dapat meningkatkan produktivitas aset tersebut dengan
memberikan pelatihan dan pendidikan. Pendidikan dan pelatihan dapat
meningkatkan kemampuan mereka untuk merespons perubahan kondisi pasar
dengan cepat.
Contoh yang baik dari kebijaksanaan untuk mendorong perkembangan sektor
informal adalah pembentukan Undugu Society di Kenya. Undugu Society di
Kenya dibentuk terutama untuk memenuhi kebutuhan anak jalanan, anak-anak
kurang mampu lainnya, pemuda, dan penduduk pemukiman kumuh yang
miskin. Pertama, sejak didirikan, Undugu telah melaksanakan program
pendidikan dan pelatihan keahlian, dan juga telah memberikan tempat tinggal
bagi anak jalanan yang tidak mempunyai rumah selama mereka bersekolah.
Undugu mengoperasikan rumah penampungan bagi anak jalanan dan
menyediakan makanan bagi semua pesertanya. Banyak anak yang telah
direhabilitasi, dan banyak di antaranya yang telah menjalani kehidupan
produktif yang normal dan membantu keluarga mereka. Kedua, menyadari
akan pentingnya kebutuhan untuk meningkatkan potensi golongan yang
kurang mampu dalam masyarakat, Undugu telah membantu para perempuan
dari pemukiman kumuh dan kaum miskin lainnya untuk memperoleh kredit
untuk melaksanakan kegiatan yang menghasilkan pendapatan. Para
perempuan ini dilatih dalam menjalankan usaha kecil. Para perempuan ini
telah mampu untuk meningkatkan taraf hidup mereka dan karenanya hal ini
telah mengurangi jumlah anak yang turun ke jalan. Ketiga, unit produksi dan
perbengkelan dan Undugu menghasilkan pendapatan, dan keseluruhan
pendapatan unit-unit tersebut menyumbang sampai 30% dari anggaran
Undugu. Keempat, Undugu juga telah membantu para petani dab wilayah
kering di Kenya untuk menerapkan teknik pertanian lahan kering dan telah
melatih penyuluh pertanian untuk mendiseminasikan teknologi tepat guna ke
lebih banyak petard. Banyak sekali siswa yang telah memperoleh manfaat dari
program beasiswa Undugu, dan beberapa di antaranya telah berhasil
menyelesaikan studi di 5 universitas lokal.
30
30
3. Reformasi Peraturan dan Perundangan
Evaluasi dan reformasi peraturan-perundangan yang menghambat penciptaan
lapangan kerja dan perlindungan sosial. Salah satu di antaranya adalah
peraturan-perundangan yang mengatur pembentukan usaha baru dan
penggunaan tanah. Prosedur yang berbelit-belit mengenai pembentukan dan
pendaftaran perusahaan, peraturan penggunaan tanah yang melarang operasi
bisnis di kawasan perumahan, tindakan penertiban oleh pemerintah daerah,
berbagai ijin yang diperlukan, dan keharusan untuk melaporkan kegiatan,
semuanya memberikan beban yang berat kepada sektor informal maupun
formal. Salah satu sebab mengapa sektor informal tetap informal adalah
karena para pengusaha sektor informal tidak mampu untuk membiayai
pengurusan dokumen untuk merubah usaha mereka menjadi legal atau formal.
Usaha kecil dan mikro adalah jenis usaha yang paling dirugikan oleh
peraturan perundangan semacam ini karena biaya pengurusan ijin usaha sama
saja baik bagi usaha besar, kecil, maupun mikro. Oleh karena itu maka
mungkin seluruh peraturan-perundangan yang ada perlu dievaluasi dan
direformasi untuk merubah hambatan-hambatan bagi penciptaan lapangan
kerja dalam bentuk usaha kecil dan mikro. Pemerintah dapat mengurangi
hambatan legal terhadap dunia usaha antara lain dengan melaksanakan
kebijaksanaan sebagai berikut.
a. Mengurangi birokrasi dan menurunkan biaya untuk memperoleh ijin yang
berkaitan dengan usaha kecil dan mikro
b. Melakukan pengawasan dan melatih para penegak hukum, termasuk
aparat ketentraman dan ketertiban.
c. Menyebarkan informasi dan menyederhanakan prosedur perijinan dan
persyaratan-persyaratannya. Keempat, merubah peraturan penggunaan
tanah yang restriktif.
d. Pengembangan kemitraan antara pemerintah dengan sektor swasta dan
masyarakat.
Sektor swasta memainkan peranan penting dalam menciptakan lapangan
kerja, memupuk kekayaan, dan meningkatkan pelayanan. Masyarakat, di lain
pihak, perlu dilibatkan dalam proses pengembangan ekonomi agar tidak
menjadi kelompok marjinal dan radikal. Karena itu maka tantangan bagi
pemerintah dan pemerintah daerah adalah untuk membangun kemitraan
dengan sektor swasta, dengan organisasi pengusaha dan organisasi buruh, agar
mereka dapat lebih aktif dalam ikut menciptakan lapangan kerja.
Penduduk miskin, yang selama ini tersingkir dari perkembangan ekonomi,
memerlukan organisasi gotong-royong dan atau koperasi, yang dapat
berfungsi untuk menjadi sarana kelembagaan bagi peningkatan penciptaan
lapangan kerja dengan cara:
31
31
a. pembentukan organisasi yang dapat mengartikulasikan kepentingan
penduduk miskin, sejenis serikat buruh bagi pegawai sektor formal;
b. menyediakan pelayanan sosial bagi para anggotanya;
c. bertindak sebagai saluran penyediaan bantuan dari pemerintah dan
pemerintah daerah, lembaga nonpemerintah, dan lembaga-lembaga donor;
d. memperbaiki kaitan dengan sektor formal; dan
e. menyediakan katalis bagi program-program perbaikan lingkungan
termasuk memperjuangkan prioritas penduduk setempat, pelaksanaan
proyek berdasarkan kontrak, dan mengumpulkan sumbangan/pungutan
sosial bagi operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana setempat.
Untuk itu maka pemerintah dan pemerintah daerah, bekerjasama dengan
serikat buruh, asosiasi pengusaha, serta lembaga non-pemerintah dan lembaga
donor internasional, dapat melaksanakan berbagai kebijaksanaan yang dapat
mendorong berfungsinya organisasi kemasyarakatan atau gotong royong ini.
Langkah-langkah yanhg dapat dilakukan adalah:
a. pemerintah dapat menciptakan kerangka kebijaksanaan dan peraturanperundangan
yang kondusif, di mana kedudukan koperasi dan organisasi
gotong-royong lainnya harus sejajar dengan perusahaan swasta.
b. membangun kerjasama dengan koperasi dan organisasi gotong-royong
lainnya. Di India misalnya, sebuah serikat buruh mendorong para
anggotanya untuk membentuk koperasi pegawai yang kemudian
mengambil alih kepemilikan dan manajemen sebuah perusahaan swasta
yang telah mengalami kemunduran selama bertahun-tahun. Dalam waktu
setahun, perusahaan dimaksud telah dihidupkan kembali dan telah menjadi
perusahaan yang menguntungkan, dan karena itu mempertahankan
lapangan kerja yang ada.
c. pemerintah dan pemerintah daerah dapat mengembangkan kebijakan
untuk memberikan dukungan keuangan melalui organisasi gotong-royong
dalam bentuk pinjaman, jaminan kredit, hibah, atau pengurangan dan
penangguhan pajak. Prioritas harus diberikan pada kegiatan-kegiatan yang
dapat memperlihatkan bagaimana dana tersebut dapat digunakan untuk
menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan.
d. memenuhi kebutuhan organisasi gotong-royong akan pendidikan dan
pelatihan.
4. Menggali Pendapatan Daerah
Meskipun pemerintah daerah pada dasarnya dapat mendorong perkembangan
ekonomi daerah tanpa atau dengan biaya yang terbatas, namun pendapatan
32
32
daerah tetap penting untuk dapat berjalannya berbagai kegiatan pemerintah
daerah dan pelayanan umum. Pemerintah daerah perlu meningkatkan dan
mengoptimalkan potensi pendapatan daerah dari berbagai sumber. Dalam
bahasan ini, pendapatan daerah tidak dibatasi pada pendapatan asli daerah
saja, namun juga mencakup pendapatan daerah lainnya seperti misalnya, bagi
hasil pajak.
Mengingat bahwa sampai batas-batas tertentu ekstensifikasi pajak dan
retribusi daerah telah dibatasi oleh Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997
tentang Pajak dan Retribusi Daerah, maka pemerintah daerah perlu lebih
kreatif lagi untuk meningkatkan pendapatan daerah tanpa harus melanggar
peraturan pemerintah maupun dunia usaha.
Dalam bahasan ini akan diuraikan cara-cara untuk menggali pendapatan
daerah yang berlaku bagi kebanyakan pemerintah daerah. Masing-masing
pemerintah daerah pasti mempunyai kekhususannya sendiri-sendiri, sehingga
pedoman ini tidak berlaku untuk mereka. Modifikasi terhadap pedoman ini
dengan melihat pengalaman daerah atau negara lain, baik melalui literatur,
forum-forum diskusi, seminar dan lokakarya, serta melalui studi banding,
perlu dilakukan.
Kebijakan-kebijakan yang perlu dibuat adalah:
a. Kebijakan pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah adalah
mengusahakan sejauh mungkin agar sebanyak mungkin penduduk
daerahnya bekerja dan memperoleh penghasilan.
Keuntungannya adalah bahwa penduduk yang mempunyai penghasilan
lebih tidak tergantung pada pelayanan yang disediakan oleh pemerintah
karena dapat "membeli" sendiri pelayanan yang dibutuhkan dengan
penghasilannya. Dengan demikian maka dana pemerintah daerah yang
sedianya akan dipergunakan untuk penyelenggaraan pelayanan umum
tersebut dapat digunakan untuk penggunaan lain. Selain itu, semakin
banyaknya penduduk yang bekerja akan menyebabkan semakin tingginya
pendapatan regional atau produk regional bruto, sehingga dengan tax
ratio yang tidak meningkatpun pendapatan daerah akan meningkat
Dengan pendapatan regional yang lebih tinggi, yang berarti pendapatan
per kapita penduduk juga lebih tinggi, maka pengeluaran penduduk untuk
pajak (tontonan, hotel & restoran, dan sebagainya) dan retribusi (parkir,
kebersihan, dan sebagainya) akan lebih tinggi pula, yang mengakibatkan
pendapatan ash daerah akan menjadi lebih tinggi.
b. Kebijakan kedua yang harus ditempuh adalah mendorong penggunaan
lahan ke arah penggunaan bagi kegiatan yang tingkatannya lebih tinggi:
primer, sekunder, dan tertier. Jadi apabila ada lahan yang masih kosong,
harus didorong agar masyarakat menggunakannya, minimal untuk
kegiatan sektor primer seperti untuk bercocok tanam, sehingga dengan
demikian dapat dikenakan PBB Pedesaan. Lebih baik lagi bila
penggunaan ditingkatkan menjadi perkebunan, sehingga bisa dikenakan
33
33
PBB Perkebunan. Untuk sektor primer mungkin yang terbaik adalah
lahan dipergunakan untuk kegiatan tambang, sehingga bisa dikenakan
PBB pertambangan. Akan lebih baik lagi apabila di dekat perkebunan
atau tambang tersebut dapat didirikan kegiatan industri yang mengolah
hasil perkebunan atau pertambangan, yang sudah termasuk dalam
kegiatan sektor sekunder. Keuntungan dari pengunaan lahan untuk
kegiatan sekunder tidak hanya dari pengenaan PBB perkotaan yang
sudah lebih tinggi daripada PBB pedesaan maupun PBB kegiatan sektor
primer lainnya, namun juga dari pendapatan-pendapatan daerah lainnya
yang diakibatkan oleh kegiatan industri tersebut, terutama yang
berkenaan dengan gaji atau upah buruh kegiatan sektor sekunder yang
umumnya lebih tinggi daripada gaji atau upah buruh pada sektor primer.
Ini akan menyebabkan pendapatan regional dan pendapatan per kapita
penduduk di wilayah itu lebih tinggi. Melalui efek multiplier dari gaji
atau upah buruh itu, maka apabila tax ratio tidak berubah, pendapatan
daerah juga akan meningkat. Jadi apabila di suatu kawasan ada
perkebunan kelapa sawit yang cukup luas, misalnya, maka seyogyanya
didorong agar di situ dibangun pabrik pengolahan kelapa sawit untuk
menghasilkan crude palm oil atau CPO. Apabila di suatu kawasan ada
perkebunan karet yang cukup luas, maka perlu didorong agar di situ
dibangun pabrik karet. Apabila di suatu kawasan ada gunung kapur, perlu
didorong bukan hanya penambangan dan pengiriman kapur ke tempat
lain (contoh: kawasan Padalarang di Kabupaten Bandung), tetapi juga
pembangunan pabrik semen.
Kalau terpaksa, pemerintah daerah dapat melakukan penyertaan modal
dalam industri yang dipandang penting untuk mengembangkan ekonomi
daerahnya. Selain kegiatan sektor sekunder seperti industri di atas,
mungkin bagi pemerintah daerah lebih mudah untuk mengembangkan
kegiatan dalam sektor tertier tertentu, seperti kegiatan perdagangan atau
jasa. Kegiatan-kegiatan ini terutama akan berlokasi di kawasan
perkotaan, namun tidak memerlukan lahan yang terlalu besar.
Maksudnya, kebutuhan lahan per pegawai pada sektor jasa lebih kecil
dan pada sektor industri atau pertambangan, dan jauh lebih kecil daripada
kebutuhan lahan di sektor pertanian.
c. Kebijakan ketiga yang perlu ditempuh oleh pemerintah daerah adalah
mengembangkan kawasan perkotaan, terutama di daerah daerah yang
masih didominasi oleh kawasan dan kegiatan pedesaan (wilayah
kabupaten). Mengapa? Sebab kawasan perkotaanlah yang biasanya
menampung kegiatan-kegiatan sekunder dan tertier pada umumnya.
Akibatnya, maka obyek obyek pendapatan asli daerah (PAD) kebanyakan
berada di kawasan perkotaan. Pasal 2 ayat (2) Udang-undang Nomor 34
Tahun 2000, misalnya, mencatumkan jenis-jenis pajak kabupaten/kota
sebagai benkut: (1) Pajak Hotel; (2) Pajak Restoran; (3) Pajak Hiburan;
(4) Pajak Reklame; (5) Pajak Penerangan Jalan; (6) Pajak Pengambilan
Bahan Galian Golongan C; (7) Pajak Parkir.
34
34
Jadi selain pajak pengambilan bahan galian golongan C, yang lokasinya
justru di daerah pedesaan, jenis-jenis pajak yang lain mempunyai obyek
yang biasanya berlokasi di kawasan perkotaan, atau terkait dengan
kegiatan perkotaan.
Sedangkan retribusi-retribusi yang secara spesifik tercantum dalam
Penjelasan pasal 18 ayat (1) dari Undang-undang yang sama adalah
dengan obyek:
1) jasa Umum: pelayanan kesehatan dan pelayanan persampahan;
2) Jasa Usaha: penyewaan aset pemerintah daerah, penyediaan tempat
penginapan, usaha bengkel kendaraan, tempat penycucian mobil, dan
penjualan bibit;
3) Perizinan Tertentu: izin mendirikan bangunan dan izin peruntukan
penggunaan tanah.
Kita lihat bahwa dari salah satu retribusi atas jasa umum, yaitu retribusi
pelayanan persampahan, merupakan retribusi yang obyeknya umumnya
berada di kawasan perkotaan. Mengapa? Karena di kawasan perdesaan,
dengan luas persil rumah yang cukup besar, penduduk dapat membuang
sampahnya di halamannya sendiri, membiarkannya membusuk atau
membakarnya, sehingga pelayanan persampahan tidak diperlukan.
Akibatnya maka pemerintah tidak bisa menerapkan retribusi
persampahan.
Demikian juga dengan pelayanan kesehatan, pada umumnya juga
terkonsentrasi di kawasan perkotaan. Baik rumah sakit provinsi maupun
rumah sakit kabupaten/kota, semuanya terletak di wilayah kota atau di
kawasan perkotaan di wilayah kabupaten. Dengan demikian maka obyek
retribusi ini juga lebih banyak berlokasi di kawasan perkotaan.
Selain itu tiga dari lima obyek retribusi jasa usaha, juga merupakan
obyek-obyek yang berlokasi terutama di kawasan perkotaan, yaitu
penyediaan tempat penginapan, usaha bengkel kendaraan, dan tempat
pencucian mobil. Sedangkan satu obyek lainnya, yaitu penyewaan aset
pemerintah daerah bisa berada di kawasan perkotaan maupun perdesaan.
Hanya satu jenis retribusi jasa usaha, yaitu retribusi penjualan bibit, yang
obyeknya kemungkinan besar lebih banyak di kawasan perdesaan
daripada perkotaan.
Kemudian dari dua obyek retribusi perizinan, sebuah berlokasi di
kawasan perkotaan, yaitu izin mendirikan bangunan. Sedangkan yang
lainnya, yaitu izin peruntukan penggunaan tanah, biasanya berlokasi di
kawasan pinggiran kota yang sedang dalam proses berubah dari kawasan
perdesaan menjadi kawasan perkotaan, atau di kawasan perkotaan yang
sedang dalam proses peremajaan.
Oleh karena itu maka dapat disimpulkan bahwa memang sistim
pendapatan daerah di Indonesia menguntungkan kawasan perkotaan
35
35
daripada kawasan perdesaan. "Kawasan" di sini tidak berarti harus
kawasan yang terletak dalam kota otonom, tetapi juga bisa berarti
kawasan perkotaan yang ada di wilayah kabupaten. Demikian juga
"perdesaan" tidak berarti hanya kawasan perdesaan yang ada di wilayah
kabupaten, tetapi juga di wilayah kota otonom.
Dengan demikian maka bila di kawasan perdesaan, terutama di wilayah
kabupaten, dikembangkan kegiatan-kegiatan industri dan/atau
perdagangan yang cukup besar, maka kawasan itu akan berubah menjadi
kawasan perkotaan.15 Jadi misalnya, pemerintah-pemerintah kabupaten
yang wilayahnya, terutama kawasan perkotaannya, berkurang akibat
sebagian dari kawasan perkotaan berubah status administrasi menjadi
pemerintah daerah kota (dulu bernama kotamadya), atau diambil oleh
perluasan ualayah kota (kotamadya), maka biasanya pendapatan
daerahnya menurun secara drastis. Untuk meningkatkannya kembali,
pemerintah kabupaten ini perlu mengembangkan ibukota-ibukota
kecamatan yang ada di wilayahnya menjadi kawasan perkotaan dengan
cara mengembangkan kawasan pusat perdagangan (pasar, ruko,
pertokoan, perbankan, dan sebagainya), terminal, hiburan (bioskop,
taman hiburan, amusement center, dan lain-lain), jasa-jasa lainnya (salon,
penjahit, tukang cukur, dan sebagainya).
Contoh klasik adalah Kabupaten Tangerang, yang setelah adanya rencana
pembentukan Kota (Kotamadya) Tangerang, membangun ibukotaibukota
kecamatannya menjadi kawasan perkotaan (Ciputat, Pamulang,
Serpong, dan sebagainya), bahkan ibukota kabupatenpun dipindahlan ke
kawasan yang semula bukan kawasan perkotaan. Kalau Anda
mengunjungi kota Orlando di mana terdapat Disneyworld, jangan dikira
bahwa kawasan itu sebelumnya merupakan kawasan perkotaan yang
sudah berkembang. Awalnya kawasan itu adalah padang rumput dan
rawa-rawa. Pemerintah Orlando mengundang Walt Disney, yang saat itu
baru mempunyai Disneyland di Los Angeles, untuk membangun sarana
yang serupa di Orlando, sekaligus menawarkan berbagai insentif agar
Walt Disney tertarik. Jadi kawasan itu kawasan perkotaan dengan obyek
utama Disneyworld dan kawasan human dan perhotelan Buena Ventura,
dua-duanya merupakan obyek bagi pengenaan pajak-pajak dan retribusi
yang bersifat perkotaan.
Sayang sekali di seluruh dunia ini tidak ada bahan perbandingan untuk
menentukan berapa besar bagian dari produk domestik regional bruto
(PDRB) yang seharusnya dipungut menjadi pendapatan asli daerah (PAD
sebagai bagian dari PDRB), sehingga tidak ada pedoman yang bisa
diberikan di sini. Namun, sebagai pedoman, mungkin bisa dipakai ukuran
15 Ada 3 cara bagi kawasan pedesaan untuk berubah menjadi kawasan perkotaan. Pertama kegiatan
utama kawasan tersebut berubah dari yang semula didominasi pertanian menjadi industri atau jasa.
Kedua, perluasan kawasan sehingga merambah ke kawasan-kawasan yang semula pedesaan Ketiga,
status pemerintahan daerah berubah dari kabupaten menjadi kota sehingga semua kawasan yang tennasuk
berubah dari desa inenjadi kota
36
36
"kepantasan" bagi sebuah daerah otonom, yang seharusnya bisa
membiayai dirinya sendiri, maka seharusnya pendapatan asli daerah
minimal adalah 50% dari pendapatan daerah secara keseluruhan. Namun
pedoman ini akan diperdebatkan mengingat bahwa upava penggalian
pendapatan ash daerah dibatasi oleh peraturan perundangan sehingga
pemerintah-pemerintah daerah tidak bisa mengenakan berbagai pungutan
sesukanva. Karena PAD sebenarnya bisa lebih besar apabila tidak ada
pembatasan, maka yang seharusnya menunjukkan kemampuan
membiayai sendiri bukan hanya PAD, namun juga bagian dari bagi hasil
pajak. Karena itu maka seharusnya:
PAD + Bagi Hasil Pajak > 50% x Pendapatan Daerah
Atau
PAD + Bagi Hasil Pajak > DAU
Pejabat daerah di Indonesia sejak dimulainya era reformasi juga
dijangkiti oleh suatu gejala yang disebut sebagai dutch disease: "negara
yang kaya dengan sumberdaya alamnya justru cenderung miskin karena
warisan itu". Indonesia sejak awal sudah terkontaminasi oleh penyakit
yang awalnya berjangkit di negara penjajah kita. Bila kita
membandingkan laju pertumbuhan ekonomi kita selama kurun 1950
sampai sekarang dengan negara-negara yang lebih miskin sumberdaya
alam dibandingkan kita, seperti Korea, Taiwan, Singapura, dan bahkan
Malaysia dan Thailand, ternyata kita yang mempunyai sumberdaya alam
yang sangat besar justru mengalami laju pertumbuhan ekonomi
terrendah. Penyakit ini sekarang menjangkiti pejabat-pejabat daerah kita
yang menuntut bagian yang besar dari pemanfaatan sumberdaya alam
yang ada di wilayah mereka. Bila kecenderungan ini berlanjut,
dikhawatirkan bahwa semakin besar kandungan sumberdaya alam di
sesuatu daerah, akan semakin rendah laju pertumbuhan ekonomi
daerahnya.
d. Kebijakan keempat yang pelu dilaksanakan adalah dengan melakukan
manajemen asset pemerintah daerah demi mengoptimalkan pendapatan
daerah, yaitu dengan: melakukan inventarisasi atas semua aset yang
dimiliki, melakukan pengkajian atas nilai yang sebenarnya (appraisal)
dari aset tersebut, dan membuat rencana optimalisasi pemanfaatan aset,
termasuk bekerjasama dengan sektor swasta.
e Kebijakan kelima yang perlu dilaksanakan adalah berkaitan dengan
belanja daerah yang dapat mengoptimalkan pendapatan daerah.
Pemerintah daerah perlu menyisihkan sebagian dari angaran belanjanya
untuk mengembangkan usaha daerah. Untuk ini maka pemerintah daerah
dapat:
1) Melakukan penyertaan modal melalui pembentukan perusahaan
swasta baru berpatungan dengan perusahaan swasta yang sudah ada;
2) Membeli saham perusahaan swasta yang sudah beroperasi,
37
37
3) Melakukan manajemen modal dalam surat berharga perusahaan
swasta,
4) Melakukan kegiatan seperti modal ventura.
D. Latihan
1. Diskusi Kelompok. Diskusikan masalah utama yang dihadapi oleh
pemerintah daerah, dan bagaimana cara untuk keluar dari masalah tersebut.
2. Diskusikan potensi apa saja yang dimiliki oleh daerah, dan bagaimana
potensi-potensi tersebut dapat dimanfaatkan untuk mendukung pembangunan
daerah.
3. Diskusikan kebijkan apa saja yang dapat dibuat oleh pemerintah daerah untuk
meningkatkan pembangunan daerah?
E. Rangkuman
Dengan perencanaan pembangunan yang baik dan kemampuan manajemen
pembangunan yang prima suatu daerah tidak selalu harus mengandalkan
sumberdaya yang mendukung pembangunannya berbasis pada ekploitasi
sumberdaya alamnya, khususnya sumberdaya yang tidak terbarukan. Tetapi
dengan upaya-upaya yang inovatif dan keartif pemerintah daerah dapat memacu
pembangunan dengan cepat. Upaya-upaya tersebut antara lain adalah: (1)
membuat rencana strategi pengembangan ekonomi daerah; (2) merangsang
pertumbuhan usaha kecil dan menengah; (3) mendorong pendirian usaha baru
melalui entrepreneurship; (4) melakukan manajemen asset untuk merangsang
pertumbuhan swasta; dan (5) melakukan manajemen modal untuk mendorong
sektor swasta.
Selain upaya-upaya tersebut di atas, pemerintah daerah perlu membuat kebijakan
untuk percepatan pembangunan daerahnya. Kebijakan tersebut antara lain adalah:
(1) penciptaan lapangan kerja; (2) pengembangan sektor informal; (3) reformasi
peraturan dan perundangan; dan (4) menggali pendapatan daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Lincolin. (1999). Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi
Daerah. BPFE, Universitas Gaja Mada, Yogyakarta
Bappenas. (2004). Sistem Perencanaan Nasional (SPPN) Berdasarkan UU 25/2004:
Bahan Sosialisasi Umum. Bappenas, Jakarta.
Bappenas (2004). RPJPD, RPJMD, Renstra SKPD: Bimbingan Teknis, Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Bappenas, Jakarta
GTZ German Technical Cooperation dan USAID Clean Urban Project (2000).
Assessment Methods, Tools and Instruments : Local Development Planning.
GTZ office, Jakarta.
GTZ German Technical Cooperation dan USAID Clean Urban Project (2000). Local
Development Planning. GTZ office, Jakarta
Hamzens, Wldani (2005). Perencanaan di Indonesia 25 Tahun Mendatang. Labdawara,
Bogor
Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan Deutsche Stiftung fur Internationale
Entwicklung (DSE). (1999). Modul Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan
Pembangunan Wilayah. LAN, Jakarta
Lampiran Surat Edaran Bersama, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala BAPPENAS dan Menteri Dalam Negeri, Nomor:
0259/M.PPN/I/2005 dan 050/166/SJ, Prihal: Tata Cara Penyelenggaraan
Musyawarah Perencanaan Pembangunan Tahun 2005 (MUSRENBANG
TAHUN 2005).
Undang-Undang Otonomi Daerah: Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor.33 Tahun 2004 Tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintah Daerah.
Fokusmedia, Jakarta. 2006.
Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional.
Partowidagdo, Widjajono (1999). Memahami Analisis Kebijakan; Kasus Reformasi
Indonesia. Program Studi Pembangunan Program Pasca Sarjana ITB,
Bandung.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2006 Tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2006 Tentang Tata Cara
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana.
Widodo, Tri (2006). Perencanaan Pembangunan Daerah: Aplikasi Komputer (Era
Otonomi Daerah. UPP STIM YKPN. Yogyakarta.
2
2
Suharjo, Sussongko (2006). Pembangunan Daerah Mendorong Pemda Berjiwa Bisnis.
Panta Rei, Jakarta.
Tarigan, Robinson (2005). Perencanaan Pembangunan Wilayah. PT. Bumi Aksara,
Jakarta
Tarigan, Robinson (2005). Ekonmi Regional: Teori dan Aplikasi. PT. Bumi Aksara,
Jakarta
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com.
The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.

You might also like