Professional Documents
Culture Documents
Target laporan bulan April Kegiatan Kajian Peran Kearifan Lokal Dalam
Mengantisipasi Perubahan Iklim Dan Mendukung Pembangunan Berkelanjutan
sesuai dengan uraian tugas dalam kontrak dan outline laporan kajian yang
disepakati:
1. Draft Outline Laporan
2. Tinjauan Pustaka mengenai Perubahan Iklim dan Hasil-hasil Penelitian
3. Draft TOR Rapat Lintas Sektor I
4. Drat TOR Survey Lapangan 2
5. Review Literature: UU No. 32/2009 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, UNFCC, Kyoto Protokol, Gender dan Pengelolaan SDALH, MDGs
1. DRAFT OUTLINE LAPORAN
PENANGGUNG JAWAB
OUTLINE
Tenaga Ahli (TA) Staf Dir LH
KATA PENGANTAR Tim TA
DAFTAR ISI Tim TA
DAFTAR TABEL Tim TA
DAFTAR GAMBAR Tim TA
BAB 1. PENDAHULUAN Tim TA
1.1 Latar Belakang
1.2 Permasalahan
1.3 Tujuan
1.4 Ruang Lingkup
1.5 Keluaran
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kearifan Lokal S1 Antrop
2.1.1 Konsep dan Definisi Kearifan Lokal
2.1.1.1 Perspektif Global
2.1.1.2 Perspektif Nasional
2.1.1.3 Perspektif Lokal
2.1.2 Kearifan Lokal Di Indonesia
2.1.3 Hasil-hasil Penelitian Masyarakat
Adat dan Kearifan lokalnya
2.2 Perubahan Iklim S2 Lingkungan
2.2.1 Definisi Perubahan Iklim
2.2.2 Fenomena Perubahan Iklim di
Asia/Southeast Asia
2.2.3 Hasil-hasil Penelitian Perubahan
Iklim di Indonesia
2.3 Pembangunan Berkelanjutan S2 Sosek
2.3.1 Definisi Pembangunan Berkelanjutan
2.3.2 Konsep Pembangunan Berkelanjutan
2.3.3 Strategi Pembangunan Berkelanjutan
BAB 3. METODOLOGI KAJIAN Tim TA
3.1 Lokasi Kegiatan
3.2 Waktu Kegiatan
3.3 Teknik Pengumpulan Data
3.4 Analisa data
BAB 4. KOMITMEN GLOBAL Tim TA Tri Virgiyanti,
4.1 Masyarakat Adat dan Kearifan Lokal Syamsidar
4.2 Masyarakat Adat /Kearifan Lokal Thamrin,
dalam UNFCCC Anna Amalia,
4.3 Masyarakat Adat/ Kearifan Lokal Erik Armundito
dalam Pembangunan Berkelanjutan
BAB 5. KEBIJAKAN PEMERINTAH Ersa Herwinda
5.1 Kearifan Lokal S1 Antrop
5.2 Perubahan Iklim S2 Lingkungan
5.3 Pembangunan Berkelanjutan S2 Sosek
BAB 6. KEARIFAN LOKAL DALAM
Gas-gas rumah kaca yang menyusun atmosfer bumi bekerja menyerupai kaca pada rumah
kaca. Hal ini pertama kali dikemukakan oleh seorang ahli matematika dari Perancis, Jean
Fourier ( Akhadi, 2009). Gas-gas rumah kaca tersebut bersifat transparan terhadap sinar
matahari bergelombang pendek yang berasal dari angkasa, sehingga sinar tersebut dapat
masuk melewati atmosfer mencapai permukaan bumi. Setelah mencapai permukaan bumi,
sinar matahari akan dipantulkan kembali oleh benda-benda yang ada di permukaan bumi
dalam bentuk gelombang panjang sinar infra merah. Gas-gas rumah kaca ternyata juga
memiliki sifat tidak transparan terhadap sinar infra merah tadi, sehingga sinar itu tetap
terperangkap dan energinya diserap oleh gas-gas rumah kaca dalam atmosfer. Peristiwa
inilah yang mempertahankan suhu sehingga permukaan bumi tetap terasa hangat.
Pada temperatur rata-rata permukaan bumi sebesar 288K(15°C), emisi sinar infra merah
yang dipancarkan kembali oleh permukaan bumi adalah sebesar 390 W/m2, sedang pada
lapisan terluar atmosfer emisi terukur hanya sebesar 236 W/m2. Perbedaan emisi yang
terukur ini menunjukkan adanya penyerapan energi sinar infra merah oleh gas-gas rumah
kaca dalam atmosfer sehingga terjadi efek rumah kaca. Jika gas-gas tersebut tidak ada,
maka suhu permukaan bumi akan menjadi 33°C lebih dingin dari saat ini, sehingga bumi
menjadi beku, tandus dan tidak ada kehidupan, seperti kondisi Planet Mars saat ini.
Semakin tinggi kadar gas rumah kaca, semakin tinggi pula efek rumah kaca yang dihasilkan,
sehingga semakin tinggi pula suhu atmosfer bumi.
LAPAN 2002, mendefinisikan perubahan iklim adalah perubahan rata-rata salah satu atau
lebih elemen cuaca pada suatu daerah tertentu. Sedangkan istilah perubahan iklim skala
global adalah perubahan iklim dengan acuan wilayah bumi secara keseluruhan.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, 2001) sebagai sebuah lembaga panel
internasional yang beranggotakan lebih dari 100 negara di seluruh dunia menyatakan
definisi perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada
variabilitas yang nyata secara statistik untuk jangka waktu yang panjang (biasanya satu
dekade atau lebih). Para ahli memperjelas bahwa perubahan iklim mungkin terjadi karena
proses alam internal maupun ada kekuatan eksternal, atau ulah manusia yang terus menerus
sehingga merubah komposisi atmosfer dan tata guna lahan.
Fenomena perubahan iklim melanda semua negara di seluruh belahan bumi. Namun
dampak terbesar lebih banyak dirasakan oleh negara-negara Asia khususnya Asia Tenggara,
seperti : intensitas dan frekuensi kejadian cuaca ekstrim, penurunan hasil panen pertanian,
kerusakan ekosistem sumber daya hutan, kerusakan ekosistem sumber daya pesisir dan
lautan, peningkatan wabah penyakit, kerugian ekonomi dan penderitaan manusia yang tidak
ternilai harganya (ADBs report, 2009).
Dampak buruk ini rentan dialami oleh negara-negara Asia Tenggara disebabkan karena
secara geografis Asia Tenggara terletak di sepanjang garis busur benua dan daerah
kepulauan lepas pantai, Asia Tenggara merupakan negara-negara dinamis yang sedang
dalam proses pertumbuhan sehingga banyak perubahan yang cepat di segala bidang,
memiliki jumlah penduduk tinggi, dan sangat bergantung pada sumber daya alam baik hutan
maupun pesisir lautan (ADBs report, 2009).
Berdasarkan laporan IPCC (2007), telah terjadi peningkatan suhu udara permukaan rata-rata
di Asia Tenggara selama beberapa dekade terakhir, dengan kenaikan 0,1-0,3°C per
dasawarsa selama 50 tahun terakhir, seperti di Indonesia Rataq (2007) melaporkan bahwa
suhu rata-rata di Jakarta tercatat meningkat sekitar 1,04oC pada bulan Januari (musim
basah) dan 1,40oC pada bulan Juli (musim kering). Hilangnya salju pada Gunung
Jayawijaya Irian Jaya juga merupakan salah satu bukti jelas telah terjadi peningkatan suhu
rata-rata.
Menurut studi yang dilakukan oleh Tibig (2004) dan Manton et al. (2001) didukung laporan
IPCC (2007), telah terjadi peningkatan suhu rata-rata, maksimum dan minimum sebesar
Fenomena perubahan iklim di Singapura konsisten dengan trend global yang dirasakan.
Berdasarkan studi yang dilakukan tercatat peningkatan suhu sebasar 0,6°C antara tahun
1987 dan 2007 atau sekitar 0,3°C per dekade (ADBs report, 2009).
Selama 5 (lima) dekade pengamatan di Thailand, tercatat telah terjadi peningkatan suhu
sebesar 0,10°C-0,18°C dan diketahui suhu rata-rata pada siang hari dapat mencapai 40°C,
terutama selama bulan April (ADBs report, 2009). Sedangkan Di Vietnam, musim panas
dirasakan lebih panas dalam beberapa tahun terakhir karena peningkatan suhu rata-rata
bulanan sebesar 0,1°C-0,3°C dan peningkatan suhu rata-rata tahunan sebesar 0,1°C antara
tahun 1900-2000, dan 0,7°C antara tahun 1951-2000, atau 0,14°C per dekade (ADBs report,
2009). Peningkatan suhu rata-rata di beberapa kawasan Asia Tenggara dapat dilihat pada
Tabel 2.1 dibawah ini :
Selain Asia Tenggara, wilayah tropis di Asia Tengah pada akhir abad 21 mungkin dan
sangat mungkin memanas lebih cepat daripada rata-rata pemanasan global tahunan
(Christensen et al. 2007 dalam Cifor 2009). Curah hujan selama musim panas monsun di
Asia Selatan mungkin meningkat (Christensen et al. 2007 dalam cifor 2009).
Selain itu fenomena lainnya menurut Christensen et al. 2007 dalam Cifor 2009, puncak
intensitas angin dari badai tropis mungkin meningkat sebagaimana ditemukan melalui
model tertanam resolusi tinggi serta model-model global (9 km hingga 100 km jarak titik
kisi) khusunya di daerah tropis Asia Tenggara dan Asia Selatan, membawa hujan yang
ekstrim. Proyeksinya menunjukkan penurunan frekuensi badai tropis yang lemah dan
1
Berdasarkan Laporan Kajian Keempat IPCC (IPCC 2007), istilah-istilah berikut telah
digunakan untuk mengindikasikan tingkat kepercayaan terhadap kebenaran : keyakinan
sangat tinggi mewakili keadaan setidaknya 9 dari 10 peluang adalah benar, keyakinan tinggi
mewakili keadaan sekitar 8 dari 10 peluang adalah benar, keyakinan sedang mewakili
keadaan sekitar 5 dari 10 peluang adalah benar, keyakinan rendah mewakili keadaan sekitar
2 dari 10 peluang adalah benar, keyakinan sangat rendah mewakili keadaan kurang dari 1
dari 10 peluang adalah benar.
Penelitian dunia Internasional melalui IPCC (2007), mengungkapkan bahwa iklim global
terus berubah karena kegiatan manusia. Suhu global rata-rata meningkat hingga lebih dari
1,5°C-2,5°C, diproyeksikan akan ada perubahan yang besar pada iklim lokal berupa
perubahan pada rata-rata dan kisaran suhu, curah hujan dan kejadian-kejadian ekstrim
(Parry et al. 2007).
Malcolm et al. 2006 menjelaskan bahwa perubahan iklim dan konsentrasi karbondioksida
akan mempengaruhi struktur dan fungsi ekosistem, interaksi ekologi antar spesies dan
sebaran geografi spesies, dengan konsekuensi keragaman hayati. Efek perubahan iklim
terhadap sistem ekologi telah diamati di berbagai tingkat organisasi ekologi mulai dari
organisme hingga ekosistem (Corlett dan Lafrankie 1998; Gitay et al. 2002; Root et al.
2003; Clark 2007 dalam Cifor 2009). Hasil penelitian ini mengungkapkan perubahan
akibat perubahan iklim berpengaruh terhadap struktur dan fungsi ekologi, perputaran karbon
dan nitrogen, distribusi spesies, besarnya populasi, saat reproduksi atau migrasi, dan
lamanya musim pertumbuhan. Penelitian-penelitian ini menjelaskan bahwa perubahan
global dapat menjadi ancaman konservasi pada masa ini maupun masa mendatang, sehingga
penting untuk mempertimbangkan perubahan iklim dalam konservasi, pengelolaan dan
restorasi ekosistem sumber daya alam.
Hutan bakau juga telah diidentifikasi sebagai salah satu jenis hutan yang paling banyak
terancam oleh perubahan iklim. Ancaman utama bagi hutan bakau berasal dari naiknya
permukaan air laut dan perubahan-perubahan yang berkaitan dengan dinamika sedimen,
erosi dan salinitas. Naiknya permukaan laut diperkirakan akan terjadi dua kali lebih cepat
daripada kecepatan penumpukan sedimen (yang dibutuhkan untuk keberlangsungan hidup
hutan bakau) dan mengakibatkan tenggelamnya sejumlah delta. Selanjutnya, erosi akan
mengurangi luasan hutan bakau; erosi tebing pada sisi yang menghadap ke laut
menggoyahkan akar bakau, erosi permukaan di sepanjang permukaan rawa dan hilangnya
bantaran kali (Hansen et al. 2003). Hutan bakau juga akan dipengaruhi oleh perubahan
atmosfer lainnya, termasuk suhu, peningkatan karbondioksida dan badai. Pengeringan
hutan bakau akan menjadi sangat merusak, seperti kekeringan yang terjadi di Senegal dan
Gambia yang telah mempengaruhi hutan bakau (Dudley 1998).
Di Indonesia, menurut Rusbiantoro (2008) kenaikan permukaan air laut akibat perubahan
iklim akan menenggelamkan 50 m daratan dari garis pantai Kepulauan Indonesia yang
mempunyai panjang sekitar 81.000 km. Di prediksi sekitar 405.000 hektar daratan
Indonesia dan ribuan pulau kecil akan tenggelam dan 14.000 desa di wilayah pesisir akan
hilang pada tahun 2015.
Ilmuan kelautan dalam Rusbiantoro (2008) menyatakan bahwa jika laut mulai menghangat
dalam 100 tahun mendatang akibat pemanasan global maka laut akan menjadi terlalu panas
bagi ikan dan menjadi racun untuk biota laut lainnya. Terumbu karang akan mengalami
pemutihan dan mati karena tidak mampu beradaptasi dengan peningkatan suhu air laut.
Kematian terumbu karang akan menyebabkan kepunahan ikan karang dan biota lainnya
yang bernilai ekonomi tinggi seperti napoleon, kerapu macan, kerapu sunu, teripang, dan
lain sebagainya.
2
Dalam konteks ini, zona-zona kehidupan bisa dianggap sebagai habitat spesifik baik secara
biologis dan geografis dimana organisme tersebut tinggal. Dengan perubahan iklim, hal
tersebut mudah berpindah, sebagai contoh, habitat dari vegetasi spesifik bisa saja menjadi
ratusan kilometer lebih jauh setelah suatu kenaikan temperatur rata-rata global sebesar 2°C
A. LATAR BELAKANG
Kemajuan suatu bangsa hanya dapat dicapai dengan melaksanakan pembangunan di segala
bidang. Pembangunan merupakan suatu upaya untuk mencapai target atau tujuan
peningkatan taraf hidup masyarakat agar tercapai kehidupan yang lebih sejahtera. Untuk
memenuhi kebutuhan pembangunan dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya alam,
sumber daya manusia dan teknologi. Dalam pola pembangunan harus memperhatikan
fungsi sumber daya alam dan sumber daya manusia serta teknologi agar dapat menunjang
proses pembangunan yang berkelanjutan.
Untuk itu, diperlukan keterpaduan antara pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Namun pada kenyataannya, pembangunan berkelanjutan yang berjalan saat ini adalah suatu
proses perubahan yang di dalamnya terjadi eksploitasi sumber daya alam, pendayagunaan
sumber daya manusia dan pemanfaatan teknologi tanpa batas. Prinsip keberlanjutan,
keseimbangan, pembatasan dan non eksploitasi sering diabaikan untuk meningkatkan
potensi masa kini, masa depan dan demi memenuhi kebutuhan aspirasi manusia.
Akibatnya eksploitasi sumber daya alam tanpa batas menimbulkan masalah lingkungan.
Akumulasi kerusakan lingkungan tersebut mendasari munculnya masalah nasional,
regional, dan global yang lebih luas cakupannya dan berdampak. Salah satunya adalah
pemanasan global, sebagai faktor utama pemicu terjadinya perubahan iklim.
Menyadari dampak yang ditimbulkan akibat perubahan iklim sangat merugikan bagi
kehidupan umat manusia maka perlu diupayakan pemulihannya. Salah satu upaya tersebut
adalah dengan menerapkan pola pengelolaan lingkungan yang berbasis pengetahuan lokal
serta memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana mengikuti aturan yang berlaku di
wilayah tersebut atau lebih dikenal dengan istilah kearifan lokal.
Kearifan lokal seharusnya menjadi model dalam pengelolaan sumber daya alam lingkungan
sehingga tidak rentan terhadap perubahan iklim dan mendukung pembangunan
berkelanjutan. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-
menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di
dalamnya dianggap sangat universal.
Oleh karena itu, berkaitan dengan hal tersebut diperlukan suatu pertemuan yang mampu
menggali dan mengangkat model-model kearifan lokal lain yang dianggap masih efektif
dalam mengantisipasi perubahan iklim dan mendukung pembangunan berkelanjutan.
B. TUJUAN
Pertemuan ini mempunyai tujuan untuk :
Terkumpulnya informasi dan pola pemikiran pengembangan kearifan lokal sebagai dasar
merumuskan kebijakan model pengelolaan lingkungan dalam mengantisipasi perubahan
iklim dan mendukung pembangunan berkelanjutan.
E. RUANG LINGKUP
Dr. Herwasono Soedjito (LIPI) Kearifan Lokal dalam mengelola Sumber Daya
Hutan dan mengantisipasi Perubahan Iklim111)
Dr. Rani Mutiara (Kementrian Kearifan Lokal dalam mengelola Sumber Daya
Pertanian) Pertanian dan mengantisipasi Perubahan Iklim2)
Kearifan Lokal dalam mengelola Sumber Daya
Dr. Alan F Koropitan
Pesisir dan Laut serta mengantisipasi
(SPL, IPB)
Perubahan Iklim3)
Dr. Budi Gunawan Ekologi Lingkungan dan Kearifan Lokal dalam
Keterangan :
1) Nara sumber ini diharapkan dapat menjelaskan mengenai : a)Perubahan iklim dan kearifan lokal
di hutan; b) Dampak perubahan iklim terhadap hutan; c) Kajian-kajian atau hasil-hasil penelitian
hutan, kearifan lokal dan perubahan iklim; d) Model budaya/kearifan lokal dalam mengelola
hutan yang mengindikasikan adanya antisipasi perubahan iklim, deforestasi, dll; e) Model
budaya/kearifan lokal dalam mengelola hutan yang dapat digunakan untuk adaptasi perubahan
iklim; dan f)Model budaya/kearifan lokal dalam mengelola hutan yang diadopsi oleh kebijakan
saat ini.
2) Nara sumber ini diharapkan dapat menjelaskan mengenai : a) Apakah pertanian bagian dari
sumber daya alam; b) Dampak perubahan iklim terhadap pertanian; c) Kajian-kajian atau hasil-
hasil penelitian pertanian; d) Model budaya/kearifan lokal dalam mengelola pertanina yang
mengindikasikan adanya antisipasi perubahan iklim, kekeringan, banjir, dll; e) Model
budaya/kearifan lokal dalam mengelola pertanian yang dapat digunakan untuk adaptasi perubahan
iklim; dan f) Model budaya/kearifan lokal dalam mengelola pertanian yang diadopsi oleh
kebijakan saat ini.
3) Nara sumber ini diharapkan dapat menjelaskan mengenai : a)Perubahan iklim dan kearifan lokal
di pesisir lautan; b) Dampak perubahan iklim terhadap pesisir lautan; c)Kajian-kajian atau hasil-
hasil penelitian pesisir laut, kearifan lokal dan perubahan iklim; d)Model budaya/kearifan lokal
dalam mengelola pesisir lautan yang mengindikasikan adanya antisipasi perubahan iklim,
pemutihan karang, dll; e) Model budaya/kearifan lokal dalam mengelola pesisir lautan yang dapat
digunakan untuk adaptasi perubahan iklim; dan f)Model budaya/kearifan lokal dalam mengelola
hutan yang diadopsi oleh kebijakan saat ini.
4) Nara sumber ini diharapkan dapat menjelaskan mengenai : a)Konsep kearifan lokal dalam
persepektif ilmu ekologi lingkungan; b) Karakteristik masyarakat yang memiliki kearifan lokal,
contoh kasus : Jawa Barat ; dan c) Kearifan lokal dan pengelolaan sumber daya alam lingkungan
hidup
F. PESERTA
1. Direktorat terkait di BAPPENAS
2. Representasi LSM
3. Representasi Institusi Pendidikan
4. Perwakilan Departemen Kehutanan
5. Perwakilan Departemen Kelautan dan Pesisir
6. Perwakilan Departemen Pertanian
7. Swasta
G. AGENDA ACARA
A. Latar Belakang
Kemajuan suatu bangsa hanya dapat dicapai dengan melaksanakan pembangunan di segala
bidang. Pembangunan merupakan suatu upaya untuk mencapai target atau tujuan
peningkatan taraf hidup masyarakat agar tercapai kehidupan yang lebih sejahtera. Untuk
memenuhi kebutuhan pembangunan dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya alam,
sumber daya manusia dan teknologi. Dalam pola pembangunan harus memperhatikan
fungsi sumber daya alam dan sumber daya manusia serta teknologi agar dapat menunjang
proses pembangunan yang berkelanjutan.
Untuk itu, diperlukan keterpaduan antara pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Namun pada kenyataannya, pembangunan berkelanjutan yang berjalan saat ini adalah suatu
proses perubahan yang di dalamnya terjadi eksploitasi sumber daya alam, pendayagunaan
sumber daya manusia dan pemanfaatan teknologi tanpa batas. Prinsip keberlanjutan,
keseimbangan, pembatasan dan non eksploitasi sering diabaikan untuk meningkatkan
potensi masa kini, masa depan dan demi memenuhi kebutuhan aspirasi manusia.
Akibatnya eksploitasi sumber daya alam tanpa batas menimbulkan masalah lingkungan.
Akumulasi kerusakan lingkungan tersebut mendasari munculnya masalah nasional,
regional, dan global yang lebih luas cakupannya dan berdampak. Salah satunya adalah
pemanasan global, sebagai faktor utama pemicu terjadinya perubahan iklim.
Menyadari dampak yang ditimbulkan akibat perubahan iklim sangat merugikan bagi
kehidupan umat manusia maka perlu diupayakan pemulihannya. Salah satu upaya tersebut
adalah dengan menerapkan pola pengelolaan lingkungan yang berbasis pengetahuan lokal
serta memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana mengikuti aturan yang berlaku di
wilayah tersebut atau lebih dikenal dengan istilah kearifan lokal.
Kearifan lokal seharusnya menjadi model dalam pengelolaan sumber daya alam lingkungan
sehingga tidak rentan terhadap perubahan iklim dan mendukung pembangunan
berkelanjutan. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-
menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di
dalamnya dianggap sangat universal.
Oleh karena itu, berkaitan dengan hal tersebut diperlukan suatu tindak lanjut kegiatan
pengamatan langsung berupa observasi lapangan. Observasi lapangan ini diharapkan
mampu menggali dan mengangkat model-model kearifan lokal lain yang dianggap masih
efektif dalam mengantisipasi perubahan iklim dan mendukung pembangunan berkelanjutan.
B. TUJUAN
1. Mendapatkan gambaran umum secara langsung tentang kearifan lokal yang ada
di kampung adat di Provinsi Jawa Barat
2. Mengidentifikasi konsep-konsep kearifan lokal sebagai model pengelolaan
lingkungan dalam menghadapi perubahan iklim dan mendukung pembangunan
berkelanjutan.
3. Mendidentifikasi kebijakan Pemerintah Daerah tentang Kearifan Lokal
Masyarakat Adat di Jawa Barat
4. Menggali persepsi Masyarakat tentang Permasalahan Lingkungan (Perubahan
Iklim)
E. AGENDA SURVEY
UNFCC
Konvensi Perubahan Iklim bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi GRK pada tingkat
aman yang tidak membahayakan sistem iklim global (Pasal 2). Dalam konvensi ini belum
dicantumkan target-target yan mengikat.
Prinsip dari Konvensi Perubahan Iklim tercantum dalam Pasal 3 Konvensi Perubahan Iklim
yaitu :
1. Kesetaraan (Equity) Iklim global dan sistem iklim dimiliki secara adil dan setara oleh
semua umat manusia, termasuk generasi mendatang.
2. Tanggung jawab bersama tapi berbeda (Common but differentiated responsibilities).
Semua negara pihak mempunyai tanggung jawab yang sama namun dalam tingkat yang
berbeda dalam hal target pengurangan emisi gas rumah kaca. Karena sampai sekarang
sebagian besar emisi dihasilkan negara maju, dan mempunyai kemampuan paling besar
untuk mengurangi emisi GRK, maka mereka harus mengambil porsi tanggung jawab
paling besar dalam menangani perubahan iklim.
Apabila ada ancaman kerusakan yang serius, ketiadaan kepastian ilmiah tidak boleh
digunakan sebagai alasan untuk menunda tindakan pencegahan. Dunia tidak bisa
menunggu hasil kajian ilmiah yang mutlak tanpa melakukan sesuatu untuk mencegah
dampak pemanasan global lebih lanjut.
4. Pembangunan Berkelanjutan
Meski prinsip pembangunan berkelanjutan masih sering diperdebatkan, namun dapat
digambarkan sebagai ”Pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa
mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka pula”.
Setelah diratifikasi oleh sekitar 175 negara, pada tanggal 21 Maret 1994, Konvensi
Perubahan Iklim akhirnya dinyatakan berkekuatan hukum dan bersifat mengikat para pihak
yang telah meratifikasi. Indonesia meratifikasi Konvensi tersebut dengan Undang-Undang
nomor 6 Tahun 1994. Negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi disebut Para Pihak
atau Parties, dan terikat secara hukum pada ketentuan dalam Konvensi.
Negara-negara yang meratifikasi Konvensi ini dibagi dalam 2 kelompok, yaitu Negara
Annex I dan Negara Non-Annex I. Negara Annex I adalah negara-negara yang telah
menyumbangkan pada GRK akibat kegiatan manusia sejak revolusi industri tahun 1850-an,
yaitu: Amerika Serikat, Australia, Austria, Belanda, Belarusia, Belgia, Bulgaria, Ceko,
Denmark, Estonia, Finlandia, Federasi Rusia, Jerman, Hongaria, Irlandia, Italia, Inggris,
Islandia, Jepang, Kanada, Kroasia, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxemburg, Monako,
Norwegia, Polandia, Portugal, Perancis, Rumania, Selandia Baru, Slovakia, Slovenia,
Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Ukraina, Uni Eropa dan Yunani. Sedangkan Negara Non-
Annex I adalah negara-negara yang tidak termasuk dalam Annex I (Indonesia di dalamnya),
yang kontribusinya terhadap GRK jauh lebih sedikit serta memiliki pertumbuhan ekonomi
yang jauh lebih rendah. Selain itu UNFCCC mencantumkan Annex II yaitu negara-negara
maju yang diwajibkan menyediakan sumberdaya keuangan guna membayar biaya adaptasi
yang dikeluarkan negara berkembang untuk menghadapi perubahan iklim (Pasal 4 ayat 3).
IPCC
SBSTA
COP (Intergovernmental
(Subsidiary Body for Scientific
(Conference of the Parties) Panel on Climate
and Technology Advice)
Change)
Badan Implementasi
Kyoto Protocol) Long-term Cooperative Action)
Organisasi keuangan independen yang
menyediakan hibah kepada negara
United Nations
berkembang dalam bentuk proyek-
working group yang dibentuk sebuah proses negosiasi yang Environment
proyek yang memberikan manfaat
dibawah Protokol Kyoto melibatkan negara-negara non- Programme (UNEP)
lingkungan secara global dan
peratifikasi Protokol Kyoto serta mempromosikan kehidupan yang
negara-negara berkembang. berkesinambungan di tingkat masyarakat
lokal. World Bank
BADAN Ad Hoc
(salah satu hasil kesepakatan COP)
Badan Keuangan UNFCC
Gambar-1. Diagram Kelembagaan di bawah UNFCC (sumber: dimodifikasi dari beberapa literatur)
Kyoto Protokol
Protokol Kyoto adalah sarana teknis untuk mencapai tujuan Konvensi Perubahan Iklim. Jadi
protokol ini menetapkan sasaran penurunan emisi oleh negara industri sebesar 5% di bawah
tingkat emisi 1990 dalam periode 2008-2012. Dengan demikian dapat dipahami perbedaan
antara konvensi perubahan iklim danProtokol Kyoto. Konvensi adalah seperti Undang-
undang dan Protokol adalah penjabaran langkah langkah lebih rinci dan spesifik untuk
mencapai tujuan dari undang-undang layaknya sebuah peraturan pemerintah. Jadi Protokol
Kyoto adalah penjabaran sebagian ketentuan dalam Konvensi Perubahan Iklim. Negara
yang meratifikasi sebuah protokol akan terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan
di dalamnya.
Protokol Kyoto terdiri dari 28 pasal dan dua lampiran (annex) serta menetapkan penurunan
emisi GRK akibat kegiatan manusia, mekanisme penurunan emisi, kelembagaan, serta
prosedur penataan dan penyelesaian sengketa. Annex A mencantumkan jenis GRK yang
diatur protokol yaitu : Karbondioksida (C0 2), metana (CH4), nitrogen oksida (N20),
hidrofluorokarbon (HFC), Perfluorokarbon (PFC) dan sulfur heksaflourida (SF 6) beserta
sumber emisinya seperti pembangkit energi, proses industri, pertanian dan pengolahan
limbah.
Negara berkembang tidak diwajibkan menurunkan emisi tetapi bisa melakukannya secara
sukarela dan diminta melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang lebih bersih dan lebih
ramah iklim. Untuk itu, negara maju diwajibkan memfasilitasi alih teknologi dan
menyediakan dana bagi program pembangunan berkelanjutan yang ramah iklim.
Protokol Kyoto menyatakan bahwa negara Annex I pada Konvensi Perubahan Iklim harus
mengurangi emisi melalui kebijakan dan langkah-langkah di dalam negeri, antara lain
meningkatkan efisiensi penggunaan energi, perlindungan perosot (peresap) GRK, teknologi
yang ramah iklim dan sebagainya. Selain itu, untuk memudahkan negara maju memenuhi
sasaran penurunan emisi, Protokol Kyoto juga mengatur mekanisme fleksibel, yakni:
Ketiga mekanisme fleksibilitas ini mengutamakan cara-cara yang paling murah dan
mudah untuk mengurangi emisi GRK. Dalam kenyataannya, justru mekanisme ini yang
berjalan sementara komitmen untuk pengurangan emisi di tingkat nasional negara
Annex I tersendat-sendat.
1. Protokol harus diratifikasi oleh sedikitnya 55 negara yang sudah meratifikasi Konvensi
Perubahan Iklim
2. Jumlah emisi total dari negara-negara Annex I yang meratifikasi protokol minimum
55% dari total emisi mereka pada 1990.
Pemerintah AS dan Australia menolak meratifikasi Protokol kyoto karena khawatir akan
mengganggu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi lapangan pekerjaan. Mereka juga tidak
sepakat apabila negara berkembang, terutama yang dianggap sebagai berpotensi menjadi
penyumbang emisi GRK (India, China dan Brazil, misalnya) tidak diwajibkan menurunkan
emisi. Hal ini membuat Protokol Kyoto ”agak pincang” karena usulan mekanisme
fleksibilitas terutama tentang perdagangan emisi justru berasal dai AS.
Dalam perjalanan dan pelaksanaannya ternyata terbentuk dua blok besar yang tergabung
dalam blok negara-negara maju (developed countries) dan blok negara negara berkembang
(developing countries). Selanjutnya kedua blok besar tersebut terbagi lagi dalam berbagai
kelompok yang lebih kecil guna memperjuangkan kepentingan dan pendapatnya masing-
masing.
Untuk negara-negara Annex I, terdiri dari Uni Eropa (15 negara), JUSSCANNZ (7 negara),
Kelompok Payung (9 negara), serta Rusia dan CEIT (14 negara). Sedangkan untuk
negaranegara Non-Annex I, terdiri dari G77 + Cina (131 negara), OPEC (11 negara),
GRULAC (33 negara), Kelompok Afrika (53 negara), AOSIS (42 negara), dan CEIT (11
negara). Posisi Indonesia yang tergabung dalam kelompok G77 + Cina dan OPEC seringkali
mengalami kesulitan dan dilema ketika dalam proses pengambilan keputusan pada forum-
forum internasional, karena tidak mampu menahan laju kepentingan pragmatis dari sebagian
anggota kelompoknya.
Banyak pakar berpendapat walaupun sudah ada prosedur untuk implementasinya, Protokol
Kyoto dapat dikatakan belum efektif dapat mengurangi emisi GRK. Hal ini karena jumlah
negara maju yang meratifikasi belum memenuhi persyaratan. Saat ini 109 negara sudah
meratifikasinya, tetapi emisi 24 negara maju yang terdapat didalamnya baru mencapai 43%.
Padahal, baru dapat dikatakan efektif apabila pengurangan emisi minimum 55%. Dalam
salah satu pertemuan di PBB, wakil dari Brazil mengatakan bahwa emisi justru meningkat
dua kali lipat dibandingkan ketika Konvensi Perubahan Iklim ditandatangani pada 1992.
Alasan utama mengapa kesepakatan iklim tidak efektif adalah karena kedua perjanjian ini
sebenarnya tidak merundingkan pengurangan emisi secara tuntas. Sebaliknya keduanya
adalah bagian dari tawarmenawar yang lebih luas antara negaranegara kaya dan negara
miskin, perebutan sumberdaya dan hak untuk menggunakan energi, dan persaingan
Gender merupakan kajian tentang tingkah laku perempuan dan hubungan sosial antara laki-
laki dan perempuan. Gender bukan mengenai perbedaan jenis kelamin laki-laki dan
perempuan yang bersifat biologis. Ciri maskulin atau feminim itu tergantung dari konteks
sosial-budaya bukan semata-mata pada perbedaan jenis kelamin. Dalam satu budaya
sesuatu yang dianggap maskulin bisa dianggap sebagai feminim dalam budaya lain.
Munculnya isu perubahan iklim terkait dengan isu gender disebabkan karena perubahan
iklim akan berbeda dampaknya di setiap negara, wilayah, generasi, kelas masyarakat,
pekerjaan, usia, pendapatan dan jenis kelamin. Ketika bencana alam dan perubahan
lingkungan terjadi perempuan dan laki-laki mengalami dampak yang berbeda disebabkan
peran dan tanggung jawab yang dikonstruksikan secara sosial dan tradisional juga berbeda.
Beberapa alasan yang dikemukakan mengapa perempuan lebih rentan terkena dampak
perubahan iklim dikarenakan :
1. Perempuan cenderung untuk bergantung pada lingkungan alam sebagai sumber
penghidupan daripada laki-laki, oleh karena itu perempuan lebih rentan
dibandingkan laki-laki terhadap ketidakmenentuan dan perubahan iklim.
2. Perempuan dan anak perempuan biasanya ditugaskan mengangkut air, mencari
makanan ternak, kayu bakar, dan juga makanan. Di masa-masa iklim yang sulit
mereka harus menghadapi sumber daya alam yang semakin terbatas dan beban yang
lebih berat.
Fakta lain menurut hasil analisis LSE (London School of Economics) terhadap 141 negara
yang terkena bencana, juga menunjukkan bahwa pada setiap bencana baik akibat dari
perubahan iklim atau tidak, perempuan lebih banyak menjadi korban daripada laki-laki
dengan perbandingan 4 : 1. Fenomena ini juga terjadi di negara maju dan kaya, dimana
dampak perubahan iklim lebih dirasakan oleh perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini
terbukti selama gelombang panas yang ekstrim terjadi di Eropa pada 2003, kurang lebih
20.000 penduduk mati di Perancis, di antara angka tersebut perempuan tua adalah jumlah
yang terbanyak.
Namun walaupun kenyataan memperlihatkan bahwa dampak perubahan iklim lebih banyak
dirasakan oleh perempuan, tetapi strategi dan kebijakan yang terkait mitigasi (pengurangan)
emisi karbon seringkali mengabaikan dimensi gender. Pengetahuan perempuan tentang
ekosistem dan upaya sehari-hari yang mereka lakukan serta pengalaman mereka
menghadapi bencana alam dan keterbatasan air tidak menjadi bahan pertimbangan untuk
sebuah program. Perempuan seringkali tidak terwakili dalam perencanaan dan proses
pengambilan keputusan. Meskipun saat ini ada kelompok yang yang sudah mengalamatkan
isu gender dalam area perlindungan iklim, namun jumlahnya masih terbatas. Proses-proses
negosiasi perubahan iklim, baik lokal, nasional dan internasional, belum melibatkan
partisipasi perempuan yang cukup nyata. Belum terlihat pemahaman akan kesamaan gender
dalam kesepakatan-kesepakatan global yang dibuat.
18 Sejarah/Latar Belakang
18.1 Disepakati pada bulan September tahun 2000 dan ditandatangani oleh 189
negara anggota PBB dalam KTT yang pencanangannya paling lambat dilaksanakan
pada tahun 2015
19 Definisi
19.1 adalah delapan tujuan yang diupayakan untuk dicapai pada tahun 2015
20 TUJUAN
INDIKATOR :1. Persentase penduduk dengan pendapatan di bawah US$1 (PPP) per
hari. 2. P ersentase penduduk dengan tingkat konsumsi di bawah garis kemiskinan
nasional. 3. I ndeks kedalaman kemiskinan. 4. I ndeks keparahan kemiskinan. 5. P
roporsi konsumsi penduduk termiskin (kuantil pertama).
20.2.1 Target 3 Menjamin pada tahun 2015, semua anak, di manapun, laki-laki
maupun perempuan, dapat menyelesaikan pendidikan dasar
INDIKATOR : 11. Rasio anak perempuan terhadap anak laki-laki di tingkat pendidikan
dasar, lanjutan dan tinggi, yang diukur melalui angka partisipasi murni anak perempuan
terhadap anak laki-laki (%). 12. R asio melek huruf perempuan terhadap laki-laki usia
15-24 tahun, yang diukur melalui angka melek huruf perempuan/laki-laki (indeks
paritas melek huruf gender) (%). 13. T ingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK )
perempuan (%). 14. T ingkat pengangguran terbuka (TPT) perempuan (%). 15. K
ontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan (%). 16. T ingkat daya beli (Purchasing
Power Parity, PPP) pada kelompok perempuan (%). 17. P roporsi perempuan dalam
lembaga-lembaga publik (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) (%).
INDIKATOR : 18. A ngka Kematian Bayi (AKB) per 1000 kelahiran hidup. 19. A ngka
Kematian Balita (AKBA ) per 1000 kelahiran hidup. 20. A nak usia 12-23 bulan yang
diimunisasi campak (%).
INDIKATOR : 21. A ngka kematian ibu melahirkan (AKI) per 100.000 kelahiran hidup.
22. P roporsi kelahiran yang ditolong oleh tenaga kesehatan (%). 23. P roporsi wanita
15-49 tahun berstatus kawin yang sedang menggunakan atau memakai alat keluarga
berencana (%).
20.6.1 Target 7 Mengendalikan penyebaran HIV dan AIDS dan mulai menurunnya
jumlah kasus baru pada tahun 2015
INDIKATOR : 24. Prevalensi HIV dan AIDS (%). 25. Penggunaan kondom pada
hubungan seks berisiko tinggi (%). 26. Penggunaan kondom pada pemakai kontrasepsi
(%). 27. Persentase penduduk usia muda 15-24 tahun yang mempunyai pengetahuan
komprehensif tentang HIV/ AIDS (%).
INDIKATOR : 28. P revalensi malaria per 1.000 penduduk. 29. P revalensi tuberkulosis
per 100.000 penduduk. 30. A ngka penemuan pasien tuberkulosis BTA positif baru (%).
31. A ngka keberhasilan pengobatan pasien tuberkulosis (%).
20.7.2 Target 10 Menurunkan proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air
minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar sebesar separuhnya
pada 2015
20.7.3 Target 11 Mencapai perbaikan yang berarti dalam kehidupan penduduk miskin
di pemukiman kumuh pada tahun 2020
INDIKATOR : 49. P roporsi rumah tangga yang memiliki atau menyewa rumah (%).
INDIKATOR : 50. Rasio antara jumlah Ekspor dan Impor dengan PDB (%). 51. Rasio
antara Kredit dan Tabungan (LDR) Bank Umum (%). 52. Rasio antara Kredit dan
Tabungan (LDR) Bank Perkreditan Rakyat (%).
INDIKATOR : 53. R asio pinjaman luar negeri terhadap PDB. 54. Debt-to-Service Ratio
(DSR).
INDIKATOR : 55. T ingkat pengangguran usia muda (15-24 tahun); 56. T ingkat
pengangguran usia muda (15-24 tahun) menurut jenis kelamin; 57. T ingkat
pengangguran usia muda (15-24 tahun) menurut provinsi.
INDIKATOR : 58. P ersentase rumah tangga yang memiliki telepon dan telepon selular.
59. P ersentase rumah tangga yang memiliki komputer personal dan mengakses internet
melalui komputer.
21 Indonesia
22.1 2007
Telah tercapai
Kemiskinan (Nasional)
Tinggi
Relatif Stagnan
Relatif Stagnan
Stagnan
Gizi Buruk
Gizi Kurang
Sesuai Target
Tujuan 2 :
Target 3 : Menjamin pada 2015 semua anak dimanapun, laki-laki maupun perempuan dapat
menyelesaikan pendidikan dasar
Sesuai Target
Sesuai Target
Sesuai Target
Sesuai Target
Tujuan 3 :
Telah Tercapai
Sesuai Target
Telah Tercapai
Telah Tercapai
Sesuai Target
Naik Perlahan
Naik Perlahan
Relatif Stagnan
Kesenjangan Upah
Naik Perlahan
Perempuan di DPR
Menurun
Tujuan 4 :
Target 5 : Menurunkan Angka Kematian Balita sebesar dua-per-tiganya antara 1990 dan
2015
Sesuai Target
Naik Perlahan
Naik Perlahan
Tujuan 5 :
Target 6 : Menurunkan Angka Kematian Ibu sebesar tiga-per-empatnya antara 1990 dan
2015 16 Tingkat Kematian Ibu (Per 100.000) 390 307 110 Tidak ada
Banyak Kemajuan
Tujuan 6 :
Target 7 : Mengendalikan Penyebaran HIV/AIDS dan muali menurunkan kasus baru pada
2015
Persentase populasi usia 12-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang
HIV/AIDS
Laki-laki
Perempuan
Target 8 :Mengendalikan Penyakit Malaria dan muali menurunnya kasus Malaria dan
Penyakit lainnya tahun 2015
Menurun perlahan
Menurun perlahan
Tujuan 7 :
Deforestasi kronis
Terus bertambah
Terus bertambah
Terus bertambah
Emisi CO2
Turun perlahan
Penggunaan Biomassa
Turun perlahan
Target 10: Menurunkan hingga separuhnya proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber
air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar pada 2015
Sesuai Target
Telah tercapai
Sesuai Target
Telah tercapai
Telah tercapai
Telah tercapai
Target 11: Memperbaiki kehidupan penduduk miskin yang hidup di pemukiman kumuh
pada 2020
Sesuai Target
Tujuan 8
Target 12. Melakukan pembangunan lebih lanjut sistem keuangan dan perdagangan yang
terbuka, berbasis peraturan dan diprediksi dan non-diskriminatif
Rasio Ekspor-Impor dengan PDB
Target 15. Penanggulangan Masalah pinjaman luar negeri melalui upaya nasional maupun
internasional dala rangka pengelolaan utang luar negeri yang berkelanjutan dan berjangka
panjang
Terus Turun
Terus Turun
Terus Naik
Target 18. Bekerjasama dengan sektor swasta dalam memanfaatkan teknologi baru,
terutama teknologi informasi dan komunikasi
Naik Perlahan
Naik Perlahan
Naik Perlahan
Naik Perlahan
22.2 2005
22.3 2004
22.3.1 Laporan I