You are on page 1of 20

Syekh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat awal

abad ke-20,

MATA RANTAI GERAKAN PEMBARUAN PEMIKIRAN


DAN PENGAMALAN ISLAM DI MINANGKABAU
Oleh : H. Mas’oed abidin

Pada awal abad ke-20, di Sumatera Barat ditandai dengan periode yang penuh
pergolakan sosial dan intelektual. Di awali dengan pulangnya tiga ulama
Minangkabau selepas menuntut ilmu di Mekah, yaitu Inyik Djambek, Inyik Rasul dan
Inyik Abdullah Ahmad membawa modernisasi Islam ajaran Muhammad Abduh dan
Jamaluddin al-Afghani dari Mesir. Gerakan ini tidak hanya dimotivasi oleh gerakan
pembaharuan yang sudah berkembang di Mesir tapi juga oleh dorongan rivalitas
terhadap golongan berpendidikan Barat yang cara material dan sosial terlihat lebih
bergengsi.
Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947)1, adalah adalah satu dari tiga
ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat di awal abad ke-20, dilahirkan di
Bukittinggi (), terkenal sebagai ahli ilmu falak terkemuka. Nama Syekh Muhammad
Djamil Djambek lebih dikenal dengan sebutan Inyik Syekh Muhammad Djamil
Djambek atau Inyik Djambek, dilahirkan dari keluarga bangsawan. Dia juga
merupakan keturunan penghulu. Ayahnya bernama Saleh Datuk Maleka, seorang
kepala nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda.
Masa kecilnya tidak banyak sumber yang menceritakan. Namun, yang jelas
Muhammad Djamil mendapatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rendah yang
khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru (Kweekschool). Sampai
umur 22 tahun ia berada dalam kehidupan parewa, satu golongan orang muda-muda
yang tidak mau mengganggu kehidupan keluarga, pergaulan luas di antara kaum
parewa berlainan kampung dan saling harga menghargai, walau ketika itu kehidupan
parewa masih senang berjudi, menyabung ayam, namun mereka ahli dalam pencak

1 Syekh Djamil Djambek dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1860. Terdapat perbedaan
pencatatan dalam Syekh Ahmad Khatib, ditulis Drs.Akhira Nazwar, Pustaka Panjimas,
Jakarta, Cet.I, Juli 1983, hal.53 disebut tahun 1983. Tetapi dalam Riwayat Hidup dan
Perjuangan Dua Puluh Ulama Besar Sumatera Barat, Padang, Islamic Center Suimatera
Barat, 1981,hal.55, dicatata tanggal dan tahun kelahiran Inyik Djambek 13 Sya’ban 1279
H./1862 M Sebenarnya yang tepat adalah 4 Januari 1863 M, tulis DrsEdwar dkk. Mengutip
Ensiklopedi Islam Indonesia (EII), Jakarta Djambatan, 2002, Cet.2 ed. Revisi, hal.520-
521,Syekh Djamil Djambek lahir 1860, dan meninggal 30 Desember 1947/18 Sfafar 1366
H, di Bukittinggi, dalam usia 87 tahun.

1 Dokumentasi H. Mas’oed Abidin


Syekh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat awal
abad ke-20,

dan silat. Semenjak berumur 22 tahun, Mohammad Djamil mulai tertarik pada
pelajaran agama dan bahasa Arab. Ia belajar pada surau di Koto Mambang, Pariaman
dan di Batipuh Baruh.
Ayahnya membawanya ke Mekah pada tahun 1896 dan bermukim di sana selama
9 tahun lamanya mempelajari soal-soal agama. Guru-gurunya di Mekah, antara
lain,adalah Taher Djalaluddin, Syekh Bafaddhal, Syekh Serawak dan Syekh Ahmad
Khatib. Ketika itu dia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Semula
Muhammad Djamil tertarik untuk mempelajari ilmu sihir kepada seorang guru dari
Maroko, tapi dia disadarkan oleh gurunya. Selama belajar di tanah suci, banyak ilmu
agama yang dia dapatkan. Antara lain yang dipelajari secara intensif adalah tentang
ilmu tarekat serta memasuki suluk di Jabal Abu Qubais. Dengan pendalaman tersebut
Syekh Muhammad Djamil menjadi seorang ahli tarekat dan bahkan memperoleh ijazah
dari tarekat Naqsabandiyyah-Khalidiyah. Di antara murid-muridnya terdapat beberapa
guru tarekat. Lantaran itulah Syekh Muhammad Djamil Djambek dihormati sebagai
Syekh Tarekat.
Dari semua ilmu yang pernah didalami yang pada akhirnya membuatnya terkenal
adalah tentang ilmu falak, dan belajar dengan Syekh Taher Djalaluddin. Di akhir masa
studinya di Makkah, beliau sempat mengajarkan ilmu falak, yang menjadi bidang
spesialisasi beliau, kepada masyarakat Sumatera dan Jawi yang bermukim di Mekah.
Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Mekah. Oleh sebab itu,
ketika masih berada di tanah suci, Syekh Muhammad Djamil Djambek pun mengajarkan
ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekah.
Seperti, Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abdullah
(pendiri perguruan Tawalib Padang Panjang).
Berpuluh-puluh buku polemik, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Melayu
mulai banyak diterbitkan, dan berbagai majalah, surat kabar yang mewartakan hal-hal
yang berupa pergolakan pemikiran, dan aliran-aliran dalam pemahaman mazhab
dalam syari’at Islam, mulai banyak bermunculan, dan pengamalan dalam adat sesuI
panduan syarak, agama Islam sangat ramai dibicarakan. Salah seorang pelopor gerakan
pembaruan di Minangkabau yang menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah pada
awal abad ke-20 adalah Syekh Ahmad Khatib EL Minangkabawy (1855).2
Syekh Ahmad Khatib adalah turunan dari seorang hakim gerakan Padri yang
sangat anti penjajahan Belanda. Ia dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1855 oleh ibu
bernama Limbak Urai, yang adalah saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo,
2
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942,Jakarta, LP3ES, 1980, hal.38

2 Dokumentasi H. Mas’oed Abidin


Syekh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat awal
abad ke-20,

Laras, Kepala Nagari Ampek Angkek yang berasal dari Koto Tuo Balaigurah, Kecamatan
Ampek Angkek Candung. Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari, saudara dari
Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Kotogadang, Kecamatan IV Koto, di
seberang ngarai Bukittinggi. Baik dari pihak ibu ataupun pihak ayahnya, Ahmad
Khatib adalah anak terpandang, dari kalangan keluarga yang mempunyai latar
belakang agama dan adat yang kuat, anak dan kemenakan dari dua orang tuanku Laras
dari Ampek dan Ampek Angkek. Ditenggarai, bahwa ayah dan ibu Ahmad Khatib
dipertemukan dalam pernikahan berbeda nagari ini, karena sama-sama memiliki
kedudukan yang tinggi dalam adat, dari keluarga tuanku laras, dan latar belakang
pejuang Paderi, dari keluarga Pakih Saghir dan Tuanku nan Tuo.

3 Dokumentasi H. Mas’oed Abidin


Syekh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat awal
abad ke-20,

Sejak kecilnya Ahmad Khatib mendapat pendidikan pada sekolah rendah yang
didirikan Belanda di kota kelahirannya. Ia meninggalkan kampung halamannya pergi
ke Mekah pada tahun 1871 dibawa oleh ayahnya. Sampai dia menamatkan pendidikan,
dan menikah pada 1879 dengan seorang putri Mekah Siti Khadijah, anak dari Syekh
Shaleh al-Kurdi, maka Syekh Ahmad Khatib mulai mengajar dikediamannya di Mekah
tidak pernah kembali ke daerah asalnya.
Syekh Ahmad Khatib, mencapai derajat kedudukan yang tertinggi dalam
mengajarkan agama sebagai imam dari Mazhab Syafei di Masjidil Haram, di Mekah.
Sebagai imam dari Mazhab Syafe’i, ia tidak melarang murid-muridnya untuk
mempelajari tulisan Muhammad Abduh, seorang pembaru dalam pemikiran Islam di
Mesir. Syekh Ahmad Khatib sangat terkenal dalam menolak dua macam kebiasaan di
Minangkabau, yakni peraturan-peraturan adat tentang warisan dan tarekat
Naqsyahbandiyah yang dipraktekkan pada masa itu. Kedua masalah itu terus menerus
dibahasnya, diluruskan dan yang tidak sejalan dengan syari’at Islam ditentangnya.
Pemahaman dan pendalaman dari Syekh Ahmad Khatib el Minangkabawy ini,
kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaruan di Minangkabau, melalui tabligh,
diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama, penerbitan brosur dan surat-kabar
pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti madrasah-madrasah Sumatera Thawalib,
dan Diniyah Puteri, sampai ke nagari-nagari di Minangkabau, sehingga menjadi
pelopor pergerakan merebut kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam beberapa karya
Ahmad Khatib menunjukkan bahwa barang siapa masih mematuhi lembaga-lembaga
“kafir”, adalah kafir dan akan masuk neraka. Kemudian, semua harta benda yang
diperoleh menurut hukum waris kepada kemenakan, menurut pendapat Ahmad
Khatib harus dianggap sebagai harta rampasan.

4 Dokumentasi H. Mas’oed Abidin


Syekh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat awal
abad ke-20,

Pemikiran-pemikiran yang disampaikan Ahmad Khatib memicu pembaruan


pemikiran Islam di Minangkabau. Di pihak lain perlawanan yang berarti terhadap
pemikiran Ahmad Khatib datang dari kalangan Islam tradisi yang adakalanya disebut
kaum tua. Kecamannya mengenai tarekat, telah dijawab oleh Syekh Muhamamad Saat bin
Tanta’ dari Mungkar dan Syekh Khatib Ali di Padang jang menerbitkan beberapa tulisan
tentang itu. Kecamannya dalam harta warisan, menumbuhkan kesadaran banyak orang
Minangkabau memahami, bahwa tidak dapat disesuaikan hukum waris matrilineal
dengan hukum agama. Di antara guru agama banyak juga yang tidak dapat menyetujui
pendirian Ahmad Khatib, yang dianggap tidak kenal damai. Walaupun pikiran-pikiran
itu mendapat tantangan dari kaum adat, maupun muridnya yang tidak menyetujui
pemikiran demikian, namun perbedaan pendapat ini telah melahirkan hasrat untuk
lebih berkembang, menghidupkan kembali kesadaran untuk pengenalan kembali diri
sendiri, yaitu kesadaran untuk meninggalkan keterbelakangan. Syekh Ahmad Khatib al
Minangkabawy menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah melalui tulisan-
tulisannya di majalah atau buku-buku agama Islam, dan melalui murid-murid yang
belajar kepadanya. Dengan cara itu, beliau memelihara hubungan dengan daerah
asalnya Minangkabau, melalui murid-muridnya yang menunaikan ibadah haji ke
Mekah, dan yang belajar padanya. Mereka inilah kemudian menjadi guru di daerah
asalnya masing-masing.

5 Dokumentasi H. Mas’oed Abidin


Syekh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat awal
abad ke-20,

Ulama zuama bekas murid Ahmad Khatib, mulai mengetengahkan pemikiran,


manakala Islam bermaksud tetap memuaskan pengikutnya, maka harus terjadi suatu
pembaruan. Setiap periode dalam sejarah peradaban manusia, melahirkan pembaruan
pemikiran agama yang bertujuan memperbaiki pola penghidupan umatnya. Cita-cita
itu ditemukan kembali dalam agama. Cara berpikir seorang beragama Islam bertolak
dari anggapan keyakinan, bahwa Islam itu tidak mungkin memusuhi kebudayaan.
Dengan kemajuan cara berpikir orang berusaha menemukan kembali cita-citanya
dalam Islam. Timbul pertanyaan, apakah di dalam Islam ada unsur yang menyangkut
kepada cita-cita persamaan, kebangsaan, hasrat untuk maju dan rasionalisme.
Keunggulan dari Syekh Ahmad Khatib dalam memberikan pelajaran kepada muridnya,
selalu menghindari sikap taqlid.
Salah seorang dari muridnya, yakni H.Abdullah Ahmad, yang kemudian menjadi
salah seorang di antara para ulama dan zuama, pemimpin kaum pembaru di
Minangkabau, pendiri Sumatera Thawalib, yang berawal dari pengajian di Masjid
Zuama, Jembatan Besi, Padangpanjang, dan kemudian mendirikan pula Persatuan
Guru Agama Islam (PGAI), di Jati, Padang, telah mengembangkan ajaran gurunya
melalui pendidikan dan pencerahan tradisi ilmu dan mendorong pula para muridnya
untuk mempergunakan akal yang sesungguhnya adalah kurnia Allah. Jika kepercayaan
hanya tumbuh semata-mata karena penerimaan atas wibawa guru semata, maka
kepercayaan itu tidak ada harganya, dan itulah yang membuka pintu taqlid.
Peperangan melawan penjajahan asing tidak semata-mata dengan menggunakan
senjata, bedil dan kelewang, tetapi pencerdasan anak kemenakan dengan memberikan
senjata tradisi ilmu.
Murid-muridnya kemudian menjadi penggerak pembaruan pemikiran Islam di
Minangkabau, seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947)3, Haji Abdul
Karim Amarullah (1879-1945) 4, dan Haji Abdullah Ahmad (1878 – 1933)5.

3 Syekh Djamil Djambek dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1860 , anak dari Muhammad
Saleh Datuk Maleka, Kepala Nagari Kurai. Ibunya berasal dari Betawi. Syekh Djamil
Djambek meninggal tahun 1947 di Bukittinggi.
4
Haji Rasul lahir di Sungai Batang, Maninjau, tahun 1879, anak seorang ulama Syekh
Muhammad Amarullah gelar Tuanku Kisai. Pada 1894, pergi ke Mekah, belajar selama 7
tahun. Sekembali dari Mekah, diberi gelar Tuanku Syekh Nan Mudo. Kemudian kembali
bermukim di Mekah sampai tahun 1906, memberi pelajaran di Mekah, di antara murid-
muridnya termasuk Ibrahim Musa dari Parabek, yang menjadi seorang pendukung
terpenting dari pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau. Haji Rasul meninggal di
jakarta 2 Juni 1945
5
Haji Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878, anak dari Haji Ahmad,
seorang ulama dan pedagang. Ibunya berasal dari Bengkulu, masih trah dari pengikut

6 Dokumentasi H. Mas’oed Abidin


Syekh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat awal
abad ke-20,

Seorang pembaru lainnya adalah Syekh Taher Djalaluddin (1869-1956), pada masa

mudanya dipanggil Muhammad Taher bin Syekh Muhamad, lahir di Ampek Angkek,

Bukittinggi, tahun 1869, anak dari Syekh Cangking, cucu dari Faqih Saghir yang bergelar

Syekh Djalaluddin Ahmad Tuanku Sami’, pelopor kembali ke ajaran syariat bersama

Tuanku Nan Tuo. Syekh Taher Djalaluddin adalah saudara sepupu dari Ahmad Khatib

Al Minangkabawy, karena ibunya adik beradik. Syekh Taher Djalaluddin, berangkat ke

Mekah 1880, dan menuntut ilmu selama 15 tahun, kemudian meneruskan ke Al Azhar,

di Mesir (1895-1898), dan kembali ke Mekah mengajar sampai tahun 1900. Beliau sangat

ahli di bidang ilmu falak, dan tempat berguru Syekh Muhammad Djamil Djambek.

Mulai tahun 1900 itu, Syekh Taher Djalaluddin menetap di Malaya, pernah diangkat

menjadi Mufti Kerajaan Perak. Eratnya hubungan Syekh Taher Djalaluddin dengan

perguruan tinggi Al-Azhar di Kairo, dia tambahkan al-Azhari di belakang namanya.

Syekh Taher Djalaluddin merupakan seorang tertua sebagai pelopor dari ajaran

Ahmad Khatib di Minangkabau dan tanah Melayu. Bahkan ia juga dianggap sebagai

guru oleh kalangan pembaru di Minangkabau. Pengaruh Syekh Taher Djalaluddin

tersebar pada murid-muridnya melalui majalah Al-Imam dan melalui sekolah yang

didirikannya di Singapura bersama Raja Ali Haji bin Ahmad pada tahun 1908. Sekolah

ini bernama Al-Iqbal al-Islamiyah, yang menjadi model Sekolah Adabiyah yang

didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang pada tahun 1908. Majalah Bulanan Al-

Imam memuat artikel tentang pengetahuan popular, komentar kejadian penting di

dunia, terutama dunia Islam, dan masalah-masalah agama, bahkan mendorong umat

Islam betapa pentingnya memiliki sebuah Negara yang merdeka dan tidak dijajah.

Majalah ini mendorong agar umat Islam mencapai kemajuan dan berkompetisi dengan

dunia barat. Al-Iman sering mengutip pendapat dari Mohammad Abduh yang

dikemukakan majalah Al-Mannar di Mesir. Majalah ini memakai bahasa Melayu

pejuang Sentot Ali Basyah.

7 Dokumentasi H. Mas’oed Abidin


Syekh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat awal
abad ke-20,

dengan tulisan Arab Melayu atau tulisan Jawi, dan disebarkan di Indonesia meliputi

tanah Jawa (Betawi, Jakarta, Cianjur, Semarang, dan Surabaya), Kalimantan (di

Pontianak dan Sambas), Sulawesi (di Makassar). Di Padang, Haji Abdullah Ahmad

mencontoh bentuk dan moto Al-Iman pada majalah yang diterbitkannya di Padang

bernama Al-Munir. Banyak masalah yang dibicarakan pada Al-Iman mendapat tempat

pada Al-Munir. Syekh Taher baru dapat pulang ke Minangkabau pada tahun 1923 dan

tahun 1927, namun ketika itu dia ditangkap dan ditahan oleh Pemerintah Belanda

selama enam bulan, dituduh memfitnah dan menentang penjajahan melalui artikel-

artikelnya di dalam majalah Al Iman itu. Setelah bebas Syekh Taher meninggalkan

kampung halamannya dan tidak pernah kembali lagi ke daerah asalnya. Syekh Taher

Djalaluddin meninggal dunia pada tahun 1956 di Kuala Kangsar, Perak, Malaya.

Gerakan pembaruaan di awal abad ini dapat disebut sebagai gerakan pembaruan

para ulama zuama, yang sesungguhnya telah diwarisi sambung bersambung dalam

rantai sejarah yang berkelanjutan semenjak dari dua gerakan Paderi sebelumnya. Dapat

pula dinyatakan bahwa gerakan pembaruan ulama zuama di awal abad 20 di

Minangkabau menjadi mata rantai dari gerakan Paderi periode ketiga. Gerakan Paderi

periode pertama, di awal abad kedelapan belas, dimulai pulangnya tiga serangkai

ulama Minang (1802), terdiri dari Haji Miskin di Pandai Sikek, Luhak Agam, Haji Abdur

Rahman, di Piobang, Luhak Limopuluah, dan Haji Muhammad Arief, di Sumanik, Luhak

nan Tuo, Tanah Datar, yang juga dikenal bergelar Tuanku Lintau, berawal dengan

penyadaran semangat beragama Islam di dalam kehidupan beradat di Minangkabau.

Gerakan Paderi perode kedua dilanjutkan oleh Tuanku nan Tuo, Tuanku nan Renceh,
Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk Aur, Tuanku di Ladang

Laweh dan Tuanku Imam Bonjol yang berujung dengan perlawaanan terhadap penjajahan

Belanda (1821-1837), dan lahirnya piagam Marapalam yang menyepakati adaik

basandi syarak, syarak basandi Kitabullah di ranah Minangkabau.

8 Dokumentasi H. Mas’oed Abidin


Syekh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat awal
abad ke-20,

Gerakan Kembali ke Syariat yang dilaksanakan di bawah bimbingan Tuanku Nan

Tuo, yang kemudian berlanjut kepada Gerakan Padri di bawah pimpinan Tuanku Nan

Renceh, yang kemudian sambung bersambung di bawah pimpinan Tuanku Imam

Bonjol, sesungguhnya tidak menentang hukum waris berdasarkan garis ibu. Malahan,

gerakan pembaharuan yang dilaksanakan oleh mereka, sejak Tuanku nan Tuo, Tuanku

nan Renceh, dan Tuanku Imam Bonjol, lebih menguatkan harta pusaka, yang dimaksud

adalah pusaka tinggi itu, dimanfaatkan untuk kesejahteraan kaum, dan oleh karena itu,

harta pusaka dimaksud diturunkan kepada kemenakan, dan ditempatkan pada

pengawasan garis perempuan. Namun mengenai harta pencaharian, kedua gerakan itu

sependapat harus diwariskan kepada anak. Tuanku Imam Bonjol, sadar bahwa setelah

utusan anak kemenakannya mempelajari hukum Islam ke tanah Mekah, menyatakan

pembagian tugas yang nyata antara adat dan syarak atau agama. Bahwa masalah adat

dikembalikan kepada Basa dan Penghulu, sedangkan masalah agama diserahkan

kepada Tuanku atau malin. Inilah doktrin ajaran adat basandi syarak, syarak basandi

Kitabullah.

Gerakan pembaruan ulama zuama di awal abad ke 20 di ranah Minangkabau ini,

berawal dengan kepulangan para penuntut ilmu dari Makkah el Mukarramah, yang

umumnya adalah murid dari Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawiy, telah ikut

memberikan sumbangan bagi pencerahan pemahaman dan pengamalan syari’at Islam,

dan mendorong bagi munculnya perdebatan-perdebatan umum yang diikuti para

ulama, kaum terpelajar, dan ahli-ahli adat, dan ikut pula membukakan kesempatan

bagi lahirnya berbagai jenis perkumpulan yang bertujuan memperdalam ilmu agama

dan adat istiadat, serta mendorong tumbuhnya pendidikan Islam, madrasah-madrasah

samapai ke nagari-nagari, dan berdiri pula berjenis organisasi pergerakan, seperti

Tarbiyah Islamiyah, Adabiyyah, Muhammadiyah, dan meluas sampai ke semenanjung

9 Dokumentasi H. Mas’oed Abidin


Syekh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat awal
abad ke-20,

Malaya, dibawa oleh Syekh Taher Jalaluddin yang lebih banyak melaksanakan

dakwahnya di tanah semenjanjung itu.

Tak kurang penting timbulnya pergolakan-pergolakan kecil di beberapa tempat,

biasanya membayangkan dinamika masyarakat adat dan agama di dalam membangun

masyarakat di Minangkabau yang sedang mengalami perubahan, menumbuhkan

keinginan baru untuk melakukan proses pemeriksaan kembali terhadap nilai-nilai

kultur yang dipunyai. Ketika arah pembangunan dan perobahan sosial sedang terjadi,

menuju suasana merebut kemerdekaan dan menjelang proklamasi kemerdekaan

Republik Indonesia, setelah berakhirnya penindasan panjang 350 tahun dijajah Belanda,

dan beralihnya kekuasaan kepada Dai Nippon, maka merebut kemerdekaan menjadi

wajib. Fatwa para ulama dan zuama ikut membentuk dinamika sejarah dan pemikiran

Islam di ranah Minangkabau bergerak cepat, sejak empat puluh tahun sebelumnya juga

telah digerakkan oleh para ulama zuama dengan basis ilmu pengetahuan agama dan

adat istiadat, serta bahasan-bahasan perkembangan politik di Mesir dan Turki masa itu,

ikut mendorong kepada pencarian model yang sesuai dengan yang haq, dan menuntut

sikap beragama yang rasional, serta menumbuh kembangkan semangat kemerdekaan

dalam berbangsa dan bernegara.

Pembaruan Islam di Minangkabau bukan semata terbatas pada kegiatan serta

pemikiran saja, tetapi menemukan kembali ajaran atau prinsip dasar Islam yang

berlaku abadi yang dapat mengatasi ruang dan waktu. Sementara itu usaha-usaha

pembaruan yang praktis, baik dalam bentuk sekolah dan madrasah-madrasah atau pun

kerajinan desa, mulai bermunculan. Kaum pembaru pemikiran Islam berusaha

mengembalikan ajaran dasar agama Islam dengan menghilangkan segala macam

tambahan yang datang kemudian dalam din, agama, dan dengan melepaskan penganut

Islam dari jumud, kebekuan dalam masalah dunia.

10 Dokumentasi H. Mas’oed Abidin


Syekh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat awal
abad ke-20,

Mereka berusaha memecahkan tembok tambahan dan jumud itu, agar dapat

menemu kembali isi dan inti ajaran Islam yang sesungguhnya, yang menurut

keyakinannya menjadi cahaya yang dapat menyinari alam ini. Kaum pembaru

berkeyakinan bahwa bab al-ijtihad, masih tetap terbuka; mereka menolak taqlid.

Ijtihad membawa kaum pembaru untuk lebih memperhatikan pendapat. Keinginan

untuk keluar dari situasi yang dianggap tidak sesuai dengan gagasan-gagasan yang

ideal menghadapkan Minangkabau pada pilihan-pilihan yang kadang-kadang saling

bertentangan. Model barat mungkin baik, tetapi dapat berarti ancaman pada dasar-

dasar agama dan adat. Perubahan yang sesuai dengan ajaran Islam yang ortodoks,

memang merupakan pemecahan. Tetapi bagaimana pula dengan lembaga adat yang

telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Minangkabau? Dan, apa pula

contoh yang bisa diikuti? Tetapi parameter adat sangat terbatas dan bias menutup jalan

ke dunia maju dan mungkin pula menghadapkan diri pada masalah dosa dan tidak

berdosa, soal batil dan haq.

Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947). Pada tahun 1903, dia kembali

ke tanah air. Sekembalinya dari Mekah, Mohammad Djamil mulai memberikan

pelajaran agama secara tradisional Karena beliau memelihara dengan rapi dan teratur

jambang dan jenggotnya, maka muridnya mulai menyebutnya dengan Syekh

Muhammad Djamil Djambek, atau Inyik Djambek. Murid-muridnya kebanyakan terdiri

dari para kalipah tarekat. Setelah beberapa lama, Syekh Muhammad Djambek berpikir

melakukan kegiatan alternatif. Hatinya memang lebih condong untuk memberikan

pengetahuannya, walaupun tidak melalui lembaga atau organisasi. Dia begitu tertarik

pada usaha meningkatkan keimanan seseorang. Kemudian ia meninggalkan

Bukittinggi dan kembali mendatangi teman-temannya dalam kehidupan parewa yang

mulai ditinggalkannya sejak usia 22 tahun (1888) di Kamang, sebuah nagari pusat

pembaruan Islam di bawah Tuanku nan Renceh pada abad ke-19. Hingga kemudian dia

11 Dokumentasi H. Mas’oed Abidin


Syekh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat awal
abad ke-20,

mendirikan dua buah surau di Kamang (1905), dan Surau Tengah Sawah(1908).

Keduanya dikenal sebagai Surau tempat mengaji dengan Inyik Djambek. Di Kamang

pula ia mulai menyebarkan pengetahuan agama untuk meningkatkan iman.

Akhirnya, ia sampai pada pemikiran, bahwa sebagian besar anak nagari tidak

melaksanakan ajaran agama dengan sempurna bukan karena kurang keimanan dan

ketaqwaannya, tetapi karena pengetahuan mereka kurang tentang ajaran Islam itu

sendiri. Ia mengecam masyarakat yang masih gandrung pada ajaran tarekat. Ia

mendekati ninik mamak dan membicarakan berbagai masalah masyarakat. Islam sesuai

dengan tuntutan zaman dan keadaan. Islam juga berarti kemajuan, agama Islam tidak

menghambat usaha mencari ilmu pengetahuan, perkembangan kehidupan dunia, dan

menghormati kedudukan perempuan. Islam adalah agama universal, yang dasar

ajarannya telah diungkapkan oleh para nabi, yang diutus kepada semua bangsa (QS.

10;47;2: 164; 35:24; 40:78). Tugas mereka diselesaikan oleh Nabi Muhammad saw, rasul

utusan terakhir untuk seluruh umat manusia.

Cita-cita pikiran untuk memajukan umat dengan agama Islam yang demikian,

hanya dapat dicapai melalui pengamalan syariat, yang terbagi kepada tauhid dan

ibadat. Dalam ibadah, semuanya terlarang, kecuali yang disuruh. Jadi cara-cara

beribadah telah diperintahkan. Di tradisi-tradisi baru yang tidak ada perintahnya, maka

tidak dapat diterima sebagai ibadah, dan disebut bid’ah.

Di dalam kegiatan pemurnian agama, kaum pembaru menentang berbagai bid’ah

yang dibedakan atas dua jenis, yaitu bid’ah menurut hukum (syar’iyah) tidak dapat

dibiarkan berlaku, karena itu perlu diteliti dalam segala hal, apakah yang lazim

dilakukan sehari-hari di bidang agama, dengan menggunakan akal dan berpegang

kepada salah satu tiang hukum (Quran, Sunnah, Ijma’, Qiyas). Di samping itu ada pula

12 Dokumentasi H. Mas’oed Abidin


Syekh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat awal
abad ke-20,

bid’ah dalam soal kepercayaan (bid’ah pada I’tikad), sebagaimana ada pula bid’ah pada

amalan, seperti mengucapkan niyah.

Islam pada masa kemajuan tidak harus berkembang sejajar dengan


perkembangan inteletual, sebab ada hal yang dilarang dan disuruh, dalam batas
halal dan haram, serta amat ma’ruf dan nahyun ‘anil munkar, sebagai sifat asli dari
agama Islam. Agama juga mengatur hal yang bersangkutan dengan dunia. Masalah
ini ada yang mengandung ciri ‘ubudiyah, dalam arti berdasarkan perintah dan bagian
dari din Allah, sedangkan cara mengamalkannya bersifat duniawi. Umpamanya
perintah memelihara anak yatim, menghormati orang tua, membersihkan gigi, yang
pelaksanaannya sebagian besar terletak pada pilihan individu, dan mengiautkan
persaudaraan atau ukhuwah Islamiyah.

Sudah mulai agak janggal pula kedengarannya bila menyebut kata-kata ini yang
sudah begitu lama kita kunyah. Tetapi, yang masih sedikit sekali berjumpa
pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kehidupan modern dengan alat-alat penghubungnya yang serba lengkap,
automobil, kereta api, kapal terbang, telepon, pers, radio, televisi, semua itu ternyata
gagal dalam menghubungkan jiwa dan jiwa, dalam ikatan persaudaraan yang ikhlas
dan hakiki.
Rupanya, soalnya bukan soal alat. Soalnya terletak pada jiwa yang akan
mempergunakan alat penghubung itu sendiri. Secanggih-canggih kamera atau seaik-
baik alat pemotret, niscaya tidak bisa memproduksi gambar seseorang yang tidak ada.
Alat-alat komunikasi yang ultra modern yang dapat menyampaikan pesan kepada
satu satelit di luar bumi dengan tekanan suatu knop saja, alat-alat semacam itu tidak
mampu menghubungkan rasa muhibbah itu sendiri yang tidak ada.
Alat-alat komunikasi sebagai hasil dari teknik modern ini telah dapat
memperpendek jarak sampai sependek-pendeknya. Akan tetapi jarak jiwa dan rasa
manusia tidak bertambah pendek lantarannya.
Malah sebaliknya yang seringkali kita jumpai. Hidup bernafsi-nafsi, siapa lu siapa
gua, semakin merajalela.
Inilah problematika dunia umumnya sekarang ini, di tengah-tengah kemajuan
material dan teknik yang sudah dapat dicapai manusia di abad ini.
Ini juga problematika yang dihadapi manusia Umat Islam khususnya.

13 Dokumentasi H. Mas’oed Abidin


Syekh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat awal
abad ke-20,

Persoalan ukhuwwah Islamiyah ini wajib kita memecahkannya dengan sungguh-


sungguh, kalau benar-benar kita hendak menegakkan Islam dengan segala
kejumbangannya kembali di negara ini.
Para pembaru di Sumatera Barat, memilih mengamalkan ilmunya secara langsung
kepada masyarakat Inyik Djambek contohnya, mengajarkan ilmu tentang ketauhidan
dan mengaji dengan cara bertabligh, di Surau Tangah Sawah Bukittinggi, dan menjadi
Surau Inyik Djambek, sampai sekarang. Syekh Muhammad Djamil Djambek
berkesimpulan bahwa ajaran agama Islam itu sebaiknya disampaikan melalui tabligh
dan ceramah-ceramah (wirid-wirid) yang dihadiri oleh masyarakat banyak.
Perhatiannya lebih banyak ditujukan untuk meningkatkan iman seseorang. Ia
mendapat simpati dari tokoh-tokoh ninik mamak dan kalangan guru Kweekschool.
Bahkan ia mengadakan dialog dengan orang non Islam dan orang Cina. Sifatnya yang
populer ialah ia bersahabat dengan orang yang tidak menyetujui fahamnya, sehingga
pada tahun 1908 ia mendirikan pusat kegiatan keagamaan untuk mempelajari agama
yang dikenal dengan nama Surau Inyiak Djambek di Tengah Sawah, Bukttinggi.
Suraunya merupakan tempat pertemuan bagi organisasi-organisasi Islam.
Bagi Umat Islam soal ini hanya dapat dipecahkan oleh Umat Islam sendiri, tidak
boleh orang lain. Dan jika tidak dipecahkan, maka yang salah ialah Umat Islam sendiri,
terutama para pemimpinnya, bukan orang lain.
Para pelopor pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau berasal dari segala

bidang profesi, di antaranya kalangan ulama (Haji Rasul), kalangan pedagang (H.

Abdullah Ahmad), dan pada umumnya berhasil melepas dirinya dari tradisi yang ada,

seperti Syekh Djamil Djambek, Haji Rasul, Haji Abdullah Ahmad dan Ibrahim Musa

Parabek, di masa hidupnya dipandang sebagai ulama besar, tempat memulangkan

segala persoalan agama dan kemasyarakatan pada umumnya.

Gerakan pembaruan pemikiran di bidang agama yang paling banyak terdengar di

Sumatra Barat. Adakalanya mereka dinamakan kaum modernist atau disebut juga kaum
muda.

Salah seorang di antara kaum pembaru itu adalah H.Abdullah Ahmad berkali-

kali berkata, bahwa di setiap bidang boleh mempergunakan akal, yang sebenarnya

adalah kurnia Tuhan, kecuali bidang agama. Jika kepercayaan tetap merupakan

14 Dokumentasi H. Mas’oed Abidin


Syekh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat awal
abad ke-20,

penerimaan saja atas wibawa guru- atau taqlid, maka kepercayaan itu tidak ada

gunanya. Orang berakal harus pujaannya Allah dan untuk itu dipelajarinya akar-akar

hukum (ushul al-fiqh). Untuk mengenalkan semua inti ajaran agama Islam ini kepada

masyarakat luas diperlukan gerakan penyampaian berbentuk tabligh, guna mengikat

tali pergaulan atau ukhuwwah Islamiyah.

Menegakkan dan menyuburkan Ukhuwwah Islamiyah tidaklah sangat

bergantung kepada alat-alat modern, tidak pula kepada harta bertimbun-timbun.

Malah dikalangan kaum yang hidup sederhana itulah kita banyak berjumpa "suasana

ukhuwwah" lebih dari kalangan yang serba cukup dan mewah.

Dan ...., sekiranya ukhuwwah itu dapat ditumbuhkan hanya dengan mendirikan

bermacam-macam organisasi, dengan anggaran dasar dan kartu anggota, dan

sekiranya, dengan semboyan-semboyan dan poster-posternya, semestinya ukhuwwah

sudah lama tegak merata diseluruh negeri ini.

Sekiranya ukhuwwah Islamiyah dapat diciptakan dengan sekedar anjuran-


anjuran lisan dan tulisan, semestinya sudah lama ukhuwwah Islamiyah itu hidup subur
dikalangan Umat Islam, dan umat itu sudah lama kuat dan tegak.
Sebab sudah cukup banyak anjuran lisan dan tulisan yang dituangkan kepada
masyarakat selama ini, ayat dan hadist mengenai ukhuwwah, disampaikan. Sudah
berkodi-kodi kertas, di lemparkan ke tengah masyarakat melalui majalah-majalah,
dengan buku-buku dan surat-surat kabar Serta, sudah banyak pula yang hafal,
dikunyah-kunyah dan dimamah oleh orang banyak.
Kalau ukhuwwah Islamiyah belum kunjung tercipta juga, itu tandanya pekerjaan
kita belum selesai. Dan kalau usaha-usaha selama ini belum berhasil dengan
memuaskan, itu tandanya masih ada yang ketinggalan, belum dikerjakan.
Rupanya soal ukhuwwah dan persaudaraan ini soal hati, yang hanya dapat
dipanggil dengan hati pula. Sedangkan yang sudah terpanggil sampai saat sekarang
barulah telinga dan dengan kata. Oleh karena, pihak pemanggil yang bisa berbicara
barulah lidah dan penanya, belum lagi hati dan jiwanya. Karena itu, pengamalannya
kurang tampak menjadi minat orang banyak.

15 Dokumentasi H. Mas’oed Abidin


Syekh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat awal
abad ke-20,

Rupanya dan memang terbukti rahasianya menegakkan ukhuwwah dan


pergaulan Islamiyah terletak dalam sikap langkah dan perbuatan yang kecil-kecil
dalam pergaulan sehari-hari, seperti yang ditekankan benar oleh Rasulullah SAW
dalam membina jamaah dan umat Islam.
Secara substansi, Rasul SAW menyerukan pelajaran dari yang kecil-kecil, karena
secara sosil filosofis masyarakat lebih bergairah menghadapi yang besar-besar,
sehingga yang kecil-kecil terabaikan. Padahal, yang kecil-kecil itu, menjadi amalan
dasar untuk memudahkan menghadapi kerja besar.
Umpamanya, amalan kecil yang mesti dibiasakan itu, antara lain yang pertama-
tama, tegur sapa, memberi salam, dan menjawab salam, mengunjungi orang sakit yang
sedang menderita, mengantarkan jenazah ke kubur, memperhatikan kehidupan
sejawat, membujuk hati yang masygul, membuka pintu rezeki bagi mereka yang
terpelanting.
Bahkan, membukakan pintu rumah dan pintu hati kepada para dhu'afa, dan amal-

amal kecil yang semacam itu, kecil-kecil tapi keluar dari hati yang ikhlas dan penuh

rasa persaudaraan.

Kemudian sampai pula kepada persoalan yang lebih sensitif- sampai dimanakah

kebebasan yang dimiliki memilih alternatif? Persoalan politik dan kemudian

menyebarkan nasionalisme anti kolonial menuju Indonesia Raya tidak terlepas dari

pergolakan intelektual ini. Tidak saja masalah fikh, tetapi juga masalah tauhid harus

dihadapi dengan pikiran yang terbuka. Perbedaan yang fundamental antara inovasi

yang menyalahi hukum hakiki, yang bersumber Quran dan Hadits, dan pembaruan

sebagai akibat dari peralihan zaman, harus dibedakan dengan tegas.

Sedangkan selama ini, kita lebih tertarik oleh cara-cara borongan, demonstratif,

dengan berteras keluar, asal kelihatan oleh orang banyak. Membangun kembali

ukhuwwah atau pergaulan dan persaudaraan yang Islami memerlukan peninjauan dan

penilaian kembali akan cara-cara yang sudah ditempuh sekarang.

Memerlukan daya cipta dari pada pemimpin yang dapat berijtihad,


Memerlukan para pekerja lapangan tanpa nama, tanpa mau dikenal khalayak
ramai,

16 Dokumentasi H. Mas’oed Abidin


Syekh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat awal
abad ke-20,

Bersedia meniadakan diri.

Para pelopor pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau berasal dari segala

bidang profesi, di antaranya kalangan ulama (Haji Rasul), kalangan pedagang (H.

Abdullah Ahmad), dan pada umumnya berhasil melepas dirinya dari tradisi yang ada,

seperti Syekh Djamil Djambek, Haji Rasul, Haji Abdullah Ahmad dan Ibrahim Musa

Parabek, di masa hidupnya dipandang sebagai ulama besar, tempat memulangkan

segala persoalan agama dan kemasyarakatan pada umumnya. Gerakan pembaruan

pemikiran di bidang agama yang paling banyak terdengar di Sumatra Barat.

Adakalanya mereka dinamakan kaum modernist atau disebut juga kaum muda. Salah

seorang di antara kaum pembaru itu adalah H.Abdullah Ahmad berkali-kali berkata,

bahwa di setiap bidang boleh mempergunakan akal, yang sebenarnya adalah kurnia

Tuhan, kecuali bidang agama. Jika kepercayaan tetap merupakan penerimaan saja atas

wibawa guru- atau taqlid, maka kepercayaan itu tidak ada gunanya. Orang berakal

harus pujaannya Allah dan untuk itu dipelajarinya akar-akar hukum (ushul al-fiqh).

Untuk mengenalkan semua inti ajaran agama Islam ini kepada masyarakat luas

diperlukan gerakan penyampaian berbentuk tabligh.

Kiprahnya mampu memberikan warna baru di bidang kegiatan keagamaan di

Sumatra Barat. Mengutip Ensiklopedi Islam, Syekh Muhammad Djambek juga dikenal

sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig di muka umum.
Barzanji (rawi) atau marhaban (puji-pujian) yang biasanya dibacakan di surau-surau
saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, digantinya dengan tablig yang

menceritakan riwayat lahir Nabi Muhammad dalam bahasa Melayu. Demikian pula
kebiasaan membaca riwayat Isra Mi'raj Nabi Muhammad dari kitab berbahasa Arab,

digantinya dengan tablig yang menceritakan peristiwa tersebut dalam bahasa Melayu,

sehingga dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat. Termasuk juga tradisi membaca

17 Dokumentasi H. Mas’oed Abidin


Syekh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat awal
abad ke-20,

kitab, digantinya dengan membahas masalah kehidupan sehari-hari, dalam satu tradisi

ilmu. Semua itu dilakukan karena agama diperuntukkan bagi siapa saja yang dapat
memahaminya. Ia pun dikenal sebagai ulama yang lebih bergiat di aktivitas tablig dan

ceramah, yang kemudian diikuti oleh para pembaru lainnya di ranah Minangkabau.

Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai

berubah, dan Syekh Muhammad Djambek kini tidak lagi tertarik pada tarekat. Pada

awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat

yang berlangsung di Bukit Surungan, Padang Panjang, Syekh Muhammad berada di

pihak yang menentang tarekat. Dia "berhadapan" dengan Syekh Bayang dan Haji

Abbas yang membela tarekat. Kemudian dia menulis buku mengenai kritik terhadap

tarekat berjudul Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan Segala

yang Berhubungan dengan Dia, terdiri atas dua jilid. Salah satu penjelasan dalam buku

itu, yakni tarekat Naksyabandiyyah diciptakan oleh orang dari Persia dan India.

Syekh Muhammad Djambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu penuh

takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam. Buku lain yang

ditulisnya berjudul Memahami Tasawuf dan Tarekat dimaksudkan sebagai upaya

mewujudkan pembaruan pemikiran Islam. Akan tetapi secara umum dia bersikap tidak

ingin bermusuhan dengan adat istiadat Minangkabau. Tahun 1929, Syekh Muhammad

Djambek mendirikan organisasi bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau dengan

tujuan untuk memelihara, menghargai, dan mencintai adat istiadat setempat.

Djamil Djambek tidak banyak menulis dalam majalah Al-Munir. Djamil Djambek

mempunyai pengetahuan tentang ilmu falak, yang memungkinkannya menyusun

jadwal waktu sembahyang serta untuk keperluan berpuasa di dalam bulan Ramadhan.

Jadwal ini diterbitkan tiap tahun atas namanya mulai tahun 1911, dan karena Inyik

Djambek dikenal sebagai Bapak Ilmu Falak, beliau menerbitkan Natijah Durriyyah

18 Dokumentasi H. Mas’oed Abidin


Syekh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat awal
abad ke-20,

untuk masa 100 tahun. Walaupun masalah ini sangat dipertikaikan dengan kaum

tradisionalis.

Di samping kegiatan Inyik Djambek mengajar dan menulis, beliaupun aktif dalam

kegiatan organisasi masyarakat. Pada tahun 1913, ia mendirikan organisasi bersifat

sosial di Bukittinggi yang bernama Tsamaratul Ichwan yang menerbitkan buku-buku

kecil dan brosur tentang pelajaran agama tanpa mencari keuntungan. Beberapa tahun

ia bergerak di dalam organisasi ini sampai menjadi perusahaan yang bersifat komersial.

Ketika itu, ia tidak turut lagi dalam perusahaan itu.

Syekh Djamil Djambek secara formal tidak mengikat dirinya pada suatu

organisasi tertentu, seperti Muhammadiyah dan Thawalib. Tetapi ia memberikan

dorongan pada pembaruan pemikiran Islam dengan membantu organisasi-organisi

tersebut.

Beliau tercatat sebagai pendiri dari Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), yang

didirikan pada 1919 di Padang, Sumbar.

Di samping juga untuk memelihara dan mengusahakan agar Islam terhindar dari

bahaya yang dapat merusaknya. Selain itu, dia juga turut menghadiri kongres pertama

Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau tahun 1939. Yang tak kalah

pentingnya dalam perjalanan dakwahnya, pada masa pendudukan Jepang, Syekh

Muhammad Djambek mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT) berpusat di Bukittinggi.

Pada 30 Desember 1947 (18 Shafar 1366 H), Inyik Djambek wafat, meninggalkan

pusaka besar, wirid tsulasa (setiap hari Selasa), yang tetap hidup sampai sekarang.

Beliau di makamkan di samping Surau Inyik Djambek di Tengah Sawah Bukittinggi,

dalam usia 87 tahun.

Beberapa bulan setelah itu, 26 Januari 1948 (14 Rabi’ul awal 1366 H), teman akrab

Inyik Djambek dalam berdakwah, yakni Inyik Syekh Daud Rasyidy (terkenal dengan

19 Dokumentasi H. Mas’oed Abidin


Syekh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat awal
abad ke-20,

sebutan Inyik Daud, ayah Buya Datuk Palimo Kayo), meninggal dunia pula di Surau

Inyik Djambek di Tangah Sawah ini, ketika mengimami shalat maghrib, dan besoknya

dikuburkan di samping makamnya Inyik Djambek. Itulah sebabnya sampai sekarang

ini, kita dapati makam kembar di samping surau Inyik Djambek ini.

20 Dokumentasi H. Mas’oed Abidin

You might also like