You are on page 1of 57

LAPORAN HASIL KERJA BULANAN

TENAGA AHLI KEGIATAN


DIREKTORAT LINGKUNGAN HIDUP BAPPENAS
TAHUN ANGGARAN 2010

NAMA TENAGA AHLI : THERESIA RACHMALIA GINTING, S.Pi, M.Si


KAJIAN PERAN KEARIFAN LOKAL DALAM
MENGANTISIPASI PERUBAHAN IKLIM DAN
NAMA KEGIATAN :
MENDUKUNG PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN
PERIODE KERJA : APRIL 2010 – NOVEMBER 2010

PERIODE LAPORAN : APRIL 2010

Target laporan bulan April Kegiatan Kajian Peran Kearifan Lokal Dalam
Mengantisipasi Perubahan Iklim Dan Mendukung Pembangunan Berkelanjutan
sesuai dengan uraian tugas dalam kontrak dan outline laporan kajian yang
disepakati:
1. Draft Outline Laporan
2. Tinjauan Pustaka mengenai Perubahan Iklim dan Hasil-hasil Penelitian
3. Draft TOR Rapat Lintas Sektor I
4. Drat TOR Survey Lapangan 2
5. Review Literature: UU No. 32/2009 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, UNFCC, Kyoto Protokol, Gender dan Pengelolaan SDALH, MDGs
1. DRAFT OUTLINE LAPORAN

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 1


DRAFT OUTLINE KAJIAN
KEARIFAN LOKAL DALAM MENGATISIPASI PERUBAHAN IKLIM DAN
MENDUKUNG PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

PENANGGUNG JAWAB
OUTLINE
Tenaga Ahli (TA) Staf Dir LH
KATA PENGANTAR Tim TA
DAFTAR ISI Tim TA
DAFTAR TABEL Tim TA
DAFTAR GAMBAR Tim TA
BAB 1. PENDAHULUAN Tim TA
1.1 Latar Belakang
1.2 Permasalahan
1.3 Tujuan
1.4 Ruang Lingkup
1.5 Keluaran
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kearifan Lokal S1 Antrop
2.1.1 Konsep dan Definisi Kearifan Lokal
2.1.1.1 Perspektif Global
2.1.1.2 Perspektif Nasional
2.1.1.3 Perspektif Lokal
2.1.2 Kearifan Lokal Di Indonesia
2.1.3 Hasil-hasil Penelitian Masyarakat
Adat dan Kearifan lokalnya
2.2 Perubahan Iklim S2 Lingkungan
2.2.1 Definisi Perubahan Iklim
2.2.2 Fenomena Perubahan Iklim di
Asia/Southeast Asia
2.2.3 Hasil-hasil Penelitian Perubahan
Iklim di Indonesia
2.3 Pembangunan Berkelanjutan S2 Sosek
2.3.1 Definisi Pembangunan Berkelanjutan
2.3.2 Konsep Pembangunan Berkelanjutan
2.3.3 Strategi Pembangunan Berkelanjutan
BAB 3. METODOLOGI KAJIAN Tim TA
3.1 Lokasi Kegiatan
3.2 Waktu Kegiatan
3.3 Teknik Pengumpulan Data
3.4 Analisa data
BAB 4. KOMITMEN GLOBAL Tim TA Tri Virgiyanti,
4.1 Masyarakat Adat dan Kearifan Lokal Syamsidar
4.2 Masyarakat Adat /Kearifan Lokal Thamrin,
dalam UNFCCC Anna Amalia,
4.3 Masyarakat Adat/ Kearifan Lokal Erik Armundito
dalam Pembangunan Berkelanjutan
BAB 5. KEBIJAKAN PEMERINTAH Ersa Herwinda
5.1 Kearifan Lokal S1 Antrop
5.2 Perubahan Iklim S2 Lingkungan
5.3 Pembangunan Berkelanjutan S2 Sosek
BAB 6. KEARIFAN LOKAL DALAM

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 2


PENGELOLAAN SUMBER
DAYA ALAM
6.1 Sumber Daya Alam Pesisir dan Lautan
6.2 Sumber Daya Alam Hutan
6.3 Sumber Daya Pertanian
BAB 7. DAMPAK PERUBAHAN IKLIM S2 Lingkungan
7.1 Sumber Daya Alam Pesisir dan Lautan
7.2 Sumber Daya Alam Hutan
7.3 Sumber Daya Pertanian
7.4 Sumber Daya Air
BAB 8. MODEL PERAN KEARIFAN Tim TA
LOKAL DALAM
MENGANTISIPASI DAMPAK
PERUBAHAN IKLIM : Studi Kasus
8.1 Model Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pesisir dan Lautan ( Bali & Jawa Barat)
– Implikasi Sosek
8.2 Model Pengelolaan Sumber Daya Alam
Hutan (Jawa Barat & Sumba) –
Implikasi Sosek
BAB 9. ANALISIS PERAN KEARIFAN
LOKAL DALAM
MENGANTISIPASI DAMPAK
PERUBAHAN IKLIM
9.1 Sumber Daya Pesisir dan Lautan S2 Lingkungan, S1
Antrop
9.2 Sumber Daya Hutan S2 Lingkungan, S1
Antrop
9.3 Sumber Daya Pertanian S2 Lingkungan, S1
Antrop
9.4 Sumber Daya Air S2 Lingkungan, S1
Antrop
9.5 Implikasi Sosial S2 Sosek
9.6 Implikasi Ekonomi S2 Sosek
BAB 10. STRATEGI PEMANFAATAN
PERAN KEARIFAN LOKAL
DALAM MENGANTISIPASI
PERUBAHAN IKLIM DAN
PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN
10.1 Penggalian Kearifan Lokal S1 Antrop
10.2 Pemberdayaan Kelembagaan Lokal S2 Lingkungan
10.3 Kerjasama Pengelolaan S2 Lingkungan
10.4 Strategi Pengembangan Sosial S2 Sosek
Ekonomi
10.5 Implikasi Terhadap Pembangunan S2 Sosek
Berkelanjutan
BAB 11. KESIMPULAN DAN SARAN Tim TA Semua Staf Dir.
LH
11.1 Kesimpulan
11.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 3


LAMPIRAN

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 4


2. Tinjauan Pustaka Perubahan Iklim dan Hasil-
hasil Penelitian

2.2. Perubahan Iklim

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 5


Iklim memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan. Faktor penting pengatur
iklim adalah suhu atmosfer, karena suhu merupakan sumber energi yang menggerakkan
faktor-faktor iklim. Suhu atmosfer ditentukan oleh oleh kadar-kadar gas yang terlarut dalam
udara. Gas-gas penyusun udara tersebut secara umum sering disebut gas-gas rumah kaca
(greenhouse gases) dan sudah terbentuk secara alamiah sejak awal terbentuknya bumi
(Akhadi, 2009).

Gas-gas rumah kaca yang menyusun atmosfer bumi bekerja menyerupai kaca pada rumah
kaca. Hal ini pertama kali dikemukakan oleh seorang ahli matematika dari Perancis, Jean
Fourier ( Akhadi, 2009). Gas-gas rumah kaca tersebut bersifat transparan terhadap sinar
matahari bergelombang pendek yang berasal dari angkasa, sehingga sinar tersebut dapat
masuk melewati atmosfer mencapai permukaan bumi. Setelah mencapai permukaan bumi,
sinar matahari akan dipantulkan kembali oleh benda-benda yang ada di permukaan bumi
dalam bentuk gelombang panjang sinar infra merah. Gas-gas rumah kaca ternyata juga
memiliki sifat tidak transparan terhadap sinar infra merah tadi, sehingga sinar itu tetap
terperangkap dan energinya diserap oleh gas-gas rumah kaca dalam atmosfer. Peristiwa
inilah yang mempertahankan suhu sehingga permukaan bumi tetap terasa hangat.

Pada temperatur rata-rata permukaan bumi sebesar 288K(15°C), emisi sinar infra merah
yang dipancarkan kembali oleh permukaan bumi adalah sebesar 390 W/m2, sedang pada
lapisan terluar atmosfer emisi terukur hanya sebesar 236 W/m2. Perbedaan emisi yang
terukur ini menunjukkan adanya penyerapan energi sinar infra merah oleh gas-gas rumah
kaca dalam atmosfer sehingga terjadi efek rumah kaca. Jika gas-gas tersebut tidak ada,
maka suhu permukaan bumi akan menjadi 33°C lebih dingin dari saat ini, sehingga bumi
menjadi beku, tandus dan tidak ada kehidupan, seperti kondisi Planet Mars saat ini.
Semakin tinggi kadar gas rumah kaca, semakin tinggi pula efek rumah kaca yang dihasilkan,
sehingga semakin tinggi pula suhu atmosfer bumi.

Terganggunya keseimbangan gas-gas rumah kaca alamiah yang menyusun atmosfer


disepakati oleh para ilmuan sebagai penyebab terjadinya pemanasan global. Pemanasan
global adalah meningkatnya temperatur suhu rata-rata di atmosfer, laut dan daratan di bumi
(Rusbiantoro, 2008). Efek buruk dari pemanasan global inilah yang menimbulkan
keresahan di antara para ilmuan karena dapat menyebabkan perubahan iklim yang dapat
menurunkan kualitas lingkungan hidup dan merugikan berbagai kehidupan.

2.3. Definisi Perubahan Iklim

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 6


Banyak pihak mengeluarkan pendapat mengenai definisi perubahan iklim. Menurut
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2008 Tentang Dewan Nasional
Perubahan Iklim selaku koordinator pelaksanaan pengendalian perubahan iklim, perubahan
Iklim adalah berubahnya kondisi rata-rata iklim dan/atau keragaman iklim dari satu kurun
waktu ke kurun waktu yang lain sebagai akibat dari aktivitas manusia.

Kementerian Lingkungan Hidup 2004, menyatakan bahwa perubahan iklim adalah


perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara
berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara 50 sampai 100 tahun (inter
centenial). Dalam pengertian ini dipahami bahwa perubahan disebabkan oleh kegiatan
manusia (anthropogenic), khususnya yang berkaitan dengan pemakaian bahan bakar fosil
dan alih guna lahan. Perubahan yang disebabkan oleh faktor-faktor alami, seperti tambahan
aerosol dari letusan gunung berapi, tidak diperhitungkan dalam pengertian perubahan iklim.
Dengan demikian fenomena alam yang menimbulkan kondisi iklim ekstrem seperti siklon
yang dapat terjadi di dalam suatu tahun (inter annual) dan El-Nino serta La-Nina yang dapat
terjadi di dalam sepuluh tahun (inter decadal) tidak dapat digolongkan ke dalam perubahan
iklim global. Kegiatan manusia yang dimaksud adalah kegiatan yang telah menyebabkan
peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer, khususnya dalam bentuk karbon dioksida (CO2),
metana (CH4), dan nitrous oksida (N2O). Gas-gas inilah yang selanjutnya menentukan
peningkatan suhu udara, karena sifatnya yang seperti kaca, yaitu dapat meneruskan radiasi
gelombang pendek yang tidak bersifat panas, tetapi menahan radiasi gelombang panjang
yang bersifat panas.

LAPAN 2002, mendefinisikan perubahan iklim adalah perubahan rata-rata salah satu atau
lebih elemen cuaca pada suatu daerah tertentu. Sedangkan istilah perubahan iklim skala
global adalah perubahan iklim dengan acuan wilayah bumi secara keseluruhan.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, 2001) sebagai sebuah lembaga panel
internasional yang beranggotakan lebih dari 100 negara di seluruh dunia menyatakan
definisi perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada
variabilitas yang nyata secara statistik untuk jangka waktu yang panjang (biasanya satu
dekade atau lebih). Para ahli memperjelas bahwa perubahan iklim mungkin terjadi karena
proses alam internal maupun ada kekuatan eksternal, atau ulah manusia yang terus menerus
sehingga merubah komposisi atmosfer dan tata guna lahan.

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 7


Banyaknya definisi perubahan iklim menimbulkan perdebatan banyak pihak. Salah satu
definisi yang umumnya diterima adalah berdasarkan pasal 1 Konvensi PBB mengenai
Perubahan Iklim yang menyatakan :
“Climate change means a change of climate which is attributed directly or inderictly to
human activities that alters the composition of the global atmosphere and which is in
addition to natural climate variability observed over comparable time periods.” atau dalam
bahasa Indonesia di artikan sebagai berikut : “Perubahan iklim ialah berubahnya iklim yang
diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang menyebabkan
perubahan komposisi atmosfer secara global dan selain itu juga berupa perubahan
variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan.”

2.4. Fenomena Perubahan Iklim Di Asia

Fenomena perubahan iklim melanda semua negara di seluruh belahan bumi. Namun
dampak terbesar lebih banyak dirasakan oleh negara-negara Asia khususnya Asia Tenggara,
seperti : intensitas dan frekuensi kejadian cuaca ekstrim, penurunan hasil panen pertanian,
kerusakan ekosistem sumber daya hutan, kerusakan ekosistem sumber daya pesisir dan
lautan, peningkatan wabah penyakit, kerugian ekonomi dan penderitaan manusia yang tidak
ternilai harganya (ADBs report, 2009).

Dampak buruk ini rentan dialami oleh negara-negara Asia Tenggara disebabkan karena
secara geografis Asia Tenggara terletak di sepanjang garis busur benua dan daerah
kepulauan lepas pantai, Asia Tenggara merupakan negara-negara dinamis yang sedang
dalam proses pertumbuhan sehingga banyak perubahan yang cepat di segala bidang,
memiliki jumlah penduduk tinggi, dan sangat bergantung pada sumber daya alam baik hutan
maupun pesisir lautan (ADBs report, 2009).

Berdasarkan laporan IPCC (2007), telah terjadi peningkatan suhu udara permukaan rata-rata
di Asia Tenggara selama beberapa dekade terakhir, dengan kenaikan 0,1-0,3°C per
dasawarsa selama 50 tahun terakhir, seperti di Indonesia Rataq (2007) melaporkan bahwa
suhu rata-rata di Jakarta tercatat meningkat sekitar 1,04oC pada bulan Januari (musim
basah) dan 1,40oC pada bulan Juli (musim kering). Hilangnya salju pada Gunung
Jayawijaya Irian Jaya juga merupakan salah satu bukti jelas telah terjadi peningkatan suhu
rata-rata.

Menurut studi yang dilakukan oleh Tibig (2004) dan Manton et al. (2001) didukung laporan
IPCC (2007), telah terjadi peningkatan suhu rata-rata, maksimum dan minimum sebesar

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 8


0,14°C di Filipina sejak tahun 1971 per dekade. Studi ini menunjukkan peningkatan suhu
rata-rata tahunan, maksimum, dan minimum dalam beberapa tahun terakhir antara tahun
1961-1990 sebesar 0,61°C, 0,34°C, dan 0,89°C serta terjadi peningkatan frekuensi hari
panas/malam hangat dan penurunan jumlah hari dingin/malam sejuk.

Fenomena perubahan iklim di Singapura konsisten dengan trend global yang dirasakan.
Berdasarkan studi yang dilakukan tercatat peningkatan suhu sebasar 0,6°C antara tahun
1987 dan 2007 atau sekitar 0,3°C per dekade (ADBs report, 2009).

Selama 5 (lima) dekade pengamatan di Thailand, tercatat telah terjadi peningkatan suhu
sebesar 0,10°C-0,18°C dan diketahui suhu rata-rata pada siang hari dapat mencapai 40°C,
terutama selama bulan April (ADBs report, 2009). Sedangkan Di Vietnam, musim panas
dirasakan lebih panas dalam beberapa tahun terakhir karena peningkatan suhu rata-rata
bulanan sebesar 0,1°C-0,3°C dan peningkatan suhu rata-rata tahunan sebesar 0,1°C antara
tahun 1900-2000, dan 0,7°C antara tahun 1951-2000, atau 0,14°C per dekade (ADBs report,
2009). Peningkatan suhu rata-rata di beberapa kawasan Asia Tenggara dapat dilihat pada
Tabel 2.1 dibawah ini :

Tabel 2.1. Peningkatan Suhu Di Kawasan Asia Tenggara


Negara Perubahan Suhu (°C) Sumber
Indonesia Peningkatan 1.04°C-1.40°C per abad Rataq (2007)
Filipina Peningkatan 1,4°C per abad IPCC (2007)
Peningkatan 0,3°C per dekade antara tahun 1987-
Singapura HO (2008)
2007
Thailand Peningkatan 1.04°C–1.80°C per abad Jesdapipat (2008)
Vietnam Peningkatan 1,0°C per abad Cuong (2008)
Sumber : ADBs Report, 2009

Selain Asia Tenggara, wilayah tropis di Asia Tengah pada akhir abad 21 mungkin dan
sangat mungkin memanas lebih cepat daripada rata-rata pemanasan global tahunan
(Christensen et al. 2007 dalam Cifor 2009). Curah hujan selama musim panas monsun di
Asia Selatan mungkin meningkat (Christensen et al. 2007 dalam cifor 2009).

Selain itu fenomena lainnya menurut Christensen et al. 2007 dalam Cifor 2009, puncak
intensitas angin dari badai tropis mungkin meningkat sebagaimana ditemukan melalui
model tertanam resolusi tinggi serta model-model global (9 km hingga 100 km jarak titik
kisi) khusunya di daerah tropis Asia Tenggara dan Asia Selatan, membawa hujan yang
ekstrim. Proyeksinya menunjukkan penurunan frekuensi badai tropis yang lemah dan

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 9


peningkatan dalam jumlah badai tropis yang kuat, tetapi dengan keyakinan rendah 1 (Meehl
et al. 2007 dalam Cifor 2009). Tren perubahan iklim di kawasan Asia menurut IPCC dapat
dilihat pada Tabel 2.2 dibawah ini.

Tabel 2.2. Tren Perubahan Iklim di Kawasan Asia, menurut IPCC

Variabel Kawasan Keyakinan Tren


Suhu Asia Tengah dan Bagian Mungkin Memanas jauh di atas
Utara Asia rata-rata global
Suhu Bagian Timur dan Selatan Mungkin Memanas di atas rata-
Asia rata global
Suhu Asia Tenggara Mungkin Memanas menyamai
rata-rata global
Curah Hujan Bagian Utara Asia Sangat Mungkin Peningkatan curah
hujan selama musim
dingin di belahan utara
bumi
Curah Hujan Bagian Timur Asia dan Mungkin Peningkatan curah
Bagian Selatan dari Asia hujan selama musim
Tenggara dingin di belahan utara
bumi
Curah Hujan Asia Bagian Utara, Timur Mungkin Peningkatan curah
dan Selatan, Sebagian besar hujan selama musim
Asia Tenggara panas
Curah Hujan Asia Tengah Mungkin Penurunan curah hujan
di musim panas

Kondisi Asia Timur Sangat Mungkin Gelombang panas


Ekstrim untuk waktu yang
lebih lama, lebih kuat
dan lebih sering
Kondisi Asia Timur dan sebagian Sangat Mungkin Peningkatan frekuensi
Ekstrim dari Asia Selatan kejadian-kejadian
hujan lebat
Kondisi Asia Timur, Tenggara dan Mungkin Peningkatan hujan dan
Ekstrim Selatan angin yang ekstrim
terkait dengan badai
tropis
Sumber : Christensen et al. 2007 dalam Cifor 2009

2.5. Hasil Penelitian Perubahan Iklim

1
Berdasarkan Laporan Kajian Keempat IPCC (IPCC 2007), istilah-istilah berikut telah
digunakan untuk mengindikasikan tingkat kepercayaan terhadap kebenaran : keyakinan
sangat tinggi mewakili keadaan setidaknya 9 dari 10 peluang adalah benar, keyakinan tinggi
mewakili keadaan sekitar 8 dari 10 peluang adalah benar, keyakinan sedang mewakili
keadaan sekitar 5 dari 10 peluang adalah benar, keyakinan rendah mewakili keadaan sekitar
2 dari 10 peluang adalah benar, keyakinan sangat rendah mewakili keadaan kurang dari 1
dari 10 peluang adalah benar.

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 10


Perubahan iklim tidak dapat dihindarkan, perubahan iklim harus dihadapi. Oleh karena itu,
agar terekam sedikit gambaran tentang kehidupan dalam ancaman perubahan iklim para
ilmuan bekerjasama dengan pemerintah, pihak swasta, stakeholder maupun masyarakat
lokal/adat melakukan beberapa penelitian terkait perubahan iklim.

Penelitian dunia Internasional melalui IPCC (2007), mengungkapkan bahwa iklim global
terus berubah karena kegiatan manusia. Suhu global rata-rata meningkat hingga lebih dari
1,5°C-2,5°C, diproyeksikan akan ada perubahan yang besar pada iklim lokal berupa
perubahan pada rata-rata dan kisaran suhu, curah hujan dan kejadian-kejadian ekstrim
(Parry et al. 2007).

Malcolm et al. 2006 menjelaskan bahwa perubahan iklim dan konsentrasi karbondioksida
akan mempengaruhi struktur dan fungsi ekosistem, interaksi ekologi antar spesies dan
sebaran geografi spesies, dengan konsekuensi keragaman hayati. Efek perubahan iklim
terhadap sistem ekologi telah diamati di berbagai tingkat organisasi ekologi mulai dari
organisme hingga ekosistem (Corlett dan Lafrankie 1998; Gitay et al. 2002; Root et al.
2003; Clark 2007 dalam Cifor 2009). Hasil penelitian ini mengungkapkan perubahan
akibat perubahan iklim berpengaruh terhadap struktur dan fungsi ekologi, perputaran karbon
dan nitrogen, distribusi spesies, besarnya populasi, saat reproduksi atau migrasi, dan
lamanya musim pertumbuhan. Penelitian-penelitian ini menjelaskan bahwa perubahan
global dapat menjadi ancaman konservasi pada masa ini maupun masa mendatang, sehingga
penting untuk mempertimbangkan perubahan iklim dalam konservasi, pengelolaan dan
restorasi ekosistem sumber daya alam.

Hutan bakau juga telah diidentifikasi sebagai salah satu jenis hutan yang paling banyak
terancam oleh perubahan iklim. Ancaman utama bagi hutan bakau berasal dari naiknya
permukaan air laut dan perubahan-perubahan yang berkaitan dengan dinamika sedimen,
erosi dan salinitas. Naiknya permukaan laut diperkirakan akan terjadi dua kali lebih cepat
daripada kecepatan penumpukan sedimen (yang dibutuhkan untuk keberlangsungan hidup
hutan bakau) dan mengakibatkan tenggelamnya sejumlah delta. Selanjutnya, erosi akan
mengurangi luasan hutan bakau; erosi tebing pada sisi yang menghadap ke laut
menggoyahkan akar bakau, erosi permukaan di sepanjang permukaan rawa dan hilangnya
bantaran kali (Hansen et al. 2003). Hutan bakau juga akan dipengaruhi oleh perubahan
atmosfer lainnya, termasuk suhu, peningkatan karbondioksida dan badai. Pengeringan
hutan bakau akan menjadi sangat merusak, seperti kekeringan yang terjadi di Senegal dan
Gambia yang telah mempengaruhi hutan bakau (Dudley 1998).

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 11


Ekosistem di daerah-daerah semi tandus sangat sensitif terhadap perubahan curah hujan,
yang dapat mempengaruhi produktivitas vegetasi dan kemampuan tanaman untuk bertahan
hidup (Hulme 2005 dalam Cifor 2009). Penelitian yang dilakukan di Tanzania dan Kosta
Rika memperlihatkan bahwa hutan kering tropis sensitif terhadap perpindahan zona
kehidupan2 yang disebabkan perubahan iklim (Mwakifwamba dan Mwakasonda 2001;
Enquist 2002 dalam Cifor 2009). Hutan kering tropis kemungkinan besar dipengaruhi oleh
kekeringan dan kebakaran. Sedikit saja curah hujan tahunan berkurang diperkirakan bisa
membuat hutan kering tropis beresiko kebakaran hutan lebih besar dalam waktu dekat.
Musim kering yang panjang akan meningkatkan desikasi (pengeringan), membuat sistem
hutan lebih terpapar dan sensitif terhadap kebakaran. Namun,meningkatnya kebakaran pada
akhirnya akan memancing berkurangnya kebakaran karena berkurangnya tanaman yang
mudah terbakar seiring berjalannya waktu ( Goldammer dan Price 1998; Hansen et al. 2003
dalam Cifor 2009). Menurut Miles et al. 2006 dalam Cifor 2009, hutan kering tropis di
Amerika Latin akan lebih terpengaruh daripada yang berada di Afrika atau Asia.

Di Indonesia, menurut Rusbiantoro (2008) kenaikan permukaan air laut akibat perubahan
iklim akan menenggelamkan 50 m daratan dari garis pantai Kepulauan Indonesia yang
mempunyai panjang sekitar 81.000 km. Di prediksi sekitar 405.000 hektar daratan
Indonesia dan ribuan pulau kecil akan tenggelam dan 14.000 desa di wilayah pesisir akan
hilang pada tahun 2015.

Ilmuan kelautan dalam Rusbiantoro (2008) menyatakan bahwa jika laut mulai menghangat
dalam 100 tahun mendatang akibat pemanasan global maka laut akan menjadi terlalu panas
bagi ikan dan menjadi racun untuk biota laut lainnya. Terumbu karang akan mengalami
pemutihan dan mati karena tidak mampu beradaptasi dengan peningkatan suhu air laut.
Kematian terumbu karang akan menyebabkan kepunahan ikan karang dan biota lainnya
yang bernilai ekonomi tinggi seperti napoleon, kerapu macan, kerapu sunu, teripang, dan
lain sebagainya.

2
Dalam konteks ini, zona-zona kehidupan bisa dianggap sebagai habitat spesifik baik secara
biologis dan geografis dimana organisme tersebut tinggal. Dengan perubahan iklim, hal
tersebut mudah berpindah, sebagai contoh, habitat dari vegetasi spesifik bisa saja menjadi
ratusan kilometer lebih jauh setelah suatu kenaikan temperatur rata-rata global sebesar 2°C

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 12


3. DRAFT TOR RAPAT LINTAS SEKTORAL I

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 13


Term Of Reference (TOR)
RAPAT LINTAS SEKTOR

Kearifan Lokal (sumberdaya hutan, pesisir - lautan dan


pertanian) dalam mengantisipasi Perubahan Iklim dan
Mendukung Pembangunan Berkelanjutan

A. LATAR BELAKANG

Kemajuan suatu bangsa hanya dapat dicapai dengan melaksanakan pembangunan di segala
bidang. Pembangunan merupakan suatu upaya untuk mencapai target atau tujuan
peningkatan taraf hidup masyarakat agar tercapai kehidupan yang lebih sejahtera. Untuk
memenuhi kebutuhan pembangunan dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya alam,
sumber daya manusia dan teknologi. Dalam pola pembangunan harus memperhatikan
fungsi sumber daya alam dan sumber daya manusia serta teknologi agar dapat menunjang
proses pembangunan yang berkelanjutan.

Pembangunan Berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini


tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang (Komisi Brutland dalam
Djajadiningrat., ST, 2000). Pola pembangunan berkelanjutan mengharuskan pengelolaan
sumber daya alam dilakukan secara rasional dan bijaksana.

Untuk itu, diperlukan keterpaduan antara pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Namun pada kenyataannya, pembangunan berkelanjutan yang berjalan saat ini adalah suatu
proses perubahan yang di dalamnya terjadi eksploitasi sumber daya alam, pendayagunaan
sumber daya manusia dan pemanfaatan teknologi tanpa batas. Prinsip keberlanjutan,
keseimbangan, pembatasan dan non eksploitasi sering diabaikan untuk meningkatkan
potensi masa kini, masa depan dan demi memenuhi kebutuhan aspirasi manusia.

Akibatnya eksploitasi sumber daya alam tanpa batas menimbulkan masalah lingkungan.
Akumulasi kerusakan lingkungan tersebut mendasari munculnya masalah nasional,
regional, dan global yang lebih luas cakupannya dan berdampak. Salah satunya adalah
pemanasan global, sebagai faktor utama pemicu terjadinya perubahan iklim.

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 14


Penelitian dunia Internasional melalui IPCC (2001), mengungkapkan bahwa perubahan
iklim global terus terjadi karena kegiatan manusia sehingga merubah komposisi atmosfer
dan tata guna lahan. Perubahan ini menimbulkan beberapa dampak, seperti : intensitas dan
frekuensi kejadian cuaca ekstrim, penurunan hasil panen pertanian, kerusakan ekosistem
sumber daya hutan, kerusakan ekosistem sumber daya pesisir dan lautan, peningkatan
wabah penyakit, kerugian ekonomi dan penderitaan manusia yang tidak ternilai harganya
(ADBs report, 2009).

Menyadari dampak yang ditimbulkan akibat perubahan iklim sangat merugikan bagi
kehidupan umat manusia maka perlu diupayakan pemulihannya. Salah satu upaya tersebut
adalah dengan menerapkan pola pengelolaan lingkungan yang berbasis pengetahuan lokal
serta memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana mengikuti aturan yang berlaku di
wilayah tersebut atau lebih dikenal dengan istilah kearifan lokal.

Kearifan lokal mengutamakan keseimbangan dan menggunakan teknologi sederhana


sebagai landasan pengolahan dan pengelolaan lingkungan. Dalam pasal 1 (ayat 30) UU No
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, disebutkan
bahwa Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan
masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
Kearifan Lokal merupakan ilmu pengetahuan maupun pandangan hidup masyarakat
lokal/setempat yang diterapkan dalam strategi pemenuhan kebutuhan hidup. Kearifan lokal
diterapkan berdasarkan pemahaman dan pertimbangan ekosistem atau lingkungan setempat,
baik itu flora, fauna, mineral, maupun sumber daya manusia dan alam. Untuk itu, berbagai
upaya seperti mempertahankan, memperbaiki, dan mengembangkan kerap kali dilaksanakan
masyarakat lokal sebagai pemahaman yang telah tertanam atau menjadi budaya setempat.

Kearifan lokal seharusnya menjadi model dalam pengelolaan sumber daya alam lingkungan
sehingga tidak rentan terhadap perubahan iklim dan mendukung pembangunan
berkelanjutan. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-
menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di
dalamnya dianggap sangat universal.

Oleh karena itu, berkaitan dengan hal tersebut diperlukan suatu pertemuan yang mampu
menggali dan mengangkat model-model kearifan lokal lain yang dianggap masih efektif
dalam mengantisipasi perubahan iklim dan mendukung pembangunan berkelanjutan.
B. TUJUAN
Pertemuan ini mempunyai tujuan untuk :

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 15


a) Mendiskusikan posisi kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya hutan,
pesisir lautan dan pertanian sebagai model pengelolaan sumber daya alam
lingkungan dalam mengantisipasi perubahan iklim dan mendukung
pembangunan berkelanjutan.
b) Mengidentifikasi pola kearifan lokal yang dapat dijadikan dasar perumusan
strategi kebijakan dalam mengantisipasi perubahan iklim dan mendukung
pembangunan berkelanjutan.

C. HASIL YANG DIHARAPKAN

Terkumpulnya informasi dan pola pemikiran pengembangan kearifan lokal sebagai dasar
merumuskan kebijakan model pengelolaan lingkungan dalam mengantisipasi perubahan
iklim dan mendukung pembangunan berkelanjutan.

D. WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN

Hari/Tanggal : Rabu, 16 Juni 2010


Tempat : Ruang Rapat SS - 4, Bappenas
Gedung 2A Lantai 2
Jalan Taman Suropati No. 2 Jakarta

E. RUANG LINGKUP

Ruang lingkup pertemuan ini meliputi :

Narasumber Makalah mini dengan materi :

Dr. Herwasono Soedjito (LIPI) Kearifan Lokal dalam mengelola Sumber Daya
Hutan dan mengantisipasi Perubahan Iklim111)
Dr. Rani Mutiara (Kementrian Kearifan Lokal dalam mengelola Sumber Daya
Pertanian) Pertanian dan mengantisipasi Perubahan Iklim2)
Kearifan Lokal dalam mengelola Sumber Daya
Dr. Alan F Koropitan
Pesisir dan Laut serta mengantisipasi
(SPL, IPB)
Perubahan Iklim3)
Dr. Budi Gunawan Ekologi Lingkungan dan Kearifan Lokal dalam

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 16


(Antropologi, UNPAD) Pengelolaan Sumber Daya Alam 4)

Keterangan :
1) Nara sumber ini diharapkan dapat menjelaskan mengenai : a)Perubahan iklim dan kearifan lokal
di hutan; b) Dampak perubahan iklim terhadap hutan; c) Kajian-kajian atau hasil-hasil penelitian
hutan, kearifan lokal dan perubahan iklim; d) Model budaya/kearifan lokal dalam mengelola
hutan yang mengindikasikan adanya antisipasi perubahan iklim, deforestasi, dll; e) Model
budaya/kearifan lokal dalam mengelola hutan yang dapat digunakan untuk adaptasi perubahan
iklim; dan f)Model budaya/kearifan lokal dalam mengelola hutan yang diadopsi oleh kebijakan
saat ini.
2) Nara sumber ini diharapkan dapat menjelaskan mengenai : a) Apakah pertanian bagian dari
sumber daya alam; b) Dampak perubahan iklim terhadap pertanian; c) Kajian-kajian atau hasil-
hasil penelitian pertanian; d) Model budaya/kearifan lokal dalam mengelola pertanina yang
mengindikasikan adanya antisipasi perubahan iklim, kekeringan, banjir, dll; e) Model
budaya/kearifan lokal dalam mengelola pertanian yang dapat digunakan untuk adaptasi perubahan
iklim; dan f) Model budaya/kearifan lokal dalam mengelola pertanian yang diadopsi oleh
kebijakan saat ini.
3) Nara sumber ini diharapkan dapat menjelaskan mengenai : a)Perubahan iklim dan kearifan lokal
di pesisir lautan; b) Dampak perubahan iklim terhadap pesisir lautan; c)Kajian-kajian atau hasil-
hasil penelitian pesisir laut, kearifan lokal dan perubahan iklim; d)Model budaya/kearifan lokal
dalam mengelola pesisir lautan yang mengindikasikan adanya antisipasi perubahan iklim,
pemutihan karang, dll; e) Model budaya/kearifan lokal dalam mengelola pesisir lautan yang dapat
digunakan untuk adaptasi perubahan iklim; dan f)Model budaya/kearifan lokal dalam mengelola
hutan yang diadopsi oleh kebijakan saat ini.
4) Nara sumber ini diharapkan dapat menjelaskan mengenai : a)Konsep kearifan lokal dalam
persepektif ilmu ekologi lingkungan; b) Karakteristik masyarakat yang memiliki kearifan lokal,
contoh kasus : Jawa Barat ; dan c) Kearifan lokal dan pengelolaan sumber daya alam lingkungan
hidup

F. PESERTA
1. Direktorat terkait di BAPPENAS
2. Representasi LSM
3. Representasi Institusi Pendidikan
4. Perwakilan Departemen Kehutanan
5. Perwakilan Departemen Kelautan dan Pesisir
6. Perwakilan Departemen Pertanian
7. Swasta

G. AGENDA ACARA

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 17


Adapun susunan acara pokok pertemuan adalah sebagai berikut :

WAKTU ACARA KETERANGAN


08.45-09.00 Regristrasi Panitia
09.00-09.15 Pembukaan Direktur Lingkungan Hidup
09.15-09.45 Pemaparan I Dr. Herwasono Soedjito (LIPI)
09.45-10.15 Pemaparan II Dr. Rani Mutiara (Deptan)
10.15-10.45 Pemaparan III Dr. Alan F Koropitan (IPB)
10.45-11.15 Pemaparan IV Dr. Budi Gunawan
(Antropologi, UNPAD)
11.15-12.00 DISKUSI Moderator
12.00-12.15 KESIMPULAN -PENUTUP Moderator

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 18


4. DRAFT TOR SURVEY LAPANGAN 2

Term of Reference (TOR)


Survey Lapangan Kampung Naga dan Kuta, Jawa Barat

A. Latar Belakang

Kemajuan suatu bangsa hanya dapat dicapai dengan melaksanakan pembangunan di segala
bidang. Pembangunan merupakan suatu upaya untuk mencapai target atau tujuan
peningkatan taraf hidup masyarakat agar tercapai kehidupan yang lebih sejahtera. Untuk
memenuhi kebutuhan pembangunan dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya alam,
sumber daya manusia dan teknologi. Dalam pola pembangunan harus memperhatikan
fungsi sumber daya alam dan sumber daya manusia serta teknologi agar dapat menunjang
proses pembangunan yang berkelanjutan.

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 19


Pembangunan Berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini
tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang (Komisi Brutland dalam
Djajadiningrat., ST, 2000). Pola pembangunan berkelanjutan mengharuskan pengelolaan
sumber daya alam dilakukan secara rasional dan bijaksana.

Untuk itu, diperlukan keterpaduan antara pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Namun pada kenyataannya, pembangunan berkelanjutan yang berjalan saat ini adalah suatu
proses perubahan yang di dalamnya terjadi eksploitasi sumber daya alam, pendayagunaan
sumber daya manusia dan pemanfaatan teknologi tanpa batas. Prinsip keberlanjutan,
keseimbangan, pembatasan dan non eksploitasi sering diabaikan untuk meningkatkan
potensi masa kini, masa depan dan demi memenuhi kebutuhan aspirasi manusia.

Akibatnya eksploitasi sumber daya alam tanpa batas menimbulkan masalah lingkungan.
Akumulasi kerusakan lingkungan tersebut mendasari munculnya masalah nasional,
regional, dan global yang lebih luas cakupannya dan berdampak. Salah satunya adalah
pemanasan global, sebagai faktor utama pemicu terjadinya perubahan iklim.

Penelitian dunia Internasional melalui IPCC (2001), mengungkapkan bahwa perubahan


iklim global terus terjadi karena kegiatan manusia sehingga merubah komposisi atmosfer
dan tata guna lahan. Perubahan ini menimbulkan beberapa dampak, seperti : intensitas dan
frekuensi kejadian cuaca ekstrim, penurunan hasil panen pertanian, kerusakan ekosistem
sumber daya hutan, kerusakan ekosistem sumber daya pesisir dan lautan, peningkatan
wabah penyakit, kerugian ekonomi dan penderitaan manusia yang tidak ternilai harganya
(ADBs report, 2009).

Menyadari dampak yang ditimbulkan akibat perubahan iklim sangat merugikan bagi
kehidupan umat manusia maka perlu diupayakan pemulihannya. Salah satu upaya tersebut
adalah dengan menerapkan pola pengelolaan lingkungan yang berbasis pengetahuan lokal
serta memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana mengikuti aturan yang berlaku di
wilayah tersebut atau lebih dikenal dengan istilah kearifan lokal.

Kearifan lokal mengutamakan keseimbangan dan menggunakan teknologi sederhana


sebagai landasan pengolahan dan pengelolaan lingkungan. Dalam pasal 1 (ayat 30) UU No
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, disebutkan
bahwa Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan
masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
Kearifan Lokal merupakan ilmu pengetahuan maupun pandangan hidup masyarakat

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 20


lokal/setempat yang diterapkan dalam strategi pemenuhan kebutuhan hidup. Kearifan lokal
diterapkan berdasarkan pemahaman dan pertimbangan ekosistem atau lingkungan setempat,
baik itu flora, fauna, mineral, maupun sumber daya manusia dan alam. Untuk itu, berbagai
upaya seperti mempertahankan, memperbaiki, dan mengembangkan kerap kali dilaksanakan
masyarakat lokal sebagai pemahaman yang telah tertanam atau menjadi budaya setempat.

Kearifan lokal seharusnya menjadi model dalam pengelolaan sumber daya alam lingkungan
sehingga tidak rentan terhadap perubahan iklim dan mendukung pembangunan
berkelanjutan. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-
menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di
dalamnya dianggap sangat universal.

Oleh karena itu, berkaitan dengan hal tersebut diperlukan suatu tindak lanjut kegiatan
pengamatan langsung berupa observasi lapangan. Observasi lapangan ini diharapkan
mampu menggali dan mengangkat model-model kearifan lokal lain yang dianggap masih
efektif dalam mengantisipasi perubahan iklim dan mendukung pembangunan berkelanjutan.

B. TUJUAN

Observasi lapangan (survey) ini mempunyai tujuan untuk :

1. Mendapatkan gambaran umum secara langsung tentang kearifan lokal yang ada
di kampung adat di Provinsi Jawa Barat
2. Mengidentifikasi konsep-konsep kearifan lokal sebagai model pengelolaan
lingkungan dalam menghadapi perubahan iklim dan mendukung pembangunan
berkelanjutan.
3. Mendidentifikasi kebijakan Pemerintah Daerah tentang Kearifan Lokal
Masyarakat Adat di Jawa Barat
4. Menggali persepsi Masyarakat tentang Permasalahan Lingkungan (Perubahan
Iklim)

C. HASIL YANG DIHARAPKAN

Hasil yang diharapkan dari observasi lapangan (survey) ini adalah :


a) Terkumpulnya informasi kearifan lokal yang ada dan sudah berkembang oleh
kelompok masyarakat sehingga dapat di manfaatkan sebagai model pengelolaan

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 21


lingkungan dalam menghadapi perubahan iklim dan mendukung pembangunan
berkelanjutan
b) Teridentifikasinya pola-pola kearifan lokal di Jawa Barat
c) Terindentifikasi kebijakan Pemerintah Daerah tentang Kearifan Lokal Masyarakat
Adat di Jawa Barat
d) Mendapatkan informasi yang terkait persepsi Masyarakat tentang Permasalahan
Lingkungan (Perubahan Iklim)

D. WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN

Hari/Tanggal : Senin, 28 juni 2010 – Kamis, 31 Juni 2010

E. AGENDA SURVEY

AGENDA SURVEY LAPANGAN

No. Uraian Waktu Tempat Keterangan


Senin, 28 juni 2010

01. Persiapan pelaksanaan 08.30- 12.30 Pangkalan DAMRI


kegiatan dan Baranangsiang
Pemberangkatan
02. ISOMA 12.30-13.30 Bandung

03. Kunjungan ke Dinas 13.30 – 14.30 Cimahi-Bandung Mendapatkan


Sosial dan BPLHD Informasi tentang
Provinsi Jawa Barat masyakat adat di
selaku Jawa Barat dan
pembina Masyarakat kebijakan yang
Adat terkait
04. Diskusi dengan Baris 15.30-18.00 Lokasi di Pasir Mengidentifikasi
Kolot Tatar Sunda Impun Bandung sudut pandang
Baris Kolot tatar
Sunda tentang
Hubungan antara
Kearifan Lokal
dan Perubahan
Iklim
05. Bermalam di Bandung Bandung

Selasa, 29 juni 2010


01. Persiapan Menuju 08.00 Bandung
Kampung Naga
02. Perjalanan menuju 08.30 – 11.30 Bandung - Tasik
Kampung Naga

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 22


03. Istirahat 11.30-12.30 Kampung Naga

04. Perjalanan Menuju 12.30-13.00 Kampung Naga


Rumah ketua Adat
( Kuncen)
05. Tiba di Rumah Kuncen, 13.00- 14.30 Kampung Naga
ramah tamah dan diskusi
terbatas
06 . Observasi lapangan 14.30- 16.00 Kampung Naga Mendapatkan
informasi secara
langsung tentang
model kearifan
lokal di Kampung
Naga
07. Bermalam di Tasik Tasik
Rabu, 30 juni 2010
01. Perjalanan menuju 07.30 – 10.30 Tasik – Ciamis
Kampung Kuta
02. Perjalanan Menuju 10.30-11.30 Kampung Kuta
Rumah ketua Adat
( Kuncen)
03. Observasi lapangan 13.30- 15.30 Kampung kuta Mendapatkan
informasi secara
langsung tentang
kearifan lokal di
Kampung Kuta

04. Bermalam di Ciamis


Kamis, 31 juni 2010
01. Perjalanan Pulang ke 07.30 – 13.30
Jakarta

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 23


5. Review Literature: UU No. 32/2009 Tentang
Pengelolaan LH, UNFCC, Kyoto Protokol,
Gender dan Pengelolaan SDALH, MDGs

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 24


 UU No. 32/2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

1 Bab 1 : Ketentuan umum


1.1 Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan,
dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam
itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk
hidup lain.
1.2 Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan
terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi
perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan
hukum.
1.3 Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan
aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk
menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan,
dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
1.4 Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak
langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi
atmosfir secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah
yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan.
1.5 Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan
masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara
lestari.
1.6 Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun
bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur,
adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang
menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
2 Bab 11 : Peran Masyarakat
2.1 Pasal 70 ayat 2
2.1.1 Peran masyarakat dapat berupa: a. pengawasan sosial; b. pemberian saran,
pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau c. penyampaian informasi dan/atau
laporan.
2.2 Pasal 70 ayat 3

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 25


2.2.1 Peran masyarakat dilakukan untuk: a. meningkatkan kepedulian dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; b. meningkatkan kemandirian,
keberdayaan masyarakat, dan kemitraan; c. menumbuhkembangkan kemampuan dan
kepeloporan masyarakat; d. menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat
untuk melakukan pengawasan sosial; dan e. mengembangkan dan menjaga budaya
dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
3 Bab 13 : Penyelesaian Sengketa Lingkungan
3.1 Pasal 84
3.1.1 Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan
atau di luar pengadilan.
3.2 Pasal 85
3.2.1 Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk
mencapai kesepakatan mengenai: a. bentuk dan besarnya ganti rugi; b. tindakan
pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan; c. tindakan tertentu untuk
menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau d.
tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
4 Bab 15 : Ketentuan Pidana
5 Pasal 17 : Ketentuan Penutup
6 Bab 2 : Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup
6.1 ASAS
6.1.1 Asas Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup : a. tanggung jawab
negara; b. kelestarian dan keberlanjutan; c. keserasian dan keseimbangan; d.
keterpaduan; e. manfaat; f. kehati-hatian; g. keadilan; h. ekoregion; i.
keanekaragaman hayati; j. pencemar membayar; k. partisipatif; l. kearifan lokal; m.
tata kelola pemerintahan yang baik; dan n. otonomi daerah.
6.2 TUJUAN
6.2.1 Tujuan Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup : a. melindungi wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup;b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia; c.
menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; d.
menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; e. mencapai keserasian, keselarasan,
dan keseimbangan lingkungan hidup; f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi
masa kini dan generasi masa depan; g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak
atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia; h. mengendalikan
pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; i. mewujudkan pembangunan
berkelanjutan; dan j. mengantisipasi isu lingkungan global.
6.3 RUANG LINGKUP

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 26


6.3.1 Ruang Lingkup Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi: a.
perencanaan; b. pemanfaatan; c. pengendalian; d. pemeliharaan; e. pengawasan; dan
f. penegakan hukum.
7 Bab 16 : Ketentuan Peralihan
8 Bab 14 : Penyidikan dan Pembuktian
8.1 Pasal 94
8.1.1 Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai
negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi
wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana
untuk melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup.
8.2 Pasal 96
8.2.1 Alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas:
a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa;
dan/atau f. alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan
perundangundangan.
9 Bab 3 : Perencanaan
9.1 Psl 5. TAHAPAN
9.1.1 a. inventarisasi lingkungan hidup;
tingkat
a. tingkat nasional;
b. tingkat pulau/kepulauan; dan
c. tingkat wilayah ekoregion.
data dan informasi yg dibutuhkan
a. potensi dan ketersediaan;
b. jenis yang dimanfaatkan;
c. bentuk penguasaan;
d. pengetahuan pengelolaan;
e. bentuk kerusakan; dan
f. konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat
pengelolaan.
9.1.2 b. penetapan wilayah ekoregion; dan
Pasal 7 ayat 2
Penetapan wilayah ekoregion sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
mempertimbangkan kesamaan: a. karakteristik bentang alam; b. daerah aliran sungai; c.
iklim; d. flora dan fauna; e. sosial budaya; f. ekonomi; g. kelembagaan masyarakat; dan h.
hasil inventarisasi lingkungan hidup.

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 27


9.1.3 c. penyusunan RPPLH.
RPPLH terdiri atas: a. RPPLH nasional; b. RPPLH provinsi; dan c. RPPLH
kabupaten/kota.
RPPLH nasional disusun berdasarkan inventarisasi nasional
RPPLH provinsi disusun berdasarkan: a. RPPLH nasional; b. inventarisasi tingkat
pulau/kepulauan; dan c. inventarisasi tingkat ekoregion.
RPPLH kabupaten/kota disusun berdasarkan: a. RPPLH provinsi; b. inventarisasi tingkat
pulau/kepulauan; dan c. inventarisasi tingkat ekoregion.
Pasal 10 ayat 2
Penyusunan RPPLH memperhatikan: a. keragaman karakter dan fungsi ekologis; b. sebaran
penduduk; c. sebaran potensi sumber daya alam; d. kearifan lokal; e. aspirasi masyarakat;
dan f. perubahan iklim.
pasal 10 ayat 3
RPPLH diatur dengan: a. peraturan pemerintah untuk RPPLH nasional; b. peraturan daerah
provinsi untuk RPPLH provinsi; dan c. peraturan daerah kabupaten/kota untuk RPPLH
kabupaten/kota.
pasal 10 ayat 4
RPPLH memuat rencana tentang: a. pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam;
b. pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup; c.
pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam; dan d.
adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
10 Bab 12 : Pengawasan dan Sanksi Administratif
10.1 Pengawasan
10.1.1 Pasal 71
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib
melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
10.2 Sanksi Administratif
10.2.1 Pasal 76 ayat 1
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan
pelanggaran terhadap izin lingkungan.
10.2.2 Pasal 76 ayat 2
a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 28


a. penghentian sementara kegiatan produksi; b. pemindahan sarana produksi; c. penutupan
saluran pembuangan air limbah atau emisi; d. pembongkaran; e. penyitaan terhadap barang
atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran; f. penghentian sementara seluruh
kegiatan; atau g. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan
tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.
c. pembekuan izin lingkungan;
d. pencabutan izin lingkungan.
11 Bab 10 : Hak, Kewajiban dan Larangan
11.1 Hak
11.1.1 Pasal 65
(1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari
hak asasi manusia. (2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup,
akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat. (3) Setiap orang berhak mengajukan usul
dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat
menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. (4) Setiap orang berhak untuk
berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.(5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat
dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. (6) Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan
Peraturan Menteri.
11.2 Kewajiban
11.2.1 Pasal 67
Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
11.2.2 Pasal 68
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban: a. memberikan
informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara
benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu; b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan
hidup; dan c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup.
11.3 Larangan
11.3.1 Pasal 69

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 29


Setiap orang dilarang: a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup; b. memasukkan B3 yang dilarang menurut
peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia; c. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia; d.
memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; e.
membuang limbah ke media lingkungan hidup; f. membuang B3 dan limbah B3 ke
media lingkungan hidup; g. melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan
hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan;
h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar; i. menyusun amdal tanpa
memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau j. memberikan informasi palsu,
menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan
keterangan yang tidak benar.
12 Bab 8 : Sistem Informasi
12.1 Pasal 62
12.1.1 Pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan sistem informasi
lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
13 Bab 6 : Pemeliharaan
13.1 Pasal 57
13.1.1 a. konservasi sumber daya alam;
a. perlindungan sumber daya alam; b. pengawetan sumber daya alam; dan c.
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam.
13.1.2 b. pencadangan sumber daya alam; dan/atau
Pencadangan sumber daya alam merupakan sumber daya alam yang tidak dapat dikelola
dalam jangka waktu tertentu.
13.1.3 c. pelestarian fungsi atmosfer.
a. upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; b. upaya perlindungan lapisan ozon;
dan c. upaya perlindungan terhadap hujan asam.
14 Bab 5 : Pengendalian
14.1 Pasal 13 ayat 2
14.1.1 a. pencegahan
a. KLHS;
Pasal 15 ayat 3

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 30


KLHS dilaksanakan dengan mekanisme: a. pengkajian pengaruh kebijakan, rencana,
dan/atau program terhadap kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah; b. perumusan
alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/atau program; dan c. rekomendasi
perbaikan untuk pengambilan keputusan kebijakan, rencana, dan/atau program yang
mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Pasal 16
KLHS memuat kajian antara lain: a. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup untuk pembangunan; b. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup; c.
kinerja layanan/jasa ekosistem; d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam; e. tingkat
kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan f. tingkat ketahanan dan
potensi keanekaragaman hayati.
b. tata ruang;
c. baku mutu lingkungan hidup;
Pasal 20 ayat 2
Baku mutu lingkungan hidup meliputi: a. baku mutu air; b. baku mutu air limbah; c. baku
mutu air laut; d. baku mutu udara ambien; e. baku mutu emisi; f. baku mutu gangguan; dan
g. baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 20 ayat 3
Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan
persyaratan: a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan b. mendapat izin dari Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
Pasal 21 aya 2
a. kriteria baku kerusakan ekosistem
Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi: a. kriteria baku kerusakan tanah untuk
produksi biomassa; b. kriteria baku kerusakan terumbu karang; c. kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan; d. kriteria baku
kerusakan mangrove; e. kriteria baku kerusakan padang lamun; f. kriteria baku kerusakan
gambut; g. kriteria baku kerusakan karst; dan/atau h. kriteria baku kerusakan ekosistem
lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
b. kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim.
Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan pada paramater antara lain: a.
kenaikan temperatur; b. kenaikan muka air laut; c. badai; dan/atau d. kekeringan.
e. amdal;
Pasal 22 ayat 2

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 31


Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria: a. besarnya jumlah penduduk yang akan
terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; b. luas wilayah penyebaran dampak; c.
intensitas dan lamanya dampak berlangsung; d. banyaknya komponen lingkungan hidup
lain yang akan terkena dampak; e. sifat kumulatif dampak; f. berbalik atau tidak
berbaliknya dampak; dan/atau g. kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pasal 23
Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi dengan
amdal terdiri atas: a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam; b. eksploitasi sumber
daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan;c. proses dan kegiatan
yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya; d.
proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan
buatan, serta lingkungan sosial dan budaya; e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan
mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan
cagar budaya; f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik; g. pembuatan
dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati; h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi
dan/atau mempengaruhi pertahanan negara; dan/atau i. penerapan teknologi yang
diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.
f. UKL-UPL;
Pasal 34 ayat 2
Gubernur atau bupati/walikota menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib
dilengkapi dengan UKL-UPL.
g. perizinan;
Pasal 36 ayat 1
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki
izin lingkungan.
Pasal 36 ayat 2
Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan keputusan
kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau rekomendasi
UKL-UPL.
h. instrumen ekonomi lingkungan hidup;
a. perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi;
a. neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup;b. penyusunan produk domestik bruto
dan produk domestik regional bruto yang mencakup penyusutan sumber daya alam dan
kerusakan lingkungan hidup; c. mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup
antardaerah; dan d. internalisasi biaya lingkungan hidup.

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 32


b. pendanaan lingkungan hidup;
a. dana jaminan pemulihan lingkungan hidup; b. dana penanggulangan pencemaran
dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup; dan c. dana amanah/bantuan untuk
konservasi.
c. insentif dan/atau disinsentif
a. pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup; b. penerapan pajak,
retribusi, dan subsidi lingkungan hidup; c. pengembangan sistem lembaga keuangan dan
pasar modal yang ramah lingkungan hidup; d. pengembangan sistem perdagangan izin
pembuangan limbah dan/atau emisi; e. pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan
hidup; f. pengembangan asuransi lingkungan hidup; g. pengembangan sistem label ramah
lingkungan hidup; dan h. sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
i. peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup;
Setiap penyusunan peraturan perundangundangan pada tingkat nasional dan daerah wajib
memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
ini.
j. anggaran berbasis lingkungan hidup;
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta pemerintah daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib mengalokasikan anggaran yang memadai untuk
membiayai: a. kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan b. program
pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup.
k. analisis risiko lingkungan hidup;
Pasal 47 ayat 2
Analisis risiko lingkungan hidup meliputi: a. pengkajian risiko; b. pengelolaan risiko;
dan/atau c. komunikasi risiko.
l. audit lingkungan hidup;
Pasal 49 ayat 1
Menteri mewajibkan audit lingkungan hidup kepada: a. usaha dan/atau kegiatan tertentu
yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup; dan/atau b. penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan yang menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-
undangan.
m.instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.
14.1.2 b. penanggulangan
Pasal 53 ayat 2

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 33


Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilakukan dengan: a.
pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup kepada
masyarakat;b. pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; c.
penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; dan/atau d. cara lain
yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
14.1.3 c. pemulihan.
Pasal 54 ayat 2
Pemulihan fungsi lingkungan hidup dilakukan dengan tahapan: a. penghentian sumber
pencemaran dan pembersihan unsur pencemar; b. remediasi; c. rehabilitasi; d. restorasi;
dan/atau e. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
15 Bab 4 : Pemanfaatan
15.1 Pasal 12 ayat 2
15.1.1 RPPLH pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan: a.
keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup; b. keberlanjutan produktivitas
lingkungan hidup; dan c. keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat
15.2 Pasal 12 ayat 3
15.2.1 Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup ditetapkan oleh: a. Menteri
untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup nasional dan
pulau/kepulauan;b. gubernur untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup provinsi dan ekoregion lintas kabupaten/kota; atau c. bupati/walikota untuk
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup kabupaten/kota dan ekoregion di
wilayah kabupaten/kota.
16 Bab 7 : Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun serta Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun
16.1 Pasal 58
16.1.1 Setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan,
membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3.
16.2 Pasal 59
16.2.1 Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan
limbah B3 yang dihasilkannya.
17 Bab 9 : Tugas dan Wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah
17.1 Pasal 63 ayat 1

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 34


17.1.1 Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas
dan berwenang: a. menetapkan kebijakan nasional; b. menetapkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria; c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
RPPLH nasional; d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS; e.
menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL; f.
menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam nasional dan emisi gas rumah
kaca; g. mengembangkan standar kerja sama; h. mengoordinasikan dan
melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; i.
menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai sumber daya alam hayati dan
nonhayati, keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, dan keamanan hayati
produk rekayasa genetik;j. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
pengendalian dampak perubahan iklim dan perlindungan lapisan ozon; k.
menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai B3, limbah, serta limbah B3; l.
menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai perlindungan lingkungan laut;
m. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup lintas batas negara; n. melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan nasional, peraturan daerah, dan
peraturan kepala daerah; o. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan
dan peraturan perundangundangan; p. mengembangkan dan menerapkan instrumen
lingkungan hidup; q. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan
penyelesaian perselisihan antardaerah serta penyelesaian sengketa; r.
mengembangkan dan melaksanakan kebijakan pengelolaan pengaduan masyarakat; s.
menetapkan standar pelayanan minimal; t. menetapkan kebijakan mengenai tata cara
pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat
hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;u.
mengelola informasi lingkungan hidup nasional; v. mengoordinasikan,
mengembangkan, dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan
hidup; w. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan; x.
mengembangkan sarana dan standar laboratorium lingkungan hidup; y. menerbitkan
izin lingkungan; z. menetapkan wilayah ekoregion; dan aa.melakukan penegakan
hukum lingkungan hidup.
17.2 Pasal 63 ayat 2

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 35


17.2.1 Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah provinsi
bertugas dan berwenang: a. menetapkan kebijakan tingkat provinsi; b. menetapkan
dan melaksanakan KLHS tingkat provinsi; c. menetapkan dan melaksanakan
kebijakan mengenai RPPLH provinsi; d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan
mengenai amdal dan UKL-UPL; e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya
alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat provinsi; f. mengembangkan dan
melaksanakan kerja sama dan kemitraan; g. mengoordinasikan dan melaksanakan
pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas
kabupaten/kota; h. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
kebijakan, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah kabupaten/kota;i.
melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-
undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; j.
mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup; k. mengoordinasikan
dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antarkabupaten/antarkota
serta penyelesaian sengketa; l. melakukan pembinaan, bantuan teknis, dan
pengawasan kepada kabupaten/kota di bidang program dan kegiatan; m.
melaksanakan standar pelayanan minimal; n. menetapkan kebijakan mengenai tata
cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak
masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup pada tingkat provinsi; o. mengelola informasi lingkungan hidup
tingkat provinsi; p. mengembangkan dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi
ramah lingkungan hidup; q. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan
penghargaan; r. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat provinsi; dan s. melakukan
penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat provinsi.
17.3 Pasal 63 ayat 3

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 36


17.3.1 Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah
kabupaten/kota bertugas dan berwenang: a. menetapkan kebijakan tingkat
kabupaten/kota; b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota; c.
menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH kabupaten/kota; d.
menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL; e.
menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada
tingkat kabupaten/kota; f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan
kemitraan; g. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup; h.
memfasilitasi penyelesaian sengketa; i. melakukan pembinaan dan pengawasan
ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan
lingkungan dan peraturan perundangundangan; j. melaksanakan standar pelayanan
minimal; k. melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang
terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat
kabupaten/kota; l. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota; m.
mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi lingkungan hidup
tingkat kabupaten/kota;n. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan
penghargaan; o. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat kabupaten/kota; dan p.
melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.

 UNFCC

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 37


Konvensi Perubahan Iklim adalah salah satu hasil dari KTT Bumi atau UNCED (United
Nations Conference on Environment and Development) yang berlangsung pada tanggal 3-14
Juni 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. KTT Bumi (Earth Summit) tersebut dihadiri oleh 103
kepala negara dan 179 pemerintah menghadiri pertemuan dunia tersebut. Tiga agenda
penting yang dibahas pada KTT Bumi 1992 yaitu:

1. Konvensi perubahan iklim/pemanasan global (United Nations Framework Convention


on Climate Change – UNFCC)
2. Konvensi biodiversity (United Nations Convention on Biological Diversity –
CBD).
3. Konvensi pengelolaan hutan (The Rio Forestry Principles) dan Agenda 21

Konvensi Perubahan Iklim bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi GRK pada tingkat
aman yang tidak membahayakan sistem iklim global (Pasal 2). Dalam konvensi ini belum
dicantumkan target-target yan mengikat.

Prinsip dari Konvensi Perubahan Iklim tercantum dalam Pasal 3 Konvensi Perubahan Iklim
yaitu :

1. Kesetaraan (Equity) Iklim global dan sistem iklim dimiliki secara adil dan setara oleh
semua umat manusia, termasuk generasi mendatang.
2. Tanggung jawab bersama tapi berbeda (Common but differentiated responsibilities).
Semua negara pihak mempunyai tanggung jawab yang sama namun dalam tingkat yang
berbeda dalam hal target pengurangan emisi gas rumah kaca. Karena sampai sekarang
sebagian besar emisi dihasilkan negara maju, dan mempunyai kemampuan paling besar
untuk mengurangi emisi GRK, maka mereka harus mengambil porsi tanggung jawab
paling besar dalam menangani perubahan iklim.

3. Tindakan kehati-hatian (Precautionary Measure).

Apabila ada ancaman kerusakan yang serius, ketiadaan kepastian ilmiah tidak boleh
digunakan sebagai alasan untuk menunda tindakan pencegahan. Dunia tidak bisa
menunggu hasil kajian ilmiah yang mutlak tanpa melakukan sesuatu untuk mencegah
dampak pemanasan global lebih lanjut.

4. Pembangunan Berkelanjutan
Meski prinsip pembangunan berkelanjutan masih sering diperdebatkan, namun dapat
digambarkan sebagai ”Pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa
mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka pula”.

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 38


Semua negara mempunyai hak dan kewajiban untuk melaksanakan pembangunan
berkelanjutan.

Setelah diratifikasi oleh sekitar 175 negara, pada tanggal 21 Maret 1994, Konvensi
Perubahan Iklim akhirnya dinyatakan berkekuatan hukum dan bersifat mengikat para pihak
yang telah meratifikasi. Indonesia meratifikasi Konvensi tersebut dengan Undang-Undang
nomor 6 Tahun 1994. Negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi disebut Para Pihak
atau Parties, dan terikat secara hukum pada ketentuan dalam Konvensi.

Negara-negara yang meratifikasi Konvensi ini dibagi dalam 2 kelompok, yaitu Negara
Annex I dan Negara Non-Annex I. Negara Annex I adalah negara-negara yang telah
menyumbangkan pada GRK akibat kegiatan manusia sejak revolusi industri tahun 1850-an,
yaitu: Amerika Serikat, Australia, Austria, Belanda, Belarusia, Belgia, Bulgaria, Ceko,
Denmark, Estonia, Finlandia, Federasi Rusia, Jerman, Hongaria, Irlandia, Italia, Inggris,
Islandia, Jepang, Kanada, Kroasia, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxemburg, Monako,
Norwegia, Polandia, Portugal, Perancis, Rumania, Selandia Baru, Slovakia, Slovenia,
Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Ukraina, Uni Eropa dan Yunani. Sedangkan Negara Non-
Annex I adalah negara-negara yang tidak termasuk dalam Annex I (Indonesia di dalamnya),
yang kontribusinya terhadap GRK jauh lebih sedikit serta memiliki pertumbuhan ekonomi
yang jauh lebih rendah. Selain itu UNFCCC mencantumkan Annex II yaitu negara-negara
maju yang diwajibkan menyediakan sumberdaya keuangan guna membayar biaya adaptasi
yang dikeluarkan negara berkembang untuk menghadapi perubahan iklim (Pasal 4 ayat 3).

I. Kelembagaan Dibawah UNFCC


Pada dasarnya ada lima badan dibawah kerangka UNFCC, yaitu Konferensi Antar Negara
Angota (COP dan COP/MOP), Subsidiary Bodies (SBI dan SBSTA), Sekretariat UNFCC,
Group Ad Hoc (AWG-KP dan AWG-LCA), dan Mekanisme Pendanaan (GEF). COP
dibentuk UNFCCC sebagai forum pengambilan keputusan tertinggi dalam UNFCC. COP
diadakan setahun sekali atau dapat lebih dari itu apabila diperlukan.

Fungsi dari Pertemuan para pihak adalah:

1. Mengkaji pelaksanaan Konvensi


2. Memantau pelaksanaan kewajiban para Pihak sesuai tujuan Konvensi
3. Mempromosikan dan memfasilitasi pertukaran informasi
4. Membuat rekomendasi kepada Para Pihak
5. Mendirikan badan-badan pendukung jika dipandang perlu

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 39


Sejak disepakatinya Protoklo Kyoto pada tahun 2005, terdapat sebuah sub forum dari COP
yang disebut sebagai COP/MOP. Selanjutnya ada dua badan yang dibentuk sebagai badan
pendukung yaitu Badan Pendukung Untuk Nasehat Ilmiah dan Teknologi (SBSTA-
Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice) dan Badan Pendukung Untuk
Pelaksanaan (SBI-Subsidiary Body for Implementation). Kedua badan tersebut disebut
sebagai subsidiary bodies. Dua badan pendukung ini mengadakan pertemuan dua kali
setahun atau ketika dibutuhkan. SBSTA memberikan informasi dan rekomendasi ilmiah
serta teknologis secara tepat waktu kepada COP. SBI membantu COP mengkaji pelaksanaan
dari Konvensi. Selanjutnya ada badan Ad Hoc yang terbentuk berdasakan hasil dari COP,
tepatnya COP 13 yang menghasilkan Bali Action Plan. Badan yang bertanggungjwab
terhadap mekanisme keuangan dalam UNFCC adalah GEF (Global Environmental Facility).
GEF merupakan organisasi keuangan independen yang menyediakan hibah kepada negara
berkembang dalam bentuk proyek-proyek yang memberikan manfaat lingkungan secara
global dan mempromosikan kehidupan yang berkesinambungan di tingkat masyarakat lokal.
GEF memiliki tiga badan implementasi yaiu Uinted Nations Development Programme
(UNDP), United Nations Environment Programme (UNEP), dan World Bank. Diagram
kelembagaan dibawah UNFCC dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini.

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 40


UNFCC
(United Nations Framework Convention on Climate Change)

IPCC
SBSTA
COP (Intergovernmental
(Subsidiary Body for Scientific
(Conference of the Parties) Panel on Climate
and Technology Advice)
Change)

Forum Pengambilan Keputusan Fungsi:


Tertinggi di UNFCC, dalam Memberikan informasi dan
melaksanakan tugasnya rekomendasi secara tepat
membentuk dua badan waktu pada COP dengan
SEKRETARIAT UNFCC pendukung (SBSTA dan SBI) mengacu pada IPCC

Sekretarian UNFCC dibawah


pengelolaan PBB setiap tahun COP/MOP
mengorganisir pertemuan COP (Conference of the
SBI
Parties) (Subsidiary Body for
Implementation)
Sub forum dari COP yang
beranggotakan negara
yang telah meratifikasi Fungsi:
Membantu COP mengkaji
Protokol Kyoto
pelaksanaan dari Konvensi

KONFERENSI ANTAR NEGARA PESERTA


(Forum Pengambilan Keputusan Tertinggi di SUBSIDIARY BODIES
UNFCC) (Badan Pendukung COP)

GEF United Nations


AWG-KP AWG-LCA Development
(Ad Hoc Working Groups on (The Global Environment Facility)
(Ad Hoc Working Group on Programme (UNDP)

Badan Implementasi
Kyoto Protocol) Long-term Cooperative Action)
Organisasi keuangan independen yang
menyediakan hibah kepada negara
United Nations
berkembang dalam bentuk proyek-
working group yang dibentuk sebuah proses negosiasi yang Environment
proyek yang memberikan manfaat
dibawah Protokol Kyoto melibatkan negara-negara non- Programme (UNEP)
lingkungan secara global dan
peratifikasi Protokol Kyoto serta mempromosikan kehidupan yang
negara-negara berkembang. berkesinambungan di tingkat masyarakat
lokal. World Bank
BADAN Ad Hoc
(salah satu hasil kesepakatan COP)
Badan Keuangan UNFCC

Gambar-1. Diagram Kelembagaan di bawah UNFCC (sumber: dimodifikasi dari beberapa literatur)

 Kyoto Protokol

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 41


Protokol Kyoto dari Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang
Perubahan Iklim (Kyoto Protocol to The United Nations Framework Convention on Climate
Change) adalah kesepakatan yang mengatur upaya penurunan emisi GRK oleh negara maju,
secara individu atau bersama-sama. Protokol ini disepakati pada Konferensi Para Pihak
Ketiga (COP III) yang diselenggarakan di Kyoto pada Desember 1997.

Protokol Kyoto adalah sarana teknis untuk mencapai tujuan Konvensi Perubahan Iklim. Jadi
protokol ini menetapkan sasaran penurunan emisi oleh negara industri sebesar 5% di bawah
tingkat emisi 1990 dalam periode 2008-2012. Dengan demikian dapat dipahami perbedaan
antara konvensi perubahan iklim danProtokol Kyoto. Konvensi adalah seperti Undang-
undang dan Protokol adalah penjabaran langkah langkah lebih rinci dan spesifik untuk
mencapai tujuan dari undang-undang layaknya sebuah peraturan pemerintah. Jadi Protokol
Kyoto adalah penjabaran sebagian ketentuan dalam Konvensi Perubahan Iklim. Negara
yang meratifikasi sebuah protokol akan terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan
di dalamnya.

Protokol Kyoto terdiri dari 28 pasal dan dua lampiran (annex) serta menetapkan penurunan
emisi GRK akibat kegiatan manusia, mekanisme penurunan emisi, kelembagaan, serta
prosedur penataan dan penyelesaian sengketa. Annex A mencantumkan jenis GRK yang
diatur protokol yaitu : Karbondioksida (C0 2), metana (CH4), nitrogen oksida (N20),
hidrofluorokarbon (HFC), Perfluorokarbon (PFC) dan sulfur heksaflourida (SF 6) beserta
sumber emisinya seperti pembangkit energi, proses industri, pertanian dan pengolahan
limbah.

Negara berkembang tidak diwajibkan menurunkan emisi tetapi bisa melakukannya secara
sukarela dan diminta melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang lebih bersih dan lebih
ramah iklim. Untuk itu, negara maju diwajibkan memfasilitasi alih teknologi dan
menyediakan dana bagi program pembangunan berkelanjutan yang ramah iklim.

Mekanisme dalam Protokol Kyoto adalah sebagai berikut :

Protokol Kyoto menyatakan bahwa negara Annex I pada Konvensi Perubahan Iklim harus
mengurangi emisi melalui kebijakan dan langkah-langkah di dalam negeri, antara lain
meningkatkan efisiensi penggunaan energi, perlindungan perosot (peresap) GRK, teknologi
yang ramah iklim dan sebagainya. Selain itu, untuk memudahkan negara maju memenuhi
sasaran penurunan emisi, Protokol Kyoto juga mengatur mekanisme fleksibel, yakni:

1. Implementasi Bersama (Joint Implementation);

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 42


Yaitu mekanisme penurunan emisi dimana negara-negara Annex I dapat mengalihkan
pengurangan emisi melalui proyek bersama dengan tujuan mengurangi emisi akibat
kegiatan manusia atau yang meningkatkan peresapan GRK (Pasal 6). Hal ini dapat
dilaksanakan dengan beberapa persyaratan, yang terpenting adalah bahwa kegiatan
tersebut hanya bersifat tambahan dari langkah-langkah yang diambil di tingkat nasional
untuk memenuhi target pengurangan emisi.

2. Perdagangan Emisi (Emission Trading);


Ini adalah mekanisme perdagangan emisi yang hanya dapat dilakukan antaa negara
industri untuk memudahkan mencapai target. Negara industri yang emisi GRK-nya di
bawah batas yang diizinkan dapat menjual kelebihan jatah emisinya ke negara industri
lain yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Namun, jumlah emisi GRK yang
diperdagangkan dibatasi agar negara pembeli emisi tetap memenuhi kewajibannya.

3. Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism--CDM)


Pasal 12 Protokol Kyoto menguraikan prosedur penurunan emisi GRK dalam rangka
kerja sama negara industri dengan negara berkembang. Mekanisme ini diharapkan
membantu negara Annex I mencapai target pengurangan emisi dan negara non Annex I
dapat melaksanakan program pembangunan berkelanjutan. Caranya adalah negara
Annex I melakukan investasi dalam program pengurangan emisi atau program yang
berpotensi mengurangi emisi dan/atau menyerap GRK di negara berkembang. Hasilnya
akan dihitung sebagai pengurangan emisi di negara Annex I yang melakukan investasi
tersebut. Mekanisme ini melibatkan berbagai persyaratan dan diawasi oleh sebuah
badan operasional (Executive Board) yang ditunjuk COP. Dalam pelaksanaannya CDM
adalah murni bisnis jual beli emisi.

Ketiga mekanisme fleksibilitas ini mengutamakan cara-cara yang paling murah dan
mudah untuk mengurangi emisi GRK. Dalam kenyataannya, justru mekanisme ini yang
berjalan sementara komitmen untuk pengurangan emisi di tingkat nasional negara
Annex I tersendat-sendat.

Ada dua syarat utama agar Protokol Kyoto berkekuatan hukum:

1. Protokol harus diratifikasi oleh sedikitnya 55 negara yang sudah meratifikasi Konvensi
Perubahan Iklim
2. Jumlah emisi total dari negara-negara Annex I yang meratifikasi protokol minimum
55% dari total emisi mereka pada 1990.

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 43


Pada 23 Mei 2002, syarat pertama dipenuhi ketika Islandia menandatangani protokol
tersebut. Kemudian pada 18 November 2004 Rusia meratifikasi Protokol Kyoto dan
menandai jumlah emisi total dari negara Annex I sebesar 61,79%. Ini berarti semua syarat
telah dipenuhi dan Protokol Kyoto akhirnya berkekuatan hukum 90 hari setelah ratifikasi
Rusia, yaitu pada 16 Februari 2005.

Pemerintah AS dan Australia menolak meratifikasi Protokol kyoto karena khawatir akan
mengganggu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi lapangan pekerjaan. Mereka juga tidak
sepakat apabila negara berkembang, terutama yang dianggap sebagai berpotensi menjadi
penyumbang emisi GRK (India, China dan Brazil, misalnya) tidak diwajibkan menurunkan
emisi. Hal ini membuat Protokol Kyoto ”agak pincang” karena usulan mekanisme
fleksibilitas terutama tentang perdagangan emisi justru berasal dai AS.

Dalam perjalanan dan pelaksanaannya ternyata terbentuk dua blok besar yang tergabung
dalam blok negara-negara maju (developed countries) dan blok negara negara berkembang
(developing countries). Selanjutnya kedua blok besar tersebut terbagi lagi dalam berbagai
kelompok yang lebih kecil guna memperjuangkan kepentingan dan pendapatnya masing-
masing.

Untuk negara-negara Annex I, terdiri dari Uni Eropa (15 negara), JUSSCANNZ (7 negara),
Kelompok Payung (9 negara), serta Rusia dan CEIT (14 negara). Sedangkan untuk
negaranegara Non-Annex I, terdiri dari G77 + Cina (131 negara), OPEC (11 negara),
GRULAC (33 negara), Kelompok Afrika (53 negara), AOSIS (42 negara), dan CEIT (11
negara). Posisi Indonesia yang tergabung dalam kelompok G77 + Cina dan OPEC seringkali
mengalami kesulitan dan dilema ketika dalam proses pengambilan keputusan pada forum-
forum internasional, karena tidak mampu menahan laju kepentingan pragmatis dari sebagian
anggota kelompoknya.

Banyak pakar berpendapat walaupun sudah ada prosedur untuk implementasinya, Protokol
Kyoto dapat dikatakan belum efektif dapat mengurangi emisi GRK. Hal ini karena jumlah
negara maju yang meratifikasi belum memenuhi persyaratan. Saat ini 109 negara sudah
meratifikasinya, tetapi emisi 24 negara maju yang terdapat didalamnya baru mencapai 43%.
Padahal, baru dapat dikatakan efektif apabila pengurangan emisi minimum 55%. Dalam
salah satu pertemuan di PBB, wakil dari Brazil mengatakan bahwa emisi justru meningkat
dua kali lipat dibandingkan ketika Konvensi Perubahan Iklim ditandatangani pada 1992.
Alasan utama mengapa kesepakatan iklim tidak efektif adalah karena kedua perjanjian ini
sebenarnya tidak merundingkan pengurangan emisi secara tuntas. Sebaliknya keduanya
adalah bagian dari tawarmenawar yang lebih luas antara negaranegara kaya dan negara
miskin, perebutan sumberdaya dan hak untuk menggunakan energi, dan persaingan

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 44


ekonomi. Mekanisme fleksibilitas memberikan ruang bagi negara maju untuk tidak
melaksanakan langkah berarti dalam menurunkan emisi dalam negeri, tetapi justru
menggunakan instrumen pasar dan membuat persoalan penting ini menjadi komoditi di
pasar internasional.

 Gender dan Pengelolaan SDALH

Gender merupakan kajian tentang tingkah laku perempuan dan hubungan sosial antara laki-
laki dan perempuan. Gender bukan mengenai perbedaan jenis kelamin laki-laki dan
perempuan yang bersifat biologis. Ciri maskulin atau feminim itu tergantung dari konteks
sosial-budaya bukan semata-mata pada perbedaan jenis kelamin. Dalam satu budaya
sesuatu yang dianggap maskulin bisa dianggap sebagai feminim dalam budaya lain.

Munculnya isu perubahan iklim terkait dengan isu gender disebabkan karena perubahan
iklim akan berbeda dampaknya di setiap negara, wilayah, generasi, kelas masyarakat,
pekerjaan, usia, pendapatan dan jenis kelamin. Ketika bencana alam dan perubahan
lingkungan terjadi perempuan dan laki-laki mengalami dampak yang berbeda disebabkan
peran dan tanggung jawab yang dikonstruksikan secara sosial dan tradisional juga berbeda.

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 45


Perubahan iklim cukup banyak memberikan dampak pada perempuan, terutama yang
tinggal di pedesaan miskin. Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC, 2001) yang menyatakan bahwa 70% dari penduduk
miskin dunia adalah perempuan.

Beberapa alasan yang dikemukakan mengapa perempuan lebih rentan terkena dampak
perubahan iklim dikarenakan :
1. Perempuan cenderung untuk bergantung pada lingkungan alam sebagai sumber
penghidupan daripada laki-laki, oleh karena itu perempuan lebih rentan
dibandingkan laki-laki terhadap ketidakmenentuan dan perubahan iklim.
2. Perempuan dan anak perempuan biasanya ditugaskan mengangkut air, mencari
makanan ternak, kayu bakar, dan juga makanan. Di masa-masa iklim yang sulit
mereka harus menghadapi sumber daya alam yang semakin terbatas dan beban yang
lebih berat.

Fakta lain menurut hasil analisis LSE (London School of Economics) terhadap 141 negara
yang terkena bencana, juga menunjukkan bahwa pada setiap bencana baik akibat dari
perubahan iklim atau tidak, perempuan lebih banyak menjadi korban daripada laki-laki
dengan perbandingan 4 : 1. Fenomena ini juga terjadi di negara maju dan kaya, dimana
dampak perubahan iklim lebih dirasakan oleh perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini
terbukti selama gelombang panas yang ekstrim terjadi di Eropa pada 2003, kurang lebih
20.000 penduduk mati di Perancis, di antara angka tersebut perempuan tua adalah jumlah
yang terbanyak.

Namun walaupun kenyataan memperlihatkan bahwa dampak perubahan iklim lebih banyak
dirasakan oleh perempuan, tetapi strategi dan kebijakan yang terkait mitigasi (pengurangan)
emisi karbon seringkali mengabaikan dimensi gender. Pengetahuan perempuan tentang
ekosistem dan upaya sehari-hari yang mereka lakukan serta pengalaman mereka
menghadapi bencana alam dan keterbatasan air tidak menjadi bahan pertimbangan untuk
sebuah program. Perempuan seringkali tidak terwakili dalam perencanaan dan proses
pengambilan keputusan. Meskipun saat ini ada kelompok yang yang sudah mengalamatkan
isu gender dalam area perlindungan iklim, namun jumlahnya masih terbatas. Proses-proses
negosiasi perubahan iklim, baik lokal, nasional dan internasional, belum melibatkan
partisipasi perempuan yang cukup nyata. Belum terlihat pemahaman akan kesamaan gender
dalam kesepakatan-kesepakatan global yang dibuat.

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 46


Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 47
 MDGs

18 Sejarah/Latar Belakang

18.1 Disepakati pada bulan September tahun 2000 dan ditandatangani oleh 189
negara anggota PBB dalam KTT yang pencanangannya paling lambat dilaksanakan
pada tahun 2015

19 Definisi

19.1 adalah delapan tujuan yang diupayakan untuk dicapai pada tahun 2015

20 TUJUAN

20.1 Tujuan 1 MDGs. Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan.

20.1.1 Target 1 Menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di


bawah US$1 per hari menjadi setengahnya dalam kurun waktu 1990-2015

INDIKATOR :1. Persentase penduduk dengan pendapatan di bawah US$1 (PPP) per
hari. 2. P ersentase penduduk dengan tingkat konsumsi di bawah garis kemiskinan
nasional. 3. I ndeks kedalaman kemiskinan. 4. I ndeks keparahan kemiskinan. 5. P
roporsi konsumsi penduduk termiskin (kuantil pertama).

20.1.2 Target 2 Menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi


setengahnya dalam kurun waktu 1990-2015

INDIKATOR : 6. P ersentase anak-anak berusia di bawah 5 tahun yang mengalami gizi


buruk (severe underweight). 7. P ersentase anak-anak berusia di bawah 5 tahun yang
mengalami gizi kurang (moderate underweight).

20.2 Tujuan 2. Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua

20.2.1 Target 3 Menjamin pada tahun 2015, semua anak, di manapun, laki-laki
maupun perempuan, dapat menyelesaikan pendidikan dasar

INDIKATOR : 8. A ngka partisipasi murni (APM) sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (7-


12 tahun). 9. Angka partisipasi murni (APM), sekolah menengah pertama/madrasah
tsanawiyah (13-15 tahun). 10. Angka melek huruf usia 15-24 tahun.

20.3 Tujuan 3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan

20.3.1 Target 4 Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan


lanjutan pada tahun 2005, dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun
2015

INDIKATOR : 11. Rasio anak perempuan terhadap anak laki-laki di tingkat pendidikan
dasar, lanjutan dan tinggi, yang diukur melalui angka partisipasi murni anak perempuan
terhadap anak laki-laki (%). 12. R asio melek huruf perempuan terhadap laki-laki usia
15-24 tahun, yang diukur melalui angka melek huruf perempuan/laki-laki (indeks
paritas melek huruf gender) (%). 13. T ingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK )
perempuan (%). 14. T ingkat pengangguran terbuka (TPT) perempuan (%). 15. K
ontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan (%). 16. T ingkat daya beli (Purchasing
Power Parity, PPP) pada kelompok perempuan (%). 17. P roporsi perempuan dalam
lembaga-lembaga publik (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) (%).

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 48


20.4 Tujuan 4. Menurunkan Angka Kematian Anak

20.4.1 Target 5 Menurunkan Angka Kematian Balita sebesar dua-pertiganya dalam


kurun waktu 1990 - 2015

INDIKATOR : 18. A ngka Kematian Bayi (AKB) per 1000 kelahiran hidup. 19. A ngka
Kematian Balita (AKBA ) per 1000 kelahiran hidup. 20. A nak usia 12-23 bulan yang
diimunisasi campak (%).

20.5 Tujuan 5. Meningkatkan Kesehatan Ibu

20.5.1 Target 6 Menurunkan angka kematian ibu sebesar tiga-perempatnya dalam


kurun waktu 1990 - 2015

INDIKATOR : 21. A ngka kematian ibu melahirkan (AKI) per 100.000 kelahiran hidup.
22. P roporsi kelahiran yang ditolong oleh tenaga kesehatan (%). 23. P roporsi wanita
15-49 tahun berstatus kawin yang sedang menggunakan atau memakai alat keluarga
berencana (%).

20.6 Tujuan 6 . Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyaki t Menular Lainnya

20.6.1 Target 7 Mengendalikan penyebaran HIV dan AIDS dan mulai menurunnya
jumlah kasus baru pada tahun 2015

INDIKATOR : 24. Prevalensi HIV dan AIDS (%). 25. Penggunaan kondom pada
hubungan seks berisiko tinggi (%). 26. Penggunaan kondom pada pemakai kontrasepsi
(%). 27. Persentase penduduk usia muda 15-24 tahun yang mempunyai pengetahuan
komprehensif tentang HIV/ AIDS (%).

20.6.2 Target 8 Mengendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah


kasus malaria dan penyakit lainnya pada tahun 2015

INDIKATOR : 28. P revalensi malaria per 1.000 penduduk. 29. P revalensi tuberkulosis
per 100.000 penduduk. 30. A ngka penemuan pasien tuberkulosis BTA positif baru (%).
31. A ngka keberhasilan pengobatan pasien tuberkulosis (%).

20.7 Tujuan 7. Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup

20.7.1 Target 9 Memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan


kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber daya lingkungan yang
hilang

INDIKATOR : 32. Rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan hasil


pemotretan Satelit Landsat terhadap luas daratan (%). 33. Rasio luas kawasan tertutup
pepohonan berdasarkan luas kawasan hutan, kawasan lindung, dan kawasan konservasi
termasuk kawasan perkebunan dan hutan rakyat terhadap luas daratan (%). 34. Rasio
luas kawasan lindung terhadap luas daratan (%). 35. Rasio luas kawasan lindung
perairan (marine protected area) terhadap luas daratan (%). 36. Jumlah emisi
karbondioksida (CO2) (metrik ton). 37. Jumlah konsumsi bahan perusak ozon (BPO)
(ton). 38. Rasio jumlah emisi karbondioksida (CO2) terhadap jumlah penduduk
Indonesia (%). 39. Jumlah penggunaan energi dari berbagai jenis (setara barel minyak,
SBM), (a) Fosil dan (b) Non-fosil. 40. Rasio penggunaan energi (total) dari berbagai
jenis terhadap Produk Domestik Bruto (%). 41. Penggunaan energi dari berbagai jenis
secara absolut (metrik ton).

20.7.2 Target 10 Menurunkan proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air
minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar sebesar separuhnya
pada 2015

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 49


INDIKATOR : 42. P roporsi rumah tangga terhadap penduduk dengan berbagai kriteria
sumber air (total) (%) 43. P roporsi rumah tangga/penduduk dengan berbagai kriteria
sumber air (perdesaan) (%) 44. P roporsi rumah tangga/penduduk dengan berbagai
kriteria sumber air (perkotaan) (%) 45. C akupan pelayanan perusahaan daerah air
minum (KK) 46. P roporsi rumah tangga dengan akses pada fasilitas sanitasi yang layak
(total) (%) 47. P roporsi rumah tangga dengan akses pada fasilitas sanitasi yang layak
(perdesaan) (%) 48. P roporsi rumah tangga dengan akses pada fasilitas sanitasi yang
layak (perkotaan) (%)

20.7.3 Target 11 Mencapai perbaikan yang berarti dalam kehidupan penduduk miskin
di pemukiman kumuh pada tahun 2020

INDIKATOR : 49. P roporsi rumah tangga yang memiliki atau menyewa rumah (%).

20.8 Tujuan 8. Membangun Kemitraan Global untuk Pembangunan

20.8.1 Target 12 Mengembangkan sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka,


berbasis peraturan, dapat diprediksi, dan tidak diskriminatif.

INDIKATOR : 50. Rasio antara jumlah Ekspor dan Impor dengan PDB (%). 51. Rasio
antara Kredit dan Tabungan (LDR) Bank Umum (%). 52. Rasio antara Kredit dan
Tabungan (LDR) Bank Perkreditan Rakyat (%).

20.8.2 Target 15 Menangani hutang negara berkembang melalui upaya nasional


maupun internasional agar pengelolaan hutang berkesinambungan dalam jangka
panjang

INDIKATOR : 53. R asio pinjaman luar negeri terhadap PDB. 54. Debt-to-Service Ratio
(DSR).

20.8.3 Target 16 Bekerjasama dengan negara lain untuk mengembangkan dan


menerapkan strategi untuk menciptakan lapangan kerja yang baik dan produktif bagi
penduduk usia muda

INDIKATOR : 55. T ingkat pengangguran usia muda (15-24 tahun); 56. T ingkat
pengangguran usia muda (15-24 tahun) menurut jenis kelamin; 57. T ingkat
pengangguran usia muda (15-24 tahun) menurut provinsi.

20.8.4 Target 18 Bekerjasama dengan swasta dalam memanfaatkan teknologi baru,


terutama teknologi informasi dan komunikasi

INDIKATOR : 58. P ersentase rumah tangga yang memiliki telepon dan telepon selular.
59. P ersentase rumah tangga yang memiliki komputer personal dan mengakses internet
melalui komputer.

21 Indonesia

21.1 Pemerintah Indonesia melaksanakannya dibawah koordinasi Bappenas dibantu


dengan Kelompok Kerja PBB

22 STATUS PENCAPAIAN INDONESIA

22.1 2007

22.1.1 Laporan III

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 50


Tujuan 1 :

Target 1 : Menurunkan hingga setengahnya Proporsi Penduduk dengan Tingkat Pendapatan


Kurang dari US$ 1 perhari

Kemiskinan (US$ 1 per-hari)

Telah tercapai

Kemiskinan (Nasional)

Perlu kerja keras

Kemiskinan (US$ 2 per-hari)

Tinggi

Indeks Kedalaman kemiskinan

Relatif Stagnan

Indeks Keparahan Kemiskinan

Relatif Stagnan

Proporsi Konsumsi Penduduk Termiskin

Stagnan

Target 2 :Menurunkan hingga setengahnya Proporsi Penduduk yang Menderita Kelaparan

Gizi Buruk

Perlu Kerja Keras

Gizi Kurang

Perlu Kerja Keras

Kecukupan konsumsi kalori

Sesuai Target

Tujuan 2 :

Target 3 : Menjamin pada 2015 semua anak dimanapun, laki-laki maupun perempuan dapat
menyelesaikan pendidikan dasar

Partisipasi ditingkat SD (APM)

Sesuai Target

Partisipasi ditingkat SMP (APM)

Sesuai Target

Proporsi Murid yang bersekolah hingga kelas 5

Sesuai Target

Proporsi Murid yang tamat SD

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 51


Sesuai Target

Melek Huruf Usia 15-24

Sesuai Target

Tujuan 3 :

Target 4 : Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan


tahun 2005, dan disemua jenjang sebelum 2015

Rasio Anak perempuan di Sekolah Dasar

Telah Tercapai

Rasio Anak perempuan di Sekolah Menengah Pertama

Sesuai Target

Rasio Anak perempuan di Sekolah Menengah Atas

Telah Tercapai

Rasio Anak perempuan di Perguruan Tinggi

Telah Tercapai

Rasio melek huruf Perempuan usia 15-24 Thn

Sesuai Target

Tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan

Naik Perlahan

Tingkat Pengangguran Terbuka Perempuan

Naik Perlahan

Kontribusi Perempuan dalam Pekerjaan Upahan

Perlu Kerja Keras

Tingkat Daya Beli Perempuan

Relatif Stagnan

Kesenjangan Upah

Naik Perlahan

Perempuan di DPR

Menurun

Tujuan 4 :

Target 5 : Menurunkan Angka Kematian Balita sebesar dua-per-tiganya antara 1990 dan
2015

Tingkat Kematian Anak (1-5 tahun)/per 1,000

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 52


Sesuai Target

Tingkat Kematian Bayi (Per 1.000)

Sesuai Target

Tingkat Imunisasi Campak - Usia 12 Bulan

Naik Perlahan

Tingkat Imunisasi Campak - Usia 12-23 Bulan

Naik Perlahan

Tujuan 5 :

Target 6 : Menurunkan Angka Kematian Ibu sebesar tiga-per-empatnya antara 1990 dan
2015 16 Tingkat Kematian Ibu (Per 100.000) 390 307 110 Tidak ada

Tingkat Kematian Ibu (Per 100.000)

Perlu Kerja Keras

Kelahiran yang dibantu tenaga terlatih

Banyak Kemajuan

Wanita menikah usia 15-49 yang menggunakan alat KB

Relatif Stagnan - data terbaru tidak ada

Tujuan 6 :

Target 7 : Mengendalikan Penyebaran HIV/AIDS dan muali menurunkan kasus baru pada
2015

Prevalensi HIV dan AIDS

Perlu Kerja Keras

Penggunaan kondom sebagai alat kontrasepsi

Tidak ada data terbaru

Penggunaan kondom pada hubungan seks resiko tinggi

Persentase populasi usia 12-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang
HIV/AIDS

Laki-laki

Tidak ada data terbaru

Perempuan

Tidak ada data terbaru

Target 8 :Mengendalikan Penyakit Malaria dan muali menurunnya kasus Malaria dan
Penyakit lainnya tahun 2015

Kasus Malaria (Per 1,000)

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 53


Menurun perlahan

Jawa dan Bali (Per 1,000)

Menurun perlahan

Luar Jawa dan Bali (Per 1,000)

Menurun perlahan

Prevalensi TBC (Per 100.000)

Perlu Kerja Keras

Angka Penemuan Kasus

Tidak ada data terbaru

Kesembuhan dengan DOTS

Tujuan 7 :

Target 9: Memadukan Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan


program nasional serta mengembalikan sumberdaya yang hilang

Kawasan tertutup hutan

Deforestasi kronis

Kawasan Perlindungan Daratan

Terus bertambah

Kawasan Lindung Laut

Terus bertambah

Rasio Penggunaan Energi terhadap PDB

Terus bertambah

Emisi CO2

Naik perlahan - data terakhir tidak ada

Konsumsi CFC - Pengurangan Ozon

Turun perlahan

Penggunaan Biomassa

Turun perlahan

Target 10: Menurunkan hingga separuhnya proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber
air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar pada 2015

Proporsi Penduduk terhadap Air Bersih

Sesuai Target

Air Minum Perpipaan Kota

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 54


Perlu usaha keras

Air Minum Perpipaan Desa

Perlu usaha keras

Sumber Air terlindungi - Perkotaan

Telah tercapai

Sumber Air terlindungi - Perdesaan

Sesuai Target

Sanitasi yang baik

Telah tercapai

Rumah Tangga di Perkotaan

Telah tercapai

Rumah Tangga di Perdesaan

Telah tercapai

Target 11: Memperbaiki kehidupan penduduk miskin yang hidup di pemukiman kumuh
pada 2020

Proporsi kepastian kepemilikan lahan

Sesuai Target

Tujuan 8

Target 12. Melakukan pembangunan lebih lanjut sistem keuangan dan perdagangan yang
terbuka, berbasis peraturan dan diprediksi dan non-diskriminatif
Rasio Ekspor-Impor dengan PDB

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 55


Rasio Kredit dan Tabungan Bank Umum

Rasio Kredit dan Tabungan Bank Perkreditan Rakyat

Target 15. Penanggulangan Masalah pinjaman luar negeri melalui upaya nasional maupun
internasional dala rangka pengelolaan utang luar negeri yang berkelanjutan dan berjangka
panjang

Rasio Pinjaman Luar Negeri terhadap PDB

Terus Turun

Rasio Utang terhadap Anggaran Belanja

Terus Turun

Target 16. Bekerjasama dengan negara-negara berkembang, mengambangkan dan


menerapkan strategi untuk menciptakan lapangan kerja yang layak dan produktif untuk
penduduk usia muda

Pengangguran 15-24 Tahun

Terus Naik

Target 18. Bekerjasama dengan sektor swasta dalam memanfaatkan teknologi baru,
terutama teknologi informasi dan komunikasi

Rumah tangga yang memiliki telepon

Naik Perlahan

Rumah tangga yang memiliki telpon seluler

Naik Perlahan

Rumah tangga yang memiliki komputer

Naik Perlahan

Rumah tangga yang memiliki akses internet

Naik Perlahan

22.2 2005

22.2.1 Laporan ringkas II

22.3 2004

22.3.1 Laporan I

Laporan Bulan April – Theresia Rachmalia Ginting 56

You might also like