Professional Documents
Culture Documents
abad ke-20,
Pada awal abad ke-20, di Sumatera Barat ditandai dengan periode yang penuh
pergolakan sosial dan intelektual. Di awali dengan pulangnya tiga ulama
Minangkabau selepas menuntut ilmu di Mekah, yaitu Inyik Djambek, Inyik Rasul dan
Inyik Abdullah Ahmad membawa modernisasi Islam ajaran Muhammad Abduh dan
Jamaluddin al-Afghani dari Mesir. Gerakan ini tidak hanya dimotivasi oleh gerakan
pembaharuan yang sudah berkembang di Mesir tapi juga oleh dorongan rivalitas
terhadap golongan berpendidikan Barat yang cara material dan sosial terlihat lebih
bergengsi.
Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947)1, adalah adalah satu dari tiga
ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat di awal abad ke-20, dilahirkan di
Bukittinggi (), terkenal sebagai ahli ilmu falak terkemuka. Nama Syekh Muhammad
Djamil Djambek lebih dikenal dengan sebutan Inyik Syekh Muhammad Djamil
Djambek atau Inyik Djambek, dilahirkan dari keluarga bangsawan. Dia juga
merupakan keturunan penghulu. Ayahnya bernama Saleh Datuk Maleka, seorang
kepala nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda.
Masa kecilnya tidak banyak sumber yang menceritakan. Namun, yang jelas
Muhammad Djamil mendapatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rendah yang
khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru (Kweekschool). Sampai
umur 22 tahun ia berada dalam kehidupan parewa, satu golongan orang muda-muda
yang tidak mau mengganggu kehidupan keluarga, pergaulan luas di antara kaum
parewa berlainan kampung dan saling harga menghargai, walau ketika itu kehidupan
parewa masih senang berjudi, menyabung ayam, namun mereka ahli dalam pencak
1 Syekh Djamil Djambek dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1860. Terdapat perbedaan
pencatatan dalam Syekh Ahmad Khatib, ditulis Drs.Akhira Nazwar, Pustaka Panjimas,
Jakarta, Cet.I, Juli 1983, hal.53 disebut tahun 1983. Tetapi dalam Riwayat Hidup dan
Perjuangan Dua Puluh Ulama Besar Sumatera Barat, Padang, Islamic Center Suimatera
Barat, 1981,hal.55, dicatata tanggal dan tahun kelahiran Inyik Djambek 13 Sya’ban 1279
H./1862 M Sebenarnya yang tepat adalah 4 Januari 1863 M, tulis DrsEdwar dkk. Mengutip
Ensiklopedi Islam Indonesia (EII), Jakarta Djambatan, 2002, Cet.2 ed. Revisi, hal.520-
521,Syekh Djamil Djambek lahir 1860, dan meninggal 30 Desember 1947/18 Sfafar 1366
H, di Bukittinggi, dalam usia 87 tahun.
dan silat. Semenjak berumur 22 tahun, Mohammad Djamil mulai tertarik pada
pelajaran agama dan bahasa Arab. Ia belajar pada surau di Koto Mambang, Pariaman
dan di Batipuh Baruh.
Ayahnya membawanya ke Mekah pada tahun 1896 dan bermukim di sana selama
9 tahun lamanya mempelajari soal-soal agama. Guru-gurunya di Mekah, antara
lain,adalah Taher Djalaluddin, Syekh Bafaddhal, Syekh Serawak dan Syekh Ahmad
Khatib. Ketika itu dia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Semula
Muhammad Djamil tertarik untuk mempelajari ilmu sihir kepada seorang guru dari
Maroko, tapi dia disadarkan oleh gurunya. Selama belajar di tanah suci, banyak ilmu
agama yang dia dapatkan. Antara lain yang dipelajari secara intensif adalah tentang
ilmu tarekat serta memasuki suluk di Jabal Abu Qubais. Dengan pendalaman tersebut
Syekh Muhammad Djamil menjadi seorang ahli tarekat dan bahkan memperoleh ijazah
dari tarekat Naqsabandiyyah-Khalidiyah. Di antara murid-muridnya terdapat beberapa
guru tarekat. Lantaran itulah Syekh Muhammad Djamil Djambek dihormati sebagai
Syekh Tarekat.
Dari semua ilmu yang pernah didalami yang pada akhirnya membuatnya terkenal
adalah tentang ilmu falak, dan belajar dengan Syekh Taher Djalaluddin. Di akhir masa
studinya di Makkah, beliau sempat mengajarkan ilmu falak, yang menjadi bidang
spesialisasi beliau, kepada masyarakat Sumatera dan Jawi yang bermukim di Mekah.
Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Mekah. Oleh sebab itu,
ketika masih berada di tanah suci, Syekh Muhammad Djamil Djambek pun mengajarkan
ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekah.
Seperti, Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abdullah
(pendiri perguruan Tawalib Padang Panjang).
Berpuluh-puluh buku polemik, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Melayu
mulai banyak diterbitkan, dan berbagai majalah, surat kabar yang mewartakan hal-hal
yang berupa pergolakan pemikiran, dan aliran-aliran dalam pemahaman mazhab
dalam syari’at Islam, mulai banyak bermunculan, dan pengamalan dalam adat sesuI
panduan syarak, agama Islam sangat ramai dibicarakan. Salah seorang pelopor gerakan
pembaruan di Minangkabau yang menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah pada
awal abad ke-20 adalah Syekh Ahmad Khatib EL Minangkabawy (1855).2
Syekh Ahmad Khatib adalah turunan dari seorang hakim gerakan Padri yang
sangat anti penjajahan Belanda. Ia dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1855 oleh ibu
bernama Limbak Urai, yang adalah saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo,
2
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942,Jakarta, LP3ES, 1980, hal.38
Laras, Kepala Nagari Ampek Angkek yang berasal dari Koto Tuo Balaigurah, Kecamatan
Ampek Angkek Candung. Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari, saudara dari
Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Kotogadang, Kecamatan IV Koto, di
seberang ngarai Bukittinggi. Baik dari pihak ibu ataupun pihak ayahnya, Ahmad
Khatib adalah anak terpandang, dari kalangan keluarga yang mempunyai latar
belakang agama dan adat yang kuat, anak dan kemenakan dari dua orang tuanku Laras
dari Ampek dan Ampek Angkek. Ditenggarai, bahwa ayah dan ibu Ahmad Khatib
dipertemukan dalam pernikahan berbeda nagari ini, karena sama-sama memiliki
kedudukan yang tinggi dalam adat, dari keluarga tuanku laras, dan latar belakang
pejuang Paderi, dari keluarga Pakih Saghir dan Tuanku nan Tuo.
Sejak kecilnya Ahmad Khatib mendapat pendidikan pada sekolah rendah yang
didirikan Belanda di kota kelahirannya. Ia meninggalkan kampung halamannya pergi
ke Mekah pada tahun 1871 dibawa oleh ayahnya. Sampai dia menamatkan pendidikan,
dan menikah pada 1879 dengan seorang putri Mekah Siti Khadijah, anak dari Syekh
Shaleh al-Kurdi, maka Syekh Ahmad Khatib mulai mengajar dikediamannya di Mekah
tidak pernah kembali ke daerah asalnya.
Syekh Ahmad Khatib, mencapai derajat kedudukan yang tertinggi dalam
mengajarkan agama sebagai imam dari Mazhab Syafei di Masjidil Haram, di Mekah.
Sebagai imam dari Mazhab Syafe’i, ia tidak melarang murid-muridnya untuk
mempelajari tulisan Muhammad Abduh, seorang pembaru dalam pemikiran Islam di
Mesir. Syekh Ahmad Khatib sangat terkenal dalam menolak dua macam kebiasaan di
Minangkabau, yakni peraturan-peraturan adat tentang warisan dan tarekat
Naqsyahbandiyah yang dipraktekkan pada masa itu. Kedua masalah itu terus menerus
dibahasnya, diluruskan dan yang tidak sejalan dengan syari’at Islam ditentangnya.
Pemahaman dan pendalaman dari Syekh Ahmad Khatib el Minangkabawy ini,
kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaruan di Minangkabau, melalui tabligh,
diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama, penerbitan brosur dan surat-kabar
pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti madrasah-madrasah Sumatera Thawalib,
dan Diniyah Puteri, sampai ke nagari-nagari di Minangkabau, sehingga menjadi
pelopor pergerakan merebut kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam beberapa karya
Ahmad Khatib menunjukkan bahwa barang siapa masih mematuhi lembaga-lembaga
“kafir”, adalah kafir dan akan masuk neraka. Kemudian, semua harta benda yang
diperoleh menurut hukum waris kepada kemenakan, menurut pendapat Ahmad
Khatib harus dianggap sebagai harta rampasan.
3 Syekh Djamil Djambek dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1860 , anak dari Muhammad
Saleh Datuk Maleka, Kepala Nagari Kurai. Ibunya berasal dari Betawi. Syekh Djamil
Djambek meninggal tahun 1947 di Bukittinggi.
4
Haji Rasul lahir di Sungai Batang, Maninjau, tahun 1879, anak seorang ulama Syekh
Muhammad Amarullah gelar Tuanku Kisai. Pada 1894, pergi ke Mekah, belajar selama 7
tahun. Sekembali dari Mekah, diberi gelar Tuanku Syekh Nan Mudo. Kemudian kembali
bermukim di Mekah sampai tahun 1906, memberi pelajaran di Mekah, di antara murid-
muridnya termasuk Ibrahim Musa dari Parabek, yang menjadi seorang pendukung
terpenting dari pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau. Haji Rasul meninggal di
jakarta 2 Juni 1945
5
Haji Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878, anak dari Haji Ahmad,
seorang ulama dan pedagang. Ibunya berasal dari Bengkulu, masih trah dari pengikut
Seorang pembaru lainnya adalah Syekh Taher Djalaluddin (1869-1956), pada masa
mudanya dipanggil Muhammad Taher bin Syekh Muhamad, lahir di Ampek Angkek,
Bukittinggi, tahun 1869, anak dari Syekh Cangking, cucu dari Faqih Saghir yang bergelar
Syekh Djalaluddin Ahmad Tuanku Sami’, pelopor kembali ke ajaran syariat bersama
Tuanku Nan Tuo. Syekh Taher Djalaluddin adalah saudara sepupu dari Ahmad Khatib
Mekah 1880, dan menuntut ilmu selama 15 tahun, kemudian meneruskan ke Al Azhar,
di Mesir (1895-1898), dan kembali ke Mekah mengajar sampai tahun 1900. Beliau sangat
ahli di bidang ilmu falak, dan tempat berguru Syekh Muhammad Djamil Djambek.
Mulai tahun 1900 itu, Syekh Taher Djalaluddin menetap di Malaya, pernah diangkat
menjadi Mufti Kerajaan Perak. Eratnya hubungan Syekh Taher Djalaluddin dengan
Syekh Taher Djalaluddin merupakan seorang tertua sebagai pelopor dari ajaran
Ahmad Khatib di Minangkabau dan tanah Melayu. Bahkan ia juga dianggap sebagai
tersebar pada murid-muridnya melalui majalah Al-Imam dan melalui sekolah yang
didirikannya di Singapura bersama Raja Ali Haji bin Ahmad pada tahun 1908. Sekolah
ini bernama Al-Iqbal al-Islamiyah, yang menjadi model Sekolah Adabiyah yang
didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang pada tahun 1908. Majalah Bulanan Al-
dunia, terutama dunia Islam, dan masalah-masalah agama, bahkan mendorong umat
Islam betapa pentingnya memiliki sebuah Negara yang merdeka dan tidak dijajah.
Majalah ini mendorong agar umat Islam mencapai kemajuan dan berkompetisi dengan
dunia barat. Al-Iman sering mengutip pendapat dari Mohammad Abduh yang
dengan tulisan Arab Melayu atau tulisan Jawi, dan disebarkan di Indonesia meliputi
tanah Jawa (Betawi, Jakarta, Cianjur, Semarang, dan Surabaya), Kalimantan (di
Pontianak dan Sambas), Sulawesi (di Makassar). Di Padang, Haji Abdullah Ahmad
mencontoh bentuk dan moto Al-Iman pada majalah yang diterbitkannya di Padang
bernama Al-Munir. Banyak masalah yang dibicarakan pada Al-Iman mendapat tempat
pada Al-Munir. Syekh Taher baru dapat pulang ke Minangkabau pada tahun 1923 dan
tahun 1927, namun ketika itu dia ditangkap dan ditahan oleh Pemerintah Belanda
selama enam bulan, dituduh memfitnah dan menentang penjajahan melalui artikel-
artikelnya di dalam majalah Al Iman itu. Setelah bebas Syekh Taher meninggalkan
kampung halamannya dan tidak pernah kembali lagi ke daerah asalnya. Syekh Taher
Djalaluddin meninggal dunia pada tahun 1956 di Kuala Kangsar, Perak, Malaya.
Gerakan pembaruaan di awal abad ini dapat disebut sebagai gerakan pembaruan
para ulama zuama, yang sesungguhnya telah diwarisi sambung bersambung dalam
rantai sejarah yang berkelanjutan semenjak dari dua gerakan Paderi sebelumnya. Dapat
Minangkabau menjadi mata rantai dari gerakan Paderi periode ketiga. Gerakan Paderi
periode pertama, di awal abad kedelapan belas, dimulai pulangnya tiga serangkai
ulama Minang (1802), terdiri dari Haji Miskin di Pandai Sikek, Luhak Agam, Haji Abdur
Rahman, di Piobang, Luhak Limopuluah, dan Haji Muhammad Arief, di Sumanik, Luhak
nan Tuo, Tanah Datar, yang juga dikenal bergelar Tuanku Lintau, berawal dengan
Gerakan Paderi perode kedua dilanjutkan oleh Tuanku nan Tuo, Tuanku nan Renceh,
Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk Aur, Tuanku di Ladang
Laweh dan Tuanku Imam Bonjol yang berujung dengan perlawaanan terhadap penjajahan
Tuo, yang kemudian berlanjut kepada Gerakan Padri di bawah pimpinan Tuanku Nan
Bonjol, sesungguhnya tidak menentang hukum waris berdasarkan garis ibu. Malahan,
gerakan pembaharuan yang dilaksanakan oleh mereka, sejak Tuanku nan Tuo, Tuanku
nan Renceh, dan Tuanku Imam Bonjol, lebih menguatkan harta pusaka, yang dimaksud
adalah pusaka tinggi itu, dimanfaatkan untuk kesejahteraan kaum, dan oleh karena itu,
pengawasan garis perempuan. Namun mengenai harta pencaharian, kedua gerakan itu
sependapat harus diwariskan kepada anak. Tuanku Imam Bonjol, sadar bahwa setelah
pembagian tugas yang nyata antara adat dan syarak atau agama. Bahwa masalah adat
kepada Tuanku atau malin. Inilah doktrin ajaran adat basandi syarak, syarak basandi
Kitabullah.
berawal dengan kepulangan para penuntut ilmu dari Makkah el Mukarramah, yang
umumnya adalah murid dari Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawiy, telah ikut
ulama, kaum terpelajar, dan ahli-ahli adat, dan ikut pula membukakan kesempatan
bagi lahirnya berbagai jenis perkumpulan yang bertujuan memperdalam ilmu agama
Malaya, dibawa oleh Syekh Taher Jalaluddin yang lebih banyak melaksanakan
kultur yang dipunyai. Ketika arah pembangunan dan perobahan sosial sedang terjadi,
Republik Indonesia, setelah berakhirnya penindasan panjang 350 tahun dijajah Belanda,
dan beralihnya kekuasaan kepada Dai Nippon, maka merebut kemerdekaan menjadi
wajib. Fatwa para ulama dan zuama ikut membentuk dinamika sejarah dan pemikiran
Islam di ranah Minangkabau bergerak cepat, sejak empat puluh tahun sebelumnya juga
telah digerakkan oleh para ulama zuama dengan basis ilmu pengetahuan agama dan
adat istiadat, serta bahasan-bahasan perkembangan politik di Mesir dan Turki masa itu,
ikut mendorong kepada pencarian model yang sesuai dengan yang haq, dan menuntut
pemikiran saja, tetapi menemukan kembali ajaran atau prinsip dasar Islam yang
berlaku abadi yang dapat mengatasi ruang dan waktu. Sementara itu usaha-usaha
pembaruan yang praktis, baik dalam bentuk sekolah dan madrasah-madrasah atau pun
tambahan yang datang kemudian dalam din, agama, dan dengan melepaskan penganut
Mereka berusaha memecahkan tembok tambahan dan jumud itu, agar dapat
menemu kembali isi dan inti ajaran Islam yang sesungguhnya, yang menurut
keyakinannya menjadi cahaya yang dapat menyinari alam ini. Kaum pembaru
berkeyakinan bahwa bab al-ijtihad, masih tetap terbuka; mereka menolak taqlid.
untuk keluar dari situasi yang dianggap tidak sesuai dengan gagasan-gagasan yang
bertentangan. Model barat mungkin baik, tetapi dapat berarti ancaman pada dasar-
dasar agama dan adat. Perubahan yang sesuai dengan ajaran Islam yang ortodoks,
memang merupakan pemecahan. Tetapi bagaimana pula dengan lembaga adat yang
telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Minangkabau? Dan, apa pula
contoh yang bisa diikuti? Tetapi parameter adat sangat terbatas dan bias menutup jalan
ke dunia maju dan mungkin pula menghadapkan diri pada masalah dosa dan tidak
Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947). Pada tahun 1903, dia kembali
pelajaran agama secara tradisional Karena beliau memelihara dengan rapi dan teratur
dari para kalipah tarekat. Setelah beberapa lama, Syekh Muhammad Djambek berpikir
pengetahuannya, walaupun tidak melalui lembaga atau organisasi. Dia begitu tertarik
mulai ditinggalkannya sejak usia 22 tahun (1888) di Kamang, sebuah nagari pusat
pembaruan Islam di bawah Tuanku nan Renceh pada abad ke-19. Hingga kemudian dia
mendirikan dua buah surau di Kamang (1905), dan Surau Tengah Sawah(1908).
Keduanya dikenal sebagai Surau tempat mengaji dengan Inyik Djambek. Di Kamang
Akhirnya, ia sampai pada pemikiran, bahwa sebagian besar anak nagari tidak
melaksanakan ajaran agama dengan sempurna bukan karena kurang keimanan dan
ketaqwaannya, tetapi karena pengetahuan mereka kurang tentang ajaran Islam itu
mendekati ninik mamak dan membicarakan berbagai masalah masyarakat. Islam sesuai
dengan tuntutan zaman dan keadaan. Islam juga berarti kemajuan, agama Islam tidak
ajarannya telah diungkapkan oleh para nabi, yang diutus kepada semua bangsa (QS.
10;47;2: 164; 35:24; 40:78). Tugas mereka diselesaikan oleh Nabi Muhammad saw, rasul
Cita-cita pikiran untuk memajukan umat dengan agama Islam yang demikian,
hanya dapat dicapai melalui pengamalan syariat, yang terbagi kepada tauhid dan
ibadat. Dalam ibadah, semuanya terlarang, kecuali yang disuruh. Jadi cara-cara
beribadah telah diperintahkan. Di tradisi-tradisi baru yang tidak ada perintahnya, maka
yang dibedakan atas dua jenis, yaitu bid’ah menurut hukum (syar’iyah) tidak dapat
dibiarkan berlaku, karena itu perlu diteliti dalam segala hal, apakah yang lazim
kepada salah satu tiang hukum (Quran, Sunnah, Ijma’, Qiyas). Di samping itu ada pula
bid’ah dalam soal kepercayaan (bid’ah pada I’tikad), sebagaimana ada pula bid’ah pada
Sudah mulai agak janggal pula kedengarannya bila menyebut kata-kata ini yang
sudah begitu lama kita kunyah. Tetapi, yang masih sedikit sekali berjumpa
pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kehidupan modern dengan alat-alat penghubungnya yang serba lengkap,
automobil, kereta api, kapal terbang, telepon, pers, radio, televisi, semua itu ternyata
gagal dalam menghubungkan jiwa dan jiwa, dalam ikatan persaudaraan yang ikhlas
dan hakiki.
Rupanya, soalnya bukan soal alat. Soalnya terletak pada jiwa yang akan
mempergunakan alat penghubung itu sendiri. Secanggih-canggih kamera atau seaik-
baik alat pemotret, niscaya tidak bisa memproduksi gambar seseorang yang tidak ada.
Alat-alat komunikasi yang ultra modern yang dapat menyampaikan pesan kepada
satu satelit di luar bumi dengan tekanan suatu knop saja, alat-alat semacam itu tidak
mampu menghubungkan rasa muhibbah itu sendiri yang tidak ada.
Alat-alat komunikasi sebagai hasil dari teknik modern ini telah dapat
memperpendek jarak sampai sependek-pendeknya. Akan tetapi jarak jiwa dan rasa
manusia tidak bertambah pendek lantarannya.
Malah sebaliknya yang seringkali kita jumpai. Hidup bernafsi-nafsi, siapa lu siapa
gua, semakin merajalela.
Inilah problematika dunia umumnya sekarang ini, di tengah-tengah kemajuan
material dan teknik yang sudah dapat dicapai manusia di abad ini.
Ini juga problematika yang dihadapi manusia Umat Islam khususnya.
bidang profesi, di antaranya kalangan ulama (Haji Rasul), kalangan pedagang (H.
Abdullah Ahmad), dan pada umumnya berhasil melepas dirinya dari tradisi yang ada,
seperti Syekh Djamil Djambek, Haji Rasul, Haji Abdullah Ahmad dan Ibrahim Musa
Sumatra Barat. Adakalanya mereka dinamakan kaum modernist atau disebut juga kaum
muda.
Salah seorang di antara kaum pembaru itu adalah H.Abdullah Ahmad berkali-
kali berkata, bahwa di setiap bidang boleh mempergunakan akal, yang sebenarnya
adalah kurnia Tuhan, kecuali bidang agama. Jika kepercayaan tetap merupakan
penerimaan saja atas wibawa guru- atau taqlid, maka kepercayaan itu tidak ada
gunanya. Orang berakal harus pujaannya Allah dan untuk itu dipelajarinya akar-akar
hukum (ushul al-fiqh). Untuk mengenalkan semua inti ajaran agama Islam ini kepada
Malah dikalangan kaum yang hidup sederhana itulah kita banyak berjumpa "suasana
Dan ...., sekiranya ukhuwwah itu dapat ditumbuhkan hanya dengan mendirikan
amal kecil yang semacam itu, kecil-kecil tapi keluar dari hati yang ikhlas dan penuh
rasa persaudaraan.
Kemudian sampai pula kepada persoalan yang lebih sensitif- sampai dimanakah
menyebarkan nasionalisme anti kolonial menuju Indonesia Raya tidak terlepas dari
pergolakan intelektual ini. Tidak saja masalah fikh, tetapi juga masalah tauhid harus
dihadapi dengan pikiran yang terbuka. Perbedaan yang fundamental antara inovasi
yang menyalahi hukum hakiki, yang bersumber Quran dan Hadits, dan pembaruan
Sedangkan selama ini, kita lebih tertarik oleh cara-cara borongan, demonstratif,
dengan berteras keluar, asal kelihatan oleh orang banyak. Membangun kembali
ukhuwwah atau pergaulan dan persaudaraan yang Islami memerlukan peninjauan dan
bidang profesi, di antaranya kalangan ulama (Haji Rasul), kalangan pedagang (H.
Abdullah Ahmad), dan pada umumnya berhasil melepas dirinya dari tradisi yang ada,
seperti Syekh Djamil Djambek, Haji Rasul, Haji Abdullah Ahmad dan Ibrahim Musa
Adakalanya mereka dinamakan kaum modernist atau disebut juga kaum muda. Salah
seorang di antara kaum pembaru itu adalah H.Abdullah Ahmad berkali-kali berkata,
bahwa di setiap bidang boleh mempergunakan akal, yang sebenarnya adalah kurnia
Tuhan, kecuali bidang agama. Jika kepercayaan tetap merupakan penerimaan saja atas
wibawa guru- atau taqlid, maka kepercayaan itu tidak ada gunanya. Orang berakal
harus pujaannya Allah dan untuk itu dipelajarinya akar-akar hukum (ushul al-fiqh).
Untuk mengenalkan semua inti ajaran agama Islam ini kepada masyarakat luas
Sumatra Barat. Mengutip Ensiklopedi Islam, Syekh Muhammad Djambek juga dikenal
sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig di muka umum.
Barzanji (rawi) atau marhaban (puji-pujian) yang biasanya dibacakan di surau-surau
saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, digantinya dengan tablig yang
menceritakan riwayat lahir Nabi Muhammad dalam bahasa Melayu. Demikian pula
kebiasaan membaca riwayat Isra Mi'raj Nabi Muhammad dari kitab berbahasa Arab,
digantinya dengan tablig yang menceritakan peristiwa tersebut dalam bahasa Melayu,
sehingga dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat. Termasuk juga tradisi membaca
kitab, digantinya dengan membahas masalah kehidupan sehari-hari, dalam satu tradisi
ilmu. Semua itu dilakukan karena agama diperuntukkan bagi siapa saja yang dapat
memahaminya. Ia pun dikenal sebagai ulama yang lebih bergiat di aktivitas tablig dan
ceramah, yang kemudian diikuti oleh para pembaru lainnya di ranah Minangkabau.
berubah, dan Syekh Muhammad Djambek kini tidak lagi tertarik pada tarekat. Pada
awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat
pihak yang menentang tarekat. Dia "berhadapan" dengan Syekh Bayang dan Haji
Abbas yang membela tarekat. Kemudian dia menulis buku mengenai kritik terhadap
tarekat berjudul Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan Segala
yang Berhubungan dengan Dia, terdiri atas dua jilid. Salah satu penjelasan dalam buku
itu, yakni tarekat Naksyabandiyyah diciptakan oleh orang dari Persia dan India.
Syekh Muhammad Djambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu penuh
takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam. Buku lain yang
mewujudkan pembaruan pemikiran Islam. Akan tetapi secara umum dia bersikap tidak
ingin bermusuhan dengan adat istiadat Minangkabau. Tahun 1929, Syekh Muhammad
Djamil Djambek tidak banyak menulis dalam majalah Al-Munir. Djamil Djambek
jadwal waktu sembahyang serta untuk keperluan berpuasa di dalam bulan Ramadhan.
Jadwal ini diterbitkan tiap tahun atas namanya mulai tahun 1911, dan karena Inyik
Djambek dikenal sebagai Bapak Ilmu Falak, beliau menerbitkan Natijah Durriyyah
untuk masa 100 tahun. Walaupun masalah ini sangat dipertikaikan dengan kaum
tradisionalis.
Di samping kegiatan Inyik Djambek mengajar dan menulis, beliaupun aktif dalam
kecil dan brosur tentang pelajaran agama tanpa mencari keuntungan. Beberapa tahun
ia bergerak di dalam organisasi ini sampai menjadi perusahaan yang bersifat komersial.
Syekh Djamil Djambek secara formal tidak mengikat dirinya pada suatu
tersebut.
Beliau tercatat sebagai pendiri dari Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), yang
Di samping juga untuk memelihara dan mengusahakan agar Islam terhindar dari
bahaya yang dapat merusaknya. Selain itu, dia juga turut menghadiri kongres pertama
Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau tahun 1939. Yang tak kalah
Pada 30 Desember 1947 (18 Shafar 1366 H), Inyik Djambek wafat, meninggalkan
pusaka besar, wirid tsulasa (setiap hari Selasa), yang tetap hidup sampai sekarang.
Beberapa bulan setelah itu, 26 Januari 1948 (14 Rabi’ul awal 1366 H), teman akrab
Inyik Djambek dalam berdakwah, yakni Inyik Syekh Daud Rasyidy (terkenal dengan
sebutan Inyik Daud, ayah Buya Datuk Palimo Kayo), meninggal dunia pula di Surau
Inyik Djambek di Tangah Sawah ini, ketika mengimami shalat maghrib, dan besoknya
ini, kita dapati makam kembar di samping surau Inyik Djambek ini.