You are on page 1of 9

Ekonomi Politik Media Massa: Komodifikasi Pornografi dalam Film

American Pie/ Shefti L./ Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta

Komodifikasi Pornografi dalam Film


American Pie
Shefti L. Latiefah

Konsep Komodifikasi

Komodifikasi adalah suatu perubahan nilai guna menjadi nilai tukar. Proses
komodifikasi berakar pada kapitalis yang ingin mengakumulasikan modal dan
menyadari betapa tinggi nilai yang dihasilkan dari transformasi komoditas tersebut.
Konsep ini sebenarnya sudah diusung oleh Marx dan dituangkan dalam bukunya,
Capital. Marx mendiskusikan bentuk-bentuk komoditas. Komoditas tersebut
ditampilkan oleh kapitalis dan akhirnya, memulai ide tentang kebutuhan untuk
menyetel konsep yang seimbang atas ekonomi politik dalam analisis komunikasi
(Vincent Mosco, 2009:140).

Adam Smtih dalam ekonomi politik klasik membedakan antara produk yang nilainya
berasal dari kepuasan manusia. Misalnya, nilai guna, dan nilai yang berdasarkan apa
yang dapat diperintahkan pada produk tersebut dalam pertukaran, misalnya, nilai
tukar. Komoditas adalah bentuk khusus yang produk tersebut dapat diambil apabila
produksinya diorganisir melalui proses pertukaran (ibid.:141). Nilai pakai atau nilai
guna suatu barang adalah nilai barang dalam kaitannya dengan fungsi barang tersebut
untuk memenuhi kebutuhan seseorang. Nilai barang karenanya ditentukan oleh
kebutuhan. Semakin seseorang membutuhkan barang tersebut, nilai barang akan
semakin tinggi. Misalnya, Air. Bagi masyarakat Saudi Arabia, air memiliki nilai guna
tinggi. Sebaliknya bagi masyarakat yang tinggal di Indonesia, nilai guna air rendah.
Mereka tidak terlalu memusingkan air seperti halnya orang yang tinggal di Saudi
Arabia, karena geografis Indonesia bukan padang pasir. Sedangkan nilai tukar suatu

1
Ekonomi Politik Media Massa: Komodifikasi Pornografi dalam Film
American Pie/ Shefti L./ Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta

barang adalah nilai barang tersebut bila dijual di pasar. analoginya, nilai tukar ini
tercermin pada harga (uang). Menurut Marx, nilai tukar suatu barang ditentukan oleh
waktu kerja— bukan waktu kerja individual melainkan waktu rata-rata kerja sosial—
yang dibutuhkan untuk memproduksi barang tersebut. Mengapa nilai tukar tiga
pasang sepatu kets, misalnya, sama dengan satu pasang sandal hak tinggi? Jawabnya
karena waktu yang digunakan untuk menghasilkan tiga pasang sepatu kets sama
dengan waktu yang digunakan untuk menghasilkan satu pasang sandal hak tinggi.

Komodifikasi adalah proses mengubah atau transformasi suatu barang atau jasa dari
nilai pakai menjadi nilai tukar. Karena nilai tukar berkaitan dengan pasar dan
konsumen, maka proses komodofikasi pada dasarnya adalah mengubah barang atau
jasa agar sesuai dengan keinginan dan kebutuhan konsumen.

Pornografi dan Media

Pornorgrafi adalah suatu penggambaran eksplisit tentang segala hal yang


berhubungan dengan seksualitas dan dimaksudkan untuk memenuhi hasrat seksual.
Pornografi dapat digunakan di berbagai jenis media mulai dari buku, majalah, kartu
pos hingga foto, lukisan dan video/ film.1

Pornografi dalam media, tidak diragukan lagi, bukanlah sesuatu yang baru. Atas dasar
pemenuhan hasrat khalayaknya, pornografi menjadi semacam aspek khusus
pelengkap konten media. Sayangnya, sebenarnya dalih itulah yang digunakan para
produsen untuk mengeruk untung sebesar-besarnya lewat konten pornografi. Di
Amerika, keuntungan dari produksi konten pornografi diestimasi berjumlah $20
miliar pertahun, lebih besar dua kali lipat dari Film Box Office yang hanya mencapai
$8.6 miliar pada 2005 (Hall dan Bishop, 2007:14). Maka, tidak salah jika para
perusahaan media menyadari hal itu dan berlomba-lomba menampilkan konten
pornografi, meski melanggar norma dan aturan yang berlaku di masyarakat.

1
Dikutip dari www.en.wikipedia.com

2
Ekonomi Politik Media Massa: Komodifikasi Pornografi dalam Film
American Pie/ Shefti L./ Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta

Pornografi sendiri memulai debutnya di Amerika pada tahun 1920-an, ketika


Hollywood sedang tenar. Tidak sedikit bintang Hollywood yang menuai skandal pada
era tersebut, sehingga publik memprotes dan mencekal beberapa film yang dianggap
tidak bermoral. Untuk melindungi diri dari regulasi pemerintah, industri perfilman
membentuk The Production Code Administration (PCA) pada 1934. PCA
menyediakan daftar spesifik atas konten terlarang, termasuk “adegan panas”,
“ketelanjangan dan tarian erotis”, dan mewajibkan adanya penegakkan atas kesucian
pernikahan dan berumah-tangga. Pada kala itu, seluruh film yang hendak beredar
harus terlebih dulu memperoleh sertifikat dari PCA. Sayangnya, sensor sistemik ini
hanya bertahan hingga tahun 1950. Setelahnya, persaingan di industri media sangat
ketat, dan pada 1952, Supreme Court (Mahkamah Agung) mengamandemen aturan
tentang perlindungan atas gambar bergerak untuk yang pertama kali. Hal inilah yang
menyebabkan PCA tidak diperlukan lagi, dan film-film dapat beredar tanpa
persetujuan siapapun, industri berhak menyensor dirinya sendiri. Namun, semakin
lama, mereka semakin terprovokasi ‘rating’, sehingga sensor-diri menjadi tidak
populer dan industri media semakin mengumbar konten-konten terlarang dengan
alasan menaikkan popularitas (rating).

Kebiasaan mengkonsumsi konten pornografi di media-media Amerika dikenal


dengan istilah pimp culture (ibid.:14), dengan kata lain, porografi sudah bukanlah hal
tabu dan mulai secara eksplisit hadir di media seperti film, TV, iklan, video games,
majalah, video klip dan tentu saja internet. Studi jangka panjang yang dilakukan oleh
The Kaiser Family Foundation dalam Sex on TV, jumlah sex di dalam tayangan TV
meningkat dua kali lipar dari 1998 hingga ke 2005. Dengan jumlah adegan sex dari
rata-rata 3.2 pada 1998, menjadi 5 di tahun 2005. Jumlah itu masih belum seberapa
ketika dibandingkan dengan 20 acara terfavorit remaja, dengan rata-rata 6.7 adegan
sex perjamnya. Reichert dan Carpenter juga menemukan adanya keeksplisitan konten
pornografi di majalah secara signifikan dari 1983 ke 2003. Studi-studi diatas
mengkonfirmasi bahwa konten pornografi sudah mulai menjadi pelengkap media-

3
Ekonomi Politik Media Massa: Komodifikasi Pornografi dalam Film
American Pie/ Shefti L./ Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta

media di Amerika, hal itu tentu saja berdampak terhadap pengetahuan seksual, sikap
dan tindak-tanduk khalayaknya (ibid.:10).

Pornografi kemudian kerap disangkutpautkan dengan misoginistik 2. Banyak lirik dan


video klip musik rap dinggap melecehkan dan menghina wanita. Wanita, dalam kasus
merebaknya pornografi, hanya dipandang sebagai objek seks karena bagian tubuh
tertentu mereka (ibid.:17). Pada 2004, Nelly merilis single Tip Drill3 yang benar-
benar mengkomodifikasi wanita dengan menggesekkan kartu kredit melalui pantat
mereka (ibid.:9). Batas-batas yang tidak jelas antara video musik dan pornografi
inilah yang menyebabkan banyak rapper menghasilkan video klip dengan kategori
XXX4, termasuk diantaranya Snoop Dogg dan Hustlaz yang memiliki penjualan
terbesar atas video kategori dewasa di tahun 2001 dan 2003, berturut-turut seperti 50
cent, Lil’ Jon dan Ice-T.

Pada industri film, muatan konten pornografi dilegitimasi oleh rilisnya Boogie Nights.
Kesuksesan film-film Box Office, menurut Hall dan Bishop, ditentukan oleh
terjaringnya penonton remaja pria, dengan mengangkat juvenilization.5 Tujuan utama
diangkatnya tema tersebut adalah supaya penonton terbius sehingga betah duduk,
minimal untuk menikmati trailer film tersebut. Dengan teaser semacam itu, tidak
diragukan mereka akan rela merogoh kocek maupun berdesak-desakan di antrian
untuk menonton film tadi. Tren perfilman pasca-1980 adalah melonjaknya muatan
sex dan kekerasan (ibid.:12), termasuk film Porky’s dan Fast Times at Ridgmont
High, yang bermuatan adegan simulasi berhubungan sex sebanyak 15 kali di tiap
film, lebih banyak daripada film-film berkategori-R pada umunya.

2
Istilah untuk pembencian terhadap wanita
3
Istilah untuk berhubungan seks dengan wanita berbadan bagus tapi jelek, Lih. Hall dan Bishop, 2007:
9
4
Istilah untuk sesuatu yang berhubungan dengan pornografi
5
Istilah yang digunakan oleh sutradara Peter Bogdanovich, yang berarti cerita dengan plot yang
minim, tapi memaksimalkan adegan seks, kekerasan dan efek spesial. Lih. Hall dan Bishop, 2007:12

4
Ekonomi Politik Media Massa: Komodifikasi Pornografi dalam Film
American Pie/ Shefti L./ Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta

Perkembangan zaman menyebabkan kemudahan disana-sini, tak terkecuali akses


pornografi. Semula, tayangan bermuatan pornografi yang hanya dapat disaksikan di
bioskop dengan kategori dewasa, kini sudah dapat ditemui di video-rental di sekitar
rumah anda. Hal inilah yang kemudian mengkhawatirkan, mengingat video-rental
tersebut bebas-akses dan tidak memerlukan adanya izin khusus, anak-anak pun dapat
menyewa video berkategori dewasa.

Dilain pihak, merebaknya lirik-lirik vulgar dan misoginistik, menyebabkan kritikan


tajam yang diluncurkan oleh Tipper Gore.6 Karena itu, muncullah label Parental
Advisory dan regulasi-diri industri, yang digagas oleh Tipper Gore dalam Parents
Music Resouorce Center-nya. Meski kemudian hal ini menjadi kontroversi di media
pada kala itu, dan Gore dinilai sebagai seorang yang pemalu dan tukang sensor
(ibid.).

Komodifikasi Pornografi

A. American Pie dan serialnya

American Pie adalah film komedi remaja besutan Paul dan Chris Weitz, ditulis oleh
Adam Herz.7 Film itu merupakan film perdana yang disutradarai dan diproduksi oleh
Weitz bersaudara. American Pie kemudian masuk dalam Box-Office dan berlanjut
hingga dua sekuel, yakni American Pie 2 (2001) dan American Wedding (2003)
dengan distribusi dari Universal Pictures.

Alur utama film tersebut berkisah tentang empat sekawan yang membuat pakta untuk
tidak perjaka lagi sebelum lulus dari SMA. Judul film tersebut merujuk pada karakter
utama yang tertangkap basah masturbasi dengan pie, setelah diberitahu bahwa
berhubungan seks itu sama hangatnya seperti pie apel yang baru dioven.

6
Istri dari Al Gore
7
Dikutip dari www.en.wikipedia.com, dengan pranala luar www.imdb.com

5
Ekonomi Politik Media Massa: Komodifikasi Pornografi dalam Film
American Pie/ Shefti L./ Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta

Film tersebut berada di peringkat 49 dalam 100 funiest Movie ala Bravo, dan,
menempati ranking 22 dalam daftar 50 Best High School Movies ala Entertainment
Weekly. Di tahun 2000, Majalah Total Film memvoting American Pie sebagai
peringkat keenam dalam film komedi terbaik sepanjang masa. Berlanjut ke 2006,
penonton dari Channel 4 di Inggris memvoting American Pie sebagai peringkat
ketujuh dalam 50 film komedi terbaik.

Setelah selesai dengan triloginya, American Pie kemudian berkembang dalam format
DVD, dengan judul American Pie Presents: Band Camp (2005), The Naked Mile
(2006), Beta House (2007), dan The Book of Love (2009).

Film tersebut menuai berbagai kritik. Stephen Holden dari The New York Times
merasa American Pie merupakan film remaja yang dangkal dan cabul.8 Sedangkan
Robert Horton dari Film.com menulis bahwa American Pie memang agak menghibur,
tapi, penonton harus sadar bahwa film itu benar-benar jelek dan tidak layak untuk
dijadikan status perasaan bersalah (karena masih virgin). Jim Sullivan dari The
Boston Globe mengkritik American Pie sebagai film yang menjijikkan dan tak
bercita-rasa sama sekali.9

B. Komodifikasi

American Pie tak ubahnya dengan tayangan pornografi lain, pembedanya hanya film
ini memiliki alur cerita yang fokus terhadap kehidupan pubertas remaja. Namun,
American Pie dinilai sukses karena berhasil menyandang Blockbuster Movies.
American Pie sukses membawakan cerita komedi remaja yang sexy secara lebih baik
daripada pendahulunya seperti, Porky’s ataupun Fast Times at Ridgemont High.10 Ini
menjadikan tanda bahwa, komodifikasi pornografi dalam tayangan remaja sukses dan
menguntungkan. Menurut data dari Hollywood Teen Movie, bujet yang dihabiskan

8
Dikutip dari www.en.wikipedia.com, dengan pranala luar www.NYtimes.com
9
Dikutip dari www.en.wikipedia.com, dengan pranala luar www.metacritic.com
10
Dikutip dari artikel Laura Laytham

6
Ekonomi Politik Media Massa: Komodifikasi Pornografi dalam Film
American Pie/ Shefti L./ Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta

untuk American Pie (1999) sekitar $10 juta, dengan keuntungan $235 juta.
Kesuksesan ini disusul dengan sekuelnya, American Pie 2 (2001) yang berbujet $30
juta, dengan keuntungan $145,1 juta. American Wedding (2003) dengan bujet $55
juta berhasil mengeruk keuntungan $104,4 juta. Dapat dibayangkan betapa berlipat-
lipatnya keuntungan yang didapat dari franchise American Pie. Komodifikasi
pornografi dalam tayangan ini menciptakan pasar baru. Meski masih banyak tayangan
berating XXX lain yang benar-benar vulgar, American Pie, memang didesain untuk
khalayak remaja. American Pie termasuk film komedi remaja tersukses sepanjang
sejarah.

Adanya komodifikasi seks dan wanita dalam film American Pie tidak lepas dari
target audience yang memang merupakan remaja pria yang sedang labil dengan
pubertas mereka. Hal ini terlihat dari fokus cerita mengenai kehidupan pubertas
sekelompok anak SMA yang juga labil tentang bagaimana menghadapi masalah
seksual mereka. Seperti yang telah diketahui, target market dari film-film bertemakan
juvenilization11 adalah para remaja pria. Semakin liar film, semakin tertarik penonton.
Hal inilah yang dibaca oleh tim American Pie untuk kemudian membuat sekuel-
sekuel dengan tema mirip, masih tetap menjadikan remaja pria yang ingin
bereksperimen dengan kehidupan seksual mereka.

Meski Amerika termasuk negara liberal, bukan berarti perhatian moral sosial menjadi
dikesampingkan. Hal ini tampak pada gerakan-gerakan antipornorgrafi yang
dilakukan sejumlah organisasi, selain untuk melindungi hak-hak wanita, perlindungan
terhadap masa depan anak-anak. The Kefauver panel melihat ketika pornografi tetap
menyebar, maka hal ini akan merusak masa depan anak-anak dan merupakan
pengaruh destruktif bagi sosial. Kecenderungan menonton media dengan pornografi
yang berlebihan akan menjadikan mereka seorang sadistis (Sarracino dan Scott,
2008:170).

11
Lih. halaman 3

7
Ekonomi Politik Media Massa: Komodifikasi Pornografi dalam Film
American Pie/ Shefti L./ Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta

Produser American Pie sangat mempertimbangkan permintaan pasar. Tayangan yang


mengandung unsur pornografi, meskipun akan menuai kritikan dan cercaan, namun,
tidak akan mati di pasaran.12 Pertimbangan ekonomis semacam inilah yang
menyebabkan tayangan pornografi semakin menjamur. Akibatnya, eksploitasi wanita
makin tinggi. Dalam American Pie saja, adegan telanjang dan berhubungan seks bisa
dihitung dengan rata-rata 10 adegan dalam tiap film. Adegan lainnya diisi dengan
pembicaraan mengenai seks dan tarian-tarian erotis para gadis, serta penggambaran
penyimpangan seksual remaja pranikah (masturbasi dan pergi ke diskotik untuk teler
dan berkencan dengan penari erotis).

Kesimpulan

Adanya komodifikasi dalam film American Pie mengkonfirmasi bahwa pornografi


memiliki nilai jual di pasaran, sehingga beredarnya tayangan pornografi semakin
marak. Dengan keuntungan berkali-lipat dari perolehan film Box-Office, konten
pornografi menjadi pilihan cepat dalam mengeruk keuntungan. Sayangnya,
Pornografi kemudian disangkutpautkan dengan degradasi moral, sehingga hal ini
menimbulkan protes dan pencekalan dari berbagai kalangan masyarakat.

Kontroversi tentang pornografi diawali oleh debat seksualitas pada 1960 akhir.
Semenjak didirikannya Woman Against Violence Against Woman pada 1976,
perdebatan feminis tentang pornografi mulai meningkat tajam. Terlebih lagi dengan
terbitnya Againts Our Will: Men, Women, and Rape oleh Susan Brownmiller, gerakan
feminis menjadi kian dinamis. Robin Morgan, yang juga merupakan feminis,
mempopulerkan istilah “Pornografi adalah teori, pemerkosaan adalah prakteknya”
yang kemudian menjadi slogan bagi gerakan feminis anti-pornografi.

Pornografi yang kemudian terasosiasi dengan seks menyebabkan meningkatnya


tayangan-tayangan yang bermuatan unsur tersebut. Termasuk diantaranya adalah

12
Lih. halaman 1

8
Ekonomi Politik Media Massa: Komodifikasi Pornografi dalam Film
American Pie/ Shefti L./ Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta

American Pie. Karena itulah mengapa American Pie sampai mendapat Box-Office
dan menjadi salah satu tayangan favorit remaja. American Pie sengaja memuat
adegan telanjang dan berhubungan seks. Adegan lainnya, secara mayoritas, diisi
dengan pembicaraan mengenai seks dan tarian-tarian erotis.

Adanya motif ekonomi dengan memanfaatkan eksploitasi seksual dan pornografi


tampak di film ini, demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Sehingga,
pendekatan ekonomi-politik pun akhirnya dapat dipergunakan untuk mendedah
komodifikasi konten dari film tersebut. [ ]

Referensi:

- Ann C. Hall and Mardia J. Bishop, Pop-Porn: Pornography in American


Culture, Greenwood Publishing Group, Inc., USA, 2007.
- Carmine Sarracino and Kevin M. Scott, The Porning of America, Beacon
Press books, USA, 2008.
- Eileen R. Meehan and Ellen Riordan, Sex and Money: Feminism and Political
Economy in the Media, University of Minnesota Press, USA, 2002.
- Lisa Duggan and Nan D. Hunter, SEX WARS: Sexual Dissent and Political
Culture, Routledge, USA, 2006.

You might also like